Upload
vandieu
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1Perusahaan Terbatas
Sebagian besar perusahaan merupakan badan usaha berbentuk perseroan.
Perusahaan atau perseroan tersebut lebih dikenal dengan nama Perseroan Terbatas
(PT) yang merupakan suatu badan hukum (yang terdaftar pada negara bagian)
yang membayar pajak dan secara hukum terpisah dengan para pemiliknya
(Madura 2001:38). Untuk mendirikan suatu badan usaha, seorang individu atau
kelompok harus memakai akta pendirian perusahaan, atau dokumen yang
digunakan untuk mendirikan suatu bisnis dan mendaftarkannya kepada
pemerintah (Madura 2001:38). Orang yang mengelola perusahaan juga harus
mengelola menurut peraturan pemerintah (UU) yang biasanya adalah petunjuk
umum untuk mengelola perusahaan. Pemegang saham korporasi secara hukum
mempunyai tanggung jawab yang terbatas artinya mereka tidak harus
menanggung secara pribadi kegiatan perusahaan. Pemegang saham hanya dapat
menanggung kerugian sebatas modal yang ditanamkannya.
Pemegang saham mendapatkan imbalan atasinvestasi mereka melalui dua
cara. Pertama, mereka bisa menerima dividen dari perusahaan dimana suatu porsi
dari laba perusahaan tiga bulan terakhir yang didistribusikan kepada para
pemegang saham. Kedua, harga saham yang dimilikinya mungkin naik dipasaran.
Keadaan perusahaan yang lebih menguntungkan maka nilai saham dipasaran
11
cenderung naik artinya nilai saham pemilik juga naik sehingga mereka bisa
mendapatkan keuntungan dalam menjual saham dengan harga yang tinggi.
Sebagian besar perusahaan merupakan badan usaha dengan kepemilikan umum
artinya saham-sahamnya dapat dengan mudah diperjualbelikan oleh para investor.
Pemegang saham dari suatu perusahaan dapat menjual saham mereka apabila
mereka kecewa dengan kinerja perusahaan atau memperkirakan sahamnya tidak
akan naik harganya dikemudian hari (Madura 2001:39).
2.1.2 Saham dan Keuntungan Investasi
Menurut Anaroga (2001:58) saham adalah surat berharga sebagai bukti
penyertaan atau pemilikan individu atau institusi dalam suatu perusahaan. Saham
menarik bagi investor karena adanya keuntungan yang dapat dinikmati. Harapan
keuntungan yang dapat dinikmati dari investasi antara lain:
1. Dividen merupakan bagian dari keuntungan perusahaan yang dibagikan pada
pemilik saham.
2. Capital Gain merupakan keuntungan yang diperoleh dari selisih jual dengan
harga belinya.
3. Manfaat non financial yaitu timbul kebanggaan dan kekuasaan memperoleh
suara dalam menentukan jalannya perusahaan.
Menurut Anaroga (2001:76) berdasarkan fungsinya nilai suatu saham dapat dibagi
atas tiga, yaitu:
1. Par Value (nilai nominal)
Nilai nominal merupakan nilai yang tercantum pada saham untuk tujuanya
kuntansi. Nilai ini tidak digunakan untuk mengukur sesuatu.
12
2. Base Price (harga dasar)
Harga perdana (untuk menentukan) nilai dasar dipergunakan dalam perhitungan
indeks harga saham. Harga dasar akan berubah sesuai dengan aksi emiten.
3. Market Price (harga pasar)
Harga pasar merupakan harga pada pasar riil dan merupakan harga yang
paling mudah ditentukan karena merupakan harga dari suatu saham pada pasar
yang sedang berlangsung atau jika pasar sudah ditutup maka harga pasar adalah
harga penutupannya (closing price). Harga pasar ini merupakan harga jual dari
investor yang satu dengan investor yang lain. Harga pasar inilah yang menentukan
naik atau turunnya suatu saham dan setiap hari harga saham ini diumumkan pada
media.
Saham pada umumnya mempunyai tiga karakteristik utama yang
membedakan dengan kesempatan investasi yang lain. Menurut Hanantyo
(2006:15) karakteristik yang membedakan tersebut adalah:
1. Saham tidak menjanjikan pendapatan yang bersifat tetap atau pasti,
2. Pemilik atau pemegang saham biasa akan memiliki hak untuk ikut serta dalam
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
3. Saham biasa tidak memiliki masa jatuh tempo tertentu.
Anaroga (2001:54) membedakan jenis saham antara lain saham biasa
(common stock) dan saham preferen (preferred stock). Saham biasa merupakan
saham yang tidak memperoleh hak istimewa. Pemegang saham biasa mempunyai
hak untuk memperoleh dividen selama perseroan memperoleh keuntungan.
Pemilik saham mempunyai hak suara dalam RUPS sesuai dengan jumlah saham
13
yang dimilikinya. Apabila perusahaan hanya mengeluarkan satu kelas atau satu
jenis saham saja, saham ini disebut saham biasa (common stock). Untuk menarik
investor potensial lainnya suatu perusahaan mungkin juga mengeluarkan kelas
lain dari saham yaitu yang disebut dengan saham preferen (preferred stock).
Saham preferen merupakan saham yang diberikan atas hak untuk mendapatkan
dividen atau bagian kekayaan pada saat perusahaan dilikuidasi terlebih dahulu
dari saham biasa.Saham preferen mempunyai hak-hak prioritas lebih dari saham
biasa. Hak-hak prioritas dari saham preferen yaitu hak atas dividen yang tetap dan
hak terhadap aktiva jika terjadi likuidasi. Akan tetapi pada umumnya, saham
preferen tidak mempunyai hak veto seperti yang dimiliki oleh saham biasa
(Jogiyanto 2003:67).
Miller dan Modigliani (1961) dalam Jogiyanto (2003:421) menunjukkan
bahwa dividen sifatnya adalah tidak relevan didalam menentukan nilai dari
perusahaan namun masih banyak perusahaan yang membayar dividen bahkan
meningkatkan nilai dividennya. Akan tetapi hasil studi yang terbaru lebih
mendukung bahwa dividen mengandung informasi. Beberapa pendekatan telah
digunakan untuk menguji kandungan informasi dari dividen. Dalam Jogiyanto
(2003:421) pendekatan yang dilakukan adalah memasukkan dividen ke dalam
model laba untuk memprediksi laba masa depan. Dividen mempunyai informasi
jika kekuatan prediksi model laba menjadi meningkat dan menyebabkan laba.
Dividen yang diperoleh oleh investor dipengaruhi oleh kemampuan manajemen
perusahaan untuk beroperasi secara menguntungkan ditengah-tengah lingkungan
usaha yang semakin kompetitif. Dengan kinerja yang baik maka kelangsungan
14
hidup dan pertumbuhan perusahaan juga akan lebih terjamin sehingga harapan
investor untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang dapat terpenuhi.
2.1.3 Kandungan Informasi atas Laba dan Reaksi Pasar
Laba secara akuntansi merupakan perbedaan antara realisasi penghasilan
yang berasal dari transaksi perusahaan pada periode tertentu dikurangi dengan
biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan tersebut (Harahap2002
dalam Siti L, 2006:6). Menurut Belkaoui(2007:226) laba adalah hal yang
mendasar dan penting dari laporan keuangan dan memiliki banyak kegunaan di
berbagai konteks. Laba pada umumnya dipandang sebagai dasar untuk
perpajakan, penentu dari kebijakan, pembayaran dividen, panduan dalam
melakukan investasi dan pengambilan keputusan dan satu elemen dalam
peramalan. Laba akuntansi secara operasional dapat didefinisikan sebagai
perbedaan antara realisasi laba yang tumbuh dari transaksi-transaksi selama
periode berlangsung dan biaya-biaya histori yang berhubungan (Belkaoui
2007:229). Definisi tersebut menunjukkan adanya lima karakteristik yang terdapat
dalam laba akuntansi:
1. Laba muncul dari penjualan barang atau jasa dikurangi biaya-biaya yang
dibutuhkan untuk melakukan penjualan tersebut yang didasarkan pada postulat
periode dan mengacu pada kinerja keuangan dari perusahaan selama satu
periode tertentu.
2. Laba akuntansi didasarkan pada prinsip laba dan membutuhkan definisi,
pengukuran dan pengakuan pendapatan.
15
3. Laba akuntansi meminta adanya pengukuran beban-beban dari segi biaya
historinya terhadap perusahaan, yang menunjukan ketaatan yang tinggi pada
prinsip biaya.
4. Laba akuntansi meminta penghasilan yang terealisasi diperiode tersebut
dihubungkan dengan biaya-biaya relevan yang terkait.
