Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
25
BAB II
GAMBARAN UMUM
TENTANG PENGADILAN AGAMA CILEGON
A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama
1. Pengertian Pengadilan Agama
Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala
sesuatu mengenai perkara peradilan. Peradilan juga dapat diartikan
suatu proses pemberian keadilan di suatu lembaga. Dalam kamus
Bahasa Arab disebut dengan istilah qadha yang berarti menetapkan,
memutuskan, menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut istilah
adalah penyelesaian sengketa antara dua orang yang bersengketa, yang
mana penyelesaiannya diselesaikan menurut ketetapan-ketetapan
(hukum) dari Allah dan Rasul. Sedangkan pengadilan adalah badan
atau organisasi yang diadakan oleh negara untuk mengurus atau
mengadili perselisihan-perselisihan hukum.1
Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman di Indonesia secara yuridis formal lahir berdasarkan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan UU No.
3 Tahun 2006 dan terakhir dirubah dengan UU No. 50 Tahun 2009.
Lembaga Peradilan Agama sesungguhnya telah ada sejak zaman
penjajahan Belanda, bahkan jauh sebelum itu mengiringi perjalanan
dakwah Islam di Nusantara, eksistensi lembaga peradilan baik teori
1 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003), 2.
26
maupun praktek kehidupan umat Islam, merupakan hal yang tidak
dapat dipisahkan.2
Peradilan Agama merupakan peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam.3 Di dalam Undang-Undang No. 7/1989 Pasal 2
tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa Peradilan Agama
merupakan salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu. Berdasarkan UU No. 14/1970 yang digantikan dengan UU
No.4 Tahun 2004 tentang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman,
Peradilan Agama telah mendapatkan pengakuan sebagai salah satu dari
empat lembaga Peradilan. Dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun
1989 tersebut, Peradilan Agama akan lebih mantap dalam menjalankan
fungsinya. Adapun mengenai kompetensi absolut Peradilan Agama
dapat kita baca dalam ketentuan pasal 49, yang secara lengkap sebagai
berikut:”Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam, di bidang:4
a. Perkawinan,
b. Kewarisan,
c. Wasiat,
d. Hibah,
e. Wakaf,
f. Shadaqah, dan
2(http://www.academia.edu/5053889/PENGADILAN-AGAMA-DAN-
KEWENANGAN - BARUNYA, di akses pada tanggal 16 Oktober 2016, jam 15.00
WIB. 3 Undang-Undang Peradilan Agama (UU RI No. 7 Tahun 1989), (Jakarta:
PT. Sinar Grafika), 3. 4 Penjelasan UU No.3 tahun 2006 tentang Kewenangan Peradilan Agama.
http://www.academia.edu/5053889/PENGADILAN-AGAMA-DAN-KEWENANGAN%20-%20BARUNYAhttp://www.academia.edu/5053889/PENGADILAN-AGAMA-DAN-KEWENANGAN%20-%20BARUNYA
27
g. Ekonomi syari’ah.
Secara historis, keberadaan lembaga Peradilan yang
melaksanakan fungsi Peradilan Agama sudah ada sejak zaman
kerajaan-kerajaan Islam berdiri. Namun pada waktu itu kekuasaan
sebagai Hakim (qadhi) umumnya dilakukan raja atau sultan yang
sedang berkuasa, khusus untuk perkara-perkara yang menyangkut soal
Agama, sultan biasanya menunjuk ulama/ pemuka agama untuk
melakukan fungsi tersebut.5
Dalam operasionalnya, kekuasaan kehakiman di lingkungan
peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama. Pengadilan Agama adalah pengadilan tingkat pertama
dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat
Banding, dimana kedua pengadilan tersebut berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Secara
administratif, peradilan agama berada di bawah Kementerian Agama.
2. Pengadilan Agama di Indonesia
Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Pengadilan
Agama merupakan salah satu lembaga peradilan Negara di samping
peradilan militer, peradilan tata usaha Negara, dan peradilan umum.
Keempat lembaga peradilan tersebut merupakan lembaga kekuasaan
kehakiman di Indonesia, yang bertugas menerima, mengadili,
memeriksa, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.
Adapun dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1979
tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam dengan Inpres
5 Abdul Ghofur A, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No.3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan), (Yogjakarta; UII press, 2007). 45.
28
Nomor 1 Tahun 1991, diharapkan mulai babak baru dalam sejarah
perkembangan Peradilan Agama di Indonesia.6
a. Peradilan Agama di Masa kerajaan Islam
Dengan masuknya agama Islam ke Indonesia, mampu merubah
tata hukum yang ada. Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum
hindu, yang berwujud dalam hukum perdata, tetapi juga memasukkan
pengaruhnya ke dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya.
Meskipun Hukum asli masih menunjukkan keberadaannya, namun
hukum Islam telah mampu merembes dikalangan penganutnya,
terutama dalam hukum keluarga.7
Dalam pemerintahan kerajaan Islam sebagai ciri tata
pemerintahan nusantara pada periode berikutnya. Peradilan agama
memperoleh tempat yang lebih nyata sebagai penasihat raja di bidang
keagamaan. Dengan di keluarkannya Stbl. 1882 Nomor 152 oleh
kolonial Belanda, yang kemudian ditambah dan diubah dengan Stbl.
1937 No. 116 dan 160 dan Stbl 1937 No. 638 dan 639 Peradilan Agama
diakui sebagai Peradilan Negara, meskipun dibiarkan pertumbuhannya
tanpa adanya pembinaan sama sekali.
b. Peradilan Agama di Masa Penjajahan
Kedatangan Belanda ke Indonesia yang tujuan awalnya adalah
hanya berdagang, ternyata juga berimplikasi pada peradilan agama
yang telah ada pada saat tersebut. Pada masa pemerintahan kolonial
belanda tepatnya tahun 1882 keluar ordonantie stbl. 1882-152 tentang
Peradilan Agama di pulau Jawa-Madura. Pemerintahan kolonial
6 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (Suatu
Kajian dalam Sistem Peradilan Islam), (Jakarta: Kencana, 2010), 206. 7 Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2000), 113.
