18
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Sekolah Inklusi Menurut Smith pendidikan inklusi (2006: 18) adalah program pendidikan yang mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, termasuk di dalamnya siswa yang berlainan. Di lain pihak, Choate (dalam Dyah 2008) mengemukakan bahwa Sekolah inklusi adalah sekolah yang mengijinkan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus untuk dapat belajar di kelas pendidikan umum Mastropieri dan Scruggs, (dalam Dyah 2008) pengertian inklusi secara umum berarti bahwa peserta didik berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan pendidikan utama di dalam kelas umum dan di bawah tanggung jawab seorang guru kelas umum. Sedangkan Denis, Enrica (dalam Barokah 2008) pendidikan inklusi adalah suatu komitmen untuk melibatkan siswa-siswi yang memiliki hambatan dalam setiap tingkat pendidikan mereka yang memungkinkan. Indeks untuk inklusi (dalam Stubs 2002: 39) menyatakan bahwa inklusi dalam pendidikan merupakan proses peningkatan partisipasi siswa dan mengurangi keterpisahan dari budaya, kurikulum dan komunitas setempat. Selain itu, Smith (2006: 45) mengemukakan bahwa inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi social dan konsep diri (visi-misi) sekolah.

BAB II KAJIAN PUSTAKA · Dalam kegiatan pembelajaran, tentunya tidak lepas dari kurikulum. Kurikulum tersebut digunakan oleh guru sebagai acuan dasar pembuatan Rencana Pelaksanaan

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 6

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Kajian Teori

    2.1.1 Sekolah Inklusi

    Menurut Smith pendidikan inklusi (2006: 18) adalah program pendidikan

    yang mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan

    kebutuhan dan kemampuannya, termasuk di dalamnya siswa yang berlainan. Di

    lain pihak, Choate (dalam Dyah 2008) mengemukakan bahwa Sekolah inklusi

    adalah sekolah yang mengijinkan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus

    untuk dapat belajar di kelas pendidikan umum

    Mastropieri dan Scruggs, (dalam Dyah 2008) pengertian inklusi secara

    umum berarti bahwa peserta didik berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan

    pendidikan utama di dalam kelas umum dan di bawah tanggung jawab seorang

    guru kelas umum. Sedangkan Denis, Enrica (dalam Barokah 2008) pendidikan

    inklusi adalah suatu komitmen untuk melibatkan siswa-siswi yang memiliki

    hambatan dalam setiap tingkat pendidikan mereka yang memungkinkan.

    Indeks untuk inklusi (dalam Stubs 2002: 39) menyatakan bahwa inklusi

    dalam pendidikan merupakan proses peningkatan partisipasi siswa dan

    mengurangi keterpisahan dari budaya, kurikulum dan komunitas setempat. Selain

    itu, Smith (2006: 45) mengemukakan bahwa inklusi dapat berarti penerimaan

    anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi

    social dan konsep diri (visi-misi) sekolah.

  • 7

    Hidayat (2009: 9) pendidikan inklusi terfokus pada setiap kelebihan yang

    dibawa anak ke sekolah daripada kekurangan mereka yang terlihat, dan secara

    khusus melihat pada bidang mana anak-anak dapat mengambil bagian untuk

    berpartisipasi dalam kehidupan normal masyarakat atau sekolah, atau

    memperhatikan apakah mereka memiliki hambatan fisik dan sosial karena

    lingkungan yang tidak kondusif.

    Salamanca (dalam Barokah, 2008: 70) menyatakan bahwa „pendidikan

    inklusif merupakan inklusi merupakan perkembangan pelayanan pendidikan bagi

    anak berkebutuhan khusus , dimana prinsip mendasar dari pendidikan iklusi,

    selama memungkinan, semua anak atau peserta didik seyogyanya belajar

    bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada

    pada mereka.‟

    Suparno dkk (2007: 2-20) mengemukakan bahwa konsep inklusi lebih

    menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak

    berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi sebenarnya merupakan perkembangan

    lebih lanjut dari program mainstreaming yang sudah beberapa dekade diterapkan

    secara luas oleh para pendidikdi berbagai Negara untuk anak-anak berkebutuhan

    khusus.

    Hidayat (2009: 9) menyimpulkan bahwa model lingkungan pembelajaran

    yang inklusi tersebut dapat memotivasi guru, pengelola/kepala sekolah, anak,

    keluarga dan masyarakat untuk membantu pembelajaran anak, misalnya di kelas

    peserta didik beserta guru bertanggungjawab kepada pembelajaran dan secara

    aktif berpartisipasi di dalamnya.

