Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
22
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Uraian Cyber Bullying
1. Pengertian Cyber
Istilah cyber bullying pada dasarnya berasal dari dua kata yang terdiri
dari cyber dan bullying. Cyber itu sendiri merupakan singkatan dari
cyberspace yang berasal dari kata cybernetics dan space serta sebuah
representasi grafis dari data yang diabstraksikan dari wadah penyimpanan
di setiap komputer dalam sistem manusia, oleh karena itu cyber menurut
hemat penulis diartikan sebagai media teknologi yang digunakan untuk
berinteraksi dalam dunia maya tanpa harus bertatap muka secara langsung.
2. Pengertian Bullying
Menurut Sullivan dalam bukunya yang berjudul “the Anti Bullying
Handbook on 2000th
”, bullying diartikan sebagai tindakan penyerangan
yang dilakukan secara sadar dan sengaja dan atau dimanipulasi oleh satu
atau lebih banyak orang terhadap orang lain atau banyak orang
13. Bullying dapat bertahan untuk waktu yang singkat atau bahkan selama
bertahun-tahun, dan ini merupakan sebuah penyalahgunaan kekuasaan
oleh mereka yang melakukannya, terkadang dilakukan terutama terhadap
satu korban, dan terkadang terjadi secara berturut atau acak
13 Sullivan, Keith, The Anti-Bullying Handbook, Oxford University Press,
London,2000, hlm 45
23
Ken Right mendefinisikan bullying sebagai berikut 14
:
Bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiiti. Hasrat ini
diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi
ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang
lebih kuat, tidak bertanggungjawab, biasanya berulang, dan dilakukan
dengan perasaan senang.
Menurut Black dan Jackson mendefinisikan bullying sebagai berikut
15:
Merupakan perilaku agresif tipe proaktif yang di dalamnya terdapat
aspek kesengajaan untuk mendominasi, menyakiti, atau
menyingkirkan, adanya ketidakseimbangan kekuasaan baik secara
fisik, usia, kemampuan kognitif, keterampilan, maupun status sosial,
serta dilakukan secara berulang-ulang oleh satu atau beberapa anak
terhadap anak lain .
Dengan kata lain, bully berarti perbuatan yang menggunakan kekuatan
atau pengaruh untuk menyakiti atau mengintimidasi seseorang yang lebih
lemah. Bullying mencakup sejumlah perlakuan kasar-kejam yang
ditujukan pada seseorang atau kelompok tertentu secara berulang-ulang
untuk menyakiti perasaan atau fisiknya.
Bulliyng atau yang sering dikenal dengan istilah perudungan
merupakan tindakan negatif yang dilakukan oleh orang lain secara terus
menerus atau berulang. Tindakan perundungan ini terkadang dapat
menyebabkan korban tidak berdaya, terluka secara fisik maupun mental.
Kecenderungan perilaku bullying adalah tendensi seseorang dalam
melakukan tindakan menyakiti orang lain dengan berulang-ulang secara
14 Ponny Retno Astuti, MEREDAM BULLYING: 3 Cara Efektif Mengatasi
K.P.A.(Kekerasan Pada Anak), PT. Grasindo, Jakarta, 2008, hlm. 3
15
Krahe, Dampak Globalisasi Dalam Dunia Internet, Alfabeta, Jakarta, 2005, hlm.
18
24
sengaja untuk melukai, merasa tidak nyaman dan takut, secara fisik,
verbal, dan mental dengan tujuan untuk menunjukkan kekuasaan sehingga
membuat orang lain merasa lemah. Para pelaku bullying biasanya laki-laki
populer, dan memiliki kemampuan sosial yang bagus.
Bullying yang dilakukan oleh sebuah kelompok, biasa disebut
mobbing. Bullying bisa terjadi dimana saja, di sekolah, di tempat kerja, di
dunia Cyber (internet), dalam pergaulan antar tetangga, bahkan dalam
keluarga. Pelaku bullying seringkali menyakiti targetnya dengan
mengucapkan atau melakukan hal-hal buruk yang berkaitan dengan berat
badan atau fisik tubuh lainnya, keluarga, jenis kelamin, agama, suku atau
kebudayaan.
Professor Dan Olweus pada tahun 1993 telah mendefenisikan bullying
yang mengandung tiga unsur mendasar perilaku bullying, yaitu:
a) Bersifat menyerang (agresif) dan negatif.
b) Dilakukan secara berulang kali.
c) Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat.16
Sedangkan jenis-jenis perilaku bullying menurut Astuti antara lain:
a) Kekerasan fisik (mendorong, menendang, memukul, menampar).
b) Secara verbal (misalnya panggilan yang bersifat mengejek atau
celaan).
16 Olweus, D. Bullying at school: What We Know and What We Can Do. Oxford,
Blackwell. 1993, hal. 9.
