Upload
truongtuong
View
224
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan zaman masyarakat membutuhkan
peraturan yang sesuai dengan perkembangan zaman itu pula, dan dengan
upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah
Indonesia telah berusaha melaksanakan pembangunan di berbagai bidang.
Pembangunan tersebut tidak hanya meliputi pembangunan fisik saja seperti
pembangunan gedung, pembangunan jalan, perbaikan jalan, tetapi juga dalam
segi kehidupan lain diantaranya meningkatkan keamanan bagi warga
masyarakat, karena kehidupan yang aman merupakan salah satu faktor untuk
mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat. Keamanan yang dimaksud
bukan hanya aman dari perang tetapi dapat juga meliputi keamanan dalam
segi yang lain, salah satunya adalah keamanan menggunakan jalan raya.
Lalu lintas merupakan alat rekayasa yang berkaitan erat dengan
transportasi. Transportasi merupakan sarana vital karena selain sebagai alat
dalam roda perekonomian, transportasi juga dapat dijadikan sebagai alat
2
pemersatu dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa
dan negara.1
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) merupakan hal yang
penting dalam meningkatkan mobilitas sosial dan sangat dekat dengan
masyarakat. Setiap saat masyarakat terus bergulat dengan angkutan jalan
dengan bermacam-macam kepentingan. Berbagai kondisi zaman yang
dibarengi dengan berbagai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi serta perubahan pola tingkah laku masyarakat telah dilewati oleh
LLAJ di Indonesia.
Semakin bertambahnya jumlah kendaraan menyebabkan semakin
banyak pula para pengguna jalan raya. Hal tersebut dapat dilihat dari
perkembangan pada tahun 2006 jumlah kendaraan di Bali 1,58 juta dan pada
awal 2011 telah mencapai 2,35 juta unit. "Dari jumlah kendaraan bermotor
tersebut separuh lebih yakni 1,9 juta unit beroperasi di wilayah Kota
Denpasar dan Kabupaten Badung," kata Kepala Dinas Perhubungan dan
Informatika Provinsi Bali I Made Santha di Denpasar, Kamis (17/2).2
Kendaraan sudah menjadi kebutuhan yang sangat vital bagi masyarakat dalam
melakukan kegiatan. Perkembangan pengetahuan dan teknologi dibidang
1C. S. T. Kansil, et al., 2009, Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional, JalaPermata Aksara, Jakarta, h. 171.
2Media Indonesia, 2011, Jumlah Kendaraan Bermotor di Bali Meningkat Tajam :http://www.mediaindonesia.com/read/2011/02/17/203894/129/101, di akses tanggal 20 April 2015
3
transportasi dan lalu lintas tersebut tidak hanya menimbulkan dampak positif
tetapi menimbulkan dampak negatif pula seperti terjadinya kecelakaan lalu
lintas darat.
Mudahnya masyarakat dalam memperoleh Surat Izin Mengemudi
(SIM) adalah salah satu faktor yang dapat menimbulkan kecelakaan lalulintas
yang disebabkan oleh pengetahuan para pengemudi pengguna jalan raya
kurang baik mengenai tata cara berlalu lintas yang aman dan tertib selain itu
kurangnya memperhatikan kendaraan yang digunakan saat berada di jalan
dapat pula menyebabkan kecelakaan lalu lintas darat. Hal ini menunjukkan
bahwa masih banyak terjadi kekurangan mengenai fasilitas dan kedisiplinan
dalam berlalu lintas. Tidak disiplin dalam berkendara juga menunjukkan
bahwa tidak ada etika baik, padahal pemicu terjadinya kecelakaan adalah
runtuhnya etika dalam berkendara.3
Kecelakaan lalu lintas merupakan suatu peristiwa yang terjadi pada
lalu lintas jalan raya yang tidak diduga dan tidak diinginkan yang sulit
diprediksi kapan dan dimana terjadinya, sedikitnya melibatkan satu kendaraan
dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang menyebabkan cedera, trauma,
kecacatan, kematian dan/atau kerugian harta benda pada pemiliknya (korban).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 selanjutnya disingkat
(UULLAJ), mengungkapkan kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di
jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan
3Toto Suparto, 2011, Keprihatinan Etika Berlalu Lintas Dalam Suara Merdeka, tanpapenertbit, Semarang, h.7.
