Upload
vudien
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Organizational Citizenship Behavior
Huang (2012) mengemukakan tiga kategori perilaku pekerja, yaitu: (1)
berpartisipasi, terikat dan berada dalam suatu organisasi; (2) harus menyelesaikan
suatu pekerjaan dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh
organisasi; serta (3) melakukan aktivitas yang inovatif dan spontan melebihi persepsi
perannya dalam organisasi. Kategori terakhirlah yang sering disebut sebagai
organizational citizenship behavior (OCB) atau the extra-role behavior (Huang,
2012).
Robbins dan Judge (2008:40) mendefinisikan OCB sebagai perilaku pilihan yang
tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun
mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif. Shweta dan Srirang
(2009) menyatakan bahwa OCB ditandai dengan usaha dalam bentuk apapun yang
dilakukan berdasarkan kebijaksanaan pegawai yang memberikan manfaat bagi
organisasi tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Kumar et al. (2009) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang
memberikan kontribusi pada terciptanya efektifitas organisasi dan tidak berkaitan
langsung dengan sistem reward organisasi. Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa
OCB merupakan:
13
1) Perilaku bebas pekerja yang tidak diharapkan maupun diperlukan, oleh karena itu
organisasi tidak dapat memberikan penghargaan atas munculnya perilaku
tersebut ataupun memberikan hukuman atas ketiadaan perilaku tersebut.
2) Perilaku individu yang memberikan manfaat bagi organisasi akan tetapi tidak
secara langsung maupun eksplisit diakui dalam sistem penghargaan formal
organisasi.
3) Perilaku yang bergantung pada setiap individu untuk memunculkan ataupun
menghilangkan perilaku tersebut dalam lingkungan kerja.
4) Perilaku yang berdampak pada terciptanya efektifitas dan efisiensi kerja tim dan
organisasi, sehingga memberikan kontribusi bagi produktifitas organisasi secara
keseluruhan.
Organ et al. (2006:8) menggambarkan OCB sebagai perilaku individual yang
bersifat bebas (discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat
penghargaan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan (agregat)
meningkatkan efisiensi dan efektifitas fungsi-fungsi organisasi. Bersifat bebas dan
sukarela, karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau
deskripsi jabatan yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi,
melainkan sebagai pilihan personal. Organ et al. (2006:8-10) menguraikan definisi
tersebut ke dalam beberapa poin sebagai berikut:
1) Perilaku individu yang bebas.
Maksudnya adalah bahwa perilaku tertentu yang dimunculkan dalam konteks
tertentu bukan merupakan persyaratan mutlak yang tercantum dalam deskripsi
14
pekerjaan yang harus dijalankan oleh seorang individu. Hal ini menyebabkan
setiap individu memiliki pilihan secara bebas, apakah akan memunculkan OCB
atau tidak, karena seseorang tidak akan dihukum karena tidak mempraktekkan
perilaku tersebut.
2) Tidak secara langsung dan eksplisit diakui oleh sistem penghargaan formal.
Beberapa pekerjaan mencantumkan standar minimal seperti pengalaman,
pengetahuan, dan kompetensi untuk memenuhi tanggung jawab pekerjaan secara
tertulis. Ketika berbagai tuntutan tersebut dicantumkan dalam deskripsi
pekerjaan, atau kontrak kerja, maka perilaku yang timbul dalam rangka
memenuhi kewajiban tersebut bukanlah merupakan OCB. Dalam hal ini bukan
berarti perilaku yang termasuk OCB tidak akan mendapatkan penghargaan sama
sekali. Sebagai contoh ketika seseorang menunjukkan OCB, perilaku yang
dimunculkan tersebut dapat merubah pandangan rekan kerja serta atasan dalam
mempertimbangkan orang tersebut untuk direkomendasikan agar diberikan
kesempatan pekerjaan dengan tanggung jawab lebih besar, diusulkan oleh
atasannya untuk dinaikkan gajinya, atau direkomendasikan oleh rekan kerja dan
atasannya untuk mendapatkan promosi jabatan. Organ et al. menyatakan bahwa
perbedaan penting yang mendasari pemberian imbalan atau penghargaan yang
diberikan tersebut tidak ditetapkan dalam kontrak kerja atau tidak terdapat dalam
kebijakan dan prosedur formal organisasi. Pemberian imbalan tersebut bersifat
alamiah dan terdapat ketidakpastian dari segi waktu dan cara mendapatkan
imbalan tersebut.
15
3) Secara bersama-sama mendorong fungsi efisiensi dan efektifitas organisasi.
Pengertian secara bersama-sama mengandung maksud bahwa OCB muncul pada
setiap individu, pada kelompok, hingga pada tingkatan organisasi secara luas.
Organ et al. mengungkapkan bahwa beberapa penelitian mengenai OCB secara
umum telah dikaitkan dengan indikator efisiensi dan efektivitas pada organisasi
seperti efisiensi operasi, kepuasan pelanggan, kinerja keuangan, dan
pertumbuhan pendapatan.