25
c) Secara non-verbal (misalnya memanipulasi pertemanan, menatap
dengan muka mengancam, mengasingkan, dan menakut-nakuti)17
Pengalaman bullying, bagi sebagian orang selama berbulan-bulan
hingga sekian tahun bisa jadi tidak disadarinya. Sementara bagi orang lain,
sekali aksi negatif dapat menjadi pengalaman bullying. Dalam jangka
panjang korban bullying dapt menderita karena masalah emosional dan
perilaku. Bullying dapat menimbulkan perasaan tidak aman, terisolasi,
perasaan harga diri yang rendah, depresi atau menderita stress yang dapat
berakhir dengan bunuh diri
3. Pengertian Cyber Bullying
Cyber Bullying atau Bullying elektronik merupakan perilaku Bullying
yang dilakukan melalui sarana elektronik seperti computer, hanphone,
internet, website, chatting room, email, SMS dan sebagainya. Biasanya
ditunjukan untuk meneror korban dengan menggunakan tulisan, animasi,
gambar dan rekaman video atau film yang sifatnya mengintimidasi,
menyakiti atau menyudutkan
Pada dasarnya Bullying dikategorikan ke dalam kontak fisik antara
pelaku dan korban seperti memukul dan mendorong ataupun kontak psikis
yakni mengejek, mengancam, dan berkata kasar secara langsung. Namun
karena bullying mengalami perkembangan akibat kemajuan teknologi
17 Ponny Retno Astuti, Meredam Bullying: 3 Cara Efektif Mengatasi K.P.A. Jakarta,
TP. Grasindo, 2008, hal 3
26
informasi dan komunikasi dengan menggunakan sarana internet maka
muncullah istilah yang dinamakan cyber bullying.
Perilaku bullying itu sendiri dapat mencakup pelecehan verbal,
kekerasan fisik atau pemaksaan, dan dapat diarahkan berulangkali
terhadap korban tertentu, mungkin atas dasar ras, agama, gender,
seksualitas, atau kemampuan. Bullying dapat terjadi dimana saja, di
lingkungan dimana terjadi interaksi sosial antar manusia seperti:
a. Sekolah, yang disebut school bullying
b. Tempat kerja, yang disebut workplace bullying
c. Internet atau teknologi digital yang disebut cyber bullying
d. Lingkungan politik, yang disebut political bullying
e. Lingkungan militer, yang disebut military bullying
f. Dalam perpeloncoan yang disebut hazing18
Cyber bullying adalah kejahatan yang merupakan bentuk perluasan
dari bullying yang selama ini terjadi secara konvensional. Cyber bullying
berbentuk kejahatan secara verbal di dalam cyberspace dan mayoritas
memakan korban anak-anak. Willard dalam bukunya Novan Ardy Wiyani
yang berjudul Save Our Children From School Bullying, menyebutkan
macam-macam jenis cyber bullying sebagai berikut:
a. Flaming (terbakar): yaitu mengirimkan pesan teks yang isinya
merupakan kata-kata yang penuh amarah dan frontal. Istilah
“flame” ini pun merujuk pada kata-kata di pesan yang berapi-api.
18 Novan Ardy Wiyani, 2012, Save Our Children From School Bullying, AR-RUZZ
Media, Jogjakarta. h.14
27
b. Harassment (gangguan): pesan-pesan yang berisi gangguan pada
email, sms, maupun pesan teks di jejaring sosial dilakukan secara
terus menerus
c. Denigration (pencemaran nama baik): yaitu proses mengumbar
keburukan seseorang di internet dengan maksud merusak reputasi
dan nama baik orang tersebut
d. Impersonation (peniruan): berpura-pura menjadi orang lain dan
mengirimkan pesan-pesan atau status yang tidak baik
e. Outing: menyebarkan rahasia orang lain, atau foto-foto pribadi
orang lain
f. Trickery (tipu daya): membujuk seseorang dengan tipu daya agar
mendapatkan rahasia atau foto pribadi orang tersebut
g. Exclusion (pengeluaran) : secara sengaja dan kejam mengeluarkan
seseorang dari grup online.
h. Cyberstalking: mengganggu dan mencemarkan nama baik
seseorang secara intens sehingga membuat ketakutan besar pada
orang tersebut.
4. Cyber Bullying sebagai Kejahatan
Kriminalitas berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan. Secara
yuridis, kejahatan berarti segala tingkah laku manusia yang dapat dipidana
yang diatur dalam hukum pidana. Dari segi apa pun dibicarakan suatu
28
kejahatan perlu diketahui bahwa kejahatan bersifat relatif. Dari sifatnya
kejahatan yang relative, G. Peter Hoefnagels menulis pendapatnya yaitu19
:
“We have seen that concept of crime is highly realtive on common
parlence. The use of term “crime” in respect of the same behavior
differs from moment to moment (time), from group to group (place)
and from context to (situation)”.
Kejahatan dapat diartikan sebagai perbuatan pelanggaran norma
hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai
perbuatan yang merugikan, meresahkan, dan menjengkelkan sehingga
tidak boleh dibiarkan20
. Dalam bukunya Principles of Criminologi, Edwin
H. Sutherland menyebutkan terdapat tujuh unsur kejahatan yang saling
bergantung dan saling mempengaruhi, dalam artian suatu perbuatan. Tujuh
unsur -unsur tersebut adalah:
a. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian
b. Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus
dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana.
c. Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang
disengaja atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang
merugikan.
d. Harus ada maksud jahat (mens rea)
e. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu
hubungan kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan.