Tidak adanya persamaan pendapat untuk mendefinisikan laba secara tepat
disebabkan oleh luasnya penggunaan konsep laba. Para pemakai laporan
keuangan mempunyai konsep laba sendiri yang dianggap paling cocok untuk
pengambilan keputusan mereka. Nilai pada laporan keuangan seperti laba bersih
perusahaan dianggap sebagai sinyal yang menunjukkan nilai dari perusahaan. Hal
ini menjadikan perhatian investor dan calon investor terpusat pada laba suatu
perusahaan. Seorang investor yang rasional akan membuat prediksi terlebih
dahulu sebelum membuat keputusan dengan mengamati sinyal yang diberikan
perusahaan. Investor sering memusatkan perhatiannya hanya pada informasi laba
tanpa memperhatikan prosedur yang digunakan untuk menghasilkan informasi
laba tersebut. Hal ini lah yang mendorong manajer untuk melakukan manajemen
atas laba (earnings management) dan menyebabkan manajemen untuk mengelola
laba dalam usahanya membuat entitas tampak bagus secara finansial. Salah satu
tindakan manajemen atas laba yang dapat dilakukan adalah tindakan income
smoothing (perataan laba).
Watt and Zimmerman 1986(dalam Khafid,2004:43), pengujian kandungan
informasi atas laba dimaksudkan untuk melihat reaksi dari suatu pengumuman.
Secara sederhana Juniarti (2005:151) mengatakan bahwa harga saham dipasar
16
modal setiap saat bisa mengalami perubahan (naik atau turun). Beberapa faktor
yang mempengaruhi harga saham, antara lain:
1. Harapan investor terhadap tingkat pendapatan dividen untuk masa yang akan
datang. Apabila tingkat pendapatan dan dividen suatu saat stabil maka harga
saham cenderung stabil. Sebaliknya jika tingkat pendapatan dan dividen
berfluktuasi karena siklus perusahaan atau perubahan teknologi maka harga
saham berfluktuasi juga.
2. Tingkat pendapatan perusahaan. Tingkat pendapatan tercermin dari earnings
per share (EPS) terkait dengan kenaikan harga saham. Apabila fluktuasi dari
EPS semakin besar maka harga saham akan semakin besar pula.
3. Kondisi perekonomian. Kondisi yang akan datang selalu dipengaruhi oleh
kondisi perekonomian saat ini. Apabila kondisi perekonomian saat ini stabil
dan mantap maka investor optimis terhadap kondisi yang akan datang
sehingga harga saham cenderung stabil dan demikian sebaliknya.
Terdapat dua cara dalam menentukan harga saham yaitu melalui harga
saham setelah publikasi laporan keuangan dan harga saham penutupan rata-rata.
Perdagangan saham dipasar modal dipengaruhi oleh kondisi keuangan serta
prospek masa depan perusahaan. Selain faktor internal perusahaan, faktor
eksternal perusahaan juga mempengaruhi perdagangan saham (Marhaen 2006:19).
Faktor-faktor diluar perusahaan yang dapat mempengaruhi perdagangan saham
antara lain kebijakan pemerintah, perkembangan kurs, kondisi bursa, volume dan
frekuensi dibursa, kekuatan pasar, tingkat inflasi, kebijakan moneter, kondisi
ekonomi dan keadaan politik. Harga saham mencerminkan nilai intrinsik suatu
17
saham (nilai intrinsik merupakan nilai yang mengandung unsur kekayaan
perusahaan dan unsur potensi perusahaan untuk menghimpun laba dimasa yang
akan datang). Harga saham tersebut diartikan sebagai harga yang dibentuk dari
interaksi penjual dan pembeli saham yang dilatar belakangi oleh harapan mereka
terhadap profit perusahaan. Reaksi pasar yang ditunjukkan dengan perubahan
harga sekuritas tersebut dapat diukur dengan menggunakan return atau dengan
abnormal return sebagai nilai perubahan harga. Pengembalian abnormal
diperhitungkan sebagai perbedaan antara pengembalian aktual ex-post dari surat
berharga dan pengembalian normal perusahaan setelah jendela peristiwa. Jika
digunakan abnormal return maka dapat dikatakan bahwa suatu pengumuman
yang mempunyai kandungan informasi akan memberikan abnormal return kepada
pasar sebaliknya yang tidak mengandung informasi tidak memberikan abnormal
return kepada pasar (Simamora 2000:410).
Foster (1986)dalam Khafid (2004:43) menyebutkan bahwa pengumuman
yang berhubungan dengan laba (Earnings Related Announcements) merupakan
salah satu pengumuman yang dapat mempengaruhi harga sekuritas atau saham.
Pendapat Foster tersebut menjadi dasar dari penelitian ini untuk melihat reaksi
pasar atas pengumuman laba (melalui laporan keuangan khususnya laporan laba
rugi) dari perusahaan yang melakukan income smoothing. Beaver 1968 (dalam
Assih, 2000:37) menyebutkan bahwa bila pengumuman laba tahunan
mengandung informasi, variabilitas perubahan harga akan nampak lebih besar
pada saat laba diumumkan daripada saat lain selama tahun yang bersangkutan
karena terdapat perubahan dalam keseimbangan nilai harga saham saat itu selama
18
periode pengumuman. Hasil penelitiannya memberi bukti bahwa perilaku harga
dan volume sekitar tanggal pengumuman mengidentifikasikan bahwa laba
tahunan mengandung informasi yang relevan untuk penilaian perusahaan.
2.1.4 Manajemen Laba dan Income Smoothing
Pada dasarnya definisi operasional dari manajemen laba adalah potensi
penggunaan manajemen akrual dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi
(Belkaoui 2007:201). Sedangkan Fischer dan Rosenzweig 1995(dalam Khafid,
2004:42) mendefinisikan manajemen laba sebagai, “…action ofa manager which
serve to increase (decrease) current reported earnings of theunit which the
manager is responsible without generating a corresponding increase decrease) in
a long term economics profitability of the unit”. Definisi tersebut tidak hanya
terbatas pada perilaku tetapi lebih luas mencakup seluruh tindakan yang dilakukan
oleh manajemen untuk mengelola laba. Stolowy dan Breton 2000(dalam Juniarti,
2005:150), praktek mengenai manajemen laba dipandang sebagai bentuk
manipulasi akuntansi. Sedangkan dalam Juniarti, 2005:150 mengatakan earnings
management sebagai a purposeful intervention by management in the earnings
determination process, usually to satisfy objectives. Menurut Juniarti, (2005:150)
menyebutkan bahwa manajemen laba didefinisikan sebagai suatu praktek
pelaporan earnings yang lebih merefleksikan keinginan manajemen daripada
performa keuangan perusahaan. Adapun Merchant 1989 (dalam, Wirda 2007:15)
mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh
manajemen perusahaan untuk mempengaruhi laba yang dilaporkan yang dapat
memberikan informasi mengenai keuntungan ekonomis yang dalam jangka
19
panjang dapat merugikan perusahaan. Dengan adanya praktek manajemen laba,
reliabilitas dari laba akan tereduksi. Hal ini disebabkan karena di dalam
manajemen laba terdapat pembiasan pengukuran income (dinaikkan atau
diturunkan) sehingga melaporkan income yang tidak representationally
faithfulness seperti yang seharusnya dilaporkan. Isu-isu dalam manajemen laba
antara lain:
1. Manajemen laba bertujuan untuk memenuhi harapan dari analis keuangan atau
manajemen.
4. Manajemen laba terjadi dalam konteks suatu kumpulan pelaporan yang
fleksibel dan seperangkat kontrak tertentu yang menentukan pembagian aturan
diantara pemegang kepentingan.
5. Strategi perusahaan bagi manajemen laba mengikuti satu atau lebih dari tiga
pendekatan (memilih dari pilihan-pilihan yang ada dalam GAAP, pilihan
aplikasi yang ada dalam opsi menggunakan akuisisi serta deposisi aktiva dan
waktu untuk melaporkannya).
6. Manajemen laba merupakan suatu hasil usaha untuk melewati ambang batas.
7. Manajemen laba dapat berasal dari pemenuhan perjanjian dari kontrak
kompensasi implisit.
8. Manajemen laba tumbuh dari ancaman dua bentuk aturan yakni aturan industri
spesifik dan aturan anti trust.
9. Laba negatif secara tiba-tiba umumnya lebih merugikan daripada revisi
ramalan negatif (Menurut Belkaoui 2007:206).
