Upload
maria-friska-hutabarat
View
30
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
SOSIAL BUDAYA ACEH
Citation preview
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Masyarakat Nelayan Aceh
Penduduk atau masyarakat Aceh sebagian besar bermukim di kawasan
pesisir. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada
tahun 2005 mencatat jumlah penduduk yang tinggal di wilayah pesisir
mencapai 50% dari total jumlah penduduk Aceh. Jumlah tersebut tersebar di
115 kecamatan yang berbatasan langsung dengan pantai. Secara umum jumlah
wanita di Aceh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pria. Usia produktif
antara 15-64 tahun mendominasi penduduk Aceh yang terdiri dari berbagai
macam suku baik asli maupun pendatang. Suku asli masyarakat Aceh terdiri
dari suku Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulue, Singkil, dan
Tamiang. Kedelapan suku tersebut mempunyai sejarah, budaya, dan bahasa
yang sangat berbeda satu sama lain.
Ekosistem pesisir menjadi penyedia jasa dan produk lingkungan bagi
masyarakat pesisir. Saat ini jumlah nelayan di Aceh tercatat sebanyak 61.768
orang yang sebagian besar merupakan nelayan penuh. Nelayan tradisional
Aceh lebih banyak melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan terumbu
karang yang dekat dengan pantai. Alat tangkap yang digunakan antara lain
pancing, trammel net, liftnet, dan fish gun. Armada penangkapan yang
digunakan oleh nelayan Aceh pada umumnya memiliki ukuran lebih kecil dari
30 GT dan beroperasi hanya di perairan teritorial dan sekitar pulau-pulau di
Aceh.
2.2 Pengetahuan Lokal
Melirik "SDA Aceh" Yang Masih Terabaikan
Daerah Aceh memiliki potensi sumber daya laut yang luar biasa. Namun
sayangnya, cuma sedikit potensi alam ini yang mampu dimanfaatkan secara
maksimal oleh Pemerintah Aceh. Sumber daya tersebut hingga kini masih
terabaikan tanpa mampu dijamah keperawanannya oleh para ahli di daerah ini.
Di sektor perikanan, pesisir pantai Aceh memiliki panjang 1.660 km dengan luas
perairan laut 295.370 km², terdiri atas luas wilayah perairan ( teritorial dan
kepulauan ) seluas 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas
238.807 km². Jenis ikan laut yang ditangkap: ikan kembung, layang, tongkol,
tuna, dan tembang.
Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan terdiri perikanan tangkap di laut dan
perairan umum (sungai, danau, waduk dan rawa-rawa) dan perikanan budidaya
(ikan air payau di tambak, di kolam, ikan di sawah (mina padi) atau budidaya ikan
dengan sistem keramba jaring apung, baik di laut maupun diperairan tawar).
Gempa bumi dan tsunami 2004 telah menyebabkan kerusakan besar di sektor
kelautan dan perikanan. Produksi perikanan tangkap (kembung, laying, tongkol,
tuna, dan tembang) pada 2005 sebanyak 109.152,2 ton, sementara produksi 2004
mencapai 140.780,8 ton.
Sedangkan produksi 2006 meningkat menjadi 154.000 ton. Potensi ikan tangkap
di Aceh 1,8 juta ton.
Jika sektor perikanan Aceh mampu digarap secara maksimal, sektor ini
sebenarnya mampu menyerap 257.300 tenaga kerja atau sekitar 51.460 kepala
keluarga atau mencapai 31,68% dari 811.971 total tenaga kerja yang terserap di
sektor pertanian.
Potensi perikanan lainnya adalah budidaya rumput laut, kerapu, kakap, lobster dan
kerang mutiara dengan potensi sebaran seluas ±12.014 ha,membentang mulai dari
Sabang, Aceh besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeleu, sampai Pulau Banyak
Kabupaten Aceh Singkil. Pengembangan perikanan ini didukung oleh sebaran
luas terumbu karang seluas ±274.841 ha, membentang mulai dari Sabang, Aceh
Besar sampai pantai barat selatan Aceh.
Tidak hanya itu, Posisi Aceh juga berhadap langsung dengan lautan india yang
merupakan sarang ikan tuna di dunia. Namun sektor ini ternyata belum mampu
digarap maksimal oleh Pemerintah Aceh.
Sejumlah ikan tuna yang ditangkap oleh nelayan Aceh saat ini hanya ikan yang
berada di daerah teritorial. Sedangkan tuna yang berada di laut lepas belum
mampu sedikitpun dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh secara maksimal untuk
kepentingan masyarakatnya.
Karena ketidakmampuan ini, keberadaan tuna akhirnya ’dijarah’ oleh nelayan dan
pemerintah dari negara-negara tetangga. Sedangkan Aceh hanya menjadi
penonton selama bertahun-tahun.
Parahnya lagi, Pemerintah Aceh saat ini bahkan belum mampu menyediakan
pelabuhan yang dinilai layak untuk dijadikan tempat persinggahan kapal-kapal
nelayan yang menangkap ikan tunas di lautan lepas. Kemudian, peluang inipun
kini malah diambil alih oleh provinsi lain, seperti Muara Baru Jakarta. kondisi ini
sangat memprihatikan sehingga perlu adanya pembenahan.
Potensi Perikanan Aceh Belum Digarap Optimal
Potensi Sumber Daya Alam (SDA) bidang perikanan yang ada di perairan Aceh
dinilai belum mampu digarap secara maksimal. Pemerintah Aceh periode ini, juga
dianggap kurang serius dalam mengenjot sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
bidang perikanan sehingga peluang tersebut telah diambil oleh provinsi lain,
seperti Sumatra Utara dan Sumatra Barat.
”Potensi perikanan yang ada di perairan Aceh saat ini belum dapat digarap
maksimal. Akibatnya, potensi tersebut malah dimanfaatkan oleh provinsi lain
untuk mengenjot PAD mereka. Sedangkan kita hanya diam menyaksikan kasus ini
terjadi,”ucap Muklisin, ahli perikanan Aceh dan dosen Fakultas Pertanian
Unsyiah, dalam diskusi mingguan Pusat Studi Adat Laot dan Kebijakan Perikanan
(Pushal-KP) Unsyiah, di Kantin AAC Dayan Dawood, Kamis ( 4/11).