19 Marvin E., Wolfgang et. AI., The Sociology of Crime and Delinquency, Second
Edition, John Wiley, New York, 1970. hal.119
20
Paul Moedikdo Moeliono, lihat Seodjono Dirdjosisworo, Penanggulangan
Kejahatan, Alumni, Bandung, 1976, hal.31
29
f. Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang
undang-undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan
dendiri.
g. Harus ada hukum yang ditetapkan oleh undang-undang21
Berdasarkan pendapat diatas, dapat penulis simpulkan bahwa
kejahatan adalah suatu perbuatan yang melanggar norma-norma yang ada
di masyarakat yang bersifat merugikan dan menimbulkan akibat-akibat
tertentu yang nyata. Pelanggaran atas norma tersebut dapat menyebabkan
timbulnya suatu reaksi, baik berupa hukuman, menyudutkan atau
pengucilan. Norma itu merupakan suatu garis untuk membedakan
perbuatan terpuji atau perbuatan yang wajar pada suatu pihak, sedang pada
pihak lain adalah suatu perbuatan tercela.
Secara yuridis, kejahatan dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan
yang melanggar Undang-Undang atau ketentuan yang berlaku dan diakui
secara legal. Secara kriminolosi yang berbasis sosiologis, kejahatan
merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat (dengan
kata lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang mendapat
reaksi sosial dari masyarakat.
Kejahatan di dunia maya atau yang biasa disebut cyber crime memiliki
jenis kejahatan berdasarkan sasaran dan motif kegiatan yaitu :
a. Unauthorized Access
b. Illegal Contents
21 Edwin H. Sutherland, Asas-Asas Kriminologi. Alumni, Bandung. 1973, hal.20-2
30
c. Data Forgery
d. Cyber Espionage, Sabotage, and Extortion
e. Cyberstalking
f. Carding
g. Hacking dan Cracking
h. Hijacking
i. Cyber Terrorism 22
Berdasarkan motif kegiatan cyber crime dibedakan menjadi dua yaitu
cyber crime sebagai tindakan murni criminal dan cyber crime sebagai
kejahatan “abu-abu”. Dalam cyber crime sebagai tindakan murni,
biasanya menggunakan internet hanya sebagai sarana kejahatan. Contoh
kejahatan semacam ini adalah Carding, yaitu pencurian nomor kartu kredit
milik orang lain untuk digunakan dalam transaksi perdagangan di internet.
Juga pemanfaatan media internet (webserver, mailing list) untuk
menyebarkan material bajakan. Pengirim e-mail anonim yang berisi
promosi (spamming) juga dapat dimasukkan dalam contoh kejahatan yang
menggunakan internet sebagai sarana. Di beberapa negara maju pelaku
spamming dapat dituntut dengan tuduhan pelanggaran privasi.
Pada jenis kejahatan di internet yang masuk dalam wilayah “abu-abu”,
cukup sulit menentukan apakah itu merupakan tindak kriminal atau bukan
mengingat motif kegiatannya terkadang bukan untuk kejahatan. Salah satu
22 Widodo, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Aswaja Pressindo,
Yogyakarta, 2013, hal. 164
31
contohnya adalah probing atau portscanning. Ini adalah sebutan untuk
semacam tindakan pengintaian terhadap sistem milik orang lain dengan
mengumpulkan inormasi sebanyak-banyaknya dari sistem yang diintai,
termasuk sistem operasi yang digunakan, port-port yang ada, baik yang
terbuka maupun yang tertutup, dan sebagainya.
Selain berdasarkan motif, cyber crime berdasarkan sasaran kejahatan
terbagi atas beberapa macam diantaranya
1) Cyber crime yang menyerang individu (Against Person)
Jenis kejahatan ini, sasaran serangannya ditujukan kepada
perorangan atau individu yang memiliki sifat atau kriteria tertentu
sesuai tujuan penyerangan tersebut. Beberapa contoh kejahatan ini
antara lain:
i) Pornografi
ii) Cyberstalking
iii) Cyber Bullying
iv) Cyber Trespassing 23
2) Cyber crime yang menyerang hak milik (Against Property)
Cyber crime yang dilakukan untuk mengganggu atau menyerang
hak milik orang lain. Beberapa contoh kejahatan jenis ini misalnya
pengaksesan komputer secara tidak sah melalui dunia cyber, pemilikan
informasi elektronik secara tidak sah/pencurian informasi, carding,
23 Ibid
32
cybersquating, hijacking, data forgery dan segala kegiatan yang
bersifat merugikan hak milik orang lain.
3) Cyber crime yang menyerang pemerintah (Against Government)
Cyber crime Against Government dilakukan dengan tujuan khusus
penyerangan terhadap pemerintah. Kegiatan tersebut misalnya cyber
terrorism sebagai tindakan yang mengancam pemerintah termasuk
juga cracking ke situs resmi pemerintah atau situs militer.
