Upload
truonglien
View
220
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
INTERNALISASI NILAI-NILAI AKHLAK ISLAM
TERHADAP TINGKAH LAKU SISWA
A. Nilai-Nilai Akhlak Islam
1. Pengertian Nilai
Nilai yang dalam bahasa inggris value, berasal dari bahasa latin
valere atau bahasa Prancis kuno valoir. Sebatas arti denotatifnya, valere,
valoir, value atau nilai dapat dimaknai sebagai harga.1 Ada harga dalam arti
tafsiran misalnya nilai intan, harga uang, angka kepandaian, kadar atau mutu
dan sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.2
Cukup sulit untuk mendapatkan rumusan devinisi nilai dengan
batasan yang jelas mengingat banyak pendapat tentang devinisi nilai yang
masing-masing memiliki tekanan yang berbeda. Berikut dikemukakan
beberapa pendapat para ahli tentang devinisi nilai:
1. Menurut Sidi Gazalba nilai merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, ia
ideal. Nilai bukan benda konkret bukan fakta tidak hanya persoalan benar
salah yang menuntut pembuktian empirik melainkan soal penghayatan
yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.3
2. Noeng Muhadjir mendefinisikan nilai sebagai sesuatu yang normatif,
sesuatu yang diupayakan atau semesetinya dicapai, diperjuangkan dan
ditegakkan. Nilai itu merupakan sesuatu yang ideal bukan faktual sehingga
penjabarannya atau operasionalisasinya membutuhkan penafsiran.4
1 Rahmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2004),
Cet. 1. hlm. 7. 2 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet. 4, hlm. 690. 3 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat , Buku IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm.20. 4 Noeng Muhadjir, Pendidikan Ilmu Dan Islam, (Yogyakarta: Reka Sarasin, 1985),
hlm. 11-12.
14
3. Definisi menurut Fraenkel: “Value is an idea a concep about what some
one thinks is important in life”.5 Nilai adalah suatu ide konsep tentang apa
yang menurut pemikiran seseorang penting dalam kehidupan.
4. Menurut Driyakara nilai adalah “Hakikat suatu hal yang menyebabkan hal
itu pantas dikejar oleh manusia”.6
Lebih lanjut Driyakara menjelaskan bahwa nilai itu erat berkaitan
dengan kebaikan, kendati keduanya memang tidak sama. Sesuatu yang
baik tidak selalu bernilai tinggi bagi seseorang atau sebaliknya, sesuatu
yang bernilai tinggi bagi seseorang tidak selalu baik. Sebagai contoh,
cincin berlian itu baik tetapi tidak bernilai bagi seseorang yang dalam
keadaan akan tenggelam bersama perahunya.
5. Sedangkan pengertian nilai menurut Chabib Thoha, “Esensi yang melekat
pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia”.7
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa esensi belum berarti sebelum
dibutuhkan oleh manusia, tetapi dengan begitu tidak berarti adanya esensi
karena adanya manusia yang membutuhkan. Hanya saja kebermaknaan
esensi tersebut semakin meningkat sesuai dengan peningkatan daya
tangkap dan pemaknaan manusia sendiri.
Sebagai contoh: Perdamaian hidup merupakan esensi kehidupan
manusia, esensi itu tidak akan hilang walau kenyataannya banyak terjadi
peperangan. Nilai perdamaian semakin tinggi selama manusia mampu
memberi makna terhadap perdamaian itu. Nilai perdamaian itu
berkembang sesuai dengan daya tangkap manusia tentang hakekat
perdamaian.
Pengertian terakhir memberikan pemahaman bahwa nilai tidak
semata-mata ditentukan oleh tingkat kebutuhan manusia terhadap sesuatu,
5 J.R. Fraenkel, How to Teach About Values: An Analitic Approach, (New Jersey:
Prenteice Hall, Inc. 1975), P.6. 6 Sutardjo Adisusilo, “Pendidikan Nilai Dalam Ilmu-Ilmu Sosial -Humaniora”, dalam
A. Atmadi dan Y. Setiyaningsih, (eds.), Pendidikan Nilai Memasuki Milenium Ketiga, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), Cet. 5, hlm. 72.
7 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 62.
15
tetapi tidak pula menafikan nilai yang lebih banyak ditentukan oleh situasi
manusia yang membutuhkan. Karena sebelum berada dalam situasi
dibutuhkan, didalam sesuatu tersebut telah terdapat hal-hal yang melekat
yang akan semakin tinggi nilainya bersamaan dengan semakin
meningkatnya daya tangkap dan pemaknaan manusia. Sebagai misal
garam dibutuhkan manusia karena memiliki sifat asin yang melekat, tanpa
adanya rasa asin pada garam maka garam tidak akan dibutuhkan.
Manakala asin tidak dibutuhkan atau tidak berarti bagi kehidupan manusia
maka garam tidak bernilai.
Demi terpenuhinya kebutuhan pengertian nilai dalam tulisan ini,
merujuk pengertian nilai menurut Chabib Thoha, nilai diartikan sebagai esensi
yang melekat pada sesuatu yang memiliki arti bagi kehidupan manusia.
2. Pengertian Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab.8 Kata akhlak merupakan
bentuk jamak (plural) dari kata khuluqun ( خلق( yang berarti tabi`at, budi
pekerti.9Berdasarkan analisis semantik dari Mc. Donough, kata khuluq
memiliki akar kata yang sama dengan khalaqa ( خلق( yang berarti
menciptakan (to creat) dan membentuk (to shape) atau memberi bentuk (to
give from).10
Dalam bukunya Ahmad Amin ditemukan bahwa pengertian akhlak
adalah “Menangnya keinginan dari beberapa keinginan manusia dengan
langsung berturut-turut”.11 Menurut Imam al-Ghozali, akhlak adalah:
ألخلق عبا رة عن هيئة فىالنفس راسخة عنها تصدر أألفعال بسهولة
12ويسر من غير حا جة الى فكر وروية
8 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an: Tafsir atas pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996) Cet. 2, hlm. 253.
9 A.N. Munawwar, Kamus Al Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), Cet. 25, hlm. 364.
10 Tafsir, at. al., Moralitas Al-qur`an Dan Tantangan Modernitas, (Yogyakarta: Gama Media, 2003) Cet. 1, hlm. 14.
11 Ahmad Amin, Etika (ilmu Akhlak), terj. Farid Ma`ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 63.
16
Keadaan sifat atau cara yang tetap (teguh, berakar) dalam jiwa yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
Lebih lanjut dijelaskan jika yang keluar tersebut berupa perbuatan-
perbuatan bagus dan terpuji maka dinamakan dengan akhlak yang bagus, dan
jika yang keluar tersebut sebagai perbuatan-perbuatan yang jelek, maka
dinamakan dengan akhlak tercela. Perbuatan-perbuatan tersebut berakar, tetap,
teguh atau tertanam dalam jiwa dan tidak terjadi secara kumat-kumatan atau
jarang (kadang dilakukan kadang tidak) atau terjadi karena pertimbangan-
pertimbangan tertentu (serius). Jika perbuatan-perbuatan tersebut terjadi
secara jarang (kadang dilakukan kadang tidak) serta karena pertimbangan-
pertimbangan tertentu(serius)., maka tidak dinamakan akhlak.13
Akhlak sebagaimana pengertian tersebut, baik akhlak yang baik
maupun yang buruk, semuanya didasarkan pada ajaran Islam. Abudin Nata
dalam Akhlak Tasawuf, menuliskan bahwa akhlak Islami berwujud perbuatan
yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging dan kebenarannya
didasarkan pada ajaran Islam.14
Akhlak dalam Islam, disamping mengakui adanya nilai-nilai
universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai yang bersifat
lokal dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal.
