13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat-Sifat Koligatif Beberapa sifat penting larutan bergantung pada banyaknya partikel zat terlarut dalam larutan dan tidak bergantung pada jenis partikel zat terlarut. Sifat-sifat ini disebut sifat koligatif, sebab sifat-sifat tersebut memiliki sumber yang sama; dengan kata lain, semua sifat tersebut bergantung pada banyaknya partikel zat terlarut yang ada, apakah partikel-partikel tersebut atom, ion, atau molekul. Yang disebut sebagai sifat-sifat koligatif adalah penurunan tekanan uap, kenaikan titik didih, penurunan titik beku, dan tekanan osmotik (Chang, 2003). 2.1.1 Tekanan Uap Jika suatu solut (yang tidak dapat menguap) dilarutkan dalam solven (yang dapat menguap) tekanan uap larutan akan lebih rendah dibandingkan dengan tekanan uap pelarut murni. Hal ini disebabkan karena pada permukaan larutan terdapat interaksi antara zat terlarut dan pelarut sehingga laju penguapan tersebut berkurang akibatnya tekanan uap larutan menjadi turun. Selisih antara tekanan uap pelarut murni dengan tekanan uap larutan disebut penurunan tekanan uap (ΔP). Penurunan tekanan uap dirumuskan sebagai ;

BAB II ENAIKAN TITIK DIDIH

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Haiii, haii aku balik lagi ni, kali ini ,ini ada contoh bab ii dari pembahasan laporang kenaikanntitik didih, semoga bermanafaat ya

Citation preview

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sifat-Sifat KoligatifBeberapa sifat penting larutan bergantung pada banyaknya partikel zat terlarut dalam larutan dan tidak bergantung pada jenis partikel zat terlarut. Sifat-sifat ini disebut sifat koligatif, sebab sifat-sifat tersebut memiliki sumber yang sama; dengan kata lain, semua sifat tersebut bergantung pada banyaknya partikel zat terlarut yang ada, apakah partikel-partikel tersebut atom, ion, atau molekul. Yang disebut sebagai sifat-sifat koligatif adalah penurunan tekanan uap, kenaikan titik didih, penurunan titik beku, dan tekanan osmotik (Chang, 2003).2.1.1 Tekanan Uap Jika suatu solut (yang tidak dapat menguap) dilarutkan dalam solven (yang dapat menguap) tekanan uap larutan akan lebih rendah dibandingkan dengan tekanan uap pelarut murni. Hal ini disebabkan karena pada permukaan larutan terdapat interaksi antara zat terlarut dan pelarut sehingga laju penguapan tersebut berkurang akibatnya tekanan uap larutan menjadi turun. Selisih antara tekanan uap pelarut murni dengan tekanan uap larutan disebut penurunan tekanan uap (P). Penurunan tekanan uap dirumuskan sebagai ; P = Po P (Abdillah, 2012)Tekanan uap larutan ideal berlaku hukum Raoult ; P = X1 Po (Abdillah, 2012)karena, X1 = (1- X2), maka ; P = (1- X2) Po = Po X2 Po P = X2 Poatau X2 = Dimana X1 dan X2 masing-masing adalah fraksi mol pelarut dan zat terlarut. Dari persamaan terlihat, harga P berbanding lurus dengan fraksi mol zat terlarut. Makin banyak partikel zat terlarut, berarti makin besar pula penurunan tekanan uapnya. P dapat digunakan untuk menentukan berat molekul zat terlarut yang sukar menguap dengan mengukur tekanan uap larutan dan menghitung fraksi molnya (Abdillah, 2012).2.1.2 Titik Didih Titik didih suatu larutan dapat lebih tinggi maupun lebih rendah daripada titik didih pelarut, bergantung pada kemudahan zat terlarut itu menguap, dibandingkan dengan pelarutnya. Jika zat terlarut itu tak atsiri (tidak menguap) misalnya gula, larutan air itu mendidih pada suatu temperatur yang lebih tinggi daripada titik didih air.Dalam hal larutan etil alkohol-air, eti alkohol (titik didih 78,3) mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk menjadi uap air daripada air. Tekanan uap larutan (jumlah tekanan uap etil alkohol dan tekanan uap air) sama dengan tekanan atmosfer pada temperatur dibawah 100. Artinya, titik didih larutan terletak dibawah titik didih air murni. Hukum sifat koligatif tidak berlaku untuk larutan dengan zat-zat terlarut atsiri, seperti larutan etil alkohol-air (Abdillah,2012). Gambar 2.1 Diagram Tekanan Uap dan Kenaikan Titik Didih Larutan(Abdillah, 2012)

2.1.3 Titik Beku Titik beku larutan, Tf, berada di bawah pelarut murni, Tf, asalkan kristal-kristal yang dibentuk sebagai larutan membeku adalah pelarut murni dan bukan padatan yang mengandung zat terlarut. Penurunan titik beku sebanding dengan molalitas zat terlarut, m : Tf = Tf - Tf = -kf m (Waser, et al, 1984) Konstanta kf adalah molal penurunan titik beku. Seperti kenaikan titik didih, pengaruhnya adalah semakin bertambah ketika zat-zat terlarut (Waser, et al, 1984). Gambar 2.2 Diagram Tekanan Uap dan Penurunan Titik Beku Larutan(Abdillah, 2012)