B. Perlindungan terhadap Korban Cyber Bullying
1. Pengertian Perlindungan Hukum
Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya
untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh
penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan
ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk
menikmati martabatnya sebagai manusia 24
.
Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan utuk
melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau
kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam
menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesame
manusia. Dapat diartikan pula bahwa perlindungan hukum merupakan
suatu hal yang melindungi subjek-subjek hukum melalui peraturan
24 Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2004. Hlm.3
33
perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan
suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a) Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk
mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu
pelanggaran serta memberikan rambu- rambu atau batasan-batasan
dalam melakukan suatu kewajiban.
b) Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir
berupa saksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang
diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu
pelanggaran.
Peraturan mengenai perlindungan korban tindak pidana cyberbullying
dianggap perlu mengingat semakin banyak korban yang sangat dirugikan
dari adanya bully pada media sosial yaitu artis khususnya. Perlindungan
berupa rehabilitasi apabila korban mengalami depresi serta pemulihan
nama baik untuk para korban yang merasa dicemarkan nama baiknya.
Bully dapat menyebabkan para korban merasa depresi dan stress yang
mana dapat saja berujung pada menyakiti dirinya sendiri hingga sampai
bunuh diri.
Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara
memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional.
34
Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius,
dapar dilihat dari bentuknya Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-bangsa,
sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention
of Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan,
Italia, September 1985.
2. Korban
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai
akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri
sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak
asasi yang menderita. Menderitanya korban bisa disebabkan murni karena
pihak lain, tetapi tidak menutup kemungkinan timbul karena keterlibatan
korban di dalamnya, misalnya kedudukan korban dalam tindak pidana
narkotika, perjudian, dan prostitusi.
Namun demikian, secara umum korban merupakan individu atau
kelompok yang menderita secara fisik, mental, dan sosial karena tindakan
kejahatan bahkan korban dapat menderita ketakutan berkepanjangan jika
ia melaporkan perbuatan pelaku dan memberikan kesaksian yang
memberatkan pelaku di pengadilan.
3. Kejahatan Cyber Bullying
Di Amerika Serikat telah mengatur secara eksplisit tindak pidana
cyberbullying pada KUHPnya yang termuat dalam Bab 41 Pasal 18 United
States Code. Perbuatan yang dicantumkan berupa perbuatan memaksa,
35
mengintimidasi, melecehkan, atau menyebabkan penderitaan emosional
kepada seseorang dengan menggunakan sara elektronik. Hanya saja, sama
dengan peraturan di Indonesia belum mengatur mengenai perlindungan
yang dapat diberikan kepada para korban dari tindak pidana cyberbullying.
Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan
penegakan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang
sederhana untuk direalisasikan banyak peristiwa dalam kehidupan
masyarakat menunjukkan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh
perhatian yang serius dari pemerintah, padahal sudah sangat jelas dalam
Pancasila, sebagai falsafat hidup bangsa Indonesia, masalah
perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting
sebagai perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta
Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu contoh kurang diperhatikannya masalah keadilan dan hak
asasi dalam penegakkan hukum pidana adalah berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap korban tindak kejahatan. Korban kejahatan
pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak
pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan
oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku
kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban
kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal masalah keadilan
dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku
kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan.
36
Dalam setiap penanganan perkara pidana aparat penegak hukum
(polisi, jaksa) seringkali dihadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua
kepentingan yang terkesan saling berlawanan, yaitu kepentingan korban
yang harus dilindungi untuk memulihkan penderitaannya karena telah
menjadi korban kejahatan (secara mental, fisik, maupun material), dan
kepentingan tertuduh/ tersangka sekalipun dia bersalah, tetapi dia tetap
dianggap sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak boleh
dilanggar. Terlebih apabila atas perbuatannya itu belum ada putusan hakim
yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Oleh karena itu, pelaku harus
dianggap sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tidak bersalah).
Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu
mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban
diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah25
:
“dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan
dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas
hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memerhatikan
pula hak-hak para korban”.
Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban
kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik
perlindungan yang sifatnya immaterial maupun materiil sebagaimana Geis
25 Andi Hamzah. Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (Bandung : Binacipta). Hal 33
37
berpendapat : “to much attention has been paid to offenders and their
rights, to reglect of the victims”26
.
Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi
keterangan27
, yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi
korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya
adalah kecil28
.
Rendahnya kedudukan korban dalam penanganan perkara pidana
dikemukaka pula oleh Prassel yang menyatakan sebagai berikut:
“Victim was a forgotten figure in study of crime. Victims of assault,
robbery, theft, and other offences were ignore while police, courts, and
academicians concentrated on known violators”29
Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif
dalam proses penyidikan dan persidangan sehingga ia kehilangan
kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaannya
akibat suatu kejahatan. Dalam kaitannya dengan pemerikasaan suatu
tindak pidana, seringkali korban hanya diposisikan sebagai pemberi
kesaksian, sebagai pelapor dalam proses penyidikan, dan sebagai sumber
informasi atau sebagai salah satu kunci penyelesaian perkara. Sebaliknya
pada saat korban tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai saksi di
26 Gilbert Geis, “Victims and Witness Assistance Program”, dalam : Sanford H.
Kadish (ed), Encyclopedia of crime and Justice (New York : The Free Press : A Division
of Macmillan Inc), 1983 : Volume 4, hal. 1600.
