Upload
nguyenthien
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Agency Theory (Teori Keagenan)
Agency Theory menjelaskan hubungan antara agen (pihak manajemen suatu
perusahaan) dengan principal (pemilik). Principal merupakan pihak yang
memberikan amanat kepada agen untuk melakukan suatu jasa atas nama principal,
sementara agen adalah yang diberi mandat. Dengan demikian, agen bertindak
sebagai pihak yang berkewenangan mengambil keputusan, sedangkan principal
adalah pihak yang mengevaluasi informasi (Lestari, 2010). Salah satu elemen dari
teori agensi yaitu terdapatnya asimetri informasi dimana agen lebih mengetahui
tentang informasi lingkungan internal perusahaan secara detail dibandingkan
dengan principal atau stakeholder yang hanya mengetahui informasi eksternal
perusahaan yaitu mengenai hasil kinerja dari manajemen.
Efek dari asimetri informasi ini bisa berupa moral hazard, yaitu
permasalahan yang timbul jika agen tidak melaksanakan hal-hal dalam kontrak
kerja, bisa pula terjadi adverse selection, ialah keadaan di mana principal tidak
dapat mengetahui apakah keputusan yang diambil agen benar-benar didasarkan
atas informasi yang diperoleh, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas
(Lestari, 2010).
Menurut Eisenhardt dalam Wendy (2010), teori agensi menggunakan tiga
asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri
(self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk
averse). Pihak agen termotivasi untuk memaksimalkan fee kontraktual yang
diterima sebagai sarana dalam pemenuhan kebutuhan ekonomis dan
psikologisnya. Sebaliknya, pihak prinsipal termotivasi untuk mengadakan kontrak
atau memaksimalkan returns dari sumber daya untuk menyejahterakan dirinya
dengan
profitabilitas yang selalu meningkat.
Menurut Anthony dan Govindarajan (2005), adanya auditor independen
berperan sebagai penengah kedua belah pihak (agent dan principle) yang berbeda
kepentingan. Auditor independen juga berfungsi untuk mengurangi biaya agensi
yang timbul dari perilaku mementingkan diri sendiri oleh agent (manajer), serta
teori agensi digunakan untuk membantu komite audit untuk memahami konflik
kepentingan yang dapat muncul antara pemilik dan manajemen. Sehingga
diharapkan tidak terjadi kecurangan dalam penyusunan laporan keuangan yang
dapat menimbulkan tenggang waktu audit delay yang berkepanjangan.
2.1.2 Laporan Keuangan dan Pelaporan Keuangan
Akuntansi merupakan suatu sistem informasi yang memberikan keterangan
mengenai data ekonomi untuk pengambilan keputusan bagi siapa saja yang
membutuhkannya. Dalam akuntansi, informasi yang dimaksudkan itu disusun
dalam ikhtisar dalam laporan keuangan. Menurut Kieso, Weygandt dan Warfield
(2008), definisi laporan keuangan merupakan sarana utama dimana informasi
keuangan dikomunikasikan dengan pihak luar perusahaan, laporan ini
memberikan sejarah kuantitatif perusahaan dalam satuan uang.
Menurut IAI (2009), tujuan laporan keuangan adalah untuk menyediakan
informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi
keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan
pengguna laporan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Disamping itu, laporan
keuangan juga menunjukkan apa yang telah dilakukan manajemen atau
pertanggungjawaban manajemen atas dasar sumber daya yang dipercayakan
kepadanya. Laporan keuangan menurut IAI (2009) disusun dan disajikan
sekurang-kurangnya setahun sekali untuk memenuhi kebutuhan sejumlah besar
pengguna. Beberapa diantara pengguna ini memerlukan dan berhak untuk
memperoleh informasi tambahan disamping yang tercakup dalam laporan
keuangan.
Komponen laporan keuangan yang lengkap menurut IAI (2009) terdiri atas
komponen-komponen berikut ini (1) Neraca; (2) Laporan Laba Rugi; (3) Laporan
Perubahan Ekuitas; (4) Laporan Arus Kas; dan (5) Catatan atas Laporan
Keuangan. Laporan keuangan harus menerapkan PSAK secara benar disertai
pengungkapan yang diharuskan PSAK dalam catatan atas laporan keuangan.
Informasi lain tetap disajikan untuk menghasilkan penyajian yang wajar walaupun
penyajian tersebut tidak diharuskan oleh PSAK (IAI, 2009).
Laporan keuangan merupakan salah satu dasar dalam pengambilan
keputusan. Oleh karena itu, laporan keuangan memiliki karakteristik kualitatif
yang memiliki hubungan dengan dasar pengambilan keputusan, kebutuhan
pemakai dan keyakinan pemakai terhadap informasi yang digunakan.