Menghormati kedua orang tua merupakan akhlak yang bersifat mutlak dan
universal, sedangkan bagaimana bentuk dan cara menhormati kedua orang tua
sebagai nilai lokal dan atau temporal dapat dimanifestasikan oleh hasil
pemikiran manusia yang dipengaruhi oleh kondisi dan situasi tempat orang
yang menjabarkan nilai universal itu berada.15
Akhlak dalam Islam memiliki sasaran yang lebih luas, yakni
mencakup sifat lahiriyah dan batiniah maupun pikiran sehingga tidak dapat
12 Imam Al-Ghozali, Ihya` ulumuddin, Juz III, (Beirut: Darul Fikr, 2002), hlm. 57. 13 Ibid. 14 Abudin Nata, akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 3, hlm.
145. 15 Ibid., hlm. 146.
17
disamakan dengan etika,16karena dalam etika atau moral terbatas pada sopan
santun antar sesama manusia saja serta hanya berkaitan dengan tingkah laku
lahiriah.17
3. Ruang Lingkup Nilai-Nilai Akhlak Islam
Dalam bukunya Abudin Nata Akhlak Tasawuf, ruang lingkup akhlak
dalam Islam dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: 1) Akhlak terhadap Allah.
2) Akhlak terhadap sesama manusia. 3) Akhlak terhadap lingkungan.18
a. Akhlak Terhadap Allah
Akhlak terhadap Allah adalah sikap atau perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Tuhan (Allah) sebagai
Khalik.19
Sikap atau perbuatan tersebut bertitik tolak pada pengakuan dan
kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Allah memiliki sifat-sifat
terpuji, demikian agung sifat itu, jangankan manusia, malaikatpun tidak akan
mampu menjangkau hakikatnya.20Pengakuan dan kesadaran akan tidak
adanya Tuhan melainkan Allah dan pengakuan serta kesadaran akan sifat-
sifat Allah yang demikian agung, akan menjadikan sikap dan perbuatan yang
seharusnya dilakukan oleh manusia terhadap Allah menjadi sebuah
kewajaran, kepatutan dan konsekuensi.
Banyak bentuk akhlak terhadap Allah, di antaranya:
1) Beribadah kepada Allah, sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran
Surat al-Dzariyat, 51:56, sebagai berikut:
(56 :الذاريات (ما خلقت الجن واالنس اال ليعبدون و
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Q.S. al-Azariyat, 51: 56)21
16 M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 261. 17 Abudin Nata, op. cit., hlm. 146. 18 Ibid., hlm. 147. 19 Ibid. 20 M. Quraish Sihab, op. cit., hlm. 262. 21 T.M. Hasbi Ashshiddiqie, dkk., Al-Qur`an Dan Terjemahnya, (Medinah: Mujamma`
al-Malik Fahd Li thiba`at al-Mush-haf al-syarif, 1994).
18
2) Bertakwa kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Quran Surat Ali
Imran, 3: 102.
امنوا اتقوااهللا حق تقا ته وال تمو تن اال وانتم يا ايها الذين
)١٠٢: ال عمران (مسلمون Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya. (Q.S. Ali Imran, 3:102)22
3) Mencintai Allah, sebagaimana telah tercantum dalam Quran Surat al-
Baqarah, 2:165.
)١٦۵: ال بقرة (والذين امنوا اشد حبا هللا Adapun orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah. (Q.S. al-Baqoroh, 2:165)23
Masih banyak lagi bentuk-bentuk akhlak terhadap Allah seperti tidak
menyekutukan Allah, taubat atas segala dosa, syukur atas nikmat Allah,
berdo`a dan lain-lain.
b. Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Akhlak terhadap sesama manusia adalah sikap dan perbuatan yang
seharusnya dilakukan oleh manusia terhadap sesama manusia pula.24
Akhlak terhadap sesama manusia ini merupakan penjabaran dari
akhlak terhadap makhluk sebagaimana dituliskan diatas. Terdapat banyak
sekali perincian yang dikemukakan dalam al-Quran atau hadits berkaitan
dengan sikap dan perbuatan terhadap sesama manusia, Diantaranya:
1) Berucap dengan ucapan yang tidak menyakiti perasaan, ucapan yang
baik dan benar (sesuai dengan lawan bicara), sebagaimana ditunjukkan
dalam al-Quran Surat al-Baqoroh, 2:263, 83 dan al-Ahzab, 33:70 sebagai
berikut:
22 TM. Hasbi Ashshiddiqie, dkk., op. cit hlm. 92. 23 Ibid., hlm. 41. 24 Abudin Nata, op. cit., hlm. 150.
19
قول معروف ومغفرة خير من صدقة يتبعها اذى واهللا غني حليم
)٢٦٣: البقرة ( Perkataan yang baik dan pemberian ma`af, lebih baik dari sedekah yang diiringi sesuatu yang menyakitkan (perasaan penerima). Allah Maha kaya lagi Maha penyantun. (Q.S. al-Baqarah, 2:263)25
)٨٣: البقرة (وقولوا للناس حسنا Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia. (Q.S. al-Baqoroh, 2:83)26
)٧٠: االحزاب (وقولوا قوال سديدا Dan katakanlah perkataan yang benar. (Q.S. al-Ahzab, 33:70)27
2) Mendahulukan kepentingan orang lain, sebagaimana disebutkan dalam
Qur`an Surat al-Hasyr, 59:9.
)٩: ر الحش(ويؤثرون على انفسهم
Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri. (Q.S. al-Hasyr, 59:9)28
3) Bertanggung jawab, sebagaimana disebutkan dalam Qur`an Surat al-
Isra`, 17:15.
)١۵: االسراء (وال تزروازرة وزر اخرى
Dan seseorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain. (Q.S. al-Isra`, 17:15)29
Masih banyak lagi, seperti amanah, kasih saying, mengembangkan
harta anak-anak yatim, memaafkan, membalas kejahatan dengan kebaikan,
mengajak kepada kebaikan dan melarang kejahatan dan lain-lain.
d. Akhlak Terhadap Lingkungan
25 TM. Hasbi Ashshiddiqie, dkk., op. cit hlm. 66. 26 Ibid., hlm. 23. 27 Ibid., hlm. 680. 28 Ibid., hlm. 917. 29 Ibid., hlm. 427.