27
Arif Gosita, Masalah Perlindunan Anak (Jakarta : CV Akademika Pressindo,
1989) Edisi Pertama-Cetakan Kedua, hal 94.
28
Chaerudin, Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan
Hukum Pidana Islam (Jakarta : Ghalia Press, Juli 2004). Hal 47
29
Frank R. Prassel, Criminal Law, Justice, and Society (Santa Monica-California :
Goodyear Publishing Company Inc. 1979). Hal 65
38
persidangan, ia dikenakan sanksi sebagaimana Geis berpendapat sebagai
berikut :
“If victims complain that they cannot afford the loss of wages or works
time to keep returning to court, prosecutors may threaten with fine or
jail”.
Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formal (KUHAP) lebih
menitikberatkan perhatian pada pembuat korban (pelaku kejahatan)
daripada korban, seolah olah terdapat suatu perbedaan atau pemisahan
yang tajam antara si pembuat korban dengan si korban, walupun keduanya
memiliki peranan yang fungsional dalam terjadinya tindak pidana30
.
Korban hanyalah pelengkap atau sebagian dari alat bukti, bukan
pencari keadilan. Bahkan Geis berpendapat “Tend to be treated like pieces
of evidence than like human beings”
Sebagaimana dikemukakan di atas, korban kejahatan umumnya akan
mengalami berbagai penderitaan, sebagai contoh wanita korban perkosaan.
Seorang wanita korban perkosaan selain menderita secara fisik, juga
mengalami tekanan batin yang hebat akibat perkosaan, seperti perasaan
kotor, berdosa dan tidak punya masa depan, serta terkadang mendapat
perlakuan tidak adil dari masyarakat dari masyarakat akibat budaya tabu
terhadap hubungan sex di luar nikah31
.
30 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Jakarta : CV Akademika Pressindo,
1989) Edisi Pertama- Cetakan Kedua. Hal. 94
31
Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS.,dan G. Wiratama. Abortus
Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Krimonologi dan Hukum
Pidana (Universitas Atma Jaya, 2001) Edisi Pertama : Cetakan Pertama, hal 135.
39
Korban perkosaan seringkali menjadi korban ganda, ketika harus ke
rumah sakit untuk mengobati luka-lukanya, membiayai sendiri biaya
transportasi, dan perawatan rumah sakit, sedangkan pelaku apabila terluka
dan membutuhkan perawatan rumah sakit, sedangkan pelaku apbila
terluka dan membutuhkan perawatan, mendapat perlakuan khusus
sebagaimana dikatakan Geis berikut ini.
“Criminal are taken care of by the state. Offenders who have been
wounded by the police while being apprehended receive free hospital
care. Victims on other hand, generally have to cover costs from their
own resource for injuries sustained”
Peran korban dalam persidangan lebih sebagai bagian dari pencarian
kebenaran material, yaitu sebagai saksi. Dalam tahap pemeriksaan, seperti
halnya korban perkosaan, tidak sedikit yang mengabaikan hak-hak asasi
korban, misalnya korban diperiksa tanpa didampingi oleh tenaga medis,
ditanya dengan mempergunakan kalimat-kalimat yang terkesan vulgar,
dan sebagainya. Sementara itu, pada tahap penjatuhan putusan hakim,
korban dikecewakan dengan putusan pidana karena putusan yang
dijatuhkan pada pelaku relatif ringan, tidak sebanding dengan penderitaan
yang harus ditanggung oleh korban.
Dalam pelaksanaan perlindungan terhadap korban yang dimaksudkan
haruslah memenuhi asas-asas yaitu :
a. Asas manfaat
Yaitu perlindungan korban tidak hanya ditunjukkan bagi tercapainya
kemanfaatan bagi korban kejahatan, namun juga kemanfaatan bagi
40
masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah
tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat
b. Asas keadilan
Penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan
tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan
yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan
c. Asas keseimbangan
Yaitu karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan
perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan
keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada
keadaan yang semula. Azas ini memperoleh tempat yang penting
dalam upaya pemulihan hak-hak korban
d. Asas kepastian hukum
Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat
penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya
memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan.
C. Peraturan Hukum Cyber Bullying di Indonesia
Kedudukan kejahatan cyber bullying dalam hukum pidana Indonesia
diawali dengan pengaturan kejahatan tersebut secara umum dalam ketentuan
pasal 310 ayat (1), (2), dan (3) KUHP tentang penganiayan bahwa :
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang
supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan
41
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam
karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan
jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk
membela diri 32
Dalam pembahasan cyber bullying dalam perspektif hukum pidana
tersebut yang dikaji pertama kali adalah berkaitan dengan unsur-unsur delik
yang diatur dalam KUHP. Menurut Eddy O.S Heariej, staff pengajar pada
Fakultas Hukum UGM mengatakan33
:
“Ada kontrakdiksi yang sangat mencolok untuk menindak kejahatan
seperti ini. Dalam hukum diperlukan adanya kepastian termasuk alat bukti
kejahatan, tempat kejahatan dan korban dari tindak kejahatan tersebut,
sedangkan dalam crime by computer (cyber crime pen) ini semuanya serba
maya, lintas waktu”
Dengan demikian berdasarkan paparan pendapat ahli tersebut dapat
diartikan bahwa hukum dalam menghadapi kejahatan ini (cyber bullying)
masih sangat jauh dari memadai, apalagi sebagaimana diketahui bahwa KUHP
adalah produk masa silam, yang pada waktu dibuatnya tidak mengenal
32 Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
33
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, H. 181.