Karakteristik kualitas laporan keuangan sebagaimana yang dinyatakan dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (IAI, 2009) No. 1 adalah:
1) Dapat dipahami
Kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuangan
adalah kemudahannya untuk dapat dipahami oleh pengguna. Pengguna
diasumsikan memiliki pengetahuan yang memadai tentang aktivitas
ekonomi dan bisnis, akuntansi, serta kemauan untuk mempelajari
informasi dengan ketekunan yang wajar.
2) Relevan
Agar bermanfaat, informasi harus relevan untuk memenuhi kebutuhan
pengguna dalam proses pengambilan keputusan. Informasi memiliki
kualitas relevan kalau dapat mempengaruhi keputusan ekonomi
pengguna dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu,
masa kini, atau masa depan, menegaskan atau mengoreksi hasil evaluasi
pengguna di masa lalu.
3) Keandalan
Informasi memiliki kualitas andal jika bebas dari pengertian yang
menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan penggunanya
sebagai penyajian yang tulus atau jujur (faithfull representation) dari
yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat
disajikan.
4) Dapat dibandingkan
Pengguna harus dapat membandingkan laporan keuangan perusahaan
antar periode untuk mengidentifikasi kecenderungan (trend) posisi dan
kinerja keuangan. Pengguna juga harus dapat memperbandingkan
laporan keuangan antarperusahaan untuk mengevaluasi posisi keuangan,
kinerja, serta perubahan posisi keuangan secara relatif.
Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan.
Pelaporan keuangan tidak hanya memuat laporan keuangan namun juga cara-cara
lain dalam mengkomunikasikan informasi yang berhubungan, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dengan informasi yang diberikan oleh sistem
akuntansi yaitu informasi mengenai sumber daya, kewajiban, penghasilan
perusahaan, dan lain-lain (Belkaouli, 2006).
2.1.3 Standar Auditing
Definisi audit menurut Arens, Elder, Beasley dan Jusuf (2010)
menjelaskan bahwa pengertian auditing adalah:
“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about
information to determine and report on the degree of correspondence between the
information and established criteria. Auditing should be done by a competent,
independent person”.
Artinya auditing adalah pengumpulan dan penilaian bukti mengenai
informasi untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara informasi
tersebut dan kriteria yang ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang
kompeten dan independen. Sedangkan pengertian audit menurut Mulyadi (2006):
“Suatu proses sistematis untuk mendapatkan dan mencari bukti-bukti
dengan cara objektif yang berkaitan dengan pernyataanperyataan tentang
tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi untuk menentukan kesesuaian
antara pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan
menyampaikan hasilnya kepada pihak yang berkepentingan.”
Menurut Mulyadi (2006) audit dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1) Audit laporan keuangan (financial statement audit)
Audit laporan keuangan adalah audit yang dilakukan oleh auditor
eksternal terhadap laporan keuangan kliennya untuk memberikan
pendapat apakah laporan keuangan tersebut disajikan sesuai dengan
kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.
2) Audit kepatuhan (compliance audit)
Audit kepatuhan bertujuan untuk menentukan apakah yang diperiksa
sesuai dengan kondisi, peraturan dan undang-undang tertentu. Kriteria-
kriteria yang ditetapkan dalam audit kepatuhan berasal dari sumber-
sumber yang berbeda.
3) Audit operasional (operational audit)
Audit operasional merupakan penelahaan secara sistematik aktivitas
operasi organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Dalam
audit operasional, auditor diharapkan melakukan pengamatan yang
obyektif dan analisis yang komprehensif terhadap operasional-
operasional tertentu.
PSA No. 02 (IAI, 2009) menyatakan bahwa tujuan audit umum atas laporan
keuangan oleh auditor independen adalah untuk menyatakan pendapat atas
kewajaran dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus
kas yang sesuai dengan prinisip akuntansi yang berterima umum. Laporan auditor
merupakan sarana bagi auditor untuk menyatakan pendapatnya, atau apabila
keadaan mengharuskan untuk menyatakan tidak memberikan pendapat, ia harus
menyatakan apakah auditnya telah dilaksanakan berdasarkan standar auditing
yang telah ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia.
Setiap tahap audit atas laporan keuangan yang dilakukan oleh auditor
independen harus ditetapkan standar auditing. Standar auditing merupakan suatu
kaidah agar mutu auditing dapat dicapai sebagaimana mestinya. Secara lengkap,
seperti yang tercantum di dalam Standar Profesional Akuntan Publik, PSA No. 01
(IAI, 2009) menyatakan bahwa standar auditing yang telah ditetapkan dan
disahkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia adalah sebagai berikut:
1) Standar Umum
a. Audit harus dilakukan oleh seorang atau lebih yang memiliki
keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor.
b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan,
independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib
menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan
seksama.