20
Yang dimaksud dengan lingkungan yaitu segala sesuatu yang berada
disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda
tak bernyawa.
M. Quraish Shihab menyatakan bahwa akhlak yang diajarkan al-
Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai kholifah,
yang dengan fungsi tersebut menuntut adanya interaksi antara manusia
dengan sesamanya dan manusia dengan alam.30
Kekholifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta
pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptannya.31 Fungsi
manusia sebagai kholifah, manusia dituntut dapat melakukan pengayoman,
pemeliharaan serta pembimbingan terhadap alam lingkungan. Manfaat dari
khalifah tersebut semuanya adalah untuk kebaikan manusia sendiri.
Semua yang ada baik dilangit maupun dibumi serta semua yang
berada diantara keduanya adalah ciptaan Allah yang diciptakan dengan haq
dan pada waktu yang ditentukan. Sebagaimana yang telah difirmankan
dalam al-Quran Surat al-ahqaf, 46:3 sebagai berikut:
لسموت واالرض وما بينهما اال بالحق واجل مسمى ما خلقنا ل)٣:االحقاف (
Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta semua yang berada diantara keduanya, kecuali dengan (tujuan) yang haq dan pada waktu yang ditentukan. (Q.S. al-Ahqaf. 46:3)32
Semuanya itu merupakan amanat bagi manusia yang harus di
pertanggungjawabkan. Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap
angin sepoi yang berhembus di udara dan setiap tetes air hujan yang tercurah
dari langit akan dimintakan pertanggungjawaban manusia menyangkut
pemeliharan dan pemanfaatannya. Demikian kandungan penjelasan Nabi
Muhammad saw. Tentang firman Allah dalam surat al-Takatsur, 102:8
sebagai berikut:
30 M. Quraish Shihab, op.cit., hlm270. 31 Ibid. 32 TM. Hasbi Ashshiddiqie, dkk., op. cit hlm. 822
21
)٨:التكاثر (ثم لتسئلن يومئذ عن النعيم Kamu sekalian pasti akan diminta untuk mempertanggungjawabkan nikmat ( yang kamu peroleh). (Q.S. al-Takaatsur. 102:8)33
Selain pembagian ruang lingkup akhlak dalam Islam yang dikutip
dari bukunya Abudin Nata tersebut di atas, ditemukan juga pembagian yang
berbeda dari Abdullah Darraz. Sebagaimana dikutip Hasan Langgulung dalam
bukunya Asas-Asas Pendidikan Islam, Abdullah Darraz membagi ruang
lingkup akhlak dalam Islam ke dalam 5 (lima) bagian sebagai berikut:34
1) Akhlak pribadi (al-akhlak al-fardiyah). Meliputi: Yang diperintahkan
seperti sidiq, istikomah, iffah, mujahadah, syajaah, tawadhuk, al-shobr
dan lain-lain, dan yang dilarang seperti bunuh diri, sombong, dusta dan
lain-lain.
2) Akhlak dalam keluarga (al-Akhlak al-usariyah). Meliputi: Kewajiban
timbal balik orang tua dan anak, kewajiban antara suami istri, kewajiban
terhadap karib kerabat.
3) Akhlak sosial (al-akhlak al-ijtima’iyah). Meliputi: Yang terlarang seperti
membunuh, tolong-menolong dalam kejahatan, mencuri dan lain-lain,
yang diperintahkan seperti menepati janji, memaafkan, membalas
kejahatan dengan kebaikan dan lain-lain, dan tata tertib kesopanan seperti
meminta izin jika hendak bertamu, memanggil orang lain dengan
panggilan yang baik dan lain-lain.
4) Akhlak dalam negara (al-akhlak al-daulah). Meliputi: Hubungan kepala
negara dengan rakyat dan hubungan-hubungan luar negeri.
5) Akhlak agama (al-akhlak al-diniyah). Meliputi: Taat, memikirkan ayat-
ayat Allah, memikirkan makhluk-Nya, beribadah, tawakkal, rela dengan
kadha kadar dan lain-lain.
Memperhatikan Pembagian ruang lingkup akhlak dalam Islam dari
Abudin Nata dan pembagian dari Abdullah Darraz di atas, terdapat perbedaan
33 Ibid., hlm. 1096 34 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakata: Pustaka Al-Husna Baru,
2005), Cet. 5, hlm. 365.
22
dalam hal bagian-bagiannya, namun perbedaan tersebut justru saling
melengkapi. Pembagian dari Abudin Nata tidak memuat secara langsung
akhlak pribadi, bernegara, dan berkeluarga, sedangkan dalam pembagian
menurut Abdullah Darraz tidak terdapat akhlak terhadap lingkungan.
B. Internalisasi Nilai-Nilai Akhlak Islam Terhadap Tingkah Laku Siswa
1. Pengertian Internalisai Nilai
Internalisasi nilai adalah proses menjadikan nilai sebagai bagian dari
diri seseorang.35 Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses tersebut tercipta dari
pendidikan nilai dalam pengertian yang sesungguhnya, yaitu terciptanya
suasana, lingkungan dan interaksi belajar mengajar yang memungkinkan
terjadinya proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai. Demikian pendapat
Soedijarto.36
Menurut Chabib Thoha, internalisasi nilai merupakan teknik dalam
pendidikan nilai yang sasarannya adalah sampai pada pemilikan nilai yang
menyatu dalam kepribadian peserta didik.37
Dengan begitu, intenalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap
tingkah laku siswa di simpulkan sebagai “usaha sekolah untuk mewujudkan
terjadinya proses internalisasi nilai-nilai akhlak pada diri siswa sehingga
berpengaruh terhadap tingkah laku siswa”.
2. Tujuan Internalisasi Nilai
Sebelumnya akan di kemukakan terlebih dahulu tujuan pendidikan
nilai-nilai ketuhanan, karena internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam
terkait erat dengan pendidikan nilai-nilai agama, bahkan menurut Jalaluddin,
pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai.38
Tujuan pendidikan nilai-nilai keTuhanan adalah supaya siswa dapat
memiliki dan meningkatkan terus-menerus nilai-nilai iman dan takwa
kepada Tuhan YME sehingga dengan pemilikan dan peningkatan nilai-nilai
35 Soedijarto, Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan Dan Bermutu, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1993), Cet. 4, hlm. 14. 36 Ibid., hlm. 128. 37 Chabib Toha, op.cit., hlm. 87-93. 38 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), Cet. 5, hlm.
220.
23
tersebut dapat menjiwai tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.39
Sedangkan tujuan internalisasi nilai-nilai Islam berupa pemilikan nilai-nilai
Islam yang menyatu dalam kepribadian peserta didik.40
Tujuan internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah
laku siswa adalah pemilikan nilai-nilai akhlak Islami yang menyatu dalam
kepribadian peserta didik.