29
Belanda dengan Stbl. 1882-152 mengistilahkan lembaga Peradilan
Agama dengan istilah priesterrad, artinya Peradilan Pendeta. Hal ini
dikarenakan mereka mengasumsikan bahwa para ulama yang
menjalankan kekuasaan Kehakiman di bidang Hukum Perdata saja
dengan pendeta yang selama ini telah dikenal.
Kekuasaan Peradilan Agama pada saat tersebut terkadang
berbenturan dengan Peradilan Negeri, hal ini karena sengaja dibuat
oleh pemerintah Belanda. Karena sejak awal pemerintahan jajahan
khawatir atas keberadaan hukum Islam. Selain hukum Islam berbeda
dengan agama yang dianut mereka, juga merupakan hukum yang
terbesar dianut oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu,
memberikan hak hidup hukum Islam sama artinya dengan memberikan
peluang hidup terhadap hukum bangsa Indonesia.8
Segala sesuatu yang terkait dengan Peradilan Agama pada saat
tersebut didukung dan dipengaruhi oleh teori yang berkembang pada
saat tersebut, yaitu teori reception in complexu yang dikemukakan oleh
Van Den Berg dan teori receptie yang dikemukakan Snouck Hurgronje
dan Vollenhaven. Berdasarkan pada teori reception in comlexu, maka
Peradilan Agama pada awal berdirinya berwenang untuk menerima,
memeriksa, serta memutus seluruh sengketa keperdataan yang dialami
oleh umat Islam. Sedangkan setelah lahirnya teori receptie,
menyebabkan kewenangan Peradilan Agama berkurang (dipreteli).
Dimana Peradilan Agama tidak berwenang menerima, memeriksa, dan
memutuskan sengketa dibidang kewarisan bagi umat Islam. Sehingga
8 Raihan A Rasjid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2003), 2.
30
kewenangan Peradilan Agama hanya terbatas dalam hal nikah, rujuk
dan talak.
Berlakunya Stbl. 1937-116 telah mengurangi kompetensi
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dalam bidang perselisihan
masalah wakaf dan waris harus diserahkan kepada Pengadilan Negeri.
Dengan adanya pemindahan kewenangan tersebut, membuat
kemarahan umat Islam, dan dianggap penolakan terhadap kenyataan
yang ada dan telah berlangsung lama.
Menurut Bushtanul Arifin, terjadinya konflik hukum tersebut
diawali dengan rencana pemerintah Belanda untuk memberlakukan
hukum sipil secara sepenuhnya bagi masyarakat Indonesia.
Sebagaimana dibidang hukum pidana yang telah berhasil mereka
lakukan. Adanya hal tersebut mengundang perlawanan terhadap
kebijakan pemerintah yang dipelopori oleh C. Van Vollenhoven dan
Snouck Hurgronje.9 (keduanya pakar hukum adat yang berpandangan
bahwa, apabila hukum belanda dipaksakan untuk dilakukan bagi
penduduk pribumi, maka yang akan mengambil keuntungan adalah
hukum Islam). Dengan alasan bahwa hukum barat hidup dan
berkembang dengan hukum kristen. Dengan demikian, justru mereka
lebih menghendaki bahwa hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi
yang tepat adalah hukum adat. Hukum adat dinilai sesuai dengan
kebijakan hukum kolonial Belanda serta dianggap tidak membahayakan
eksistensi pemerintahan Belanda.
9 Bushtanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar, Sejarah,
Hambatan, dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 36.
31
c. Masa Kemerdekaan
Teori Receptie ternyata masih ada di zaman kemerdekaan,
termasuk di dalamnya mempengaruhi para pembuat peraturan
perundang-undangan (legislator) pada saat tersebut. Meskipun teori
tersebut telah mendapatkan bantahan dari teori Huzairin yang
menyatakan bahwa berlakunya hukum Islam tidak berdasarkan pada
hukum Adat, akan tetapi sesuai dengan perundang-undangan atau yang
disebut positifisasi hukum Islam. Namun pada kenyataannya seakan-
akan hukum Islam yang berlaku di masyarakat baru berlaku jika hukum
adat telah menerimanya.
Pada tahun 1946, dibentuklah sebuah kementerian Agama.
Departemen Agama dimungkinkan konsolidasi atas seluruh
administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah badan yang bersifat
nasional. Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1946
menunjukkan secara jelas maksud untuk mempersatukan administrasi
nikah, talak, dan rujuk di seluruh Indonesia dibawah pengawasan
Departemen Agama.
Undang-Undang No.22 Tahun 1946, awalnya hanya berlaku
bagi Jawa dan Madura. Namun kemudian pada tahun 1954, pihak
Departemen Agama berhasil mendapatkan persetujuan dari pihak
parlemen untuk memberlakukan UU No. 22 Tahun 1946 di seluruh
daerah luar Jawa dan Madura.
Pada masa kemerdekaan, Pengadilan Agama atau Mahkamah
Islam Tinggi yang telah ada tetap berlaku berdasarkan aturan peralihan.
