Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian yang Relevan
Menurut pengamatan penulis, sudah ada beberapa penelitian yang telah
dilakukan oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto FKIP Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya tentang kebudayaan. Penelitian tersebut
dilakukan oleh Evi Noviana pada tahun (2007) yang berjudul Unsur-unsur
Kebudayaan Jawa dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari
(Tinjauan Antropologi Sastra). Hasil penelitian Evi Noviana ini yaitu ada tiga unsur
kebudayaan Jawa yang terdapat dalam CBE. Tiga unsur kebudayaan Jawa tersebut
yaitu sistem pengetahuan, sistem religi, dan kesenian. Perbedaan dengan penelitian
yang dilakukan yaitu data penelitian ini berupa teks yang mengandung wujud
kebudayaan Jawa dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi.
Penelitian ini akan membahas wujud budaya serta konstruksi wujud budaya Jawa
tersebut dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi. Berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Evi Noviana yaitu membahas unsur kebudyaan
Jawa. Kebudayaan Jawa tersebut khususnya budaya Jawa daerah Banyumas dalam
novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Penelitian kedua dilakukan oleh Novi Septiantika mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Purwokerto Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada tahun
(2014). Penelitian tersebut berjudul Wujud dan Unsur Kebudayaan Bali dalam
Kumpulan Cerpen Perempuan Yang Mengawini Keris Karya Wayan Sunarta
10 Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
11
(Studi Antropologi Sastra). Hasil penelitiannya yaitu tiga wujud kebudayaan dan
tujuh unsur kebudayaan Bali dalam kumpulan Cerpen Perempuan yang Mengawini
Keris. Tiga wujud kebudayaan tersebut yaitu ide, aktivitas, dan hasil karya. Wujud Ide
di antaranya yaitu gagasan tentang nyentana, ngaben,balian, leak dan sebagainya.
Wujud aktivitas di antaranya yaitu aktivitas tentang rapat adat, nyentana, sesaji, seni
patung, seni lukis, seni tari dan ngaben. Wujud hasil karya di antaranya yaitu
pengerupak, tombak, patung, leak, bade, lukisan dan sebagainya. Sedangkan tujuh
unsur kebudayaan tersebut yaitu: (1) Bahasa, contoh penggunaan kata bli; (2) Sistem
pengetahuan, contohnya pengetahuan alam flora terhadap kayu, daun lontar, dan
pengerupak; (3) Organisasi sosial, contohnya nyentana, klian, rapat adat, dan
kelompok janger; (4) Sitem peralatan hidup dan teknologi, contohnya sistem
persenjataan meliputi tombak, keris dan panah; (5) Sistem mata pencaharian
contohnya membuat patung dan menjual manik-manik; (6) Sitem religi contohnya
leak, balian, karmapala dan ngaben; dan (7) Kesenian contohnya seni patung, seni
lukis dan seni musik.
Penelitian yang dilakukan oleh Novi Septiantika berbeda dengan penelitian
yang dilakukan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan yaitu penelitian ini
membahas wujud kebudayaan Jawa dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi
Calon Politisi berikut konstruksi wujud kebudayaannya, sedangkan penelitian Novi
Septiantika membahas wujud dan unsur kebudayaan Bali dalam kumpulan cerpen
Perempuan yang Mengawini Keris. Dengan demikian, penelitian ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Novi Septiantika maupun Evi Noviana. Oleh karena
itu, peneliti berpendapat bahwa penelitian ini perlu dilakukan.
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
12
B. Pengertian Cerpen
Sastra merupakan bagian intergral dari kebudayaan, menceritakan berbagai
aspek kehidupan dengan cara imajinatif kreatif, sekaligus masuk akal. Bentuk karya
sastra yaitu prosa dan puisi. Cerpen merupakan salah satu genre sastra yang berbentuk
prosa. Graff (dalam Liliweri, 2014: 416) menyatakan bahwa prosa adalah suatu
bentuk bahasa yang memiliki sintaksis biasa sebagaimana terdengar dalam pidato
alami, prosa tidak terlalu memerlukan struktur ritme karena lebih mengutamakan
standar ukuran dalam kalimat daripada puisi yang tergantung pada garis sebagai
penentu irama.
Noor (2007:26-29) menguraikan bahwa prosa dalam sastra modern lebih
dikenal dengan isilah cerita rekaan (cerkan). Macam-macam cerita rekaan dalam
sastra modern antara lain novel, cerita pendek (cerpen), dan novela (cerita pendek
yang panjang. Setiap karya sastra mengandung unsur-unsur instrinsik, yaitu unsur-
unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Misalnya dalam cerita rekaan berupa
tema, amanat, alur (plot), tokoh, latar (setting), dan pusat penceritaan (point of view).
Setiap karya sastra juga mengandung unsur ekstrinsik, yaitu unsur-unsur dari luar
yang mempengaruhi isi karya sastra. Unsur-unsur ekstrinsik itu misalnya psikologi,
sosiologi, agama, sejarah, filsafat, idiologi, politik, dan lain-lain.
Salah satu karya sastra prosa baru yaitu cerpen. Nurgiyantoro (2010: 9)
menguraikan bahwa novel dan cerita pendek merupakan dua bentuk karya sastra yang
sekaligus disebut fiksi. Cerpen sesuai namanya adalah cerita pendek. Akan tetapi,
berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak ada satu
kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe (dalam
Nurgiyantoro, 2010: 9-11) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
13
selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam-
suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan untuk sebuah novel. Panjang cerpen
bervariasi ada cerpen yang pendek (short story), bahkan mungkin pendek sekali:
berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukup (middle short story), serta
ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan
beberapa puluh) ribu kata. Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya
mengemukakan secara lebih banyak, secara implisit dari sekedar apa yang diceritakan.
Liliweri (2014: 419-420) menguraikan bahwa cerpen adalah bentuk prosa yang
menceritakan sebagian kecil dari kehidupan pelakunya yang terpenting dan paling
menarik. Di dalam cerpen boleh ada konflik atau pertikaian, akan tetapi hal itu tidak
menyebabkan perubahan nasib pelakunya. Cerita pendek merupakan suatu bentuk
prosa naratif fiktif yang cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan
karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella dan novel. Karena singkatnya,
cerita-cerita pendek yang sukses mengandalakan teknik-teknik sastra seperti tokoh,
plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih
panjang.
Sedangkan Sayuti (2000: 9) menyatakan bahwa cerpen merupakan karya prosa
fiksi yang dapat selesai dibaca dalam sekali duduk dan ceritanya cukup dapat
membangkitkan efek tertentu dalam diri pembaca. Maka kesimpulannya, bahwa
cerpen adalah karya prosa fiksi yang dengan panjang sekitar 5000 kata dan dapat
dibaca sekali duduk, serta merupakan kebulatan ide yang dapat membangkitkan efek
tertentu dalam diri pembaca. Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat
disimpulkan bahwa cerpen merupakan salah satu prosa fiksi yang padat dan langsung
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
14
pada tujuannya, menceritakan sebagian kecil dari kehidupan pelakunya yang
terpenting dan paling menarik.
C. Kebudayaan
1. Pengertian Kebudayaan
Koentjaraningrat (2009: 144-145) menerangkan bahwa menurut ilmu antropologi,
kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal
tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah “kebudayaan” karena
hanya amat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tak
perlu dibiasakannya dengan belajar. Bahkan berbagai tindakan manusia yang
merupakan kemampuan nalurinya (seperti misalnya makan, minum atau berjalan
dengan kedua kakinya) juga diubah olehnya menjadi tindakan berkebudayaan.
Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu
bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya berupa perilaku dan benda-
benda yang bersifat nyata. Misalnya pola-pola perilaku bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni dan lain-lain. Semua itu ditujukan untuk membantu
manusia dalam melangsungkan kehidupan masyarakatnya (Herimanto, 2010: 24-25)
Sementara itu, Sulasman dan Setia Gumilar (2013:18-19) menyatakan bahwa
kebudayaan adalah segala hal yang tercermin dalam realitas apa adanya di
masyarakat. Dengan demikian, kebudayaan dalam pengertian luas, adalah makna,
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
15
nilai, adat, ide, dan simbol yang relatif. Kebudayaan mewakili pandangan bahwa
kebudayaan merupakan kenyataan objektif, sehingga kenyataan budaya itu bisa
ditemukan di dalam institusi dan tradisi. Adapun dalam pengertian sempit,
kebudayaan adalah memiliki kandungan spiritual dan intelektual yang tinggi. Dari
beberapa pendapat yang sudah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa
kebudayaan merupakan seluruh aspek kehidupan manusia, yang diperoleh dengan cara
belajar mencakup pengetahuan, kepercayaan, adat-istiadat, moral, pengetahuan,
kesenian, kemampuan-kemampuan, kebiasaan-kebiasaan dan hasil karya.
2. Wujud kebudayaan
Kebudayaan dapat dibedakan dalam dua wujud, yaitu material culture
(kebudayaan materiil) dan nonmaterial culture (kebudayaan nonmateriil). Untuk
istilah yang kedua nonmaterial culture ada pula yang menyebutnya immaterial
culture. Cateora (dalam Sulasman dan Setia Gumilar, 2013: 38) menguraikan bahwa
kebudayaan materiil mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret.
Termasuk dalam kebudayaan materiil adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari
penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan seterusnya.
Kebudayaan materiil juga mencakup barang-barang seperti televisi, pesawat terbang,
stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit dan mesin cuci. Sedangkan
kebudayaan nonmateriil adalah ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke
generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat atau lagu tradisional.