Sebagai bangsa yang memiliki landasan yuridis, pancasila sebagai
landasan yuridis pendidikan nilai dalam konteks pendidikan nasional, sila-
sila yang terdapat di dalamnya dengan jelas menempatkan nilai ketuhanan
sebagai bagian penting dengan beradanya dia pada urutan pertama41dan
merupakan kriteria kepribadian yang akan di tumbuh kembangkan dalam
pendidikan nilai di dalam pendidikan nasional.
Tujuan dari internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam tersebut akan
sangat dibutuhkan dalam pengembangan strategi internalisasi nilai-nilai
akhlak dalam Islam di Sekolah.
3. Tahapan Dalam Proses Internalisasi Nilai Dan Upaya-Upaya Yang
Dilakukan
Untuk sampai pada tingkatan menjadinya suatu nilai bagian dari
kepribadian siswa yang tampak dalam tingkah laku, memerlukan proses
dengan tahapan-tahapan yang harus dilalui. Lawrance Kohlberg
mengembangkan teori yang merupakan validasi dari teori yang
dikembangkan oleh Dewey dan Jhon Piaget. Tahap-tahap tersebut dijelaskan
sebagai berikut:42
a. Proconventional level, yang terdiri dari:
1) Punishment-obidience orientation, yang terdapat pada anak-anak kecil
dimana perbuatan-perbuatannya masih sangat tergantung kepada
hukuman dan pujian yang diberikan oleh orang tuanya.
39 Chabib Thoha, op. cit., hlm. 72. 40 Ibid., hlm. 93. 41 Rahmat Mulyana, op. cit., hlm. 152. 42 Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002), Cet. 5, hlm. 107.
24
2) The instrumental-relativist orientation, sifat hukuman dan ganjaran
disini tidak lagi bersifat fisik tetapi sudah menggunakan pendekatan non
fisik. Tahap ini terdapat pada anak-anak remaja.
b. Conventional level, yang terdiri dari:
1) The interpersonal concordance orientation, dimana pada tahap remaja
awal mulailah terjadi pembentukan nilai dimana individu mencoba
tingkah laku sesuai dengan apa yang diharapkan dari masyarakat.
2) The law and order prientation. Tahap ini dimiliki oleh orang dewasa
muda, pada tahap ini orang berbuat dengan mempertimbangkan
kepentingan orang banyak agar masyarakat tidak terganggu
ketentramannya.
c. Principle level, tahap ini terjadi pada orang dewasa yang terjadi dari dua
tingkatan yakni:
1) The social contract legalistic orientation, pada tahap ini orang
bertindak dengan mempetimbangkan bahwa ia mempunyai kewajiban-
kewajiban tertentu kepada masyarakat dan masyarakatpun mempunyai
kewajiban-kewajiban tertentu kepadanya. Orientasi disini sudah lebih
luas dari pada tahap-tahap sebelumnya. Akan tetapi masih terikat dengan
kondisi masyarakat tertentu dimana ia hidup.
2) Tahap tertinggi adalah tahap The universal ethical principle orientation,
pada tahap ini individu sudah menemukan nlai-nilai yang dianggapnya
berlaku (univesal) dan nilai-nilai itu dijadikan prinsip yang
mempengaruhi sikap individunya.
Teori dari L. Kohlberg ini didasarkan pada tahap-tahap
perkembangan usia anak, sehingga teori tersebut akan sangat membantu
dalam menentukan strategi internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam
terhadap tingkah laku siswa untuk usia tertentu. Penentuan strategi hanya
berdasarkan pada segi usia saja belum cukup, tetapi diperlukan pula dasar
pada bagaimana dan dari arah mana nilai itu terbentuk.
Di bawah ini akan penulis kemukakan tahap-tahap internalisasi nilai
dilihat dari mana dan bagaimana nilai menjadi bagian dari pribadi seseorang.
25
Secara taksonomi, tahap-tahap tersebut menurut David R. Krathwohl dan
kawan-kawannya sebagaimana dikutip Soedijarto sebagai berikut:43
a. Tahap receiving (menyimak). Yaitu tahap mulai terbuka menerima
rangsangan, yang meliputi penyadaran, hasrat menerima pengaruh dan
selektif terhadap pengaruh tersebut. Pada tahap ini nilai belum terbentuk
melainkan masih dalam penerimaan dan pencarian nilai.
b. Tahap responding (menanggapi). Yaitu tahap mulai memberikan
tanggapan terhadap rangsangan afektif yang meliputi: Compliance
(manut), secara aktif memberikan perhatian dan satisfication is respons
(puas dalam menanggapi). Tahap ini seseorang sudah mulai aktif dalam
menanggapi nilai-nilai yang berkembang di luar dan meresponnya.
c. Tahap valuing (memberi nilai). Yaitu tahap mulai memberikan penilaian
atas dasar nilai-nilai yang terkandung didalamnya yang meliputi:
Tingkatan percaya terhadap nilai yang diterima, merasa terikat dengan
nilai-nilai yang dipercayai dan memiliki keterikatan batin (comitment)
untuk memperjuangkan nilai-nilai yang diterima dan diyakini itu.
d. Tahap mengorganisasikan nilai (organization). Yaitu mengorganisaikan
berbagai nilai yang telah diterima yang meliputi: Menetapkan kedudukan
atau hubungan suatu nilai dengan nilai lainnya. Misalnya keadilan sosial
dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawartan/perwakilan. Dan mengorganisasikan system nilai dalam
dirinya yakni cara hidup dan tata perilaku sudah didasarkan atas nilai-nilai
yang diyakini.
e. Penyatu ragaan nilai-nilai dalam suatu sistem nilai yang konsisten.
Meliputi: Generalisasi nilai sebagai landasan acuan dalam melihat dan
memandang masalah-masalah yang dihadapi, dan tahap karakterisasi,
yakni mempribadikan nilai tersebut.
Tahap-tahap internalisasi nilai dari Krathwhol tersebut oleh
Soedijarto dikerucutkan menjadi tiga tahap yaitu:44
43 Sudijarto, op. cit., hlm. 145-146. 44 Soedijarto, op. cit., hlm. 150
26
1) Tahap pengenalan dan pemahaman
2) Tahap penerimaan
3) Tahap pengintegrasian
Terdapat upaya-upaya yang harus dilakukan dalam setiap tahap
tersebut, sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
a. Tahap pengenalan dan penerimaan.
Yaitu tahap pada saat seseorang mulai tertarik memahami dan
menghargai pentingnya suatu nilai bagi dirinya. Pada saat ini proses
belajar yang ditempuh pada hakekatnya masih bersifat kognitif. Pelajar
akan belajar dengan nilai yang akan ditanamkan melalui belajar kognitif.