Menurutnya, selain perikanan laut, potensi perikanan air tawar, perikanan air
payau, serta budidaya perikanan dinilai juga masih kurang digarap maksimal.
Keberadaan nelayan dan petani tambak juga dianggap masih kurang mendapatkan
perhatian dari pemerintah, terutama untuk peningkatan pengetahuan budidaya
ikan, serta kuncuran kredit.
Akibatnya, banyak cara-cara penangkapan yang dilakukan oleh para nelayan
dianggap justru membunuh populasi ikan, seperti penggunaan pukat harimau,
serta pencemaran air laut. Kasus seperti ini, ditemukan di danau Laut Tawar,
Kabupaten Aceh Tengah.
”Kondisi Danau laut tawar sangat memprihatinkan. Jaring ikan yang digunakan
oleh para nelayan disana bisa menangkap anak ikan. Padahal, telah ada Perda
yang mengatur hal ini, namun tidak diacukan. Belum lagi penggunaan bom racun
yang dapat membunuh telur ikan,”ungkap Muklisin.
Dirinya mengaku telah melakukan penelitian hal ini selama berbulan-bulan di
Danau Laut Tawar. Rekomendasi hasil penelitian ini juga telah disampaikan pada
Pemkab Aceh Tengah dan Dinas Perikanan Provinsi Aceh, tetapi tidak ada
tindaklanjuti yang berarti.
”Masyarakat melakukan pelanggaran ini karena pengetahuan yang minim. Namun
Pemkab dan Pemprov ternyata juga tidak mau peduli hal ini karena sektor itu
tidak menjadi fokus pemasukan bagi PAD,”tutur dia.
Jika seandainya pemerintah fokus, tambahnya, pemerintah seharusnya mampu
memberikan pemahaman yang baik bagi nelayan, serta memberikan fasilitas
kredit untuk mengembangkan perekonomian mereka dan membangun fasilitas
perikanan yang memadai.
Seriuskan Pemerintah Penting
Dalam membangun sektor perikanan Aceh sebenarnya sangat diperlukan adanya
tingkat keseriusan yang tinggi dari pemimpin Aceh saat ini. Namun hal inilah
yang sulit dicari oleh masyrakat saat ini.
Jika kita merujuk pada Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA)
yang diajukan oleh eksekutif ke legislatif beberapa waktu lalu. Maka secara jelas
dapat dilihat bahwa para Pemimpin Aceh saat ini sebenar masih kurang serius
untuk mengenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor perikanan.
Mengapa demikian? Karena alokasi anggaran untuk bidang perikanan ternyata
masih sangat sedikit dibandingkan sektor lain. Pemerintah saat ini juga dinilai
masih terus mengandalkan sektor pertambangan yang tidak dapat diperbahrui
bidang sumber daya tersebut suatu saat habis.
Sebagai contoh, mudahnya keluar izin untuk bidang pertambangan, seperti untuk
PT. Lhoong Setia Mining (LSM) di Aceh Besar dan PT.PSU di Aceh Selatan.
Padahal, dampak dari izin tersebut disinyalir telah merusak lingkungan dan
mendapatkan protes keras dari warga sekitar.
Selain itu, Pemerintah Aceh saat ini juga dirasakan enggan untuk fokus pada
pembinaan nelayan Aceh. Para nelayan dan masyarakat pesisir Aceh saat ini
masih mengandalkan kemampuan pribadi dan alat tangkap tradisional dalam
setiap aktivitasnya. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa ikan-ikan yang
berada di perairan Aceh seperti tuna yang memiliki nilai jual tinggi akhirnya
malah menjadi tangkapan nelayan luar.
Bagi penulis, salah satu cara untuk mengenjot PAD Aceh kedepan, hanya dengan
memanfaatkan sektor pertanian dan perikanan. Kedua sektor ini memiliki SDA
yang melimpah.
Pemerintah sejatinya perlu membangun fasilitas yang memadai bagi nelayan,
seperti pelabuhan ikan. Hal lain adalah pemberian kredit lunak agar nelayan Aceh
mampu mengembangkan diri dan tidak selalu identik dengan kemiskinan. Jika
sektor ini tidak dimanfaatkan, serta nelayan tidak diberikan fasilitas, maka sampai
kapan pun daerah ini tidak akan berkembang.Sebaliknya, potensi yang ada saat ini
malah akan dikuras oleh daerah lain
2.3 Religi
Masyarakat Aceh yang terkenal dengan ciri keIslamannya juga memiliki karakter-
karakter tersendiri dalam kehidupannya, yang terefleksikan dalam berbagai sistem
kebudayaan yang melingkupinya dengan karakteristik yang membedakan dengan
masyarakat di daerah atau tempat lain. Islam sebagai agama mayoritas masyarakat
Aceh memiliki peranan yang cukup besar dalam setiap aktivitas bermasyarakat,
yaitu sebagai pijakan utama dari berbagai bentuk aktivitas.
Agama merupakan bagian/unsur penting dalam kehidupan manusia yang dapat
memberikan ajaran-ajaran yang berupa aturan-aturan serta petunjuk-petunjuk
yang dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia dan diyakini kebenarannya.
Dalam kajian antropologi, agama dilihat sebagai sistem kebudayaan atau sebagai
pranata sosial atau sebagai seperangkat simbol yang dapat digunakan manusia
dalam kehidupan sosialnya.
Dalam masyarakat tradisional melaksanakan muatan budaya itu antara lain
diwujudkan dalam pelaksanaan berbagai macam upacara tradisional yang
memang menjadi arena dan sarana sosialisasi bagi kebudayaan yang telah
dimantapkan lewat pewarisan tradisi. Upacara-upacara tersebut antara lain
berfungsi sebagai sarana untuk mengokohkan muatan kebudayaan yang didukung
oleh masyarakat yang bersangkutan. Keterikatan dan keterlibatan para anggota
masyarakat dalam kegiatan-kegiatan upacara merupakan bagian yang integral dan
berguna informatif bagi kehidupan sosial. Ia bukan hanya berhubungan unsur
emosi religius, organisasi keagamaan, tetapi juga unsur-unsur universal yang lain
(sistem kemasyarakatan, sosial, pengetahuan, teknologi, kesenian, keagamaan dan
ekonomi), sehingga mampu merangsang rasa solidaritas dan kesamaan nasib
diantara sesama anggota masyaraktnya.
