24
13 BAB II KAJIAN PUSTAKA Kajian pustaka merupakan parameter utama dalam penelitian ilmiah, karena kajian pustaka merupakan dasar pijakan untuk membangun suatu konstruk teoritik, sebagai acuan dasar dalam membangun kerangka berpikir, dan menyusun hipotesis penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam bab ini akan dibahas tentang teori yang mendasari disiplin kerja dan bagaimana hubungan disiplin kerja dan faktor-faktor yang memengaruhinya yaitu konsep diri dan iklim organisasi. Selain itu, dalam bab ini juga akan dibahas hasil-hasil penelitian terdahulu sehubungan dengan hubungan iklim organisasi dengan disiplin kerja dan habungan konsep diri dengan disiplin kerja karyawan. Hasil-hasil penelitian ini akan menjadi landasan atau dasar bagi penulis dalam menyusun hipotesis penelitian serta kerangka berpikir. 2.1. Disiplin Kerja 2.1.1 Definisi Disiplin Kerja Disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugastugas yang diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah kerja, semangat kerja, terwujudnya suatu tujuan bagi perusahaan dan karyawan. Oleh karena itu, peningkatan disiplin menjadi bagian yang penting dalam manajemen sumber daya manusia, sebagai faktor penting dalam peningkatan produktivitas. Disiplin kerja adalah suatu alat yang digunakan para manajer untuk berkomunikasi dengan karyawan agar mereka bersedia untuk mengubah suatu perilaku serta sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku (Rivai, 2004). Dalam suatu kesempatan, Hasibuan (2003) berpendapat bahwa kedisiplinan kerja adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan

BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9281/2/T2_832012004_BAB II.pdf · 2.1.1 Definisi Disiplin Kerja . Disiplin yang baik mencerminkan

  • Upload
    dohanh

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kajian pustaka merupakan parameter utama dalam penelitian ilmiah,

karena kajian pustaka merupakan dasar pijakan untuk membangun suatu

konstruk teoritik, sebagai acuan dasar dalam membangun kerangka berpikir,

dan menyusun hipotesis penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam

bab ini akan dibahas tentang teori yang mendasari disiplin kerja dan

bagaimana hubungan disiplin kerja dan faktor-faktor yang memengaruhinya

yaitu konsep diri dan iklim organisasi. Selain itu, dalam bab ini juga akan

dibahas hasil-hasil penelitian terdahulu sehubungan dengan hubungan iklim

organisasi dengan disiplin kerja dan habungan konsep diri dengan disiplin

kerja karyawan. Hasil-hasil penelitian ini akan menjadi landasan atau dasar

bagi penulis dalam menyusun hipotesis penelitian serta kerangka berpikir.

2.1. Disiplin Kerja

2.1.1 Definisi Disiplin Kerja

Disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab

seseorang terhadap tugas–tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini

mendorong gairah kerja, semangat kerja, terwujudnya suatu tujuan bagi

perusahaan dan karyawan. Oleh karena itu, peningkatan disiplin menjadi

bagian yang penting dalam manajemen sumber daya manusia, sebagai faktor

penting dalam peningkatan produktivitas. Disiplin kerja adalah suatu alat

yang digunakan para manajer untuk berkomunikasi dengan karyawan agar

mereka bersedia untuk mengubah suatu perilaku serta sebagai suatu upaya

untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua

peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku (Rivai, 2004).

Dalam suatu kesempatan, Hasibuan (2003) berpendapat bahwa kedisiplinan

kerja adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan

14

perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Sementara itu Sarwanto

(2007) menyatakan bahwa disiplin kerja adalah kesadaran dan kesediaan

seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial

yang berlaku.

Sementara itu, Tintri & Fitriatin (2010) menyatakan bahwa

kedisiplinan diartikan bilamana karyawan selalu datang dan pulang tepat

pada waktunya, mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik, mematuhi

semua peraturan perusahaan yang berlaku. dan dalam kedisiplinan karyawan

diperlukan peraturan dan hukuman. Peraturan itu sangat diperlukan untuk

memberikan bimbingan dan penyuluhan bagi karyawan, dalam menciptakan

tata tertib yang baik di perusahaan. Hal ini akan mendukung tercapainya

tujuan perusahaan, dan karyawan. Perusahaan sulit mencapai tujuannya, jika

karyawan tidak mematuhi peraturan-peraturan perusahaan tersebut.

Kedisiplinan suatu perusahaan dikatakan baik, jika sebagian besar karyawan

mematuhi peraturan-peraturan yang ada. Dengan kata lain, disipilin di

tempat kerja merupakan saran yang dipakai oleh pihak organisasi untuk

memperbaiki perilaku serta memastikan bahwa karyawan mematuhi

peraturan yang ditetapkan oleh perusahaan. Hal ini terlibat jelas dari

pendapat berikut ini: discipline in the workplace is the means by which

supervisory personnel correct behavioural deficiencies and ensure

adherence to established company rules. The purpose of discipline is correct

behaviour. It is not designed to punish or embarrass an employee (Jelley &

Moore, 2007, h. 2).