Selain tiga bulan berdirinya Departemen Agama yang dibentuk melalui
keputusan pemerintah nomor 1/SD, pemerintah mengeluarkan
penetapan No.5/SD tanggal 25 Maret 1946 yang memindahkan semua
32
urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dari Departemen Kehakiman
kepada Departemen Agama. Sejak itulah Peradilan Agama menjadi
bagian terpenting bagi Departemen Agama.10
Sementara pada sisi lain, para ahli hukum nasional selalu
menggunakan setiap kesempatan untuk menghapuskan pengadilan
agama Islam. Setelah Peradilan Agama diserahkan kepada Departemen
Agama, maka para pejabat nasionalis yang berada dalam departemen
kehakiman masih membuat undang-undang sebagai usaha untuk
menghapuskan Peradilan Agama Islam dari eksistensinya, namun gagal
pula.11
Pada tahun 1957, berlaku Peraturan Pemerintah No.45
Lembaran Negara 1957 No.99 tentang Peradilan Agama/Mahkamah
Syari’ah di luar Jawa dan Madura. Kewenangan Peradilan Agama
diluar Jawa dan Madura meliputi perkara-perkara Nikah, Thalak,
Rujuk, Fasakh, Nafaqah, Maskawin, tempat kediaman, Mut’ah,
Hadhanah, Perkara Waris, Wakaf, Hibah, Shadaqah, dan Baitul Mal.
d. Masa Orde Baru
Pada masa orde baru lembaga Peradilan dapat dikatakan
mengalami perkembangan yang cukup signifikan, yaitu dengan
diundangkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang sekarang
telah digantikan dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman. Yang mana Kekuasaan Kehakiman
dilaksanakan oleh empat lembaga Peradilan, yaitu Peradilan Umum,
10
Mubarok, dalam Abd. Ghofur Gufron, Memahami Lembaga Peradilan
Agama, Yogjakarta: Makalah pada Acara Pemahaman UU Pengadilan Agama
Departemen Hukum dan HAM RI, Tanggal 7 September 2006. 11
Daniel S. Lev, dalam Abd. Ghofur Gufron, Peradilan Agama Islam di
Indonesia, Suatu Study Tentang Landasan Politik Lembaga Lembaga Hukum,
(Jakarta: PT. Intermasa, 1986), 86.
33
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara,
yang semuanya berada di bawah naungan Mahkamah Agung.
Peradilan Agama sebagai salah satu lingkungan peradilan yang
berada di Mahkamah Agung, secara yuridis juga diatur dengan
Undang-Undang tersendiri, yaitu Undang-Undang No.7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama (sekarang diamandemen dengan UU No. 3
Tahun 2006).
e. Masa Reformasi ( 1998- sekarang)
Pada Masa Orde Baru, awalnya menunjukkan progres yang luar
biasa, dimana dengan melihat UU No. 19 Tahun 1946 yang dirasa tidak
sesuai dengan prinsip Kekuasaan Kehakiman yang merdeka perlu
segera diganti, sehingga lahirlah UU No.14 Tahun 1970 tentang pokok-
pokok Kekuasaan Kehakiman.
Di lihat secara hukum, khususnya berkaitan dengan peraturan
perundang-undangan tampak bahwa kekuasaan Kehakiman telah diakui
sebagai kekuasaan yang merdeka, dalam rangka penegakan hukum di
negara kesatuan Republik Indonesia. sehingga secara yuridis tidak
boleh ada intervensi dari kekuasaan lain. Bahkan perkembangan yang
luar biasa dialami oleh Peradilan Agama, yaitu berkaitan dengan tidak
diperlukannya lagi fiet eksekusi (exekutoir verklering) dari Peradilan
Umum untuk melaksanakan putusan yang dihasilkan.12
Sejarah juga yang membuktikan, bahwa ternyata dalam
prakteknya muncul kesenjangan antara das sollen dengan das sein (law
in book and law in action gap), sehingga yudikatif masih banyak
mendapatkan intervensi dari kekuasaan lain dalam menjalankan tugas
dan kewenangannya. Hal tersebut diperparah dengan merebaknya
12
Abdul Ghofur Anshari, Hukum Acara Peradilan Agama, 27.
34
praktek mafia hukum, yang juga dilakukan oleh aparat penegak hukum
itu tersendiri.
Praktek-praktek yang demikian tersebut, yang menyebabkan
terjadinya kehancuran sendi-sendi hukum di negara ini. Dalam rangka
menyikapi hal tersebut, maka pada tahun 1999 diundangkanlah
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman yang kemudian diganti dan disesuaikan dengan UU No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan pada fakta-fakta diatas, nampak bahwa sejarah
lembaga Peradilan di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman
Belanda. Terkait dengan Peradilan Agama mengalami pasang surut,
terutama menyangkut kewenangannya untuk menerima, memeriksa,
mengadili, dan memutuskan sengketa-sengketa yang dialami umat
Islam. Hal tersebut disebabkan oleh munculnya berbagai kebijakan
yang didasarkan pada teori-teori yang berkaitan dengan berlakunya
hukum Islam terhadap kehidupan masyarakat muslim.
3. Kewenangan Pengadilan Agama
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Berarti pengadilan agama adalah salah satu lingkungan
peradilan di bawah Mahkamah Agung. Undang-Undang Peradilan
Agama yang menjadi hukum positif saat ini di Indonesia adalah
35
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-
Undang No.3 Tahun 2006 dan perubahan ke dua dengan Undang-
Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Tingginya dinamisasi dalam undang-undang peradilan agama
berkaitan dengan penyesuaian regulasi undang-undang Kekuasaan
Kehakiman. Undang-Undang Kekuasaan kehakiman telah beberapa
kali mengalami penyempurnaan dan penggantian dari Undang Undang
No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35
Tahun 1999 dan diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, dan terakhir saat ini yang menjadi
hukum positif adalah Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Berkaitan dengan Undang-Undang Peradilan Agama, perubahan
utama merupakan perluasan ditemukan dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun
2006 yang menyatakan; “Peradilan agama adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini”. Ketentuan Pasal 2 menjadi lebih luas bila dibandingkan
dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 yang hanya membatasi
mengenai perkara perdata tertentu.13
Berarti berdasarkan Pasal 2 UU
No. 3 Tahun 2006 kewenangan peradilan agama tidak lagi hanya
sebatas perkara perdata saja namun kemungkinan dapat saja
berkembang seperti perkara pidana umum berkaitan dengan perkara
13
Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989; “Peradilan Agama merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini.