Upacara-upacara yang berhubungan dengan adat dari suatu masyarakat pada
hakekatnya merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri
secara aktif terhadap lingkungannya, dimana kebudayaan sebagai pola tingkah
laku manusia diperoleh dan diwariskan melalui proses belajar dengan
menggunakan lambang yang mencakup benda dan peralatan karya manusia yang
terdiri dari gagasan-gagasan nilai-nilai budaya hasil abstraksi pengalaman para
pendukungnya yang selanjutnya mempengaruhi sikap dan tingkah laku
pendukung itu sendiri.
Sebagai salah satu aspek dalam unsur religi dari kebudayaan universal, maka
upacara tradisional juga memperlihatkan adanya muatan nilai-nilai budaya. Nilai-
nilai ini berfungsi besar dalam mengatur tingkah laku masyarakat pendukungnya.
Salah satu ciri penting dalam upacara tradisional adalah besarnya kekuatan unsur
sakral yang dipandang sebagai magis yang bersumber dari sistem religi yang
dipegang bersama. Berdasarkan ciri tersebut tersebut, maka upacara tradisional
dapat dipandang sebagai suatu pranata sosial religius yang tidak tertulis tetapi
terpola dalam sistem ide atau gagasan bersama (collective representation) setiap
anggota masyarakatnya.
Upacara tradisional merupakan sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang
ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan
dengan berbagai macam peristiwa yang biasa terjadi di dalam masyarakat yang
bersangkutan. Upacara-upacara tradisional terdiri dari perbuatan-perbuatan yang
seringkali tidak dapat diterangkan lagi alasan atau asal usulnya. Perbuatan-
perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang secara spontan dengan tak dipikirkan
lagi gunanya. Suatu upacara keagamaan yang kompleks seringkali dapat dikupas
kedalam beberapa unsur perbuatan yang khusus, yang terpenting diantaranya
adalah: (a) bersaji, (b) berkorban, (c) berdoa, (d) makan bersama, (e) menari dan
bernyanyi, (f) berprosesi, (g) memainkan seni drama, (h) berpuasa, (i)intoxikasi,
(j) bertapa, (k)bersemedi.
Aktivitas selamatan atau upacara yang dilakukan masyarakat tradisional
merupakan salah satu usaha manusia sebagai jembatan antara dunia bawah
(manusia) dengan dunia ritus atas (Tuhannya). Melalui selamatan, sesaji atau ritus
maka diharapkan bisa menghubungkan manusia dengan dunia atas, dengan
leluhurnya, roh halus, dan Tuhannya, yang akan memberi berkah keselamatan
manusia di dunia ini. Prinsip inilah yang menjadi dasar pada upacara tradisional,
selamatan atau ritus yang dilakukan setiap komunitas atau masyarakat di
Indonesia.
Disadari atau tidak dalam kebudayaan pastilah terjadi perubahan. Perubahan
tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti nilai-nilai baru yang masuk
maupun kebudayaan lama dianggap tidak sesuai lagi. Perubahan tersebut secara
signifikan dapat mengakibatkan pergeseran fungsi suatu kebudayaan. Upacara-
upacara sebagai bagian dari kebudayaan bukan lagi semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan psikis, sakral namun dapat menjadi modal bagi pembangunan, strategi
ekonomi, konsolidasi sosial bahkan transformasi ilmu dan nilai.
Begitu pula yang terjadi dalam kebudayaan lokal yang dimiliki entititas-entitas di
Indonesia. Adapun perubahan tersebut dapat meliputi bentuk maupun esensi.
Seperti yang terjadi dalam masyarakat nelayan di Aceh yang melestarikan tradisi
Kenduri Laot sebagai tradisi mereka.
Seperti Apa Kenduri Laot?
Kenduri Laot atau sering disebut dengan Adat Laot merupakan tradisi masyarakat
pesisir di Provinsi Aceh. Peringatan Kenduri Laot yang dilaksanakan pada setiap
tahun salah satunya berfungsi untuk memperkuat eksistensi Lembaga Hukom
Adat Panglima Laot.
Seorang pemuka masyarakat yang bernama Hasan yang juga Sekretaris Panglima
Laot di Seunuddon Aceh Utara mengatakan, acara kenduri itu digunakan juga
sebagai sarana mensosialisasikan kembali aturan/hukum kelautan yang telah
digariskan oleh Endatu (nenek moyang).
Kenduri Laot berkembang secara turun temurun pada masyarakat pesisir Aceh.
Menurut sebagian masyarakat, asal muasal peringatan kenduri laot itu
dilatarbelakangi dengan peristiwa karamnya kapal yang digunakan oleh seorang
anak panglima yang pergi melaut pada jaman dahulu, namun anak panglima ini
selamat. Seekor ikan lumba-lumba telah mendamparkannya ke pinggir pantai.
Sebagai rasa syukur atas keselamatan anak panglima itu maka diadakanlah
Kenduri Laot selama tujuh hari-tujuh malam. Peringatan itu kemudian
berlangsung sampai sekarang.
Kenduri Laot merupakan upacara menjelang musim timur atau ketika musim barat
akan berakhir. Dahulu kenduri laot rutin dilaksanakan pada setiap desa pantai
yang merupakan wilayah Panglima Laot, baik di lhok (teluk) maupun di
kabupaten. Kenduri laot bagi masyarakat nelayan Aceh merupakan sebuah
perwujudan hubungan antara manusia sebagai makhluk ciptaan dengan Sang
penciptanya dan juga lingkungan sekitarnya dalam menghadapi lingkungan
setempat.
Kenduri laut ini dilangsungkan dengan menggalang iuran dari para nelayan sesuai
kemampuan. Mereka yang tergolong kaya, harus menyumbang lebih banyak.
Besarnya sumbangan itu ditentukan melalui musyawarah yang melibatkan warga.
Musyawarah itu juga menentukan jadwal pelaksanaan kenduri.
Pertama-tama dalam upacara kenduri laot dimulai dengan tahap persiapan. Dalam
tahap ini dipersiapkan antara lain berbagai persajian makanan yang diperuntukkan
untuk tamu-tamu juga warga masyarakat yang mengikuti upacara. Selain itu juga
dipersiapkan perlengkapan peusijuk sebagai prosesi utama pelaksanaan upacara
kenduri laot dan juga perahu sebagai pengangkut sesaji yang akan dibawa ke
tengah laut.
