24
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Wayang Potehi Wayang Potehi adalah salah satu kesenian dari negara Tiongkok Selatan tepatnya di daerah Fujian yang berusia ratusan tahun dan diwariskan secara turun temurun. Menurut Mastuti (2014:22) wayang Potehi dalam lafal Hokkian, berasal dari kata /poo/ kain, dài /tay/ kantong dan /hie/ wayang yang disebut sebagai boneka kantong, kemudian kata tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi Potehi. Menurut sejarah, istilah “Potehi” berkaitan dengan kisah legenda terciptanya seni pertunjukan wayang Potehi. Boneka Potehi terbuat dari kain (poo) bekas yang ada di penjara dan tubuhnya dibuat menyerupai kantung (te). Demikian asal-usul terciptanya nama Potehi atau yang disebut juga dengan poo-te-hi dalam bahasa daerah Hokkian, atau 布袋戏 bùdàixì dalam bahasa Mandarin, yang berarti pertunjukan drama/wayang (/hi/xì) yang terbuat dari kain berbentuk kantung /poo-te/bùdài/ (Purwoseputro, 2014:26). 2.1.1 Sejarah Wayang Potehi Kesenian wayang Potehi ini sudah berumur sekitar 3.000 tahun. Seni wayang ini pertama kali diciptakan oleh lima narapidana terhukum mati pada zaman dinasti Qín (265-420 Masehi) pada masa pemerintahan raja Tioe Ong. Menjelang eksekusi, seorang dari narapidana berupaya menghibur diri dengan cara memanfaatkan barang-barang yang ada di balik sel. Ajakan ini direspon baik oleh

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Wayang Potehirepository.ub.ac.id/2565/3/BAB II.pdfIndonesia. Wayang Potehi yang ada di Indonesia sudah berusia lebih dari 100 tahun. Potehi dibawa ke Indonesia

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Wayang Potehi

Wayang Potehi adalah salah satu kesenian dari negara Tiongkok

Selatan tepatnya di daerah Fujian yang berusia ratusan tahun dan diwariskan

secara turun temurun. Menurut Mastuti (2014:22) wayang Potehi dalam lafal

Hokkian, berasal dari kata 布bù /poo/ kain, 袋 dài /tay/ kantong dan 戏 xì

/hie/ wayang yang disebut sebagai boneka kantong, kemudian kata tersebut

diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi Potehi. Menurut sejarah, istilah

“Potehi” berkaitan dengan kisah legenda terciptanya seni pertunjukan wayang

Potehi. Boneka Potehi terbuat dari kain (poo) bekas yang ada di penjara dan

tubuhnya dibuat menyerupai kantung (te). Demikian asal-usul terciptanya

nama Potehi atau yang disebut juga dengan poo-te-hi dalam bahasa daerah

Hokkian, atau 布袋戏 bùdàixì dalam bahasa Mandarin, yang berarti

pertunjukan drama/wayang (戏/hi/xì) yang terbuat dari kain berbentuk

kantung /poo-te/bùdài/ (Purwoseputro, 2014:26).

2.1.1 Sejarah Wayang Potehi

Kesenian wayang Potehi ini sudah berumur sekitar 3.000

tahun. Seni wayang ini pertama kali diciptakan oleh lima narapidana

terhukum mati pada zaman dinasti Qín (265-420 Masehi) pada masa

pemerintahan raja Tioe Ong. Menjelang eksekusi, seorang dari

narapidana berupaya menghibur diri dengan cara memanfaatkan

barang-barang yang ada di balik sel. Ajakan ini direspon baik oleh

empat narapidana yang lain. Dari balik bui itulah kelima narapidana

tersebut merancang satu pertunjukan dan menyiapkan segala

perlengkapannya, termasuk alat musik seadanya yaitu, tangkai sapu

bambu bekas (alat untuk mengatur aba-aba musik), pecahan kaca,

tutup panci bekas, baskom (sebagai gembreng/alat musik pukul), serta

sapu tangan bekas/perca dan sobekan kain (untuk baju tokoh

wayangnya). Akhirnya kelima narapidana menyelenggarakan

pementasan kecil-kecilan dan ternyata hal ini sampai ke telinga raja.

