28
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan penduduk yang telah masuk dalam usia kerja. Undang Undang No. 13 tahun 2003 Bab 1 passal 1 ayat 2 mendefinisikan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Analisis ketenagakerjaan, secara garis besar penduduk di suatu negara terlebih dahulu dibedakan menjadi dua golongan yaitu golongan tenaga kerja dan golongan bukan tenaga kerja, yang tergolong sebagai tenaga kerja adalah penduduk yang berada pada usia kerja, sebaliknya yang tidak tergolong tenaga kerja adalah penduduk yang belum berada pada usia kerja. Penentuan usia kerja berbeda-beda di masing-masing negara, seperti contohnya Indonesia yang menetapkan batasan usia kerja minimum adalah 10 tahun tanpa ada umur maksimum, yang artinya penduduk yang telah berusia 10 tahun otomatis masuk sebagai golongan usia kerja. Lain halnya bank dunia yang menetapkan batas usia kerja yaitu antara 15 hingga 64 tahun (Dumairy, 1996:74). Masih menurut Dumairy, tenaga kerja di pilah kembali kedalam dua kelompok yaitu kelompok angkatan kerja dan kelompok bukan angkatan kerja. Kelompok angkatan kerja adalah penduduk yang telah menginjak usia kerja yang bekerja atau memiliki pekerjaan tetapi untuk sementara waktu sedang tidak bekerja dan yang yang sedang mencari pekerjaan, sedangkan kelompok bukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 ... II.pdf · terjadi defisit anggaran belanja yang dibiayai pemerintah dengan cara mencetak uang baru, karena panen gagal,

  • Upload
    vukhue

  • View
    223

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1.1 Landasan Teori dan Konsep

2.1.1 Teori Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan penduduk yang telah masuk dalam usia kerja.

Undang – Undang No. 13 tahun 2003 Bab 1 passal 1 ayat 2 mendefinisikan tenaga

kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan

barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk

masyarakat. Analisis ketenagakerjaan, secara garis besar penduduk di suatu

negara terlebih dahulu dibedakan menjadi dua golongan yaitu golongan tenaga

kerja dan golongan bukan tenaga kerja, yang tergolong sebagai tenaga kerja

adalah penduduk yang berada pada usia kerja, sebaliknya yang tidak tergolong

tenaga kerja adalah penduduk yang belum berada pada usia kerja. Penentuan usia

kerja berbeda-beda di masing-masing negara, seperti contohnya Indonesia yang

menetapkan batasan usia kerja minimum adalah 10 tahun tanpa ada umur

maksimum, yang artinya penduduk yang telah berusia 10 tahun otomatis masuk

sebagai golongan usia kerja. Lain halnya bank dunia yang menetapkan batas usia

kerja yaitu antara 15 hingga 64 tahun (Dumairy, 1996:74).

Masih menurut Dumairy, tenaga kerja di pilah kembali kedalam dua

kelompok yaitu kelompok angkatan kerja dan kelompok bukan angkatan kerja.

Kelompok angkatan kerja adalah penduduk yang telah menginjak usia kerja yang

bekerja atau memiliki pekerjaan tetapi untuk sementara waktu sedang tidak

bekerja dan yang yang sedang mencari pekerjaan, sedangkan kelompok bukan

2

angkatan kerja adalah penduduk yang telah menginjak usia kerja yang tidak

bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan tidak sedang mencari pekerjaan. Menurut

BPS (2001) yang masuk dalam kelompok angkatan kerja adalah penduduk usia

kerja yang selama seminggu yang lalu mempunyai pekerjaan, baik yang bekerja

maupun sementara tidak bekerja karena suatu sebab, seperti pegawai sedang cuti

atau petani yang sedang menunggu musim panen. Disamping itu mereka yang

tidak mempunyai pekerjaan tetapi sedang mencari, berusaha atau mengharap

pekerjaan juga termasuk dalam kelompok angkatan kerja, sedangkan yang

dimaksud bukan kelompok angkatan kerja adalah kelompok penduduk yang

selama seminggu yang lalu mempunyai kegiatan yang tidak termasuk dalam

angkatan kerja, seperti pelajar yang sedang sekolah dan ibu rumah tangga.

Haryo Kuncoro (2002) menjelaskan, penyerapan tenaga kerja adalah

banyaknya lapangan kerja yang sudah terisi yang tercermin dari banyaknya

jumlah penduduk bekerja. Penduduk yang bekerja terserap dan tersebar di

berbagai sektor perekonomian. Terserapnya penduduk bekerja disebabkan oleh

adanya permintaan akan tenaga kerja. Indonesia dengan jumlah penduduk yang

besar berarti memiliki sumber daya yang besar pula (Barthos, 2001:15). Oleh

karena itu, sumber daya manusia yang berupa tenaga kerja harus dimanfaatkan

semaksimal mungkin. Tenaga kerja yang ada harus mampu diserap oleh semua

kegiatan dan sektor ekonomi. Penyerapan tenaga kerja bisa di kaitkan dengan

keseimbangan interaksi antara permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga

kerja, yang di mana permintaan tenaga kerja pasar dan penawaran tenaga kerja

pasar secara bersama menentukan suatu penggunaan tenaga kerja keseimbangan

3

(Fuad Kadafi, 2013). Dalam dunia kerja atau dalam hal penyerapan tenaga kerja

setiap sektornya berbeda-beda untuk penyerapan tenaga kerjanya, misalnya saja

tenaga kerja di sektor formal. Penyeleksian tenaga kerjanya di butuhkan suatu

keahlian khusus, pendidikan, keahlian dan pengalaman untuk bisa bekerja pada

sektor formal (Don Bellante and Mark Janson : 2006). Usaha perluasan lapangan

pekerjaan yang dapat dilakukan untuk menyerap tenaga kerja dapat dilakukan

dengan dua cara :

1) Pengembangan industri yaitu jenis industri yang bersifat padat karya yang

dapat menyerap relatif banyak tenaga kerja dalam industri termasuk

industri rumah tangga.