Ogburn dan Nimkoff (dalam Liliweri, 2014: 12-14) menguraikan bahwa
kebudayaan dibedakan menjadi dua wujud, yaitu kebudayaan material dan
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
16
kebudayaan non-material. Kebudayaan material terdiri dari benda-benda konkret yang
nyata seperti peralatan, furniture, mobil, buku, bangunan, bendungan sebagai benda
nyata buatan manusia. Kebudayaan material mengacu pada benda-benda fisik, sumber
daya, dan ruang yang digunakan orang untuk mendefinisikan budaya mereka.
Kebudayaan non-material terdiri dari benda-benda abstrak yang tidak berwujud,
misalnya adat istiadat, tradisi, kebiasaan, perilaku, sikap, kepercayaan, bahasa, sastra,
seni, hukum, agama dan lain-lain. Semua bentuk non material tersebut bersifat internal
karena mencerminkan sifat batin manusia dari kelompok atau komunitas tertentu.
Kebudayaan non-material mengacu pada ide-ide nonfisik yang dimiliki oleh
sekelompok orang, misalnya tentang keyakinan, nilai-nilai, aturan, norma, moral,
bahasa, organisasi, dan pranata sosial.
Dua komponen kebudayaan berupa material culture dan nonmaterial culture,
adapula yang menyebutnya dengan istilah budaya tangibel dan intangible. Sedyawati
(2006: 160-164) menguraikan bahwa budaya tangible yaitu budaya yang berwujud
dapat disentuh berupa benda konkret, pada umumnya berupa benda hasil buatan
manusia, dan dibuat untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Namum pada khususnya,
terdapat pula di mana suatu benda alami, tidak diberi pengerjaan apa pun oleh tangan
manusia, menjadi warisan budaya karena pada masa berfungsinya benda tersebut
diberi makna budaya oleh manusia. Sedangkan budaya intangble adalah budaya yang
tidak berwujud, tidak dapat diraba, bersifat abstrak, seperti konsep dan nilai.
Aspek-aspek intangible atau “takbenda” itu dapat berkenaan dengan : 1).
Konsep mengenai benda itu sendiri; 2). Perlambangan yang diwujudkan melalui
benda itu; 3). Kebermaknaan dalam kaitan dengan fungsi atau kegunaannya; 4). Isi
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
17
pesan yang terkandung di dalamnya, khususnya apabila terdapat tulisan padanya; 5).
Teknologi untuk membuatnya; ataupun 6). Pola tingkah laku yang terkait dengan
pemanfaatannya. Bagaimanapun, suatu benda budaya yang bersifat tangible karena
sifat budayanya itu tentu mempunyai juga sesuatu atau sejumlah aspek intangible (tak
dapat diraba) yang melekat padanya. Misalnya “meja”; konsep mengenainya adalah :
perabotan rumah tangga, permukaan datar di bagian atasnya untuk meletakkan benda-
benda yang lebih kecil, berkaki (bisa rendah atau tinggi).
Koentjaraningrat (2009: 150) menguraikan bahwa kebudayaan itu ada tiga
wujudnya, yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, norma,
peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suaut kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ide dari kebudayaan. Wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya. Sifatnya
abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala, atau
dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan
yang bersangkutan hidup. Kalau warga masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka
dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ide sering berada dalam karangan dan
buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat bersangkutan. Sekarang
kebudayaan ide banyak tersimpan dalam disk, arsip, koleksi microfilm dan microfish,
kartu komputer, silinder, dan pita komputer. Ide-ide dan gagasan manusia banyak
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
18
yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu.
Gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan,
menjadi suatu sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini sistem
budaya atau cultural system (Koentjaraningrat, 2009: 151).
Kebudayaan ide ini dapat kita sebut adat tata kelakuan, atau secara singkat
adat dalam arti khusus atau adat-istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tata-
kelakuan, maksudnya bahwa kebudayaan ide biasanya berfungsi sebagai tata
kelakuan yang mengatur, mengendali, dan memberi arah kepada kelakuan dan
perbuatan manusia dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 2004: 5). Adat dibagi lebih
khusus dalam empat tingkat, ialah : (i) tingkat nilai-budaya, (ii) tingkat norma-norma,
(iii) tingkat hukum, (iv) tingkat aturan khusus (Koentjaraningrat, 2004: 11).
Sulasman dan Setia Gumilar (2013: 35-36) menguraikan bahwa wujud ide
adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan
dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud ide
dapat pula disebut sebagai ideologi. Istilah ideologi mengacu pada kawasan ideasional
dalam suatu budaya. Istilah ideologi meliputi nilai, norma, falsafah dan kepercayaan
religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang dunia, etos, dan
semacamnya.
Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud yang kedua dari kebudayaan sering
disebut sistem sosial atau social system, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu
sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang
berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain, dari detik ke detik, dari hari
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
19
ke hari, dari tahun ke tahun selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat
tata-kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, sistem
soial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto,
dan didokumentasi (Koentjaraningrat, 2009: 151).
Aktivitas adalah wujud kebudayan sebagai tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat itu. Sebagai perwujudan gagasan dalam kebudayaan, aktivitas
(perilaku) dibagi menjadi perilaku verbal (lisan dan tulisan) dan nonverbal (artefak
dan alam). Wujud perilaku sering berbentuk sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri atas
aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan
manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakukan.
Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-sehari dan dapat diamati dan
didokumentasikan (Sulasman dan Setia Gumilar, 2013: 36)
Poerwanto (2000: 56-57) menyatakan bahwa kebudayaan sebagai „pola dari
perilaku‟adalah berupa gagasan yang mengacu pada sistem pengetahuan dan
kepercayaan, yang menjadi pedoman untuk mengatur tindakan mereka. Sementara itu,
C. Kluchohn (dalam Poerwanto, 2000: 88-89) menguraikan bahwa makhluk manusia
adalah bagian dari sistem sosial, maka setiap individu harus belajar mengenai pola-
pola tindakan, agar ia dapat mengembangkan hubungannya dengan individu-individu
lain di sekitarnya. Proses belajar ini lebih dikenal dengan sosialisasi.
Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud
ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan memerlukan keterangan banyak.
Karena merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas perbuatan, dan karya
semua manusia dalam masyarakat, maka, sifatnya paling konkret, dan berupa benda-
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
20
benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ada benda-benda yang amat
besar seperti: suatu pabrik baja; ada benda-benda yang amat kompleks seperti suatu
komputer berkapasitas tinggi; atau benda-benda yang besar dan bergerak seperti suatu
perahu tangki-minyak; ada benda-benda yang besar dan indah seperti suatu candi yang
indah; atau ada pula benda-benda kecil seperti kain batik; atau yang lebih kecil lagi,
yaitu kancing baju (Koentjaraningrat, 2009: 151). Artefak adalah wujud kebudayaan
fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat, berupa benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan
didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan
(Sulasman dan Setia Gumilar, 2013: 37)
Tiga wujud kebudayan terurai di atas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat
tidak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ide dan adat-istiadat mengatur dan
memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide
maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan kebudayaan fisiknya. Sebaliknya
kebudayan fisik itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama
makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi
pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya
(Koentjaraningrat, 2009: 152).
Sementara itu, Sulasman dan Setia Gumilar (2013: 37) menguraikan bahwa
dalam kehidupan masyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak dapat
dipisahkan dari wujud kebudayan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ide
mengatur dan memberi arah pada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Sebagai perwujudan gagasan dalam kebudayaan, perilaku dibagi menjadi perilaku
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
21
verbal (lisan dan tulisan) dan nonverbal (artefak dan alam). Keduanya membentuk
kebudayaan material. Materi dalam yang dimaksud dalam kebudayan material
meliputi benda-benda tak bergerak yang disebut artefak itu.
Dari beberapa pendapat mengenai wujud kebudayaan, maka dapat disimpulkan
bahwa wujud kebudayaan secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
kebudayaan material dan nonmaterial ada pula yang menyebutnya kebudayaan
tangible dan intangible. Kebudayaan material (tangible) adalah kebudayaan fisik yang
konkret bisa dilihat, diraba dan bersifat jasmani. Wujud kebudayaan material
(tangible) berupa wujud kebudayaan fisik dan wujud kebudayaan aktivitas.
Sedangkan kebudayaan imaterial (intangible) merupakan kebudayaan yang bersifat
rohani atau tidak dapat dilihat bersifat abstrak, misalnya kepercayaan, tradisi,
keyakinan, adat-istiadat, perilaku, sikap dan lain-lain. Wujud kebudayaan imaterial
berupa wujud kebudayaan ide. Wujud kebudayaan ide merupakan motor atau
penggerak bagi wujud kebudayaan aktivitas dan fisik. Seseorang akan melakukan
suatu aktivitas setelah memiliki gagasan tentang aktivitas tersebut. Seseorang juga
akan menghasilkan wujud kebudayaan fisik setelah memiliki ide/gagasan tentang fisik
atau hasil karya yang akan dihasilkan.
3. Kebudayaan Jawa
Kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan daerah yang ada di
Indonesia. Sulasman dan Setia Gumilar (2013: 271) menguraikan bahwa kebudayan
daerah adalah kebudayaan dalam wilayah atau daerah tertentu yang diwariskan secara
turun temurun oleh generasi terdahlu kepada generasi berikutnya pada ruang lingkup
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
22
daerah tersebut. Budaya daerah ini muncul saat penduduk suatu daerah telah memiliki
pola pikir dan kehidupan sosial yang sama sehingga menjadi suatu kebiasaan mereka
yang membedakan mereka dengan penduduk lain.