2.1.4 Tekanan Osmosis Osmosis adalah proses berpindahnya molekul-molekul pelarut dari encer ke larutan yang lebih pekat melalui selaput membran/penyekat semipermeabel. Peristiwa osmosis kelihatanya berlawanan dengan pengalaman dimana penyebaran partikel (difusi) umumnya terjadi dari larutan yang konsentrasinya tinggi ke rendah. Pada osmosis larutan dipisahkan oleh selaput semipermeable sehingga difusi terjadi dari arah sebaliknya.Difusi ini hanya terjadi pada molekul-molekul pelarut atau zat-zat yang berukuran kecil, sedangkan molekul berukuran besar tertahan oleh membran. Tekanan osmotik tergolong sifat koligatif, karena hanya bergantung pada konsentrasi zat terlarut dan bukan pada jenisnya (Abdillah,2012).

2.2 Kenaikan Titik DidihTitik didih normal cairan murni atau larutan ialah suhu pada saat tekanan uap mencapai 1 atm. Karena zat terlarut menurunkan tekanan uap, maka suhu larutan harus dinaikkan agar ia mendidih. Artinya, titik didih larutan lebih tinggi daripada titik didih pelarut murni. Gejala ini, yang disebut sebagai peningkatan titik didih, merupakan mtode alternatif untuk menentukan massa molar (Oxtoby, et al, 2001).Jika titik didih pelarut (Tbo) dan titik didih larutan (Tb), maka kenaikan titik didih dirumuskan : Tb = Tb Tbo (Yazid, 2005)Berdasarkan percobaan menunjukkan harga Tb bergantung pada jumlah partikel zat terlarut. Makin banyak partikel zat terlarut, makin besar harga Tb-nya.Pada penentuan Tb satuan konsentrasi yang digunakan adalah molalitas (m), karena tidak dipengaruhi oleh suhu. Satuan molalitas tidak sesuai, karena suhu mempengaruhi volume larutan. Besarnya kenaikan titik didih dirumuskan Roult, sebagai : Tb = Kb . m (Yazid, 2005)atau Tb = Kb x x (Yazid, 2005)dimana :Tb= kenaikan titik didih larutanKb= kenaikan titik didih molal pelarut (0C/mol) m = konsentrasi larutan dalam molal (molal) w = massa zat terlarut (gram) P = massa zat pelarut (gram)M = berat molekul zat terlarut (gram/mol)Harga Kb merupakan tetapan yang hanya bergantung pada jenis pelarut. Setiap pelarut memiliki Kb masing-masing yang diperoleh dari hasil percobaan, yaitu dengan mengukur Tb dari larutan tepat 1 molal dalam pelarut yang bersangkutan (Yazid, 2005).Untuk pelarut tertentu, Kb diperoleh dengan mengukur kenaikan titik didih dari larutan encer yang molalitasnya diketahui (artinya, mengandung zat terlarut yang diketahui jumlahnya dan massa molarnya) (Oxtoby, et al, 2001).

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kenaikan Titik Didih dan Tekanan UapBila zat non elektrolit yang sukar menguap dilarutkan maka menurut Hukum Raoult, besarnya tekanan uap:P = Po . N1(Sukardjo, 1989)dimana: P = tekanan uap diatas larutanPo = tekanan uap pelarut murni.N1 = fraksi mole pelarut.

PP0(a) Pelarut(b) LarutanGambar 2.3 Penurunan Tekanan Uap Pelarut(Sukardjo, 1989)Karena zat terlarut non volatil, maka:P total = P = Po . N1 (Sukardjo, 1989)N1 < 1P total < PoJadi di sini terjadi penurunan tekanan uap dari pelarut. Besarnya penurunan tekanan uap P. P = Po P total (Sukardjo, 1989) = Po P = Po (1 - N1)