20
Salah satu pola atau tindakan manajemen atas laba yang dapat dilakukan
yaitu perataan laba. Menurut Koch 1981 (dalam Mursalim, 2003:162) tindakan
perataan laba dapat didefinisikan sebagai suatau sarana yang digunakan
manajemen untuk mengurangi variabilitas urut-urutan, pelaporan laba relatif
terhadap beberapa urut-urutan target yang terlihat karena adanya manipulasi
variabel-variabel akuntansi semu (artificial smoothing) atau transaksi riil (real
smoothing). Sedangkan definisi dari Poll (2004) dalam Juniarti (2005:150)
smoothing of income is a way of removing volatility in earnings by leveling off the
earnings peaks and raising the valleys. Fudenberg dan Tirole 1995 (dalam
Nurkhabib, 2004:11) mendefinisikan perataan laba sebagai proses manipulasi
profil waktu earnings atau pelaporan earnings agar aliran laba yang dilaporkan
perubahannya lebih sedikit. Definisi income smoothing lainnya yang
dikemukakan Beidelman (1973) dalam Anis C (2000:231) adalah perataan laba
yang dilaporkan dapat didefinisikan sebagai usaha yang disengaja untuk
meratakan atau memfluktuasikan tingkat laba sehingga pada saat sekarang
dipandang normal bagi suatu perusahaan. Dalam hal ini perataan laba
menunjukkan suatu usaha manajemen perusahaan untuk mengurangi variasi
abnormal laba dalam batas-batas yang diizinkan dalam praktek akuntansi dan
prinsip manajemen yang wajar. Beidleman 1973 dalam Belkaoui (2007:193)
mempertimbangkan dua alasan manejemen meratakan laporan laba. Pendapat
pertama berdasar pada asumsi bahwa suatu aliran laba yang stabil dapat
mendukung dividen dengan tingkatyang lebih tinggi daripada suatu aliran laba
yang variabel sehingga memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi nilai
21
saham perusahaan seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan secara
keseluruhan. Argumen kedua berkenaan pada perataan kemampuan untuk
melawan hakikat laporan laba yang bersifat siklus dan kemungkinan juga akan
menurunkan korelasi antara ekspektasi pengembalian perusahaan dengan
pengembalian fortofolio pasar. Hal tersebut merupakan hasil dari kebutuhan
manajemen untuk menetralisir ketidakpastian lingkungan dan menurunkan
fluktuasi yang luas dalam kinerja operasi perusahaan terhadap siklus waktu baik
maupun waktu buruk yang berganti-ganti.
Konsep perataan laba mengasumsikan bahwa investor adalah orang yang
menolak resiko (Fudenberg dan Tirole 1995 dalam Salno 2000:16) dan manajer
yang menolak resiko terdorong untuk melakukan perataan laba. Demikian juga
dalam hubungannya dengan kreditur, manajer lebih menyukai alternatif yang
menghasilkan perataan laba (Trueman dan Titman 1988 dalam Salno 2000:16).
Hasil penelitian Khafid (2004:42) juga menunjukkan adanya motivasi kuat yang
mendorong manajer melakukan perataan laba, adapun Beidelman 1973 dalam
Assih (2000:37) percaya bahwa manajemen melakukan perataan laba untuk
menciptakan suatu aliran laba yang stabil dan mengurangi covariance atas return
dengan pasar. Sedangkan Barnes et.al (1976) dalam Assih (2000:37) menyatakan
bahwa manajer melakukan perataan laba untuk mengurangi fluktuasi dalam laba
yang dilaporkan dan meningkatkan kemampuan investor untuk memprediksi
aliran kas dimasa yang akan datang. Dilain pihak menurut Dye (1988) dalam
Khafid (2004:43) menyatakan pemilik mendukung perataan laba karena adanya
motivasi internal dan motivasi eksternal. Motivasi internal menunjukkan maksud
22
pemilik untuk meminimalisasi biaya kontrak manajer dengan membujuk manajer
agar melakukan praktek manajemen laba. Motivasi eksternal ditujukan oleh usaha
pemilik saat ini untuk mengubah persepsi investor prospektif atau potensial
terhadap nilai perusahaan. Menurut Belkaoui (2007:194) tiga batasan yang
mungkin mempengaruhi para manajer untuk melakukan perataan laba adalah:
1. Mekanisme pasar yang kompetitif sehingga mengurangi jumlah pilihan yang
tersedia bagi manajemen.
2. Skema kompensasi manajemen yang terhubung langsung dengan kinerja
perusahaan.
3. Ancaman penggantian manajemen.
Faktor-faktor yang mempengaruhi income smoothing sangat beragam
sebagaimana dikemukakan oleh beberapa peneliti terdahulu dalam Salno(2000:20)
beberapa faktor yang mempengaruhi perataan laba antara lain ukuran perusahaan,
profitabilitas, sektor industri, harga saham, leverage operasi, rencana bonus dan
kebangsaan. Apabila dipandang dari sisi manajemen, Hepwort dalam Salno
(2000:19) mengungkapkan bahwa manajer yang termotivasi melakukan perataan
laba atau penghasilan pada dasarnya ingin mendapatkan berbagai keuntungan
ekonomi dan psikologis, antara lain mengurangi total pajak terutang,
meningkatkan kepercayaan diri manajer yang bersangkutan karena penghasilan
yang stabil mendukung kebijakan dividen yang stabil pula, meningkatkan
hubungan manajer dengan karyawan karena pelaporan penghasilan yang
meningkat tajam memberi kemungkinan munculnya tuntutan kenaikan gaji dan
upah, siklus peningkatan dan penurunan penghasilan dapat ditandingkan dan
23
gelombang optimisme atau pesimisme dapat diperlunak sedangkan tujuan yang
lainnya adalah untuk memberikan kesan baik pada pemilik dan kreditor terhadap
kinerja manajemen (Stolowy dan Breton 2000 dalam Juniarti 2005:150) untuk
menjaga posisi atau kedudukan mereka dalam perusahaan (Spohr 2004 dalam
Juniarti 2005:150).Davis Gordon dalam Belkaoui (2007:193) mengusulkan
bahwa:
1. kriteria yang dipakai oleh manajemen perusahaan dalam memilih prinsip-
prinsip akuntansi adalah untuk memaksimalkan kegunaan dan kesejahteraan.
Kegunaan yang sama adalah suatu fungsi keamanan pekerjaan, peringkat dan
tingkat pertumbuhan gaji serta peringkat dan tingkat pertumbuhan ukuran
perusahaan.
2. kepuasan dari pemegang saham terhadap kinerja perusahaan meningkatkan
status dan penghargaan dari para manajer.
3. kepuasan yang sama tergantung pada tingkat pertumbuhan dan stabilitas dari
pendapatan perusahaan.
Perataan mungkin terkait dengan ukuran perusahaan, keberadaan insentif
bonus dan penyimpangan laba aktual dengan laba ekspektasi yang telah diprediksi
sebelumnya Poll 2004 (dalam Juniarti2005:150). Dascher dan Malcolm Anis C
(2000:232) menyatakan bahwa ada beberapa media yang biasanya digunakan
manajemen dalam melakukan income smoothing yaitu real smoothing dan
artificial smoothing. Perataan riil mengacu pada transaksi aktual yang terjadi
maupun tidak terjadi dalam hal pengaruh perataan sedangkan perataan artifisial
mengacu pada prosedur akuntansi yang diimplementasikan terhadap pergeseran
24
biaya dan pendapatan dari satu periode ke periode yang lain. Namun disamping
kedua media tersebut masih terdapat dimensi atau media lain untuk melakukan
income smoothing, yaitu classificatory smoothing.
Dilakukan melalui pengklasifikasian pos-pos laporan intralaba untuk
menurunkan variasi yang terjadi dari waktu ke waktu dalam statistik. Pendapat
tersebut senada dengan tulisan Sofyan Safiri (2003:232) yakni income smoothing
dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu mengatur waktu kejadian transaksi,
memilih prinsip atau metode alokasi, mengatur penggolongan laba yakni antara
laba operasi normal dengan laba yang bukan dari operasi normal. Ronen dan
Sadan dalam Nurkhabib (2004:16) menunjukkan bahwa perataan laba yang
melalui periode waktu tertentu dapat dilakukan melalui tiga cara:
1. Manajemen dapat menentukan waktu terjadinya kejadian tertentu melalui
kebijakan yang dimiliki untuk mengurangi variasi laba yang dilaporkan.
2. Manajemen dapat mengalokasikan pendapatan atau biaya tertentu untuk
beberapa periode akuntansi.
3. Manajemen memiliki kebijakan sendiri untuk mengklasifikasikan pos-pos laba
atau rugi tertentu dalam kategori yang berbeda.
Unsur laporan keuangan yang sering dijadikan sasaran perataan laba adalah
unsur penjualan dan unsur biaya. Menurut Foster dalan Nurkhabib (2004:17)
unsur-unsur laporan keuangan yang sering dijadikan sasaran perekayasaan adalah:
1. Unsur penjualan
saat pembuatan faktur, pembuatan pesanan atau penjualan fiktif, downgrading
(penurunan) produk.
25
2. Unsur biaya
memecah-mecah faktur, mencatat prepayment (biaya dibayar dimuka) sebagai
biaya.
Stabilitas laba dapat diukur dengan menggunakan beberapa ukuran
stabilitas laba yang dikemukakan Siegel (1997) sebagaimana dikutip oleh
Nurkhabib (2004:15):
1. Rata-rata laba (average reported earnings)
Rata-rata laba dicari dengan menjumlahkan semua laba yang hendak diamati
dan dibagi dengan jumlah periode pengamatan. Rata-rata laba pesimis
(average pessimistic earnings) didasarkan atas kemungkinan terburuk yang
dapat dialami oleh perusahaan, penggunaan laba minimum ini berguna ketika
perusahaan beresiko tinggi. Hal ini dilakukan dengan menyatakan kembali
laba menjadi laba minimum dari periode-periode yang hendak diamati. Dari
laba minimum tersebut dicari rata-ratanya.