Koentjaraningrat (1994:3-29) menguraikan bahwa pulau Jawa, yaitu suatu
pulau yang panjangnya lebih dari 1.200 km, dan lebarnya 500 km. Orang Jawa hanya
mendiami bagian tengah dan timur dari seluruh Pulau Jawa; sebelah baratnya (yang
hampir seluruhnya merupakan Dataran Tinggi Priangan), seperti kita ketahui, adalah
daerah Sunda. Kebudayaan Jawa memiliki keanekaragaman regional budaya. Menurut
pandangan orang Jawa, kebudayaannya tidak merupakan suatu kesatuan yang
homogen. Keanekaragaman regional kebudayaan Jawa ini sedikit banyak cocok
dengan daerah-daerah logat bahasa Jawa, dan tampak juga dalam unsur-unsur seperti
makanan, upacara-upacara rumah tangga, kesenian rakyat,dan seni suara.
Sulasman dan Setia Gumilar (2013: 28-29) menyatakan bahwa kebudayaan
melekat dengan diri manusia. Artinya, manusia adalah pencipta kebudayaan. Pada
tataran yang lebih tinggi, kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat.
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem,
adat istiadat tertentu yang berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas
bersama. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Segala sesuatu
yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu. Amin (dalam Warsito, 2012: 98) menguraikan bahwa masyarakat
Jawa atau tepatnya suku bangsa Jawa, secara Antropologi Budaya adalah orang-orang
yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam
dialeknya secara turun temurun.
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
23
Menurut Koentjaraningrat (1999:329-347) daerah kebudayaan Jawa luas, yaitu
meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa. Sungguhpun demikikan ada
daerah-daerah yang secara kolektif sering disebut kejawen. Sebelum terjadi perubahan
wilayah, daerah tersebut yaitu Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun,
Malang dan Kediri. Di luar daerah tersebut dinamakan Pesisir dan Ujung timur.
Bahasa yang digunakan sehari-hari maupun perhubungan sosial menggunakan bahasa
Jawa. Sistem kekerabatan mereka berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Mata
pencaharian sebagai penghidupan masyarakat Jawa di antaranya yaitu kepegawaian,
pertukangan, perdagangan dan bertani. Orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan
yang melebihi segala kekuatan di mana saja yang pernah dikenal, yaitu kasekten,
kemudian arwah atau ruh leluhur, dan makhluk-makhluk halus seperti memedi,
lelembut, tuyul, demit, serta jin dan lainnya.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat
Jawa adalah penghasil atau pencipta utama kebudayaan Jawa. Karena itu, antara
masyarakat Jawa dan kebudayaan Jawa tidak mungkin dapat dipisahkan. Kebudayaan
Jawa terdiri atas sejumlah pola kelakuan yang meliputi berbagai tindakan dan pola
berpikir Jawa. Jadi kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang dihasilkan oleh
masyarakat Jawa berupa ide, aktivitas dan fisik (hasil karya) diwariskan secara turun
temurun sebagai salah satu budaya yang khas.
Berikut penjelasan masing-masing wujud kebudayaan Jawa, yang meliputi: (1)
Wujud kebudayaan Jawa sebagai ide/gagasan, (2) Wujud kebudayaan Jawa sebagai
suatu aktivitas, dan (3) Wujud kebudayaan Jawa sebagai hasil karya.
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
24
a. Wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu ide
Wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu ide/gagasan yaitu wujud kebudayan yang
berbentuk kumpulan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya yang
sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh yang dihasilkan oleh masyarakat
Jawa. Wujud ide tersebut menjadi pedoman bagi bentuk wujud kebudayaan Jawa
lainnya yang berupa wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu aktivitas yang kemudian
dari aktivitas tersebut menghasilkan wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu hasil
karya. Wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu ide dapat pula disebut sebagai ideologi
masyarakat Jawa. Istilah ideologi mengacu pada kawasan ideasional meliputi nilai-
nilai, norma, falsafah dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan
atau wawasan tentang dunia, etos, dan semacamnya.
Untuk memperjelas, salah satu contohnya yaitu masyarakat Jawa memiliki
kepercayaan terhadap Tuhan dan kekuatan gaib lainnya, baik itu roh-roh halus,
lelembut, jin maupun kekuatan yang dihasilkan oleh benda. Kepercayaan masyarakat
Jawa tentang hal itu, dapat diperjelas berdasarkan pendapat Koentjaraningrat (1994:
411-413) menguraikan bahwa seperti pada banyak kebudayaan di dunia, ilmu gaib
(ngelmi) dan tenung pada orang Jawa merupakan tren dari religi, karena mengenai
manusia yang berhubungan dengan kekuatan-kekuatan supernatural, dan karena itu
dianggap keramat. Orang Jawa menganggap ngelmi itu bagian dari religi dan memang
ngelmi itu bertautan erat dengan religi. Orang yang melakukan upacara religi
menyerahkan dirinya sepenuhnya kepadaTuhan, kepada para dewa, atau kepada
mahluk-mahluk gaib yang lain, dan berdoa agar permintaanya bisa terkabul
(nyenyuwun). Masyarakat Jawa juga percaya pada suatu kekuatan yang melebihi
segala kekuatan, yaitu kasekten (kesaktian), kemudian arwah atau roh leluhur, dan
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
25
makhluk-makhluk halus seperti misalnya memedi, lelembut, dan lain-lain yang
menempati alam sekitar tempat tinggal mereka.
b. Wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu aktivitas
Wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu aktivitas merupakan wujud kebudayaan
sebagai tindakan berpola dari manusia Jawa dalam masyarakat itu. Sebagai
perwujudan gagasan dalam kebudayaan, aktivitas (perilaku) yang dihasilkan oleh
masyarakat Jawa dibagi menjadi perilaku verbal (lisan dan tulisan) dan nonverbal
(artefak dan alam). Wujud perilaku sering berbentuk sistem sosial. Sistem sosial ini
terdiri atas aktivitas seorang masyarakat Jawa yang saling berinteraksi, mengadakan
kontak, serta bergaul dengan anggota masyarakat lainnya menurut pola-pola tertentu
yang berdasarkan adat tata kelakukan masyarakat Jawa. Sifat wujud kebudayaan
tersebut yaitu konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-sehari dan dapat diamati dan
didokumentasikan.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa wujud kebudayaan Jawa sebagai
ide/gagasan merupakan landasan masyarakat Jawa untuk melakukan aktivitas.
Aktivitas yang dihasilkan oleh masyarakat Jawa disebut sebagai perwujudan budaya.
Salah satu contohnya yaitu tentang aktivitas bermasyarakat. Sebagaimana diketahui,
masyarakat Jawa merupakan yang lebih senang hidup rukun, berusaha menjaga
hubungan baik dengan sekitarnya. Masyarakat Jawa juga memiliki norma-norma
daerah yang kental. Hal itu merupakan salah satu wujud untuk saling berinteraksi
dalam kehidupan bermasyarakat menurut sistem kesatuan hidup di daerahnya.
Salah satu kerukunan yang terdapat dalam masyarakat Jawa yaitu aktivitas
gotong royong. Gotong royong merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
26
masyarakat Jawa berdasarkan pandangan hidup yang mereka anut berupa hidup rukun.
Koentjaraningrat (1994:151-152) menguraikan bahwa suatu rumah tangga di Jawa
terutama harus berusaha menjalin suatu hubungan yang baik dengan para tetangganya.
Hubungan baik ini mereka nyatakan dengan berbagai cara bergotong-royong. Dalam
adat sopan santun Jawa, gotong royong ini dilakasnakan menurut berbagai kewajiban
tertentu yang harus ditaati oleh setiap kepala keluarga. Salah satu contohnya yaitu
pada waktu seorang tetangga mengalami kematian salah seorang keluarganya, maka
para tetangga lainnya pun diharapkan bantuannya untuk menyiapkan segala-galanya
untuk menguburkan jenazahnya. Contoh lain dalam menjaga hubungan baik dengan
tetangga yaitu sesuatu keluarga tetangga seringkali memerlukan bantuan untuk
melakukan berbagai perbaikan rumahnya, misalnya memperbaiki atap, mengganti
dinding bilik, membasmi tikus, membuat sumur, atau menumbuk padi untuk slametan.
c. Wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu hasil karya (fisik)
Wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu hasil karya (fisik) adalah wujud
kebudayaan fisik berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia
Jawa dalam masyarakat. Wujud kebudayaan tersebut berupa benda atau hal-hal yang
dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan dan memilik sifat paling konkret di
antara ketiga wujud kebudayaan Jawa. Salah satu contohnya yaitu berupa pakaian.
Masyarakat Jawa memiliki pakaian atau kain khas berupa batik Jawa. Berkenaan
pakaian khas masyarakat Jawa sebagai unsur kebudayaan berupa sistem teknologi dan
perlatan hidup dapat dipertegas dengan pendapat Sumardi dkk. Sumardi dkk (1992a:
103) menguraikan bahwa berkenaan dengan pakaian maka masyarakat Jawa mengenal
yang disebut pakaian Jawa jangkep (pakaian Jawa lengkap), yang berupa kelengkapan
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
27
berpakaian dengan menggunakan tutup kepala (kuluk), berbaju jas sikepan (atola),
sabuk dan kain batik serta memakai keris berikut alas kakik bagi kaum pria.
Sedangkan kaum wanitanya memakai kebaya panjang dengan kain batik dan
perhiasan berupa subang, kalung gelang, dan cincin serta bersanggul yang disebut
bokor mengkureb. Adapun jenisnya kemudian beraneka ragam, disesuaikan dengan
kebutuhan sesuatu upacara, misalnya jagongan ataupun keperluan lainnya.