P = Po . N2 N2 + N1 = 1N2 = fraksi mol zat terlarutJadi penurunan tekanan uap pelarut hanya tergantung jenis pelarut dan banyaknya zat terlarut, tidak tergantung banyaknya pelarut .Suatu larutan mendidih pada temperatur lebih tinggi dari pelarutnya, selisihnya disebut kenaikan titik didih larutan. Tb hanya tergantung jenis pelarut dan konsentrasi larutan, tidak tergantung jenis zat terlarut (Sukardjo, 1989).2.4 Aplikasi Kenaikan Titik Didih Potensi Ekstrak Daun Pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) sebagai Bioherbisida Penghambat Perkecambahan Echinochloa colonum dan AmaranthusviridisPinus merupakan tanaman yang dapat digunakan untuk reboisasi, karena pinus memiliki beberapa fungsi, diantaranya sebagai tanaman pelindung tanah secara ekologis dan sebagai penghasil kayu. Selain itu, pinus juga memiliki daya kompetitif yang besar terhadap tumbuhan lain di sekitarnya sehingga mampu bersaing. Pinus merkusii memiliki saluran resin yang dapat menghasilkan suatu metabolit sekunder bersifat alelopati. Alelokimia pada resin tersebut termasuk pada kelompok senyawa terpenoid, yaitu monoterpen -pinene dan -pinene. Senyawa ini diketahui bersifat toksik baik terhadap serangga maupun tumbuhan. Selain itu, senyawa tersebut merupakan bahan utama pada pembuatan terpentin. Monoterpen (C10) merupakan minyak tumbuh-tumbuhan yang terpenting yang juga bersifat racun. Dari beberapa kajian ekologis pada daerah pertumbuhan pohon pinus menunjukkan tidak ada pertumbuhan tanaman herba, hal tersebut diduga karena serasah daun pinus yang terdapat pada tanah mengeluarkan zat alelopati yang menghambat pertumbuhan herba. Hal tersebut menunjukkan bahwa kandungan senyawa pada daun pinus merkusi mempunyai potensi sebagai bahan bioherbisida untuk mengkontrol pertumbuhan gulma. Salah satu gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman padi adalah Echinochloa colonum dan Amaranthus viridis. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas atau mengendalikan pertumbuhan gulma ini, salah satunya adalah dengan menggunakan herbisida. Penggunaan herbisida sintetis yang berlebihan dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan. Adanya fenomena tersebut menjadi pemicu timbulnya banyak penelitian yang berusaha mencari solusi, yaitu suatu bahan alami yang dapat digunakan sebagai bioherbisida yang sifatnya aman karena mudah terdegradasi dalam tanah sehingga tidak meninggalkan residu. Salah satu hasil penelitian yang dapat dijadikan alternatif dalam penggunaan herbisida adalah pemanfaatan mekanisme alelopati dari suatu tumbuhan. Untuk mengkaji potensi tersebut maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji efektivitas daya hambat ekstrak daun pinus terhadap perkecambahan gulma Echinochloa colonum dan Amaranthus viridis.Adapun metode pembuatannya adalah sebagai berikut : Daun pinus segar sebanyak 100 gram dihancurkan dengan blender. Hancuran daun dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer berukuran 250 ml, lalu ditambahkan aseton 70 % sebanyak 200 ml dan kemudian dimaserasi (menggunakan shaker 125 rpm) selama 24 jam. Hancuran yang telah dimaserasi ini disaring dengan kertas saring sehingga didapatkan filtratnya. Filtrat disimpan dalam labu takar 1000 ml untuk kemudian diekstrak kasar. Apabila belum diekstrak kasar pada saat yang sama, filtrat disimpan dalam inkubator 10 oC, agar tidak mengalami perubahan kimiawi. Sementara itu, residu hancuran daun pinus ditambah lagi dengan aseton 70 % sebanyak 200 ml dan kembali dimaserasi selama 24 jam, untuk kemudian disaring. Pekerjaan ini dilakukan berulang-ulang sehingga filtrat yang tersaring tidak lagi berwarna (bening). Pada saat akhir akan didapatkan filtrat sebanyak 1 liter. Pekerjaan yang sama dilakukan kembali sampai didapatkan filtrat sebanyak 2 liter. Larutan hasil filtrasi ini diekstrak kasar dengan Vacuum Rotary Evaporator. Vacuum Rotary Evaporator adalah alat yang berfungsi untuk memisahkan suatu larutan dari pelarutnya sehingga dihasilkan ekstrak dengan kandungan kimia tertentu sesuai yang diinginkan. Cairan yang ingin diuapkan biasanya ditempatkan dalam suatu labu yang kemudian dipanaskan dengan bantuan penangas, dan diputar. Uap cairan yang dihasilkan didinginkan oleh suatu pendingin (kondensor) dan ditampung pada suatu tempat (receiver flask). Prinsip kerja alat ini didasarkan pada titik didih pelarut dan adanya tekanan yang menyebabkan uap dari pelarut terkumpul di atas, serta adanya kondensor (suhu dingin) yang menyebabkan uap ini mengembun dan akhirnya jatuh ke tabung penerima (receiver flask). Setelah pelarutnya diuapkan, akan dihasilkan ekstrak yang dapat berbentuk padatan (solid) atau cairan (liquid). Biasanya ekstrak yang dihasilkan dari ekstraksi awal ini (ekstraksi dari bahan tumbuhan) disebut sebagai ekstrak kasar (crude extract) (Senjaya dan Surakusumah, 2008).

Mulai

Ditimbang daun pinus 100 gram

Dihaluskan bahan

Dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml

Ditambahkan aseton 70 % sebanyak 200 ml

Dimaserasi 24 jam pada suhu 10 oC

Tidak

Disaring hasilnya

Dimasukkan ke dalam labu takar 1000 ml

Disimpan di inkubator 10 oCApakah langsung diekstrak ?Tidak

Ya

Diekstrak kasar dalam Vaccuum Rotary Evaporator

Apakah sudah bening ?

SelesaiYaya

Gambar 2.2 Flowchart Percobaan Ekstrak Daun Pinus(Senjaya dan Surakusumah, 2008)