2) Melalui berbagai proyek pekerjaan umum, misalnya pembuatan jembatan,

jalan raya atau bendungan.

2.1.2 Teori Inflasi

Inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana terjadi kenaikan

harga-harga yang berlaku dalam suatu perekonomian. Inflasi memiliki tingkat

yang berbeda dari satu periode ke periode lainnya dan berbeda pula dari satu

negara ke negara lainnya (Sadono Sukirno, 2001:15). Boediono (2008:155) juga

mendefinisikan inflasi merupakan kecendrungan dari harga-harga untuk naik

secara umum dan terus menerus, akan tetapi kenaikan harga dari satu atau dua

barang saja tidak dapat disebut sebagai inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut

meluas atau mengakibatkan kenaikan kepada sebagian besar dari harga-harga

barang lainnya.

4

Dilihat dari intensitasnya, Boediono (2005:162) menggolongkan inflasi yang

terjadi dalam suatu periode menjadi empat, yaitu :

1) Inflasi ringan, yaitu apabila tingkat inflasi atau kenaikan harga besarnya

kurang dari 10% per tahun.

2) Inflasi sedang, yaitu apabila tingkat inflasi atau kenaikan harga besarnya

antara 10% sampai 30% per tahun.

3) Inflasi berat, yaitu apabila tingkat inflasi atau kenaikan harga besarnya

antara 30% sampai 100% per tahun.

4) Hiper inflasi, yaitu apabila tingkat inflasi besarnya diatas 100% per tahun.

Muana Nanga (2005:238) mengemukakan bahwa terdapat beberapa teori

yang berkembang, yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab timbulnya

inflasi, diantaranya adalah :

1) Pandangan Kaum Klasik dan Monetaris

Kaum klasik menyebutkan bahwa penyebab utama timbulnya inflasi atau

kenaikan harga adalah karena kenaikan atau pertumbuhan jumlah uang

beredar yang nantinya akan berpengaruh terhadap perubahan tingkat

harga. Hal yang senada juga dikemukakan kaum monetaris yang

mengklaim inflasi itu merupakan fenomena moneter, sedikit berbeda

dimana mereka mengatakan, pertumbuhan jumlah uang beredar nantinya

juga akan berpengaruh terhadap output dan kesempatan kerja.

2) Pandangan Keynes

Di dalam model keynesian, jumlah uang beredar hanyalah salah satu

faktor dan bukan satu-satunya faktor penentu tingkat harga. Namun di

5

dalam jangka pendek, ada banyak faktor lain menurut keynesian yang

mempengaruhi tingkat harga, seperti pengeluaran konsumsi rumah tangga

(C), pengeluaran investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan pajak (T).

3) Pandangan Aliran Ekspektasi Rasional dan Ekonomi Sisi Penawaran

Para teoritisi dari aliran ekspektsasi rasional (rational expectation atau

Ratex) percaya bahwa perubahan yang bersifat antisipatif di dalam jumlah

uang yang beredar (money supply) hanya akan membawa dampak pada

tingkat harga (P) dan tidak mempunyai pengaruh terhadap output (Y) dan

kesempatan kerja.

4) Pandangan Kaum Strukturalis

Kaum strukturalis mengindentifikasi beberapa kendala atau hambatan

yang menjadi penyebab kenaikan harga atau inflasi di negara-negara

sedang berkembang, yaitu : (1) kendala penawaran bahan pangan yang

bersifat inelastis, (2) kendala devisa yang timbul karena nilai penerimaan

devisa tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan akan barang impor,

(3) kendala fiskal yang timbul karena tidak mencukupinya sumberdaya

keuangan dalam negeri.

Hasil penelitian yang dilakukan penelitian yang dilakukan Lutfi dan Hidayat

(2003) yang menganalisis prilaku inflasi menyimpulkan bahwa variabel jumlah

uang beredar berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap inflasi di

Indonesia. Wahjuanto (2010) juga menyimpulkan bahwa variabel jumlah uang

beredar dan suku bunga (SBI) berpengaruh signifikan terhadap laju inflasi di

Indonesia.

6

Samuelson dan Nordhaus (1997:324) menjelaskan, penyebab inflasi

dibedakan menjadi dua, yaitu :

1) Inflasi tarikan permintaan (Demand-Pull Inflation) terjadi akibat

permintaan agregat meningkat lebih cepat dibandingkan dengan potensi

produktif perekonomian dan memicu perubahan pada tingkat harga.

Permintaan agregat biasanya dipicu oleh membanjirnya jumlah uang

beredar di pasar.

2) Inflasi dorongan-biaya (Cost-push inflation) terjadi akibat adanya

peningkatan biaya selama periode pengangguran tinggi dan penggunan

sumber daya yang kurang aktif. Hal ini, akan menyebabkan kelangkaan

produksi dan kelangkaan distribusi meskipun secara umum tidak ada

peningkatan permintaan secara signifikan.

Berdasarkan asalnya, inflasi di golongkan menjadi dua (Djinar Setiawina,

2004:152), yaitu :

1) Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation), timbul karena

terjadi defisit anggaran belanja yang dibiayai pemerintah dengan cara

mencetak uang baru, karena panen gagal, dan karena gagalnya pasar serta

akibat-akibat lainnya yang nantinya berakibat pada mahalnya harga bahan

makanan.

2) Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation), timbul karena

kenaikan harga-harga diluar negeri atau di negara-negara langganan

berdagang kita dan atau karena adanya kenaikan tarif import barang.