Kemudian kelima narapidana ditantang untuk tampil di hadapan raja

dan akan mendapat imbalan terbebas dari hukuman bila raja merasa

senang. Mendengar kesempatan ini, kelima narapidana merasa harus

memanfaatkan kemampuan dan situasi tersebut dengan baik. Akhirnya

diputuskan untuk mengangkat lakon yang bertemakan Raja Tioe Ong

sendiri, dengan cara meriwayatkan kebaikan dan citra positif pada diri

raja. Karena hal ini, maka kelima narapidana tersebut akhirnya

terbebas dari hukuman.

Terbebasnya hukuman kelima narapidana ini dengan syarat

bahwa kelimanya harus menyebarkan pertunjukan boneka yang

diciptakan sebagai suatu kesenian tradisional. Mulailah kelima

narapidana tersebut berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain

memainkan pertunjukan boneka. Cerita yang dimainkan selain tentang

diri sendiri, juga mengambil cerita-cerita tentang kerajaan, sejarah dan

dewa-dewa (Mastuti, 2014).

1.1.2 Sejarah Wayang Potehi di Indonesia

Dalam sejarahnya, wayang Potehi dibawa dan diperkenalkan

oleh para perantau dari Tiongkok ke beberapa negara, termasuk

Indonesia. Wayang Potehi yang ada di Indonesia sudah berusia lebih

dari 100 tahun. Potehi dibawa ke Indonesia oleh seniman asal Fujian

pada awal abad ke 20 (1900-1930), kemudian menyebar di beberapa

daerah di Jawa (Gudo-Jombang, Surabaya, Semarang). Wayang

Potehi di Indonesia sempat mengalami pasang surut. Periode 1900-

1967 merupakan masa kejayaan sekaligus masa kelam wayang Potehi

di Jawa.

Pada masa penjajahan Belanda hingga masa penjajahan

Jepang, kegiatan berkesenian masyarakat Tionghoa tidak mengalami

hambatan, bahkan pertunjukan wayang Potehi mendapat dukungan

pemerintah. Kemudian memasuki zaman pemerintahan Soeharto,

aktivitas pertunjukan wayang Potehi sempat terhenti. Pada tahun 1967

pemerintahan Orde Baru mengeluarkan peraturan yang menyatakan

bahwa segala kegiatan yang bernuansa Tiongkok dilarang untuk

dikaji, diekspose, dibicarakan, dan dimanfaatkan, sehingga hal itu

berdampak pada kesenian pertunjukan wayang Potehi. Bahkan

wayang Potehi dan wayang kulit Tiongkok-Jawa (wayang thithi) tidak

masuk daftar jenis wayang yang ada di Indonesia. Namun larangan

tersebut tidak membuat wayang Potehi sepenuhnya musnah dari

Indonesia.

Beberapa penulis dari barat mencatat pernah menyaksikan

pertunjukan Potehi di masa itu. Pertunjukan secara diam-diam ini

berlangsung sedikit leluasa di Jawa Timur, karena penerapan hukum

tentang pelarangan pertunjukan bernuansa Tiongkok tidak seperti di

Jawa Tengah. Setelah masa Orde Baru berakhir, peraturan

pemerintahan mengenai larangan untuk menggelar pertunjukan seni

bernuansa Tiongkok berubah menjadi sebuah kebebasan. Pada tahun

2000, presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) secara resmi mencabut

PP No. 14 tahun 1967 kemudian menerbitkan Dekrit Presiden No. 6

tahun 2000 mengenai wayang Potehi yang diijinkan melakukan

pertunjukan secara bebas di klenteng dan tempat-tempat umum. Inilah

masa kebangkitan wayang Potehi di Indonesia. Setelah adanya

peraturan baru tersebut, pertunjukan wayang Potehi mulai dapat

dijumpai di beberapa tempat seperti di pusat perbelanjaan, hotel,

restoran, kampus dan tempat hiburan lainnya. Banyak pula klenteng

yang menghidupkan kembali pertunjukan wayang Potehi setelah

cukup lama vakum. Beberapa dalang dan pengrajin wayang yang

merupakan peranakan Tionghoa akhirnya dapat berkarya lagi

(Suminar, 2016:10).