Organizational Citizenship Behaviour penting artinya untuk menunjang
keefektifan fungsi-fungsi organisasi, terutama dalam jangka panjang. Menurut
Podsakoff et al. (2000), OCB mempengaruhi keefektifan organisasi karena beberapa
alasan: (1) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas rekan kerja; (2) OCB
dapat membantu meningkatkan produktivitas manajerial; (3) OCB dapat membantu
mengefisienkan penggunaan sumber daya organisasi untuk tujuan-tujuan produktif;
(4) OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan penyediaan sumber daya
organisasi secara umum untuk tujuan-tujuan pemeliharaan karyawan; (5) OCB dapat
dijadikan sebagai dasar yang efektif untuk aktivitas-aktivitas koordinasi antar
anggota-anggota tim dan antar kelompok-kelompok kerja; (6) OCB dapat
meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan
sumber daya manusia yang handal; (7) OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja
organisasi; (8) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi
secara lebih efektif terhadap perubahan-perubahan lingkungannya.
16
Shweta dan Srirang (2010) mengemukakan bahwa konsep OCB pertama kali
diperkenalkan oleh Smith, Organ, dan Near pada tahun 1983 yang menggambarkan
OCB dalam dua komponen yaitu altruism dan generalized compliance (bentuk lain
dari conscientiousness). Kemudian Organ pada tahun 1988 menambahkan
sportsmanship, courtesy, dan civic virtue sebagai komponen lain pada OCB
disamping altruism dan generalized compliance. Williams dan Anderson (1991)
mengelompokkan OCB dalam dua kategori yang berbeda yaitu: OCBI – perilaku
yang mengarah pada individu dalam organisasi, terdiri dari altruism dan courtesy;
dan OCBO – perilaku yang mengarah pada peningkatan efektivitas organisasi, terdiri
dari conscientiousness, sportsmanship dan civic virtue. Dalam penelitian ini,
komponen OCB yang digunakan merupakan komponen yang dikemukakan oleh
Konovsky dan Organ (1996); Jahangir et al. (2004); Organ et al. (2006:22); DiPaola
dan Neves (2009); Ahmed et al. (2012), Chiang dan Hsieh (2012), yaitu:
1) Altruism
Altruism adalah perilaku berinisiatif untuk membantu atau menolong rekan kerja
dalam organisasi secara sukarela. Secara lebih rinci, komponen altruism
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Membantu rekan kerja yang beban kerjanya berlebih.
b. Menggantikan peran atau pekerjaan rekan kerja yang berhalangan hadir.
c. Membantu rekan kerja yang memiliki masalah dengan pekerjaan.
d. Membantu rekan kerja yang lain agar lebih produktif.
17
e. Membantu proses orientasi lingkungan kerja atau memberi arahan kepada
pegawai yang baru meskipun tidak diminta.
2) Courtesy
Courtesy adalah perilaku individu yang menjaga hubungan baik dengan rekan
kerjanya agar terhindar dari perselisihan antar anggota dalam organisasi.
Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan
memperhatikan orang lain. Secara lebih rinci, komponen courtesy memiliki ciri-
ciri sebagai berikut:
a. Menghormati hak-hak dan privasi rekan kerja.
b. Mencoba untuk tidak membuat masalah dengan rekan kerja.
c. Mencoba menghindari terjadinya perselisihan antar rekan kerja.
d. Mempertimbangkan dampak terhadap rekan kerja dari setiap tindakanyang
dilakukan.
e. Berkonsultasi terlebih dahulu dengan rekan kerja yang mungkin akan
terpengaruh dengan tindakan yang akan dilakukan.
3) Sportsmanship
Sportsmanship adalah kesediaan individu menerima apapun yang ditetapkan oleh
organisasi meskipun dalam keadaan yang tidak sewajarnya. Secara lebih rinci,
komponen sportsmanship memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tidak menghabiskan waktu untuk mengeluh atas permasalahan yang sepele.
b. Tidak membesar-besarkan permasalahan yang terjadi dalam organisasi.
c. Menerima setiap kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh organisasi.
18
d. Mentolerir ketidak nyamanan yang terjadi di tempat kerja.
4) Conscientiousness
Conscientiousness adalah pengabdian atau dedikasi yang tinggi pada pekerjaan
dan keinginan untuk melebihi standar pencapaian dalam setiap aspek. Secara
lebih rinci, komponen conscientiousness memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Ketika tidak masuk kerja, melapor kepada atasan atau rekan kerja terlebih
dahulu.
b. Menyelesaikan tugas sebelum waktunya.
c. Selalu berusaha melakukan lebih dari apa yang seharusnya dilakukan.
d. Secara sukarela melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi organisasi
disamping tugas utama.
e. Tidak membuang-buang waktu kerja.
f. Tidak mengambil waktu istirahat secara berlebihan.
g. Mematuhi peraturan dan ketentuan organisasi meskipun dalam kondisitidak
ada seorang pun yang mengawasi.
5) Civic Virtue
Civic virtue adalah perilaku individu yang menunjukkan bahwa individu tersebut
memiliki tanggung jawab untuk terlibat, berpartisipasi, turut serta, dan peduli
dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan organisasi. Secara lebih rinci,
komponen civic virtue memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Peduli terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam organisasi.
b. Turut serta dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi.
19
c. Mengambil inisiatif untuk memberikan rekomendasi atau saran inovatif untuk
meningkatkan kualitas organisasi secara keseluruhan.
Perilaku organizational citizenship behavior (OCB) pada penelitian ini diukur
dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Nguni (2005) dimana
responden diminta untuk menunjukkan sejauh mana mereka setuju dengan pernyataan
yang mencerminkan perilaku OCB.