4
dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia
dan/atau kerugian harta benda. Berdasarkan Pasal 310 ayat (1) UULLAJ
menyatakan:
“Setiap orang yang mengemudi Kendaraan Bermotor yang karenakelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengankerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksuddalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara palinglama 6 (enam) bulan dan/atau dendan paling banyakRp1.000.000,00 (satu juta rupiah).”
Akibat hukumnya berupa sanksi hukum yang harus diterapkan
terhadap pelaku, terlebih apabila mengakibatkan korban meninggal, seperti
yang dirumuskan dalam Pasal 359 ayat (1) KUHP yang menyatakan:
‘Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain
diancam dengan Pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurunganpaling lama satu tahun’.
Sedangkan berdasarkan UULLAJ, akibat hukum dari kecelakaan
lalu lintas adalah adanya pidana bagi si pembuat atau penyebab terjadinya
peristiwa itu dan dapat pula disertai tuntutan perdata atas kerugian material
yang ditimbulkan.
Kecelakaan lalu lintas yang pelakunya tidak bertanggung jawab,
dengan membiarkan korbannya begitu saja tanpa menghentikan
kendaraannya, atau di sebut dengan tabrak lari.4 Tabrak lari adalah tindak
pidana kejahatan yang tidak manusiawi terlebih korban meninggal dunia
4Marye Agung Kusmagi, 2010, Selamat Berkendara Dijalan raya, Raih Asa Sukses,Jakarta, h. 94.
5
akibat perbuatan pelaku tersebut. Tabrak lari juga merupakan tindakan yang
mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang bermoral. Salah
satu dari nilai moral adalah mengenai pribadi manusia yang bertanggung
jawab. Berdasarkan UULLAJ Pasal 312 yang menyatakan:
“ Setiap orang yang mengemudi Kendaraan Bermotor yang terlibatKecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikankendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidakmelaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada Kepolisian NegaraRepublik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal231 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c tanpa alasan yang patutdipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dandenda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima jutarupiah)."
Masalah pertanggungjawaban pidana merupakan masalah yang
sangat penting dalam upaya penegakan hukum dalam penanggulangan tindak
pidana tabrak lari yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Tindak
pidana ini sangat sulit dalam mengungkap pelakunya jika tidak ada saksi saat
kecelakaan itu terjadi. Penelitian skripsi ini dilakukan di POLRESTA
Denpasar, karena POLRESTA Denpasar membawahi tujuh Polsek yaitu
Polsek Denpasar Timur, Denpasar Selatan, Denpasar Utara, Denpasar Barat,
Kuta Selatan, Kuta dan Kuta Utara. Polsek-polsek ini masuk wilayah yang
strategis baik untuk kawasan pemerintahan dan kawasan pariwisata, sehingga
Polresta Denpasar harus mampu memberikan kenyamanan dan keamanan.
Apalagi berbagai fasilitas atau obyek vital cukup banyak yang harus dijaga.
Denpasar merupakan ibu kota provinsi Bali yang merupakan kota metro atau
pusat dari segala pusat dan sebagai tempat pendidikan, perdagangan, dan
lapangan kerja. Meningkatnya jumlah penduduk Denpasar mengakibatkan
6
semakin padatnya kendaraan dijalan raya, sehingga menimbulkan semakin
banyaknya kecelakaan lalu lintas karena setiap orang yang ingin cepat sampai
di tempat tujuan seperti sekolah, kampus, dan kantor ataupun saat selesai
melakukan aktifitas pada malam hari namun terkadang kurang berhati-hati
atau tidak disiplin berlalu lintas dengan tidak mengindahkan rambu-rambu
lalu lintas yang ada sehingga mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, karena
takut ataupun terburu-buru pelaku kabur dan melarikan diri sehingga
terjadilah tabrak lari. Pertanggungjawaban Pidana sangatlah dibutuhkan
dalam meminimalisir terjadinya tabrak lari yang mengakibatkan kematian,
pertanggungjawaban pidana tersebut adalah diancam pidana atau denda
berdasarkan KUHP dan UULLAJ sebagaimana yang diterapkan di
POLRESTA Denpasar. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan
diatas, dirasa perlu untuk mengangkat skripsi dengan judul
“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TABRAK LARI YANG
MENGAKIBATKAN KEMATIAN (STUDI KASUS DI POLRESTA
DENPASAR)”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tabrak lari yang
mengakibatkan kematian di wilayah Polresta Denpasar ?
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku tabrak lari yang
mengakibatkan kematian ?