36
tertentu yang telah ditetapkan dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006.
Tugas pokok pengadilan, yang menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.14
Dalam hal mengadili setiap pengadilan mempunyai
kewenangan tertentu atau kompetensi absolut (attributie van
rechtsmacht). Sifat kewenangan masing-masing lingkungan peradilan
bersifat absolut. Apa yang telah ditentukan menjadi kekuasaan
(yurisdiksi) suatu lingkungan peradilan, menjadi kewenangan “mutlak”
baginya untuk memeriksa dan memutus perkara. Kewenangan mutlak
ini disebut kompetensi absolut atau yurisdiksi absolut.15
Sebaliknya
setiap perkara yang tidak termasuk bidang kewenangannya secara
absolut tidak berwenang pula untuk mengadilinya. Kompetensi absolut
antara masing-masing lingkungan peradilan, di umpamakan sebagai rel
yang menertibkan jalur batas kewenangan (yurisdiksi) mengadili.16
Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989;
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam;
c. Wakaf dan shadaqah.
14
Sudikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, (Yogyakarta:
Penerbit Liberty 2002), 75. 15
M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata, tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan”, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008),102. 16
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata…,136.
37
Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dengan Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006 antara lain berupa memberikan perluasan
kewenangan Pengadilan Agama. Pasal 49 menyatakan; “Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf ;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah;
i. ekonomi syariah.17
Membandingkan Pasal 49 dalam kedua undang-undang
peradilan agama tersebut nampak bahwa penyelesaian sengketa
ekonomi syariah sebagai penambahan kewenangan Pengadilan Agama.
Dengan adanya muatan ekonomi syariah dalam pasal 49 UU No. 3
Tahun 2006 maka penyelesaian sengketa ekonomi syariah merupakan
kompetensi pengadilan agama dan pengadilan lain tidak lagi
berwenang memeriksa dan memutus sengketa ekonomi syariah.
Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA)
menyatakan; yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang
beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang
17
Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
38
dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum
Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama.
Menurut penjelasan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang
Peradilan Agama, bidang ekonomi syariah antara lain meliputi:
a. Bank syariah;
b. Lembaga keuangan mikro syariah;
c. Asuransi syariah;
d. Reasuransi syariah;
e. Reksa dana syariah;
f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah
syariah;
g. Sekuritas syariah;
h. Pembiayaan syariah;
i. Pegadaian syariah;
j. Dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan Bisnis syariah.
Dari keseluruhan kegiatan ekonomi syariah, perbankan syariah
sudah mendapatkan payung hukum yang relatif lengkap dibandingkan
dengan kegiatan ekonomi syariah lainnya. Perbankan syariah diatur
dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Penjelasan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Perbankan Syariah
menyatakan Penyelesaian sengketa syariah haruslah sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah. Kewenangan Pengadilan Agama sebagai
penyelesaian sengketa ekonomi syariah selain telah ditetapkan oleh
Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama, juga diakui oleh Pasal 55
ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah harus sesuai dengan prinsip-
39
prinsip syariah, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 55 UU perbankan
syariah.18
Sebelum adanya Undang-Undang No. 3 tahun 2006
penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara litigasi merupakan
kewenangan dari lingkungan peradilan umum. Berdasarkan bahasan di
atas terlihat adanya pengalihan kewenangan penyelesaian sengketa
ekonomi syariah secara yuridis formal ke Pengadilan Agama. Dengan
perluasan kompetensi tersebut, Pengadilan Agama tidak hanya
menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, dan shadaqah, tetapi juga berwenang menangani permohonan
pengangkatan anak, sengketa zakat, infaq, serta sengketa hakmilik dan
keperdataan lainnya antara sesama muslim, serta ekonomi syariah.
Ketentuan pasal 2 dan Pasal 49 ayat(1) UU No. 3 Tahun 2006 tersebut
mengandung tiga makna sekaligus.
1) Pertama Peradilan Agama tidak lagi semata-mata hanya
mengadili perkara-perkara perdata saja, tetapi memungkinkan
untuk memeriksa perkara pidana sejauh diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
2) Kedua, kompetensi sebagaimana disebut dalam Pasal 49 ayat
(1) lebih luas dengan dimasukkan ekonomi syariah sebagai
salah satu kompetensinya.
3) Ketiga; Pasal 49 ayat (1) ini juga sekaligus menghapus hak opsi
(pilihan hukum) dalam sengketa waris. Artinya, sengketa waris
18
Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
“Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah”.
40
yang terjadi di antara orang-orang yang beragama Islam harus
diselesaikan di Pengadilan Agama.
Pasal 50 Undang-Undang Peradilan Agama juga memberikan
kewenangan pada Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan
sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek
sengketa yang berhubungan dengan ketentuan Pasal 49, bilamana
subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam. Sebaliknya
apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan
lain tersebut bukan yang menjadi subjek yang bersengketa di
Pengadilan Agama, sengketa di Pengadilan Agama ditunda untuk
menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan
Peradilan Umum.
Kewenangan Pengadilan Agama sudah mengalami perluasan,
semula hanya sekedar sengketa dalam lapangan hukum keluarga,
sekarang telah meluas kepada ekonomi syariah termasuk memutus
sengketa milik sepanjang sengketa antara orang-orang yang beragama
Islam yang selama ini bukan sebagai kewenangan dari Pengadilan
Agama, namun menjadi kewenangan dari Pengadilan Negeri.
Pasal 49 UUPA, menegaskan secara eksplisit bahwa sengketa
ekonomi syariah telah menjadi kompetensi absolut peradilan agama,
sehingga peradilan lain di luar peradilan agama tidak lagi mempunyai
kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa ekonomi syariah.