Setelah berbagai keperluan yang digunakan untuk prosesi upacara tersedia, maka
tahap berikutnya yaitu pelaksanaan upacara. Dalam pelaksanaannya upacara
kenduri laot memiliki perbedaan-perbedaan pada daerah yang melaksanakannya
baik mengenai waktu ataupun ritual didalamnya, namun pada intinya sama. Tahap
ini dimulai pada pagi hari atau setelah sembahyang Shubuh selesai dilakukan.
Peserta pertama yang hadir adalah peserta tadarrus membaca ayat-ayat suci Al-
Quran.
Setelah itu panglima laot memulai memandaikan kerbau yang akan disembelih,
selesai dimandikan kerbau tersebut dipeusijuk(ditepung tawari) oleh panglima laot
yang diikuti oleh teungku/imum dan tokoh masyarakat. Ketika panglima laot
mempeusijuk (menepung tawari) kerbau, panglima laot dan peserta-peserta yang
hadir secara bersama-sama membaca takbir dan shalawat Nabi. Setelah kerbau
tersebut selesai dipeusijuk kemudian disembelih.
Adakalanya di daerah lain, sebelum kerbau disembelih, kerbau tersebut selama
tujuh hari setiap sore sehabis shalat asar dilakukan upacara, yaitu diaraknya
kerbau menyusuri bibir pantai wilayah pantai dalam suatu kemukiman. Tidak
mengherankan selama tujuh hari sebelum acara kenduri laot dilaksanakan, pantai
selalu penuh ramai oleh masyarakat yang menyaksikannya.
Daging kerbau yang telah selesai disembelih kemudian dimasak. Semua masakan
baik daging kerbau maupun makanan lainnya tidak dibenarkan dimakan sebelum
ada perintah dari panglima laot dan panitia. Setelah daging dan nasi dimasak
sebagian langsung dipisahkan, untuk dinaikkan ke perahu bersama-sama dengan
orang-orang yang membaca doa. Sisa dari kerbau yang tidak dimasak seperti isi
perut dimasukkan kembali dalam kulit kerbau dan dijahit seperti semula. Perahu
yang membawa rombongan berangkat menuju ke tengah laut dengan membawa
sesaji berupa kepala kerbau dan isi perut serta tulang untuk dibuang ke tengah
laut. Dalam perjalanannya ke tengah laut tersebut dikumandangkan pula azan.
Setelah kira-kira sampai ditengah laut kemudian kapal yang membawa sesaji
tersebut berhenti dan menurunkan sesaji yang dibawa tersebut dan dilanjutkan
dengan membaca doa dari ayat-ayat Al-Quran seperti surat Yasin, Surat Al-
Fatihah, Surat Al-Ikhlas, serta doa-doa selamat dan doa syukur.
Sekembalinya dari laut, diadakan acara makan bersama dengan para undangan,
anak-anak yatim serta fakir miskin. Selesai makan, panglima laot memberi
petunjuk-petunjuk berkenaan dengan pantangan-pantangan melaut. Pantangan
turun melaut ini diterima oleh masyarakat nelayan sebagai suatu hukum adat yang
mengatur tingkah laku dalam melaut. Pantangan tersebut seperti dilarang turun
sehari penuh pada hari kenduri berlangsung, juga disebutkan pula hari yang tidak
dibenarkan untuk melaut yaitu pada hari jumat sejak terbit matahari hingga
selesainya shalat Jumat, bila nelayan berangkat ke laut pada malam Jumat harus
kembali ke darat sebelum pukul 08.00 pagi, pada hari raya Idul Fitri selama satu
hari penuh, Idul Adha dilarang melaut selama tiga hari terhitung hari pertama
sampai hari ketiga, dilarang juga untuk pergi ke laut bagi nelayan yang sedang
mengalami kemalangan/musibah kematian pada masyarakat nelayan hingga
selesai penguburan.
Setelah panglima laot selesai memberikan nasehat-nasehatnya, adakala dari tetua
atau ulama dan pejabat pemerintah juga turut memberi sambutan yang intinya
adalah petuah-petuah menyangkut kehidupan bermasyarakat, dan doa kepada
Allah agar kehidupan nelayan diberkati. Setelah panglima laot dan juga pejabat-
pejabat pemerintah selesai memberikan nasehat-nasehatnya selesai pula acara
kenduri laot.
Transformasi Kenduri Laot
Seperti setiap organisme hidup, kebudayaan memiliki dua kecenderungan, yaitu
kecenderungan untuk tinggal tetap sama (statis), dan kecenderungan untuk
berubah. Selalu ada unsur baru yang bertambah, yang lain lagi akan hilang atau
diganti. Perubahan dn pergantian ini terjadi bukan dengan kebetulan, melainkan
sesuai dengan kebutuhan kebudayaan tertentu. Kebudayaan selalu berubah, karena
individu yang membantu masyarakat dan yang menjadi pemmbangunan
kebudayaan selalu mengubah rencana dan cara hidupnya, mencoba menyesuaikan
dengan lingkungannya, baik jasmani maupun rohani.
Perubahan kebudayaan dapat terjadi dengan teratur, tetapi kadang-kadang dia
kehilangan keseimbangan dan mengalami kekacauan. Ada kebudayaan yang
berubah lebih cepat dan ada yang berubah lebih lambat, tetapi semua berubah.
Karena perubahan adalah sifat hakiki kehidupan maka menolak perubahan berarti
bunuh diri secara budaya. Perubahan itu dapat terjadi karena (bencana) alam akan
tetapi juga dan lebih sering karena manusia. Manusia mengolah kehidupan agar
lebih cocok demi keselamatan dan kesejahteraannya. Namun perubahan itu
menimbulkan reaksi dari kehidupan dan manusia harus melakukan pengolahan
kembali. Demikianlah terus-menerus terjadi, seperti digambarkan dengan jelas
dan simbolis oleh orang Yunani Purba dalam mitos Odysseus. Adapun
pengolahan yang pertama-tama dilaksanakan manusia itu di lakukannya pada
tataran sistem, yaitu sistem gagasan. sistem perilaku dan sistem peralatannya,
Dengan sistem yang sudah diubahnya manusia menghadapi dan mengolah
kehidupan yang diharapkannya akan berubah ke arah yang lebih sesuai bagi
keselamatan dan kesejahteraannya. Kiranya jelas, bahwa manusia tidak dapat
mengolah kehidupan tanpa mengolah sistem-sistem yang sudah diciptakannya.