Oleh Chabib Thoha tahap ini disebut dengan tahap transformasi nilai
dimana pada saat pendidik menginformasikan nilai-nilai yang baik dan
buruk kepada peserta didik, yang sifatnya semata-mata sebagai
komunikasi teoritik dengan menggunakan bahasa verbal. Pada saat ini
peserta didik belum bisa melakukan analisis terhadap informasi untuk
dikaitkan dengan kenyataan empirik yang ada dalam masyarakat.45
Pada tahap pengenalan dan pemahaman ini diantara dari metode-
metode yang digunakan adalah:
- Ceramah. Metode ini pendidik menginformasikan nilai-nilai yang baik
dan buruk kepada peserta didik.
- Penugasan. Siswa diberi tugas untuk menuliskan kembali
pengetahuannya tentang sesuatu nilai yang sedang dibahas dengan
bahasa mereka sendiri. Selain itu dapat pula siswa diberi tugas untuk
menelaah berbagai peristiwa yang mengandung nilai yang sejajar atau
bahkan kontradiktif.
- Diskusi. Curah pendapat dan tukar pendapat dalam diskusi terbuka
yang terpimpin dan diikuti oleh seluruh kelas , baik melalui kelompok
besar maupun kecil untuk mempertajam pemahaman tentang arti suatu
nilai.
45 Chabib Thoha, op. cit., hlm. 93
27
Hanya memahami dan menghargai pentingnya suatu nilai belum
berarti bahwa nilai itu telah diterima dan dijadikan kerangka acuan dalam
perbuatan, cita-cita dan pandangannya. Untuk itu proses pendidikan perlu
memasuki tahap berikutnya yaitu penerimaan.
b. Tahap Penerimaan
Yaitu tahjap pada saat seseorang pelajar mulai meyakini kebenaran
suatu nilai dan menjadikannya sebagi acuan dalam tindakan dan
perbuatannya.
Suatu nilai diterima oleh seseorang karena nilai itu sesuai dengan
kepentingan dan kebutuhannya, dalam hubungannya dengan dirinya
sendiri dan dengan lingkungannya. Agar suatu nilai dapat diterima
diperlukan suatu pendekatan belajar yang merupakan suatu proses sosial.
Pelajar merasakan diri dalam konteks hubungannya dengan lingkungannya
bukan suatu proses belajar yang menempatkan pelajar dengan suatu jarak
dengan yang sedang dipelajari. Suatu kehidupan sosial yang nyata yang
menempatkan pelajar sebagai salah satu aktornya memang sukar
dikembangkan dalam situasi pendidikan disekolah. Tanpa diciptakannya
suatu suasana dan lingkungan belajar yang memungkinkan soaialisasi,
sukar bagi kaum pendidik untuk mengharapkan terwujudnya suatu nilai
atau suatu gugus nilai dalam diri pelajar.
c. Tahap Pengintegrasian
Yaitu tahap pada saat seorang pelajar memasukkan suatu nilai dalam
keseluruhan suatu sistem nilai yang dianutnya. Tahap ini seorang pelajar
telah dewasa dengan memiliki kepribadian yang utuh, sikap konsisten
dalam pendirian dan sikap pantang menyerah dalam membela suatu nilai.
Nilai yang diterimanya telah menjadi bagian dari kata hati dan
kepribadiannya.
4. Strategi, Pendekatan dan Metode Dalam Internalisasi Nilai
Masing-masing dari strategi, pendekatan dan metode internalisasi
nilai-nilai semuanya memiliki model-model tersendiri. Diantara model-
28
model tersebut ada yang sesuai untuk diterapkan dalam internalisasi nilai-
nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa dan ada yang tidak.
Berikut akan dikemukakan model-model tersebut sekaligus akan
dikemukakan pula secara lebih lanjut model-model yang sesuai untuk
diterapkan dalam internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap
tingkah laku siswa.
a. Strategi
Menurut Noeng Muhadjir, model-model dalam strategi ini adalah:
strategi tradisional, strategi bebas, strategi reflektif dan strategi
transinternal.46Dan yang sesuai untuk internalisasi nilai-nilai keagamaan
adalah strategi transinternal.47
Strategi transinternal merupakan cara untuk mengajarkan nilai
dengan jalan melakukan transformasi nilai, dilanjutkan dengan transaksi
dan transinternalisasi.
Strategi ini guru dan siswa sama-sama terlibat dalam proses
komunikasi yang aktif dan tidak hanya melibatkan komunikasi verbal dan
komunikasi fisik, melainkan adanya komunikasi batin (batin) antara guru
dan siswa.
Guru berperan sebagai penyaji informasi, pemberi contoh dan
teladan serta guru sebagai sumber nilai yang melekat dalam pribadinya
sedangkan siswa menerima informasi dan merespon terhadap stimulus
guru secara fisik biologis, serta memindahkan dan mempolakan pribadinya
untuk menerima nilai-nilai kebenaran sesuai dengan kepribadian guru
tersebut.48
b. Pendekatan
Model-model pendekatan ini adalah: Model pendekatan doktriner,
pendekatan otoritatif, pendekatan kharismatik, pendekatan action,
pendekatan rasional, pendekatan penghayatan dan pendekatan efektif.
46 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001) Cet.1, hlm. 173-176. 47 Chabib Thoha, op. cit., hlm. 80. 48 Ibid.
29
Yang sesuai untuk internalisasi nilai-nilai adalah pendekatan penghayatan,
rasional, efektif dan kharismatik.49
1) Pendekatan Penghayatan
Penghayatan sebagai pendekatan pendidikan nilai dikembangkan
dengan jalan melibatkan siswa dalam kegiatan empirik keseharian tetapi
lebih menekankan keterlibatan aspek efektifnya daripada rasionalnya,
dengan demikian diharapkan tumbuh kesadaran akan kebenaran.50
Melibatkan siswa dalam kegiatan-kegiatan empiric keseharian, siswa
dapat melihat contoh dalam masyarakat, melihat akibatnya dan prosesnya,
sehingga kesan-kesan yang ditimbulkannya lebih berpengaruh dan tahan
lama. Penghayatan ini merupakan salah satu pengakuran (conformity)
yang paling kuat dampaknya.51
Pendekatan penghayatan ini sesuai untuk pendidikan akhlak Islam
yang sasarannya adalah menyatunya nilai-nilai akhlak dalam diri peserta
didik yang eternal.
2) Pendekatan rasional
Untuk menanamkan kesadaran tentang nilai baik dan benar
adakalanya harus dimulai dari kesadaran rasional, sebab proses
pertumbuhan efek sebenarnya tidak terlepas sama sekali dengan
pertumbuhan rasional.