2. Standar deviasi
Standar deviasi dicari untuk laba atau laba pesimis. Standar deviasi yang
semakin besar menunjukkan variabilitas yang lebih besar (laba yang lebih
tidak stabil).
3. Indeks instabilitas Laba (instability index of earnings)
Indeks ini mencerminkan deviasi antara laba aktual dan laba trend.Semakin
tinggi indeks maka semakin rendah kualitas laba perusahaan.
26
4. Beta
Beta merupakan ukuran resiko sistematis yang tidak dapat dihilangkan dengan
melakukan diverifikasi. Apabila beta meningkat maka variabilitas perusahaan
lebih besar jika terjadi perubahan dalam pasar. Tidak semua negara
menganggap income smoothing sebagai tindakan manipulasi yang dilarang,
contohnya adalah Swedia. Negara tersebut membenarkan adanya perlakuan
income smoothing, sepanjang dilakukan dan dibuat secara transparan.
2.1.5 Earnings Response Cofficient (ERC)
Kuatnya reaksi pasar terhadap informasi laba akan tercermin pada
tingginya ERC, demikian sebaliknya lemahnya reaksi pasar terhadap informasi
laba akan tercermin pada rendahnya ERC, hal itu menunjukkan bahwa laba yang
dilaporkan kurang berkualitas. ERC mengukur seberapa besar return saham dalam
merespon laba yang dilaporkan oleh perusahaan, dengan kata lain terdapat variasi
hubungan antara laba perusahaan dengan return saham (Scott, 2000) dalam
Sayekti (2007).
Nilai ERC diprediksi akan lebih tinggi jika laba perusahaan di masa depan
lebih presisten. Hal ini berarti bahwa laba yang dihasilkan berkualitas. Presistensi
laba merupakan kemampuan perusahaan untuk mempertahankan laba perusahaan
di masa depan (Murwaningsih, 2011). Investor akan memberikan reaksi yang baik
pada perusahaan yang dinilai mampu mempertahankan laba perusahaan di masa
depan. Laba akuntansi yang berkualitas adalah laba yang memiliki sedikit
gangguan persepsi (noise) di dalamnya dan dapat menggambarkan kinerja
keuangan perusahaan yang sesungguhnya. Semakin besar gangguan persepsi
27
(noise) dalam laba akuntansi (semain rendah kualitas laba akuntansi) maka
semakin kecil ERC.
Perusahaan yang memiliki growth opportunities diharapkan memberikan
profitabilitas yang baik sehingga mampu menghasilkan laba yang lebih presisten.
Dengan demikian semakin tinggi kesempatan perusahaan untuk bertumbuh maka
ERC semakin tinggi Scott (2000) dalam Sayekti (2007). Beta perusahaan
mencerminkan risiko sistematis perusahaan. Investor akan menggunakan
informasi laba sekarang untuk memperdiksi laba dan return masa datang, jika
return masa datang semakin berisiko maka reaksi investor terhadap unexpected
earnings perusahaan semakin rendah. Dengan kata lain semakin tinggi beta
perusahaan maka ERC akan semakin rendah (Scott, 2000 dalam Sayekti, 2007).
Jika suatu pengumuman mengandung informasi, maka dimaksudkan pasar
akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar. Reaksi pasar
adalah perubahan harga dari sekuritas yang bersangkutan. Dimana reaksi pasar
dapat diukur dengan menggunakan Abnormal return. Abnormal return adalah
selisih antara tingkat keuntungan sebenarnya (actual return) dengan tingkat
keuntungan yang diharapkan (expeted return). Abnormal return tersebut diukur
dengan menggunakan:
a. Actual Return
Actual return ini diukur dengan cara, harga penutupan pada hari tertentu
dikurangi dengan harga penutupan pada hari sebelumnya, dibagi harga
penutupan hari sebelumnya.
28
b. Expected Return
Expected return ini dicerminkan oleh Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG),
yakni indeks pasar penutupan pada hari tertentu dikurangi dengan hari
sebelumnya, dibagi dengan indeks pasar penutupan hari sebelumnya.
Secara teoritis reaksi pasar atas publikasi laporan keuangan akan terjadi
setelah tanggal publikasi. Hal ini disebabkan karena para investor akan
memanfaatkan informasi yang ada didalam laporan keuangan untuk memutuskan
investasinya untuk membeli atau menjual saham di pasar modal, hal tersebut
sesuai dengan hasil penelitian ini.
2.1.6 Income Smoothing
Salah satu pola atau tindakan manajemen atas laba yang dapat dilakukan
yaitu adanya manipulasi variabel-variabel akuntansi semu (artificial smoothing)
atau transaksi riil (real smoothing), sedangkan definisi dari Poll (2004) dalam
Juniarti (2005:150) smoothing of income is a way of removing volatility
inearnings by leveling off the earnings peaks and raising the valleys. Definisi lain
mengenai income smoothing adalah definisi yang dikemukakan oleh Belkaoui
(2007:192) perataan laba merupakan normalisasi laba yang dilakukan secara
sengaja untuk mencapai trend atau tingkat yang diinginkan. Frudenberg dan
Tirole (1995) dalam Nurkhabib (2004:11) mendefinisikan perataan laba sebagai
proses manipulasi profil waktu earnings atau pelaporan earnings agar aliran laba
yang dilaporkan perubahannya lebih sedikit. Menurut Koch (1981) dalam
Mursalim (2003:162) tindakan perataan laba dapat didefinisikan sebagai suatau
sarana yang digunakan manajemen untuk mengurangi variabilitas urut-urutan,
29
pelaporan laba relatif terhadap beberapa urut-urutan target yang terlihat karena
dikemukakan Beidelman (1973) Anis C (2000:231) adalah perataan laba yang
dilaporkan dapat didefinisikan sebagai usaha yang disengaja untuk meratakan atau
memfluktuasikan tingkat laba sehingga pada saat sekarang dipandang normal bagi
suatu perusahaan. Dalam hal ini perataan laba menunjukkan suatu usaha
manajemen perusahaan untuk mengurangi variasi abnormal laba dalam batas-
batas yang diizinkan dalam praktek akuntansi dan prinsip manajemen yang wajar.
Beidleman dalam Belkaoui (2007:193) mempertimbangkan dua alasan
manajemen meratakan laporan laba. Pendapat pertama berdasar pada asumsi
bahwa suatu aliran laba yang stabil dapat mendukung dividen dengan tingkat yang
lebih tinggi daripada suatu aliran laba yang variabel sehingga memberikan
pengaruh yang menguntungkan bagi nilai saham perusahaan seiring dengan
turunnya tingkat resiko perusahaan secara keseluruhan. Argumen kedua
berkenaan pada perataan kemampuan untuk melawan hakikat laporan laba yang
bersifat siklus dan kemungkinan juga akan menurunkan korelasi antara ekspektasi
pengembalian perusahaan dengan pengembalian fortofolio pasar. Hal tersebut
merupakan hasil dari kebutuhan manajemen untuk menetralisir ketidakpastian
lingkungan dan menurunkan fluktuasi yang luas dalam kinerja operasi perusahaan
terhadap siklus waktu baik maupun waktu buruk yang berganti-ganti.
Manajemen laba berbeda dengan kecurangan. Perbedaan tersebut terletak
pada tingkat kepatuhan terhadap standar akuntansi. Manajemen laba merupakan
rekayasa pelaporan keuangan dalam batas-batas tertentu yang tidak melanggar
standar pelaporan keuangan. Hal ini dilakukan oleh manejemen dengan
30
memanfaatkan wewenangnya dalam memilih metode akuntansi yang diizinkan
oleh standar. Manajer memiliki fleksibilitas dalam membuat pilihan metode
maupun kebijakan akuntansi dari berbagai alternative metode dan kebijakan
akuntansi yang ada, yang menurut preferensi manajer paling menguntungkan pada
periode pelaporan. Manajemen banyak memanfaatkan standar pelaporan
keuangan dengan cara menerapkan standaryang dipercepat pengadobsiannya.
Selain itu standar juga dijadikan sebagai alat untuk melaporkan kondisi
perusahaan. Fleksibilitas yang terdapat dalam standar akuntansi pada akhirnya
menyebabkan tindakan tersebut sah dengan sendirinya. Sedangkan kecurangan
dalam pelaporan keuangan lebih merupakan upaya manajemen untuk
menyembunyikan atau memanipulasi sebagian atau seluruh informasi keuangan
dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.
Konsep perataan laba mengasumsikan bahwa investor adalah orang yang
menolak resiko (Fudenberg dan Tirole 1995 dalam Salno 2000:16) dan manajer
yang menolak resiko terdorong untuk melakukan perataan laba. Demikian juga
dalam hubungannya dengan kreditur, manajer lebih menyukai alternatif yang
menghasilkan perataan laba (Trueman dan Titman 1988 dalam Salno 2000:16).