Sementara sistem-sistem itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari kita sebut
sebagai kebudayaan. Kiranya jelas pula, Tanpa siap untuk berubah sesuai dengan
sifat hakiki kehidupan berarti tidak siap untuk berubah secara budaya. Masyarakat
yang tidak mau berubah akan mandek dan bahkan hancur, karena secara budaya
sikap seperti itu dapat dibandingkan dengan perbuatan bunuh diri.
Namun menerima perubahan atau siap untuk berubah dan mengubah tidak berarti,
merupakan kegiatan yang alamiah. Perubahan dilakukan secara sadar demi
keselamatan dan kesejahteraaan, kalau mungkin kesejahteraan yang lebih tinggi
daripada: sebelumnya. Dengan demikian perubahan itu harus dilakukan secara
kreatif. Perubahan harus dilakukan dengan pertama-tama mengidentifikasi
masalah-masalah secara tepat dan kemudian memberikan pemecahan terhadap
masalah-masalah itu secara tepat pula.
Transformasi mengandaikan suatu proses pengalihan total dari suatu bentuk sosok
baru yang akan mapan. Transformasi diandaikan sebagai tahap akhir dari suatu
perubahan. Transformasi dapat dibayangkan sebagai suatu proses yang lama
bertahap-tahap akan tetapi dapat pula dibayangkan sebagai suatu titik balik yang
cepat bahkan abrupt.
Berbagai ilustrasi tentang sudut pandang mengenai perubahan dan transformasi
tersebut menunjukkan bahwa masyarakat dibayangkan pada suatu masa, pada
suatu ketika, berubah bahkan menghendaki perubahan yang berakhir (sementara)
dengan suatu transformasi. Kenyataan tersebut juga menunjukkan cepat atau
lambat serat-serat budaya yang menyangga anyaman teguh suatu kebudayaan
masyarakat pada suatu saat akan meruyak dan membusuk untuk kemudian tidak
dapat berfungsi lagi sebagai pengikat kesatuan kebudayaan. Transformasi adalah
kondisi perubahan dari serat-serat budaya tersebut.
Tradisi kenduri laot yang berlaku dalam masyarakat nelayan di Aceh, tradisi yang
sarat dengan nilai-nilai sakral itu pun kini mengalami apa yang disebut dengan
transformasi. Sebagai bagian dari suatu unsur kebudayaan, kenduri laot yang
merupakan salah satu penyangga kebudayaan Aceh turut mengalami perubahan-
perubahan. Baik perubahan secara fisik, esensi, ataupun ide gagasan
dibelakangnya. Hal ini selain dipengaruhi oleh perubahan masa, juga dipengaruhi
unsur-unsur khilafiah keagamaan yang menumbuhkan dua pendapat berbeda
terhadap prosesi pelaksanaan kenduri laot.
Khilafiah itu bagi sebagian masyarakat dan ulama memandang tradisi kenduri laot
ini adalah sebuah acara adat yang sudah berlaku dalam masyarakat Aceh secara
turun temurun yang harus dipertahankan pelaksanaannya. Apalagi didalamnya
mengandung nilai-nilai sakral yang harus dijunjung manusia dalam melakukan
setiap aktifitasnya yang berhubungan dengan laut. Sementara di lain pihak
cenderung memandang bahwa upacara kenduri laot adalah sebuah tradisi yang
didalamnya sarat dengan pemahaman tahayyul yang tidak boleh dilakukan
masyarakat muslim.
Kini kenduri laot tidak saja hanya digelar untuk menandai akan dimulainya
musim melaut. Dalam suatu kesempatanpun, kenduri laot dilaksanakan untuk
merayakan pergantian panglima laot seperti yang terjadi di pelabuhan Lampulo.
Kenduri yang diadakan di pelabuhan Lampulo pada tanggal 2 April 2007 yang
lalu ini merupakan momen nelayan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa
nelayan punya manajemen yang kuat serta menganut sistem demokratis dalam
pergantian panglima laot yang baru. Selain itu, dalam kenduri laot itu pun
dijadikan sebagai salah satu wadah aspirasi para nelayan Aceh khususnya nelayan
lampulo untuk menyampaikan keluhan serta masalah yang mereka hadapi baik
mengenai kelangkaan BBM untuk boat mereka dan lain sebagainya kepada
pemerintah yang hadir pada pelaksanaan acara tersebut.
Lain lagi yang dilakukan masyarakat Desa Lhok Puuk, Kecamatan Seuneuddon,
Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam. Dahulu dalam setiap kenduri
laot yang digelar selalu dilakukan pelarungan kepala kerbau, namun pada kenduri
yang berlangsung tanggal 12 Agustus 2004 tersebut tradisi melarung kepala
kerbau itu tidak dilakukan. Ada anggapan pelarungan kepala kerbau ke laut
bertentangan dengan paham-paham agama. Para nelayan kemudian sepakat tidak
melakukannya lagi. Apalagi dalam pertemuan dengan para panglima laot
beberapa waktu lalu, unsur ulama setempat telah menyampaikan hal itu dan
meminta pelarungan kepala kerbau itu lebih baik tidak dilakukan. Maka, saat
kenduri laut hari itu, kepala kerbau dan dagingnya yang lain digulai. Makanan itu
diberikan kepada undangan dan fakir miskin.
Dari segi makna yang terkandung dalam kenduri laot pun juga turut mengalami
pelebaran. Bisa dikatakan pada mulanya kenduri laot murni bersifat religius, kini
melebar ke ranah sosial kemasyarakatan. Dalam upacara kenduri laot mulai
disipkan pesan-pesan moral ajakan kepada masyarakat baik disampaikan ulama
ataupun pemerintah. Tidak ketinggalan pula diadakan acara sunatan massal bagi
anak-anak yang tinggal di sekitar lokasi acara.
Penutup
Dalam tradisi masyarakat Aceh sebagai masyarakat yang dikenal kental dengan
nilai-nilai keIslamannya, maka tidak mengherankan dengan berjalannya waktu.