7

Nopirin (2000:32) efek dari adanya inflasi diantaranya, dapat

mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta produk

nasional. Berikut dijelaskan beberapa efek dari inflasi, yaitu:

1) Efek terhadap pendapatan (equity effect), bersifat tidak merata dimana

disatu sisi ada yang dirugikan tetapi disisi lainnya ada yang diuntungkan

dengan adanya inflasi. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap,

orang yang menumpuk kekayaannya dalam bentuk uang kas dan

orang/pihak yang memberikan pinjaman uang dengan bunga lebih rendah

dari laju inflasi akan menderita kerugian karena adanya inflasi.

Sebaliknya, mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan dengan

prosentase lebih besar dari laju inflasi atau mereka yang memiliki

kekayaan bukan dalam bentuk uang dimana nilainya akan naik dan

meningkat dengan prosentase lebih besar dari laju inflasi justru akan

mendapatkan keuntungan dari adanya inflasi

2) Efek terhadap efisiensi (efficiency effects), inflasi dapat pula mengubah

pola alokasi faktor-faktor produksi. Ini dapat terjadi karena adanya

kenaikan permintaan akan berbagai macam barang, yang kemudian

kenaikan permintaan tersebut mendorong terjadinya perubahan produksi

barang tertentu.

3) Efek terhadap output (output effects), dimana disini dipertanyakan apakah

inflasi akan menyebabkan kenaikan atau penurunan output. Inflasi

memang mungkin dapat menyebabkan terjadi kenaikan produksi dengan

alasan, dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga barang

8

mendahului kenaikan upah sehingga pengusaha diuntungkan dengan

keadaan ini. Keuntungan pengusaha akan meningkat, dengan keuntungan

ini juga akan mendorong kenaikan produksi dan kenaikan produksi juga

mampu mendorong kenaikan permintaan akan tenaga kerja. Namun

sebaliknya, apabila laju inflasi cukup tinggi (hyper inflation) justru akan

menyebabkan penurunan ouput.

Masing-masing Negara memiliki cara tersendiri untuk mengatasi masalah

inflasi yang terjadi dinegaranya. Pada umumnya masalah inflasi dapat diatasi

dengan dua cara, yaitu :

1) Kebijakan Moneter

Ketut Nehen (2012:333) menjelaskan, kebijakan moneter adalah setiap

kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau oleh Bank Indonesia ataupun secara

bersama-sama di dalam bidang keuangan atau bidang moneter. Kebijakan moneter

dapat dilakukan melalui instrument-instrumen berikut, yaitu :

a) Politik diskonto (Politik uang ketat): Bank Indonesia menerapkan

kebijakan melalui pengendalian suku bunga. Suku bunga yang dikenal

dengan istilah BI Rate pada umumnya akan dinaikkan oleh Bank

Indonesia dengan maksud mengurangi jumlah uang yang beredar.

b) Operasi Pasar Terbuka (OPT): Bank Indonesia bertindak sebagai

pembeli dan penjual di pasar surat berharga atau di pasar devisa.

Apabila inflasi yang terjadi telah melampaui sasaran yang telah

ditetapkan maka Bank Indonesia akan menjual obligasi atau surat

9

berharga ke pasar modal untuk menyerap dan menekan

perkembangan uang yang beredar di masyarakat.

c) Penetapan cadangan wajib minimum: laju inflasi yang terjadi dapat

dikurangi melalui penetapan cadangan wajib minimum dalam bentuk

giro yang tidak lain adalah simpanan minimum yang harus dipelihara

oleh bank yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia.

2) Kebijakan Fiskal

Nopirin (2008:185) menjelaskan, kebijaksanaan fiskal menyangkut

pengaturan pengeluaran pemerintah dan perpajakan, dimana hal ini secara

langsung dapat mempengaruhi permintaan total dan nantinya juga akan

mempengaruhi harga. Inflasi dapat dicegah melalui penurunan permintaan total.

Kebijaksanaan fiskal berupa pengurangan pengeluaran pemerintah dan kenaikan

pajak akan mampu mengurangi permintaan total, sehingga inflasi dapat ditekan.

2.1.3 Hubungan Inflasi dengan Penyerapan Tenaga Kerja

Teori-teori yang telah berkembang seperti pandangan-pandangan yang

dikemukakan kaum monetaris mengenai inflasi mengatakan, inflasi merupakan

fenomena ekonomi mengenai pertumbuhan uang yang beredar yang dapat

mempengaruhi kesempaatan kerja. Menurut Nanga (2005:248) inflasi yang

terjadi pada perekonomian di suatu daerah memiliki beberapa dampak dan akibat

yang diantaranya adalah inflasi dapat menyebabkan perubahan-perubahan output

dan tenaga kerja, dengan cara memotivasi perusahaan untuk memproduksi lebih

atau kurang dari yang telah dilakukannya tergantung intensitasi inflasi yang

terjadi. Apabila inflasi yang terjadi dalam perekonomian masih tergolong ringan,

10

perusahaaan berusaha akan menambah jumlah output atau produksi karena inflasi

yang ringan dapat mendorong semangat kerja produsen dari naiknya harga yang

mana masih dapat dijangkau oleh produsen. Keinginan perusahaan untuk

menambah output tentu juga dibarengi oleh pertambahan faktor-faktor produksi

seperti tenaga kerja. Pada kondisi tersebut permintaan tenaga kerja akan

meningkat, yang selanjutnya meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang ada dan

pada akhirnya mendorong laju perekonomian melalui peningkatan pendapatan

nasional. Sebaliknya, apabila inflasi yang terjadi tergolong berat (hyper inflation)

maka perusahaan akan mengurangi jumlah ouput akibat tidak terbelinya faktor-

faktor produksi dan perusahaan juga akan mengurangi jumlah penggunaan tenaga

kerja sehingga penyerapan tenaga kerja semakin berkurang dan pengangguran

bertambah.

Amri Amir (2007), menjelaskan mengenai kurva philips bahwa teori A.W.