  • 8

    Puri (2004: 26) menyatakan bahwa pendidikan inklusi memberikan

    kesempatan bagi perencana, perancang dan pembuatan kebijakan, administrator

    dan pelaksana untuk bekerja dan mengembangkan konsep secara universal. Dalam

    artian, pendidikan harus ideal tidak hanya mengajarkan keterampilan kejuruan

    namun juga membina intelektual dan psikologi yang menunjukkan kepercayaan

    diri , sikap positif dan gairah untuk hidup.

    Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa sekolah

    inklusi adalah sekolah reguler yang membuka layanan pendidikan untuk anak-

    anak yang memiliki kebutuhan khusus. Dalam sekolah inklusi ini, anak-anak yang

    memiliki kebutuhan khusus belajar di kelas umum bersama dengan siswa lain

    akan tetapi anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus tersebut diberi

    pendekatan dan pelajaran khusus sesuai dengan kebutuhannya.

    2.1.1.1 Latar Belakang Sekolah Inklusi

    Dunn (dalam Smith 2006: 42) menyatakan bahwa „tekanan untuk

    meneruskan dan memperluas program (kelas khusus) yang kita tahu, menjadi hal

    yang tidak diinginkan bagi kebanyakan anak-anak yang dipandang akan

    memerlukannya.‟ Kemudian Dunn menegaskan kembali „pemindahan anak dari

    kelas reguler ke kelas khusus mungkin memberikan pengaruh yang signifikan

    pada perasaan rendah diri dan problem penerimaan diri.‟

    Elias, Maurice (dalam Barokah: 71) menyatakan bahwa:

    Pelayanan pendidikan yang selama ini diberlakukan seakan

    membentuk kotak-kotak pelayanan pendidikan, yang secara

    psikologis sangat merugikan peserta didik dalam bersosialisasi

    yang mestinya dalam peletakan dasar dalam pembelajaran ini

  • 9

    harus diberikan dengan suguhan-suguhan menyeluruh tentang

    kehidupan nyata, bahwa di sekeliling kehidupannya ada kehidupan

    yang berbeda dari dirinya, namun kenyataan yang sering

    ditemukan dalam dunia pendidikian hanyalah keterbatasan-

    keterbatasan yang tidak mampu memberikan sumbangan yang

    bermakna bagi perkembangan peserta didik khususnya dalam

    menuju kedewasaannya, karena dalam masa pembelajaran, peserta

    didik/remaja sekolah adalah masa untuk belajar menjadi orang

    dewasa, bukan menjadi remaja yang sukses.

    Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) terselenggara di

    Sekolah Luar Biasa (SLB), namun program tersebut mengalami kendala.

    Istiningsih (2005: 12-13) menyatakan bahwa pendidikan bagi anak yang

    berkelainan diselenggarakan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Lokasi SLB pada

    umumnya berada di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian anak-anak

    berkelainan, karena faktor ekonomi terpaksa tidak disekolahkan oleh orang tuanya

    karena lokasi SLB jauh dari rumahnya, sedangkan SD terdekat tidak bersedia

    menerima karena tidak mampu melayaninya.

    2.1.1.2 Dasar Sekolah Inklusi

    Suparno dkk (2007) mengemukakan bahwaPelaksanaan pendidikan

    inklusi di Indonesia didasarkan pada beberapa landasan , filosofis dan yuridis-

    empiris.

    Secara filosofis filosofis, implementasi inklusi mengacu

    pada beberapa hal, diantaranya: a) pendidikan adalah hak

    mendasar bagi setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus;

    b) anak adalah pribadi yang unik yang memiliki karakteristik,

    minat, kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda; c)

    penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama

    antara orang tua, masyarakat dan pemerintah; d) setiap anak

    berhak mendapat pendidikan yang layak; e) setiap anak berhak

    mendapat akses pendidikan yang ada di lingkungan sekitarnya.

  • 10

    Dasar sekolah inklusi secara yuridis-empirisnya tercantum dalam:

    1. UUSPN No 20 tahun 2003, pasal 5 ayat (1) dan (2)

    Ayat 1: “Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk

    memperoleh pendidikan yang bermutu”

    Ayat 2: “Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional,

    mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan

    khusus”

    2. UUSPN No 20 tahun 2003 pasal 6 ayat 15, yang berbunyi

    “Pendidikan khusus merupakan penyelengaraan pendidikan untuk peserta

    didik yang berklainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa

    yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus

    pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.”