Sementara itu, Setiyawan & Waridin (2006) disiplin sebagai keadaan

ideal dalam mendukung pelaksanaan tugas sesuai aturan dalam rangka

mendukung optimalisasi kerja. Salah satu syarat agar disiplin dapat

ditumbuhkan dalam lingkungan kerja ialah, adanya pembagian kerja yang

tuntas sampai kepada pegawai atau petugas yang paling bawah, sehingga

15

setiap orang tahu dengan sadar apa tugasnya, bagaimana melakukannya,

kapan pekerjaan dimulai dan selesai, seperti apa hasil kerja yang disyaratkan,

dan kepada siapa mempertanggung jawabkan hasil pekerjaan itu.

Dari berbagai pandangan di atas, penulis menyimpulkan bahwa

disiplin kerja adalah kesadaraan dan kesediaan seseorang mentaati semua

peraturan perusahaan yang dibuat manajemen yang mengikat setiap anggota

perusahaan agar terdapat standar organisasi yang dapat dijalankan semua

karyawan baik dengan kesadaran sendiri dalam menjalankan tugas dalam

rangka mendukung optimalisasi kerja.

2.1.2 Teori Disiplin Kerja

Disiplin sangat diperlukan baik oleh karyawan maupun oleh

organisasi. Disiplin menunjukkan suatu kondisi atau sikap hormat yang ada

pada diri karyawan terhadap peraturan dan ketetapan perusahaan. Dengan

demikian bila peraturan atau ketetapan yang ada dalam perusahaan itu

diabaikan, atau sering dilanggar, maka karyawan mempunyai disiplin kerja

yang buruk. Sebaliknya, bila karyawan tunduk pada ketetapan perusahaan,

menggambarkan adanya kondisi displin yang baik. Latainer (dalam Sutrisno,

2009) menyatakan bahwa disiplin merupakan suatu kekuatan yang

berkembang di dalam tubuh karyawan dan menyebabkan karyawan dapat

menyesuaikan diri dengan sukarela pada keputusan, peraturan, dan nilai-nilai

tinggi dari pekerjaan dan perilaku. Singkatnya, disiplin dibutuhkan untuk

tujuan organisasi yang lebih jauh, guna menjaga efisiensi dengan mencegah

dan mengoreksi tindakan-tindakan individu dalam iktikad tidak baiknya

terhadap kelompok.

Lateiner & Levine (1983) menyatakan bahwa disiplin kerja

mempunyai beberapa aspek, antara lain:

1. Ketepatan waktu. Ketepatan waktu diartikan sebagai sikap yang

menunjukkan kepatuhan karyawan pada jam kerja, dimana karyawan

16

harus datang ke tempat kerja sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan,

serta menyelesaikan tugas dengan tepat waktu.

2. Kepatuhan terhadap peraturan. Peraturan maupun tata-tertib yang tertulis

dan tidak tertulis dibuat agar tujuan suatu organisasi dapat dicapai

dengan baik. untuk itu dibutuhkan sikap setia dari karyawan terhadap

komitmen yang telah ditetapkan tersebut. Kesetiaan disini berarti patuh

dalam melaksanakan perintah dari atasan dan peraturan, taat pada tata-

tertib yang telah ditetapkan, serta karyawan patuh dalam menggunakan

kelengkapan pakaian seragam yang telah ditentukan organisasi atau

lembaga.

3. Tanggung-jawab. Tanggung-jawab berarti, kesanggupan individu dalam

menghadapi pekerjaan yang menjadi tanggung-jawabnya sebagai

karyawan, serta menyelesaikan pekerjaan dengan sungguh-sungguh

sehingga dapat selesai sesuai dengan kebijakan organisasi tersebut.

Sementara itu, Anoraga & Suyati (1995) untuk mengetahui tingkat

kedisiplinan kerja yang baik dapat diukur berdasarkan aspek-aspek yaitu :

1. Kepatuhan tenaga kerja pada jam-jam kerja.

2. Kepatuhan tenaga kerja terhadap perintah atasan serta tata tertib yang

berlaku.

3. Penggunaan dan pemeliharaan bahan-bahan dan alat kantor dengan hati-

hati.

4. Bekerja dengan mengikuti cara-cara kerja yang telah ditetapkan oleh

organisasi atau perusahaan.

Berdasarkan aspek-aspek yang disebutkan di atas, dalam penelitian

ini penulis mengukur prestasi kerja menggunakan aspek-aspek yang

dikemukakan oleh Lateiner dan Levine (1983, dalam Siregar, 2012)

menyatakan bahwa disiplin kerja mempunyai beberapa aspek, yaitu

ketepatan waktu, kepatuhan terhadap peraturan, dan tanggung jawab. Hal ini

17

disebabkan karena aspek-aspek yang dikemukakan oleh Lateiner dan Levine

(1983, dalam Siregar, 2012) lebih relevan dengan situasi dan kondisi kerja

karyawan yang ada di RS. Panti Waluyo, Surakarta.

