Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi Bunyi
Bunyi adalah suatu efek yang dihasilkan pada organ pendengaran yang
disebabkan oleh vibrasi udara atau media lainnya yang berasal dari suatu sumber
bunyi. Vibrasi atau getaran media ini digambarkan sebagai suatu gelombang
dengan frekuensi dan amplitudo tertentu tergantung nada dan intensitas bunyi.
Gelombang ini merupakan pemampatan dan perenggangan media yang merambat
menjauhi sumber bunyi. Dalam proses penghantaran bunyi, keberadaan media
sangat penting. Media tempat gelombang bunyi merambat harus mempunyai
massa dan elastisitas. Pada umumnya medianya adalah udara. Gelombang bunyi
tidak dihantarkan di ruang hampa. Media perantara padat lebih cepat
menghantarkan bunyi dibandingkan udara (Concha-Barientos dkk., 2004).
2.2 Anatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran
Telinga terdiri atas 3 bagian yaitu bagian luar, tengah dan dalam. Telinga
luar terdiri atas daun telinga dan liang telinga. Telinga luar dan tengah
menghantarkan suara ke koklea, yang memisahkan suara sesuai frekuensi sebelum
suara ditransduksi oleh sel rambut menjadi kode neural dalam serat saraf
pendengaran. Pada telinga luar terdapat konka yang paling penting secara akustik
(Moller, 2006).
8
9
Sepertiga bagian lateral dari liang telinga adalah tulang rawan. Mengandung
kelenjar seruminosa dan kelenjar rambut. Bagian dua pertiga medial liang telinga
meliputi tulang. Liang telinga berbentuk tuba yang terbuka pada satu ujung dan
tertutup pada sisi lainnya, dikatakan sebagai resonator seperempat gelombang
(Mills dkk., 2006).
Telinga tengah merupakan rongga berisi udara yang terbagi atas kavum
timpani dan air cell mastoid (Probst dkk., 2006). Telinga tengah terdiri dari
membran timpani dan 3 tulang kecil yaitu maleus, inkus dan stapes. Di dalam
telinga tengah juga terdapat dua otot kecil yaitu m. tensor timpani yang melekat
pada manubrium maleus dan m. stapedius yang melekat pada stapes. M. tensor
timpani dipersarafi oleh n. trigeminus sedangkan m. stapedius dipersarafi oleh n.
fasialis. Korda timpani adalah cabang n. fasialis yang berjalan menyeberangi
rongga telinga tengah. Tuba Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah
dengan faring (Moller, 2006).
Membran timpani berbentuk agak oval dan merupakan selaput tipis pada
ujung liang telinga. Gendang telinga berbentuk kerucut dan agak cekung bila
dilihat dari liang telinga. Bagian utama dari gendang telinga disebut pars tensa
dan bagian kecilnya disebut pars flasida yang lebih tipis dan terletak di atas
manubrium maleus. Gendang telinga ditutupi oleh selapis sel epidermis yang
berlanjut dari kulit liang telinga. Tuba Eustachius terdiri dari bagian tulang atau
protimpanum yang berlokasi dekat rongga telinga tengah dan bagian tulang rawan
yang membentuk celah tertutup saat berakhir di nasofaring (Moller, 2006).
10
Telinga dalam atau labirin terletak di dalam tulang temporal, terdiri dari
koklea dan vestibular. Koklea atau rumah siput berupa dua setengah lingkaran dan
vestibular terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Koklea memiliki 3 saluran
yang terisi cairan yaitu skala vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala
media yang berlokasi di tengah koklea, dipisahkan dari skala vestibuli oleh
membran Reissner dan dari skala timpani oleh membran basilar. Pada membran
basilar ini terdapat organ Corti yang mengandung sel rambut (Moller, 2006).
Gambar 2.1 Anatomi Telinga (Ganong, 2009).
Organ Corti adalah organ sensori yang terstruktur baik. Terdapat 1 baris sel
rambut dalam dan 3 baris sel rambut luar pada bagian atas membran basilar
dengan berbagai sel pendukung yang bervariasi. Sel rambut adalah sel reseptor
sensori dari pendengaran dan keseimbangan serta sel yang paling penting dalam
telinga dalam. Sel rambut memiliki mekanoreseptor khusus yang mengubah
11
stimulus mekanik yang berkaitan dengan pendengaran dan keseimbangan menjadi
informasi neural yang diteruskan ke otak (Oghalai dan Brownell, 2004).
Koklea pada manusia membentuk 2 ½ sampai 2 ¾ putaran dimana panjang
keseluruhannya sekitar 3,1-3,3 cm dan tinggi sekitar 0,5 cm (Moller, 2006).
Koklea adalah bagian telinga yang paling penting dan bisa dimengerti apa yang
terjadi dalam koklea bisa mengakibatkan banyaknya kunci permasalahan
pendengaran. Koklea terisi oleh cairan yang hampir tidak bertekanan dan juga
memiliki dinding tulang yang kaku. Terbagi dua panjangnya oleh dua membran,
yaitu membran Reissner dan membran basilar (Mills dkk., 2006).
Gambar 2.2 Potongan melintang koklea (Moore dan Agur, 2007).
Energi akustik memasuki koklea melalui kerja seperti piston dari kaki stapes
pada tingkap lonjong dan diteruskan langsung pada perilimfe dari skala vestibuli.
Perilimfe dari skala vestibuli berhubungan dengan perilimfe dari skala timpani
melalui sebuah bukaan kecil dari apeks koklea yang dikenal sebagai helikotrema
(Mills dkk., 2006).
12
Ketika tingkap lonjong bergerak dengan adanya suara, perbedaaan tekanan
diaplikasikan menyeberangi membran basilar, yang mengakibatkan pergerakan
membran basilar. Perbedaan tekanan dan pola pergerakan membran basilar
memerlukan waktu untuk berkembang dan bervariasi tergantung panjangnya
membran basilar. Pola yang muncul tidak tergantung pada ujung mana dari koklea
yang distimulasi (Mills dkk., 2006).