Shweta dan Srirang (2010) menyajikan sebuah tinjauan yang komprehensif
berupa kerangka kerja untuk mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi OCB,
diantaranya:
1) Disposisi individu dan motif individu
Disposisi individu seperti positive affectivity, negative affectivity,
conscientiousness, agreeableness, dan juga locus of control memainkan peranan
penting dalam menentukan tingkat OCB yang ditampilkan oleh pegawai. Selain
disposisi individu, pegawai didorong oleh motivasi baik intrinsik atau ekstrinsik
untuk menunjukkan OCB.
2) Kohesivitas kelompok
Pegawai pada umumnya berhubungan langsung dengan kelompok kerja dalam
pekerjaannya. Hal ini secara jelas memberikan pengaruh pada sikap dan perilaku
pegawai tersebut. Kohesivitas kelompok mendorong munculnya OCB yang
bertujuan untuk lebih mempererat hubungan agar kelompok menjadi kuat dan
efektif.
20
3) Sikap Pegawai
Organizational citizenship behaviour tergantung pada sikap positif karyawan
terhadap pekerjaan mereka serta terhadap organisasi, yang meliputi:
a. Komitmen Organisasi
Dalam beberapa kasus, tingkat komitmen organisasi mempengaruhi timbulnya
OCB.Tingginya tingkat komitmen organisasi tercermin dalam keterlibatan
pegawai dalam permasalahan organisasi di luar penugasan secara umum.
b. Kepuasan Kerja
Berbagai studi menunjukkan hubungan yang positif antara kepuasan kerja
dengan OCB.
2.2 Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah keadaan emosi positif yang berasal dari penilaian
pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi
karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai
penting (Luthans, 2006:243). Rivai dan Mulyadi (2012:246) menyatakan bahwa
kepuasan kerja adalah penilaian dari pekerja tentang seberapa jauh pekerjaannya
secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.
Menurut Porter (1961) dalam Ardana dkk.(2008:23), kepuasan kerja adalah
selisih dari sesuatu yang seharusnya ada dengan sesuatu yang sesungguhnya ada
(faktual). Semakin kecil selisih kondisi yang seharusnya ada dengan kondisi yang
sesungguhnya ada (faktual), seseorang cenderung merasa semakin puas. Garboua dan
Montmarquette (2004) menyatakan bahwa kepuasan kerja menggambarkan perasaan
21
pekerja yang didasari atas pengalaman kerjanya. Gibson et al. (2009:152)
menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap para pekerja mengenai
pekerjaannya yang dihasilkan dari persepsi mereka terhadap pekerjaannya
berdasarkan faktor-faktor yang terdapat dalam lingkungan kerja seperti gaya
penyelia, kebijakan dan prosedur, afiliasi kelompok kerja, kondisi kerja, dan manfaat
lainnya bagi pekerja. Robbins dan Judge (2008:107) mendefinisikan kepuasan kerja
sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari
sebuah evaluasi karakteristiknya. Dalam konsep tersebut, pekerjaan seseorang lebih
dari sekedar aktivitas mengatur kertas, menulis kode program, menunggu pelanggan,
atau mengendarai sebuah truk. Setiap pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan
kerja dan atasan-atasan, mengikuti peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan
organisasional, memenuhi standar-standar kinerja, menerima kondisi-kondisi kerja
yang kurang ideal, dan lain-lain. Ini berarti bahwa penilaian seorang karyawan
tentang seberapa ia merasa puas atau tidak puas dengan pekerjaan merupakan
penyajian yang rumit dari sejumlah elemen pekerjaan yang berlainan. Luthans
(2006:243) menyatakan terdapat tiga dimensi kepuasan kerja, yaitu:
1) Kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap situasi dan kondisi
kerja. Dengan demikian, kepuasan kerja dapat dilihat dan dapat diduga.
2) Kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai
memenuhi atau melampaui harapan. Misalnya, jika anggota organisasi merasa
bahwa mereka bekerja terlalu keras dari pada yang lain dalam departemen,
tetapi menerima penghargaan lebih sedikit, maka mereka mungkin akan
22
memiliki sikap negatif terhadap pekerjaan, pimpinan, atau rekan kerja mereka.
Sebaliknya, jika mereka merasa bahwa mereka diperlakukan dengan baik dan
dibayar dengan pantas, maka mereka mungkin akan memiliki sikap positif
terhadap pekerjaan mereka.
3) Kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan. Lebih lanjut,
Luthans (2006:243) mengemukakan bahwa karyawan yang tingkat
kepuasannya tinggi cenderung memiliki kesehatan fisik yang lebih baik,
mempelajari tugas yang berhubungan dengan pekerjaan baru dengan lebih
cepat, memiliki sedikit kecelakaan kerja, mengajukan lebih sedikit keluhan,
meningkatkan kinerja, mengurangi pergantian karyawan dan ketidakhadiran.
Cara-cara untuk meningkatkan kepuasan kerja, diantaranya:
1) Membuat pekerjaan menjadi menyenangkan
2) Memiliki gaji, benefit, dan kesempatan promosi yang adil
3) Menyesuaikan orang dengan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan
keahlian mereka
4) Mendesain pekerjaan agar menarik dan menyenangkan
Hughes et al. (2012:337) menyatakan bahwa kepuasan kerja berhubungan
dengan sikap seseorang mengenai kerja, dan ada beberapa alasan yang membuat
kepuasan kerja merupakan konsep yang penting bagi pemimpin. Penelitian
menunjukkan pekerja yang puas lebih cenderung bertahan bekerja untuk organisasi.