    3. UUD 1945 pasal 31 ayat (1), (2) dan (3)

    Ayat 1: “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”

    Ayat 2: “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan menengah

    dan pemerintah wajib membiyainya ”

    4. Permen No 22 Tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar

    dan menengah. Berbunyi: “Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah

    yang selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan

    tingkat kompetensi minimal untuk mencapai lulusan kompetensi minimal pada

    jenjang dan jenis pendidikan tertentu”

    5. Permen No 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL).

  • 11

    6. Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 pasal 26 tentang hak untuk mendapatkan

    pendidikaan.

    7. Konvensi Hak Anak 1989

    8. Konvensi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (1990)

    9. Resolusi PBB nomor 48/49 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi

    Orang Berkelainan / penyandang cacat.

    10. Pernyataan Salamanca (1994) tentang Pendidikan inklusi, Komitmen Dakar

    (2000) mengenai Pendidikan untuk Semua, Deklarasi Bandung (2004) dan

    Rekomendasi Bukittinggi (2005) komitmen Pendidikan Inklusi.

    2.1.1.3 Mekanisme Sekolah Inklusi

    Sesuai dengan peraturan peundangan yang ada, pendidikan inklusi hanya

    berlaku bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang kemampuan intelektualnya

    tidak berada di bawah rata-rata.

    Menurut Suparno dkk (2007: 2-23) sekolah penyelenggara pendidikan

    inklusi harus memenuhi beberapa persyaratan yang sudah ditentukan, antara lain:

    keberadaan siswa berkebutuhan khusus, komitmen terhadap pendidikan inklusi,

    manajemen sekolah , sarana prasarana dan ketenagaan.

    Dalam penerimaan siswa dalam sekolah inklusi perlu diadakannya

    identifikasi oleh guru, terutama guru kelas. Suparno (2007: 6-2) mengemukakan

    bahwa umumnya guru memiliki catatan atau rekaman tentang perkembangan

    masing-masing siswa, bagaimana kondisinya dan kebutuhan pendidikan yang

    diperlukan, terlebih untuk anak berkebutuhan khusus. Apabila hal itu belum

  • 12

    dimiliki, maka untuk mengenali anak-anak berkebutuhan khusus dapat dimulai

    dengan menggunakan identifiikasi.

    Identifikasi adalah usaha untuk mengenali atau menemukan anak

    berkebutuhan khusus sesuai dengan ciri-ciri yang ada. Suparno (2007: 6-3 )

    mengungkapkan ada beberapa ruang lingkup dalam identifikasi yaitu mencakup

    kondisi fisik, kemampuan intelektual, kemampuan komunikasi dan social

    emosional.

    Dalam identifikasi beberapa teknik yang kdigunakan oleh guru, Suparno

    (2007) menguraikan teknik yang digunakan antara lain: observasi, wawancara,tes,

    dan tes psikologi. Setelah identifikasi, dilakukan asasmen, yang bertujuan untuk:

    1) menyaring kemampuan anak; 2) pengklasifikasian, penempatan, dan penentuan

    program; 3) penentuan arah dan tujuan pendidikan; 4) pengembangan program

    pendidikan individual; dan 5) penentuan strategi.

    2.1.1.4 Karakteristik Kegiatan Pembelajaran Sekolah Inklusi

    Smith (2006: 399) menyatakan bahwa banyak teknik dan konsep yang

    telah diterapkan oleh para pendidik, termasuk metodologi-metodologi yang akan

    mempermudah proes pembelajaran oleh siswa berkesulitan belajar di sekolah

    umum. Jika konsep-konsep ini digunakan dengan baik, maka akan terwujudkelas

    inklusi dengan sifat / karakteristik sebagai berikut.

    1. Pengajaran proses berbagi yang aktif dan kreatif. 2. Siswa ditempatkan dalam kelompok dengan tujuan untuk

    keragaman kegiatan dank arena mereka memiliki kebutuhan

    yang sama bagi aktivitas lainnya.

  • 13

    3. Daripada siswa meninggalkan kelas untuk pelayanan pembelajaran khusus, lebih baik dukungan sumber daya

    dibawa ke kelas bagi siswa berkebutuhan khusus.