Telinga luar mendapat aliran darah cabang aurikulotemporal a. temporalis
superfisial di bagian anterior dan di bagian posterior mendapat aliran darah oleh
cabang aurikuloposterior a. karotis eksterna. Kavum timpani mendapat aliran
darah oleh berbagai cabang a. karotis eksterna (a. meningea media, a. faringeal
ascenden, a. maksilaris dan a. stilomastoid). Telinga dalam mendapat aliran darah
oleh a. labirin yang berasal dari a. antero inferior cerebellar atau a. basilaris. Arteri
labirin ini berjalan bersama n. vestibulokoklearis melalui kanalis auditorius
internus, yang kemudian terbagi menjadi a. vestibularis dan a. koklearis (Probst
dkk., 2006). Arteri labirin adalah end-artery dengan sedikit atau tanpa suplai
darah kolateral ke koklea. Penting untuk dicatat bahwa a. labirin yang berjalan di
kanalis auditorius internus bukan arteri tunggal namun berupa beberapa arteriol
kecil, hampir seperti pleksus arteri (Moller, 2006).
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang suara dan liang telinga meneruskan gelombang
ini yang akan menggetarkan gendang telinga. Daun telinga juga membantu
lokalisasi suara dan lebih efisien dalam menyampaikan suara frekuensi tinggi
dibanding frekuensi rendah. Gelombang suara yang mencapai gendang telinga
13
akan berjalan sepanjang rantai pendengaran yang terdiri dari tulang inkus, maleus
dan stapes. Gendang telinga dalam rantai pendengaran paling efisien dalam
mentransmisikan suara antara 500 Hz dan 3000 Hz yang merupakan frekuensi
yang paling penting untuk mengerti percakapan (Lee, 2003).
Dalam penerimaan bunyi, proses transmisi dibedakan menjadi dua bagian
sesuai organ penerima, yaitu transmisi aerodinamik dimana stimulus bunyi
berpindah dari liang telinga ke membran timpani dan dari membran timpani ke
tulang pendengaran. Transmisi yang ke dua adalah transmisi hidrodinamik yaitu
stimulus bunyi berpindah dari foramen ovale ke telinga dalam melalui cairan
perilimfe dan endolimfe (Mills dkk., 2006).
Telinga tengah mentransformasikan energi akustik dari media udara ke
media cairan. Hal ini merupakan sistem pencocokan impedans untuk memastikan
energi tidak hilang. Dengan bergetarnya membran timpani, rantai pendengaran
akan bergerak 1 rotasi aksis dari processus anterior maleus melewati processus
inkus. Ketika energi suara mencapai tingkap lonjong, koklea mentransformasikan
sinyal dari energi mekanik menjadi energi hidrolik dan akhirnya sel-sel rambut
menjadi energi bioelektrik. Seiring dengan keluar dan masuknya footplate stapes
dari tingkap lonjong, sebuah gelombang yang berjalan diciptakan dalam koklea
melalui teori gelombang Bekessy (Lee, 2003).
Sepanjang perjalanan gelombang melalui koklea, gelombang ini akan
mengakibatkan pergerakan membran basilar dan membran tektorial. Perbedaan
gerakan ke dua membran mengakibatkan terlipatnya sel rambut stereosilia.
14
Lipatan ini mendepolarisasi sel rambut yang akibatnya memulai impuls aferen
saraf (Lee, 2003).
Gelombang suara berjalan dari dasar ke apeks sepanjang membran basilar
sampai gelombang mencapai maksimum. Perjalanan gelombang ini ditentukan
oleh interaksi frekuensi suara dan membran basilar. Sel rambut luar mudah
bergerak, bereaksi mekanik pada sinyal yang datang dengan memendek dan
memanjang tergantung karakteristik frekuensi. Sel rambut luar adalah bagian dari
umpan balik mekanisme aktif, menyesuaikan kekuatan fisik dari membran
basilaris sehingga frekuensi yang diberikan secara maksimal menstimulasi sel
rambut dalam (Lee, 2003).
Neuron frekuensi tertentu mentransmisikan kode neural dari sel rambut ke
sistem auditorius. Sekali impuls saraf terinisiasi, sinyal ini akan berjalan
sepanjang jaras pendengaran dari sel ganglion spiral dalam koklea ke modiolus, di
mana serat ini membentuk cabang koklea dari N. VIII. Lalu dilanjutkan ke
nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran atau area 39-40 di lobus
temporalis (Lee, 2003).
2.3 Epidemiologi
Gangguan pendengaran tentunya dapat mengakibatkan penurunan fungsi
komunikasi dan penurunan kualitas hidup bagi penderitanya. Tuli akibat bising
merupakan tuli sensorineural yang paling sering dijumpai. Ketulian yang terjadi
dalam industri menempati urutan pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di
Amerika Serikat dan Eropa (Nelson dkk., 2005). Penelitian di Singapura yang
15
dilakukan terhadap 40 karyawan diskotik didapatkan 41,9% karyawannya
menderita tuli akibat bising (Airlangga, 2007). Penelitian di New Zealand yang
dilakukan terhadap petani yang menggunakan alat berat didapatkan sebanyak
11,6% menderita NIHL (Thorne dkk, 2008). Menurut data yang dilaporkan dari
World Health Organization sebanyak 16% dari populasi masyarakat dunia
menderita NIHL dan berhubungan dengan papasan bising yang sangat keras
(Nelson dkk., 2005).
Penelitian prospektif terhadap 150 pekerja di bidang industri konstruksi di
negara Spanyol didapatkan sebesar 94,1% hasil audiometri pekerja yang tidak
pernah menggunakan alat pelindung diri saat bekerja didapatkan pergeseran nilai
ambang dengar dibandingkan yang tidak terpapar bising (Pelegrin dkk., 2015).
Penelitian di Korea didapatkan adanya peningkatan risiko menderita NIHL
sebesar 2,15 kali pada pekerja industri besi baja dibandingkan pekerja yang tidak
terpapar bising di industri tersebut (Choi dan Kim, 2014). Penelitian prospektif
terhadap pekerja yang terpapar bising di Denmark didapatkan sebanyak 45%
menderita NIHL (Gimsing dan Nielsen, 2016).