4. Konstruksi Kebudayaan
a. Pengertian Konstruksi Kebudayaan
Konstruksi kebudayaan terdiri dari dua kata, yaitu konstruksi dan kebudayaan.
Konstruksi memiliki makna yaitu cara membuat atau menyusun. Selain itu, dalam
istilah bahasa, kata „konstruksi‟ memiliki arti sebagai susunan dan hubungan kata
dalam kalimat atau dalam kelompok kata (Poerwadarminta, 2007: 612). Sebanding
dengan pendapat Poerwadarminta, Dagun (2013: 845) menyebutkan bahwa konstruksi
(construction) dari segi Linguistik berarti susunan dan hubungan kata dalam kalimat
atau kelompok kata. Dalam istilah umum, konstruksi berarti susunan model, tata letak
suatu bangunan jembatan, rumah dan sebagainya.
Sementara itu, konstruksi bisa disebut juga dengan konstruk. Ratna (2013a:
236-238) menguraikan bahwa definisi konstruk dapat dilihat pada definisi konsep.
Konsep, dari kata concipere (Latin), berarti mencakup, mengandung, menangkap.
Secara luas konsep adalah abstraksi suatu peristiwa gambaran mental suatu objek.
Setiap kata, bahkan setiap simbol yang memiliki makna tertentu dapat dianggap
sebagai konsep. Konsep dibangun atas dasar data, bukan sebaliknya. Hakikat konsep
ada dua macam, yaitu: a) konsep konkret (rumah meja, dan sebagainya), dan b)
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
28
konsep abstrak (pikiran, ineraksi sosial, dan sebagainya). Dalam penerapan konsep
juga dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a) konsep leksikal (teoretis, konstitutif,
nominal, denotatif, normatif), dan b) konsep operasional. Yang lebih berperan dalam
penelitian adalah konsep operasional. Kerlinger dan Danesi (dalam Ratna, 2013a: 237)
menguraikan bahwa konsep yang sudah diaplikasikan dan telah membentuk jaringan
dengan konsep lain disebut konstruk (constructs). Konsep juga dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu: a) konsep superordinat, seperti binatang, b) konsep dasar seperti
kucing, dan c) konsep subordinat seperti kucing hutan.
Dari beberapa definisi yang sudah dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa
konstruksi merupakan susunan dan hubungan bagian-bagian dari suatu objek.
Konstruksi bisa juga disebut dengan konsep yang berarti mencakup, mengandung,
menangkap dan secara luas „konsep‟ disebut juga sebagai abstraksi suatu peristiwa
gambaran mental suatu objek. Konsep-konsep yang sudah diaplikasikan dan
membentuk jaringan disebut dengan konstruk.
Untuk mengetahui maksud dari konstruksi kebudayaan, maka kata kedua yang
perlu dicari definisinya yaitu, kebudayaan. Menurut Harris (dalam Ratna, 2007: 5)
menguraikan bahwa kebudayaan adalah seluruh aspek kehidupan manusia dalam
masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar dan tingkah laku. Sementara itu,
Liliweri (2014:5-9) menguraikan bahwa banyak antropolog dan sosiolog yang
mendefinisikan kebudayaan sebagai deposit dari pengetahuan, pengalaman,
kepercayaan, nilai-nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pengertian waktu, peran,
hubungan spasial, konsep alam semesta dan benda-benda materi dan harta benda yang
diperoleh oleh sekelompok orang dalam perjalanan generasi melalui perjuangan
individu dan kelompok. Menurut Geerts (dalam Liliweri, 2014: 8-9) kebudayaan
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
29
terdiri dari “sistem belajar makna” yang dikomunikasikan dengan menggunakan
bahasa alami dan sistem simbol lain yang memiliki representasional, direktif, dan
fungsi afektif, dan mampu menciptakan entitas budaya dan indera tertentu. Dari
beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan
seluruh kehidupan manusia yang diperoleh dengan cara belajar dan tingkah laku
meliputi pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai-nilai, sikap, makna, hirarki,
agama, pengertian waktu, peran, hubungan spasial, konsep alam semesta dan benda-
benda materi dan harta benda dalam masyarakat.
Beracuan menurut pendapat Ratna bahwa konstruksi bisa juga disebut dengan
konsep, maka sedikit sejalan dengan pendapat Poerwanto tentang konsep kebudayaan.
Sementara itu, pembicaraan dalam hal ini yaitu konstruksi kebudayaan. Poerwanto
(2000: 55) menguraikan bahwa metode analisis yang memandang kebudayaan sebagai
suatu keseluruhan yang terintegrasi, akan memudahkan memahami keterkaitan setiap
unsur-unsur kecil dalam kebudayaan. Demikian pula bagaimanakan keterkaitan lebih
lanjut dari unsur-unsur kecil tadi dalam rangka keseluruhannya seperti tampak pada
konsep patterns of culture dari Ruth Benedict (1934).
Ruth Benedict (dalam Poerwanto, 2000: 55-56) menguraikan bahwa ia
menganjurkan agar dalam melihat kebudayaan manusia tidak hanya sekedar melihat
himpunan dari unsur-unsur yang satu dengan lainnya saling terlepas; tetapi lebih
dipandang sebagai suatu kompleks jaringan yang mempunyai arti, watak dan jiwa.
Karenanya tugas seorang ahli antropologi harus mampu menyelami jiwa dari suatu
kebudayaan dengan memperhatikan gagasan-gagasan, perasaan-perasaan dan emosi-
emosi para individu suatu masyarakatkar. Selain itu, disamping seorang penelti haru
mampu mendeskripsikan sampai dengan unsur-unsur terkecil dari suatu kebudayaan,
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
30
ia juga harus mampu menganalisis berbagai gagasan, perasaan dan emosi yang
melatarbelakanginya. Karenanya, pengertian konsep patterns dari Ruth Benedict ialah
keseluruhan jaringan emosi-emosi yang hidup dalam suatu kebudayaan yang seolah-
olah memberikan jiwa dan watak suatu kebudayaan.
Dari pembahasan yang sudah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa
konstruksi kebudayaan adalah susunan, hubungan atau konsep berupa abstraksi suatu
persitiwa terhadap suatu objek (budaya) yang meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia yang diperoleh dengan cara belajar dan tingkah laku, baik berupa
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai-nilai, sikap, makna, hirarki, agama,
pengertian waktu, peran, hubungan spasial, konsep alam semesta dan benda-benda
materi dan harta benda dalam masyarakat. Selanjutnya keseluruhan jaringan abstraksi
tersebut seolah-olah memberikan jiwa dan watak suatu kebudayaan.
b. Pengertian Konstruksi Kebudayaan dalam Teks Sastra
Konstruksi kebudayaan dalam teks sastra sedikit berbeda dengan konstruksi
kebudayaan secara umum, seperti yang sudah dikemukakan di awal. Untuk
penegasan, yang dimaksud dengan konstruksi kebudayaan dalam teks sastra dalam
pembahasan ini sama halnya dengan istilah „hal-hal yang menyusun kebudayaan yang
terdapat dalam karya sastra atau hal-hal yang melatarbelakangi adanya kebudayaan
dalam teks sastra‟. Sebagaimana diketahui bahwa karya sastra merupakan representasi
kehidupan nyata dengan segala kompeksitasnya, salah satunya yaitu kebudayaan.
Untuk mengetahui konstruksi wujud kebudayaan dalam teks sastra, maka pembahasan
dimulai dengan menjelaskan beberapa hubungan karya sastra. Hubungan tersebut
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
31
yaitu berupa hubungan karya sastra dengan pengarang; hubungan karya sastra dengan
masyarakat; dan hubungan karya sastra dengan kebudayaan.
Karya sastra merupakan salah satu produk budaya berupa karya seni dengan
medium bahasa. Karya sastra merupakan hasil olah cipta pengarang sebagai salah satu
anggota masyarakat yang menyerap dan merepresentasikan budaya di kehidupan
nyata ke dalam bentuk imajiner. Dengan kata lain, fakta imajiner dalam sastra
dikonstruksi oleh fakta realitas yang sudah diolah oleh pengarang sebagai subjek
kreator. Fakta realitas berupa kebudayaan yang melingkupi kehidupan pengarangnya
menjadi objek kreatifitas yang ditransmisikan menjadi fakta imajiner sastra. Hal ini
dapat dikatakan bahwa isi karya sastra adalah kebudayaan, yang dimediasi oleh
pengarang sebagai subjek kreator atau penghasil kebudayaan dalam kehidupan nyata.
Ini menandakan bahwa karya sastra memiliki hubungan atau kaitan dengan
pengarang.
Selain memiliki hubungan atau kaitan dengan pengarang, karya sastra juga
memiliki hubungan dengan masyarakat. Ada dua jenis hubungan karya sastra dengan
masyarakat. Ratna (2011: 194) menguraikan bahwa hubungan antara sastra dengan
masyarakat menampilkan dua pengertian, yaitu: (1) karya sastra itu sendiri dengan
masyarakat tertentu yang menghasilkannya, (2) karya sastra dengan aspek-aspek
kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya. Wellek dan Warren (dalam Ratna,
2011: 194) menguraikan bahwa model hubungan pertama menghasilkan analisis
ekstrinsik, sedangkan model hubungan yang, kedua menghasilkan analisis instrinsik.
Dari dua model tersebut, penulis menegaskan bahwa yang lebih difokuskan dalam
pembahasan ini, yaitu model hubungan pertama sebagai analisis ekstrinsik.