Pekerja yang puas juga cenderung terlibat dalam perilaku organisasi yang melampaui
deskripsi tugas dan peran mereka, serta membantu mengurangi beban kerja dan
23
tingkat stres anggota lain dalam organisasi. Pekerja yang tidak puas cenderung
bersikap menentang dalam hubungannya dengan kepemimpinan dan terlibat dalam
berbagai perilaku yang kontra produktif. Ketidak puasan juga alasan utama seseorang
meninggalkan organisasi.
Castillo dan Cano (2004) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan
kepuasan dan ketidak puasan kerja, yaitu:
1) Pengakuan (recognition)
Tindakan berupa pujian ataupun sikap menyalahkan yang disampaikan oleh
atasan, rekan sejawat, manajemen, klien, dan atau masyarakat umum.
2) Pencapaian (achievement)
Segala upaya yang dilakukan untuk meraih keberhasilan termasuk mengambil
sikap atas kegagalan yang terjadi.
3) Adanya kesempatan untuk berkembang yang tercermin dari perubahan status.
4) Kemajuan (advancement)
Perubahan nyata yang terjadi pada status pekerjaan.
5) Gaji (salary)
Konsekuensi dari kompensasi yang memainkan peran utama.
6) Hubungan antar pribadi (interpersonal relations)
Hubungan yang terjalin antara atasan, bawahan, dan rekan sejawat.
7) Pengawasan (supervision)
Kemampuan pengawas dalam mendelegasikan tanggung jawab dan
membimbing bawahan.
24
8) Tanggung jawab (responsibility)
Kepuasan yang timbul berasal dari adanya kendali dan tanggung jawab yang
diberikan dalam suatu pekerjaan.
9) Administrasi dan kebijakan (policy and administration)
Tindakan dimana beberapa aspek atau secara keseluruhan berdampak pada
kepuasan kerja.
10) Kondisi kerja (working condition)
Berhubungan dengan kondisi kerja secara fisik seperti fasilitas kerja dan
kualitas pekerjaan.
11) Pekerjaan itu sendiri (work it self)
Kinerja pekerjaan secara nyata yang berhubungan dengan kepuasan kerja.
Schleicher et al. (2004); Luthans (2006:243); Robbins dan Judge (2008:108);
Azeem (2010) mengungkapkan bahwa terdapat lima komponen kepuasan
kerja, yaitu:
1) Pembayaran (Pay)
Sejumlah upah yang diterima dan tingkat di mana hal ini bisa dipandang
sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam
organisasi. Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah bagi setiap pegawai
dimana para pegawai mengharapkan pembayaran yang diterima sesuai dengan
beban kerja yang mereka dapatkan. Selain itu para pegawai membandingkan
apakah dengan beban kerja yang sama, para pegawai tersebut mendapatkan
25
gaji yang sama atau berbeda. Hal ini mempengaruhi kepuasan yang mereka
rasakan.
2) Pekerjaan (Job)
Pekerjaan yang diberikan dianggap menarik, memberikan kesempatan untuk
pembelajaran bagi pegawai serta kesempatan untuk menerima tanggungjawab
atas pekerjaan. Pegawai akan merasa senang dan tertantang bila diberikan
pekerjaan yang dapat membuat mereka mengerahkan semua kemampuannya.
Sementara apabila beban dan tantangan pekerjaan yang diberikan jauh
dibawah kemampuan yang mereka miliki, para pegawai cenderung merasa
bosan.Akan tetapi apabila diberikan beban kerja dan tanggung jawab lebih
besar, kemungkinan timbul rasa frustrasi sebagai akibatdari kegagalan
pegawai dalam memenuhi tuntutan kerja yang telah diberikanoleh organisasi.
3) Kesempatan promosi (Promotion opportunities)
Adanya kesempatan bagi pegawai untuk maju dan berkembang
dalamorganisasi, misalnya: kesempatan untuk mendapatkan promosi,
penghargaan,kenaikan pangkat serta pengembangan individu. Hal ini terkait
dengan pengembangan diri setiap pegawai. Pegawai memiliki keinginan
untuk terus maju dan berkembang sebagai bentuk aktualisasi diri sehingga
pegawai akan merasa puas apabila organisasi memberikan kesempatan untuk
berkembang dan mendapatkan promosi ke jenjang yang lebih tinggi.
26
4) Atasan (Supervisor)
Kemampuan atasan untuk menunjukkan minat dan perhatian tentang pegawai,
memberikan bantuan teknis, serta peran atasan dalam memperlakukan
pegawai mempengaruhi perilaku pegawai dalam pekerjaannya sehari-hari.
Selain itu atasan dituntut memiliki kemampuan dalam melakukan
pengambilan keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung
berdampak kepada para bawahannya.
5) Rekan kerja (Co-workers)
Sejauh mana rekan kerja pandai secara teknis, bersahabat, dan saling
mendukung dalam lingkungan kerja. Peranan rekan kerja dalam interaksi yang
terjalin diantara pegawai mempengaruhi tingkat kepuasan yang dirasakan
pegawai. Perselisihan yang timbul diantara sesama pegawai meskipun bersifat
sepele dapat mempengaruhi perilaku pegawai dalam pekerjaannya sehari-hari.