2.4 Definisi Bising
Bising secara subjektif dapat didefinisikan sebagai bunyi yang mengganggu,
tidak disenangi dan tidak diinginkan (Alberti, 2003). Secara objektif bising adalah
kumpulan getaran bunyi yang terdiri dari berbagai frekuensi dan amplitudo baik
berifat periodik atau non periodik (Roestam, 2004). Bising dengan intensitas yang
rendah dapat menganggu pendengaran dan bising dengan intensitas yang tinggi
dapat merusak sel-sel rambut pendengaran sehingga terjadi penurunan
16
pendengaran. (Alberti, 2003). Dalam kesehatan kerja bising merupakan bunyi
yang dapat menyebabkan penurunan pendengaran secara kuantitatif berupa
peningkatan ambang dengar maupun secara kualitatif berupa penyempitan
spektrum pendengaran di mana berkaitan dengan faktor intensitas, frekuensi,
durasi dan pola waktu (Alberti, 2003; Brasto, 2008; Hoong dkk, 2013).
Tabel 2.1. Batas pajanan bising yang diperkenankan sesuai Keputusan Menteri
Tenaga Kerja 1999 (Soetirto dan Bashirudin, 2007).
Waktu Lama pajan/hari Intensitas (dB)
24 80
16 82
Jam 8 85
4 88
2 91
1 94
30 97
15 100
Menit 7,5 103
3,75 106
1,88 109
0,94 112
28,12 115
14,06 118
7,03 121
3,52 124
Detik 1,76 127
0,88 130
0,44 133
0,22 136
0,11 139
17
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja 1999 maka batas waktu pajanan
bising yang diperkenankan di Indonesia dapat dilihat dalam Tabel 2.1 (Soetirto
dan Bashirudin, 2007).
Bising dapat dibagi dalam beberapa macam. Bising kontinyu merupakan
bising dengan spektrum luas dan menetap dengan batas amplitudo kurang lebih 5
dB untuk periode waktu 0,5 detik atau disebut steady wide band noise. Bising
kontinyu dapat berspektrum sempit dan menetap atau disebut steady narow band
noise. Bising terputus-putus atau intermiten noise adalah bising yang tidak
berlangsung terus menerus namun terdapat periode relatif berkurang. Bising yang
disebabkan pukulan yang kurang dari 0,1 detik sering disebut impact noise atau
bila bising tersebut berulang disbut repeated impact noise. Bising yang berasal
dari ledakan tunggal disebut explosive noise. Apabila berulang disebut repeated
explosive noise. Bising ini dapat menimbulkan rasa kejut pada pendengarnya
karena memliki perubahan tekanan bunyi melebihi 40 dB dalam waktu yang
sangat cepat (Roestam, 2004).
Nilai ambang batas (NAB) kebisingan adalah intensitas tertinggi dan
merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima oleh tenaga kerja tanpa
mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu kerja terus-
menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Seperti halnya stres
fisiologi lainnya, kebisingan dapat menimbulkan respon yang berbeda antara
individu yang satu dengan yang lainnya. Hal ini penting untuk diketahui di dalam
menetapkan standar atau nilai ambang batas pada suatu level atau intensitas
tertentu, tidak menjamin bahwa semua pekerja yang terpapar bising dengan
18
ambang batas 85 dB dalam 8 jam sehari dan 40 jam seminggu akan terbebas dari
gangguan pendengaran. Occupational Safety and Health Administration (OSHA)
membuat peraturan yang dikenal sebagai hukum 5 dB dimana setiap kenaikan
intensitas bising sebesar 5 dB, maka waktu pajanan harus dikurangi separuhnya
seperti pada Tabel 2.2 (OSHA, 2004).
Tabel 2.2. Hubungan antara nilai batas kebisingan dengan durasi paparan menurut
OSHA tahun 2004.
Durasi per hari (Jam) Intensitas bising (dB)
16 85
8 90
4 95
2 100
1 105
0,5 110
0,25 115
0,125 120
2.5 Nelayan dan Mesin Tempel
Nelayan adalah adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan (UU RI No.31/2004 – Perikanan). Nelayan adalah orang yang
secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung (seperti
penebar dan pemakai jaring), maupun secara tidak langsung (seperti juru mudi
perahu layar, nakhoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal, juru masak kapal
penangkap ikan), sebagai mata pencaharian. Nelayan adalah suatu kelompok
19
masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan
cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka pada umumnya tinggal
dipinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi
kegiatannya (Imron, 2003).
Nelayan dapat diklasifikasikan berasarkan kelompok kerja seperti:
1. Nelayan Perorangan
Nelayan yang memiliki peralatan tangkap ikan sendiri, dalam
pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain.
2. Nelayan Kelompok Usaha Bersama (KUB)
Merupakan gabungan dari minimal 10 orang nelayan yang kegiatan
usahanya terorganisir tergabung dalam kelompok usaha bersama non-badan
hukum.
3. Nelayan Perusahaan
Merupakan nelayan pekerja atau pelaut perikanan yang terikat dengan
perjanjian kerja laut atau PKL dengan badan usaha perikanan.
Berdasarkan statistik perikanan nelayan dibagi menjadi:
1. Nelayan Penuh
Nelayan tipe ini hanya memiliki satu mata pencaharian, yaitu sebagai
nelayan. Hanya menggantungkan hidupnya dengan profesi kerjanya sebagai
nelayan dan tidak memiliki pekerjaan dan keahlian selain menjadi seorang
nelayan.
20
2. Nelayan Sambilan Utama
Nelayan tipe ini merupakan nelayan yang menjadikan nelayan sebagai
profesi utama, tetapi memiliki pekerjaan lainnya untuk tambahan
penghasilan. Apabila sebagian besar pendapatan seseorang berasal dari
kegiatan penangkapan ikan, ia disebut sebagai nelayan.
3. Nelayan Sambilan Tambahan
Nelayan tipe ini biasanya memiliki pekerjaan lain sebagai sumber
penghasilan. Sedangkan pekerjaan sebagai nelayan hanya untuk tambahan
penghasilan.
Klasifikasi nelayan berdasarkan sarana apung yaitu:
1. Nelayan berkapal/perahu adalah nelayan yang operasi penangkapannya
menggunakan sarana apung berupa kapal/perahu.