2) Standar Pekerjaan Lapangan
a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan
asisten harus disupervisi dengan semestinya.
b. Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus
diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat dan
lingkup pengujian yang akan dilakukan.
c. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi,
pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar
yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan
auditan.
3) Standar Pelaporan
a. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah
disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berterima umum.
b. Laporan audit harus menunjukkan keadaan yang di dalamnya prinsip
akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan
laporan keuangan periode berjalan dalam hubungannya dengan
prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya.
c. Pengungkapan informasi dalam laporan keuangan harus dipandang
memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.
d. Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai
laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa
pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara
keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan.
Dalam semua hal yang mana auditor dikaitkan dengan laporan
keuangan, laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas
mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada, dan tingkat tanggung
jawab yang dipikulnya.
2.1.4 Audit Delay
Menurut Lawrence dan Bryan (1998) dalam Rustiana (2007)
mendefinisikan Audit Delay adalah lamanya hari yang dibutuhkan auditor untuk
menyelesaikan pekerjaan audit yang diukur dari tanggal penutupan tahun buku
hingga tanggal diterbitkannya laporan audit. Sedangkan Menurut Ashton et al.
(1987) dalam penelitian Kartika (2009), Audit Delay adalah lamanya waktu
penyelesaian audit dari akhir tahun fiskal perusahaan sampai tanggal laporan audit
dikeluarkan.
Keterlambatan waktu laporan keuangan auditan yang disampaikan oleh
auditor kepada perusahaan dapat mempengaruhi kualitas informasi dari laporan
tersebut karena panjangnya waktu tunda audit menunjukkan bahwa informasi
yang diberikan tidak up to date dan informasi yang lama menunjukkan bahwa
kualitas dari laporan keuangan auditan tersebut buruk (Jensen, 2012).
Kerelevansian suatu laporan keuangan auditan dapat diperoleh apabila laporan
keuangan auditan tersebut dapat diselesaikan secara tepat waktu pada saat
dibutuhkan (Estrini, 2013).
Lamanya proses penyelesaian audit dapat mempengaruhi audit delay dalam
menyampaikan laporan keuangan auditan kepada publik sehingga dapat
berdampak buruk terhadap reaksi pasar serta menyebabkan ketidakpastian dalam
hal pengambilan keputusan ekonomi khususnya bagi pengguna laporan keuangan
(Hesti, 2011). Untuk melihat ketepatan waktu dalam suatu penelitian biasanya
melihat keterlambatan (lag). Dyer dan Mchugh (1975), menggunakan tiga kriteria
keterlambatan dalam penelitiannya:
1) Preliminary lag yaitu hari antara tanggal laporan keuangan sampai
penerimaan laporan akhir preliminary oleh bursa.
2) Auditor’s report lag yaitu interval jumlah hari antara tanggal laporan
keuangan sampai tanggal laporan auditor ditandatangani. Audit delay
juga dikenal dengan istilah audit report lag. Kriteria inilah yang
digunakan pada penelitian ini.
3) Total lag yaitu interval jumlah hari antara tanggal laporan keuangan
sampai tanggal penerimaan laporan dipublikasikan di bursa.
Dalam penelitian kali ini bertujuan untuk mengkonfirmasi ulang dari
penelitian sebelumnya dan akan mengajukan empat faktor yang mempengaruhi
audit delay yaitu profit abilitas usaha, ukuran perusahaan, ukuran
perusahaan dan debt to equity ratio.
2.1.5 Opini Auditor
Tahap akhir dari audit laporan keuangan adalah tahap pelaporan audit. Pada
tahap ini seorang auditor akan memberikan pendapatnya atas laporan keuangan
yang telah diauditnya. Ada lima tipe pendapat laporan audit yang diterbitkan oleh
auditor (Mulyadi, 2006):
1) Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion)
Pendapat wajar tanpa pengecualian diberikan oleh auditor jika tidak
terjadi pembatasan dalam lingkup audit dan terdapat pengecualian yang
signifikan mengenai kewajaran dan penerapan prinsip akuntansi
berterima umum dalam penyusunan laporan keuangan, konsistensi
penerapan akuntansi berterima umum, serta pengungkapan yang
memadai dalam laporan keuangan.
2) Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian dengan Bahasa Penjelas
(Unqualified Opinion Report with Explanatory Language)
Pendapat ini diberikan apabila audit telah dilaksanakan sesuai dengan
standar auditing. Penyajian pelaporan keuangan sesuai dengan prinsip
akuntansi yang diterima umum, tetapi terdapat keadaan tertentu yang
mengharuskan auditor menambahkan suatu paragraph penjelasan
(penjelasan lain) laporan audit, meskipun tidak mempengaruhi pendapat
wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan.