7
1.3 Ruang Lingkup
Agar suatu masalah tidak keluar dari pokok permasalahan, maka
dalam penulisan usulan penelitian ini ruang lingkup masalahnya hanya
dibatasi pada:
1. Identifikasi mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya tabrak lari yang
mengakibatkan kematian di wilayah Denpasar
2. Lebih menitik beratkan mengenai pertanggunjawaban tabrak lari yang
mengakibatkan kematian yang dilakukan dengan kealpaan.
1.4 Tujuan Penulisan
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan skripsi adalah untuk mengetahui
perkembangan hukum di Indonesia dan menambah pengetahuan hukum
pidana mengenai pidana pelaku tabrak lari yang mengakibatkan kematian.
1.4.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan skripsi adalah :
a. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab tindak pidana tabrak lari
yang mengakibatkan kematian yang dilakukan dengan kealpaan
b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban tindak pidana tabrak lari di
Polresta Denpasar
8
1.5 Manfaat Penulisan
1.5.1 Manfaat Teoritis
Adapun manfaat teoritis dari penulisan skripsi ini adalah
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
pengaturan pidana tabrak lari yang mengakibatkan kematian dalam
KUHP dan UULLAJ serta pertanggungjawaban pidana pelaku tindak
pidana tabrak lari yang mengakibatkan kematian yang dilakukan
dengan kealpaan.
1.5.2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penulisan skripsi ini adalah
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
hukum positif dan memberikan pemikiran untuk dijadikan bahan
pertimbangan bagi institusi penegak hukum untuk memberantas
banyaknya pelaku tindak pidana tabrak lari yang mengakibatkan
kematian yang dilakukan dengan kealpaan.
1.6 Landasan Teoritis
1.6.1 Teori pemidanaan.
Secara umum hukum pidana bertujuan untuk melindungi
dan mengatur kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan
terpeliharanya ketertiban umum. Manusia dalam usaha untuk
memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupannya yang berbeda-beda
terkadang mengalami pertentangan antara satu dengan yang lainnya,
9
yang dapat menimbulkan kerugian atau mengganggu kepentingan
orang lain.
Tujuan hukum pidana tidak harus dicapai dengan
pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa
tindakan-tindakan pengamanan. Perlu pula dibedakan antara
pengertian pidana dan tindakan (maatregel). Pidana dipandang
sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena
melakukan suatu delik. Ini bukan merupakan tujuan akhir tetapi tujuan
terdekat. Inilah perbedaan antara pidana dan tindakan karena tindakan
dapat berupa nestapa juga tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana
dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu memperbaiki pembuat.5
Moeljatno memberikan definisi mengenai hukum pidana.
Menurut Moeljatno ‘hukum pidana adalah bagian daripada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan
dasar-dasar dan aturan-aturan’.6
Berkaitan dengan tujuan pidana yang garis besarnya telah
disebutkan di atas maka muncul teori-teori mengenai tujuan pidana.
Teori-teori tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)
5Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 27.
6Moeljatno, 1983, Azas-Azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, h. 1.
10
Aliran ini yang menganggap sebagai dasar dari hukum pidana
adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergelding atau
vergeltung). Teori ini dikenal pada akhir abad 18 yang mempunyai
pengikut-pengikut seperti Immanuel Kant , Hegel, Herbart, Stahl,
dan Leo polak.7 Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada
sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.
Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu
sendiri.
b. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien)
Teori ini yang memberikan dasar pikiran bahwa dasar hukum dari
pidana adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Oleh karena
pidana itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu, maka disamping
tujuan lainnya terdapat pula tujuan pokok berupa mempertahankan
ketertiban masyarakat (de handhaving der maatshappeljikeorde).8
c. Teori Gabungan (vernegins theorien)
Disamping teori absolut dan teori relatif tentang pemidanaan,
muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur
pembalasan dalam hukum pidana, akan tetapi di pihak lain juga
7Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana : Memahami Tindak Pidana DanPertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Mahakarya Rangkang Offset,Yogjakarta, h. 98.
8Ibid, h. 99.
11
mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat
yang melekat pada tiap pidana.9
1.6.2 Teori pertanggungjawaban pidana.
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana
positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas
disamping asas legalitas. Asas kesalahan dalam hukum pidana ialah
“tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” (geen straf zonder schuld).