Phillips muncul karena pada saat tahun 1929, terjadi depresi ekonomi di Amerika

Serikat, hal ini berdampak pada kenaikan inflasi yang tinggi dan diikuti dengan

pengangguran yang tinggi pula dengan berdasarkan pada fakta itulah A.W.

Phillips mengamati hubungan antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran.

Hasil pengamatannya, ternyata ada hubungan yang erat antara Inflasi dengan

tingkat pengangguran. Hasil pengamatan Phillips ini dikenal dengan kurva

Phillips.

11

Gambar 2.1 Kurva Phillips

Sumber : Amri Amir (2007)

A.W Phillips menggambarkan hubungan antara tingkat inflasi dengan

tingkat pengangguran didasarkan pada asumsi bahwa inflasi merupakan cerminan

dari adanya kenaikan permintaan agregat. Naiknya permintaan agregat,

berdasarkan teori permintaan, permintaan akan naik, yang kemudian

menyebabkan harga akan naik pula, untuk memenuhi permintaan tersebut

produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja

(tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang dapat meningkatkan output).

Akibat dari peningkatan permintaan tenaga kerja, maka dengan naiknya harga-

harga (inflasi) pengangguran akan berkurang. Kurva Philips ini hanya berlaku

pada tingkat inflasi ringan dan dalam jangka pendek. Hal ini disebabkan karena

adanya kenaikan harga yang membuat perusahaan meningkatkan jumlah

produksinya dengan harapan memperoleh laba yang lebih tinggi namun, jika

inflasi yang terjadi adalah hyper inflation, kurva Philips tidak berlaku lagi. Pada

saat inflasi tinggi yang tidak dibarengi dengan kemampuan masyarakat,

12

perusahaan akan mengurangi jumlah penggunaan tenaga kerja sehingga jumlah

pengangguran akan bertambah (Sucitrawati dan Sudarsana Arka, 2012).

Penelitian yang dilakukan Novianti (2013) mengenai analisis faktor-faktor

yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor industri di Sumatera Utara

dikatakan bahwa variabel inflasi memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan

tenaga kerja sektor industri di Sumatera Utara. Ini berarti semakin bertambahnya

tingkat inflasi berarti semakin berkurang penyerapan tenaga kerjanya. Begitu juga

sebaliknya, semakin berkurangnya tingkat inflasi maka semakin bertambah tenaga

kerja yang mampu diserap. Haug dan King (2011) menjelaskan bahwa inflasi

yang terjadi di Amerika Serikat periode 1952-2010 memiliki hubungan positif

terhadap jumlah pengangguran. Penelitian lainnya yang dilakukan Beyer dan

Farmer (2007) di Amerika Serikat periode 1970-1999 mengidentifikasikan bahwa

ada hubungan yang positif antara inflasi terhadap pengangguran kemudian

dilanjutkan oleh Berensten, Menzio dan Wright (2009) yang meneliti pada periode

1955-2005 yang juga mengatakan terdapat hubungan positif antara inflasi

terhadap pengangguran. Kesimpulannya, teori dan penelitian-penelitian tersebut

menunjukkan bahwa inflasi memiliki hubungan negatif terhadap jumlah

penyerapan tenaga kerja. Apabila tingkat inflasi naik maka jumlah penyerapan

tenaga kerja akan berkurang dan begitu juga sebaliknya.

2.1.4 Konsep Produk Domestik Regional Bruto

Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik itu atas harga berlaku

maupun atas dasar harga konstan merupakan indikator penting yang digunakan

untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu daerah dalam suatu periode. PDRB

13

merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha pada

suatu daerah tertentu dan dapat juga dikatakan sebagai jumlah dari nilai barang

dan jasa akhir (neto) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi (BPS, 2013).

Produk domestik daerah merupakan semua barang dan jasa yang dihasilkan

dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah domestik, tanpa

memperdulikan asal dan kepemilikan faktor produksi dari penduduk daerah

tersebut ataupun tidak. Penghitungan produk domestik lebih dikenal dengan

istilah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), disebut domestik karena

menyangkut batas wilayah dan dinamakan bruto karena telah memasukkan

komponen penyusutan dalam perhitungannya.

PDRB secara umum disebut juga agregat ekonomi, maksudnya angka

besaran total yang menunjukkan prestasi ekonomi suatu wilayah. Agregat

ekonomi ini selanjutnya dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi.

Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi riil terlebih dahulu harus dihilangkan

pengaruh perubahan harga yang melekat pada angka-angka agregat ekonomi

menurut harga berlaku sehingga terbentuk harga agregat ekonomi menurut harga

konstan.

PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan

jasa yang dihitung menggunakan harga berlaku pada setiap tahun, sedangkan

PDRB atas dasar harga konstan menggambarkan nilai tambah barang dan jasa

yang dihitung menggunakan harga barang berlaku pada satu tahun tertentu

sebagai dasar (Noviyani, 2007). PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk

14

melihat pergeseran dan struktur ekonomi sedangkan PDRB atas harga konstan

digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ketahun.

PDRB digunakan untuk berbagai tujuan, salah satunya untuk mengukur

kinerja keseluruhan. Jumlahnya akan sama dengan jumlah dari nilai nominal

konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah untuk barang dan jasa serta ekspor

netto. Tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung angka-angka

PDRB adalah:

1) Pendekatan produksi

Melalui pendekatan produksi, produk nasional atau produk domestik bruto

diperoleh dengan menjumlahkan nilai pasar dari seluruh barang dan jasa yang

dihasilkan berbagai sektor perekonomian. Persamaan fungsi produksi pada

pendekatan produksi adalah sebagai berikut:

Y= f(K,L,t)………………………………………………..…………(2.1)

Dimana:

Y = Produksi

K = modal

L = tenaga kerja

t = teknologi

Unit-unit produksi tersebut dikelompokkan menjadi 9 sektor yaitu: (1)

pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, (2) pertambangan dan

penggalian, (3) industri penggalian, (4) listrik, gas dan air bersih, (5) bangunan,

(6) pedagangan, hotel dan restoran, (7) pengangkutan dan komunikasi, (8)

keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan (9) jasa-jasa termasuk jasa

pelayanan pemerintah.