2.1.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Disiplin Kerja

Disiplin kerja tidak terbentuk dengan sendirinya. Disiplin kerja

merupakan hasil interaksi antara faktor luar dan dalam diri individu. Harsono

(dalam Hendrowati, 2003), mengemukakan beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi disiplin kerja karyawan, di antaranya adalah:

1. Iklim organisasi.

Faktor iklim organisasi adalah kondisi lingkungan kerja dapat menjadi

penyebab timbulnya perilaku melanggar aturan yang telah digariskan.

Lingkungan memberi rangsangan terhadap individu untuk berperilaku

termasuk perilaku disiplin. Contoh: apabila tuntutan dari luar individu

tersebut berlebihan, maka dapat merangsang timbulnya perilaku yang

tidak patuh, melanggar aturan, dan kurang tanggung jawab.

2. Kepemimpinan.

Faktor kepemimpinan adalah pengikat dan pengendali kehidupan

kesatuan merupakan disiplin dan sistem hierarkis, oleh karena itu

kebebasan individu dikurangi. Dalam hal ini, kekuatan pemimpin yang

dinyatakan dalam kewibawaan menciptakan sistem kesatuan yang

harmonis dan terarah tanpa menimbulkan akibat yang merugikan

terhadap kesatuannya. Contoh: jika pemimpin memberikan contoh

yang baik dalam arti disiplin kerja yang baik, maka disiplin kerja

bawahan pun akan ikut baik.

3. Konsep diri.

Dalam hal ini, Rogers (dalam Febri, 2003) menyatakan bahwa konsep

diri adalah suatu susunan dalam kepribadian. Individu yang dapat

menilai dirinya dengan baik atau positif, akan membuat individu

18

bersikap optimis terhadap pekerjaannya dalam arti bisa menyelesaikan

pekerjaan dengan baik dan tepat waktu. Contoh: dalam hal ini individu

mempunyai kesadaran dan kemauan untuk berbuat sesuai dengan

aturan yang semestinya.

4. Moral.

Faktor moral adalah kondisi moral seseorang juga menentukan dalam

individu berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Dengan kondisi

moral yang baik, seorang karyawan dapat bekerja dengan baik dalam

arti bisa mengikuti semua peraturan yang ditetapkan oleh perusahaan.

Contoh: individu yang memiliki moral yang baik ingin selalu

menjalankan peraturan dengan bertanggung jawab.

5. Kepuasan kerja.

Faktor kepuasan kerja adalah untuk melaksanakan disiplin kerja tidak

cukup dengan ancaman-ancaman saja tetapi perlu peningkatan

kesejahteraan yang cukup, sehingga karyawan merasa puas dan dapat

menerapkan disiplin kerja dalam bekerja. Contoh: gaji yang diberikan

sesuai dengan UMR (Upah Minimum Regional), tunjangan

kesejahteraan harus diperhatikan, dan fasilitas kantor terpenuhi.

Sementara itu, dalam kesempatan yang berbeda, Amriany, Probowati,

Atmadji (2004), Setyaningrum (2007), Nurlaksono dan Kumolohadi (2008),

dan Febrica (2010) melakukan berbagai penelitian sehubungan dengan

disiplin kerja. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa iklim organisasi

merupakan salah satu faktor yang memengaruhi disiplin kerja karyawan.

Berdasarkan berbagai faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja

dipengaruhi oleh berbagai faktor baik eksternal maupun internal. Faktor

internal berupa hal-hal yang berasal dari dalam diri karyawan sedangkan

faktor eksternal berupa pengaruh dari luar secara khusus dari lingkungan

kerja.

19

2.2 Iklim Organisasi

2.2.1 Definisi Iklim Organisasi

Iklim organisasi merupakan sesuatu yang nyata dirasakan oleh

orang-orang yang ada di dalam suatu organisasi. Apa yang dirasakan itu

mempengaruhi perilakunya yang akhirnya akan menentukan tingkat

produktivitas kerja mereka (Kamuli, 2012). Istilah iklim organisasi

(Organizational climate) pertama kalinya dipakai oleh Kurt Lewin pada

tahun 1930-an, dengan istilah iklim psikologi (psychological climate).

Konsep ini bermula dari formulasi konsep Lewin yang beranggapan bahwa

perilaku individu (behavior) merupakan fungsi dari variabel personal dan

lingkungan psikologisnya (Gintoe, 2012).