    4. Siswa ditempatkan pada tingkatan yang sesuai dengan usianya dan disediakan pengajaran menurut kebutuhannya.

    5. Kurikulum untuk setiap siswa (dengan atau tanpa hambatan) adalah individual.

    6. Personil pendidikan khusus dan sumber daya khusus dimanfaatkan untuk membantu setiap siswa yang memiliki

    kebutuhan agar dapat dipenuhi oleh layanan pendidikan ini.

    7. Semua kemajuan siswa dinilai menurut tujuan dan standar individual.

    Dalam kegiatan pembelajaran, tentunya tidak lepas dari kurikulum.

    Kurikulum tersebut digunakan oleh guru sebagai acuan dasar pembuatan Rencana

    Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan kemdian sebagai pedoman pelaksanaan

    pembelajaran. Menurut Hidayat (2009: 4) :

    Persoalan kurikulum di Sekolah inklusi merupakan

    tantangan terbesar bagi guru-guru dan sekolah-sekolah dalam

    mempertahankan keikutsertaan dan memaksimalkan partisipasi

    semua anak. Penyesuaian kurikulum bukanlah tentang penurunan

    standar persyaratan ataupun membuat latihan menjadi lebih

    mudah bagi murid-murid yang mempunyai keterbatasan atau

    berkebutuhan khusus. Tetapi adaptasi kurikulum ini untuk

    memenuhi keanekaragaman, membutuhkan perencanaan dan

    persiapan yang matang oleh guru-guru dan bekerjasama dengan

    murid-murid, orang tua, rekan-rekan guru, dan staf.

    Kurikulum yang digunakan pada pendidikan inklusi yang ideal adalah

    kurikulum yang sama seperti yang diterapkan bagi siswa reguler dan dimodifikasi

    sesuai dengan kemampuan dan kekhususan ABK (berdasarkan PPI ABK). Hal ini

    sesuai dengan kebijakan, yaitu PerMenDikNas RI No. 19 tahun 2007 dan

    Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, yang menyatakan bahwa dalam

  • 14

    pendidikan inklusi perlu ada penyesuaian kurikulum dengan mempertimbangkan

    kondisi peserta didik.

    Hidayat (2009: 6) proses layanan pembelajarannya bukan didasarkan

    pada bentuk layanan sama rata, sama rasa dan disampaikan secara klasikal, tetapi

    diarahkan pada pembelajaran yang lebih demokratis dan proporsional sesuai

    dengan harapan dan target belajar dari masing-masing kelompok anak tersebut,

    dan proses belajar anak-anak tersebut tidak dipisahkan berdasarkan kelompok

    atau dipisahkan dari komunitasnya, melainkan mereka belajar bersama-sama

    dengan teman sebayanya di dalam kelas reguler.

    2.1.1.5 Model Pembelajaran Sekolah Inklusi

    Puri (2006: 236) menjelaskan kegiatan belajar mengajar dalam sekolah

    inklusi, anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus dijadikan satu dengan

    anak-anak reguler, akan tetapi dalam katerampilan tertentu, anak mempunyai

    kelas tersendiri sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Anak-anak

    berkebutuhan khusus tersebut mempunyai guru tutor yang mendampingi.

    Lombardi (dalam Smith, 2006: 401) menjelaskan beberapa model

    pembelajaran yang dapat membantu meningkatkan keberhasilan kelas inklusi.

    Model-model tersebut meliputi:

    1. Pengajaran Langsung (Direct Instruction): dibuat suatu penekanan pada penggunaan struktur yang ringan dan jadwal

    waktu kelas, menggunakan seluruh sumber daya guru secara

    efisien (baik pendidikan umum maupun

    2. khusus) di kelas umum dan pemantauan kemajuan secara seksama.

    3. Intervensi dan strategi (strategy intervention) yaitu dibuat suatu penekanan pada kemampuan pengajaran seperti:

  • 15

    mendengar (listening), membuat catatan (note talking),

    pertanyaan mandiri (self questioning), tes lisan (test talking)

    dan pemantauan kesalahan (error monitor).

    4. Tim asistensi guru (teacher assistance team) yakni guru umum dan guru pendidikan khusus bekerja sebagai tim, mereka

    bertemu secara teratur untuk mengatasi masalah dan

    memberikan bantuan kepada anggota mereka dalam mengatur

    sikap siswa dan pertanyaan mengenai kesulitan akademis.