3) Pendapat Wajar dengan Pengecualian (Qualified Opinion)
Auditor memberikan opini wajar dengan pengecualian apabila lingkup
audit dibatasi oleh klien, auditor tidak dapat melaksanakan prosedur
audit yang penting atau tidak dapat memperoleh informasi audit yang
penting karena kondisi-kondisi yang berada di luar kuasa klien maupun
auditor, laporan keuangan tidak sesuai dengan akuntansi yang berterima
umum digunakan dalam penyusunan laporan keuangan tidak ditetapkan
secara konsisten.
4) Pendapat Tidak Wajar (adverse opinion)
Akuntan memberikan pendapat tidak wajar jika laporan keuangan klien
tidak disusun berdasarkan prinsip akuntansi berterima umum sehingga
tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, perubahan
ekuitas, dan arus kas perusahaan klien. Auditor harus menjelaskan alasan
pendukung pendapat tidak wajar, dan dampak utama dari hal yang
menyebabkan pendapat diberikan terhadap laporan keuangan.
5) Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion atau no
opinion)
Pernyataan ini layak diberikan, apabila ada pembatasan lingkup audit
yang sangat material baik oleh klien maupun karena kondisi tertentu dan
auditor tidak independen terhadap klien.
2.1.6 Profitabilitas
Profitabilitas menunjukkan keberhasilan perusahaan dalam memperoleh
keuntungan. Oleh karena itu, tingkat profitabilitas yang rendah ditengarai
berpengaruh terhadap audit delay. Hal tersebut berkaitan dengan akibat yang
dapat ditimbulkan pasar terhadap pengumuman rugi oleh perusahaan. Penelitian
oleh Naim (1998) memperlihatkan bahwa tingkat profitabilitas yang lebih rendah
memacu kemunduran publikasi laporan keuangan. Demikian pula Carslaw dan
Kaplan (1991) memaparkan perusahaan yang melaporkan kerugian mungkin akan
meminta auditor untuk mengatur waktu audit yang lebih lama ketimbang
biasanya.
Ditemukan oleh Owusu-Ansah (2000), perusahaan yang memiliki hasil
gemilang (good news) akan melaporkan lebih tepat waktu dibandingkan dengan
perusahaan yang mengalami kerugian (bad news). Ungkapan senada dikemukakan
dalam penelitian Annisa (2004), perusahaan dengan hasil yang baik akan
melaporkan lebih cepat dari perusahaan yang gagal operasi atau merugi.
Berlawanan dengan pemaparan di atas, Ashton (1987) menyebutkan profitabilitas
bukanlah faktor yang signifikan mempengaruhi audit delay.
Indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat profitabilitas suatu
perusahaan dalam penelitian ini adalah return on asset (ROA), rasio yang
mengukur efektivitas pemakaian total sumber daya alam oleh perusahaan. Alasan
pemilihan ROA yaitu:
1) Sifatnya yang menyeluruh, dapat digunakan untuk mengukur efisiensi
penggunaan modal, efisiensi produk, dan efisiensi penjualan
2) Apabila perusahaan mempunyai data industri, ROA dapat digunakan
untuk mengukur rasio industri sehingga dapat dibandingkan dengan
perusahaan lain
3) ROA dapat digunakan untuk mengukur profitabilitas masing-masing
produk yang dihasilkan oleh perusahaan
4) ROA dapat digunakan untuk mengukur efisiensi kinerja masing-masing
divisi
5) ROA dapat digunakan sebagai fungsi kontrol dan fungsi perencanaan.
Menurut Respati (2004), penggunaan ROA sebagai indikator profitabilitas
perusahaan berkaitan dengan ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan
dipakai dalam penelitian Dyer dan McHugh (1975) dan Na’im (1998). Dari uraian
di atas tampak bahwa tingkat profiabilitas suatu perusahaan mempengaruhi
rentang waktu penyelesaian audit dan pengumuman laporan keuangan tahunan.
2.1.7 Debt to Equity Ratio
Debt to equity ratio merupakan salah satu financial leverage. Ratio
Leverage merupakan alat untuk mengukur tingkat aset perusahaan yang dibiayai
oleh penggunaan utang (Munawir, 2010). Debt to equity ratio digunakan untuk
mengukur tingkat leverage (penggunaan utang) terhadap total shareholders
equity yang dimiliki perusahaan. Atau dengan kata lain debt to equity ratio
adalah rasio yang menggambarkan perbandingan utang dan ekuitas dalam
pendanaan perusahaan dan menunjukan kemampuan modal sendiri perusahaan
tersebut untuk memenuhi seluruh kewajibannya. Semakin tinggi debt to equity
ratio, semakin besar perusahaan menggunakan modal dari kreditur. Selain itu
semakin besar pula risiko keuangan bagi kreditur maupun pemegang saham
(Sari, 2011).