4. Ruang Lingkup dan Kewenangan Pengadilan Agama di Bidang
Ekonomi Syariah
Dari ketentuan pasal 49 UU 3/2006 sebagaimana di paparkan di
atas, dapat dipahami bahwa kewenangan Pengadilan Agama di bidang
perbankan syariah baru sebatas pengertian bahwa bank syariah adalah
41
salah satu bagian dari ekonomi syariah yang menjadi kewenangan
absolut Pengadilan Agama. Sedangkan mengenai ruang lingkup
batasan dan jangkauan kewenangan mengadili lingkungan Pengadilan
Agama di bidang perbankan syariah tersebut, tidak ditegaskan secara
eksplisit dalam UU 3/2006 tersebut.
Sebagai bagian dari sistem perbankan nasional, keberadaan
bank syariah di Indonesia dalam menjalankan fungsinya tentu saja tidak
terlepas dari aturan-aturan hukum perbankan yang berlaku secara
nasional yang mencakup tiga bidang : hukum perdata, hukum pidana,
dan hukum tata Negara.19
Ada empat paling tidak yang dapat dikemukakan sebagai batas
ruang lingkup dan jangkauan Pengadilan Agama di bidang perbankan
syariah. Keempat hal tersebut yaitu :20
a. Kewenangan Meliputi Semua Perkara di Bidang Perdata.
Inilah hal pertama yang merupakan batas ruang lingkup dan
jangkauan kewenangan mengadili lingkungan peradilan agama di
bidang ekonomi syari’ah, bahwa kewenangan mengadili lingkungan
peradilan agama di bidang ekonomi syari’ah adalah meliputi semua
perkara ekonomi syari’ah di bidang perdata.
Pernyataan di atas menegaskan bawah ruang lingkup
kewenangan absolut lingkungan peradilan agama di bidang ekonomi
syari’ah hanya meliputi perkara-perkara atau sengketa di bidang
perdata saja. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 49 UU No. 3 Tahun
2006 yang menyatakan bahwa ”pengadilan agama bertugas dan
19
Purwoto Gandasubroto, Renungan Hukum, (Jakarta: Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI), 1998), 366. 20
Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan
Agama dan Mahkamah Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), 113.
42
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam ...” dan juga dari
penjelasan pasal tersebut yang antara lain menyatakan bahwa
”penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang ekonomi
syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya”.
Dari redaksi pasal tersebut dapat dipahami bahwa perkara atau
sengketa yang menjadi kewenangan absolute lingkungan peradilan
agama adalah perkara atau sengketa di bidang hukum perdata (privat
law) saja. Dengan demikian, dari ketiga bidang hukum yang mengatur
aktivitas operasional ekonomi syari’ah (yakni bidang hukum perdata,
bidang hukum pidana dan bidang hukum tata negara), hanya perkara
atau sengketa di bidang hukum perdata (privat law) saja yang termasuk
dalam ruang lingkup kewenangan absolut lingkungan peradilan agama
untuk mengadilinya. Sedangkan perkara atau sengketa di bidang hukum
pidana dan bidang hukum Tata Usaha Negara (TUN) tidak termasuk
dalam jangkauan kewenangan absolut lingkungan peradilan agama.
Sehingga peradilan agama secara absolut tidak berwenang memeriksa
dan mengadili perkara-perkara ekonomi syari’ah di bidang pidana
maupun bidang tata usaha negara.
Sengketa atau perkara ekonomi syari’ah di bidang pidana tetap
menjadi kewenangan absolut lingkungan peradilan umum. Sedangkan
perkara di bidang tata usaha neagra tetap menjadi kewenangan absolut
lingkungan peradilan Tata Usaha Negara (TUN).21
21
Hudiata, Edi, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah: Pasca Putusan
MK No. 93/PUU-X/2012 : Litigasi dan No Litigasi, (Yogyakarta : UII Press, 2015),
84.
43
Selanjutnya untuk mengetahui sampai di mana jangkauan
kewenangan lingkungan peradilan agama dalam mengadili sengketa di
bidang perdata tersebut, dapat dianalisis dengan pendekatan asas
personalitas keislaman. Asas personalitas keislaman merupakan asas
yang menyangkut keseluruhan pribadi seseorang yang beragama Islam.
Asas ini merupakan asas perberlakuan hukum Islam terhadap orang
(person) yang beragama Islam.
Seperti diketahui asas personalitas keislaman merupakan salah
satu asas sentral yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2006 yang
merupakan pedoman umum dalam menentukan kewenangan
lingkungan peradilan agama. Asas personalitas keislaman merupakan
asas pemberlakukan hukum Islam terhadap orang (person) yang
beragama Islam. Asas ini menggariskan bahwa ” terhadap orang Islam
berlaku hukum Islam, dan jika terjadi sengketa diselesaikan menurut
hukum Islam oleh Hakim (pengadilan) Islam”.22
Dari apa yang digariskan dalam asas personalitas keislaman
tersebut dapat ditegaskan bahwa setiap orang Islam baik secara
subjektif mauapun secara objektif berlaku (tunduk pada) hukum Islam.
Secara subjek, artinya menurut hukum setiap orang Islam sebagai
subyek hukum tunduk kepada hukum Islam, sehingga segala
tindakannya harus dianggap dilakukan menurut hukum Islam, dan jika
tidak dilakukan menurut hukum Islam, maka hal itu dianggap sebagai
suatu pelanggaran. Sedangkan secara objektif, artinya segala sesuatu
yang menyangkut aspek hukum orang Islam sebagai objek hukum
22 A. Mukti Arto, Garis Batas Kekuasaan Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri Penerapan Asas Personalitas Keislaman Sebagai Dasar
Penentuaan Kekuasaan Pengadilan Agama, (Jakarta : Varia Peradilan, 2006), 21.