42
computer apalagi internet. Kondisi tersebut membawa pada kondisi tidak bisa
terjangkaunya kejahatan tersebut oleh hukum. dengan kata lain tidak ada
aturan yang menjangkaunya. Dalam konsep anomi kondisi ini disebut dengan
normless, yang diartikan sebagai kondisi inability of norm to control or
regulate behavior.
Berdasarkan pertimbangan tersebut pada tahun 2008 dibentuklah suatu
peraturan yang fokus membahas kejahatan dalam dunia maya yakni Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah dilakukan perubahan
menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Cyberbullying pada UU ITE dimuat pada Pasal 27 ayat
(3) berbunyi :
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Eletronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Kemudian dijelaskan pula dalam Pasal 27 ayat (4) UU ITE bahwa :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
pemerasan dan/atau pengancaman”.
Berdasarkan ketentuan pasal dalam KUHP maupun UU ITE yang telah
penulis jelaskan sebelumnya, Indonesia belum mengatur secara spesifik
mengenai tindak pidana cyber bullying baik terkait definisi maupun batasan-
43
batasannya. Hanya saja, baik dalam KUHP maupun dalam UU ITE telah
mengatur mengenai tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik
yang merupakan salah satu unsur dari tindak pidana cyberbullying.
Terdapat 19 bentuk tindak pidana dalam pasal 27 sampai 37 UU ITE. Satu
di antaranya merupakan tindak pidana penghinaan khusus, dimuat dalam pasal
27 ayat (3) jo 45 ayat (1). Pasal 27 ayat (3) berbunyi bahwa “setiap orang
dengan sengaja dan hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Pasal 45 ayat (1) yaitu “setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3) atau ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar”. Tindak pidana penghinaan khusus
dalam pasal 27 ayat (3) jika dirinci terdapat unsur berikut.
1. Unsur objektif
a. Perbuatan : mendistribusikan, Mentransmisikan, Membuat dapat
diaksesnya
Adalah menyalurkan (mengirimkan, membagikan) kepada
beberapa orang atau beberapa tempat34
. Dalam konteks tindak pidana
penghinaan dengan menggunakan sarana teknologi informasi menurut
UU ITE diartikan sebagai perbuatan dalam bentuk dan cara apapun
yang sifatnya menyalurkan, membagikan, mengirimkan, memberikan,
34 Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa. Edisi keempat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 336
44
menyebarkan informasi elektronik kepada orang lain atau tempat lain
dalam melakukan transaksi elektronik dengan menggunakan teknologi
informasi.
Informasi elektronik yang didistribusikan adalah merupakan data
atau sekumpulan data elektronik seperti tulisan, suara, gambar, gambar
bersuara maupun tidak, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (elektronik mail) telegram, teleks,
telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami
oleh orang mampu memahaminya 35
.
Perbuatan medistribusikan data atau sekumpulan data elektronik
tersebut dalam rangka melakukan transaksi elektronik. Suatu perbuatan
hukum yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi
dengan menggunakan sarana computer, jaringan computer, dan/atau
media elektronik lainnya untuk tujuan-tujuan tertentu.36
Dihubungkan
dengan objek tindak pidana menurut pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Perbuatan membuat dapat diaksesnya adalah melakukan perbuatan
dengan cara apapun melalui perangkat elektronik dengan
memanfaatkan teknologi informasi terhadap data atau sekumpulan data
elektronik dalam melakukan transaksi elektronik yang menyebabkan
35 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Pasal 1 angka 1
36
Ibid, Pasal 1 angka 3
45
data lektronik tersebut menjadi dapat diakses oleh orang lain atau
benda elektronik lain.
Penghinaan khusus UU ITE dengan perbuatan “membuat dapat
diaksesnya” merupakan tindak pidana materiil murni. Untuk
terwujudnya secara sempurna tindak pidana ini, diperlukan akibat
bahwa data atau sekumpulan data elektronik telah dapat diakses oleh
orang lain atau seperangkat alat elektronik. Minimal telah terdapat atau
menyebar dalam perangkat elektronik yang lain dari perangkat
elektronik semula yang digunakan oleh si pembuat.
b. Melawan hukum : tanpa hak
Sebagaimana diketahui bahwa unsur tindak pidana tidak berdiri
sendiri. Selalu memiliki hubungan dengan unsur-unsur lainnya.