Ada pernyataan yang menyatakan bahwa iklim organisasi

merupakan persepsi karyawan tentang lingkungan organisasi yang

memberikan pengaruh terhadap sikap dan motivasi. Pernyataan tersebut

dijelaskan oleh Litwin & Stringer (1978, dalam Adeniji, 2011, h. 50)

menyatakan bahwa: considered this definition deficient in terms of individual

perceptions, noting that the climate of an organization is interpreted by its

members in ways, which impact their attitude and motivation. Menurut

Muhammad (2001) iklim organisasi adalah kualitas yang relatif abadi dari

lingkungan internal organisasi yang dialami oleh anggota-anggotanya,

mempengaruhi tingkah laku mereka serta dapat diuraikan dalam istilah nilai-

nilai suatu set karakteristik tertentu dari lingkungan. Berdasarkan definisi di

atas, dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi merupakan suasana kerja

yang diciptakan oleh hubungan antara pribadi atau individu dalam

organisasi. Hubungan antar pribadi atau individu tersebut dapat

mempengaruhi perilakunya sehingga dapat menimbulkan terjadinya

peningkatan produktivitas kerja pegawai. Higgins (1982, dalam Gintoe,

2012) menyatakan bahwa iklim organisasi adalah kumpulan dari persepsi

20

anggota organisasi termasuk mengenai peraturan, keinginan dari pekerjaan

dalam organisasi dan lingkungan sosial dalam organisasi. Dalam hal ini

iklim organisasi merupakan harapan-harapan serta cara pandang individu

terhadap organisasi.

Dalam suatu kesempatan, Siagian (2002), menjelaskan iklim

organisasi sebagai kondisi kerja yang bersifat fisik dan non fisik dari

lingkungan kerja yang turut berpengaruh terhadap perilaku dan yang menjadi

faktor motivasional yang perlu mendapat perhatian setiap pemimpin dalam

organisasi. Kemudian Davis (1996, dalam Apriyanto, 2007), menjelaskan

bahwa iklim organisasi adalah lingkungan dimana para pegawai organisasi

melakukan pekerjaan mereka. Iklim organisasi sebagai sistem yang dinamis

dipengaruhi oleh hampir semua hal yang terjadi dalam suatu organisasi. Jadi

iklim organisasi merupakan konsep sistem yang mencerminkan keseluruhan

gaya hidup organisasi. Karena iklim organisasi mencerminkan gaya hidup

maka secara otomatis iklim organisasi akan mempengaruhi keseluruhan

kegiatan organisasi termasuk perilaku anggotanya.

Berdasarkan berbagai definisi yang disampaikan oleh para ahli di

atas, penulis menyimpulkan bahwa iklim organisasi adalah persepsi individu

tentang keadaan atau kondisi lingkungan organisasi yang menunjukkan

kualitas lingkungan internal suatu organisasi yang mempengaruhi organisasi

sekaligus perilaku anggota-anggotanya.

2.2.2 Teori Iklim Organisasi

Dalam bekerja, lingkungan kerja berpengaruh langsung terhadap

sikap kerja dan menentukan prestasi kerja pegawai. Lingkungan kerja yang

menyenangkan membuat sikap pegawai positif dan memberi dorongan untuk

bekerja lebih tekun dan lebih baik. Sebaliknya, jika situasi lingkungan tidak

menyenangkan karyawan cenderung meninggalkan lingkungan tersebut.

21

Iklim di satu organisasi berbeda dengan organisasi lainya karena

adanya faktor-faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan. Stringer (2002,

dalam Wirawan, 2007) menyatakan bahwa adanya perbedaan iklim dari satu

organisasi dengan organisasi yang lain disebabkan oleh lima faktor yang

menyebabkan terbentuknya iklim tersebut. Berikut ini adalah gambar faktor-

faktor yang menyebabkan terbentuknya iklim dalam suatu organisasi

menurut Stringer (2002, dalam Wirawan 2007):

Sumber: Budaya dan Iklim Organisasi (Wirawan, 2007)

1. Lingkungan eksternal. Industri atau bisnis yang sama mempunyai iklim

organisasi umum yang sama. Misalnya, iklim organisasi umum asuransi

umumnya sama. Demikian juga iklim organisasi pemerintah, sekolah

dasar, atau perusahaan angkutan di Indonesia, mempunyai iklim yang

sama.

2. Strategi organisasi. Kinerja suatu perusahaan bergantung pada strategi

(apa yang diupayakan untuk dilakukan), energi yang dimiliki karyawan

untuk melaksanakan pekerjaan yang diperlukan oleh strategi (motivasi)

Iklim Organisasi

Praktik Kepemimpinan

Pengaturan Organisasi

Strategi Organisasi

Sejarah Organisasi

Lingkungan Eksternal

Gambar 2.2

Faktor yang mempengaruhi Iklim Organisasi

22

dan faktor-faktor lingkungan penentu dari level energi tersebut. Strategi

yang berbeda menimbulkan pola iklim yang berbeda.

3. Pengaturan organisasi. Pengaturan organisasi mempunyai pengaruh

paling kuat terhadap iklim organisasi.

4. Sejarah organisasi. Semakin tua umur suatu organisasi semakin kuat

pengaruh kekuatan sejarahnya. Pengaruh tersebut dalam bentuk tradisi

dan ingatan yang membentuk harapan anggota organisasi dan

mempunyai pengaruh terhadap iklim organisasinya.