2.2 Unsur-Unsur Wayang Potehi

Seperti halnya dalam pertunjukan wayang, dalang merupakan nyawa

bagi sebuah wayang. Seorang dalang tak lepas dari asisten dalang yang

bertugas membantu memainkan wayang apabila dalam suatu bagian cerita

terdapat lebih dari 2 tokoh yang tampil. Tak hanya asisten dalang, peran

musik tidak kalah penting keberadaannya. Pertunjukan akan terasa kurang

menarik tanpa adanya musik. Iringan musik mampu menghidupkan suasana

ketika bagian cerita sedih atau gembira. Saat bagian cerita perang musik

sangat mampu membawa penonton larut dalam situasi perang dalam cerita.

Musik juga berfungsi sebagai penanda kedatangan raja atau juga kedatangan

tokoh-tokoh lainnya.

2.2.1 Dalang

Dalang (sehu) merupakan orang yang bertugas menceritakan

mengenai kisah atau legenda tersebut. Dalang adalah sutradara yang

sekaligus berperan sebagai penutur kisah/cerita, pembaca lagu, dan

pemandu bagi para pendukung pertunjukan. Mulyana (2008:67)

mengatakan bahwa dalang merupakan pemberi jiwa pada wayang atau

pelaku-pelaku manusianya. Dalang bertugas untuk menyampaikan

cerita, sementara asisten dalang bertugas untuk menyiapkan dan

menata peralatan pentas, seperti wayang, busana, senjata, dan

perlengkapan pangggung lainnya. Dalang dan asisten dalang dapat

memainkan dua buah wayang. Sebelum wayang Potehi mulai

ditampilkan, dalang dan asisten dalang menyiapkan wayang dengan

cara mengatur berdasarkan urutan tampil dalam sebuah adegan.

Sebanyak 20-25 wayang bisa digunakan dalam satu adegan (Mastuti,

2014:8).

Gambar 2.1 Dalang dan Asisten Dalang

Menurut wawancara dengan Widodo, dalang wayang Potehi

pada tanggal 07 Maret 2017, dalang wayang Potehi tidak hanya

berasal dari masyarakat Tionghoa peranakan tetapi juga berasal dari

Jawa. Dalang Potehi yang bukan Tionghoa peranakan merupakan

orang-orang yang tinggal berdekatan dengan klenteng. Pada awalnya

orang-orang tersebut sering menonton pertunjukan wayang Potehi saat

kecil. Setelah itu orang-orang tersebut mencari tahu lebih banyak

mengenai wayang Potehi dengan bertanya kepada pemain wayang

Potehi. Rasa ingin tahu yang sangat besar tersebut berlanjut dengan

mencoba memainkan alat-alat musik yang digunakan, dan kemudian

mencoba menjadi dalang.

2.2.2 Alat Musik

Alat musik orkestra dalam pertunjukan wayang Potehi disebut

dengan Lauw Tay (Mastuti 2014:8). Terdapat beberapa alat musik

yang mengiringi pertunjukan wayang Potehi. Alat musik tersebut

adalah alat musik yang berasal dari negeri Tiongkok. Alat musik

tersebut berguna sebagai pengiring cerita selama pertunjukan wayang

berlangsung. Ada beberapa jenis alat musik yang digunakan sebagai

pengiring dalam pertujukan wayang Potehi. Alat musik tersebut

dimainkan oleh 3 orang pemain musik,dan satu orang dapat

memainkan 2 atau 3 alat musik. Alat-alat musik yang dipergunakan

dalam pertunjukan wayang Potehi, yaitu sebagai berikut:

1. 锣 luó : Gong

锣 luó/gong ini biasanya terbuat dari perunggu. Alat musik

ini memiliki peran penting dalam perkusi Tiongkok. Dalam

pertunjukan wayang Potehi, suara gong inilah yang paling berperan

ketika tokoh raja muncul.