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
32
Hubungan karya sastra dengan masyarakat sebagai model pertama lebih lanjut
penulis uraikan berdasarkan pendapat Kurniawan dalam bukunya Teori, Metode, dan
Aplikasi Sosiologi Sastra. Kurniawan (2012: 2-3) menguraikan bahwa dari aspek
kulturnya, sastra sebagai hasil cipta berupa “pikir” dan “rasa” dalam bentuk artefak
tulisan (secara general) merupakan perwujudan budaya. Wujud budaya yang berupa
sistem nilai, sistem pikiran, dan sistem tindakan ada dalam sastra sebagai artefak
budaya. Oleh karena itu, sastra secara kolektif adalah hasil budaya manusia yang
secara umum diwujudkan melalui sistem bahasa, dan bahasa sendiri adalah unsur
kebudayaan. Sastra menjadi disiplin objek kajian budaya karena sastra adalah sistem
budaya sebagai representasi pikiran manusia yang mewakili kolektivitasnya dalam
kehidupan sosial masyarakat. Sastra pun menjadi hidup dan dihidupi oleh sistem
masyarakat yang ada. Sebagai produk budaya, maka sastra merupakan manifestasi
pikiran dan perasaaan manusia yang dievokasi dengan daya fantasi dan imajinasi.
Karena sastra merupakan produk budaya, maka sastra selain menggambarkan ide dan
gagasan penulisnya, sastra juga menggambarkan sistem sosial dan sistem budaya
sebagai tempat penulis itu hidup.
Sastra dan kebudayaan memiliki hubungan. Ratna (2007: 10-12) menguraikan
bahwa hubungan antara sastra dan kebudayaan dipicu oleh lahirnya perhatian terhadap
kebudayaan sebagai studi kultural. Sastra merupakan hasil imajinasi, rekaan dan
kreativitas, termasuk pemakaian bahasa metaforis konotatif. Imajinasi bukanlah narasi
dengan khayalan kosong, imajinasi didasarkan atas kenyataan. Pada gilirannya
kenyataan itulah yang berbeda sebab kenyataan dalam karya sastra bukanlah
kenyataan dalam ruang dan waktu tertentu, seperti sejarah, juga bukan kenyataan yang
dapat dibuktikan secara langsung seperti dalam ilmu kealaman. Dalam hubungan
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
33
inilah disebutkan bahwa kenyataan dalam karya sastra sebagai kenyataan yang
mungkin tejadi. Karya sastra adalah rekaman peristiwa-peristiwa kebudayaan.
Ratna, (2007: 14-15) menguraikan bahawa teks dianggap sebagai representasi
suatu kejadian tertentu. Dalam hubungan inilah dikatakan teks sebagai gejala kedua.
Sebaliknya, sastra selalu mentransformasikannya terlebih dahulu ke dalam teks, dari
bahasa formal ke dalam bahasa sastra, dari kejadian ke dalam plot, dari karakterologi
ke dalam karakterisasi. Oleh karena itu, sastra disebut sebagai „dunia dalam kata‟,
bukan dunia manusia. Sastra bukanlah rangkaian kata dan kalimat, melainkan sudah
berubah menjadi wacana, menjadi teks. Lotman (dalam Ratna, 2007: 14-15)
menguraikan bahwa oleh karena itu pula, karya seni disebut sebagai sistem model
yang kedua, sebagai rekonstruksi, dan harus dipahami secara tak langsung, yaitu
dengan memanfaatkan mediasi.
Karya sastra membangun dunia melalui kata-kata, sebab kata-kata memiliki
energi. Melalui energi itulah terbentuk citra tentang dunia tertentu, sebagai dunia baru.
Melalui kualitas hubungan paradigmatis, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata
menunjuk sesuatu di luar dirinya, sehingga peristiwa baru hadir secara terus-menerus.
Kata-kata itu pun memiliki aspek dokumenter yang dapat menembus ruang dan waktu,
melebihi kemampuan aspek-aspek kebudayaan yang lain. Pengetahuan mengenai
masa lampau dapat diketahui melalu kata-kata. Informasi kekayaan alam, dengan
keanekaragam kebudayaannya, dapat disebarluaskan dari individu ke individu yang
lain, dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain, dan sebagainya (Ratna, 2007: 15).
Hubungan karya sastra dan kebudayaan juga diuraikan kembali oleh Ratna
(2011: 188-189) bahwa secara akademis keseluruhan aspek kebudayaan merupakan
kompetensi studi antropologi, khususnya antropologi kebudayaan. Kebudayaan
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
34
memiliki objek yang sangat luas. Objek yang sangat luas itu dibedakan menjadi tiga
jenis yaitu: artifact, sociofact, dan mentifact. Artifact adalah semua jenis benda
sebagai hasil keterampilan manusia, seperti: bangunan, jalan, senjata dan berbagai
bentuk perlengkapan lain dalam rangka mempermudah kehidupan manusia. Sociofact
adalah bentuk-bentuk hubungan sosial, tingkah laku sepanjang hari, sistem sosial yang
relatif baku seperti sistem kekerabatan, struktur organisasi, dan sebagainya. Mentifact
adalah semua bentuk ide dan pikiran manusia, khususnya bentuk-bentuk kreativitas
seperti karya seni. Dominasi sastra terkandung dalam aktivitas yang terakhir. Dengan
kalimat lain, budaya merupakan bagian, hasil, segala sesuatu yang diperbuat oleh
kebudayaan. Hasil-hasil inilah yang menjadi objek langsung ilmu-ilmu baru seperti
antropologi sastra, antropologi linguistik, kajian budaya dan kajian lain yang berkaitan
dengan kebudayaan.
Kaitan antara sastra dan kebudayaan dapat dilihat melalui ciri yaitu sebagai
karya seni, baik lisan maupun tulisan, karya sastra adalah hasil kreativitas kebudayaan
dengan kualitas imajinatif. Sastra dan kebudayaan berkaitan secara dialektik. Dengan
alat bahasa, baik lisan maupun tulisan, baik bahasa sehari-hari maupun ilmiah, sama
dengan karya tulis yang lain, sastra berfungsi untuk melegimitasikan berbagai aspek
kultural yang dihasilkan melalui interaksi manusia. sebaliknya, kebudayaan sebagai
hasil aktivitas manusia itu sendiri menjadi sarana utama untuk diceritakan. Pada
gilirannya tanpa aktivitas budaya, karya sastra tidak akan ada. Dengan singkat sastra
dan kebudayaan bersifat saling melengkapi, berkaitan secara dialektis (Ratna, 2011:
190-191).
Untuk mempertegas makna konstruksi kebudayaan dalam teks sastra dalam
hal ini, berkaitan dengan ilmu atau pendekatan yang digunakan untuk membedah
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
35
kebudayaan dalam teks sastra. Sebagaimana diketahui, bahwa objek kajian
kebudayaan dalam teks sastra dapat dianalisis melalui beberapa pendekatan di
antaranya yaitu pendekatan antropologi sastra dan kajian budaya. Kata „konstruksi‟
yang dimaksud dalam hal ini lebih condong dalam penggunaannya ke dalam hakikat
analisis menggunakan pendekatan antropologi sastra secara ekstrinsik. Lebih lanjut
dapat dijabarkan melalui penjelasan menurut Ratna pada paragraf berikut.
Ratna (2011: 270) menguraikan bahwa hubungan paling dekat antara
antropologi sastra dengan kajian budaya jelas penggunaan aspek-aspek kebudayaan
itu sendiri. Perbedaannya, dalam antropologi sastra kebudayaan menduduki posisi
sekunder, sedangkan dalam kajian budaya kebudayaan merupakan objek primer.
Perbedaan yang lain, antropologi sastra cenderung memperhatikan budaya masa
lampau, sedangkan kajian budaya pada budaya masa kini. Sebagai karya ilmiah dalam
analisis, baik antropologi sastra maupun kajian budaya menggunakan teori yang sama,
teori-teori postrukturalisme. Perbedaannya sesuai dengan hakikat objeknya
antropologi sastra dibantu dengan memanfaatkan teori-teori lama, seperti mitos,
struktur fungsi, dan strukturalisme pada umumnya,
Dari beberapa hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa karya sastra
merupakan hasil olah cipta pengarang yang berisi perwujudan budaya. Sastra
menggambarkan sistem budaya tempat pengarang itu hidup. Karya sastra merupakan
„dunia dalam kata‟, bukan berarti sastra hanyalah imajinasi yang bersifat
kosong/khayalan akan tetapi dikonstruksi oleh dunia yang sebenarnya ada (dunia
diluar teks). Sastra merupakan teks yang merekam peristiwa-peristiwa kebudayaan
melaui bahasa konotatif. Teks (karya sastra) dianggap sebagai representasi suatu
kejadian. Sastra mentransformasikan peristiwa budaya dalam kehidapan nyata ke
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
36
dalam teks. Hal itu dapat dikatakan bahwa kebudayaan yang terdapat di dalam karya
sastra dikonstruksi atau disusun oleh kebudayaan nyata yang berada diluar teks. Jadi
kesimpulan dari konstruksi kebudayaan dalam teks sastra adalah susunan, hubungan
atau konsep berupa abstraksi suatu peristiwa terhadap objek kebudayaan yang
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik berwujud ide (mentifact), aktivitas
(sociofact), dan hasil karya (aritfact), kemudian ditransmisikan ke dalam teks sastra
sehingga membentuk kebudayaan dalam teks sastra. Kebudayaan di luar teks
memberikan jiwa dan watak bagi kebudayaan di dalam teks sastra.
c. Jenis-jenis Konstruksi Kebudayaan
Sedikit mengulas kembali, bahwa yang dimaksud konstruksi adalah konsep-
konsep yang mencakup, mengandung atau menangkap suatu peristiwa gambaran
mental terhadap objek yang kemudian jika konsep tersebut sudah diaplikasikan dan
membentuk jaringan maka disebut dengan konsep. Untuk penegasan, maka yang
dimaksud dalam pembahasan ini, yaitu jenis-jenis konstruksi kebudayaan yang
ditemukan dalam karya sastra. Sebagaimana diketahui, bahwa kebudayaan teks sastra
dikonstruksi atau dilatar belakangi oleh kebudayaan di kehidupan nyata (di luar teks).