5. Praktik kepemimpinan. Perilaku pemimpin mempengaruhi iklim

organisasi yang kemudian mendorong motivasi karyawan.

Iklim organisasi dapat dikategorikan sebagai faktor eksternal yang

menjadi stimuli bagi individu, yang selanjutnya akan diproses dan

membentuk persepsi tentang organisasinya. Persepsi terhadap iklim

organisasi adalah cara pandang individu terhadap situasi lingkungan

kerjanya, yang dilihat, diamati dan dirasakan oleh individu selaku anggota

organisasi kemudian diberi makna oleh individu berdasarkan interpretasi

mereka terhadap situasi lingkungan kerjanya. Hasil dari interpretasi tersebut

dapat memberikan pengaruh-pengaruh tertentu terhadap perilaku anggota

organisasi. Adanya perbedaan persepsi pada individu terhadap iklim

organisasi disebabkan oleh adanya perbedaan pada faktor internal yang

terdapat dalam diri individu (Gintoe, 2012).

Altman (2000, dalam Wirawan, 2007) mengungkapkan bahwa

terdapat tujuh aspek iklim organisasi, yakni:

1. Keadaan lingkungan fisik tempat kerja. lingkungan fisik adalah

lingkungan yang berhubungan dengan tempat, peralatan, dan proses

kerja. Persepsi karyawan tentang tempat kerja menciptakan persepsi

karyawan mengenai iklim organisasi.

23

2. Keadaan lignkungan sosial. Lingkungan sosial adalah interaksi antara

anggota organisasi. Hubungan tersebut dapat bersifat hubungan

formal, informal, kekeluargaan, atau profesional.

3. Pelaksanaan sistem manajemen. Sistem manajemen adalah pola

proses pelaksanaan manajemen organisasi.

4. Produk. Produk adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh

organisasi.

5. Konsumen yang dilayani. Konsumen yang dilayani dan untuk siapa

produk ditujukan memengaruhi iklim organisasi.

6. Kondisi fisik dan kejiwaan anggota organisasi. Persepsi mengenai

kondisi fisik dan kejiwaan anggota organisasi sangat memengaruhi

iklim organisasi.

7. Budaya organisasi. baik budaya maupun iklim organisasi

memengaruhi perilaku anggota organisasi yang kemudian

memengaruhi kinerja mereka.

Lebih lanjut, Stringer (2002, dalam Wirawan, 2007) menguraikan

enam aspek untuk mengukur iklim organisasi yang disebut Organizational

Climate Questionnaire untuk organisasi sektor publik termasuk

pemerintahan yaitu:

1. Struktur (structure). Struktur merefleksikan perasaan yang dirasakan

pegawai dalam organisasi yang secara terorganisir dengan baik dan

memiliki uraian tugas mengenai peran dan tanggung jawab yang

jelas. Struktur tinggi jika pegawai merasa bahwa pekerjaan setiap

orang diorganisir dengan baik. Struktur rendah jika terjadi

kebingungan mengenai siapa yang harus melakukan sesuatu dan

mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan.

2. Standar-standar (standards). Standar-standar dalam suatu organisasi

mengukur perasaan tekanan untuk meningkatkan kinerja dan tingkat

24

atau derajat kebanggaan pegawai ketika melakukan pekerjaannya

dengan baik. Standar-standar tinggi artinya karyawan dalam

organisasi selalu berupaya mencari jalan untuk meningkatkan kinerja.

Sebaliknya standar rendah merefleksikan harapan yang lebih rendah

untuk kinerja.

3. Tanggung jawab (responsibility). Tanggung jawab merefleksikan

perasaan pegawai bahwa mereka adalah “bos bagi diri mereka

sendiri” dan tidak harus melaporkan semua keputusan mereka

kepada atasan. Tanggung jawab yang tinggi menunjukkan bahwa

pegawai merasa memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan

masalahnya sendiri sedangkan tanggung jawab yang rendah

menunjukkan bahwa pegawai tidak diharapkan untuk mengambil

resiko dan mencoba pendekatan baru.

4. Penghargaan (recognition). Penghargaan merefleksikan perasaan

pegawai dalam organisasi yang merasa dihargai atas pekerjaan yang

diselesaikan dengan baik. Penghargaan merupakan ukuran

penghargaan yang dihadapkan dengan kritik dan hukuman atas

penyelesaian pekerjaan. Penghargaan rendah artinya penyelesaian

pekerjaan dengan baik diberikan imbalan secara tidak konsisten.

5. Dukungan (support). Dukungan merefleksikan perasaan percaya dan

saling mendukung yang berlaku di kelompok kerja/unit kerja dalam

organisasi. Dukungan tinggi jika anggota organisasi merasa bahwa

mereka bagian dari tim yang berfungsi dengan baik dan merasa

memperoleh bantuan dari atasannya, jika mengalami kesulitan dalam

menjalankan tugas. Jika dukungan rendah, anggota organisasi merasa

terisolasi dan tersisih sendiri.