Dalam mengukur kepuasan kerja, salah satu alat ukur yang digunakan adalah
dengan menggunakan Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ) yang
dikembangkan oleh Weiss et al. (1967) dalam Sopiah (2008) dan dalam Nguni
(2005). MSQ short form ini terdiri dari beberapa pertanyaan yang digunakan untuk
mengukur komponen-komponen dalam kepuasan kerja. Aspek-aspek yang diukur
dalam MSQ short form dapat dinilai dalam beberapa bagian komponen sehingga
dapat memberikan gambaran komponen-komponen mana yang mengalami kepuasan
dan ketidak puasan.
27
2.3 Servant Leadership
Teori utama yang mendukung servant leadership adalah teori LMX atau
Leader-Member Exchange Teory. Graen, Novak, dan Sommerkamp (1982)
mengemukakan teori LMX yang merupakan teori pertukaran pemimpin dan bawahan.
Teori LMX berpandangan bahwa pemimpin dapat menciptakan kelompok dalam dan
luar serta menciptakan bawahan didalam kelompok dan dapat berkinerja tinggi serta
memperoleh kepuasan dengan atasannya.
1. In Group Exchange. Dalam hubungan ini, para pemimpin dan
pengikutnya membangun suatu hubungan partnership yang dicirikan
adanya timbal balik, saling mempercayai, dan perasaan senasib.
2. Out Group Exchange. Dalam hubungan ini, pemimpin dicirikan sebagai
orang yang mengawasi, bawahan memperoleh lebih sedikit waktu
pemimpin, mendapatkan hubungan antara atasan-bawahan dalam koridor
interaksi yang formal.
Servant Leadership pertama kali dikonsep oleh Robert K. Greenleaf pada tahun
1970. Karakteristik dari perilaku kepemimpinan yang melayani tumbuh dari nilai-
nilai dan keyakinan individu. Nilai-nilai pribadi seperti keadilan dan integritas adalah
variabel independen yang menggerakkan perilaku pemimpin yang melayani (Smith,
2005: 7). Robert Greenleaf (1998) berpendapat bahwa pemimpin yang melayani
dapat mempengaruhi produktivitas dalam situasi nyata sebuah organisasi. Servant
leadership yang berorientasi pada kepemimpinan yang melayani, berbasis
28
pengetahuan, partisipatif, aspek tanggung jawab dalam proses, etika dan sosial dapat
meredakan skandal atau konflik didalam organisasi.
Beberapa pakar telah mengemukakan pengertian Servant Leadership,
diantaranya adalah Robert K. Greenleaf (1977), Sendjaya & Sarros (2002), dan
Trompenaars & Voerman (2010). Greenleaf (1977: 13) mendefinisikan :
“The servant leader is a servant first.... It begins with the natural feeling that one
wants to serve, to serve first. Then the conscious choice bring one to aspire to
lead.... the difference manifests itself in the care taken by the servant – first to
make sure that other people’s highestpriority needs are being served.”
(Kepemimpinan pelayan adalah seseorang yang menjadi pelayan lebih dulu.
Dimulai dari perasaan alami bahwa seseorang yang ingin melayani, harus terlebih
dulu melayani. Kemudian pilihan secara sadar membawa sesorang untuk memimpin.
Perbedaan yang jelas dalam penekanan bahwa melayani terlebih dahulu, untuk
memastikan kepentingan orang lain adalah prioritas untuk dilayani). Servant
Leadership merupakan gaya kepemimpinan yang sangat peduli atas pertumbuhan dan
dinamika kehidupan pengikut, dirinya serta komunitasnya. Dimulai dari perasaan
natural yang ingin melayani. Oleh karena itu, ia mendahulukan untuk melayani
daripada pencapaian ambisi pribadi dan kesukaannya semata.
Sendjaya & Sarros (2002: 57) mengemukakan bahwa Servant leaders adalah
pemimpin yang mengutamakan kebutuhan orang lain, aspirasi, dan kepentingan orang
lain atas mereka sendiri. Servant leader memiliki komitmen untuk melayani orang
lain. Trompenaars & Voerman (2010: 3) mengemukakan bahwa Servant Leadership
adalah gaya manajemen dalam hal memimpin dan melayani berada dalam satu
29
harmoni, dan terdapat interaksi dengan lingkungan. Seorang servant leader adalah
seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk melayani dan memimpin, dan yang
terpenting adalah mampu menggabungkan keduanya sebagai hal saling memperkuat
secara positif.
Menurut Kuhn (1996), ketika ada teori tidak menjelaskan fenomena yang
diamati, maka teori baru diperlukan. Patterson (2003) telah mengembangkan teori
kerja kepemimpinan hamba yang menciptakan sebuah platform untuk penelitian yang
lebih spesifik dengan mendefinisikan nilai-nilai yang kepemimpinan hamba
didasarkan nilai-nilai yang dia sebut komponen konstruksi kepemimpinan hamba.
Patterson menulis tentang perlunya instrumen untuk mengukur konstruksi ini. Oleh
karena itu, sebagai dukungan untuk penelitian Patterson, penelitian ini dikembangkan
instrumen untuk mengukur konstruk teori Patterson kepemimpinan hamba.