Gambar 2.2锣 luó/gong

2. 镲 chă : Kecer atau simbal kecil

Terbuat dari perunggu dan terdapat tali di tengahmya yamg

berfungsi sebagai pegangan.

Gambar 2.3镲 chă/kecer atau Simbal Kecil

3. 笛子 dízĭ : Suling bambu

笛子 dízĭ adalah nama alat musik tiup berupa seruling

horizontal yang berasal dari Tiongkok.

Gambar 2.4笛子 dízĭ/suling bambu

4. 鼓 gǔ : Tambur

Tambur merupakan jenis alat musik pukul, berbentuk

bundar, yang terbuat dari kulit yang diberi bingkai. Alat musik

ini mampu menambah suasana ketegangan dalam bagian cerita

perang.

Gambar 2.5鼓 gǔ/tambur

5. 喇叭 lăbā : Terompet

Sama seperti seruling, terompet merupakan alat musik tiup

vertikal. Yaitu lubang untuk meniup berada di ujung bukan di

samping seperti halnya seruling.

Gambar 2.6喇叭 lăbā/terompet

6. 阮 ruăn : Ruan

Ruan merupakan alat musik petik berbentuk bulat dengan 4

senar yang berasal dari Tiongkok.

Gambar 2.7阮 ruăn/ruan

7. 二胡 èrhú : Erhu

Erhu merupakan alat musik tradisional Tiongkok yang

paling popular. Erhu menggunakan 2 senar yang dulu terbuat dari

sutra, tetapi sekarang erhu menggunakan senar dari logam.

Gambar 2.8二胡 èrhú/erhu

2.2.3 Karakter Tokoh

Boneka Potehi terbuat dari kayu yang diukir berdasarkan tokoh

karakter wayang yang berbeda-beda. Tokoh wayang Potehi dibuat

berbeda satu sama lainnya, yang berarti satu boneka wayang hanya

digunakan untuk satu tokoh. Boneka wayang Potehi dapat digunakan

untuk tokoh yang sama asalkan mempunyai kesamaan karakter pada

tokoh tersebut. Kesamaan karakter tokoh-tokoh tersebut tidak lepas

dari konsep cerita yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang

Potehi.

Perbedaan dari kesamaan karakter nampak dalam atribut-

atribut yang digunakan tokoh wayang Potehi yang sesuai dengan

karakter tokoh cerita/legenda dalam kepercayaan masyarakat

Tionghoa. Kekhasan karakter boneka wayang Potehi sesuai dengan

cerita dari Tiongkok juga nampak dalam wajah, pakaian, dan senjata.

Gambar 2.9 Potehi

Wayang Potehi terdiri dari kepala, tangan, kaki dan sepatu.

Tingginya 30 cm dan lebarnya 15 cm, ukuran kepalanya ± 5 cm. Kayu

merupakan bahan yang digunakan untuk membuat kepala, kaki, dan

tangan. Pakaian wayang Potehi terbuat dari kain satin.

2.2.4 Panggung

Panggung wayang Potehi disebut dengan戏台 xìtái. Warna

merah merupakan warna yang mendominasi panggung tersebut karena

dalam kepercayaan orang Tionghoa warna merah menandakan

kebahagiaan. Panggung yang digunakan untuk pertunjukan di luar

klenteng adalah miniatur rumah yang permanen atau yang bongkar

pasang. Apabila pertunjukan dilaksanakan di dalam kelenteng maka

panggung yang digunakan adalah meja. Untuk panggung di luar

kelenteng, panggung memiliki pintu di sisi kiri dan kanan. Bagian

tengah merupakan ruang untuk pertunjukan wayang dan di bagian

belakang merupakan tempat untuk dalang, asisten dalang, pemain

musik dan perlengkapan pertunjukan lainnya.