6. Komitmen (commitment). Komitmen merefleksikan perasaan bangga

pegawai oleh sebagai bagian dalam organisasi dan tingkat atau

25

derajat komitmen/keloyalan terhadap pencapaian tujuan-tujuan

organisasi. Perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan loyalitas

personal. Level rendah komitmen artinya pegawai merasa apatis

terhadap organisasi dan tujuannya.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan aspek-aspek iklim

organisasi yang dikemukakan oleh Stringer (2002, dalam Wirawan, 2007).

Hal ini disebabkan karena aspek yang dikemukakan sesuai dengan situasi

dan kondisi karyawan di RS Panti Waluyo Surakarta.

2.3. Konsep Diri

2.3.1. Definisi Konsep Diri

Konsep diri (self concept) adalah gambaran yang dimiliki seseorang

tentang dirinya, yang merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki

tentang diri mereka sendiri, seperti karakteristik fisik, psikologis, sosial,

emosional, aspirasi, dan prestasi (Hurlock, 1990, dalam Ekasari, 2008).

Konsep diri merupakan pondasi utama keberhasilan proses pembelajaran,

termasuk bagaimana seseorang belajar meningkatkan kecerdasan

emosionalnya (Gunawan, 2003).

Dalam suatu kesempatan, Sikhwari (2014) menyatakan bahwa

konsep diri adalah cara individu memahami dirinya sendiri baik itu bersifat

positif maupun negatif. Hal senada diungkapkan oleh Brooks (dalam

Rahmat, 2000) menjelaskan konsep diri sebagai pandangan dan perasaan

mengenai diri sendiri. Persepsi mengenai diri sendiri dapat bersifat psikis,

sosial, dan fisik. Konsep diri dapat berkembang menjadi konsep diri positif

atau negatif. Sedangkan menurut Hurlock (1999) konsep diri adalah

pandangan individu mengenai dirinya. Konsep diri terdiri dari dua

komponen, yaitu konsep diri sebenarnya (real self) yang merupakan

26

gambaran mengenai diri, dan konsep diri ideal (ideal self) yang merupakan

gambaran individu mengenai kepribadian yang diinginkan.

Santrock (2003), dalam uraian pengertian self dipisahkan antara rasa

percaya diri (self-esteem) dan konsep diri (self concept). Rasa percaya diri

(Self-esteem) adalah dimensi evaluatif yang menyeluruh dari diri, yang

biasanya disebut sebagai harga diri atau gambaran diri sedangkan self

concept merupakan evaluasi terhadap domain yang spesifik dari dirinya.

seseorang dapat membuat evaluasi diri terhadap berbagai domain dalam

hidupnya baik dalam bidang pendidikan, minat, pekerjaan bahkan

penampilan fisik. Walaupun demikian dalam implikasi uraian pengukuran

rasa percaya diri dan konsep diri dijadikan satu, yaitu konsep diri mencakup

harga diri dan gambaran diri seseorang.

Brooks (dalam Juriana, 2000), konsep diri merupakan persepsi

mengenai diri individu sendiri baik yang bersifat fisik, sosial, dan psikologis

yang diperoleh individu melalui pengalaman dan interaksi individu dengan

orang lain. Sedangkan, Berzonsky (dalam Febri, 2003) mendefinisikan

konsep-diri sebagai pandangan atau penilaian individu terhadap dirinya

sendiri, baik yang bersifat fisik, psikis, sosial, maupun moral, yang didapat

dari hasil interaksinya dengan orang lain. Rogers (dalam Juriana, 2000)

mendefinisikan konsep-diri sebagai gambaran mental diri sendiri yang terdiri

dari pengetahuan tentang diri, pengharapan bagi diri, dan penilaian terhadap

diri sendiri. Menurut Latipun (2000) konsep-diri merupakan persepsi dan

nilai-nilai individu tentang dirinya atau hal-hal lain yang berhubungan

dengan dirinya. Micchener & Delamayer (dalam Widodo & Diana, 2004)

mendefinisikan konsep-diri sebagai struktur kognisi atau perasaan terhadap

diri sendiri yang terorganisasi, yang terdiri dari persepsi individu terhadap

identitas sosial dan kualitas personal individu serta generalisasi terhadap

dirinya sendiri berdasarkan pengalaman individu.

27

Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa

konsep diri merupakan pandangan, perasaan, sikap, dan keyakinan tentang

diri individu itu sendiri yang mencakup seluruh pandangan individu, baik

yang bersifat fisik, psikologis, sosial, dan moral, yang diperoleh individu

melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain.