Upacara kenduri laot yang semula masih kental dengan pengaruh-pengaruh tradisi
lama yang cenderung ke arah pemujaan-pemujaan roh nenek moyang atau
penunggu-penungu laut yang bersifat animisme lambat laun mengalami
pergeseran.
Nilai-nilai Islam mulai masuk di dalamnya, seperti contohnya ketika di sebagian
wilayah sudah menghilangkan sesajian-sesajian yang dianggap sebagai ritual-
ritual mistis. Kepala kerbau yang dahulu dijadikan sesajen utamanya mulai
dihilangkan digantikan dengan doa-doa yang lebih Islami. Dengan demikian
sebagai sebuah upacara tradisional, kenduri laot telah mampu merubah diri
dengan strategi-strategi adaftatifnya sehingga mampu berjalan beriringan dengan
ajaran-ajaran Islam tanpa memusnahkan bentuk diri secara kompromis. Kenduri
laot setidaknya telah merepresentasikan bagaimana sintesa budaya terjadi antara
adat dengan agama Islam di Aceh melalui dialog-dialog budaya yang tentunya
tidak akan berhenti di suatu titik, namun selalu berjalan.
Dalam membangun Aceh kedepan, hal yang perlu menjadi perhatian kita semua
adalah bagaimana memposisikan adat. Sejarah Aceh yang kita pelajari, betapa
adat dengan syari`at duduk bersanding antara satu dengan lainnya saling mengisi,
seperti gambaran hadist maja ini:
“Adat Bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala,
Qanun Bak Putroe Phang, Reusan Bak Lakseumana“.
“Agama ngoen adat lagei zat ngon sifat”.
“Agama hana adat tabeu”
“Adat hana agama bateui”
Sebuah kekayaan tentunya apabila potensi-potensi budaya yang telah disebut
diatas mampu dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat maupun pemerintah
khususnya dalam sektor pariwisata berbasis agama dan budaya sebagai ciri khas
utama yang dimiliki masyarakat Aceh.
Penulis:
Agung Suryo Setyantoro, S.S. adalah Peneliti pada Balai Pelestarian Sejarah dan
Nilai Tradisional Banda Aceh
http://gerbangaceh.blogspot.com/2007/12/kenduri-laot-dan-dinamika-
kekiniannya.html
Nelayan Aceh tak melaut peringati tsunami
Para nelayan di seluruh Aceh diimbau tidak beraktivitas mencari nafkah di
perairan laut pada 26 Desember 2012 guna mengenang sewindu bencana alam
tsunami yang melanda kawasan pesisir provinsi itu.
"Sudah menjadi keharusan agar dipatuhi oleh nelayan Aceh untuk tidak melaut
sehari pada setiap 26 Desember termasuk tahun ini," kata Ketua Lembaga Hukom
Adat Laot atau Panglima Laot Aceh, T Bustamam di Banda Aceh, hari ini.
Pantang melaut sehari khususnya pada setiap 26 Desember itu untuk mengenang
keluarga dan sahabat nelayan yang telah menjadi korban bencana tsunami.
"Mari kita gunakan waktu pada hari itu untuk berzikir dan berdoa kepada Allah
SWT agar arwah para syuhada tsunami mendapat tempat layak di sisi-Nya dan
kita yang masih hidup dihindarkan dari musibah," kata dia menambahkan.
Tsunami 26 Desember 2004 merupakan bencana dahsyat dialami masyarakat
Aceh terutama penduduk di pesisir pantai di delapan kabupaten/kota dan
mengakibatkan sekitar 200 ribu warga hilang dan meninggal dunia.
"Sebagian besar dari syuhada tsunami itu menjadi korban karena dinyakini
minimnya pengetahuan mereka terhadap bencana tersebut," kata Sekjen Lembaga
Hukum Adat Laot atau Panglima Laot Aceh Umar Abdul Aziz.
Dia menjelaskan, kebijakan libur pada hari 26 Desember juga sudah diterapkan
oleh Pemerintah Aceh pada 2011 yang menetapkan sebagai hari libur daerah.
"Kita berharap kebijakan yang bernilai edukatif ini dapat dipertahankan. Melalui
peringatan tsunami kita tidak hanya berkesempatan mendoakan orang-orang yang
menjadi korban, tapi juga dapat mewariskan pengetahuan kepada generasi muda
tentang peristiwa itu," kata dia menjelaskan.
Selain itu libur daerah pada setia 26 Desember sekaligus menghidupkan kearifan
generasi selanjutnya lebih siap dan mengetahui tindakan apa saja perlu dilakukan
agar terhidar dari dampak bencana yang mungkin timbul, kata Umar menjelaskan
2.4 Ekonomi
Perlu Pemikiran Serius Terhadap Nelayan Aceh Utara
Saturday, 22 December 2012 05:42 Aceh
Laporan: Usman Cut Raja
Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara kini sedang giat merumuskan pembangunan sektor pertanian. Rasanya sektor kelautan terutama pemberdayaan kaum nelayan juga perlu dipikirkan, bahkan harus masuk dalam skala prioritas.
Masalahnya, masih sangat banyak warga nelayan yang mendiami pesisir pantai di Aceh Utara dililit kemiskinan.
Hal ini terlihat dari berjejernya rumah rumah tidak layak huni menghiasi pemukiman mareka. Mengapa banyak nelayan di Aceh Utara masih miskin ? Pertanyaan sederhana, namun cukup menggelisahkan yang harus segera dicari solusi untuk mengangkat derajat hidup kaum nelayan yang masih serba tertinggal itu.
Tgk Abu, salah seorang tokoh masyarakat pesisir di Kecamatan Muara Batu yang ditemui andalas di Kuala Bungkah belum lama ini menjelaskan, penyebab utama kemiskinan nelayan di banyak tempat di Aceh Utara terletak pada pola patron-klien yang begitu menggurita antara nelayan dengan majikan (toke bangku). Pola ini pula yang menyebabkan penghidupan kaum nelayan turun temurun tetap miskin.
Menurut Tgk Abu, pola ini sangat sulit untuk dihilangkan. Ini terjadi dikarenakan toke bangku adalah alternatif satu-satunya ketika nelayan menghadapi kesulitan sewaktu akan pergi melaut, baik itu keperluan semasa berada laut seperi solar, beras dan es pengawet ikan serta kebutuhan anak istri yang ditinggalkan di rumah.