15

2) Pendekatan pendapatan

Pendekatan pendapatan merupakan suatu pendekatan dimana pendapatan

nasional diperoleh melalui menjumlahkan pendapatan dari berbagai faktor

produksi yang menyumbang terhadap proses produksi. Pendapatan nasional yang

dimaksud disini diperoleh melalui penjumlahan dari berbagai unsur dan jenis

pendapatan.

1) Kompensasi untuk pekerja atau compensation for employees terdiri dari

upah (wages) dan gaji (salaries) ditambah faktor lain terhadap upah dan

gaji (misalnya, rencana dari pengusaha dalam hal pensiun dan dana

jaminan sosial).

2) Keuntungan perusahaan atau corporate provit merupakan kompensasi

kepada pemilik perusahaan yang mana digunakan untuk membayar

pajak keuntungan perusahaan, dibagikan kepada para pemilik saham

(stockholders) sebaga deviden dan ditabung perusahaan sebagai laba

perusahaan yang tidak dibagikan.

3) Pendapatan usaha perorangan atau proprictors income merupakan

kompensasi atas penggunaan tenaga kerja dan sumber-sumber dari self

employeed person, self employeed professional dan lain-lain.

4) Pendapatan sewa atau rental income of person merupakan kompensasi

yang untuk pemilik tanah, rental business dan recidential properties.

5) Bunga netto atau net interest terdiri dari Bungan yang dibayarkan

perusahaan dikurangi bunga yang diterima oleh perusahaan ditambah

16

bunga netto yang diterima dari luar negeri. bunga yang dibayar

pemerintah dan konsumen tidak termasuk didalamnya

Pendapatan nasional berdasarkan pendekatan pendapatan dapat dirumuskan

sebagai berikut:

NI = Yw + Yi + Ynr + Ynd………………………………………..…....(2.2)

Dimana:

NI = Pendapatan nasional

Yw = Pendapatan dari upah, gaji, dan pendapatan lainnya

sebelum pajak.

Yr = Pendapatan dari bunga.

Ynr dan Ynd = Pendapatan dari keuntungan dari perusahaan dan

pendapatan lainnya sebelum pengenaan pajak.

PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor

produksi yang ikut serta dalam proses produksi pada suatu daerah dengan jangka

waktu tertentu (biasanya dalam satu tahun). PDRB mencakup juga penyusutan

dan pajak tidak langsung netto (pajak tak langsung dikurangi subsidi).

3) Pendekatan pengeluaran

Pendekatan pengeluaran merupakan pendapatan nasional yang diperoleh

dengan cara menjumlahkan nilai pasar dari seluruh permintaan akhir atas output

yang dihasilkan perekonomian dan diukur pada harga paar yang berlaku. Dapat

dikatakan bahwa produk nasional atau produk domestik regional bruto adalah

penjumlahan nilai pasar dari permintaan di sektor rumah tangga untuk barang

konsumsi dan jasa-jasa (C), permintaan di sektor bisnis seperti barang-barang

investasi (I), pengeluaran pemerintah untuk barang-barang dan jasa-jasa (G), dan

pengeluaran sektor luat negeri untuk kegiatan sektor ekspor dan impor (X-M).

17

Perhitungan yang digunakan untuk menghitung output pada perekonomian

dengan pendekatan pengeluaran dapat dijelaskan dalam persamaan berikut:

Y atau PDRB = C + I + G + NX………………………..………………(2.3)

Dimana:

Y atau PDRB = Produk Domestik Regional Bruto

C = konsumsi

I = investasi

G = pengeluaran pemerintah

NX = ekspor neto (ekspor dikurangi impor)

PDRB adalah semua komponen dari permintaan akhir, yang terdiri dari: (1)

pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga nirlaba swasta, (2) konsumsi

pemerintah, (3) pembentukan modal tetap domestik bruto, (4) perubahan stok dan

(5) ekspor netto.

Pada dasarnya PDRB sama dengan PDB, hanya saja perbedaannya terletak

pada ruang lingkupnya, yang mana PDB berlaku secara nasional sedangkan

PDRB berlaku untuk daerah-daerah yang ada di negara tersebut. PDRB pada

daerah-daerah yang dijumlahkan akan menghasilkan PDB secara nasional (Hasan,

2009).

2.1.5 Hubungan Produk Domestik Regional Bruto dengan Penyerapan

Tenaga Kerja

Mankiw (2006:248) menjelaskan, hukum okun adalah relasi negatif antara

pengangguran dan GDP. Hukum okun merupakan pengingat bahwa faktor-faktor

yang menentukan siklus bisnis pada jangka pendek sangat berbeda dengan faktor-

faktor yang membentuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hukum Okun

(Okun’s law) merupakan hubungan negatif antara pengangguran dan GDP Riil,

18

yang mengacu pada penurunan dalam pengangguran sebesar 1 persen dikaitkan

dengan pertumbuhan tambahan dalam GDP Riil yang mendekati 2 persen. Dengan

kata lain, PDRB yang pada akhirnya mempengaruhi GDP berpengaruh positif

terhadap penyerapan tenaga kerja. Peningkatan jumlah PDRB akan berpengaruh

pada peningkatan penyerapan tenaga kerja, begitu juga sebaliknya penurunan

jumlah PDRB akan berpengaruh pada penurunan penyerapan tenaga kerja.