2.3.2. Teori Konsep Diri

Menurut Hurlock (1980), konsep diri terbentuk melalui 3 tahap sejalan

dengan perkembangan individu. Konsep diri primer, konsep diri sekunder

dan konsep diri ideal. Konsep diri yang pertama kali terbentuk adalah konsep

diri Primer, terbentuk dari pengalaman sosial anak yang diperoleh dari

keluarga sejak awal umur anak. Konsep diri ini sebagai susunan dasar

pertama, karena diperoleh anak pada kehidupannya yang pertama, yang

dipengaruhi oleh kualitas intensis konsep diri sendiri. Kemudian konsep diri

akan terus berkembang sejalan dengan semakin luasnya hubungan sosial

yang diperoleh individu. Bagaimana orang-orang sekitarnya memperlakukan

dirinya, apa yang mereka katakan tentang dirinya, serta yang diraihnya

dalam kelompok akan memperkuat dan memodifikasi konsep diri yang

sudah terbentuk dalam keluarga. Oleh karena struktur konsep diri tersebut

berkembang secara hirarkis dan saling terkait satu sama lainnya, maka ia

akan mencapai tingkat perkembangan tertentu yang relatif stabil.

Konsep diri sekunder terbentuk melalui kontak anak dengan

lingkungan yang lebih luas, seperti pengalaman dengan teman sebaya.

Disebut sekunder karena terbentuk belakangan dan dipengaruhi oleh konsep

diri sebelumnya. Konsep diri ideal adalah konsep diri yang lebih tinggi dari

konsep diri yang sudah terbentuk sebelumnya, tapi dipengaruhi oleh konsep

diri sebelumnya. Konsep diri ideal merupakan persepsi tentang diri sendiri

sebagaimana yang diinginkan, dan terbentuk berdasarkan gambaran yang

ada. Perkembangan masing-masing konsep diri saling mempengaruhi.

Calhoun & Acocella (1995), mengemukakan sumber internal penting

dalam pembentukan konsep diri adalah orangtua sebagai kontak sosial yang

paling awal dan kuat yang di alami oleh individu. Teman sebaya menempati

28

peringkat ke dua, karena selain individu membutuhkan cinta orangtua ia

membutuhkan juga penerimaan teman sebaya dan apa yang diungkapkan

pada dirinya akan dijadikan sebagai penilaian terhadap dirinya. Masyarakat

juga turut berpengaruh dalam pembentukan konsep diri, sebab dalam

masyarakat terdapat norma-norma yang akan membentuk konsep diri pada

seseorang. Misalnya, perlakuan yang berbeda antara pria dan wanita akan

membuat pria dan wanita berbeda dalam berperilaku.

Selanjutnya Maccoby (1980), mengemukakan bahwa konsep diri

terbentuk berdasarkan struktur kognitif dan kematangan sosial yang terus

mengalami peningkatan. Dalam perkembangannya konsep diri

mempengaruhi perilaku. Struktur kognitif adalah pandangan individu

terhadap dirinya sendiri. Kematangan sosial adalah interaksi anak dengan

orang lain yang dimulai dari keluarga, lingkungan teman sebaya dan

masyarakat. Lebih jauh dijelaskan bahwa semakin luas interaksi individu

dengan yang lain, maka semakin berkembangnya konsep diri yang dimiliki

karena individu memiliki pandangan dan perilaku yang luas tentang dirinya,

sehingga perilakunya pun menunjukan gambar tentang kondisi dirinya.

Menurut Arikunto (1993), konsep diri terbentuk melalui dan dalam proses

alami yang dijalani oleh individu sendiri dalam kehidupannya terutama di

dalam memenuhi kebutuhannya. Apabila di dalam kehidupan individu

banyak mengalami keberhasilan dari usahanya, maka akan tumbuh

kepercayaan bahwa dirinya cukup mempunyai arti. Dalam pengertian bahwa

semakin banyak pengalaman keberhasilan dan kegagalan, maka bahan untuk

mengamati konsep dirinya semakin banyak pula. Sejalan dengan pendapat

di atas, Hurlock (1980) mengatakan bahwa sepanjang kehidupan seseorang,

konsep diri secara kontinyu akan berkembang dan berubah. Sumber

informasi untuk konsep diri adalah interaksi individu dengan orang lain.

Individu menggunakan orang lain untuk menunjukkan siapa dirinya (Cooley

dalam Calhoun & acocella, 1995). Individu membayangkan bagaimana

pandangan orang lain terhadapnya dan bagaimana mereka menilai

penampilannya. Penilaian dan pandangan orang lain diambil sebagai

gambaran tentang diri individu.

29

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses terbentuknya konsep

diri merupakan perpaduan antara pengalaman eksternal dan pengalaman

internal yang sejalan dengan perkembangan individu. Pengalaman eksternal

diperoleh melalui interaksi dengan orang lain yang diawali dari interaksi

anak dengan orangtua dan keluarga. Keluarga merupakan pengalaman

pertama bagi anak untuk melihat dunia luar dan melalui interaksi awal ini

menjadi dasar bagi individu untuk dapat melihat dirinya sendiri. Pengalaman

selanjutnya diperoleh individu melalui interaksi dengan teman sebaya dan

lingkungan yang lebih luas.