Gambar 2.10 Panggung

Terdapat tata cara yang harus dilakukan ketika panggung

baru dipergunakan untuk pertama kali. Persembahan diletakkan di atas

meja tambahan. Persembahan ini disebut dengan sam seng atau 3

binatang. Menurut Mastuti (2014:9) binatang-binatang tersebut terdiri

atas binatang yang hidup di air (ikan), yang hidup di udara (unggas)

dan yang hidup di darat (babi).

2.2.5 Busana

Busana adalah pakaian yang dikenakan sesuai dengan

keperluan dan adat kebiasaan, sesuai dengan tata cara yang berlaku.

Busana atau kostum pada wayang Potehi selalu berhubungan erat

dengan budaya dan pribadi pemakainya. Busana sendiri merupakan

suatu sistem tanda yang saling terkait dengan sistem-sistem tanda

lainnya dalam masyarakat, dan melaluinya dapat dikirimkan pesan

tentang sikap, status sosial, kepercayaan politik, dan sebagainya.

Dalam busana tokoh wayang Potehi dapat dibagi kedalam

beberapa golongan, yaitu golongan raja, bangsawan, panglima atau

jendral, dewa, dan rakyat jelata. Simbol-simbol yang tertera pada

busana juga dapat membedakan status sosial mereka.

Menurut wawancara dengan Widodo, dalang wayang Potehi

pada tanggal 7 Maret 2017, di dalam wayang Potehi warna juga

membedakan status sosial dan memberikan watak pada suatu tokoh.

Warna kuning hanya digunakan oleh para raja beserta keluarganya

karena warna kuning merupakan warna emas yang melambangkan

kemewahan, warna putih melambangkan kecerahan, kemurnian, dan

kepuasan, warna merah melambangkan keberuntungan dan

kegembiraan, dan warna biru yang melambangkan semangat.

Mastuti (2009:121) menyatakan bahwa ada perbedaan

pemaknaan warna di kebudayaan Tiongkok dan Jawa. Perbedaan

tersebut yaitu sebagai berikut, warna merah pada kebudayaan Jawa

berarti keberanian, dinamika, wanita, surya (matahari), dan kasih

sayang. Namun pada kebudayaan Tiongkok, merah berarti sifat yang

dominan yang sangat erat kaitannya dengan sikap hangat serta

kemakmuran tetapi juga menggambarkan kemarahan, malu, dan

kebencian.

Dalam kebudayaan Tiongkok, warna memiliki makna

tersendiri, demikian juga pada busana wayang Potehi. Setiap tokoh

memiliki sifat dan strata sosial yang berbeda dan hal tersebut

diperjelas oleh warna busana yang digunakan tokoh tersebut. Berikut

makna warna dalam kebudayaan Tiongkok.

a. Kuning : Melambangkan warna emas, melambangkan keagungan,

keberuntungan, kekayaan, dan kemakmuran.

b. Merah : Warna merah erat kaitannya dengan sifat hangat serta

kemakmuran, kegembiraan, kebahagiaan tetapi juga dapat

menggambarkan kemarahan.

c. Biru : Warna biru melambangkan kedamaian, kebijaksanaan,

dan ketenangan.

d. Hitam : Warna hitam identik dengan kegelapan dan kejahatan.

2.2.6 Simbol

Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah

antara penanda dengan petandanya, misalnya burung hantu sebagai

simbol kecerdasan dan kebijaksanaan. Semua makna budaya

diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol Spradley (dalam

Sobur 2013:177). Semua simbol kata-kata yang terucapkan maupun

sebuah objek seperti sebuah bendera, gerakan tubuh misalnya

melambaikan tangan, sebuah tempat seperti masjid atau gereja, atau

sebuah peristiwa perkawinan, hal tersebut merupakan bagian dari

suatu sistem simbol. Simbol meliputi segala yang dirasakan atau

kejadian yang dialami. Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-

makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui

sejarah. Kebudayaan adalah sistem dari konsep-konsep yang

diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui

manusia berkomunikasi dan mengembangkan pengetahuan tentang

kehidupan ini dan cara menyikapi kehidupan ini.