2. Nelayan rakit adalah nelayan yang operasi penangkapannya menggunakan
sarana apung berupa rakit.
3. Nelayan tanpa sarana apung adalah nelayan yang operasi penangkapannya
tidak menggunakan sarana apung.
Klasifikasi nelayan berdasarkan teknologi yaitu:
1. Nelayan Tradisional menggunakan teknologi penangkapan yang sederhana,
umumnya peralatan penangkapan ikan dioperasikan secara manual dengan
tenaga manusia. Kemampuan jelajah operasional terbatas pada perairan
pantai.
2. Nelayan Modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih
dibandingkan dengan nelayan tradisional. Ukuran modernitas bukan semata-
21
mata karena penggunaan motor untuk menggerakkan perahu melainkan juga
besar kecilnya motor yang digunakan serta tingkat eksploitasi dari alat
tangkap yang digunakan. Perbedaan modernitas teknologi alat tangkap juga
akan berpengaruh pada kemampuan jelajah operasional mereka.
Mesin tempel atau outboard motor adalah mesin penggerak pada perahu,
ataupun kapal kecil yang terdiri dari mesin penggerak, transmisi, propeler ataupun
jet air. Mesin tempel ini mengeluarkan suara atau bunyi yang termasuk jenis
bising terputus-putus. Mesin ini merupakan tipe instalasi dengan tata letak
konstruksi motor penggerak utama berada diatas permukaan dek kapal atau
perahu. Mesin tesebut umumnya ditempelkan pada buritan perahu (Gambar 2.3).
Selain sebagai penggerak mesin tempel juga digunakan untuk mengemudikan
perahu/kapal dengan memutar mesin beserta propeler pada suatu sumbu (Hadi,
2004).
Gambar 2.3. Motor outboard atau mesin tempel perahu.
2.6 Pengaruh Kebisingan Terhadap Kerusakan Telinga Dalam
Bising dapat mengakibatkan kerusakan pada telinga dalam. Lesi dapat
terjadi bervariasi dari disosiasi organ Corti, membrana rusak atau pecah,
perubahan stereosilia dan organ subseluler. Bising juga berpengaruh terhadap sel
ganglion saraf, membrana tektoria, pembuluh darah dan stria vaskularis. Pada
22
observasi kerusakan organ Corti dengan mikroskop elektron dapat diketahui
bahwa sel-sel sensori dan sel penunjang merupakan bagian yang paling peka di
telinga dalam (Soetirto dan Bashirudin, 2007).
Jenis kerusakan pada struktur organ tertentu yang ditimbulkan bergantung
pada intensitas, lama pajanan dan frekuensi bising. Penelitian menggunakan
intensitas bunyi 120 dB dan kualitas bunyi nada murni sampai bising dengan
waktu pajanan 1-4 jam menimbulkan beberapa tingkat kerusakan sel rambut.
Kerusakan juga dapat dijumpai pada sel penyangga, pembuluh darah dan serat
aferen (Soetirto dan Bashirudin, 2007).
Stimulasi bising pada tingkat intensitas sedang dapat mengakibatkan
perubahan ringan pada silia dan Hensen’s body, sedangkan stimulasi dengan
intensitas yang lebih keras dengan pajanan yang lebih lama akan mengakibatkan
kerusakan struktur sel rambut lain seperti mitokondria, granula lisosom, lisis sel
dan robekan di membran Reisner. Pajanan bunyi dengan efek destruksi yang tidak
begitu besar menyebabkan terjadinya floppy silia yang sebagian masih reversibel.
Kerusakan silia menetap ditandai dengan fraktur rootlet silia pada lamina
retikularis (Soetirto dan Bashirudin, 2007).
Sepuluh milimeter dari foramen ovale terdapat sel rambut yang memiliki
amplitudo paling besar dan menerima energi terbesar terhadap paparan bising,
sehingga bagian tersebut akan mudah cedera akibat paparan bising yang disebut
sebagai 4000 Hz receptors. Karena hubungannya dengan serabut saraf sering
juga disebut 4000 Hz nerve fiber. Tempat ini merupakan lokus minoris pada organ
Corti (Alberti, 2003).
23
Beberapa efek auditorial yang dapat ditimbulkan akibat paparan bising yaitu
adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara serta peningkatan ambang dengar
menetap (Alberti, 2003).
Adaptasi atau respon kelelahan akibat rangsangan adalah keadaan dimana
terdapat peningkatan ambang dengar segera akibat paparan bising. Pemulihan
timbul secara eksponensial, pada paparan dengan intensitas 70 dB atau kurang,
pemulihan dapat terjadi dalam 0,5 detik. Keadaan ini merupakan fenomena
fisiologis yang disebabkan oleh kelelahan pada saraf telinga yang terpajan bising.
Peningkatan ambang dengar sementara merupakan keadaan yang
menyebabkan ambang dengar meningkat akibat paparan bising dengan intensitas
cukup tinggi. Pemulihan terjadi dalam beberapa menit atau jam, jarang terjadi
pemulihan dalam satuan detik. Seperti adaptasi, kelainan ini pun bergantung pada
intensitas bunyi, frekuensi bunyi dan lama paparan. Peningkatan ambang dengar
sementara terdiri atas dua bagian yaitu:
a. Reaksi lelah
Reaksi lelah atau kelelahan fisiologik merupakan penurunan aktivitas organ.
Hal ini disebabkan oleh karena intensitas paparan bising yang lebih kuat dari
adaptasi dan waktu paparan lebih lama. Kelainan ini merupakan transisi dari
adaptasi ke peningkatan ambang dengar sementara berjalan lama. Perubahan
bentuk dari proses adaptasi ke arah reaksi lelah sulit dibedakan dengan jelas oleh
karena keduanya dapat juga timbul secara bersamaan. Kelelahan fisiologik adalah
terdapatnya peningkatan ambang dengar yang berlangsung lebih dari 2 menit
dengan masa pemulihan lengkap kurang dari 16 jam.
24
b. Peningkatan ambang dengar sementara berjalan lama.