Asas ini tidak disebut dalam hukum tertulis di indonesia tetapi tetap
berlaku.10
Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk
menentukan apakah seseorang yang melakukan tindak pidana dapat
dipertanggungjawabkan atau tidak. Apabila ternyata tindakannya
bersifat melawan hukum dan mampu bertanggungjawab maka dapat
dipidana. Kemampuan bertanggung jawab tersebut dilihat juga dari
segi kesalahan apakah berbentuk kesengajaan ataukah kealpaan.
Selanjutnya apakah tindakan pelaku ada alasan pembenar atau
pemaaf atau tidak tidak ada keduanya.
Menurut Moeljatno “untuk adanya unsur kesalahan harus
dipikirkan dua hal penting di samping melakukan perbuatan pidana,
yaitu:
9Ibid, h. 101.
10Moeljatno, op.cit, h. 153.
12
a. Pertama, adanya keadaan psychis (batin) yang tertentu, dan
b. Yang kedua, adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin
tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan
celaan”.11
KUHP tidak mengatur ketentuan tentang arti kemampuan
bertanggung jawab. Yang berhubungan dengan hal ini ialah Pasal 44
KUHP yang menyatakan : Barang siapa melakukan perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat
dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Pasal ini secara tersirat memberikan batasan terhadap kemampuan
bertanggungjawab.
Mengenai Pasal 44 KUHP ini Moeljatno menyimpulkan
bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab haruslah
memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik
dan yang buruk; yang sesuai dan yang melawan hukum;
b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan yang dilakukan.
Yang pertama merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat
membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak
diperbolehkan. Sedangkan yang kedua adalah faktor perasaan atau
11Moeljatno, op.cit, h. 158.
13
kehendak (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya
dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan mana yang
tidak.12
Teori pertanggungjawaban pidana ini merupakan teori yang
sangat berperan penting dalam menjatuhkan pidana terhadap seseorang.
Teori ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat kemampuan
bertanggungjawab dari pelaku, hubungan batin antara pelaku dengan
perbuatan yang dilakukan, serta tidak adanya alasan penghapus
kesalahan terhadap perbuatan yang telah dilakukan.
1.6.3 Teori faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana
Kejahatan adalah tingkah laku manusia yang menyimpang,
setiap orang memiliki kemungkinan untuk melakukan kejahatan. Hal itu
disebabkan oleh faktor didalam diri dan diluar dari diri seseorang untuk
melakukan kejahatan, faktor-faktor tersebut adalah:
1. Faktor Interen
Faktor ini adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri
individu seperti Psychise, sex dan jenis kelamin, umur/usia, fisik,
flebleminded/mental, Psycal Handicaps, twin/anak kembar, ras dan
keluarga.
1. Faktor Exteren
Faktor ini adalah faktor-faktor yang berada diluar dari diri
individu atau berasal dari lingkungan individu. Faktor itu
12Moeljatno, op.cit, h. 165.
14
diantaranya : pendidikan, komunikasi (cultur factor, ekonomi,
politik, social modern, peranan minoritas) dan geografis.13
Teori- teori penyebab terjadinya kejahatan dalam arti sempit
dan ilmu-ilmu forensik” yang menyebutkan bahwa ‘tak ada suatu
perbuatan pun yang tidak mempunyai sebab. Demikian kejahatan, tidak
mungkin terjadi tanpa sebab’.14 Kejahatan (crime) selalu akan ada
seperti juga halnya sakit, penyakit dan mati. Semuanya akan berulang
seperti halnya musim. Makin komplek sesuatu masyarakat makin sukar
bagi kita dan makin banyak kegagalan yang akan kita temui. Bertambah
banyak undang-undang dan sanksi-sanksi adalah makin banyak pula
kejahatan.
Teori adalah bagian dari suatu penjelasan yang muncul saat
seseorang dihadapkan pada gejala yang tidak dimengerti. Upaya
mencari penjelasan mengenai sebab terjadinya kejahatan, sejarah
peradapan manusia mencatat adanya dua bentuk pendekatan yang
menjadi landasan bagi lahirnya teori-teori dalam kriminologi yaitu :
a. Spiritualisme
Penjelasan tentang kejahatan, spiritualisme memilikiperbedaan mendasar dengan metode penjelasan kriminologi yangada saat ini. Penjelasan spiritualisme memfokuskan kejahatanadalah godaan setan (dikenal dari sejarah penuntutan-penuntutandari orang yang dipengaruhi setan).