Situasi ini membuat toke bangku mematok harga beli ikan dari nelayan semaunya, dan para nelayan mau tidak mau harus menerima konsekuensi tersebut. Realitas seperti ini terjadi secara berkesinambungan, sehingga anak anak warga nelayan yang belum dilahirkan pun akan ikut berutang dari pinjaman ayahnya.
Selain itu, pola hidup kalangan nelayan yang cenderung konsumtif atau berfoya-foya saat tangkapan ikan banyak. Hal ini pula yang menyebabkan nelayan tidak mampu meningkatkan taraf hidupnya. Umumnya, ketika belum sampai masa paceklik, nelayan menghambur-hamburkan uang hasil jerih payahnya tanpa berpikir untuk berinvestasi bagi kebutuhan jangka panjang. Kaum nelayan umumnya tidak kenal menabung.
Persoalan lain adalah lahan, juga menjadi masalah pokok bagi nelayan. Sehingga kehidupannya tak kunjung meningkat. Di daerah pesisir pantai, banyak ditemui kondisi tanah yang tidak layak untuk ditanami karena pengaruh dari air laut.
Dan sebagian besar nelayan tidak mempunyai tanah yang luas, praktis tanah untuk hunian tempat tinggal saja yang dimiliki.
Sementara itu, lanjut Tgk Abu regulasi bantuan yang dikeluarkan pemerintah untuk nelayan tidak sepenuhnya berpihak kepada nelayan.
Baik itu dari sistem itu sendiri dan juga oknum yang menjalankannya. Sebut saja, bantuan modal dan perlengkapan untuk nelayan terkadang tidak tepat sasaran. Jatuh ketangan yang bukan nelayan.
Umum diketahui bahwa program-program bantuan pemerintah banyak tidak tepat sasaran dikarenakan kurangnya riset yang dilakukan, dan juga terjadinya political will dari pemerintah. Pelaksanaan pembangunan seharusnya tidak hanya bertumpu di wilayah daratan.
Melainkan juga diwilayah pesisir tepi pantai juga harus masuk dalam skala prioritas bagi menunjang pertumbuhan ekonomi kalangan nelayan.
Hal lain adalah masih minimnya kualitas sumber daya manusia karena sebagian besar masyarakat nelayan berpendidikan rendah, rata-rata mereka hanya lulus ditingkat sekolah dasar dan paling tinggi tamat sekolah menengah pertama (SMP). Tingkat pendidikan sangat berpengaruh dan menjadi penyebab kemiskinan sangat lengket terhadap nelayan.
Lembaga Ekonomi Nelayan
Pada dasarnya diperlukan kepedulian dari berbagai pihak dalam memecahkan persoalan-persoalan nelayan di Aceh Utara. Baik itu dari kalangan pemerintah sendiri, akademisi, LSM, dan pihak lain yang peduli dengan kondisi social ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat nelayan.
Dari hasil sharing lesehan tersebut mungkin akan lahir sebentuk ide atau gagasan tentang diperlukannya sebuah sarana yang efektif untuk memfasilitasi keberadaan para nelayan.
Sehingga apa yang menjadi kendala bagi mereka sedikit demi sedikit dapat teratasi. Sarana dalam bentuk lembaga ekonomi merupakan sebuah ide yang pas untuk menunjang kehidupan para nelayan.
Dengan adanya lembaga ekonomi ini diharapkan akan lebih mempermudah akses bagi pemenuhan kebutuhan para nelayan, dan tekhnis pengelolaannya murni untuk kepentingan nelayan. Sebut saja semacam koperasi.
Lembaga ekonomi berbentuk koperasi ini nantinya yang bertugas membuka akses pasar dalam rangka menunjang pendapatan nelayan.
Selain dibentuknya koperasi juga diperlukan pengorganisasian baik itu kalangan nelayan sendiri ataupun para istri nelayan guna memberikan pendidikan atau pelatihan sehingga pada gilirannya mereka tidak akan hanya bertumpu pada hasil tangkapan ikan saja, melainkan bisa melalui produk kreatif lainnya.
Sebenarnaya cukup banyak bidang usaha yang bisa dikembangkan. Sebagai contoh: pembuatan kerupuk ikan kemasan yang dikelola oleh para istri-istri
nelayan. Koperasi yang dibentuk harus mampu pula mencari pangsa pasar dalam rangka pemasaran hasil produk.
Dari hasil inilah yang kemudian mampu menutupi kebutuhan hidup para istri nelayan selama ditinggal oleh sang suami, disamping penghasilan tambahan lain seperti arisan dan sebagainya.
Agar pola ini bisa diterapkan di masyarakat nelayan yang ada di Aceh Utara, dibutuhkan upaya nyata dari semua pihak untuk bagaimana membangkitkan semangat para nelayan agar dapat segera keluar dari himpitan kemiskinan yang melilitnya.
Akan sangat sulit jika tidak adanya kerjasama semua pihak, terutama pihak yang merasa peduli dan terpanggil hatinya untuk meringankan beban hidup para nelayan ini. Ayo, Siapa mau peduli.
2.5 Kelembagaan
Masyarakat Aceh yang sendi-sendi kehidupannya dilandasi dengan nilai
adat-istiadat serta nilai-nilai keagamaan yang kental, masyarakat nelayan juga
sangat dipengaruhi dengan nilai-nilai tersebut, yang sebagiannya terlihat dari
organisasi kemasyarakatan yang terdapat pada masyarakat nelayan, yaitu lembaga
panglima laot.
Hukum Adat laot yang dikelola dan dijalankan oleh Lembaga panglima
laot mengatur tentang tata cara kehidupan laut serta upacara-upacara kelautan
yang di lakukan oleh masyarakat nelayan. Seperti Khanduri Laot dan acara-acara
lain yang bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat nelayan.
Lembaga ini juga berfungsi sebagai wadah tempat perkumpulan para
nelayan dan menjadi mediator atau menjadi penengah dalam menyelesaikan
sengketa diantara nelayan.
Kedudukan Lembaga Panglima laot semakin jelas dan diakui dengan
keluarnya Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor:
523.11/012/2005 (8 Maret 2005), yang menyebutkan bahwa mengukuhkan
Panglima Laot dilakukan dalam rangka menyukseskan pembangunan subsektor
perikanan, dengan tugas dan wewenang dalam kedudukannya sesuai adat
membantu tugas pemerintah dalam pembangunan bidang subsektor perikanan dan
masyarakat nelayan dalam arti luas.