Hasil penelitian Khafid (2004:42) juga menunjukkan adanya motivasi kuat yang
mendorong manajer melakukan perataan laba. Bidleman dalam Assih (2000:37)
percaya bahwa manajemen melakukan perataan laba untuk menciptakan suatu
aliran laba yang stabil dan mengurangi covariance atas return dengan pasar,
sedangkan Barnea et. al (1976) dalam Assih (2000:37) menyatakan bahwa
manajer melakukan perataan laba untuk mengurangi fluktuasi dalam laba yang
31
dilaporkan dan meningkatkan kemampuan investor untuk memprediksi aliran kas
dimasa yang akan datang. Di lain pihak menurut Dye (1988) dalam Khafid
(2004:43) menyatakan pemilik mendukung perataan laba karena adanya motivasi
internal dan motivasi eksternal. Motivasi internal menunjukkan maksud pemilik
untuk meminimalisasi biaya kontrak manajer dengan membujuk manajer agar
melakukan praktek manajemen laba. Motivasi eksternal ditujukan oleh usaha
pemilik saat ini untuk mengubah persepsi investor prospektif atau potensial
terhadap nilai perusahaan. Menurut Belkaoui(2007:194) tiga batasan yang
mungkin mempengaruhi para manajer untuk melakukan perataan laba adalah:
1. Mekanisme pasar yang kompetitif sehingga mengurangi jumlah pilihan yang
tersedia bagi manajemen.
2. Skema kompensasi manajemen yang terhubung langsung dengan kinerja
perusahaan.
3. Ancaman penggantian manajemen.
Faktor-faktor yang mempengaruhi income smoothing sangat beragam
sebagaimana dikemukakan oleh beberapa peneliti terdahulu dalam Salno
(2000:20) beberapa faktor yang mempengaruhi perataan laba antara lain ukuran
perusahaan, profitabilitas, sektor industri, harga saham, leverage operasi, rencana
bonus dan kebangsaan. Apabila dipandang dari sisi manajemen, Hepwort dalam
Salno (2000:19) mengungkapkan bahwa manajer yang termotivasi melakukan
perataan laba atau penghasilan pada dasarnya ingin mendapatkan berbagai
keuntungan ekonomi dan psikologis, antara lain mengurangi total pajak terutang,
meningkatkan kepercayaan diri manajer yang bersangkutan karena penghasilan
32
yang stabil mendukung kebijakan dividen yang stabil pula, meningkatkan
hubungan manajer dengan karyawan karena pelaporan penghasilan yang
meningkat tajam memberi kemungkinan munculnya tuntutan kenaikan gaji dan
upah, siklus peningkatan danpenurunan penghasilan dapat ditandingkan dan
gelombang optimisme atau pesimisme dapat diperlunak, sedangkan tujuan yang
lainnya adalah untuk memberikan kesan baik pada pemilik dan kreditor terhadap
kinerja manajemen (Stolowy dan Breton 2000 dalam Juniarti 2005:150) untuk
posisi atau kedudukan mereka dalam perusahaan (Spohr 2004 dalam Juniarti
2005:150). Davis Gordon dalam Belkaoui (2007:193) mengusulkan bahwa:
1. Kriteria yang dipakai oleh manajemen perusahaan dalam memilih prinsip-
prinsip akuntansi adalah untuk memaksimalkan kegunaan dan kesejahteraan.
2. Kegunaan yang sama adalah suatu fungsi keamanan pekerjaan, peringkatdan
tingkat pertumbuhan gaji serta peringkat dan tingkat pertumbuhan ukuran
perusahaan.
3. Kepuasan dari pemegang saham terhadap kinerja perusahaan meningkatkan
status dan penghargaan dari para manajer.
4. Kepuasan yang sama tergantung pada tingkat pertumbuhan dan stabilitas dari
pendapatan perusahaan.
Perataan mungkin terkait dengan ukuran perusahaan, keberadaan insentif
bonus dan penyimpangan laba aktual dengan laba ekspektasi yang telah diprediksi
sebelumnya ( Poll 2004 dalam Juniarti2005:150). Dascher dan Malcolm (1970)
dalam Anis C (2000:232) menyatakan bahwa ada beberapa media yang biasanya
digunakan manajemen dalam melakukan income smoothing yaitu real smoothing
33
dan artificial smoothing. Perataan riil mengacu pada transaksi aktual yang terjadi
maupun tidak terjadi dalam hal pengaruh perataan sedangkan perataan artifisial
mengacu pada prosedur akuntansi yang diimplementasikan terhadap pergeseran
biaya dan pendapatan dari satu periode ke periode yang lain. Namun disamping
kedua media tersebut masih terdapat dimensi atau media lain untuk melakukan
income smoothing, yaitu classificatory smoothing. Barnea et.al 1976 dalamAnis C
(2000:232) membedakan ketiga dimensi perataan tersebut sebagai berikut:
1. Perataan melalui adanya kejadian dan atau pengakuan.
Manajemen dapat menentukan waktu transaksi aktual terjadi sehingga
pengaruhnya terhadap pelaporan pendapatan akan cenderung mengurangi
variasi dari waktu ke waktu.
2. Perataan melalui alokasi terhadap waktu.
Melalui kejadian dan pengakuan atas suatu peristiwa, manajemen memiliki
kendali yang lebih bebas terhadap determinasi atas periode-periode yang
dipengaruhi oleh kuantifikasi dari peristiwa.
3. Perataan melalui klasifikasi.
Dilakukan melalui pengklasifikasian pos-pos laporan intralaba untuk
menurunkan variasi yang terjadi dari waktu ke waktu dalam statistik.
Pendapat tersebut senada dengan tulisan Sofyan Safiri (2003:232) yakni
income smoothing dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu mengatur waktu
kejadian transaksi, memilih prinsip atau metode alokasi, mengatur penggolongan
laba yakni antara laba operasi normal dengan laba yang bukan dari operasi
normal. Ronen dan Sadan dalam Nurkhabib (2004:16) menunjukkan bahwa
34
perataan laba yang melalui periode waktu tertentu dapat dilakukan melalui tiga
cara:
1. Manajemen dapat menentukan waktu terjadinya kejadian tertentu melalui
kebijakan yang dimiliki untuk mengurangi variasi laba yang dilaporkan.
2. Manajemen dapat mengalokasikan pendapatan atau biaya tertentu untuk
beberapa periode akuntansi.
3. Manajemen memiliki kebijakan sendiri untuk mengklasifikasikan pos-pos laba
atau rugi tertentu dalam kategori yang berbeda.
Menurut Nurkhabib (2004:13) menyebutkan bentuk-bentuk manipulasi
laba sebagai berikut:
1. Klasifikasi berita baik dan berita buruk
Dimana manajemen cenderung melaporkan berita baik sebagai bagian dari
operasi dan melaporkan berita buruk sebagai pos-pos luar biasa.
2. Perataan laba dimana manajemen dalam tahun-tahun yang baik mengurangi
laba (menunda pendapatan atau keuntungan dan mengakui segera biaya atau
kerugian) serta membesarkan laba pada tahun-tahun suram (mengakui segera
pendapatan atau keuntungan dan menunda biaya atau kerugian).
3. Big Bath Behavior yang merupakan kontras dari perataan laba dimana pada
tahun yang suram manajemen cenderung mengakui kerugian potensial
sehingga pada tahun-tahun berikutnya tersebut tidak muncul.
4. Perubahan akuntansi.
35
Stabilitas laba dapat diukur dengan menggunakan beberapa ukuran
stabilitas laba yang dikemukakan Siegel (1997) sebagaimana dikutip oleh
Nurkhabib(2004:15):
1. Rata-rata laba (average reported earnings)
Rata-rata laba dicari dengan menjumlahkan semua laba yang hendak diamati
dan dibagi dengan jumlah periode pengamatan.
2. Rata-rata laba pesimis (average pessimistic earnings)
Rata-rata laba pesimis didasarkan atas kemungkinan terburuk yang dapat
dialami oleh perusahaan, penggunaan laba minimum ini berguna ketika
perusahaan beresiko tinggi. Hal ini dilakukan dengan menyatakan kembali
laba menjadi laba minimum dari periode-periode yang hendak diamati. Dari
laba minimum tersebut dicari rata-ratanya.
3. Standar deviasi
Standar deviasi dicari untuk laba atau laba pesimis. Standar deviasi yang
semakin besar menunjukkan variabilitas yang lebih besar (laba yang lebih
tidak stabil).
4. Indeks instabilitas Laba (instability index of earnings)
Indeks ini mencerminkan deviasi antara laba aktual dan laba trend. Semakin
tinggi indeks maka semakin rendah kualitas laba perusahaan.
5. Beta
Beta merupakan ukuran resiko sistematis yang tidak dapat dihilangkan dengan
melakukan diverifikasi. Apabila beta meningkat maka variabilitas perusahaan
lebih besar jika terjadi perubahan dalam pasar.
36
2.1.7 Ukuran Perusahaan
Menurut Suwito dan Herawaty (2005), perusahaan publik yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia dapat dikategorikan ke dalam 3 (tiga) kelompok besar yaitu:
1. Perusahaan manufaktur.
2. Perusahaan non manufaktur selain usaha bank dan lembaga keuangan lainnya.
3. Kelompok usaha bank dan lembaga keuangan.
Pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam 3 kategori yaitu
perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium size) dan
perusahaan kecil (small firm). Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat
diklasifikasikan besar atau kecil perusahaan menurut berbagai cara, antara lain:
total aktiva, log size, nilai pasar saham, dan lain-lain.