Hubungan yang dekat dengan unsur tanpa hak dari perbuatan
mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diakses
informasi elektronik, terdapat pada 2 unsur yaitu secara objektif dan
subjektif. Secara objektif, sifat isi informasi atau dokumen (objek)
elektronik tersebut mengandung muatan bentuk-bentuk penghinaan,
utamanya bentuk pencemaran. Pada unsur inilah melekat sifat
melawan hukum perbuatan mendistribusikan dan mentranmisikan
informasi elektronik tersebut.
Kedua secara subjektif, hubungan melawan hukum sangat dekat
dengan unsur dengan sengaja (kesalahan). Bahwa pidana pada
umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan
46
perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui37
. Secara
singkat sengaja artinya menghendaki (willens) dan mengetahui
(wetens). Cara penempatan unsur sengaja dalam ketentuan pidana akan
menentukan relasi pengertian ini terhadap unsur-unsur delik lainnya38
c. Objeknya : informasi dan / atau dokumen elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
- Informasi elektronik dan/atau
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tapi tidak sebatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat
elektronik (elektronik mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi
yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu memahaminya.
- Dokumen elektronik
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa dokumen
adalah
1) surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai bukti
keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian)
2) barang cetakan atau naskah karangan yang dikirim melalui pos
37 Moeljatno. 1979. Hukum Pidana Delk-Delik Penyertaan, Jakarta : Bina Aksara.
Hal 171
38
Jan Remmelink. 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari
KUHP Belanda dan padananya dalam KUHP Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama. Hal 152
47
3) rekaman suara, gambar dalam film, dan bukti lainnya yang
dapat digunakan sebagai bukti keterangan
Dengan menggunakan penafsiran gramatikal dan menerapkannya
pada objek tindak pidana, maka dapat didefinisikan bahwa dokumen
elektronik adalah surat tertulis atau tercetak yang disimpan secara
elektronik yang isinya dapat dipakai sebagai bukti berupa tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange
(EDI), Surat Elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy
atau sejenisnya, huruf tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi
yang teah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.
Terdapat 3 hal yang perlu dipahami mengenai anak kalimat “yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” sesuai
dengan rumusan pasal 27 ayat 3 UU ITE
a) unsur ini merupakan unsur keadaan yang menyertai yang melekat
pada objek informasi dan/atau dokumen elektronik. Meskipun dua
unsur dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan.
b) Pada unsur ini melekat/ letak sifat melawan hukum dari perbuatan
mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan / atau membuat
dapat diaksesnya informasi elektronik. Sekaligus di dalamnya
diletakkan maksud dan tujuan dibentuknya tindak pidana ini.
Sebagai memberi perlindungan hukum terhadap harga diri,
martabat mengenai nama baik dan kehormatan orang.
48
c) Sebagai indikator bahwa tindak pidana ini merupakan lex spesialis
dari bentuk-bentuk penghinaan umum, utamanya pencemaran
nama baik.
Sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, terdapat 6
indikator lex specialist. Maka jelas penghinaan dalam pasal 27 ayat (3)
jo 45 ayat (1) UU ITE merupakan lex specialist dari bentukk-bentuk
penghinaan dalam KUHP, khususnya pencemaran. Unsur lex
generalist yang harus ada dalam penghinaan UU ITE ialah salah satu
bentuk-bentuk penghinaan dalam KUHP, khusunya pencemaran.
Alasannya diantaranya yaitu :
a) Dalam frasa yang memiliki muatan penghinaan, khusunya
kata/unsur penghinaan dalam kalimat rumusan Pasal 27 ayat (3)
mengandung makna yuridis adalah semua bentuk-bentuk
penghinaan dalam Bab XVI buku II KUHP. Mulai pencemaran,
fitnah, penghinaan ringan, pengaduan fitnah, menimbulkan
persangkaan palsu sampai penghinaan pada orang mati.
b) Dalam frasa pencemaran nama baik sudah dapat dipastikan, bahwa
maksudnya adalah pencemaran (bentuk standar) dalam pasal 310
ayat (1) KUHP. Hanya saja rumusan Pasal 27 ayat (3) tersebut
kurang lengkap. Tidak menyebutkan objek pencemaran yang lain
ialah kehormatan (eer). Harga diri di bidang nama baik (goeden
naam) itu merupakan salah satu saja dari objek pencemaran selain
kehormatan (eer).
49
2. Unsur subjektif
a. Kesalahan : dengan sengaja39
Cyber bullying dalam UU ITE tidak terdapat unsur yang jelas. Hanya
terdapat unsur penghinaan, pencemaran nama baik, pengancaman dan
pemerasan. Sedangkan jenis cyber bullying tidak hanya mengandung unsur
penghinaan, pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan saja. Pasal
27 ayat (3) dan (4) UU ITE belum menyangkut unsur dari Flaming,
Harassment (gangguan), Impersonation (peniruan), Outing (menyebarkan
rahasia orang lain), Trickery (tipu daya), Exclusion (pengeluaran),
Cyberstalking.