Peningkatan ambang dengar sementara berjalan lama atau kelelahan
patologik adalah kelainan akibat paparan bising dengan intensitas lebih kuat dan
waktu yang lebih lama dari kelelahan fisiologik. Perbedaan kelainan ini dengan
kelelahan fisiologik adalah terdapatnya perpanjangan masa pemulihan dan
kadang-kadang pemulihan yang terjadi tidak sempurna. Batas antara kelelahan
fisiologik dengan kelelahan patologik ialah intensitas 40 dB.
Peningkatan ambang dengar menetap terjadi oleh karena telinga terkena
paparan bising yang memiliki intensitas sangat tinggi dan berlangsung singkat
atau terjadi karena intensitas paparan yang cukup tinggi dan berlangsung lama.
Pada tahap awal hasil audiogram menunjukkan gambaran yang khas berupa
penurunan fungsi pendengaran pada frekuensi 3 KHz, 4 KHz dan 6 KHz,
sedangkan frekuensi lain masih normal sehingga pada notasi audiogram akan
terdapat suatu penurunan tajam yang dikenal dengan acoustic notch. Pada
keadaan lanjut, kerusakan koklea akan semakin meluas sehingga terjadi
penurunan di beberapa frekuensi lain yang lebih rendah atau lebih tinggi dan
penderita mulai merasa adanya kendala dalam mendengar (Alberti, 2003;
Ballenger, 2003; Dobie, 2006; Roestam 2004).
2.7 Biomolekuler
Paparan terhadap bising yang intens menyebabkan trauma pada sel-sel
rambut. Apabila kerusakan yang terjadi melampaui kemampuan sel untuk
memperbaiki diri maka sel-sel tersebut akan mati. Penelitian mutakhir
25
memperlihatkan bahwa sel-sel rambut dapat mati melalui jalur yang berbeda
(Bohne, dkk., 2007; Hu, dkk., 2006). Beberapa sel mati akibat apoptosis, yang
merupakan bentuk aktif kematian sel yang memerlukan suplai energi yang
persisten, sementara beberapa lainnya mati akibat nekrosis, suatu bentuk kematian
sel akibat disintegrasi dini sel (Hu, dkk., 2006; Hu dan Zheng, 2008).
Apoptosis dan nekrosis merupakan dua bentuk kematian sel yang berbeda
secara substansial dalam hal karakteristik morfologis dan biologisnya. Secara
morfologis, sel-sel yang mengalami apoptosis akan menyusut. Bagian nukleusnya
akan memadat dan bagian sel-selnya akan menyusut. Sebaliknya, sel-sel yang
mengalami nekrosis, bagian sel-sel dan nukleusnya akan membengkak. Semakin
bertambahnya volume sel, membran sel akan pecah. Secara biologis, sel-sel
apoptotik menggambarkan aktivasi sekelompok enzim yang terkait apoptosis yang
kemudian akan mencerna struktur-struktur seluler (Bohne, dkk., 2007).
Penelitian terkini telah mengidentifikasi molekul-molekul apoptotik yang
berperan dalam menimbulkan sinyal kematian sel dari satu organel seluler ke
organel seluler lainnya. Kaskade transduksi sinyal ini menjadi target potensial
bagi intervensi farmakologis yang akan memblok transduksi sinyal kematian,
memperlambat atau bahkan membalikkan program kematian sel (Hu, dkk., 2009).
Penyebab kematian sel rambut sangat kompleks. Daya mekanik yang
berkaitan dengan stimulasi berlebih akustik akan langsung menimbulkan trauma
pada struktur koklearis. Sel-sel rambut dapat cedera pada bagian struktur
penyangga akibat paparan bising impulsif seperti suara tembakan atau ledakan.
Struktur koklearis juga menjadi target dari molekul-molekul toksik yang
26
dihasilkan stres metabolik setelah trauma akustik. Salah satu molekul toksik yaitu
reactive oxidative species (ROS) yang sangat reaktif. Meski molekul toksik
tersebut merupakan produk alami dari produksi energi seluler, namun produksi
berlebih akibat produksi energi yang berlebihan atau disrupsi dari kemampuan
antioksidan akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif akan mengenai
banyak struktur seluler yang vital untuk berlangsungnya hidup sel, seperti
membran plasma, mitokondria dan nukleus sel (Hu, dkk., 2009).
Sel akan memasuki jalur apoptosis atau nekrosis dalam suatu keadaan stres,
hal tersebut berkaitan dengan sejumlah faktor. Salah satunya adalah level stres
oksidatif yang mengenai sel. Level moderat dari stres oksidatif akan memicu
kematian sel yang rusak melalui apoptosis. Sebaliknya, stres oksidatif yang berat
akan menimbulkan kematian sel nekrotik. Faktor lain yang mengatur
kecenderungan terjadinya kematian sel yaitu status energi dari sel. Apoptosis
membutuhkan energi, bila kekurangan energi maka akan memblok proses
apoptosis. Secara spesifik bila sel dapat mempertahankan produksi energinya, sel
akan mati akibat apoptosis. Bila sel kehilangan produksi energinya maka sel akan
mati abikat nekrosis (Hu dan Zheng, 2008).
2.8 Pengaruh NIHL pada Nelayan Terhadap Perkembangan Wisata
Noise induced hearing loss atau NIHL merupakan tuli akibat terpapar oleh
bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya
diakibatkan oleh bising lingkungan kerja (Soetirto dan Bashirudin, 2007). NIHL
ini tentunya dapat mengakibatkan penurunan kualitas kinerja seseorang dalam hal
27
pekerjaannya. Tingkat kebisingan dalam kehidupan sehari-hari secara konstan
mengalami peningkatan. Tingkat kebisingan tersebut tidak hanya menimbulkan
gangguan pada telinga juga dapat menimbulkan beberapa gangguan dari aspek
non auditori seperti gangguan tidur, hipertensi dan keadaan lain yang secara tidak
langsung menurunkan kinerja seseorang dari aspek pekerjaan (Alberti, 2003;
Ballenger, 2003).