Oleh sebab itu, yang dimaksud dengan jenis-jenis konstruksi kebudayaan dalam
pembahasan ini yaitu kebudayaan sesungguhnya di kehidupan nyata. Disesuaikan
dengan penulisan ilmiah ini, maka yang dimaksud dengan kebudayaan sesungguhnya
tersebut berupa kebudayaan Jawa dalam kehidupan nyata (di luar teks).
Berikut empat jenis konstruksi kebudayaan, tepatnya kebudayaan Jawa dalam
kehidupan nyata yang menjadi konstruksi kebudayaan dalam teks sastra, yaitu:
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
37
1) Konstruksi Religi Orang Jawa
Konstruksi Religi orang Jawa merupakan salah satu jenis konstruksi berbentuk
kebudayaan dikehidupan nyata (diluar teks) yang melatarbelakangi kebudayaan Jawa
di dalam teks sastra. Religi Orang Jawa (dikehidupan nyata) tidak lepas dari agama
dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa seperti
masyarakat di daerah lainnya, menganut berbagai macam agama, seperti Islam, Hindu,
Budha, Konghucu, dan Kristen. Salah satu agama yang dianut oleh masyarakat Jawa
yaitu agam Islam. Selain menganut agama, masyarakat Jawa juga memiliki berbagai
macam keyakinan yang mengarah kepada animisme dan dinamisme serta terpengaruh
ajaran Hindu-Budha. Agama Islam yang dianut oleh masyarakat Jawa yang
terpengaruh keyakinan tersebut menimbulkan adanya keyakinan Agami Jawi.
Konstruksi religi orang Jawa terdiri dari: a) Konstruksi Agami Jawi, b) Konstruksi
Agami Santri dan c) Ilmu gaib, Ilmu sihir, dan ilmu petangan.
a) Konstruksi Agami Jawi
Konstruksi Agami Jawi merupakan salah satu jenis konstruksi yang
melatarbelakangi kebudayaan Jawa dalam teks sastra. Konstrukis Agami Jawi terdiri
dari keyakinan (ajarannya) maupun upacara yang biasa dilakukan. Keyakinan Agami
Jawi atau biasa disebut dengan Kejawen merupakan keyakinan yang dimiliki
masyarakat Jawa dengan dasar utamanya yaitu agama Islam, namun terpengaruh
dengan keyakinan animisme, dinamisme atau ajaran agama Hindu-Budha. Hal ini
selaras dengan pendapat Suyono (2007: 2) bahwa kepercayaan atau ritual yang
dilakukan oleh orang Jawa disebut sebagai “kejawen”. Ajaran kejawen merupakan
keyakinan dan ritual campuran dari agama-agama formal dengan pemujaan terhadap
kekuatan alam. Sedangkan animisme menurut Suyono (2007: 75) merupakan
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
38
kepercayaan bahwa semua yang berada di alam mempunyai jiwa. Jiwa atau roh bebas
dan tidak terikat kepada sesuatu, dan dapat menggerakkan semua benda di alam.
Konstruksi Agami Jawi berupa upacara merupakan salah satu konstruksi yang
melatarbelakangi kebudayaan dalam teks sastra. Upacara Agami Jawi, sebenarnya
sama halnya dengan upacara keagamaan pada umumnya. Hanya saja, upacara Agami
Jawi merupakan upcara yang biasa dilakukan oleh golongan Islam (Kejawen) dalam
masyarakat Jawa. Upacara Agami Jawi dilakukan berdasarakan ajaran agama Islam
yang masih kental dengan animisme dinamismenya maupun ajaran Hindu Budha.
Upacara keagamaan mengandung unsur-unsur sebagai berikut, yaitu : bersaji,
berkorban, berdoa, makan bersama yang telah disucikan dengan doa (selamatan),
menari tarian suci, menyanyi nyanyian suci, berprosesi atau berpiawai, memainkan
seni drama suci, berpuasa, intoxikasi atau mengaburkan pikiran dengan obat bius,
benda-benda dan alat upacara, bersemedi. Diantara unsur-unsur upacara keagamaan
tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam satu agama, tetapi tidak dikenal
dalam agama lain, dan demikian juga sebaliknya (Koentjaraningrat, 2009: 296).
Berkaitan dengan upacara keagamaaan, maka masyarakat Jawa mengenal
beberapa macam selamatan. Sumardi (1992a: 96-97) menguraikan bahwa dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa mengenal beberapa jenis upacara selamatan
yang sesuai dengan peristiwa atau kejadian alam dalam kehiduan manusia sehari-hari,
yakni (1) selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang; (2) selamatan yang
bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian,dan setelah panen padi; (3)
selamatan berhubung dengan hari-hari dan bulan-bulan besar Islam; dan (4) selamatan
pada saat-saat tertentu, atau yang berkenaan dengan kejadian-kejadian; seperti
mengadakan perjalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
39
(ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit (kaul), dan lain-lain. Selamatan dalam
lingkaran hidup meliputi peristiwa hamil tujuh bulan, kelahiran (mitoni), upacara
potong rambut pertama (kekah), upacara menyentuh tanah untuk pertama kali (tedhak
siten), upacara menusuk telinga, upacara sunat, perkawinan, dan kematian serta saat-
saat sesudah kematian.
Golongan Islam Jawa yang masuk ke dalam Agami Jawi biasa disebut dengan
golongan islam abangan. Geertz (dalam Purwadi, 2005: 60) menguraikan bahwa
masyarakat Jawa memiliki pelapisan sosial berdasarkan kepercayaan yang dianut.
(Islam), yaitu: golongan santri, yaitu mereka yang beragama Islam yang benar-benar
mengikuti ajaran Islam. Golongan abangan pada umumnya masih melakukan
upacara-upacara seperti slametan yang dilengkapi sajian, misalnya selamatan
kematian, kelahiran dan lain sebagainya
b) Konstruksi Agami Santri
Konstruksi Agami Santri merupakan salah satu konstruksi yang masuk ke
dalam bagian religi orang Jawa dan melatarbelakangi kebudayaan dalam teks sastra.
Konstruksi Agami Santri meliputi keyakinan (ajaran Agami Santri) dan upacara yang
dilakukan dalam agama santri. Sebagaimana diketahui bahwa santri merupakan salah
satu golongan agama Islam di Jawa dalam kehidupan nyata, sebagai golongan yang
lebih condong untuk melaksanakan ajaran agama sesuai syariat-syariat yang benar.
Baik konstruksi Agami Jawi dan Agami Santri sebagai kebudayaan dikehidupan nyata
yang melatarbelakangi kebudayaan dalam teks sastra, dikemukakan oleh Geertsz.
Geertsz (dalam Koentjaraningrat, 1994:312) menguraikan bahwa suatu
deskripsi mengenai agama, orang Jawa harus membedakan antara dua buah
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
40
manifestasi dari agama Islam Jawa yang cukup banyak berbeda, yaitu Agami Jawi dan
Agama Islam Santri. Sebutan yang pertama berarti “Agama orang Jawa”, sedangkan
yang kedua berarti “Agama Islam yang dianut orang santri.” Bentuk agama Islam
orang Jawa yang disebut Agami Jawi atau Kejawen itu adalah suatu kompleks
keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang
tercampur menjadi satu dan diaku sebagai agama Islam. Varian Agami Islam Santri,
yang walaupun juga tidak sama sekali bebas dari unsur-unsur animisme dan unsur-
unsur Hindu-Budha, lebih dekat pada dogma-dogma ajaran Islam yang sebenarnya.
Geertz (dalam Purwadi, 2005: 60) menguraikan bahwa masyarkat Jawa memiliki
pelapisan sosial berdasarkan kepercayaan yang dianut. (Islam), yaitu: golongan santri
dan abangan. Di antara mereka yang masuk golongan santri ini, menganggap penting
adanya upacara terutama sembahyang,
c) Konstruksi Ilmu Gaib, Ilmu Sihir dan Ilmu Petangan
Konstruksi Ilmu gaib, ilmu sihir dan ilmu petangan merupakan salah satu
konstruksi yang melatarbelakangi kebudayaan dalam teks sastra. Ilmu gaib, ilmu sihir
dan ilmu petangan merupakan salah satu ilmu yang dipercayai oleh masyarakat Jawa
dalam hal religi mereka. Ilmu gaib merupakan ilmu yang berkenaan dengan hal-hal
gaib, misalnya mempercayai akan kekuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut bisa saja
ditimbulkan oleh makhluk gaib baik dan makhluk gaib jahat. Dalam hal ilmu gaib,
kekuatan gaib tersebut lebih diperuntukkan untuk hal-hal baik dengan bantuan
makhluk gaib baik.