44
harus diukur dan dinilai berdasarkan hukum Islam, sehingga hukum
Islam secara imperatif (otomatis) diberlakukan terhadap dirinya, dan
karena itu jika terjadi sengketa harus diselesaikan menurut hukum
Islam oleh hakim (pengadilan) Islam.
Termasuk dalam pengertian asas personalitas keislaman ini
semua badan hukum Islam yang ada dalam sistem hukum di Indonesia,
dalam hal ini ermasuk semua badan hukum Islam dimaksud baik
mengenai status hukumnya maupun mengenai perbuatan dan peristiwa
hukum yang menimpanya, juga mengenai hubungannya dengan orang
atau badan hukum lain serta hal milik badan hukum tersebut, sepanjang
berkaitan prinsip-prinsip syari’ah, harus berlaku (tunduk pada) hukum
Islam dan manakala terjadi pelanggaran atau sengketa harus
diselesaikan berdasarkan hukum Islam oleh hakim (pengadilan) Islam.
Bertitik tolak dari asas personalitas keislaman yang diuraikan di
atas, dapat ditegaskan bahwa semua perkara atau sengketa ekonomi
syari’ah di bidang perdata adalah merupakan kewenangan absolut
lingkungan peradilan agama untuk mengadilinya, kecuali yang secara
tegas ditentukan lain oleh undang-undang.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa jangkauan absolut
lingkungan peradilan agama di bidang ekonomi syari’ah tersebut
adalah meliputi semua perkara atau sengketa ekonomi syari’ah di
bidang perdata.
b. Kewenangan Meliputi Sengketa Antara Bank Syariah dengan
Pihak Non-Islam.
Sebagaimana diketahui oleh banyak pihak bahwa yang
bertransaksi menjadi mitra usaha atau nasabah bank syariah ternyata
45
tidak hanya terbatas pihak-pihak (person/badan hukum) yang beragama
Islam saja, melainkan juga yang Non islam.
Berkaitan dengan kewenangan absolut lingkungan Peradilan
Agama, salah satu asas penting yang baru diberlakukan dalam UU
3/2006 adalah asas penundukan diri terhadap hukum Islam. Asas ini
sebagaimana tertuang dalam penjelasan pasal 49 UU 3/2006 yang
menyatakan : “Yang dimaksud dengan antara orang-orang yang
beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan
sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai
ketentuan pasal ini”.
Dengan demikian kewenangan Pengadilan Agama di semua
bidang yang disebutkan dalam pasal 49 UU 3/2006 beserta
penjelasannya tidak hanya terbatas pada sengketa yang terjadi antara
orang-orang yang beragama islam saja, melainkan juga meliputi
sengketa yang terjadi antara orang Islam dengan yang Non islam,
bahkan termasuk juga sengketa yang terjadi antara sesama Non islam
sekalipun, sepanjang mereka menundukkan diri terhadap hukum Islam
dalam hal yang menjadi kewenangan lingkungan peradilan agama
tersebut.
c. Tidak Menjangkau Klausula Arbitrase
Adapun hal ketiga yang merupakan batas ruang lingkup
kewenangan mengadili lingkungan peradilan agama di bidang ekonomi
syari’ah adalah bahwa kewenangan lingkungan peradilan agama di
bidang ekonomi syari’ah tidak menjangkau sengketa perjanjian yang
didalamnya terdapat klausula arbitrase.
46
Batasan ruang lingkup kewenangan mengadili Pengadilan
Agama di bidang perbankan syariah tidak menjangkau sengketa
perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase.
Pranata arbitrase merupakan pranata penyelesaian sengketa di
luar badan peradilan Negara yang diberi kewenangan oleh undang-
undang untuk menyelesaikan perkara atau sengketa yang terjadi antara
anggota masyarakat atas dasar perjanjian atau kesepakatan yang telah
mereka buat sebelumnya dalam suatu perjanjian arbitrase.
Seperti diketahui arbitrase merupakan suatu badan swasta, di
luar Badan Peradilan Negara yang diberi kewenangan oleh undang-
undang untuk menyelesaikan perkaraatau sengketa yang terjadi di
antara anggota masyarakat atas dasar perjanjian atau kesepakatan yang
telah mereka buat sebelumnya dalam suatu perjanjian arbitrase
(klausula arbitrase).
Sudah menjadi suatu kelaziman dalam lalu lintas kegiatan
bisnis, termasuk dalam hal ini kegiatan usaha yang dilakukan oleh
ekonomi syari’ah dengan pihak mitra usaha atau nasabahnya, selalu
didasarkan pada suatu perjanjian atau akad (agreement) tertulis yang
mereka buat dan mereka sepakati sebelumnya. Untuk mengantisipasi
jika terjadi suatu perselisihan atau sengketa (disputes) diantara kedua
belah pihak mengenai perjanjian atau akad tersebut, lazimnya dalam
setiap perjanjian yang dibuat selalu disertai dengan suatu klausul yang
berupa persetujuan atau kesepakatan dari kedua belah pihak mengenai
cara penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul dari perjanjian
tersebut. Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa apabila terjadi
perselisihan atau sengketa (disputes) diantara mereka mengenai
perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara melalui suatu badan
47
arbitrase. Dengan demikian, atas dasar klausul tersebut mereka sepakat
untuk tidak membawa perselisihan atau sengketa yang terjadi dari
perjanjian tersebut ke suatu badan peradilan negara. Klausul semacam
inilah yang dinamakan dengan klausula arbitrase (arbitration clause),
atau sering juga disebut dengan perjanjian arbitrase.23
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa berdasarkan aturan
hukum yang berlaku kewenangan absolut seluruh badan-badan
peradilan negara, termasuk dalam hal ini lingkungan peradilan agama
tidak dapat menjangkau sengketa atau perkara yang timbul dari
perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase. Dengan
demikian, terhadap perkara atau sengketa ekonomi syari’ah yang
didalamnya terdapat klausula arbitrase, lingkungan peradilan agama
tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya karena kewenangan
absolut lingkungan peradilan agama tidak menjangkau perkara atau
sengketa ekonomi syari’ah yang timbul dari perjanjian yang terdapat
klausula arbitrase. Atas dasar itu terhadap sengketa atau perkara
ekonomi syari’ah yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase, namun
tetap diajukan ke pengadilan agama dalam hal ini adalah dengan
menjatuhkan putusan negatif berupa pernyataan hukum yang
menyatakan bahwa pengadilan agama secara absolut tidak berwenang
memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
d. Kewenangan Meliputi Putusan Arbitrase Syariah di Bidang
Perbankan Syariah.