Hal tersebut di dukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Dimas dan

Nenik (2009) yang menyatakan bahwa PDRB memiliki pengaruh yang positif dan

signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta, dimana apabila

PDRB meningkat satu persen maka penyerapan tenaga kerja meningkat sebesar

1,23 persen. Rakhmasari (2006) juga mengatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruh penyerapan tenaga kerja salah satunya adalah PDRB dan memiliki

hubungan positif yang selanjutnya diperkuat oleh hasil penelitian Ferdinan (2011)

yang mengatakan bahwa besarnya PDRB merupakan faktor signifikan yang

mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat yang juga

memiliki pengaruh positif.

Budi Utami (2009) mengatakan bahwa Produk domestik regional bruto

(PDRB) berpengaruhi positif secara signifikan terhadap kesempatan kerja di

Kabupaten Jember tahun 1980 s./d. 2007. PDRB merupakan cerminan dari

pertumbuhan ekonomi (penambahan output yang dihasilkan), apabila PDRB

meningkat maka jumlah kesempatan kerja akan semakin besar. Junaidi (2013)

menyebutkan perkembangan PDRB memberikan dampak yang positif dan

signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sulawesi Utara. Putro dan

19

Achma (2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa PDRB berpengaruh

negatif dan signifikan terhadap pengangguran, yang berarti peningkatan PDRB

akan menurunkan jumlah pengangguran. Dengan kata lain, PDRB berpengaruh

positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Meningkatnya jumlah PDRB juga akan

meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan menurunkan jumlah pengangguran,

dan begitu juga sebaliknya. Kesimpulannya, dari teori dan hasil penelitian-

penelitian yang terdahulu PDRB memiliki pengaruh yang positif terhadap

penyerapan tenaga kerja. Apabila jumlah PDRB meningkat maka jumlah

penyerapan tenaga kerja juga akan meningkat, begitu juga sebaliknya.

2.1.6 Teori Upah

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan menyebutkan bahwa upah adalah hak pekerja/buruh yang

diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau

pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut

suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk

tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarga atas suatu pekerjaan dan/jasa yang

telah atau akan dilakukan. Sadono Sukirno (2002:353) mendefiniskan upah yaitu

pembayaran yang diperoleh berbagai bentuk jasa yang disediakan dan diberikan

oleh pengusaha kepada tenaga kerja. Upah ditentukan dengan melibatkan evaluasi

dari kontribusi karyawan sebagai bentuk penghargaan baik langsung maupun

tidak langsung sesuai dengan kemampuan dari organisasi dan peraturan hukum

yang berlaku (Fopuhunda, et al, 20011).

20

Disadari atau tidak tingkat kepuasan atau tingkat ketidakpuasan masing-

masing pekerja terhadap suatu pekerjaan tidaklah sama, maka bisa difahami

terjadinya kemungkinan perbedaan tingkat upah yang mencerminkan adanya

perbedaan selera atau preferensi terhadap setiap jenis pekerjaan. Terkadang

seseorang rela mengorbankan rasa tidak sukanya terhadap suatu pekerjaan demi

memperoleh imbalan tinggi atau mungkin sebaliknya ada orang yang mau

menerima pekerjaan yang memberi upah rendah, padahal dia bisa memperoleh

pekerjaan yang menghasilkan upah lebih tinggi, hal tersebut dilakukan semata-

mata karena ia menyukai pekerjaan tersebut.

Berbagai kabupaten dan provinsi penetapan upah khususnya penetapan upah

minimum berbeda-beda, baik besarnya, presentase kenaikan setiap tahun, sistem

penetapannya dan ruang lingkup yang ditetapkan. Menurut Case & Fair

(2005:533) mengatakan upah minimum adalah upah terendah yang diizinkan

untuk dibayarkan oleh perusahaan kepada para pekerjanya. Sementara itu menurut

Sony Sumarsono (2002:141) upah minimum merupakan upah yang telah

ditetapkan secara minimum regional, sektor regional dan sub sektor. Dalam hal ini

upah minimum adalah upah pokok dan tunjangan. Tunjangan termasuk dalam

upah minimum, karena hal ini merupakan kebijakan upah minimum di Indonesia

yang tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-01/Men/1999

dan UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003.

Penetapan upah minimum pada suatu daerah memiliki tujuan untuk

mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja (Prasetyo, 2010). Ketegasan

terhadap perusahaan untuk mematuhi peraturan mengenai upah minimum penting

21

dilakukan. Menurut Yaniv (2006) mengatakan bahwa apabila perusahaan-

perusahaan tidak patuh terhadap peraturan penetapan upah minimum, maka akan

mempengaruhi upah di pasar bebas dan upah minimum tidak akan berpengaruh

terhadap permintaan tenaga kerja.

Setiaji dan Sudarsono (2004) mengatakan terdapat dua sistem penetapan

upah minimum di Indonesia. Beberapa provinsi atau daerah menetapkan upah

minimum tunggal dan beberapa menetapkan upah minimum sektoral. Upah

minimum tunggal bersifat kaku yang pada umumnya berdampak kepada

perbaikan upah pekerja tetap pada industri marginal. Sedangkan, upah minimum

sektoral mengurangi dampak kekakuan upah, karena harga (upah) terdeferensiasi

sedemikian rupa sehingga dapat mewadahi berbagai industri yang berbeda dalam

produktivitas, jaringan pasar, sumber modal ukuran perusahaan, penggunaan

kapital dan akhirnya berbeda dalam Return on Investment (ROI). Diferensiasi

harga tersebut sangat cocok dengan kondisi industri Indonesia yang sangat

beragam.

Hukum upah minimum mengatakan bahwa harga termurah untuk tenaga

kerja adalah keadaan dimana sebagian besar pemilik usaha dapat membayarnya.