Dalam pandangan Patterson, teori-teori kepemimpinan populer seperti kepemimpinan
transformasional belum memadai menjelaskan nilai-nilai - misalnya, altruisme yang
kadang-kadang ditunjukkan oleh pemimpin. Menurut Patterson dan Russell (2004),
kepemimpinan transformasional menunjukkan pemimpin berfokus pada organisasi,
dan tidak cukup untuk menjelaskan perilaku yang altruistik di alam, atau pengikut
terfokus; sehingga teori kepemimpinan hamba, yang difokuskan pengikut,
menjelaskan seprti perilaku. Kebajikan atau moral adalah karakteristik kualitatif yang
merupakan bagian dari karakter seseorang, sesuatu yang bersifat internal, hampir
spiritual (Whetstone, 2001). Selanjutnya, kebajikan memiliki karakteristik etika
30
menjadi baik, sangat baik, atau layak (Henry, 1978, hal. 697). Kualitas ini mencirikan
pemimpin yang melayani, yang dipandu oleh kebajikan dalam, selanjutnya disebut
konstruksi. Ini konstruksi berbudi luhur menentukan pemimpin yang melayani,
membentuk sikap mereka, karakteristik, dan perilaku. Jadi, menurut Patterson,
definisi servant leadership adalah sebagai berikut:
Servant leadership adalah mereka yang melayani dengan fokus pada pengikut,
dimana para pengikut merupakan perhatian utama dan memperhatikan
organisasi yang ada disekelilingnya. Konstruksi Pemimpin yang melayani
adalah kebajikan, yang didefinisikan sebagai kualitas yang baik moral dalam
individu , atau kualitas kebaikan secara umum, atau keunggulan moral.
2.3.1 Karakeristik servant-leader dalam Servant Leadership
Spears (2010:27-29) mengemukakan 10 karakteristik servant leader,
karakterisitik tersebut yaitu :
1) Mendengarkan (Listening)
Servant-leader mendengarkan dengan penuh perhatian kepada orang lain,
mengidentifikasi dan membantu memperjelas keinginan kelompok, juga
mendengarkan suara hati dirinya sendiri.
2) Empati (Empathy)
Pemimpin yang melayani adalah mereka yang berusaha memahami rekan
kerja dan mampu berempati dengan orang lain
3) Penyembuhan (Healing)
31
Servant leader mampu menciptakan penyembuhan emosional dan hubungan
dirinya, atau hubungan dengan orang lain, karena hubungan merupakan
kekuatan untuk transformasi dan integrasi
4) Kesadaran (Awareness)
Kesadaran untuk memahami isu-isu yang melibatkan etika, kekuasaan, dan
nilai-nilai. Melihat situasi dari posisi yang seimbang yang lebih terintegrasi
5) Persuasi (Persuasion)
Pemimpin yang melayani berusaha meyakinkan orang lain daripada memaksa
kepatuhan. Ini adalah satu hal yang paling membedakan antara model otoriter
tradisional dengan servant leadership
6) Konseptualisasi (Conceptualization)
Kemampuan melihat masalah dari perspektif konseptualisasi berarti berfikir
secara jangka panjang atau visioner dalam basis yang lebih luas
7) Kejelian (Foresight)
Jeli atau teliti dalam memahami pelajaran dari masa lalu, realitas saat ini, dan
kemungkinan konsekuensi dari keputusan untuk masa depan
8) Keterbukaan (Stewardship)
Menekankan keterbukaan dan persuasi untuk membangun kepercayaan dari
orang lain
9) Komitmen untuk Pertumbuhan (Commitment to the Growth of People)
Tanggungjawab untuk melakukan usaha dalam meningkatkan pertumbuhan
profesional karyawan dan organisasi
32
10) Membangun Komunitas (Building Community)
Mengidentifikasi cara untuk membangun komunitas
2.3.2 Indikator Servant Leadership
Menurut Patterson dalam Dennis (2007), terdapat tujuh dimensi pemimpin pelayan
yang memimpin dan melayani yaitu:
1) Cinta agapao; (love)
2) Bertindak dengan kerendahan hati (Humility)
3) Altruistik (Altruism)
4) Visioner bagi para pengikut (Vision)
5) Saling percaya (Trust)
6) Melayani (service)
7) Memberdayakan pengikut. (Empowerment)
Cinta agapao. Landasan hubungan yang digunakan kepemimpinan pelayan /
pengikut yang Patterson gambarkan sebagai cinta agapao. Winston (2002)
menyatakan bahwa agapao berarti mencintai dalam arti sosial atau moral. Menurut
Winston (2002), cinta ini menyebabkan pemimpin untuk mempertimbangkan setiap
orang tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan, tetapi sebagai orang yang
lengkap: satu dengan kebutuhan, keinginan, dan keinginan. Menurut Winston, cinta
ini masih hidup dan baik hari ini di organisasi di mana orang-orang yang melakukan
itu mengikuti apa yang disebut oleh Winston, tidak merupakan Golden Rule, tapi
Platinum Role (lakukan kepada orang lain seperti mereka ingin Anda lakukan kepada
mereka). Mitroff dan Denton (1999, hal. 149) menulis tentang pentingnya organisasi
33
berbasis nilai dan mengatakan bahwa Golden Rule lakukan kepada orang lain seperti
Anda ingin mereka lakukan kepadamu berlaku untuk semua. Untuk Winston (2002),
hal yang sama berlaku Platinum Role, karena ia pendukung dalam karyanya pada
Ucapan Bahagia. Swindoll (1981) menyatakan bahwa kehambaan dan tangan kerja
cinta sejati di tangan. Demikian juga, Ferch dan Mitchell (2001) advokat cinta
sebagai tujuan bagi para pemimpin, dan Crom (1998) menunjukkan bahwa pemimpin
yang melayani benar-benar peduli untuk orang lain dan tertarik dalam kehidupan
pengikut. Russell dan Batu (2002) mengandaikan bahwa cinta tak bersyarat untuk
pemimpin yang melayani.