Selanjutnya hal keempat yang merupakan batas ruang lingkup
dan jangkauan kewenangan lingkungan peradilan agama di bidang
23
M. Yahya Harahap, Arbitrase, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 61-62.
48
ekonomi syari’ah bahwa kewenangan peradilan agama di bidang
tersebut meliputi putusan arbitrase syari’ah di bidang ekonomi syari’ah.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa apabila perkara
ekonomi syari’ah yang diajukan ke pengadilan agama ternyata
merupakan sengketa perjanjian yang didalamnya terdapat klausula
arbitrase, maka pengadilan agama secara absolut tidak berwenang
memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Kewenangan untuk
menyelesaikan perkara semacam itu sepenuhnya termasuk yurisdiksi
absolut badan arbitrase yang telah ditentukan atau dipilih oleh para
pihak sebelumnya dalam perjanjian (akad).
Namun tidak demikian halnya dengan putusan abitrase tersebut,
khususnya dalam hal ini putusan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional
(BASYARNAS) di bidang ekonomi syari’ah. Terhadap putusan
arbitrase syari’ah tersebut jika para pihak ternyata tidak mau
melaksanakannya secara sukarela, maka sesuai dengan ketentuan
undang-undang, pengadilan agama yang berwenang untuk
memerintahkan pelaksanaan putusan tersebut. Karena badan arbitrase
itu sendiri tidak punya kewenangan untuk menjalankan atau
mengeksekusi putusannya sendiri.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kewenangan
Pengadilan Agama dalam bidang perbankan syariah juga meliputi
putusan arbitrase syariah di bidang perbankan syariah. Kewenangan
meliputi putusan arbitrase syariah ini tidak sepenuhnya dapat
dilaksanakan karena ketentuan aturan yang mengaturnya masih perlu
dilakukan harmonisasi. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 59 ayat
(1) UU 48/2009 yang menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan
arbitrase dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah”.
49
Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, maka eksekusi atas
putusan arbitrase syariah menjadi kewenangan pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum. Padahal idealnya, agar suatu peraturan
perundang-undangan dapat bekerja harmonis, maka kewenangan
tersebut hendaknya juga menjadi kewenangan pengadilan agama
bersamaan dengan kewenangan di bidang perbankan syariah.24
B. Pengadilan Agama Cilegon
1. Sejarah Pengadilan Agama Cilegon
Pengadilan Agama Cilegon merupakan Pengadilan Agama
termuda di wilayah PTA Banten yang dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan Presiden Nomor 62 tahun 2002 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama Cilegon dan Pengadilan Agama lainnya. Keputusan
Presiden ini ditindaklanjuti dengan keluarnya Keputusan Menteri
Agama Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2003 tanggal 17 Januari
2003 tentang Pembentukan Sekretariat Pengadilan Agama Cilegon.
Berdirinya Pengadilan Agama Cilegon tidak lain merupakan
konsekuensi dari pemekaran Kabupaten Serang sehingga kemudian
terbentuk Kota Cilegon berdasarkan Undang-undang Nomor 15 tahun
1999. Sebelum berdirinya Pengadilan Agama Cilegon, warga
masyarakat beragama Islam yang berdomisili di Cilegon mengajukan
perkara mereka ke Pengadilan Agama Serang.
Berdasarkan Surat Ketua Pengadilan Tinggi Agama Bandung
Nomor PTA.i/K/05.00/248/2003 tentang peresmian Pengadilan Agama
Cilegon, Pengadilan Agama Cilegon diresmikan pada hari Rabu
tanggal 26 Maret 2003 Masehi bertepatan dengan tanggal 22 Muharram
24
M. Yahya Harahap, Arbitrase, 85-86.
50
1424 Hijriyah oleh Bapak Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji (BPIH), lalu dilanjutkan dengan
pelantikan Ketua Pengadilan Agama Cilegon oleh Ketua Pengadilan
Tinggi Agama Bandung. Setelah itu diadakan acara penyerahan secara
simbolis wilayah hukum Pengadilan Agama Cilegon oleh Ketua
Pengadilan Agama Serang kepada Ketua Pengadilan Agama Cilegon.
Pengadilan Agama Cilegon pertama sekali berkantor di rumah warga
yang terletak di Jl. Raya Anyer Km. 6 Samang raya Citangkil Cilegon.
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung, maka Pengadilan Agama Cilegon
yang secara struktural sebelumnya berada di bawah Departemen
Agama, selanjutnya sepenuhnya berada di bawah Mahkamah Agung
bersama tiga lembaga peradilan lainnya (Peradilan Umum, Peradilan
Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara).
Sejak berdirinya, Pengadilan Agama Cilegon telah dipimpin
oleh Drs. B. Madjudin, Drs. A. Buchaeti (alm.), Drs. H. E. Mudjaidi
Amin, S.H., M.H. (plt.), Drs. H. E. Sudja?i Sayid, M.Hum. (alm.), Drs.
Tata Sutayuga, S.H. (plt.), Drs. Waljon Siahaan, S.H., M.H.,Drs.
Muslim, S.H., M.A. (plt). dan saat ini dipimpin oleh Drs. Faizal Kamil,
S.H., M.H.