Informasi-informasi tentang nilai baik dan benar yang masuk melalui
kesadaran rasional akan diolah secara psikologis yang melahirkan sikap
efektif terhadap objek nilai tersebut. Bila simpulan rasionalnya
menanggapi uatu objek secara salah dan tidak benar, maka akan
melahirkan sikap efektif yang cenderung menjauh dan tidak menyukai
nilai-nilai tersebut. Sebaliknya jika kesadaran rasionalnya menerima objek
nilai itu sebagai kebenaran, maka sikap efektifnya akan memberikan
49 Chabib Thoha, op. cit., hlm. 80-84. 50 Chabib Thoha, Ibid., hlm. 82. 51 Hasan Langgulung, op. cit., hlm. 371.
30
dorongan untuk menyenangi, menyetujui, menghargai terhadap nilai-
nilai.52
Melalui kesadaran rasional ini siswa tidak hanya berdasarkan apa
yang diketahui atau telah terbiasa saja, tetapi dilihat dahulu kebenarannya
sesuai dengan rasio.
3) Pendekatan efektif
Pendidikan nilai dengan pendekatan efektif ini dilakukan melalui
proses emosional yang menumbuhkah motifasi untuk berbuat.53 Dalam
pendekatan ini diusahakan untuk menggugah emosi dan perasaan peserta
didik untuk meyakini, memahami nilai-nilai serta memberi motifasi agar
peserta didik dapat mengamalkannya tanpa pamrih.54
4) Pendekatan kharismatik
Kharismatik sebagai pendekatan pendidikan nilai sesuai untuk
strategi pendidikan yang memberi contoh artinya siswa dengan melihat
dan mengamati kepribadian seseorang yang memiliki konsistensi dan
keteladanan yang dapat diandalkan, akan tumbuh kesadaran untuk
menerima nilai-nilai tersebut sebagai nilai yang baik dan benar.55
Tanpa adanya kharisma dalam pribadi pendidik, maka pendidik
kurang dapat memberikan pengaruh terhadap peserta didik, karena akan
ada banyak hal yang keluar dari pendidik baik berupa perbuatan atau
perkataan yang patut di contoh hanya berlalu saja dihadapan siswa.
c. Metode
Model-model dari metode ini yaitu: Metode dogmatic, metode
deduktif dan metode reflektif. Yang sesuai untuk internalisasi nilai-nilai
keagamaan adalah metode deduktif atau reflektif56
1) Metode deduktif
52 Chabib Thoha, op. cit., hlm. 83 53 Ibid., hlm. 84 54 Muhaimin, op. cit., hlm. 174. 55 Chabib Thoha, op. cit., hlm. 81 56 Ibid., hlm. 85-87.
31
Metode ini berangkat dari kebenaran sebagai teori atau konsepsi
yang memiliki nilai-nilai baik, selanjutnya ditarik beberapa contoh kasus
dari kehidupan keseharian masyarakat atau ditarik ke dalam nilai-nilai lain
yang lebih sempit ruang lingkupnya.57
d. Metode reflektif
Metode ini merupakan gabungan dari metode deduktif dan induktif.
Yakni mengajarkan nilai dengan jalan membalik antara memberikan
konsep secara umum kemudian menerapkan dalam praktek kehidupan
sehari-hari, atau dari melihat kasus kemudian mempelajari sistemnya.
Penerapan metode ini dapat mengatasi kekurangan metode deduktif
yang kadangkala kurang bersifat empiric dan sekaligus mengatasi
kekurangan metode induktif terlalu beririentasi pada hal-hal yang empirik
dan terkadang mengabaikan unsure empirik.58
C. Aspek-Aspek Yang Perlu Dikembangkan Dalam Internalisasi Nilai-
Nilai Akhlak Islam Terhadap Tingkah Laku Siswa
1. Kegiatan-Kegiatan Ekstrakurikuler Keagamaan
Kegiatan ekstrakurikuler yang keberadaannya sering dibedakan dari
kegiatan-kegiatan intrakurikuler merupakan usaha pendidikan yang
melibatkan proses penyadaran nilai sampai pada internalisasi
nilai.59Kegiatan ekstrakurikuler yang dimaksud yaitu kegiatan yang
dilakukan di luar jam pelajaran yang bertujuan untuk melatih siswa pada
pengalaman-pengalaman nyata . Sedangkan kegiatan intrakurikuler yaitu
kegiatan pembelajaran yang sering dilakukan di ruang kelas dengan
orientasi kemampuan akademis.
Pendidikan nilai dalam kegiatan ekstrakurikuler yang dikembangkan
berupa pengalaman-pengalaman yang bersifat nyata yang dapat membawa
siswa pada kesadaran atas sesama, lingkungan dan Allah melalui kegiatan-
kegiatan seperti peringatan hari besar Islam (PHBI), pesantren kilat,
kelompok-kelompok qasidah atau tilawah Quran. Menurut Rahmat
57 Ibid. 58 Ibid., hlm. 87. 59 Rahmat Mulyana, op. cit., hlm. 21.
32
Mulyana, kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler ini proses pembelajaran nilai
secara terpadu sering terjadi karena nilai dikembangkan melalui paket
kegiatan yang memungkinkan siswa berinteraksi dengan teman, guru,
masyarakat, benda, alat, fasilitas, hewan, tumbuhan, sistem organisasi dan
lain-lain yang membawa mereka pada kesadaran nilai, moral, etika,
estetika, bahkan pada kesadaran nilai ilahiyah.
Waktu tatap muka yang digunakan secara efektif untuk
mengembangkan pengalaman otentik yang bernilai dapat dipastikan
kurang bila dibandingkan dengan jumlah waktu efektif diluar
kelas.60Kesadaran nilai dan internalisasi nilai adalah dua proses pendidikan
nilai yang terkait langsung dengan pengalaman-pengalaman pribadi
seseorang.61Oleh karena itu peserta didik membutuhkan keterlibatan
langsung dalam cara, kondisi dan peristiwa pendidikan diluar jam tatap
muka atau yang sering disebut kegiatan ekstrakurikuler.
Begitu internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam yang hanya
dengan mengandalkan kegiatan intrakurikuler saja tidak akan dapat
menjamin berlangsungnya penyadaran nilai dan internalisasi nilai-nilai
akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa berlangsung secara
optimal. Untuk itu dalam internalisasi nilai-nilai dalam Islam terhadap
tingkah laku siswa kegiatan ekstrakurikuler perlu dikembangkan dalam
beragam cara dan isi di sebuah institusi pendidikan demi tercapainya
tujuan pendidikan nilai.
2. Lingkungan
Ki Hajar Dewantara memproklamirkan adanya tiga lingkungan yang
disebut sebagai tripusat pendidikan.62Tiga lingkungan tersebut yaitu
sekolah, keluarga dan masyarakat. Program pengembangan pendidikan
Nasional ketiganya menjadi wilayah garapan pendidikan yang tercantum
dalam UU Sisdiknas dan sering disebut sebagai lingkungan formal,
informal dan nonformal.