Para nelayan yang menggunakan sarana moderen seperti perahu motor
dalam bekerja menangkap ikan dapat memiliki risiko ketulian akibat bising mesin
tempel yang diakibatkan suara mesin pada perahu motornya. Kegiatan nelayan
yang berlangsung setiap hari sebagai mata pencaharian tentunya dapat
menimbulkan risiko penyakit dibidang THT seperti gangguan pendengaran akibat
bising mesin tempel bila tidak mendapat perhatian yang cukup serius.
Gangguan pendengaran akibat bising tentunya dapat mempengaruhi aktifitas
dan konsentrasi seseorang di dalam pekerjaannya. Apabila para nelayan menderita
NIHL di dalam pekerjaannya mencari ikan tentu hasil tangkapan menjadi
menurun atau berkurang. Hal ini mengakibatkan pasokan ikan yang masuk ke
koperasi usaha bersama seperti di Desa Kedonganan menjadi berkurang.
Penghasilan para nelayan menjadi berkurang serta berdampak juga bagi para
pemilik usaha rumah makan ikan bakar tepi pantai di sekitar Desa menjadi
kekurangan pasokan ikan. Para wisatawan menjadi kesulitan untuk mendapatkan
masakan favoritnya sehingga akan mengurangi kunjungan wisatawan khususnya
di bidang wisata kuliner untuk berkunjung ke Bali khususnya pantai Kedonganan
yang sudah cukup terkenal di tingkat nasional.
28
2.9 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran
Pemeriksaan telinga dan pendengaran dimulai dengan anamnesis yang
mencakup riwayat gangguan pendengaran herediter, riwayat penyakit telinga
sebelumnya, paparan bising dan obat-obat ototoksik. Pemeriksaan dilanjutkan
dengan inspeksi yang menyeluruh dari daun telinga dan sekitarnya. Pemeriksaan
otoskopi kemudian dilakukan untuk dapat menilai kondisi liang telinga dan
membran timpani (Probst dkk., 2006). Pemeriksaan hidung, nasofaring dan jalan
nafas atas perlu dilakukan dengan seksama.
Evaluasi pendengaran dapat ditentukan dengan berbagai cara mulai dari
pengukuran sederhana sampai pengukuran dengan alat khusus. Contoh alat
pengukuran sederhana atau kualitatif adalah garpu tala, sedangkan alat khusus
atau kuantitatif misalnya dengan audiometri, Otoacoustic Emission atau OAE,
Auditory Brainstem Response atau ABR dan Auditory Steady State Response atau
ASSR (Soetirto dan Bashirudin, 2007). Dalam penelitian ini, gangguan
pendengaran dievaluasi dengan menggunakan DPOAE, dan audiometri nada
murni.
2.9.1 Otoacoustic Emission (OAE)
OAE adalah gelombang bunyi yang dihasilkan oleh koklea secara spontan
atau dengan rangsangan. Pertama kali OAE diperkenalkan oleh David T Kemp
pada tahun 1978 (Probst, 2006).
Manfaat pemeriksaan OAE adalah untuk
mengetahui apakah koklea berfungsi normal. Berdasarkan penelitian, semua tipe
OAE berasal dari aktivitas mekanik sel rambut luar yang menunjukkan fungsi
normal koklea.
29
Sel-sel rambut luar lebih sensitif dibandingkan dengan sel rambut dalam
terhadap kerusakan yang diakibatkan pajanan bunyi keras. Apabila terjadi
gangguan pada telinga akibat paparan bising, maka OAE tidak dapat dihasilkan
oleh karena terjadi kerusakan sel-sel rambut luar dan koklea. Berdasarkan
kenyataan itu maka salah satu peranan tes OAE yang sangat penting adalah dapat
digunakan untuk memantau secara dini kerusakan sel-sel rambut luar koklea
akibat pajanan bunyi keras (Abiratno, 2003).
2.9.1.1 Jenis-Jenis OAE
Pada prinsipnya OAE dibedakan menjadi spontaneous OAE yang muncul
secara spontan tanpa pemberian stimulus dan evoked OAE yang baru timbul
setelah diberikan stimulus dari luar. Evoked OAE dibedakan berdasarkan jenis
stimulus menjadi transient evoked OAE atau TEOAE, distortion product OAE
(DPOAE) dan stimulus frequency OAE atau SFOAE yang timbul dengan
menggunakan stimulus nada dengan bermacam-macam frekuensi secara terus
menerus. Baik DPOAE maupun TEOAE, keduanya sangat berharga dalam
menunjukkan fungsi koklea dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing
(Abiratno, 2003; Brasto, 2008; Probst, 2006).
a. Spontaneus Otoacoustic Emission atau SOAE
SOAE adalah gelombang bunyi yang berasal dari koklea dan terjadi secara
spontan tanpa diberikan suatu rangsangan. SOAE terjadi oleh karena adanya
pantulan energi traveling wave pada koklea yang mengalami perubahan
impedance. Secara alami didapatkan pada lebih dari 60% telinga sehat, bernada
30
rendah dan bunyi yang mudah direkam di liang telinga luar tanpa adanya
stimulusi bunyi. Karena tidak seluruh telinga sehat memberikan SOAE, dan
pantulan yang dihasilkan sangat lemah, maka nilai kliniknya tidak tinggi. Tidak
timbulnya SOAE bukan merupakan petunjuk gangguan pendengaran.
b. Transient Evoked Otoacoustic Emission atau TEOAE
TEOAE adalah gelombang OAE yang dihasilkan oleh koklea setelah
mendapat rangsangan. Rangsangan itu dapat berupa click atau tone burst. TEOAE
sering juga disebut dengan click-evoked otoacoustic emission, Kemp echo atau
cochlear echo. Untuk memperoleh emisi TEOAE digunakan stimulus bunyi click
yang onsetnya sangat cepat dengan intensitas sekitar 40 dB. TEOAE tidak
terdeteksi pada ketulian di atas 40 dB. Bila TEOAE positif berarti tidak ada
ketulian koklea, sedangkan bila TEOAE negatif berarti ada ketulian koklea yang
lebih dari 40 dB. Umumnya hanya digunakan untuk skrining pendengaran bayi
atau anak.
c. Distortion Product Otoacoustic Emission atau DPOAE
DPOAE merupakan gelombang bunyi yang timbul bila koklea dirangsang
secara simultan dengan dua nada bunyi yang mempunyai frekuensi yang berbeda.