Pada tanggal 20 November 2006 Pengadilan Agama Cilegon
memiliki fasilitasi gedung sendiri yang diresmikan oleh Ketua
Mahkamah Agung RI. Gedung baru ini berdiri di atas tanah seluas
2000 M2 dan memiliki luas gedung 300 M2 yang terdiri dari 2 lantai.
Sebagai Pengadilan Agama termuda di lingkungan Pengadilan
Tinggi Agama Banten Pengadilan Agama Cilegon mengukuhkan
51
dirinya sebagai salah satu garda depan pelayan keadilan bagi
masyarakat. Dengan komitmen memberikan pelayanan prima sebagai
lembaga hukum yang mandiri, profesional, dan penuh dedikasi,
Pengadilan Agama Cilegon terus berusaha meningkatkan kualitas
institusi hingga mencapai titik ideal. Prinsip peradilan sederhana, cepat
dan biaya ringan merupakan dasar proses peradilan yang selalu menjadi
komitmen Pengadilan Agama Cilegon dalam melayani para pencari
keadilan. Sebagai pengadilan yang memerima perkara pada tingkat
pertama, Pengadilan Agama Cilegon saat ini menangani perkara
dengan jumlah rata-rata sekitar 80 - 90 setiap bulannya, dengan jumlah
hakim 8 orang, 11 panitera, dan 10 jurusita pengganti.
Kondisi masyarakat kota Cilegon yang dinamis, menjadi
tantangan tersendiri bagi Pengadilan Agama Cilegon untuk terus
meningkatkan kualitas pelayanan demi memberikan yang terbaik bagi
masyarakat. Cilegon adalah kota industri yang menjadi lokasi bagi
banyak perusahaan besar dan kecil termasuk salah satu BUMN
terkemuka nasional, PT Krakatau Steel. Dengan realitas ini, Cilegon
memiliki masyarakat yang heterogen dari segi suku, agama, ras,
pekerjaan, dan bahkan kebangsaan. Tidak sedikit warga negara asing
tinggal di kota ini dan ikut menjadi fenomena permasalahan hukum
yang dihadapi Pengadilan Agama Cilegon. Di samping itu, keberadaan
masyarakat asli Cilegon yang bersuku Jawa-Banten juga menjadi
tantangan khas penegakan hukum yang menuntut kearifan para
penegak hukum untuk menggali nilai-nilai serta memenuhi rasa
keadilan masyarakat.25
25
http://www.pa-cilegon.go.id/profile. Di Akses pada Tanggal 19 Oktober
2016, jam 20.00 WIB.
http://www.pa-cilegon.go.id/profile
52
2. Wewenang Pengadilan Agama Cilegon.
Pengadilan Agama Cilegon melaksanakan tugasnya sesuai
dengan ketentuan pasal 2 jo. Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:26
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infaq
h. Shadakah
i. Ekonomi Syariah
Adapun wilayah hukum Pengadilan Agama Cilegon ada 8
Kecamatan:
a. Kota cilegon
b. Cibeber
c. Citangkil
d. Jombang
e. Purwakarta
f. Grogol
g. Ciwandan
26
http://pa-cilegon.go.id/fungsi-tugas-dan-wewenang. Di Akses pada
Tanggal 21 Oktober 2016, jam 22.30 WIB.
http://pa-cilegon.go.id/fungsi-tugas-dan-wewenang
53
KETUA
Drs. Taufik, SH
WAKIL KETUA
Drs. Hendi Rustandi, SH
PANITERA
H. Dede Supriadi, SH, MH
PANMUD. GUGATAN
Drs. Adi Faqih
STAF PM.
GUGATAN
PANMUD. PERMOHONAN
Dra. Tuti Alawiyah
STAF PM.
PERMOHONAN
Wafihah, SH
PANMUD. HUKUM
Ida Zahrotul Hidayah, SH
STAF PM. HUKUM
Jahlan, BA
Anjar Wisnugroho, SH
SEKRETARIS
Dian Puspita Rini, SE, MSi
KASUBBAG
KEPEGAWAIAN DAN ORTALA
Citra Lesmana, SH
STAF KEPEGAWAIN DAN ORTALA
KASUBBAG
UMUM DAN
KEUANGAN
STAF UMUM DAN KEUANGAN
RISKI FAJAR
Untung Setyo Utomo
KASUBBAG PERENCANAAN,
TI
DAN PELAPORAN
STAF PERENCANAAN,
TI DAN PELAPORAN
h. Pulo Merak.
Adapun Struktur organisasi Pengadilan Agama Cilegon, dapat
dilihat pada bagan dibawah ini:27
27
http://pa-cilegon.go.id/struktur-organisasi. Di akses pada Tanggal 21
Oktober 2016, jam 22.20 WIB.
http://pa-cilegon.go.id/struktur-organisasi
54
HAKIM:
1. Away Awaluddin, S.Ag, M. Hum
2. Syakoramilah, S. HI, MH
3. Rosyid MumtaZ, S.HI
4. Dian Siti Kusumawardani, S.Ag, MH
5. Hj. Yayuk Afiyanah, MA
6. M. Nur, S.Ag
7. Muhammad Iqbal, S.HI.MA
8. Hidayah, S.HI
9. H. Syofa’u Qolbi Jabir, Lc, MA
10. Alvi Syafiatin, S.Ag
PANITERA PENGGANTI
1. Drs. Supiyan, SH
2. Sunarya
3. Ramadhona Daulay, S.Ag, SH
4. Yulinah Tusriati, SH
5. Faj Amiky, SH
6. Andini Puspita Lestari, SH. MH
JURUSITA
1. Risky Fajar
2. Untung Setyo Utomo
JURUSITA PENGGANTI
1. Wadihah, S.HI
2. Hikmatulloh, S.HI
3. Jahlan, BA