Ukuran yang menunjukkan besar kecilnya suatu perusahaan, antara lain
total penjualan, rata-rata tingkat penjualan, dan total aktiva. Pada umumnya
perusahaan besar memiliki total aktiva yang besar pula sehingga dapat menarik
investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut dan akhirnya
saham tersebut mampu bertahan pada harga yang tinggi (Wijaya, 2009).
Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa terdapat hubungan positif antara
ukuran perusahaan dengan manajemen laba (Muhammad Arfan dan Desry
Wahyuni, 2010) dimana perusahaan besar memiliki aktivitas operasional yang
lebih kompleks sehingga memungkinkan dilakukannya manajemen laba.
37
2.1.8 Debt to Equity Ratio
Debt to Equity Ratio (DER) atau rasio hutang atas modal adalah
menggambarkan sampai sejauh mana modal pemilik dapat menutupi hutang-
hutang kepada pihak luar. Agnes Sawir (2001:13) menyatakan bahwa debt to
equity ratio adalah menggambarkan proporsi antara kewajiban yang dimiliki dan
seluruh kekayaan yang dimiliki. Adapun pengertian lain dari Debt to Equity Ratio
(DER) menurut Agnes Sawir (2003:13) adalah “Rasio yang menggambarkan
perbandingan utang dan ekuitas dalam pendanaan perusahaan dan menunjukan
kemampuan modal sendiri perusahaan tersebut untuk memenuhi seluruh
kewajibannya.”
Tujuan yang harus dicapai oleh manajer keuangan adalah bukan
memaksimumkan profit melainkan memaksimumkan kemakmuran pemegang
saham atau melalui maksimisasi nilai perusahaan. Tujuan memaksimumkan nilai
perusahaan dapat ditempuh dengan memaksimumkan nilai sekarang semua
keuntungan pemegang saham yang diharapkan akan diperoleh dimasa datang.
Kemakmuran pemegang saham akan meningkat apabila harga saham yang
dimilikinya meningkat. Sementara itu harga saham itu terbentuk di pasar modal
dan ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah laba per lembar saham
atau earnings per share yaitu dengan membagi laba yang tersedia bagi pemegang
saham biasa (laba setelah pajak dikurangi dividen saham preferen) dengan rata-
rata tertimbang jumlah lembar saham yang beredar selama periode perhitungan
dilakukan. Apabila perusahaan melakukan investasi yang bersifat spekulatif, ada
kecenderungan harga saham akan turun karena resiko usahanya semakin
besar(Fabozzi J Frank 2000:861). Dengan demikian total kemakmuran pemegang
38
saham dapat diukur dengan menilai peningkatan total kepemilikan saham
dikalikan dengan harga pasar per lembar saham.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan
struktur modal yang baik, dalam hal ini adalah penggunaan debt to equity ratio
akan memberikan nilai tambah bagi perusahaan dalam bentuk peningkatan
earnings per share. Kesimpulan tersebut didukung pula oleh Alwi Syarifuddin
(1994 : 342) yaitu :
“Analisis struktur modal sangat penting bagi perusahaan karena keputusan
tentang Debt to Equity Ratio (DER) tertentu akan mempengaruhi baik nilai saham
maupun earnings per share. Nilai saham yang tinggi akan menarik bagi
pemegang saham dan bagi investor untuk membeli saham perusahaan.”
DER yang merupakan kepanjangan dari Debt to Equity Ratio merupakan
perbandingan antara hutang perusahaan terhadap jumlah modalnya. Pada
umumnya makin besar angka DER perusahaan dianggap makin berbahaya secara
finansial. Contoh : pada angka DER = 1 berarti jumlah modal usaha dengan
hutangnya adalah sama , tetapi pada DER = 1,5 berarti jumlah hutang lebih dari
modal perusahaan tersebut. Disini jelas bahwa pada angka DER yang lebih besar
perusahaan harus membayar bunga pinjaman yang lebih besar. Sebenarnya yang
dikhawatirkan disini adalah bila terjadi kondisi keuangan yang mengakibatkan
arus kas tersendat, dengan demikian bukan berarti jika angka DER lebih besar
akan merugikan perusahaan. Selama arus kas (cash flow) perusahaan bisa
menutup pengeluaran dan bisa menghasilkan keuntungan perusahaan lebih besar
artinya angka DER yang besar tidak masalah.
39
Khusus untuk bidang perbankan angka DER bisa mencapai di atas 7,
sesuai dengan peraturan yang ada. Angka DER yang besar pada bank dikarenakan
tabungan dan deposito dianggap sebagai hutang. Saat ini pada bidang perbankan
jumlah hutang yang diatas 7 kali modal dianggap wajar. Pada bidang lainnya
angka DER yang sehat biasanya di bawah angka 1.
Makin besar angka DER suatu perusahaan maka manajemennya harus
makin kerja keras untuk menjaga arus kas perusahaan. Resiko yang makin tinggi
diharapkan memberikan laba yang juga lebih tinggi (High Risk High Return). Hal
ini bagi investor saham fundamental diperhitungkan sebagai pertimbangan saat
membeli atau menjual saham. Dengan tingkat resiko yang makin tinggi maka
investor fundamental akan menawar makin rendah harga sahamnya, sebaliknya
makin rendah angka DER suatu perusahaan investor fundamental akan
menghargai makin tinggi karena tingkat resikonya yang lebih rendah. Investor
akan lebih berani membeli saham dengan harga lebih tinggi dengan catatan semua
kondisi sama.
Secara umum yang dimaksud dengan utang perusahaan adalah utang
jangka panjang , bukan utang usaha. Perusahaan yang bisa berkembang tanpa
utang jangka panjang bisa dianggap sebagai perusahaan yang sehat karena bisa
tumbuh dengan operasionalnya sendiri. Pada saat krisis ekonomi yang lalu ,
banyak perusahaan mengalami masalah pembesaran angka DER . Pembesaran
angka ini terutama akibat dari naiknya nilai hutang valas. Naiknya hutang berarti
naiknya jumlah cicilan. Naiknya jumlah cicilan yang cukup besar tersebut ternyata
tidak bisa ditutup dengan arus kas operasional perusahaan sehingga banyak
40
investor yang harus menambah modal atau harus menjual perusahaannya dan
tidak sedikit perusahaan yang terpaksa pailit.
Dalam menentukan apakah sebuah perusahaan memiliki utang yang besar
atau kecil, cara yang paling umum digunakan adalah dengan membandingkannya
dengan modalnya. Contohnya, jika A tercatat memiliki total utang hingga Rp10
trilyun, tapi modalnya masih lebih besar lagi yaitu Rp20 trilyun, maka A belum
bisa dikatakan memiliki utang yang besar. Sementara jika B memiliki utang Rp10
milyar saja, tapi modalnya lebih kecil yaitu Rp5 milyar, maka utang B sudah
cukup banyak sehingga sahamnya menjadi kurang ideal secara fundamental.
Dalam perhitungan analisis fundamental, perbandingan antara utang (debt)
dengan modal (equity) dikenal dengan istilah debt to equity ratio (DER). Cara
menghitungnya gampang yaitu total utang dibagi total modal, lalu dikali 100%.
Ada juga yang membaliknya menjadi equity to debt ratio (EDR), sehingga cara
menghitungnya menjadi total modal dibagi total utang, lalu dikali 100%. Kalau
DER atau EDR ini menunjukkan bahwa jumlah utang sebuah perusahaan masih
wajar, maka sahamnya mungkin masih ideal, jika poin-poin fundamental lainnya
juga mendukung.
Utang yang ‘wajar’ tersebut tentunya jika jumlahnya lebih kecil dari
modalnya, alias DER-nya dibawah 100% (kalau pake EDR maka berlaku
kebalikannya yaitu EDR-nya diatas 100%). Namun itu bukan berarti perusahaan
yang utangnya lebih besar dari modalnya, maka utangnya tersebut sudah pasti
tidak wajar, dengan catatan utang-utang tersebut bukan merupakan utang-utang
41
yang ‘berbahaya’, melainkan utang yang memang mendukung perusahaan untuk
berkembang.
Yang dimaksud dengan utang yang berbahaya adalah utang yang
mengharuskan perusahaan untuk membayar bunga, atau denda jika terlambat
membayar. Utang seperti itu misalnya utang bank dan utang obligasi. Utang
seperti itu simpelnya bisa kita sebut sebagai utang financial karena bunga tersebut
bisa menggerogoti laba bersih perusahaan. Sementara utang yang tidak berbahaya
adalah utang operasional, seperti utang usaha, beban yang masih harus dibayar,
uang pelanggan yang diterima dimuka, dan seterusnya. Utang-utang tersebut
biasanya tidak mengandung bunga atau denda, sehingga tidak akan berpengaruh
terhadap perolehan laba bersih perusahaan.