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
41
Sementara itu, ilmu sihir merupakan salah satu ilmu gaib yang dipergunakan
masyarakat Jawa untuk melakukan hal-hal yang kurang baik atau mencelakakan orang
lain, contohnya tenung, santet dan lainnya. Ilmu sihir biasanya digunakan oleh
masyarakat Jawa untuk memenuhi kehendak dirinya dengan jalan pintas atau
disebabkan karena dendam. Ilmu yang berkaitan dengan hal gaib dalam masyarakat
Jawa lainnya yaitu ilmu petangan. Ilmu petangan merupakan ilmu untuk menghitung
hari atau waktu-waktu yang baik dalam kehidupan masyarakat Jawa. Ilmu gaib, ilmu
sihir dan ilmu petangan merupakan satu pembahasan dalam hal ilmu gaib yang
diyakini dan dilakukan oleh masyarakat Jawa sesungguhnya.
Koentjaraningrat (1994: 410-413) menguraikan bahwa seperti pada banyak
kebudayaan di dunia, ilmu gaib (ngelmi) dan tenung orang Jawa merupakan subsistem
religi karena mengenai manusia yang berhubungan dengan kekuatan-kekuatan
supranatural, dan karena itu dianggap keramat. Banyak tindakan ilmu gaib Jawa juga
ditentukan oleh keyakinan tentang adanya suatu kekuatan sakti (kasekten) yang bisa
ditemukan dalam bagian-bagian tertentu dari tubuh, dalam tubuh binatang dan
tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat atau yang aneh rupa atau bentuknya, dalam
barang-barang keramat serta pusaka, dalam jimat dan dalam benda-benda lain yang
tidak lumrah.
Serupa dengan banyak masyarakat tradisional lain dalam negara-negara
berkembang di dunia, dalam masyarakat Jawa illmu gaib destruktif dan ilmu sihir
masih sering dilakukan. Para pelakunya adalah dukun yang secara khusus
mempelajari cara-cara untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Dalam masyarakat
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
42
Jawa lebih dikenal dengan ilmu tenung-menenung, sebagai satu rumpun ilmu yang
berdekatan dengan ilmu sihir dan termasuk ke dalam kategori ilmu gaib destruktif.
Ilmu tenung menenung biasanya dilakukan dengan cara membinasakan suatu benda
(biasanya boneka) yang melambangkan korban. Cara lain yaitu dengan membuat
jimat yang sudah “diisi” dengan kutukan. Jimat itu kemudian disembunyikan di suatu
tempat dekat dengan tempat tinggalnya. Ilmu tenung juga sering digunakan oleh orang
Jawa untuk mencuri dengan cara membuat korbannya tertidur lelab (dipunsirep), yang
biasanya dilakukan dengan memakai jimat sebagai alat, atau kadang-kadang pasir
yang telah dikutuk dengan mantera, yang ditaburkan di atas atap rumah korban
(Koentjaraningrat, 1994: 419-420)
Ilmu meramal dan ilmu petangan. Dalam ilmu gaib Jawa ada dukun yang
memiliki kepandaian khusus, yaitu sebagai peramal (dukun petangan). Beberapa
teknik ilmu meramal yaitu dilakukan dengan cara menghitung hubungan antara
bintang-bintang, meramal berdasar letak tulang belulang yang disebarkan berserakan,
meramal dengan menghitung jatuhnya usus ayam yang diterbangkan secara
berserakan, maupun meramal dengan mengamati arah terbang dan suara burung.
Buku-buku pegangan mengenai ilmu gaib dan ilmu meramal, yaitu dalam buku-buku
primbon, ilmu meramal Jawa rupa-rupanya menggunakan semua teknik yang sudah
disebutkan. Suatu seni yang seringkali digunakan dalam ilmu gaib dan ilmu meramal
adalah ilmu petangan. Petangan adalah cara menghitung saat-saat serta tanggal-
tanggal yang baik, dengan memperhatikan kelima hari pasar, tanggal-tanggal penting
yang ditentukan pada sistem-sistem penanggalan yang ada, yang memang
dimanfaatkan orang Jawa untuk berbagai tujuan (Koentjaraningrat, 1994: 421).
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
43
2) Konstruksi Kebudayaan Petani Jawa
Konstruksi kebudayaan petani Jawa merupakan salah satu konstruksi yang
melatarbelakangi kebudayaan dalam teks sastra. Sebagaimana diketahui sebagian
besar masyarakata Jawa (diluar teks) bermata pencaharian sebagai petani. Hal itu
disebabkan pulau Jawa merupakan daerah agararis. Hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan petani Jawa menjadi unsur utama dalam kebudayaannya. Koentjaraningrat
(1994: 98) menguraikan bahwa sebagian besar yaitu 82,54%, dari penduduk Jawa
dalam tahun 1970 masih tergolong dalam sektor ekonomi primer, maka bagi
kehidupan para para petani dalam komuniti-komuniti pedesaan, hal-hal yang
bersangkutan dengan pertanian untuk penggunaan sendiri, merupakan unsur utama
dalam kebudayaan Jawa. Konstruksi kebudayaan petani Jawa, beberapa di antaranya
yaitu: a) Pernikahan, rumah tangga dan keluarga inti, b) Para petani Jawa, c) Pasar
Desa, d) Sosialisasi dan Enkulturasi Keluarga Inti Petani Jawa.
a) Konstruksi Pernikahan, Rumah Tangga dan Keluarga Inti
Konstruksi pernikahan, rumah tangga dan keluarga inti merupakan salah satu
konstruksi yang melatarbelakangi wujud kebudayaan dalam teks sastra. Konstruksi ini
termasuk ke dalam jenis konstruksi petani Jawa. Konstruski pernikahan, rumah tangga
dan keluarga inti membicarakan hal-hal yan berkaitan dengan kebiasaan, tradisi yan
dilakukan dalam pernihakah, rumah tangga dan keluarga inti masyarakat Jawa.
Sebagaimana diketahui dalam masyarkat Jawa mengenal beberapa tahapan upacara
pernikahan, yang salah satunya dalam masyarakat Jawa mengenal adanya upacara
tunangan, maupun midodareni.
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
44
Sementara itu yang dimaksud konstruksi rumah tangga adalah hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan rumah tangga masyarakat Jawa, baik dalam hal
berhubungan atau berkomunikasi dengan keluarga maupun tentang sebuah rumah
yang digunakan sebagai tempat berlindung. Koentjaraningrat (1994: 136)
menguraikan bahwa dalam keluarga Jawa tidak ada aturan khusus mengenai tempat di
mana sepasang pengantin baru harus diam. Orang Jawa sebenarnya juga menganggap
bahwa keadaan yang ideal adalah untuk mempunyai suatu rumah tangga sendiri yang
neolokal (somah), sedangkan keluarga inti, merupakan keluarga yang terdiri dari ayah,
bapak, ibu, kakak dan adik.
b) Konstruksi Para Petani Jawa
Konstruksi para petani Jawa merupakan salah satu konstruksi yang
melatarbelakangi wujud kebudayaan Jawa dalam teks cerpen. Konstruksi ini masuk ke
dalam subbab konstruksi kebudayaan petani Jawa. Sebagaimana diketahui, bahwa
masyarakat Jawa sebagain besar bermata pencaharian sebagai petani. Maksud dari
petani, tidak hanya berupa petani padi di sawah seperti pemahaman pada umumnya,
akan tetapi bisa pula petani yang biasa mengolah tanah tegalan maupun tanah
pekarangan. Aktivitas petani tanah tegalan menghasilkan beberapa hasil tanaman
berupa palawija (jagung dan gandum). Sementara itu, aktivitas mengolah tanah
pekarangan baik yang disekitar rumah maupun pekarangan luas dinamakan berkebun.
Para petani Jawa biasanya mengolah dan menanami tanah pekarangan dengan pohon
buah-buahan, tumbuhan bumbu dapur, pohon kelapa, dan sebagainya.
Jadi konstruksi para petani Jawa sebenarnya merupakan kebudayaan yang
biasa dilakukan oleh para petani Jawa dalam kehidupan nyata. Kebudayaan petani
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
45
Jawa tersebut dapat berupa sistem pemilikan tanah, baik cara pemakaian tanah,
tenaga kerja dalam usaha tani padi di sawah, menyimpan dan menumbuk padi,
palawija maupun peternakan (Koentjaraningrat, 1994: 168-186).
c) Konstruksi Pasar Desa
Konstruksi pasar desa merupakan salah satu konstruksi yang melatarbelakangi
wujud kebudayaan dalam teks cerpen. Konstruksi tersebut masuk ke dalam subbab
kebudayaan petani Jawa. Sebagaimana diketahui, bahwa selain bermata pencaharian
sebagai petani, ada beberapa masyarakat Jawa yang memiliki mata pencaharian
sebagai pedagang. Aktivitas berdagang tersebut dilaksanakan di pasar desa. Para
petani Jawa biasanya menjual hasil panennya maupun hasil kebunnya kepada para
pedagang. Di pasar desa, ada berbagai macam pedagang , baik pedagang besar,
pedagang kecil, maupun tengkulak.