    5. Model guru sebagai konsultan (consulting teacher model) yaitu guru-guru khusus dilatih sebagai konsultan untuk

    memberikan bimbingan dan bantuan kepada guru kelas umum.

    Mereka juga melatih para professional yang ditugaskan di

    kelas umum untuk membantu siswa penyandang hambatan.

    2.1.1.6 Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pelaksanaan LIRP

    Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (2009:

    3) menyatakan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam pelaksanaan

    lingkungan inklusi ramah terhadap pembelajaran (LIRP) antara Lain:

    1. Menyusun, mensosialisasikan, menerapkan pendidikan Dan kebijakan pendidikan inklusi seperti sumber daya manusia,

    dana, kurikulum dan perangkat pembelajaran lainnya.

    2. Memfasilitasi proses pelaksanaan pendidikan inklusi di lingkungan inklusi di semua lingkungan pembelajaran.

    3. Memperluas akses pendidikan Bagi anak berkebutuhan khusus.

    4. Membuka peluang pada pihak terkait untuk berkontribusi dalam LIRP.

    2.1.1.7 Peran dan Tanggung Jawab Guru dalam Pelaksanaan LIRP

    Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (2009:

    4) menyatakan bahwa peran dan tanggung jawab guru dalam mendukung

    pelaksanaan LIRP, antara Lain:

    1. Berkomunikasi secara berkala dengan keluarga, yaitu orang tua wali tentang kemajuan anak mereka dalam belajar dan

    berprestasi.

    2. Bekerjasama dengan masyarakat untuk menjaring anak yang tidak bersekolah, mengajak dan memasukkannya ke sekolah.

  • 16

    3. Menjelaskan manfaat dan tjuan LIRP kepada orang tua peerta didik.

    4. Mempersiapkan anak agar berani berinteraksi dengan masyarakat sebagai bagian dari kurikulum, seperti

    mengunjungi museum, memperingati hari-hari besar

    keagamaan dan nasional.

    5. Mengajak orang tua dan angota masyarakat terlibat dalam kelas.

    6. Mengkomunikasikan LIRP kepada orang tua wali peserta didik, komite sekolah serta pemimpin dan anggota mayarakat.

    7. Bekerjasama dengan para orang tua untuk menjadi penyuluh LIRP di lingkungan sekolah dan masyarakat.

    2.1.1.8 Peran dan Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pelaksanaan LIRP

    Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (2009:

    4) menyatakan bahwa peran dan tanggung jawab orang tua dalam mendukung

    pelaksanaan LIRP, antara Lain:

    1. Mendukung pelaksanaan LIRP. 2. Berpartisipasi akif dalam mensosialisasikan LIRP di berbagai

    komunitas.

    3. Bersedia menjadi narasumber sesuai keahlian dan profesi yang dimiliki.

    4. Menginformasikan nilai-nilai positif dari pelaksanaan LIRP kepada masyarakat scara luas.

    5. Bekerjasama dengan anggota komite sekolah atau pihak lain dalam pengadaan sumber belajar.

    6. Aktif bekerjasama dengan guru dalam proses pembelajaran anak beekebutuhan khusus.

    7. Aktif dalam memberikan ide/gagasan dalam rangka peningkatan kulitas pembelajaran.

    2.1.2 Anak Berkebutuhan Khusus

    2.1.2.1 Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

    Hidayat (2009) Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah mereka yang

    mempunyai kebutuhan, baik permanen maupun sementara, yang disebabkan oleh

  • 17

    kondisi sosial-emosi, dan/atau, kondisi ekonomi dan/atau, kondisi politik

    dan/atau, kelainan bawaan maupun yang didapat kemudian

    Suparno dkk (2007: 1-1) Anak-anak berkebutuhan khusus adalah anak-

    anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang

    membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya. Di lain pihak,

    Delphie (2009: 2) menyatakan bahwa Anak dengan Kebutuhan Khusus (ABK)

    merupakan istilah lain untuk menggantikan kata Anak Luar Biasa (ALB) yang

    menandakan adanya kelainan khusus. ABK mempunyai karakteristik yang

    berbeda antara satu dengan yang lainnya.