Perusahaan yang bagus adalah perusahaan yang bisa menemukan alternatif
pembiayaan yang murah, dengan bunga yang rendah, dan jangka waktu
pembayaran yang fleksibel, sehingga utang tersebut menjadi menguntungkan bagi
perusahaan, bukan malah merugikannya. Biasanya para perusahaan terutama
perusahaan besar bisa bernegosiasi dengan bank mengenai dua hal tersebut (bunga
dan deadline pelunasan). Semakin besar nilai pinjaman, maka biasanya semakin
kecil bunganya. Selain ngajuin utang ke bank, penerbitan obligasi bisa menjadi
alternatif, terutama untuk pinjaman jangka panjang, katakanlah 5 tahun, karena
biasanya bunganya lebih rendah yaitu 8 – 12% per tahun, sehingga tidak jadi
masalah meskipun deadline pelunasannya lama.
Company size dalam hubungannya dengan ERC diproksikan sebagai
informativeness harga saham. Semakin besar perusahaan semakin banyak sumber
informasi perusahaan yang tersedia. Semakin tinggi informativeness harga saham,
42
maka kandungan informasi laba semakin berkurang. Oleh karena itu, semakin
besar ukuran perusahaan (informativeness harga saham meningkat) maka ERC
akan semakin rendah (Murwaningsih, 2007).
Nilai ERC yang rendah juga dipengaruhi oleh tingkat leverage perusahaan
yang tinggi. Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi, apabila terjadi
peningkatan laba perusahaan maka akan dipandang semakin baik bagi pemberi
pinjaman dibandingkan bagi pemegang saham. Oleh karena itu perusahaan yang
high leverage memiliki ERC yang rendah dibandingkan dengan perusahaan low
leverage (Sayekti, 2007).
2.1.9 Teori Keagenan (Agency Theory)
Pemisahan pemilik dan manajemen di dalam literatur akuntansi disebut
dengan Agency Theory (teori keagenan). Teori ini merupakan salah satu teori yang
muncul dalam perkembangan riset akuntansi yang merupakan modifikasi dari
perkembangan model akuntansi keuangan dengan menambahkan aspek perilaku
manusia dalam model ekonomi. Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak
antara pemegang saham/pemilik dan manajemen/manajer. Menurut teori ini
hubungan antara pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar tercipta karena
adanya kepentingan yang saling bertentangan.
Dalam teori keagenan (agency theory), hubungan agensi muncul ketika
satu orang atau lebih (principal) memperkerjakan orang lain (agen) untuk
memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan
keputusan kepada agen tersebut. Hubungan antara principal dan agen dapat
mengarah pada kondisi ketidakseimbangan informasi (asymmetrical information)
43
karena agen berada pada posisi yang memiliki informasi yang lebih banyak
tentang perusahaan dibandingkan dengan principal .Dengan asumsi bahwa
individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka
dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agen untuk
menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Dalam
kondisi yang asimetri tersebut, agen dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi
yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba.
Salah satu cara yang di gunakan untuk memonitor masalah kontrak dan
membatasi perilaku opportunistic manajemen adalah corporate governance.
Prinsip-prinsip pokok corporate governance yang perlu diperhatikan untuk
terselenggaranya praktik good corporate governance adalah; transparansi
(transparency), akuntabilitas (accountability), keadilan (fairness), dan
responsibilitas (responsibility). Corporate governance diarahkan untuk
mengurangi asimetri informasi antara principal dan agen yang pada akhirnya
diharapkan dapat meminimalkan tindakan manajemen laba.
Adanya asimetri informasi ini menyebabkan kemungkinan munculnya
konflik antara pihak principal dan agent. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga
asumsi sifat dasar manusia yaitu:
(1) Manusia pada umunya mementingkan diri sendiri (self interest),
(2) Manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang
(bounded rationality), dan
(3) Manusia selalu menghindari resiko (risk adverse).
44
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa informasi
yang dihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya
dan dapat dipercaya tidaknya informasi. Asimetri informasi ini juga pada akhirnya
dapat memberikan kesempatan bagi para manajer untuk melakukan manajemen
laba sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pribadinya.
Jensen dan Meckling dalam Isnanta (2008), menyatakan bahwa teori
keagenan mendeskripsikan pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen
sebagai agen. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham
untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu manajemen
diberikan sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik
pemegang saham. Oleh karena itu, manajemen wajib mempertanggungjawabkan
semua upayanya kepada pemegang saham. Karena unit analisis dalam teori
keagenan adalah kontrak yang melandasi hubungan antara prinsipal dan agen,
maka fokus dari teori ini adalah pada penentuan kontrak yang paling efisien yang
mendasari hubungan antara prinsipal dan agen. Untuk memotivasi agen maka
prinsipal merancang suatu kontrak agar dapat mengakomodasi kepentingan pihak-
pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Kontrak yang efisien adalah kontrak
yang memenuhi dua faktor, yaitu :
1. Agen dan prinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen
maupun majikan memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga
tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan
dirinya sendiri.
45
2. Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang
berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang
diterimanya.
Pada kenyataannya informasi simetris itu tidak pernah terjadi, karena
manajer berada didalam perusahaan sehingga manajer mempunyai banyak
informasi mengenai perusahaan,sedangkan prinsipal sangat jarang atau bahkan
tidak pernah datang ke perusahaan sehingga informasi yang diperoleh sangat
sedikit. Hal ini menyebabkan kontrak efisien tidak pernah terlaksana sehingga
hubungan agen dan prinsipal selalu dilandasi oleh asimetri informasi. Agen
sebagai pengendali perusahaan pasti memiliki informasi yang lebih baik dan lebih
banyak dibandingkan dengan prinsipal. Di samping itu, karena verifikasi sangat
sulit dilakukan, maka tindakan agen pun sangat sulit untuk diamati. Dengan
demikian, membuka peluang agen untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri
dengan melakukan tindakan yang tidak semestinya atau sering disebut
disfunctional behaviour, dimana tindakan ini dapat merugikan prinsipal, baik
memanfaatkan aset perusahaan untuk kepentingan pribadi, maupun perekayasaan
kinerja perusahaan.
46
2.1.10 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Daftar PenelitianTentang Perataan Laba , Ukuran Perusahaan, Debt to
Equity Ratio terhadap Earnings Response
No
Peneliti
(Tahun)
Teknik Analisis
Hasil Penelitian
1.
Yuliana
Mawarti
(2007)
Model Eckel
sampel
58 perusahaan di
BEJ
Hasil regresi tersebutmenunjukkan bahwa income
smoothing berpengaruh negatif terhadap
earningsresponse
2.
Samlaw
idanSud
ibyo
(2000)
Model albertch
danRichardson
1980 Uji
beda rata, uji beda
proporsi, dengan
sampel 116
perusahaan
di BEJ
Menunjukkan bahwa praktekperataan laba telah
terdapat padaperusahaan yang terdaftar di
BEJ.Penelitian ini mendukung hasiltemuan Ilmainir
(1993).
3.
Salno
dan
Baridwa
n
(2000)
Logistic
Regression,
sampel perusahaan
publik di Indonesia
Penelitian ini menyimpulkanbahwa faktor-faktor
besaranperusahaan, net profit marginkelompok usaha,
winner andlosser stocks secara signifikantidak
berpengaruh terhadapperataan laba
(incomesmoothing).
4
Khafid
(2002)
Model Eckel
sampel
66 perusahaan di
BEJ
Ditemukan 29 perusahaan yangdapat dikategorikan
sebagaikelompok perata laba dan 37perusahaan
sebagai kelompokbukan perata laba.
5.
Ilmainir
(1993)
Model Eckel 1981
Penelitian ini menemukan bahwapraktik perataan laba
telah terdapat pada perusahaanterdaftar di BEJ.
6.
Bitner
dan
Dollan
(1996)
Model Regresi
sampel
218 perusahaan
Bahwa income smoothingmemiliki pengaruh
negatifterhadap nilai perusahaan danmenemukan bukti
empiris bahwapasar ekuitas mengabaikanartificial
smoothing dan realsmoothing.
7.
Zuhroh
(1996)
Indek Eckel 1981
sampel 54
perusahaan
manufaktur
Mendukung hasil penelitianIlmainir (1993) bahwa
praktikperataan laba telah terdapat padaperusahaan
yang terdaftar di BEJ.
8.