Pada sebuah kostum boneka wayang Potehi tentu saja terdapat

beberapa motif yang mengandung arti bermacam-macam. Motif dan

warna kostum tersebut dapat mempengaruhi watak dari suatu tokoh

(Mastuti, 2009:120). motif juga mempengaruhi status sosial tokoh

wayang Potehi. Ada berbagai macam motif yang terdapat dalam

busana tokoh wayang Potehi. Motif tersebut adalah motif cakar lima

yang hanya digunakan oleh para raja. Motif naga (liong) yang

kebanyakan digunakan pada kostum tokoh para bangsawan. Banyak

makna yang terdapat dalam berbagai macam motif yang terkandung di

dalam busana wayang Potehi. Contohnya motif macan melambangkan

keberanian dan motif bunga teratai yang melambangkan simbol

kehidupan Budha yang menggambarkan sebuah kehidupan yang

mulia/bersahaja dalam carut-marutnya dunia (Mastuti, 2009:223).

Tabel 2.1 Data Makna Simbol

No Gambar Nama Simbol Makna

1

Cakar Naga Cakar naga yang berjumlah lima buah

hanya boleh dipakai oleh seorang raja.

Untuk gambar cakar naga berjumlah

empat, hanya boleh dipakai oleh

pejabat-pejabat istana saja. Untuk

jumlah cakar di bawah empat boleh

dipakai siapa saja.

2

Naga / Liong Naga merupakan makhluk mitologi

yang berwujud reptil raksasa. Pada

umumnya naga digambarkan berwujud

ular raksasa atau bisa juga kadal

bersayap. Di Tiongkok, naga dianggap

simbol kekuatan alam, khususnya

angin topan. Pada umumnya makhluk

ini dianggap memiliki sifat yang baik

dan ia selalu dihormati. Naga dianggap

sebagai penjelmaan roh orang suci

yang belum bisa masuk surga.

Masyarakat Tiongkok juga

menganggap naga melambangkan

kekuatan, keadilan, kebahagiaan, serta

diyakini sebagai hewan yang bisa

mengusir kekuatan jahat atau roh jahat,

dan juga dianggap sebagai pemberi

keuntungan.

3

Bunga Teratai Teratai lekat dalam legenda dan tradisi

masyarakat Tiongkok. Kwam Im,

Dewi Welas Asih dan pelindung

orang-orang kesulitan biasa tampil

dalam singgasana kuntum bunga

teratai.

4

Ombak Laut ombak menggambarkan suatu

rintangan dan lautan yang luas dan

menggambarkan sesuatu yang besar

atau cukup banyak. Ombak lautan

memiliki makna rintangan yang cukup

banyak.

5

八卦 Bā guà Merupakan lambang ramalan atau

perhitungan feng shui Tiongkok.

6

Harimau Harimau termasuk binatang buas. Bagi

masyarakat Tiongkok, harimau juga

disebut sebagai raja binatang buas.

harimau juga melambangkan

kemuliaan seorang raja serta lambang

keganasan. Harimau juga

menyimbolkan suatu kekuatan militer.

Pada zaman dahulu, tentara Tiongkok

terkadang memakai baju kulit harimau

palsu ketika akan pergi berperang,

dengan harapan ketika berperang suara

teriakan bisa menakuti musuh seperti

halnya auman harimau. Menurut

kepercayaan Cina, orang yang

dimakan oleh harimau, arwahnya tidak

akan pergi kemana-mana, dikarenakan

arwah tersebut akan melayani harimau

tersebut. Bahkan binatang ini dianggap

hewan yang paling kuat yang dapat

melindungi manusia dari bahaya

apapun.