    Anak berkebutuhan khusus (Direktorat Pendidikan Luar Biasa: 2004)

    adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya secara

    signifikan (bermakna) mengalami kelainan (fisik, mental intelektual, social,

    emosional) dibandingkan dengan anak-anak lain, sehingga mereka memerlukan

    pelayanan khusus. Sedangkan Puri (2004: 9) mendefinisikan bahwa Anak

    berkebutuhan khusus adalah anak dengan kondisi kemampuan fisik dan atau

    mental di bawah kemampuan rata-rata anak-anak normal, sehingga dibutuhkan

    metode pendekatan atau metode penyampaian tersendiri untuk anak-anak tersebut.

    Berdasarkan batasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa anak

    berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam

    kondisi fisik atau mental sehingga membutuhkan pelayanan khusus untuk metode

    penyampian. Dalam penelitian ini anak berkebutuhan khusus dititik beratkan pada

    anak-anak dengan kondisi kemampuan fisisk atau mental di bawah kemampuan

    rata-rata anak normal.

  • 18

    2.1.2.2 Faktor Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus

    Menurut Suparno dkk (2007) beberapa faktor penyebab anak

    berkebutuhan khusus antara lain:

    1. Faktor heriditer Faktor herediter sering terjadi karena kelebihan

    kromosom yang diakibatkan oleh kesamaan gen pada

    pasangan suami istri. Selain itu, usia ibu sewaktu hamil juga

    sangat berpengaruh terhadap kelahiran anak. Usia ibu saat

    hamil di atas 35 tahun memiliki resiko yang cukup tinggi

    untuk melahirkan anak berkebutuhan khusus.

    2. Faktor infeksi Merupakan suatu penyebab dikarenakan adanya berbagai

    serangan penyakit infeksi yang dapat menyebabkan baik

    langsung maupun tidak langsung terjadinya kelainan seperti

    TORCH (toksoplasma, rubella, cytomegalo virus, herpes),

    polio, meningitis dan sebagainya.

    3. Faktor keracunan Keracunan dapat secara langsung pada anak, maupun

    melalui ibu hamil. Munculnya FAS (fetal alcohol syndrome)

    adalah keracunan janin yang disebabkan ibu mengkonsumsi

    alcohol yang berlebihan, kebiasaan kaum ibu mengkonsumsi

    obat bebas tanpa pengawasan dokter merupakan potensi

    keracunan pada janin. Jenis makanan yang dikonsumsi bayi

    yang banyak mengandung zat-zat berbahaya merupakan salah

    satu penyebab. Adanya polusi pada berbagai sarana kehidupan

    terutama pencemaran udara dan air.

    4. Trauma Kejadian tak terduga yang langsung pada anak seperti

    proses kelahiran yang sulit sehingga memerlukan pertolongan

    yang mengandung resiko tinggi mengakibatkan kekurangan

    oksigen pada otak. Benacana alam juga bisa menyebabkan

    anak memiliki kebutuhan khusus, seperti cacat fisik dan

    gangguan mental.

    5. Kekurangan gizi Masa tumbuh kembang sangat berpengaruh terhadap

    tingkat kecerdasan anak terutama pada 2 tahun pertama

    kehidupan. Kekurangan gizi dapat terjadi karena adanya

    kelainan metabolism maupun penyakit parasit pada anak,

    seperti cacingan.

    Jika dipandang dari sudut waktu terjadinya kelainan dapat dibagi

    menjadi:

    a. Pre-natal

  • 19

    Terjadinya kelainan anak semasa dalam kandungan atau

    sebelum proses kelahiran. Misalnya seorang ibu yang tengah

    hamil muda keracunan alcohol.

    b. Peri-natal Peri-nattal sering juga disebut natal waktu terjadinya

    kelainan pada saat proses kelahiran dan menjelang serta sesaat

    setelah proses kelahiran.

    c. Pasca-natal Terjadinya kelainan setelah anak dilahirkan sampai

    dengan sebelum usia perkembangan selesai (kurang lebih usia

    18 tahun).

    2.1.2.3 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

    Menurut Suparno dkk (2007) anak berkebutuhan khusus klasifikasikan

    menjadi 3 yaitu anak berkelainan fisik, anak berkelainan mental emosional dan

    anak berkelainan akademik.

    1. Anak berkelainan fisik Anak berkelainan fisik dibedakan menjadi 3 yaitu anak

    tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa.

    a. Tunanetra adalah anak-anak yang mengalami kelainan atau gangguan fungsi penglihatan, yang memiliki tingkatan atau

    klasifikasi yang berbeda. Berdasarkan tingkat ketajaman

    penglihatan dapat diklasifikasikan menjadi low vision (kurang

    lihat, ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m) dan the blind (berat,

    ketajaman penglihatan kurang dari 6/60m). sedangkan

    berdasarkan adaptasi pedagogis dapat diklasifikasikan menjadi

    kemampuan melihat sedang, ketidakmampuan melihat taraf

    berat dan ketidakmampuan taraf sangat berat.

    b. Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian organ pendengaran atau telinga seorang anak.