Kerendahan hati. Kerendahan hati, menurut Sandage dan Wiens (2001),
adalah kemampuan untuk menjaga prestasi dan bakat seseorang dalam perspektif. Ini
berarti berlatih penerimaan diri, tetapi lebih mencakup praktek kerendahan hati yang
sejati, yang berarti tidak berfokus pada diri melainkan terfokus pada orang lain.
Swindoll (1981) berpendapat bahwa kerendahan hati hamba tidak akan disamakan
dengan miskin harga diri, melainkan kerendahan hati yang sejalan dengan ego yang
sehat. Dengan kata lain, kerendahan hati bukan berarti memiliki pandangan yang
rendah diri sendiri atau seseorang nilai diri; bukan, itu berarti melihat diri sendiri
sebagai tidak lebih baik atau lebih buruk daripada yang lain lakukan. Pemimpin
hamba melihat kerendahan hati sebagai mencerminkan penilaian diri yang akurat dan,
karena itu, mempertahankan diri fokus relatif rendah (Tangney, 2000). Untuk Crom
(1998, hal. 6), pemimpin yang efektif adalah mereka yang menjaga kerendahan hati
mereka dengan menunjukkan rasa hormat terhadap karyawan dan mengakui
34
kontribusi mereka kepada tim. Di sisi lain, untuk DiStefano (1995, p. 63), kerendahan
hati jelas dalam penerimaan pemimpin hamba misteri dan kenyamanan dengan
ambiguitas.
Altruism. Kaplan (2000) menyatakan bahwa altruism adalah membantu orang
lain tanpa pamrih hanya demi membantu, yang melibatkan pengorbanan pribadi,
meskipun tidak ada keuntungan pribadi. Eisenberg (1986, p. 1) mendefinisikan
perilaku altruistik sebagai perilaku sukarela yang dimaksudkan untuk menguntungkan
orang lain dan tidak termotivasi oleh harapan imbalan eksternal. Elster (1990),
berpendapat bahwa tidak semua tindakan altruistik dilakukan karena cinta, dan,
dalam hal apapun, bahwa mereka termasuk ukuran kepentingan. Bagi orang lain,
altruisme datang dalam berbagai jenis atau rentang perilaku. Jencks (1990) ada tiga
jenis altruism: tegas, komunikatif, dan moralistik. Oliner, di sisi lain, altruism
melibatkan berbagai perilaku sepanjang kontinum berjalan dari yang kecil sampai
yang paling perilaku mengorbankan diri: pada salah satu ujung terletak altruism
konvensional dan di sisi lain altruism heroik, di mana altruistik aktor bersedia untuk
menyerahkan hidupnya bagi orang lain. Monroe (1994, p. 862), yang berlaku teori
kognisi sosial untuk menjelaskan altruism, berfokus pada faktor-faktor seperti
identitas, persepsi diri, pandangan dunia, dan empati. Monroe mendefinisikan definisi
nya sebagai perilaku yang dimaksudkan untuk menguntungkan orang lain, bahkan
ketika melakukan itu mungkin memerlukan risiko atau pengorbanan untuk
kesejahteraan orang lain.
35
Visi . Blanchard (2000, p.5) mendefinisikan visi sebagai gambaran masa
depan yang menghasilkan gairah. Visi perlu kepemimpinan yang baik. Hauser dan
House (2000, p. 258) mengandaikan bahwa perkembangan dan komunikasi dari visi
adalah salah satu penjelasan untuk keberhasilan karismatik pemimpin /
transformasional dan efeknya pada kinerja. Laub (1999) menemukan bahwa visi
bersama membangun orang lain (memberdayakan mereka) dan melayani kebutuhan
orang lain (melayani mereka). Selain itu, pemimpin yang melayani membangun visi
perusahaan dari visi mereka sendiri pribadi (Fairholm, 1997, hal. 198). Sementara
Conger (1992) berpendapat mengantisipasi kebutuhan untuk perubahan dan bertindak
di muka, merupakan salah satu metode membawa visi ke dalam fokus. Bennett
(2001) berpendapat bahwa pemimpin yang melayani harus bermimpi sambil tetap di
masa lalu dan fokus pada masa depan, karena ini memungkinkan pemimpin untuk
mengambil keuntungan dari peluang masa kini. Buchen (1998) juga menunjukkan
bahwa fokus pada negara masa depan sangat penting untuk model yang Greenleaf
dan bahwa pemimpin pelayan harus disibukkan dengan masa depan. Menurut Kouzes
dan Posner (1997, p. 4), pemimpin bernapas kehidupan ke visi mereka dan
mendapatkan orang-orang untuk melihat kemungkinan menarik untuk masa depan.
Berkaitan visi dan kerendahan hati, Buchan (2002) menyatakan bahwa pemimpin
yang melayani tidak begitu penuh diri untuk memungkinkan ego mereka untuk
mendapatkan di jalan kemampuan mereka untuk membayangkan masa depan
perusahaan. Bennis (. 2002, p 105) menyatakan bahwa pemimpin harus menciptakan
36
visi bersama dengan makna - visi yang melibatkan para pemain di pusat daripada di
pinggiran. Muda (2002) menulis ini mengarah ke mengembangkan rencana terukur.