Di Amerika Serikat kongres mengenai upah minimum pertama kali diadakan Fair

Labor Standards Act pada tahun 1938 untuk memastikan standar minimal hidup

yang layak bagi pekerja. Pada tahun 2009, upah minimum sesuai dengan hukum

federal adalah $ 7,25 per jam. Sebagian besar negara-negara di dunia memiliki

hukum yang mengatur upah minimum.

22

Gambar 2.2 Kurva permintaan dan penawaran tenaga kerja pada pasar

tenaga kerja

Sumber : Mankiw, 2011

Kurva (a) menunjukkan pasar tenaga kerja di mana upah disesuaikan untuk

menyeimbangkan penawaran tenaga kerja dan permintaan tenaga kerja. Kurva (b)

menunjukkan dampak dari upah minimum yang mengikat. Karena upah minimum

adalah harga dasar, hal itu menyebabkan surplus: Jumlah tenaga kerja yang

ditawarkan melebihi kuantitas yang diminta. Hasilnya adalah pengangguran.

Untuk menguji efek dari upah minimum, kita harus mempertimbangkan pasar

tenaga kerja. Kurva (a) dari Gambar 2.2 menunjukkan pasar tenaga kerja, seluruh

pasar, adalah subjek untuk kekuatan penawaran dan permintaan. Pekerja

menentukan pasokan tenaga kerja, dan perusahaan menentukan permintaan. Jika

pemerintah tidak melakukan intervensi, biasanya upah menyesuaikan untuk

menyeimbangkan penawaran tenaga kerja dan permintaan tenaga kerja. Kurva (b)

dari Gambar 2.2 menunjukkan pasar tenaga kerja dengan upah minimum. Jika

23

upah minimum di atas tingkat ekuilibrium, seperti di sini, kuantitas tenaga kerja

yang ditawarkan melebihi kuantitas yang diminta. Hasilnya adalah pengangguran.

Dengan demikian, upah minimum menimbulkan pendapatan dari para pekerja

yang memiliki pekerjaan, tetapi menurunkan pendapatan pekerja yang tidak dapat

menemukan pekerjaan.

Untuk memahami sepenuhnya mengenai upah minimum, perlu diingat

bahwa didalam perekonomian terdapat bukan hanya pasar tenaga kerja tunggal

tetapi banyak pasar tenaga kerja untuk berbagai jenis pekerja. Dampak upah

minimum tergantung pada keterampilan dan pengalaman pekerja. Sebagian besar

pekerja terampil dan berpengalaman tidak terpengaruh karena upah ekuilibrium

mereka jauh di atas minimum. Untuk para pekerja ini, upah minimum tidak

mengikat.

Upah minimum memiliki dampak terbesar pada pasar tenaga kerja remaja.

Upah ekuilibrium remaja yang rendah karena remaja adalah salah satu anggota

paling terampil dan paling berpengalaman dari angkatan kerja. Selain itu, remaja

seringkali bersedia menerima upah lebih rendah dalam pertukaran untuk pelatihan

on-the-job. (Beberapa remaja bersedia untuk bekerja magang yang tidak dibayar

sama sekali, upah minimum tidak berlaku untuk mereka) Akibatnya, upah

minimum lebih sering mengikat untuk remaja daripada untuk anggota lain dari

angkatan kerja. Banyak ekonom telah mempelajari bagaimana hukum upah

minimum mempengaruhi pasar tenaga kerja remaja (Mankiw, 2011).

Para peneliti membandingkan perubahan upah minimum dari waktu ke

waktu dengan perubahan dalam pekerjaan remaja. Meskipun ada beberapa

24

perdebatan tentang seberapa banyak upah minimum mempengaruhi pekerjaan,

pada penelitian-penelitain yang telah dilakukakan menemukan bahwa peningkatan

10 persen dalam upah minimum menekan kerja remaja antara 1 dan 3 persen.

Dalam menafsirkan perkiraan ini, diketahui bahwa peningkatan 10 persen dalam

upah minimum tidak menaikkan upah rata-rata remaja sebesar 10 persen. Sebuah

perubahan dalam hukum tidak secara langsung mempengaruhi para remaja yang

sudah dibayar jauh di atas minimum, dan penegakan hukum upah minimum tidak

sempurna. Dengan demikian, penurunan yang diperkirakan dari 1 sampai 3 persen

adalah signifikan. Selain mengubah kuantitas tenaga kerja yang diminta, upah

minimum mengubah kuantitas yang ditawarkan, karena upah minimum dapat

menimbulkan peningkatan jumlah remaja yang memilih untuk mencari pekerjaan.

Banyak ekonom yang meneliti upah minimum mengakui bahwa upah

minimum memiliki beberapa efek samping, termasuk pengangguran, tetapi

mereka percaya bahwa efek ini kecil dan upah minimum yang lebih tinggi

membuat orang miskin memiliki kehidupan yang lebih baik. Penentang upah

minimum berpendapat bahwa itu bukan cara terbaik untuk memerangi

kemiskinan. Mereka mencatat bahwa upah minimum yang tinggi menyebabkan

pengangguran, mendorong para usia remaja putus sekolah, dan mencegah

beberapa pekerja terampil mendapatkan pelatihan on-the-job yang mereka

butuhkan. Selain itu, penentang dari upah minimum menunjukkan bahwa

penentuan upah minimum yang tinggi adalah kebijakan yang salah sasaran.

25

2.1.7 Hubungan Upah Minimum dengan Penyerapan Tenaga Kerja

Penyerapan tenaga kerja berkaitan dengan jumlah tenaga yang diminta

perusahaan atau instansi tertentu. Menurut Sumarsono (2003: 106) perubahan

tingkat upah akan mempengaruhi tinggi rendahnya biaya produksi perusahaan.