    Kondisi ini menyebabkan mereka mengalami hambatan atau

    keterbatasan dalam merespon bunyi-bunyi yang ada di

    sekitarnya. Dalam klasifikasi khusus, tunarungu dibedakan

    menjadi tunarungu ringan (tingkat kesulitan 25-45 db),

    tunarungu sedang (tingkat kesulitan 46-70 db), tunarungu berat

    (tingkat kesulitan 71-90 db), dan tunarungu sangat berat

    (tingkat kesullitan lebih dari 90 db).

    c. Tunadakasa adalalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik atau cacat tubuh, yang mencakup kelainan anggota tubuh

    maupun yang mengalami kelainan gerak dan kelumpuhan.

    Berdasarkan tingkat kelainannya diklasifikasikan menjadi

  • 20

    cerebral palsy: ringan, sedang dan berat; berdasarkan letaknya:

    spastic (kekakuan pada sebagian atau seluruh otonya),

    dyskenesia (gerakan tak terkontrol serta terjadi kekakuan pada

    seluruh tubuh yang sulit digerakkan), ataxia (gangguan

    keseimbangan, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi),

    campuran (mengalami kelainan ganda); berdasarkan polio: tipe

    spinal (kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan dan

    kaki), tipe bulbair (kelumpuhan fungsi motorik pada satu saraf

    tepi atau lebih yang menyebabkan adanya gangguan

    pernapasan), tipe bulbispinalis (gangguan antara tipe spinal dan

    bulbair) dan encephalitis (umumnya ditandai dengan demam,

    kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang).

    2. Anak berkelainan mental emosional Anak berkelainan mental emosional dibedakan menjadi

    tunagrahita dan tunalaras.

    a. Tunagrahita, klasifikasi anak tunagrahita didsaarkan berbagai tinjauan, diantaranya berdasarkan kapasitas skor intelektualnya

    (IQ): tunagrahita ringan (IQ 50-70), tunagrahita sedang (IQ 35-

    50), tunagrahita berat (IQ20-35) dan tunagrahita sangat berat

    (IQ di bawah 20). Sedagkan berdasarkan kemampuan akademik

    di bagi menjadi mampudidik, mampulatih dan perlu dirawat.

    b. Tunalaras adalah anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, yang ditunjukkan dalam aktivitas kehidupan sehari-

    hari, baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosialnya.

    Anak tunalaras diklasifikasikan berdasarkan 2 macam, yaitu

    berdasarkan perilakunya dan berdasarkan kepribadiannya.

    Berdasarkan perilakunya: beresiko tinggi (hiperaktif, suka

    berkelahi, memukul, melawan, sulit konsentrasi dan lain-lain),

    beresiko rendah (autism, khawatir, cemas, ketakutan dan lain-

    lain), kurang dewasa (suka berfantasi, berangan-angan, mudah

    dipengaruhi, kaku dan lain-lain), dan agresif (memiliki gang

    jahat, suka mencuri dengan kelompoknya dan lain-lain).

    Sedangkan berdasarkan kepribadiannya diklasifikasikan

    menjadi: kekacauan perilaku, menarik diri, ketidakmatangan

    dan agresi social.

    3. Anak berkelainan akademik Anak berkelaianan akademik dibedakan menjadi anak

    berbakat dan anak berkesulitan belajar.

    a. Anak berbakat adalah anak-anak yang mengalami kelainan intelektual diatas rata-rata. Klasifikasi anak berbakat pada

    umunya dilihat dari tingkat intelegensinya, berdasarkan standar

    Stanford Blnet meliputi: kategori rata-rata tinggi (dengan IQ

    110-119), kategori superior (dengan IQ 120-139), dan kategri

    sangat superior (dengan IQ140-169).

  • 21

    b. Anak berkesulitan belajar merupakan salah satu jenis anak berkebutuhan khusus yang ditandai dengan adanya kesulitan

    untuk mencapai standar kompetensi (prestasi) yang telah

    ditentukan dengan mengikuti pembelajaran konvensional. Anak

    berkesulitan belajar juga sering disebut learning disability.