60 Ibid., hlm. 214. 61 Ibid. 62 Ibid., 141.
33
Sebagai salah satu tripusat pendidikan, sekolah atau lingkungan
pendidikan formal perlu dikondisikan sebaik mungkin sehinga
memungkinkan terjadinya proses internalisasi nilai-nilai akhlak dalam
Islam terhadap tingkah laku siswa. Qodri Azizy berpendapat bahwa perlu
dibangun sebuah wacana publik berupa etika lingkungan.63 Kemudian
disosialisasikan dan berusaha dipraktekkan untuk pendidikan kita.
Memang tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri bernama “etika
lingkungan”, yang lebih penting justru praktiknya, sedangkan
pengajarannya dapat digabungkan pada mata pelajaran lain termasuk
kedalam mata pelajaran agama dan civic education.
Sebagai salah satu bentuk sistem sosial tempat siswa berinteraksi
antara satu dengan lainnya, lingkungan sekolah dapat dipastikan
melibatkan beragam nilai kehidupan. Nilai-nilai itu dapat berupa hasil dari
pengembangan sejumlah ketentuan formal seperti kerapian, kedisiplinan,
tangguing jawab dan kesehatan. Selain itu sekolah adalah tempat
bertemunya nilai-nilai kehidupan yang lahir secara pribadi yang dilahirkan
dalam bentuk pikiran, ucapan dan tindakan perorangan.
Nilai-nilai yang direfleksikan melalui penampilan perorangan
tersebut, akan sangat berarti terhadap terciptanya suasana sekolah yang
dapat dijadikan sebagi tempat pendidikan nilai.
Ibnu Sina, seorang filosof, dokter jiwa serta pakar dalam pendidikan
Islam, menyatakan: “JIka anak berada di maktab (kuttab) bergaul dengan
sesama anak yang berakhlak akan terjadi interaksi edukatif, satu sama lain
saling meniru dan dengan demikian ia menjadi dasar budinya”.64
Peningkatan peran sekolah sebagai wahana pendidikan nilai perlu
memadukan kekuatan ketentuan-ketentuan formal yang dibangun melalui
sejumlah aktivitas belajar yang terintegrasi baik dalam kegiatan
intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Kekuatan komunitas pendidikan
63 Qodri A. Azizy, Pendidikan Untuk Membangun Etika sosial Mendidik Anak Sukses
Masa Depan Pandai Dan Bermanfaat, (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), hlm 112. 64 Ali al-Jumbulati dan Abdul Fatah at Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
terj. H.M. Arifin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994) Cet.1, hlm. 121.
34
yang dibangun secara sukarela oleh setiap insan pendidik melalui contoh-
contoh perilaku yang bernilai. Cara demikian akan mampu menjadikan
sekolah berperan secara optimal dalam penyadaran nilai-nilai akhlak
dalam Islam dan pendidik benar-benar bertindak sebagai loco parentis
(peran pengganti orang tua).65
3. Keteladanan
Keteladanan merupakan salah satu faktor yang akan ikut menentukan
terhadap keberhasilan proses internalisasi nilai-nilai akhlak Islam.
Penyadaran nilai yang optimal disekolah diperlukan peningkatan peran
sekolah sebagai wahana pendidikan nilai dengan komunitas pendidikan
yang dibangun secara sukarela lewat contoh-contoh yang diciptakan
dilingkungan sekolah .
Proses belajar mengajar guru juga memiliki tugas membantu
pembentukan kepribadian, pembinaan akhlak serta menumbuh
kembangkan keimanan dan ketaqwaan para peserta didik.66 Usaha ersebut
pemberian teladan atau contoh-contoh yang baik untuk siswa patut
dilakukan. Karena salah satu tipe moral yang terlihat pada para remaja
adalah mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.67
Ibnu Khaldun, sebagai salah satu pemikir termasyhur yang telah
menyumbangkan buah pikirannya untuk kesempurnaan dan kemajuan
bidang pendidikan Islam berdasarkan al-Qur`an dan sunnah, untuk
menyatakan pandangannya tentang keteladanan ini beliau mengutip apa
yang ditulis Amru bin Utbah kepada pendidik anaknya sebagai berikut:
Agar supaya anak saya menjadi baik, terlebih dahulu hendaknya anda memperbaiki diri anda sendiri, karena pandangan mata mereka terpaku pada pandangan mata anda. Jika pandangan mata mereka baik, karena sesuai dengan apa yang anda perbuat, dan jika jelek itu karena anda meninggalkannya.68
65 Rahmat Mulyana, op. cit., hlm. 142. 66 Zakiah Darajat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga Dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama,
1995), hlm. 99. 67 Jalaluddin, op. cit., hlm. 76. 68 Ali al-Jumbulati dan Abdul Fatah at Tuwaanisi, op. cit., Hlm. 216.
35
Disamping itu, hubungannya dengan keteladanan ini Imam al
Ghozali menyatakan:
Perumpamaan seorang guru terhadap muridnya adalah seperti goresan diatas tanah liat yang kering (tembikar) dan bayangan dari sebuah tongkat, bagaimana mungkin tembikar mendapat goresan bila tidak ada yang menggoreskannya dan kapankah sebuah bayangan menjadi lurus jika tongkat itu bengkok.69
Dalam ungkapan tersebut, al Ghozali menghendaki agar seorang
guru menjadi contoh teladan yang baik bagi murid-muridnya. Nabi
Muhammad SAW sendiri sebagai Rosulullah (utusan Allah) untuk
menyampaikan agama Islam kepada umat manusia dimuka bumi dalam
menjalankan misinya yakni menyempurnakan akhlak yang mulia tidak
lepas dari pemberian teladan. Dan secara langsung oleh Allah beliau di
Nash sebagai seseorang yang memiliki suri teladan yang baik sebagaimana
dalam surat al Ahzab ayat 21 sebagai berikut:
اهللا واليوم لقد آان لكم فى رسول اهللا اسوة حسنة لمن آان يرجوا
)٢١: االحزاب(خر وذآر اهللا آثيرا اال Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagai orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al ahzab. 33:21)70
Hal itu menunjukkan bahwa keteladanan merupakan factor yang
berada pada posisi crusial dalam usaha internalisasi nilai-nilai akhlak
Islam terhadap tingkah laku siswa di sebuah lembaga pendidikan. Nilai-
nilai yang hendak diinternalisasikan akan sulit diserap siswa jika tanpa
teladan pendidik. Jangankan dapat sampai pada tahap penerimaan (satu
tahap dari internalisasi nilai-nilai yang menuntut peran situasi lingkungan,
diantaranya adalah peneladanan) bila pada tahap pengenalan dan
pemahaman (transformasi nilai dari pendidik ke siswa) sebagai tahap awal
tidak dilalui terlebih dahulu.