Dua nada bunyi tersebut kemudian disepakati sebagai f1 untuk nada yang
mempunyai frekuensi rendah dan f2 untuk nada yang berfrekuensi lebih tinggi.
Sebagai respon dari rangsangan kedua nada tersebut maka koklea akan
menghasilkan nada bunyi lain pada frekuensi yang berbeda. Nada bunyi yang
timbul tersebut kemudian dikenal sebagai distortion product dari koklea.
31
Distortion product yang muncul kemudian dipantulkan kembali menuju meatus
akustikus eksternus sebagai OAE.
d. Stimulus Frequency Otoacoustic emission atau SFOAE
Merupakan OAE yang jarang dipelajari dan secara teknis sulit direkam.
Baik DPOAE maupun TEOAE sangat berharga dalam menunjukkan fungsi
koklea dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. TEOAE mempunyai
kelebihan dalam kepekaan, resolusi frekuensi dan kecepatan tes, tetapi kurang
peka dalam menilai OAE dewasa di atas 4 KHz. Sedangkan DPOAE mempunyai
kelebihan dalam deteksi frekuensi tinggi, tetapi kurang baik di resolusi nada
rendah. DPOAE menggunakan 2 buah stimulus nada murni sekaligus yang
berbeda frekuensi dan intensitasnya. Spektrum frekuensi yang dapat diperiksa
lebih luas dibandingkan dengan TEOAE yaitu dapat mencapai frekuensi tinggi
yaitu 10.000 Hz. Berdasarkan hal tersebut, DPOAE dapat digunakan untuk
mendiagnosis gangguan pendengaran akibat paparan bising, pemantauan
pemakaian obat ototoksik, auditori neuropati serta gangguan pendengaran lainnya
yang disebabkan oleh kelainan koklea.
2.9.1.2 Prinsip pemeriksaan OAE
Prinsip dasar pemeriksaan OAE adalah memberikan stimulus bunyi ke
dalam telinga melalui loudspeaker mini yang terdapat di dalam probe atau sumbat
liang telinga. Selanjutnya stimulus bunyi akan diteruskan ke telinga tengah dan
koklea. Sebagai respon maka koklea yang sehat akan memancarkan emisi akustik,
yang akan dipantulkan ke arah luar atau echo menuju telinga tengah dan liang
32
telinga. Emisi tersebut diproses dan direkam oleh transducer berupa mikrofon
mini yang terletak di dalam probe yang sama dan selanjutnya diproses oleh mesin
OAE melalui program komputer sehingga hasilnya dapat ditampilkan pada layar
monitor komputer (Abiratno, 2003; Brasto, 2008).
Bila sel rambut luar mengalami kerusakan atau disfungsi misalnya oleh
karena paparan bunyi keras, penggunaan obat-obatan ototoksik dan proses
degeneratif seperti diabetes melitus, maka OAE tidak dapat ditimbulkan sekalipun
dengan rangsang akustik. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa kondisi telinga
tengah sangat berperan dalam penilaian, analisis dan interpretasi OAE oleh karena
kelainan pada telinga tengah akan mengakibatkan gangguan transmisi OAE ke
liang telinga (Abiratno, 2003; Brasto, 2008).
Telinga yang akan di tes perlu diberikan stimulasi bunyi agar dapat
menghasilkan ”otoacoustic emission”. Bunyi seperti ”click” dapat menimbulkan
respon OAE. Respon OAE terhadap masing-masing stimulus sangat unik
tergantung pada bunyi yang diberikan. Apabila OAE ”pass”, kemungkinan besar
fungsi koklea dan telinga tengah normal atau paling tidak pendengaran di sekitar
stimulus frekuensi yang memberikan respon dalam batas normal (Abiratno, 2003).
2.9.2 Audiometri Nada Murni
Audiometri nada murni adalah pengukuran sensitivitas pendengaran dengan
frekuensi yang dimulai dari 250 Hz sampai 8000 Hz. Pemeriksaan ini adalah
dasar dari evaluasi pendengaran dan dilaksanakan dalam ruang kedap suara.
33
Pemeriksaan audiometri digunakan untuk memeriksa seluruh sistem auditorius
mulai dari telinga luar sampai korteks auditorius (Sweetow dan Bold, 2004).
Pada audiometri nada murni, ambang didapatkan baik melalui konduksi
udara maupun konduksi tulang. Pada pengukuran konduksi udara, perbedaan
stimulus nada murni yang berbeda-beda ditransmisikan melalui earphone. Sinyal
melewati liang telinga masuk ke dalam kavum timpani melalui tulang
pendengaran ke koklea dan kemudian menuju sistem auditorius pusat. Ambang
konduksi udara menggambarkan mekanisme integritas auditorius perifer.
Sedangkan pada pengukuran konduksi tulang, sinyal ditransmisikan melalui
getaran tulang yang biasanya diletakkan pada prominentia mastoid. Nada murni
secara langsung menstimulus koklea setelah melewati liang telinga dan telinga
tengah. Hasil pemeriksaan audiometri berupa audiogram dalam bentuk grafik
yang menggambarkan ambang pendengaran dalam frekuensi (Bess dan Humes,
2008).
Satuan stimulus diberikan dalam satuan desibel atau dB. Secara klinis, batas
normal untuk audiogram adalah 0-20 dB Hearing Level atau HL, dan 0-15 dB HL
untuk anak-anak (Hall dan Lewis, 2003). Sedangkan derajat gangguan
pendengaran sesuai World Health Organization atau WHO (1991) adalah ambang
≤ 25 dB dikategorikan normal, ambang 26-40 dB dikategorikan gangguan
pendengaran derajat ringan, ambang 41-60 dB mencerminkan gangguan
pendengaran sedang, ambang 61-80 dB dikategorikan gangguan pendengaran
berat, ≥ 81 dB dikategorikan gangguan pendengaran sangat berat. Frekuensi yang
penting untuk mengerti percakapan adalah di antara 500-8000 Hz. Pada tuli
34
konduksi, didapatkan hantaran tulang yang normal dan gangguan terdapat pada
hantaran udara sedangkan pada tuli sensorineural tidak terdapat gap antara
hantaran udara dan tulang (Hall dan Lewis, 2003).