Proporsi utang juga dapat mempengaruhi lamanya audit delay. Terdapat
dua logika yang mendasari hubungan proporsi utang dengan audit delay. Pertama,
porporsi utang berhubungan positif dengan audit delay. Dalam Owusu-Ansah
(2000) disebutkan beberapa alasan yang mendasari hubungan ini. Pertama,
proporsi utang yang tinggi merupakan sinyal perusahaan berada dalam kesulitan
keuangan. Kesulitan keuangan merupakan berita buruk yang akan mempengaruhi
kondisi perusahaan di mata masyarakat. Pihak manajemen akan cenderung
menunda penyampaian laporan keuangan yang berisi berita buruk (bad news).
Kedua, perusahaan dengan utang yang besar cenderung mendesak auditor untuk
memulai dan menyelesaikan audit lebih cepat dibanding perusahaan dengan utang
yang lebih kecil. Hal ini dikarenakan perusahaan tersebut dimonitor oleh para
stakeholder yang pada dasarnya ingin melihat kinerja perusahan dalam suatu
periode serta mengawasi tingkat risiko dalam pengembalian modal mereka. Selain
itu, laporan keuangan yang tepat waktu memungkinkan stakeholder untuk menilai
ulang kinerja keuangan jangka panjang dan posisi perusahaan. Proporsi utang
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah debt to equity ratio. Pihak manajemen
cenderung akan menunda penyampaian laporan keuangan yang berisi berita buruk
karena waktu yang ada akan digunakan untuk menekan debt to equity ratio
serendah-rendahnya (Sulistyo, 2010). Dalam penelitian Sulistyo (2010), Santoso
(2012) dan Sutapa dan Wirakusuma (2012) audit delay tidak dipengaruhi oleh
debt to equity namun berbeda dengan hasil penelitian Sari (2011) debt to equity
ratio memiliki pengaruh terhadap audit delay hal tersebut sejalan dengan
penelitian Kartika (2009) yang menghasilkan bahwa debt to equity ratio
berpengaruh terhadap audit delay.
2.1.8 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan merupakan nilai yang menunjukkan besar kecilnya
perusahaan. Besar kecilnya ukuran perusahaan dapat didasarkan pada total nilai
asset, total penjualan, jumlah tenaga kerja dan sebagainya. Semakin besar nilai
item-item tersebut maka semakin besar pula ukuran perusahaan itu (Saputri,
2012).
UU Nomor 20 Tahun 2008 mengklasifikasikan ukuran perusahaan ke
dalam empat kategori yaitu usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha
besar. Pengklasifikasian ukuran perusahaan tersebut didasarkan pada total aset
yang dimiliki dan total penjualan tahunan perusahaan tersebut. Adapun kriteria
ukuran perusahaan yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 diuraikan dalam
Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Kriteria Ukuran Perusahaan
Ukuran Perusahaan
Kriteria
Assets (tidak termasuk
tanah dan bangunan
tempat usaha)
Penjualan Tahunan
Usaha Mikro Maksimal 50 juta Maksimal 300 juta
Usaha Kecil > 50 juta - 500 juta > 300 juta - 2,5 M
Usaha Menengah > 500 juta - 10 M >2,5 M - 50 M
Usaha Besar > 10 M > 50 M
Sumber :UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM
Perusahaan besar sering beragumen untuk lebih cepat dalam
menyampaikan laporan keuangan karena beberapa alasan. Pertama, perusahaan
besar memiliki lebih banyak sumber daya, lebih banyak staf akuntansi dan sistem
informasi yang canggih dan memiliki sistem pengendalian intern yang kuat.
Perusahaan besar mempunyai sistem pengendalian internal yang baik sehingga
dapat mengurangi tingkat kesalahan dalam penyajian laporan keuangan
perusahaan sehingga memudahkan auditor dalam melakukan pengauditan laporan
keuangan. Kedua, perusahaan besar mendapat pengawasan yang lebih dari
investor serta lebih menjadi sorotan publik. Secara rinci, perusahaan besar
seringkali diikuti oleh sejumlah besar analis yang selalu mengharapkan informasi
yang tepat waktu untuk memperkuat maupun meninjau kembali harapan-harapan
mereka. Perusahaan besar berada di bawah tekanan untuk mengumumkan laporan
keuangannya tepat waktu untuk menghindari adanya spekulasi dalam
perdagangan saham perusahaannya (Sulistyo, 2010).