2.3 Klenteng

Klenteng adalah nama khas Indonesia untuk institusi agama bagi

orang percaya, dengan dasar religius memuliakan keagungan Tuhan,

menghormati leluhur dan penghormatan pada dewa. Selain itu terdapat unsur-

unsur ibadah Tri Dharma, persembahyangan, ritual, upacara, hari suci, dan

sebagainya yang menyatu di dalamnya (Moerthiko, 2010:55). Istilah

kelenteng erat hubungannya dengan kebiasaan atau karakteristik masyarakat

untuk menyebut sesuatu yang bertalian dengan suara (bunyi), karena ketika

diselenggarakan upacara keagamaan, selalu membunyikan genta kecil yang

apabila dipukul akan berbunyi “klentheng” atau “klinthing”. Istilah klenteng

tersebut sejatinya berasal dari Indonesia. Sebab di luar negeri, misalnya di

Malaysia, Filipina, Singapura tidak pernah ditemukan adanya pemakaian

istilah klenteng untuk menyebut kuil Tionghoa (Moerthiko, 2010:56).

2.4 Ikonografi

Ikonografi adalah cabang sejarah seni yang mempelajari identifikasi,

deskripsi dan interpretasi isi gambar.

2.4.1 Definisi Ikonografi

Ikonografi berasal dari kata bahasa Yunani „eikon‟ yang berarti

gambar, patung dan lain-lain. Kata „graphe‟ yang berarti tulisan. Fokus

dari ikonografi adalah pembahasan tentang makna dari “pokok

persoalan” (subject matter) karya seni rupa. Dengan kata lain

ikonografi membahas isi atau gambaran tradisi dibalik lambang-

lambang spesifik yang menjadi objek dari kajiannya (amanita,

2007:19).

2.4.2 Perkembangan Ikonografi

Pendekatan ikonografi dimulai sejak abad 19 dan 20. Pada

abad 20 banyak tokoh-tokoh penting dalam sejarah seni rupa seperti

Emile Male, N.P. Kondakov, Hugo Kehrer dan Erwin Panofsky. Dalam

perkembangannya, ikonografi menjadi ikonologi, yaitu kajian tentang

isi atau muatan simbolik dan budaya, dimana dibalik simbolik tersebut

dapat ditemukan suatu politisi, literer, religious, filosofis, social, visi,

nilai, atau pesan-pesan tertentu. Pendekatan ikonografi ini dapat

diterapkan pada berbagai cabang seni rupa seperti lukis, seni patung,

seni kriya, komik, dan lain-lain (Amanita, 2007:19).

2.4.3 Teori Ikonografi Panofsky

Panofsky dalam Kamil (2013:13) menjelaskan bahwa ikonografi

bersifat deskriptif dan claaificatory, sedangkan ikonologi bersifat

identifikasi. Panofsky menjelaskan bahwa untuk memahami dan

mengkaji makna suatu karya seni tersimpan di dalamnya, diperlukan

tiga tahapan yang perlu dikaji, yakni tahap yang pertama adalah

deskripsi pra-ikonografi (pre iconographical descrition), tahap yang

kedua adalah analisis ikonografi (iconographical analysis), dan tahap

yang ketiga adalah interpretasi ikonografi (iconographical

interpretation). Ketiga tahap tersebut memiliki hubungan prerequisite

atau prasyarat dari tahapan satu dengan tahapan berikutnya. Panofsky

menjelaskan tiga pemaknaan karya seni, yaitu sebagai berikut.

a. Pokok bahasan primer atau alami.

Pada tingkat pertama, berhadapan dengan konfigurasi-

konfigurasi garis, warna pada sebuah kanvas yang menggambarkan

manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, rumah dan peralatan.

Bentuk-bentuk itu dianggap sebagai representasi suatu objek

alamiah. Makna yang berhubungan dengan objek diperoleh dari

peristiwa. Makna juga diperoleh dari perasaan seperti sedih dan

gembira, misalnya suasana rumah mewah atau rumah biasa.

Bentuk-bentuk tersebut diuraikan sebagai tahapan pra-ikonografi

dalam karya seni.

b. Pokok bahasan sekunder atau konvesional

Ikonografi yang sesungguhnya dimulai pada tingkat kedua.

Pada tingkat kedua ini Panofsky menggambarkan figur wanita

yang memegang buah peach pada lukisan Agnolo Bronzino yang

berjudul “Allegory With Venus and Cupid” bukanlah sekedar

wanita biasa, tetapi personifikasi dari venus (dewi cinta dan

keindahan). Panofsky juga menggabarkan objek karya lukisan

“The Last Supper” dalam gambaran dua watak jahat dan baik.