Kepercayaan. Menurut Hauser dan House (2000, p. 230), kepercayaan
didefinisikan sebagai kepercayaan atau kepercayaan antar anggota tim dalam hal
moralitas mereka (misalnya kejujuran) dan kompetensi. Menurut Cerita (2002),
kepercayaan merupakan karakteristik penting dari pemimpin yang melayani. Model
kebenaran pemimpin yang melayani dengan cara melatih mereka, memberdayakan,
dan membujuk. Kepercayaan ini ada sebagai elemen dasar untuk kepemimpinan
sejati. Namun, kepercayaan melibatkan unsur ketidakpastian, menurut Gautschi
(2000), untuk kepercayaan, kehadiran seseorang kemungkinan bisa menjadi kecewa.
Russell (2001) berpendapat bahwa nilai-nilai integritas dan kejujuran membangun
kepercayaan interpersonal dan organisasi dan menyebabkan kredibilitas; kepercayaan
ini sangat penting dalam kepemimpinan yang melayani. Fairholm (1997, hal. 107)
menyatakan bahwa kepercayaan adalah selalu hadir sebagai faktor penting yang
merupakan pusat kepemimpinan. Selanjutnya, Melrose (1998, hal. 292) menyatakan
bahwa para pemimpin melakukan apa yang mereka katakan, yang menimbulkan
kepercayaan. Selain itu, keterbukaan pemimpin untuk menerima masukan dari orang
lain meningkatkan kepercayaan seorang pemimpin (Kouzes dan Posner, 1997).
Pengikut lebih cenderung mengikuti pemimpin yang perilaku yang konsisten dan
dapat dipercaya dan yang dapat terhubung dengan aspirasi mereka (Kouzes dan
Posner, 1993a).
37
Pelayanan. Meliputi tanggung jawab kepada orang lain (Wis, 2002).
Pemimpin memahami bahwa layanan adalah pusat kepemimpinan yang melayani
(Russell dan Batu, 2002). Pemimpin memodelkan layanan mereka kepada orang lain
dalam perilaku mereka, sikap, dan nilai-nilai (Lytle et al., 1998). Menurut Block
(1993), layanan adalah segalanya. Orang yang bertanggung jawab kepada mereka
yang mereka layani apakah pelanggan atau bawahan. Greenleaf (1996) berpendapat
bahwa untuk pemimpin untuk melayani orang lain, mereka harus memiliki rasa
tanggung jawab.
Pemberdayaan. Pemberdayaan mempercayakan kekuatan untuk orang lain,
dan untuk pemimpin hamba melibatkan mendengarkan secara efektif, membuat orang
merasa penting, menempatkan penekanan pada kerja tim, dan menghargai cinta dan
kesetaraan (Russell dan Batu, 2002). Covey (2002) berpendapat bahwa pemimpin
berfungsi sebagai panutan bagi memberdayakan orang lain dan untuk menilai
perbedaan mereka. Mcgee-Cooper dan Trammell (2002, hal. 144) berpendapat bahwa
memahami asumsi dasar dan latar belakang informasi tentang isu-isu penting
memberdayakan masyarakat untuk menemukan makna yang lebih dalam pekerjaan
mereka dan untuk berpartisipasi lebih lengkap dalam pengambilan keputusan yang
efektif. Bass (1990) berpendapat bahwa pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan
dengan pengikut dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Ciulla (1998, hal.
84) membedakan antara pemberdayaan palsu dan pemberdayaan. Pemberdayaan
gadungan mencoba untuk memberikan karyawan atau pengikut kekuasaan tanpa
mengubah hubungan moral antara pemimpin dan pengikut. Pemberdayaan mengubah
38
hak, tanggung jawab, dan tugas dari pemimpin serta pengikut. Servant-leader adalah
orang-orang pilihan yang dipilih berdasarkan suatu kelebihan yang menyebabkan
pemimpin tersebut mendapatkan kepercayaan.
Liden, Wayne, Zhao, dan Henderson (2008) menyebutkan 3 hal yang
mempengaruhi Servant Leadership, yaitu Context and Culture, Leader Attributes,
dan Follower Receptivity. Context and Culture merupakan kondisi yang diwujudkan
oleh konteks organisasi dan dimensi budaya dalam organisasi. Leader Attributes,
pengaruh karakter dengan kemampuan untuk menerapkannya dalam Servant
Leadership (mencakup pengembangan moral dan kecerdasan emosional) dan
Follower Receptivity yaitu daya penerimaan karyawan, merupakan kondisi yang
sesuai dengan harapan karyawan, maka Servant Leadership akan memberi efek
positif pada kinerja dan OCB.
Liden et al (2008) juga menyebutkan 3 hasil (outcomes) dari Servant Leadership.
Outcomes tersebut yaitu follower performance and growth, organizational
performance, dan societal impact. Servant Leadership dapat meningkatkan kinerja
karyawan, dengan cara mengakui kontribusi karyawan dan membantu karyawan
untuk percaya pada potensi dirinya, dan memberi kesan menyenangkan. Berikutnya
adalah organizational performance, bahwa terdapat hubungan positif antara Servant
Leadership dan OCB dalam meningkatkan kinerja organisasi. Servant Leadership
menumbuhkan pemikiran terbuka dan memberikan kesempatan untuk
mengembangkan diri. Peningkatan kemampuan akan meningkatkan kinerja dan
mendukung efektivitas organisasi. Societal impact, bahwa Servant Leadership
39
membawa pengaruh positif kepada masyarakat. Pemikiran terbuka, peduli, berfikir
jangka panjang dan bijak dalam mengambil keputusan akan membangun kepercayaan
orang-orang dan masyarakat.