Assih
dan
Gudono
(1998)
Zero growth model
and
market expextation
model
Penelitian ini mengindikasikanadanya praktik perataan
labadiantara perusahan perusahaanyang terdaftar di
BEJ
47
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1Hubungan Perataan Laba denganReaksi Pasar
Laba secara akuntansi merupakan perbedaan antara realisasi penghasilan
yang berasal dari transaksi perusahaan pada periode tertentu dikurangi dengan
biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan tersebut (Harahap 2002
dalam Siti L 2006:6). Harga saham di pasar sekunder berubah-ubah setiap saat
berdasarkan informasi yang diperoleh para investor di bursa efek. Dalam aktivitas
di pasar modal, harga saham merupakan faktor yang sangat penting dan harus
diperhatikan oleh investor dalam melaksanakan investasi. Harga saham tersebut
menunjukkan nilai suatu perusahaan. Menurut Marhaen (2006:19) terdapat dua
cara dalam menentukan harga saham yaitu melalui harga saham setelah publikasi
laporan keuangan dan harga saham penutupan rata-rata. Perdagangan saham
dipasar modal dipengaruhi oleh kondisi keuangan serta prospek masa depan
perusahaan. Selain faktor internal perusahaan, faktor eksternal perusahaan juga
mempengaruhi perdagangan saham. Faktor-faktor diluar perusahaan yang dapat
mempengaruhi perdagangan saham antara lain kebijakan pemerintah,
perkembangan kurs, kondisi bursa, volume dan frekuensi dibursa, kekuatan pasar,
tingkat inflasi, kebijakan moneter, kondisi ekonomi dan keadaan politik.
Menurut UU No. 8 tahun 1995 tentang pasar modal, harga saham pada
hakekatnya merupakan penerimaan atau besarnya biaya pengorbanan yang harus
dilakukan oleh setiap investor untuk penyertaan dalam perusahaan. Harga saham
mencerminkan nilai intrinsik suatu saham (nilai intrinsik merupakan nilai yang
mengandung unsur kekayaan perusahaan dan unsur potensi perusahaan untuk
48
menghimpun laba dimasa yang akan datang). Harga saham tersebut diartikan
sebagai harga yang dibentuk dari interaksi penjual dan pembeli saham yang dilatar
belakangi oleh harapan mereka terhadap profit perusahaan. Reaksi pasar yang
ditunjukkan dengan perubahan harga sekuritas tersebut dapat diukur dengan
menggunakan return atau dengan abnormal return sebagai nilai perubahan harga.
Pengembalian abnormal diperhitungkan sebagai perbedaan antara pengembalian
aktual ex-post dari surat berharga dan pengembalian normal perusahaan setelah
jendela peristiwa. Jika digunakan abnormal return maka dapat dikatakan bahwa
suatu pengumuman yang mempunyai kandungan informasi akan memberikan
abnormal return kepada pasar sebaliknya yang tidak mengandung informasi tidak
memberikan abnormal return kepada pasar (Dalam Simamora 2000:410).
Foster (1986) dalam Khafid (2004:43) menyebutkan bahwa pengumuman
yang berhubungan dengan laba (Earnings Related Announcements) merupakan
salah satu pengumuman yang dapat mempengaruhi harga sekuritas atau saham.
Pendapat Foster tersebut menjadi dasar dari penelitian ini untuk melihat reaksi
pasar atas pengumuman laba (melalui laporan keuangan khususnya laporan laba
rugi) dari perusahaan yang melakukan income smoothing. Beaver (1968) dalam
Assih (2000:37) menyebutkan bahwa bila pengumuman laba tahunan
mengandung informasi, variabilitas perubahan harga akan nampak lebih besar
pada saat laba diumumkan daripada saat lain selama tahun yang bersangkutan
karena terdapat perubahan dalam keseimbangan nilai harga saham saat itu selama
periode pengumuman. Hasil penelitiannya memberi bukti bahwa perilaku harga
dan volume sekitar tanggal pengumuman mengidentifikasikan bahwa laba
49
tahunan mengandung informasi yang relevan untuk penilaian perusahaan.
Pernyataan Beaver tersebut senada dengan hasil penelitian Triyono dan Hartono
(2000) dalam Siti L (2006:18) yang mengatakan, dengan pengujian model levels
didapatkan bahwa laba berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham.
Penelitian Bitner dan Dollan (1996) dalam Mursalim (2003:170) menyebutkan
bahwa income smoothing memiliki pengaruh negatif terhadap nilai perusahaan.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa dengan adanya perataan laba dapat
menimbulkan reaksi pasar pada saat pengumuman laba perusahaan.
H1 : Income Smoothing (Perataan laba) berpengaruh negatif terhadap
Earnings Response (Reaksi Pasar)
2.2.2 Hubungan Ukuran Perusahaan dengan Reaksi Pasar
Moses (1987) menemukan bukti bahwa perusahaan yang lebih besar
memiliki dorongan yang lebih besar pula untuk melakukan perataan laba
dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil, karena perusahaan yang lebih
besar menjadi subjek pemeriksaan yang lebih ketat dari pemerintah dan
masyarakat umum. Hasil lainnya ditemukan oleh Albretch dan Richardson (1990),
bahwa perusahaan yang lebih besar memiliki dorongan untuk melakukan perataan
laba karena perusahaan tersebut diteliti dan dipandang lebih kritis oleh para
investor.
Ukuran perusahaan umumnya dinilai dari besarnya aktiva perusahaan.
Perusahaan yang memiliki aktiva besar kemudian dikategorikan sebagai
perusahaan besar umumnya akan mendapat perhatian lebih banyak dari berbagai
pihak seperti para analis, investor, maupun pemerintah. Untuk itu perusahaan
50
besar diperkirakan akan menghindari fluktuasi laba yang terlalu drastis, sebab
kenaikan laba akan menyebabkan bertambahnya pajak. Sebaliknya penurunan
laba yang drastis akan memberikan image yang kurang baik. Oleh karena itu,
perusahaan besar diperkirakan memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk
melakukan praktik perataan laba (Nasser dan Herlina, 2003).
Budiasih (2007) menunjukkan bahwa variabel ukuran perusahaan
berpengaruh positif terhadap perataan laba karena semakin besar perusahaan
berarti semakin besar aktiva yang dimilikinya sehingga semakin besar
kemungkinan aktiva yang dimiliki merupakan hasil dari kinerja yang baik dari
perusahaan tersebut. Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Salno
(2000), Suwito dan Herawaty (2005) serta Juniarti dan Corolina (2005)
menunjukkan bahwa variabel ukuran perusahaan tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap perataan laba. Dari adanya hal tersebut maka para investor
akan berhati-hati dalam memutuskan untuk berinvestasi pada issuer (pihak yang
menerbitkan efek dan emiten) maka dari itu para investor juga dapat mempelajari
dan meyelidiki kinerja perusahaan dari segi ukuran perusahaan tersebut.
H2 : Firm Size (Ukuran Perusahaan) berpengaruh positif terhadap Reaksi Pasar
2.2.3 Hubungan Debt to Equity Ratio dengan Reaksi Pasar
Financial leverage menunjukkan proporsi penggunaan utang untuk
membiayai investasinya (Sartono 2001:120). Rasio leverage yang besar
menyebabkan turunnya minat investor untuk menanamkan modalnya pada
perusahaan tersebut, sehingga dapat memicu adanya tindakan perataan laba
(Pratamasari, 2006).
51
Hipotesis utang ekuitas (debt to equity hypothesis) menyatakan bahwa
semakin tinggi rasio utang ekuitas suatu perusahaan maka semakin dekat
perusahaan terhadap kendala-kendala dalam perjanjian utang dan semakin besar
probabilitas pelanggaran perjanjian sehingga memungkinkan manajer untuk
menggunakan metode-metode akuntansi yang meningkatkan income (Belkaoui,
2001:110). Lebih lanjut lagi hasil penelitian Alfiana (2006) menunjukkan bahwa
perusahaan yang mempunyai kontrak hutang akan lebih memilih prosedur
akuntansi yang dapat meningkatkan earnings dan aktiva untuk mengatasi masalah
pelunasan hutang perusahaan.
Hasil penelitian Kusniati dan Ekawati (2005) menunjukkan bahwa
perusahaan dengan tingkat hutang yang tinggi akan mempunyai risiko yang tinggi
pula, maka laba perusahaan berfluktuasi sehingga perusahaan cenderung
melakukan praktik perataan laba. Semakin besar utang perusahaan maka semakin
besar pula risiko yang dihadapi investor sehingga investor akan meminta tingkat
keuntungan yang semakin tinggi. Akibat kondisi tersebut perusahaan cenderung
untuk melakukan praktik perataan laba.
Hasil penelitian Masodah (2007) menunjukkan bahwa debt to equity ratio
berpengaruh terhadap perataan laba. Debt to equity ratio yang tinggi
mengakibatkan perusahaan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana
tambahan karena minimnya modal yang digunakan untuk perlindungan hutang,
sehingga perusahaan tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Perusahaan yang mengalami hal seperti ini sangat rentan melakukan praktik
perataan laba, diantaranya dengan memilih metode akuntansi yang dapat
52
meningkatkan labanya. Hasil penelitian Masodah (2007) berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Budiasih (2007) yang menunjukkan bahwa
financial leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap perataan laba. Jadi
berdasarkan hasil peneliti-peniliti diatas dapat disimpulkan jika akan ada
terjadinya reakasi pasar dari para investor untuk menganalisis perusahaan yang
akan diinvestasikan dari segi seberapa mampunya issuer dalam membayar
kewajiban hutangnya dan seberapa besarnya aset-aset yang dimiliki sehingga
dapat memperoleh hutang yang begitu besar.
H3: Debt to Equity Ratio berpengaruh negatif terhadap Reaksi Pasar