Dalam karya atas menunjukkan peristiwa persoalan objek yang

digambarkan dengan peristiwa. Di samping karya tersebut

mencantumkan persoalan komposisi. Analisis ikonografi

mempelajari pemaknaan dengan menggunakan aturan-aturan yang

sudah disetujui oleh pakar seni. Artinya analisis yang menjelaskan

pemaknaan karya seni dari sumber-sumber literatur. Memfokuskan

pada pemaknaan yang dikaitkan dengan dunia gambar, sejarah dan

alegori.

c. Makna atau muatan intrisik

Pada tahap ketiga ini interpretasi ikonologis adalah cara

memahami karya seni melalui penetapan makna isinya dengan

menyikapi prinsip-prinsip dasar yang mengungkapkan sikap dasar

suatu bangsa, suatu periode, suatu kelas sosial, suatu persuasi

religious dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Makna ini

dikaitkan dengan bagian dari mentalitas dasar budaya yang

memanifestasikan budaya yang lain (ilmu pengetahuan agama,

filsafat, ideologi) karena karya seni merupakan simtom zamannya

(zeistget).

2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah skripsi

berjudul “Makna Simbolis Pakaian Adat Pengantin Suku Sasak Lombok Nusa

Tenggara Barat” oleh Siandari (2013), Fakultas Bahasa dan Seni Universitas

Negeri Yogyakarta. Skripsi ini meneliti proses upacara pengantin adat suku

sasak Lombok serta makna simbolik pakaian adat pengantin suku sasak

Lombok. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif

dengan pengumpulan data dengan teknik observasi, wawancara dan

dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Proses upacara adat

pengantin suku Sasak Lombok dapat membantu untuk mengetahui makna

simbolis pada unsur-unsur pakaian adat pengantin. (2) Pakaian adat pengantin

golongan bangsawan dimaknai dari segi perhiasannya, dilihat dari ekstrinsik

dan intrinsik kualitas bahan terbuat dari bahan emas. Sedangkan untuk

masyarakat biasa terbuat dari bahan perak atau tembaga. (3) Pakaian adat

pengantin wanita terbagi menjadi empat bagian yaitu; kepala, leher, badan

dan lengan.

Penelitian selanjutnya, skripsi berjudul “Cerita dan Makna Simbolis

Mural Klenteng Kwan Sing Bio Tuban” oleh Fadhliyah (2016) Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Brawijaya Malang. Skripsi ini meneliti tentang lukisan

apa saja yang terdapat dalam klenteng Kwan Sing Bio dan cerita makna

simbolis yang terdapat pada mural tersebut. Metode yang digunakan adalah

deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

teknik observasi, wawancara dan studi literatur. Hasil temuan penelitian ini

berupa, simbol makhluk hidup yang melambangkan panjang umur. Peta

Indonesia yang melambangkan rasa nasionalisme. Peta Republik Rakyat

Tionghoa yang merupakan asal mereka. Temuan lainnya adalah cerita yang

mengisahkan sejarah perjalanan hidup dewa Kwan Kong.

Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah

menggunakan metode deskriptif kualitatif dan membahas tentang makna

simbol. Perbedaannya terletak pada objek penelitian, dalam penelitian

Siandari obejek penelitiannya adalah pakaian adat pengantin suku sasak di

Lombok, dan objek penelitian Fadhliyah adalah mural yang terdapat di

klenteng Kwan Sing Bio Tuban. Sedangkan dalam penelitian ini objek

penelitiannya adalah busana 布袋戏 bùdàixì dalam pertunjukan „raja秦

Jin/Qín pukul 6 kerajaan„ pada perayaan Imlek 2568 di klenteng Eng An

Kiong Malang. Keunggulan skripsi ini dibandingkan skripsi sebelumnya

adalah penelitian ini meneliti lebih spesifik tentang makna simbolik busana

布袋戏 bùdàixì.