Pada penelitian Kartika (2009), Purnamasari (2012) dan Sutapa dan
Wirakusuma (2012) ukuran perusahaan diukur dengan menggunakan total
asset/total aktiva yang hasilnya menunjukkan bahwa ukuran perusahaan memiliki
pengaruh terhadap audit delay begitu pula dengan penelitian Frildawati (2009)
ukuran perusahaan diukur dengan total aktiva, baik aktiva lancar maupun aktiva
tidak lancar yang dimiliki oleh perusahaan yang hasilnya ukuran perusahaan
berpengaruh terhadap audit delay.
2.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara atas pokok permasalahan yang
akan diuji kebenarannya. Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, teori-
teori yang mendukung, dan hasil penelitian sebelumnya, maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah:
2.2.1 Pengaruh Opini Auditor terhadap Audit Delay
Penelitian Ashton (1987) dalam Sulthoni (2012) menyatakan bahwa
perusahaan yang diberikan qualified opinion cenderung memiliki audit delay yang
lebih panjang, karena secara logika dapat dikatakan bahwa auditor membutuhkan
waktu dan usaha untuk mencari prosedur audit ketika mengkonfirmasi kualifikasi
audit. Pendapat unqualified opinion umumnya diberikan kepada perusahaan yang
terdaftar di BEI guna menunjang pelaporan hasil kinerja perusahaan. Hasil
penelitian ini didukung oleh penelitian Subekti dan Widiyanti (2004) dan Haron
dkk. (2006).
Berbeda dengan hasil penelitian di atas, Wirakusuma (2004) menyatakan
bahwa perusahaan yang menerima pendapat wajar tanpa pengecualian maupun
wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelas membutuhkan waktu audit
lebih lama dibanding opini lainnya. Penelitian Halim (2010) bahkan tidak
menemukan adanya pengaruh jenis opini auditor terhadap audit delay. Dari
penjelasan di atas, hipotesis yang dapat dirumuskan adalah:
H1 : Opini auditor berpengaruh terhadap audit delay
2.2.2 Pengaruh Profitabilitas terhadap Audit Delay
Profitabilitas suatu perusahaan mencerminkan tingkat efektivitas yang
dicapai oleh suatu operasional perusahaan (Saleh dan Susilowaty, 2004). Terdapat
beberapa cara untuk menilai kinerja suatu perusahaan salah satunya dengan
mengamati tingkat profitabilitasnya. Untuk menilai tingkat profitabilitas suatu
perusahaan dapat dilihat dari net profit (laba/ rugi bersih sesudah pajak)
(Srimindarti, 2008). Profitabilitas merupakan indikator keberhasilan kinerja suatu
perusahaan untuk menghasilkan laba. Semakin tinggi tingkat profitabilitas suatu
perusahaan, maka laporan keuangan yang dihasilkan perusahaan tersebut
mengandung berita baik (good news). Dalam penelitian Subekti dan Widiyanti
(2004) mengatakan bahwa jika perusahaan menghasilkan tingkat profitabilitas
yang lebih tinggi maka audit delay akan lebih pendek dibandingkan perusahaan
dengan tingkat profitabilitas yang lebih rendah. Profitabilitas perusahaan erat
hubungannya dengan informasi berita baik atau berita buruk dari laporan
keuangan. Jika perusahaan memiliki tingkat laba yang tinggi maka akan lebih
cepat menerbitkan laporan keuangannya daripada perusahaan yang tingkat
labanya rendah. Perusahaan yang mengalami rugi menunjukkan kegagalan
keuangan perusahaan maupun kemungkinan terjadinya kecurangan manajemen
mengenai informasi tentang laba perusahaan (Carslaw dan Kaplan, 1991; dalam
Subekti dan Widiyanti, 2004), sehingga auditor akan cenderung lebih berhati-hati
selama proses audit untuk mendeteksi terjadinya hal tersebut. Akibatnya, audit
delay akan lebih lama pada perusahaan yang mengalami rugi. Sebaliknya,
perusahaan yang mengalami laba akan berharap auditor melaksanakan penugasan
audit dengan tepat waktu, sehingga laporan keuangan dapat diumumkan kepada
publik secepatnya (Sagita, 2011). Dengan demikian, audit delay akan lebih
singkat pada perusahaan yang mengalami laba (Iskandar dan Trisnawati, 2010).
Sama halnya dengan Petronila dan Mukhlasin (2013) melakukan penelitian
dengan menggunakan data laporan keuangan perusahaan dan data tanggal
penyampaian laporan keuangan perusahaan kepada Badan Pengawas Pasar Modal
periode tahun 2000. Penelitian ini menunjukkan bahwa profitabilitas perusahaan
dapat menjelaskan ketepatan waktu pelaporan laporan keuangan dan opini audit
mempengaruhi interaksi antara profitabilitas perusahaan dan ketepatan waktu
pelaporan. Lain halnya dengan penelitian Rolinda (2007) yang hasil penelitiannya
menunjukkan profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap audit delay.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H2: Profitabilitas berpengaruh terhadap audit delay
2.2.3 Pengaruh Debt to Equity Ratio terhadap Audit Delay
Porsi debt to equity ratio yang tinggi merupakan sinyal perusahaan berada
dalam kesulitan keuangan yang mencerminkan tingginya risiko keuangan.