69 Ibid.,hlm. 143. 70T.M. Hasbi Ashshiddiqie, dkk., op.cit.,hlm. 686.
36
Bisa terjadi demikian disebabkan siswa akan mengikuti proses
belajar mengajar dikelas dengan senang hati dan penuh semangat jika sang
guru dapat menampilkan teladan-teladan yang baik serta bersikap dan
berprilaku sesuai dengan materi yang diajarkan serta membangun
hubungan baik dengan siswa. Sebaliknya, jika guru berperilaku dan
bersikap dengan sikap-sikap dan perilaku yang tidak layak untuk
diteladani serta tidak sesuai dengan materi yang disampaikan maka untuk
saja siswa akan merasa ogah (malas), tidak semangat apalagi mengikuti
proses pembelajaran tersebut dengan senang hati karena di dalam diri
siswa tidak terdapat perasaan senang atau simpati terhadap guru tersebut.
Untuk benar-benar dapat memberikan teladan, Imam Nawawi dalam
al-Adzkar al-Nawawiyah-nya menyatakan bahwa seorang pengajar atau
pendidik, termasuk di dalamnya adalah setiap orang yang memiliki ilmu
dan bermanfaat bagi orang lain disunnahkan untuk menjauhi perbuatan-
perbuatan atau ucapan-ucapan yang secara dzohir salah sedangkan secara
hakiki / sebenarnya ucapan-ucapan atau perbuatan-perbuatan tersesebut
benar.71
4. Pembiasaan
Mengenai pembiasaan ini, dalam bukunya Ali al-Jumbulati dan
Abdul Fatah at Tuwaanisi dan telah diterjemahkan oleh H.M. Arifin,
Imam al-Ghozali berpendapat:
Maka barang siapa ingin menjadikan dirinya bermurah hati maka caranya adalah membebani dirinya dengan perbuatan yang bersifat dermawan yaitu mendermakan hartanya. Maka jiwa tersebut akan selalu berbuat baik dan ia terus menerus melakukan mujahadah (menekuni) dalam perbuatan itu, sehingga hal itu akan menjadi watak. Disamping itu ia ringan melakukan perbuatan baik yang ahirnya menjadi orang yang dermawan. Demikian juga orang yang ingin menjadikan dirinya berjiwa tawadhu` (rendah hati) kepada orang-orang yang lebih tua, maka caranya ia harus membiasakan diri bersikap tawadhu` terus menerus, dan jiwanya menekuninya sehingga mudah berbuat sesuai dengan watak dan wataknya itu. Semua akhlak terpuji dibentuk melalui cara-cara ini yang
71 Imam Muhammad bin Muhyiddin ibnu Zakariya Yahya Bin Syarif al-Nawawi Al-
Damsyiqi, al-Adzkar al-Nawawiyah, (Indonesia: Dar al-Ihya` al-Kutub al-Arabiyah, tt), hlm. 276.
37
ahirnya perilaku yang diperbuatnya benar-benar dirasakan kenikmatannya.72
Pembiasaan merupakan proses pendidikan73. Aspek ini sering
dilupakan oleh para pendidik, pendidikan yang instan berarti meniadakan
pembiasaan. Tradisi dan bahkan juga karakter (perilaku) dapat diciptakan
melalui latihan dan pembiasaan yang di upayakan praktiknya secara terus
menerus. Kebersihan merupakan praktik yang memerlukan pembiasaan
meskipun pada awalnya harus dipaksakan. Membaca al Quran, shalat
jamaah juga perlu pembiasaan, tidak cukup hanya dengan hafal dalil (ayat
atau hadits) mengenai shalat jamaah tersebut.
John Dewey menyatakan “Pendidikan moral itu terbentuk dari proses
pendidikan dalam kehidupan dan kegiatan yang dilakukan oleh murid
secara terus-menerus”.74
Implemantasi nilai-nilai akhlak haruslah dibiasakan, tidak cukup
menghafal rangkaian pasal atau ungkapan mengenai nilai-nilai
tersebut.75Dalam pembiasaan ini bukan hanya bagaimana siswa dibiasakan
dengan sikap, tingkah laku atau penampilan, tetapi juga bagaimana siswa
dibiasakan dengan keadaan lingkungan yang sesuai dengan nilai-nilai yang
hendak diinternalisasikan. Misalnya, selain siswa diberi kegiatan
membersihkan lingkungan sekolah secara bersama-sama setiap bulannya,
di tempat-tempat tertentu seperti ruangan kelas dipasang tulisan-tulisan
yang mengandung pesan-pesan nilai-nilai Islam, seperti kaligrafi, gambar-
gambar tokoh Islam dan lain-lain.
Norma berupa aturan atau patokan (baik tertulis atau tidak tertulis)
sebagai wahana mewujudkan nilai dan berfungsi penghantar untuk dapat
menyadari dan menghayati nilai-nilai.76 Aturan-aturan yang diciptakan
72 Ali al-Jumbulati dan Abdul Fatah at Tuwaanisi, op. cit., Hlm. 157. 73 Qodri A. Azizy, op. cit., hlm. 146. 74 Ali al-Jumbulati dan Abdul Fatah at Tuwaanisi, op. cit., Hlm. 157. 75 Qodri A. Azizy, op. cit., hlm. 148. 76 YB. Adimassana, “Revitalisasi Pendidikan Nilai di Dalam Sektor Pendidikan
Formal”, dalam A. Atmadi dan Y. Setiyaningsih, (eds), Pendidikan Nilai Memasuki Milenium Ketiga,(Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 73.
38
dapat bermanfaat untuk internalisasi nilai-nilai akhlak Islam karena aturan-
aturan yang berjalan dengan baik akan tercipta pembiasaan, berkat
pembiasaan ini akan menjadi habit bagi yang melakukannya kemudian
akan menjadi ketagihan, dan pada waktunya menjadi tradisi yang sulit
untuk ditinggalkan, akhirnya para ahli pendidikan berpendapat bahwa
pendidikan yang baik yaitu pendidikan yang memiliki keteraturan.77
D. Evaluasi
Hasil dari internalisasi nilai sulit untuk dites baik dengan sistem
ujian tertulis maupun dinilai dengan ujian secara lisan. Penilaian yang
berupa angka tidak akan relevan, dan penilaian yang relevan dalam hal ini
adalah penilaian yang berupa uraian verbal walaupun hanya singkat,
misalnya bagus sekali, bagus, cukup, jelek dan sebagainya.78Lebih lengkap
lagi jika hal itu di beri keterangan mengenai alasan-alasannya.
Memang penilaian semacam itu akan terkesan bahwa penilaiannya
bersifat subjektif, karena amat ditentukan oleh kesan dari pengamatan guru
terhadap murid. Tetapi jika guru melakukannya dengan jujur, hal itu akan
sangat berguna untuk mendidik para muridnya karena mereka akan merasa
perilaku mereka selalu diperhatikan baik-baik oleh orang lain (guru) dan
akan ikut membantu kelancaran pendidikan mereka untuk seterusnya,
dengan begitu siswa tidak merasa bebas untuk berbuat apa saja.
77 Qodri A. Azizy, op. cit., hlm.147 78 YB. Adimassana, op. cit., hlm. 40.