KUHP maupun UU ITE tidak menyebutkan definisi dari penghinaan dan
pencemaran nama baik. Ketentuan dalam KUHP maupun UU ITE hanya
mengatur mengenai sanksi yang menjerat pelaku dari tindak pidana
cyberbullying yang memuat penghinaan dan pencemaran nama baik, belum
ada pengaturan tentang perlindungan terhadap korban dari tindak pidana
cyberbullying tersebut. Mengingat banyak dampak yang timbul yang
dirasakan oleh para korban seperti halnya depresi, stress, bahkan hingga
sampai menyebabkan akibat yang sangat fatal yaitu bunuh diri.
Salah satu dari kebijakan atau politik hukum adalah pembaharuan hukum
pidana. Pembaharuan hukum pidana juga pada hakikatnya harus merupakan
39 Adami Chazawi. 2008. Hukum Pidana Positif Penghinaan “tindak pidana
menyerang kepentingan hukum mengenai martabat kehormatan dan martabat nama baik
orang bersifat pribadi maupun komunal”. Malang :Bayumedia Publishing. Hal. 258
50
perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek40
.
Salah satu faktor peraturan perundang-undangan di luar KUHP mengatur
tindak pidana Informasi dan Teknologi adalah karena KUHP tidak mengatur
tindak pidana tersebut, mengingat KUHP hanya memuat tindak pidana
konvensional. Dalam KUHP, UU ITE maupun RUU KUHP Tahun 2015
mengatur tentang pidana yang menjerat pelaku penghinaan dan tidak
mencakup secara keseluruhan tentang tindak pidana cyberbullying.
Pada prinsipnya RUU KUHP Tahun 2015 telah membahas mengenai
tindak pidana cyberbullying, akan tetapi belum mencakup keseluruhan
perbuatan yang tergolong tindak pidana cyberbullying. Begitu pula dengan
perlindungan korban dari tindak pidana cyberbullying tersebut belum diatur
baik pada KUHP, UU ITE maupun RUU KUHP Tahun 2015.
D. Kebutuhan Korban Cyber Bullying
Manusia dilahirkan ke muka bumi dengan membawa hak-hak dasar yang
diberikan Tuhan Yang Maha Esa atau lazim disebut dengan Hak Asasi
Manusia. Hak Asasi Manusia diberikan kepada tiap individu di dunia tanpa
memandang suku, ras, warna kulit. asal-usul, golongan, dan perbedaan-
perbedaan lainnya. Hak ini tidak akan pernah lepas dan selalu melekat seumur
hidup.
Demikian pentingnya hak asasi manusia bagi setiap individu sehingga
eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai, dan dilindungi, diantaranya
melalui produk perundang-undangan. Adanya pengakuan terhadap hak-hak
40 Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana
Predana Group, Jakarta, hlm. 26
51
tersebut dari kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang dapat
merugikan manusia itu sendiri, baik dilakukan oleh manusia lainnya maupun
oleh manusia lainnya maupun oleh pemerintah.
Seperti pendapat A.H. Maslow dikutip oleh Purnadi Purbacaraka, manusia
mengharapkan bahwa kebutuhan dasarnya akan dapat terpenuhi, kebutuhan-
kebutuhan dasar tersebut mencakup :
1. Food, Shelter, Clothing
2. Safety of Self and property
3. Self-esteem
4. Self-actualization
5. Love
Tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut dapat
menyebabkan rasa khawatir, tidak puas, dan pada akhirnya cenderung akan
melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak orang lain yang
terumus dalam norma-norma hukum yang telah ditentukan oleh Negara yang
dalam masyarakat lebih sering disebut kejahatan. Kejahatan merupakan
masalah sosial yang senantiasa terjadi dalam setiap kehidupan sosial. Menurut
Durkheim, kejahatan dianggap sebagai suatu gejala yang normal dalam setiap
masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan perkembangan sosial.
Masyarakat yang heterogen dan memiliki dinamika di dalamnya, dapat
ditemukan pada masyarakat di perkotaan.
Dari banyaknya kepentingan setiap orang yang belum tentu secara
sempurna terpenuhi, akan menyebabkan berusaha memenuhi kebutuhan
52
tersebut dengan bermacam-macam cara dan terkadang cara yang
diterapkannya telah mengganggu hak ataupun kepentingan orang lain. Dengan
terganggunya kepentingan orang lain tersebut akan terjadinya korban.
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa
Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtstaat) dan bukan Negara Kekuasaan
(Machtstaat). Dengan keberadaannya sebagai Negara hukum ada beberapa
konsekuensi yang melekat padanya, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Philipus M.Hadjon, bahwa konsepsi The Rule Law, menempatkan Hak Asasi
Manusia sebagau salah satu ciri khas pada Negara yang disebut Rechststaat
atau menjunjung tinggi the rule of law, bagi suatu Negara demokrasi
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan salah
satu ukuran tentang baik buruknya suatu pemerintahan.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat perihal
perlindungan hak asasi manusia telah banyak disusun, bak dalam perundang-
undangan nasional maupun internasional, diantaranya Undang-undang Nomor
9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka
Umum, Undnag-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
Perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan
pemidanaan yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian konflik yang
ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.