13H. Hani Saherodji, Pokok-Pokok Kriminologi, Aksara baru, Jakarta, 1980, h. 35
14 Universitas Sumatrera Utara, 2011, Sistem Pemidanaan di Indonesia dihubungkandengan pidana mati : http://repository.usu.ac.id/bistream/123456789/40835/3, diakses padatanggal 2 februari 2015, h.2
15
b. Naturalisme
Naturalisme merupakan perkembangan pahamrasionalisme yang muncul dari ilmu alam setelah abad pertengahanyang menyebabkan manusia mencari model penjelasan yang lebihrasional dan mampu di buktikan secara ilmiah.15
Berkembangnya teori-teori tentang kejahatan, maka dapat
dibagi dalam tiga aliran :
1. Aliran klasik :
Dasar pemikiran dari ajaran klasik ini adalah adanya
pemikiran bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang
memiliki kehendak bebas.
2. Aliran neo klasik :
Aliran neo klasik pada dasarnya bertolak pada pemikiran
aliran klasik. Ciri-ciri aliran ini adalah :
a. Adanya perubahan pada doktrin kehendak bebas
b.Pengakuan adanya keadaan lingkungan (cuaca, mekanis dan
sebagainya) atau keadaan mental individu.
3. Aliran positifis :
Aliran ini membagi dirinya menjadi dua pandangan yaitu :
a. Determisme Biologis
Teori-teori yang masuk dalam aliran ini mendasari
pemikiran bahwa perilaku manusia sepenuhnya tergantung pada
pengaruh biologis yang ada dialam dirinya
15 Ibid, h.3
16
b. Determinisme Cultural
Teori-teori yang masuk dalam aliran ini mendasari
pemikiran mereka pada pengaruh social, budaya dari lingkungan
dimana seseorang itu hidup. 16
Teori–teori tentang sebab-sebab kejahatan yang telah
dikemukakan oleh para ahli yang dapat digolongkan pada aliran-aliran:
a. Prescientific theories :
Teori yang paling tua, menerangkan, bahwa perbuatan
crime ialah : “diabolic cal procession and instigation”, orang
menjadi jahat adalah karena pengaruh roh jahat.
b. Aliran Classic :
Aliran ini beranggapan bahwa tingkah laku manusia
ditentukan oleh kebahagiaan dan kesengsaraan atau penderitaan.
Karena itu unsur “Bahagia” atau “derita” merupakan sebab
terjadinya kejahatan, dasar ajaran ini adalah hedonisticpsychology.
Menurut psikologi ini, manusia mengatur tingkah lakunya atas dasar
pertimbangan suka dan duka. Setiap tindak diperkirakan
berkehendak bebas dan menentukan pilihannya berdasarkan
perhitungan hedonistis saja.Inilah yang komplit tentang sebab
terjadinya kejahatan. Aliran ini berkembang di Inggris kira-kira
16Ibid, h. 4
17
pertengahan ke-19 dan tersebar sampai Eropa daratan dan Amerika
Serikat.
c. Aliran Hedomis Modern Jeremy Bentham
Melakukan perbuatan yang ada dalam pikiran dan akan
memberi kebahagian bagi yang melakukan.
d. Aliran Cartographic:
Aliran ini mengatakan bahwa struktur kebudayaan
manusia adalah unsur yang menentukan tingkah laku termasuk
penyebab kejahatan.Ajaran ini sama dengan ajaran ekologis. Yang
dipentingkan dalam ajaran ini adalah distribusi kejahatan dalam
daerah-daerah tertentu, baik secara geografis maupun secara sosial.
Dianggapnya kejahatan merupakan suatu ekspresi dari kondisi-
kondisi sosial. Penganut ajaran ini diantaranya adalah Quetelet dan
Guerry.Ajaran ini berkembang di perancis, Inggris dan Jerman pada
tahun 1830-1880.
e. Aliran Sosialis :
Teori ini ajaran dari Marx dan Engels yang memandang
kejahatan hanya sebagai hasil atau sebagai akibat lainnya saja. Ajaran
ini menghubungkan dengan kondisi ekonomi yang dianggap memiliki
18
hubungan sebab akibat.17
1.7 Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
Berkenaan dengan ruang lingkup bidang kajian ini, maka
metode penelitian yang digunakan untuk karya tulis ini adalah metode
Pelelitian Hukum Empiris yang menggunakan studi kasus empiris
berupa perilaku masyarakat.18 Pokok kajian adalah hukuman yang
dikonsepkan sebagai perilkaku nyata (actual behavior) sebagai gejala
social yang sifatnya tidak tertulis, dan dialami setiap orang dalam
hubungan hidup masyarakat. Sumber data penelitian hukum empiris
tidak bertolak dengan hukum positif tertulis, melainkan hasil
penelitian19 di POLRESTA Denpasar.