2.10 Diagnosis Gangguan Pendengaran Akibat Bising
Diagnosis gangguan pendengaran akibat bising dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan fisik dan otoskopi serta
pemeriksaan penunjang berupa audiometri (Soetirto dan Bashirudin, 2007).
Pada anamnesis seseorang pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan
bising dalam jangka waktu cukup lama umumnya 5 tahun atau lebih (Soetirto dan
Bashirudin, 2007). Ketulian timbul secara bertahap yang biasanya terjadi dalam 5-
10 tahun pertama paparan (Alberti, 2003). Tuli ini umumnya mengenai ke dua
telinga (Probst dkk., 2006). Penting untuk ditanyakan adalah riwayat pajanan
bising termasuk intensitas bising, lama paparan dalam sehari dan lama paparan
dalam seminggu serta lama kerja dalam lingkungan bising tersebut. Perlu juga
diperhatikan mengenai riwayat ketulian dalam keluarga, penggunaan zat atau obat
yang bersifat ototoksik serta trauma kepala. Penderita tuli akibat bising biasanya
datang dengan keluhan utama kurang pendengaran. Bila sudah cukup berat
disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila
lebih berat lagi maka percakapan yang keraspun sulit dimengerti. Selain itu,
penderita tuli akibat bising juga sering mengeluh tinitus nada tinggi yang hilang
timbul. Bila terjadi paparan bising berulang, maka tinitus akan menetap. Tinitus
menjadi lebih mengganggu pada saat suasana sunyi atau pada saat penderita akan
35
tidur, sehingga penderita mengeluh sukar tidur dan sulit berkonsentrasi (Dobie,
2006; Soetirto dan Bashirudin, 2007).
Pada pemeriksaan fisik telinga dan otoskopi tidak didapatkan adanya
kelainan. Pada pemeriksaan tes penala didapatkan tes Rinne hasil positif, tes
Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, tes Schwabach memendek pada telinga
yang terkena. Kesan jenis ketuliannya adalah sensorineural. Pada pemeriksaan
OAE didapatkan hasil refer pada telinga yang terkena. Pada pemeriksaan
audiometri nada murni didapatkan dengan tuli sensorineural pada frekuensi antara
3000-6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz didapatkan takik (notch) yang
patognomonik untuk jenis ketulian ini (Soetirto dan Bashirudin, 2007).
Berdasarkan Komisi Konservasi Pendengaran dan Bising dari The American
College of Occupational Medicine atau ACOM maka definisi tuli akibat bising
adalah sebagai gangguan pendengaran yang timbul secara perlahan sebagai akibat
paparan bising yang berlangsung lama secara terus menerus ataupun terputus-
putus dengan karakteristik dengan tanda sebagai berikut: 1) Tuli saraf koklea; 2)
Sebagian besar kasus bilateral dengan gambaran audiogram yang hampir serupa;
3) Hampir sebagian besar tidak menunjukkan gangguan pendengaran yang berat
(pada frekuensi rendah sekitar 40 dB dan frekuensi tinggi 75 dB); 4) Bila paparan
bising hilang maka progresivitas kelainan terhenti pula; 5) Riwayat paparan
sebelumnya tidak menyebabkan telinga menjadi lebih sensitif terhadap paparan
yang didapat kemudian; 6) Kerusakan awal terjadi pada frekuensi 3000, 4000 dan
6000 Hz dengan penurunan terbesar pada frekuensi 4000 Hz; 6) Gangguan
pendengaran maksimal timbul setelah paparan berlangsung sekitar 10-15 tahun,
36
setelah itu gambaran audiogram relatif menetap; 7) Kerusakan akibat paparan
bising yang terus-menerus lebih berat dibanding kerusakan akibat paparan bising
yang terputus (Alberti, 2003; Dobie, 2006; Probst dkk., 2006).
2.11 Program Konservasi Pendengaran pada Nelayan
Konservasi pendengaran pada nelayan dapat ditempuh dengan berbagai cara
untuk mengurangi risiko gangguan pendengaran bagi para nelayan. Beberapa
metode tersebut adalah mengontrol paparan bising mesin terhadap nelayan,
memberikan periode istirahat minimal 12 jam setelah melakukan perjalanan
dalam menangkap ikan dan mengenakan pelindung telinga merupakan beberapa
cara untuk mengurangi risiko gangguan pendengaran pada nelayan (Peters dkk.,
2005).
Adapun penggunaan alat pelindung telinga seperti ear plug atau ear muff
atau kombinasi pemakaian kedua alat pelindung tersebut dapat mengurangi
intensitas paparan bising. Pemakaian ear plug pada kedua telinga dapat
menurunkan intensitas paparan bising sebesar 21-31 dB. Pada kombinasi
pemakaian ear plug kemudian diikuti ear muff pada kedua telinga dapat
mengurangi intensitas paparan bising sebesar 29-36 dB (Toivonen dkk., 2002).
Pada dekade terakhir, pemahaman mengenai gangguan pendengaran akibat
bising secara biomolekuler menjadi semakin jelas sehingga strategi preventif dan
kuratif dapat dilakukan dengan lebih baik. Beberapa bukti penelitian juga
mendukung bahwa stress oxidative merupakan penyebab utama dari kerusakan sel
rambut pada kasus-kasus gangguan pendengaran akibat bising. Paparan bising
37
yang menyebabkan stimulasi berlebihan menimbulkan produksi reactive oxygen
species atau ROS mencapai batas toksik, sehingga merusak fosfolipid pada
tingkat sel dan membran nukleus serta pada deoxyribo nucleic acid atau DNA.
Pada tingkat ini terjadi peningkatan ion Ca2+
intraselular dan terjadi peningkatan
aktivitas gen-gen yang memicu kematian sel. Atas dasar penemuan ini dapat
mengarahkan pada berbagai kemungkinan untuk melakukan pencegahan atau
menghilangkan pembentukan ROS, misalnya dengan meningkatkan sistem
pembentukan antioksidan endogen atau pemberian nutrisi kaya antioksidan
(Alberti, 2003).