    Kesulitan belajar perkembangan diklasifikasikan lebih spesifik

    lagi yaitu: kesulitan belajar perkembangan (kesulitan belajar

    pada anak usia di bawah 5 tahun) dan kesulitan belajar

    akademik (kesulitan pada anak pada usia di atas 6 tahun,

    contohnya kesulitan berhitung/diskalkulia, kesulitan

    membaca/disleksia, kesulitan menulis/disgrapia, kesulitan

    berbahasa/dysphasia, tidak terampil/dispraksia).

    2.1.2.4 Dampak Terjadinya Kelainan

    Suparno dkk (2007) mengemukakan bahwa dengan adanya kelainan,

    seorang anak dapat mengalami hambatan yang berakibat pada aspek fisiologis,

    psikologis, dan social.

    1. Dampak fisiologis Dampak fisiologis terutama terjadi pada anak-anak yang

    mengalami kelainan yang berkaitan dengan fisik termasuk

    sensori-motor terlihat pada keadaan fisik penyandang

    kebutuhan khusus kurang mampu mengkoordinasi geraknya.

    Tanda keadaan fisik penyandang berkebutuhan khusus yang

    kurang mampu mengkoordinasi gerak antara lain: kurang

    mampu koordinasi sensori motor, melakukan gerak yang tepat

    dan terarah, serta menjaga kesehatan.

    2. Dampak psikologis Dampak psikologis timbul berkaitan dengan

    kemampuan jiwa lainnya, karena keadaan mental yang labil

    akan menghambat proses kejiwaan dalam tanggapan terhadap

    tuntutan lingkungan.

    3. Dampak sosiologis Dampak sosiologis timbul karena ada hubungannya

    dengan kelompok atau individu di sekitarnya, terutama

    keluarga dan saudara-saudaranya. Kehadiran anak

    berkebutuhan khusus di keluarga menyebabkan berbagai

    perubahan dalam keluarga. Keluarga suatu unit social

    menganggap dengan hadirnya anak berkebutuhan khusus

    merupakan musibah, kesedihan dan beban yang berat. Semua

    masalah di keluarga tersebut merupakan dampak sosiologis

    yang harus ditanggung oleh keluarga.

  • 22

    2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

    Penelitian Istiningsih (2005) berjudul manajemen pendidikan inklusi di

    Sekolah Dasar Negeri Klego 1 Kabupaten Boyolali menyimpulkan bahwa

    berdasarkan manajemen sekolah inklusi di Sekolah Dasar negeri Klego 1 Boyolali

    cukup bagus. Tujuan yang ingin dicapai cukup idial, hal itu tercermin dalam

    manajemen rekrutmen / identifikasi anak yang dilakukan oleh guru dan para

    pembimbing khusus bagi anak yang membutuhkan pelayanan khusus telah

    memperoleh hasil yang cukup bagus. Manajemen kegiatan belajar mengajar /

    perangkat KBM yang mencakup pembelajaran umum seperti halnya sekolah

    reguler yang dipadukan pembelajaran khusus bagi anak yang memerlukan

    pelayanan pendidikan khusus, serta manajemen pemberdayaan masyarakat yang

    dilakukan secara optimal sehingga diperoleh sinergi kerjasama yang baik antara

    pihak sekolah dengan masyarakat.

    Penelitian oleh Barokah (2008) berjudul moralitas peserta didik pada

    pendidikan inklusi menyimpulkan bahwa peserta didik pada usia 6 sampai 12

    tahun yang sederajar dengan peserta didik Sekolah Dasar yang memilki

    kecenderungan untuk menjadi manusia yang bermoral baik terhadap orang tua,

    guru dan teman sebayanya. Fakta dari penelitian memberikan kontribusi bahwa

    pendidikan inklusi adalah wadah pelayangan education for future yang sesuai

    dengan fitrah manusia, yaitu kesucian, tanpa melihhat perbedaan.

    Penelitian Saputra (2011) berjudul perrbedaan daya serap belajar anak

    berkebutuhan khusus dengan anak normal kelas V sekolah dasr inklusi kabupaten

    Grobgan. Dalam penelitian tersebut, meyimpulkan bahwa daya serap siswa

  • 23

    normal di SD inklusi kabupaten Grobogan pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan

    Sosial dan Matematika ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan anak

    berkebutuhan khusus.