Suatu pasar desa di Jawa atau peken (krami) letaknya biasanya ditepi jalan
besar kira-kira tiga sampai lima kilometer saja. Semua pasar desa di Jawa biasa buka
seminggu sekali pada hari-hari tertentu. Untuk dapat berdagang di pasar, para
pedagang harus membayar pajak untuk memperoleh izinnya. Menurut Dewey (dalam
Koentjaraningrat, 1994: 188) di pasar-pasar di Jawa ada beberapa jenis pedagang,
yaitu: (1) Petani atau tenggkulak pertama yang membawa hasil bumi atau kerajinan
sebanyak yang dapat mereka angkut ke pasar; (2) Para tengkulak bakul yang membeli
hasil bumi maupun industri rumah dari para petani atau tengkulak pertama tersebut,
kemudian mereka jual secara eceran atau borongan kepada tengkulak dua, (3)
Tengkulak dua yang membeli dagangan secara borongan dari para bakul, (4) Para
makelar yang berkeliaran di daerah-daerah pedesaan untuk membeli dan menghimpun
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
46
hasil pertanian yang kadang-kadang mereka simpan sementara (5) Pemilik pedati dan
opelet, yang menyewakan kendaraan mereka, (6) Para penjaja berkeliling yang
membeli barang dagangan dari bakul dan menjajakannya ke rumah-rumah penduduk,
(7) Para pemilik toko keturunan Tionghoa yang membeli barang dagangan dari para
tengkulak, bakul, makelar untuk dijual di kota yang jauh letaknya, (8) Para pemilik
warung makan, (9) Para tukang yang terdiri dari tukang cukur, tukang jahit, tukang
sepatu dan sebagainya.
d) Konstruksi Sosialisasi dan Enkulturasi Keluarga Inti
Konstruksi sosialisasi dan enkulturasi keluarga inti petani merupakan salah
satu konstruksi yang melatarbelakangi kebudayaan Jawa dalam teks cerpen.
Sebagaimana diketahui bahwa kebudayaan merupakan suatu proses. Untuk menjadi
manusia yang berbudaya masyarakat Jawa memiliki proses sosialisasi dan enkulturasi.
Proses ini biasanya diterapkan oleh mereka (orang tua) kepada anak cucunya dalam
keluarga inti. Proses mengenalkan kebudayaan yang dilakkan oleh orang tua bisa
dikatakan sebagai proses sosialisasi. Sementara itu, proses seorang anak untuk
menyesuaikan kebudayaan yang diajarkan oleh para orang tuannya disebut sebagai
proses enkulturasi. Dari proses enkulturasi itulah, diharapkan kebudayaan tersebut
menginternal dalam diri ini, karena hal itu dilakukan dari semenjak mereka kecil
hingga dewasa nantinya bahkan hingga mereka meninggal.
Poerwanto (2000: 88-89) menguraikan bahwa proses belajar kebudayaan yang
berlangsung sejak dilahirkan sampai mati, yaitu dalam kaitannya dengan
pengembangan perasaan, hasrat, emosi dalam rangka pembentukkan kepribadiannya,;
sering dikenal sebagai proses internalisasi. Karena makhluk manusia adalah bagian
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
47
dari suatu sistem sosial, maka setiap individu harus selalu belajar mengenai pola-pola
tindakan, agar ia dapat mengembangkan hubungannya dengan individu-individu lain
di sekitarnya. Proses belajar inil lebih dikenal dengan sosialisasi. Selanjutnya, proses
belajar kebudayaan lainnya dikenal dengan istilah enkulturasi atau „pembudayaan‟
yaitu seorang harus mempelajari dan menyesuaikan sikap dan alam berpikirnya
dengna sistem norma yang hidup dalam kebudayaannya.
3) Konstruksi Ajaran Hindu-Budha
Konstruksi ajaran Hindu-Budha merupakan salah satu konstruksi yang
melatarbelakangi wujud kebudayaan Jawa dalam teks cerpen. Purwadi (2005: 8-9)
menguraikan bahwa adapun bangsa Hindu yang datang pertama ke tanah Jawa adalah
bangsa yang beragama Siwa. Bangsa yang menganggap Trimurti sebagai Tuhannya,
yakni Batara Brahma, Wisnu, Siwa. Di antara ketiga orang dewa itu yang dianggap
penghulu ialah Sang Hyang Siwa. Bangsa Hindu yang datang selanjutnya ialah bangsa
yang beragama Budha Mahayana. Kitab-kitab yang dibawa orang Hindu yang
beragama Budha tentunya juga ktiab-kitab yang memuat hal ikhwal kebudhaan seperti
kitab yang isinya diwujudkan dengan gambar yang berbidang-bidang pada candi
Borobudur. Kitab-kitab pembawaan orang Hindu yang beragama Siwa seperti
MAHABARATA dan RAMAYANA. Kitab Ramayana termasuk kitab suci suku yang
beragama Wisnu, sedang Mahabharata kita suci suku yang beragama Siwa.
Purwadi (2005: 12) menguraikan bawa kebudayaan asli Jawa yang bersifat
transedental lebih cenderung pada paham animisme dan dinamisme. Perubahan besar
pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama Hindu-Budha yang berasal
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
48
dari India. Kebudayaan India secara riil mempengaruhi dan mewarnai kebudayaan
Jawa, meliputi sistem kepercayaan, kesenian, kesusasteraan, astronomi, mitologi, dan
pengetahuan umum
4) Konstruksi Bahasa Jawa
Konstruksi bahasa Jawa merupakan salah satu konstruksi yang
melatarbelakangi wujud kebudayaan Jawa dalam teks cerpen. Bahasa Jawa merupakan
bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat Jawa. Sebagaimana
diketahui, bahasa Jawa memiliki beberapa varian berdasarkan dialeknya, diantara
yaitu: bahasa Jawa dialek Jogja, Solo sebagai pusat kebudayaan, dialek bahasa Jawa
Ngapak (Eks wilayah Banyumas), dialek bahasa Jawa pesisir pantai utara sebelah
barat meliputi (Tegal, Brebes, dan Cirebon), dialek bahasa Jawa pesisir pantai utara
sebelah timur (Semarang-Surabaya), maupun dialek bahasa Jawa Timur.
Selain memiliki beberapa varian dialek, bahasa Jawa juga memiliki tingkatan
penggunaan bahasa Jawa. Tingkatan yang biasa dikenal oleh masyarakat Jawa pada
umumnya yaitu tingkatan bahasa Jawa ngoko, Krama, dan Krama Inggil. Tiga
tingkatan tersebut juga dibagi lagi dalam beberapa subbab lagi. Dalam hal ini tidak
akan dibahas lebih lanjut. Mengenai bahasa Jawa yang ada dalam kehidupan nyata
dapat diperjelas dengan pendapat Koentjaraningrat.
Koentjaraningrat (1994: 21-22) menguraikan bahwa kecuali tiga gaya yang
paling dasar, yaitu gaya tidak resmi, gaya setengah resmi, dan gaya resmi (yaitu
Ngoko, Madya dan Krami). Selain itu juga ada penggunaan bahasa Jawa Krama
Inggil yang dipakai untuk berbicara kepada orang kedua yang sederajat atau orang
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
49
ketiga yang lebih tinggi. Seperti dalam semua bahasa lain, tentu ada juga (tembung
kasar) yang dipakai apabila orang sedang marah atau menghina orang lain.
5. Antropologi Sastra
Endraswara (2013: 1-2) menguraikan bahwa konsep atnropologi sastra dapat
dirunut dari kata antropologi dan sastra. Yang menjadi bahan penelitian antropologi
sastra adalah sikap dan perilaku manusia lewat fakta-fakta sastra dan budaya. Sastra
dan antropologi selalu dekat. Keduanya bersimbiosis dalam mempelajari manusia
lewat ekspresi budaya. Sastra banyak menyajikan fakta-fakta imajinatif. Antropologi
bergerak dalam fakta imajinatif disebut antropolog sastra. Antropologi sastra
tampaknya merupakan pengembangan antropology experience yang digagas oleh
Turner dan Benson.
Secara definitif, antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan
relevansi manusia (anthropos). Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua
macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka Antropologi sastra
dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang
dihasilkan oleh manusia (Ratna, 2013b: 351). Antropologi sastra berfungsi untuk
meperkenalkan kekayaan khazanah kultural bangsa sehingga masing-masing
kebudayaan menjadi milik bagi yang lain.
Antropologi sastra mempermasalahkan karya sastra dalam hubungannya
dengan manusia sebagai penghasil kebudayaan. Manusia yang dimaksudkan adalah
manusia dalam karya, khususnya sebagai tokoh-tokoh. Dalam hubungannya inilah
karya sastra merupakan studi multikultural sebab melalui karya sastra dapat dipahami
keberagaman manusia dengan kebudayaannya. Dengan membaca karya sastra dapat
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015
50
dipahami kebudayan Sunda, Jawa, Bali, Lombok, dan sebagainya (Ratna, 2013b: 356-
357).
Paling tidak ada dua kedekatan sastra dan antropologi, yaitu (1) sastra dan
antropologi memiliki kedekatan objek penelitian yang mengarah ke fenomena realitas
hidup manusia; (2) sastra dan antropologi memiliki kedekatan metodologis, artinya
keduanya banyak memanfaatkan tafsir-tafsir fenomena simbolis; (3) sastra dan
antropologi cenderung memeliharan konsep kekerabatan (trah) sebagai simbol konteks
kehidupan (Endraswara, 2013: 9).
Antropologi sastra memiliki tugas yang sangat penting untuk mengungkapkan
aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan tertentu masyarakat tertentu. Karya
sastra dalam bentuk apapun, temasuk karya-karya yang dikategorikan sebagai bersifat
relais tidak pernah secara eksplisit mengemukakan muatan-muatan yang ditampilkan,
ciri-ciri antropologis yang terkandung di dalamnya. Semata-mata kemampuan
penelitilah yang dapat menunjukkan suatu karya sastra sebagai mengandung dan
dengan demikian didominasi oleh aspek tertentu, yang secara keseluruhan disebut
sebagai tema, pesan, pandangan dunia menurut pemahaman lain (Ratna, 2011: 41).
Maka dapat disimpulkan bahwa antropologi sastra merupakan ilmu yang mempelajari
sastra dengan relevansinya sebagai manusia. Manusia dalam karya sebagai penghasil
kebudayaan. Antropologi sastra memiliki tugas yang sangat penting untuk
mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan tertentu masyarakat
tertentu.
Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015