1.7.2. Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini bertujuan
untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai fakta
yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya, yakni :
a. Pendekatan kasus ( the caseapproach)
17Ibid, h. 15
18 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian, PT. Citra Aditya Bakti,Jakarta, h.40
19 Ibid, h.54
19
b. Pendekatan perundang-undangan ( the statute approach)20
Penelitian yang dilakukan lebih ditujukan kepada
pendekatan kasus (the caseapproach) dan pendekatan perundang-
undangan ( the statute approach).
1. Pendekatan kasus (the caseapproach). Pendekatan ini dilakukan
dengan melakukan telaah pada kasus-kasus yang berkaitan dengan
peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat.
2. Pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan fakta hukum yang sedang ditangani.
Sifat penelitian yaitu penelitian hukum deskriptif
(descriptive legal study) bersifat pemaparan dan bertujuan untuk
memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap keadaan hukum yang
berlaku ditempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai
gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi
dalam masyarakat. Pada penelitian hukum deskriptif, penelitian
yang melakukan harus menggunakan teori atau hipotensi.21
Penelitian ini diakukan karena rumusan masalah yang diangkat
terkait faktor penyebab terjadinya tabrak lari yang mengakibatkan
20Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan FakultasHukum Universitas Udayana, Denpasar, h.80.
21 Abdulkadir Muhammad,op.cit, h.49
20
kematian di POLRESTA Denpasar dan pertanggungjawaban
pelaku tabrak lari yang mengakibatkan kematian guna untuk
mendapatkan data mengenai kasus tabrak lari ini secara lengkap di
POLRESTA Denpasar.
1.7.3. Sumber Data Hukum
Sumber data hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
a. Data hukum primer
Data hukum primer yaitu data yang dikumpulkan dengan
cara penelitian dilapangan (field research) yaitu data yang
diperoleh dari sumber pertama di lapangan baik dari responden
maupun informasi dengan teknik wawancara (interview), dan yang
terjun langsung kelapangan dengan pedoman pada pertanyaan.
Lokasi penelitian yang dipilih adalah di Polresta Denpasar, dengan
narasumber Aiptu Noldi G. Tampi dan AKP A.A. Gede Rai
Darmayasa (Kepala unit Lakalantas).
b. Data hukum sekunder
Data hukum sekunder yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer yang berupa penelitian dan
dibidang hukum yang diperoleh dari buku-buku, hasil penelitian,
pendapat pakar hukum, jurnal-jurnal hukum, artikel cetak maupun
elektronik yang memiliki relevansi.
21
1.7.4. Teknik Pengumpulan Data Hukum
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam skripsi
ini adalah :
a. Teknik Studi Dokumen
Penulisan skripsi ini menggunakan bahan sekunder yang meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier. Dilakukan dengan cara mencari, menginventarisasi, dan
mempelajari Peraturan Perundang-undangan dan mengaitkan
dengan masalah yang diteliti. Dan untuk mengetahui pelaksanaan
peraturan perundang-undangan hukum pidana di POLRESTA
Denpasar tentang tabrak lari apakah sesuai dengan aturan yang ada.
b. Wawancara
Sarana dalam memperoleh data dan informasi secara langsung
melalui tatap muka (face to face), dengan cara memberikan
pertanyaan-pertanyaan lisan (dialog) dan tertulis yang dilakukan di
POLRESTA Denpasar.
Pengumpulan data, yang digunakan dalam skripsi ini
adalah teknik wawancara/interview, yakni tanya jawab secara lisan
dan tertulis, antara interviewer dengan pihak informan yaitu Bapak
Aiptu Noldi G. Tampi dan Ajun Komisaris Polisi A.A. Gede Rai
Darmayasa (Kepala unit lakalantas) di POLRESTA Denpasar dengan
tujuan mendapatkan data yang bermanfaat mengenai permasalahan
yang diajukan.
22
1.7.5. Teknik Analisis Data Hukum
Untuk menganalisis data hukum yang telah terkumpul maka
teknis analisis yang digunakan adalah dengan analisa secara deskriptif
kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer
maupun sekunder, akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun
data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema, di
klasifikalan, di hubungkan anatara satu data dengan data yang lain,
dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi
social, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah
memahami keseluruhan kualitas data.