Apabila digunakan asumsi tingkat upah naik, maka akan terjadi hal-hal sebagai

berikut:

1) Naiknya tingkat upah akan meningkatkan biaya produksi pada

perusahaaan, yang selanjutnya meningkatkan harga per unit barang yang

diproduksi. Dengan terjadinya kenaikan harga barang, biasanya

konsumen memberikan respon cepat yaitu dengan mengurangi konsumsi

bahkan tidak lagi membeli barang yang bersangkutan. Akibatnya banyak

barang yang tidak terjual dan produsen terpaksa menurunkan jumlah

produksinya. Untuk mengurangi beban perusahaan akibat penurunan

jumlah produksi tersebut perusahaan melakukan pengurangan

penggunaan tenaga kerja, kondisi ini tentu akan menambah jumlah

pengangguran dan mengurangi jumlah penyerapan tenaga kerja.

2) Apabila upah naik (asumsi harga dari barang-barang lainnya tidak

berubah) maka pengusaha ada yang lebih suka menggunakan teknologi

padat modal untuk proses produksi dan menggantikan kebutuhan akan

tenaga kerja dengan kebutuhan akan barang-barang modal seperti mesin

dan lainnya. Penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan karena

adanya penggantian atau penambahan penggunaan mesin-mesin tersebut

26

tentu juga akan berdampak pada berkurangnya jumlah penyerapan

tenaga kerja.

Salah satu model sederhana yang menjelaskan dampak upah minimum

terhadap penyerapan tenaga kerja adalah model neo-klasikal standar yang

menggunakan asumsi pasar tenaga kerja yang homogen, kompetitif dan lingkup

pengaturan upah minimum yang berlaku menyeluruh pada semua kelompok

pekerja (complete coverage). Jika upah minimum ditetapkan diatas nilai upah

rata-rata pasar akan berdampak pada pengurangan jumlah permintaan terhadap

tenaga kerja oleh perusahaan-perusahaan yang pada akhirnya akan menurunkan

jumlah permintaan tenaga kerja, pengurangan ini biasa diartikan perusahaan

melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Adanya pengurangan ini

menyebabkan penyerapan tenaga kerja berkurang dan pengangguran menjadi

bertambah.

Gindling dan Terrell (2006) dalam penelitian yang dilakukannya

mengatakan bahwa tingkat upah memiliki pengaruh terhadap penyerapan tenaga

kerja, dimana setiap 10 persen kenaikan upah minimum terjadi penurunan pekerja

di masing-masing sektor sebesar 1,09 persen. Menurut Kuncoro (2002), kenaikan

upah akan mengakibatkan penurunan kuantitas tenaga kerja yang diminta. Apabila

tingkat upah naik sedangkan harga input lain tetap, berarti harga tenaga kerja

relatif mahal dari input lain. Situasi ini mendorong pengusaha untuk mengurangi

penggunaan tenaga kerja yang relatif mahal dengan input input lain yang harga

relatifnya lebih murah guna mempertahankan keuntungan yang maksimum.

27

Rini (2012) di dalam penelitiannya, kenaikan upah minimum akan

mengakibatkan berkurangnya lapangan kerja yang juga akan berimbas pada

berkurangnya jumlah penyerapan tenaga kerja. Magruder (2013) dan Kholifah

Anggrainy (2013) juga mengatakan bahwa upah minimum memiliki hubungan

negatif terhadap permintaan tenaga kerja, dengan kata lain temuan tersebut

menjelaskan bahwa kenaikan upah minimum akan mengurangi jumlah permintaan

tenaga kerja sehingga jumlah penyerapan tenaga kerja juga berkurang.

Penelitian yang dilakukan Rizal Azaini (2014) menyatakan bahwa

bertambahnya nilai upah bisa menyebabkan meningkatkan kehidupan layak

seorang pekerja, tetapi jika peningkatan upah yang ditetapkan terlalu tinggi yang

tidak disertai dengan peningkatan produksi kerja akan mendorong perusahaan

untuk melakukan pengurangan terhadap penggunaan tenaga kerja dengan

menurunkan produksi dan menggunakan teknologi padat modal. Hal ini dilakukan

karena beban yang terlalu tinggi yang ditanggung perusahaan akibat

bertambahnya nilai upah.

Sumarsosno (2003, dalam Fadliilah dan Atmanti, 2012) menjelaskan bahwa

tingkat upah akan mempengaruhi biaya produksi. Naiknya tingkat upah akan

meningkatkan biaya produksi perusahaanyang selanjutnya berdampak pada

meningkatnya harga per unit barang yang diproduksi. Dengan kondisi tersebut,

konsumen akan memberikan respon apabila terjadi kenaikan harga barang,

konsumen akan mengurangi konsumsi atau bahkan tidak mau membeli barang

yang bersangkutan. Akibatnya banyak barang atau produk yang tidak terjual maka

produsen harus menurunkan jumlah produksinya. Turunnya jumlah produksi

28

mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja yang dibutuhkan, itu berarti jumlah

penyerapan tenaga kerja juga akan berkurang. Upah minimum yang turun

memiliki manfaat yang baik terhadap Negara karena dalam jangka panjang

pengangguran dapat berkurang (Danziger, 2009). Kesimpulannya, teori dan hasil

penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa upah minimum memiliki

hubungan yang negatif terhadap penyerapan tenaga kerja. Apabila upah minimum

naik maka penyerapan tenaga kerja akan berkurang dan begitu juga sebaliknya.

2.2 Hipotesis

Berdasarkan pokok permasalahan, tujuan penelitian dan tinjauan pustaka,

maka diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut.

1) Inflasi, produk domestik regional bruto dan upah minimum secara

serempak berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di

Provinsi Bali periode tahun 1994-2013.

2) Produk domestik regional bruto secara parsial berpengaruh positif dan

signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Bali periode

tahun 1994-2013 sedangkan inflasi dan upah minimum secara parsial

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di

Provinsi Bali periode tahun 1994-2013.