Kesulitan keuangan perusahaan merupakan berita buruk yang akan mempengaruhi
kondisi perusahaan di mata publik. Pihak manajemen cenderung akan menunda
penyampaian laporan keuangan yang berisi berita buruk karena waktu yang ada
akan digunakan untuk menekan debt to equity ratio serendah rendahnya (Sulistyo,
2010). Wirakusuma (2004) berpendapat bahwa perusahaan dengan debt to equity
ratio yang tinggi memiliki rentang waktu yang lebih lama dalam
mempublikasikan laporan keuangannya. Penelitian Sulistyo (2010), Santoso
(2012), dan Sutapa dan Wirakusuma (2012), menghasilkan bahwa debt to equity
ratio tidak berpengaruh terhadap audit delay. Sedangkan hasil dari penelitian Sari
(2011), debt to equity ratio berpengaruh terhadap audit delay. Dari pernyataan
tersebut, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H3 : Debt to equity ratio berpengaruh terhadap audit delay
2.2.4 Moderasi Ukuran Perusahaan pada pengaruh Opini Auditor
terhadap Audit Delay
Ukuran perusahaan merupakan fungsi dari kecepatan penyampaian laporan
keuangan karena perusahaan yang besar cenderung memiliki audit delay yang
lebih pendek dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil, karena
perusahaan besar diperhatikan oleh pihak investor, kreditor dan masyarakat yang
membutuhkan laporan keuangan untuk keputusan bisnisnya sehingga perusahaan
besar dituntut untuk melaporkan laporan keuangannya lebih cepat. Bagi
perusahaan besar yang menerima pendapat unqualified opinion pada perusahaan
yang mengalami profitabilitas tinggi akan berusaha mempercepat penerbitan
laporan auditan karena itu adalah berita baik buat mereka sehingga audit delay
yang dialami oleh perusahaan lebih cepat. Tidak menutup kemungkinan bagi
perusahaan berskala kecil untuk menyelesaikan audit dengan tepat waktu. Jika
perusahaan berskala kecil memiliki sistem pengendalian internal dan kinerja
manajemen yang baik maka perusahaan tersebut dapat melaporkan laporan
keuangannya tepat waktu, sehingga tidak memerlukan waktu audit yang lebih
panjang.
Namun tidak jarang pula perusahaan besar ataupun perusahaan kecil yang
masih memiliki sistem pengendalian internal operasional yang kurang baik. Hal
ini akan berimbas pada hasil yang akan dicapai oleh perusahaan. Jika kegiatan
operasional perusahaan tidak dijalankan dengan baik, maka hasil yang diperoleh
tidak maksimal. Oleh karena itu, laporan manajemen ataupun laporan keuangan
dari hasil kinerja tersebut tentunya akan berisi banyak manipulasi data agar dalam
laporan tersebut mencermikan kondisi perusahaan yang sehat. Jika laporan
tersebut berisikan berita bad news, baik perusahaan besar ataupun perusahaan
kecil bisa saja menerima qualified opinion atas audit laporan keuangannya.
Tentunya setiap perusahaan tidak ingin mempublikasikan bad news atas laporan
keuangannya, maka hal ini akan memicu adanya negosiasi dengan klien atau
konsultasi dengan partner audit yang lebih senior sehingga memerlukan waktu
audit yang lebih panjang. Berdasarkan hal itu, maka dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H4 : Ukuran perusahaan memoderasi pengaruh opini auditor terhadap audit
delay
2.2.5 Moderasi Ukuran Perusahaan pada pengaruh Profitabilitas terhadap
Audit Delay
Ukuran perusahaan dapat dinilai dari beberapa segi. Besar kecilnya ukuran
perusahaan dapat didasarkan pada total nilai aset, total penjualan, jumlah tenaga
kerja dan sebagainya. Semakin besar nilai item-item tersebut maka semakin besar
pula ukuran perusahaan itu (Purnamasari, 2012). Keputusan Ketua Bapepam-LK
No. Kep. 11/PM/1997 menyebutkan perusahaan kecil dan menengah berdasarkan
aktiva (kekayaan) adalah badan hukum yang memiliki total aktiva tidak lebih dari
seratus milyar, sedangkan perusahaan besar adalah badan hukum yang total
aktivanya diatas seratus milyar (Yuliyanti, 2010). Manajemen dengan skala besar
cenderung memiliki lebih banyak sumber daya, lebih banyak staf akuntansi dan
sistem informasi yang canggih dan memiliki sistem pengendalian intern yang
kuat. Manajemen dengan skala besar juga cenderung diberikan insentif untuk
mempercepat penerbitan laporan keuangan auditan disebabkan perusahaan
berskala besar dimonitor secara ketat oleh investor, pengawas permodalan dan
pemerintah sehingga cenderung menghadapi tekanan eksternal yang lebih tinggi
untuk mengumumkan laporan keuangan auditan lebih awal. Pada perusahaan yang
mengalami profitabilitas tinggi akan berusaha mempercepat penerbitan laporan
auditan karena itu adalah berita baik buat mereka sehingga audit delay yang
dialami oleh perusahaan lebih cepat.