Dalam pelaksanaan Rencana Strategis Panglima Laot se-Aceh yang
dilaksanakan Panglima Laut Provinsi NAD pada 9-12 Desember 2006 di Banda
Aceh, seluruh fungsi dan peran yang menjadi tanggung jawab Panglima Laot juga
dibahas secara detail. Ada beberapa bahasan spesifikasi program, yang mencakup:
(a) penguatan masyarakat nelayan,
(b) penguatan hukum adat laot masyarakat nelayan,
(c) pemberdayaan
(d) program beasiswa untuk pelajar dari kalangan nelayan miskin, dan
(e) memelihara lingkungan dari kerusakan.
Ada dua hal yang tergambar, bahwa:
(1) adat laot berusaha untuk tidak melahirkan sengketa dalam pengelolaan
sumberdaya –kalaupun ada, kemudian diupayakan melalui penegakan hukum adat
laot agar bisa diminimalisir dan dihilangkan;
(2) secara khusus, dalam adat laot ditempatkan secara khusus masalah lingkungan
hidup dalam salah satu pengaturannya.
Jadi jelas, pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, secara khusus dibahas
oleh Panglima Laot sebagai sesuatu yang sangat penting dalam konteks
memelihara lingkungan dari kerusakan demi kesinambungan dan keberlanjutan.
Panglima Laut di Aceh
Provinsi Aceh (sekarang Nanggroe Aceh Darussalam) memiliki hukum adat laut
yang berlaku secara turun temurun dan hingga saat ini masih dipertahankan.
Hukum adat laut ini dibuat dan dirancang pada zaman Pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1607-1636).
Hukum adat laut di Nangroe Aceh Darussalam dikenal dengan istilah Panglima
Laut, hal ini dikarenakan sistem tradisional tersebut di pimpin oleh seorang
Panglima Laut. Tugas dari seorang Panglima Laut adalah memimpin adat,
kebiasaan dan menyelesaikan persengketaan yang terjadi di bidang penangkapan
ikan serta diberi tanggung jawab untuk mempertahankan hukum adat laut agar
tetap dilaksanakan sebagai pranata sosial dalam masyarakat nelayan.
Pada daerah yang berlaku hukum adat laut ini, diatur secara lokal pada masing-
masing wilayah kerjanya. Hukum adat laut ini mulanya tidak tertulis secara rinci
dan ketentuan sanksi pada masing-masing lokasi sangat bervariasi, karena pada
saat tersebut penangkapan ikan di laut masih menggunakan alat-alat yang
sederhana dan tidak menggunakan mesin.
Namun demikian, seiring dengan terjadinya perkembangan teknologi di bidang
perikanan tangkap pada tahun 1970-an, maka keberadaan hukum adat laut pun
mengalami perkembangan dan perubahan. Oleh karena itu, untuk mensikapi
perkembangan yang terjadi di bidang perikanan, maka pada Bulan Januari 1972
masyarakat mengadakan musyawarah lembaga panglima laut se Kabupaten Aceh
Besar. Hasil dari musyawarah ini adalah terbentuknya sebuah lembaga panglima
laut kabupaten yang kemudian menjadi hukum adat laut motor boat atau motor
tempel. Selain itu, hasil dari musyawarah tersebut adalah berhasil merumuskan
ketentuan serta cara penangkapan ikan dengan mempergunakan alat tangkap
payang, peraturan penangkapan ikan dengan motor boat dan peraturan dayung.
Setelah itu, pada Bulan Desember 1978 kembali diadakan musyawarah kedua
yang menghasilkan keputusan tentang perombakan dan penyempurnaan hukum
adat laut yang menyangkut persidangan hukuman adat laut dalam tata cara
penangkapan ikan dengan motor boat, ketertiban administrasi keuangan, serta
sanksi hukum yang dikenakan terhadap pelanggar ketentuan hukum adat laut.
Perkembangan hukum adat laut ini semakin mendapatkan legitimasi yang kuat
dari Pemerintah Daerah. Hal ini dapat dilihat dari ketetapan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Daerah Istimewa Aceh pada tahun 1990 melalui Peraturan Daerah
(Perda)
14
Nomor 2 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat,
Kebiasaan- kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat di Provinsi Daerah
Istimewa Aceh.
Selanjutnya pada Bulan Januari 1992 diadakan kembali musyawarah panglima
laut se Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang bertujuan untuk menyeragamkan
aturan yang bersifat umum, seperti susunan organisasi dan lembaga hukum adat
laut, tugas panglima laut dan lain-lain. Kekuatan hukum diperkuat lagi setelah
Tahun 2000, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat (termasuk
lembaga panglima laut di dalamnya) menjadi kegiatan penting dalam undang-
undang ini. Namun sampai saat ini panglima laut secara formal belum merupakan
hukum positif yang memiliki kekuatan hukum yang mutlak, walaupun dari
panglima laut se-Aceh menyepakati untuk mengajukan Rancangan Peraturan
Daerah (Raperda) Hukum Adat Laut ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Menurut Peraturan Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7 Tahun 2000
Pasal 1 ayat 14, panglima laut didefinisikan sebagai orang yang memimpin adat
istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan di laut,
termasuk mengatur tempat/areal penangkapan ikan dan penyelesaian sengketa.
Fungsi dan Tugas Panglima Laut :
. (1) Membantu pemerintah dalam pembangunan perikanan dan pelestarian adat
istiadat dalam masyarakat nelayan.
. (2) Memelihara dan mengawasi ketentuan hukum adat laut.
. (3) Mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan di laut.
. (4) Menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi antar sesama
anggota nelayan atau kelompoknya.
. (5) Mengurus dan menyelenggarakan upacara adat laut.
. (6) Menjaga dan mengawasi hutan bakau dan pohon-pohon lain di tepi pantai
agar jangan ditebang karena ikan akan menjauh ke tengah laut.
. (7) Merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan
panglima laut.
Adapun ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum adat laut diantaranya
adalah (1) ketentuan tata cara penangkapan ikan dan sistem bagi hasil; (2)
ketentuan tentang penyelesaian sengketa antar nelayan dalam penangkapan ikan;
(3) pantangan turun ke laut; (4) ketentuan tentang adat social; serta (5) ketentuan
adat tentang pemeliharaan lingkungan.