Namun apabila suatu perusahaan berskala besar tidak memiliki sistem
pengendalian internal yang baik, besar kemungkinan kegiatan operasional
perusahaan tidak dapat dijalankan dengan baik dan maksimal sehingga akan
berpengaruh pada tingkat profitabilitas perusahaan yang juga tidak dapat dicapai
dengan maksimal. Perusahaan yang mengalami kerugian atau tingkat
profitabilitasnya rendah biasanya akan meminta auditor untuk memperlama waktu
auditnya dibandingkan biasanya sehingga akan memperpanjang audit delay
pelaporan laporan audit tersebut (Wirakusuma, 2004).
Bagi perusahaan kecil jika mempunyai sistem manajemen yang baik dan
mampu melaksanakan kegiatan operasional dengan maksimal dengan sumber
daya yang dimiliki, tentunya akan mencapai tujuan perusahaan dan menghasilkan
profit yang tinggi sehingga auditor tidak memerlukan waktu yang lama dalam
melaksanakan proses audit. Jika perusahaan kecil tersebut mampu meningkatkan
kinerja perusahaannya pada setiap periodenya, maka suatu perusahaan kecil akan
dapat berkembang menjadi suatu perusahaan besar. Begitu pula sebaliknya, jika
perusahaan kecil tidak mampu memaksimalkan kinerja dari sumber daya yang
dimiliki, tentunya perusahaan tersebut akan sulit untuk berkembang dimasa
mendatang karena tidak mampu meningkatkan profit di setiap periodenya.
Auditor cenderung memerlukan waktu yang lebih lama untuk melakukan audit
karena `terdapat lebih banyak pertimbangan dalam pelaksanaan proses audit.
Berdasarkan analisis tersebut, maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H5 : Ukuran perusahaan memoderasi pengaruh profitabilitas terhadap audit
delay
2.2.6 Moderasi Ukuran Perusahaan pada pengaruh Debt to Equity Ratio
terhadap Audit Delay
Setiap perusahaan membutuhkan dana untuk menjalankan aktivitas
operasionalnya, sehingga dibutuhkan peran manajemen dalam membuat
keputusan pendanaan yang tepat untuk perusahaan (Prabandari, 2010). Perusahaan
berskala besar cenderung memerlukan dana lebih besar dalam menjalankan
kegiatan operasional perusahaan jika dibandingkan dengan perusahaan skala kecil.
Dana yang diperlukan oleh perusahaan bersumber dari pemilik perusahaan
maupun dari pinjaman. Debt to equity ratio menunjukkan kemampuan modal
sendiri dalam membiayai utang yang dimiliki perusahaan. Hutang merupakan
salah satu aspek yang menjadi dasar penilaian bagi investor untuk mengukur
kondisi keuangan. Tingginya debt to equity ratio bagi perusahaan skala besar
maupun perusahaan berskala kecil mencerminkan tingginya risiko keuangan
perusahaan. Risiko keuangan perusahaan yang tinggi mengindikasikan bahwa
perusahaan mengalami kesulitan keuangan (financial distress) akibat kewajiban
yang tinggi. Kesulitan keuangan perusahaan merupakan berita buruk yang akan
mempengaruhi kondisi perusahaan di mata publik. Pihak manajemen cenderung
akan menunda penyampaian laporan keuangan yang berisi berita buruk karena
waktu yang ada akan digunakan untuk menekan debt to equity ratio serendah-
rendahnya sehingga audit delay menjadi lebih lama.
Akan tetapi perusahaan besar ataupun perusahaan kecil jika memiliki
tingkat debt to equity ratio yang rendah menandakan bahwa kewajiban
perusahaan dalam melunasi hutang juga rendah sehingga perusahaan tidak perlu
lagi menekan debt to equity ratio dan penyampaian laporan keuangan dapat
dilakukan tepat waktu yang berarti waktu audit delay juga lebih pendek.
Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka hipotesis alternatif yang disusun sebagai
berikut:
H6 : Ukuran perusahaan memoderasi pengaruh debt to equity ratio terhadap
audit delay