Menurut Hurlock (1992) konsep-diri terdiri dari dua aspek yang

mempengaruhi yakni:

1. Fisik. Aspek ini meliputi sejumlah konsep yang dimiliki individu

mengenai penampilan, kesesuaian dengan jenis kelamin, arti penting

tubuh, dan perasaan gengsi dihadapan orang lain yang disebabkan

oleh keterbatasan fisik yang dimiliki. Hal penting yang berkaitan

dengan keadaan fisik adalah daya tarik dan penampilan tubuh

dihadapan respon sosial yang menyenangkan dan penerimaan sosial

dari lingkungan sekitar yang akan menimbulkan konsep yang positif

bagi individu.

2. Psikologis. Aspek ini meliputi penilaian individu terhadap keadaan

psikis dirinya, seperti perasaan mengenai kemampuan dan

ketidakmampuan yang akan berpengaruh terhadap rasa percaya-diri

dan harga-diri. Individu yang merasa mampu akan mengalami

peningkatan rasa percaya-diri dan harga-diri, sedangkan individu

dengan perasaan tidak mampu akan merasa rendah-diri sehingga

cenderung terjadi penurunan harga-diri.

Sedangkan Berzonsky (dalam Febri, 2003) menyatakan konsep diri

memiliki empat aspek penting, yang diantaranya adalah:

30

1. Aspek fisik. Meliputi penilaian individu terhadap segala sesuatu yang

dimilikinya, yaitu yang bersifat fisik meliputi kesehatan, penampilan

diri, serta penilaian individu terhadap segala sesuatu yang

dimilikinya. Misalnya, “saya mempunyai tubuh ideal” dan gerakan

motoriknya.

2. Aspek psikis. Meliputi penilaian individu terhadap dirinya sendiri,

yang di dalamnya terdapat pikiran, perasaan, dan sikap yang dimiliki

individu terhadap dirinya sendiri. Misalnya, “saya merasa yakin

dengan kemampuan yang saya miliki.”

3. Aspek sosial. Meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan

individu dan penilaian terhadap peran tersebut. Misalnya, “saya

sering membantu teman-teman.” Dengan kata lain, merupakan

penilaian individu terhadap dirinya dalam interaksi dengan orang lain

atau lingkungan yang lebih luas.

4. Aspek moral. Meliputi penilaian dan prinsip yang memberikan area

dan arah bagi kehidupan atau persepsi individu tentang dirinya

ditinjau dari standar pertimbangan nilai-nilai moral dan etika.

Misalnya, menegakkan kebenaran adalah kewajiban setiap manusia.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan aspek-aspek yang

dikemukakan oleh Berzonsky (dalam Febri, 2003), karena aspek-aspek yang

dikemukakan tersebut lebih jelas dan lengkap ketika digunakan untuk

mengukur konsep diri karyawan.

2.4. Penelitian Terdahulu

2.4.1 Hubungan Iklim Organisasi dan Disiplin Kerja

Berbagai penelitian terdahulu telah dilakukan oleh para peneliti untuk

melihat pengaruh iklim organisasi terhadap disiplin kerja karyawan. Sutrisno

dan Desanti (2011) dalam penelitian terhadap dosen jurusan administrasi di

31

Politeknik Negeri Pontianak ditemukan bahwa terdapat pengaruh yang

positif signifikan iklim organisasi terhadap disiplin kerja karyawan. Dalam

penelitian ini dijelaskan bahwa suatu organisasi akan mengalami perubahan

organisasional dan perencanaan SDM. Ini berarti bahwa setiap organisasi

harus selalu peka terhadap kekuatan lingkungan yang mempengaruhi

organisasi. Setiap perubahan selalu akan melibatkan manusia (dilakukan

manusia) dan berpengaruh terhadap emosi dan iklim organisasi. Berdasarkan

uraian maka disimpulkan bahwa keinginan yang kuat dapat memberikan

anggota organisasi pemahaman yang jelas tentang organisasi mereka. Semua

organisasi mempunyai iklim organisasi dan bergantung pada

penyesuaiannya, iklim organisasi dapat mempunyai pengaruh yang

bermakna pada sikap dan prilaku anggota-anggotanya. Dengan terciptanya

iklim organisasi yang kondusif, maka akan turut memengaruhi disiplin kerja

karyawan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Peterson, dkk (2005)

menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara iklim

organisasi dengan disiplin kerja karyawan yang pada akhirnya memengaruhi

kinerja karyawan. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa organisasi

yang baik akan menciptakan lingkungan kerja yang kondusif. Lingkungan

kerja yang kondusif berupa relasi antara atasan dengan bawahan yang baik,

relasi antar karyawan terjalin baik, karyawan nyaman dengan pekerjaan yang

ditekuni, serta terjaminnya fasilitas kerja yang baik. Dengan terciptakannya

lingkungan kerja yang kondusif, akan memicu munculnya sikap kerja yang

positif yang dicerminkan melalui disiplin kerja karyawan.

Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Nurlaksono &

Kumolohadi (2008) melakukan penelitian terhadap Pegawai Negeri Sipil di

Daerah Jogyakarta. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ada pengaruh

positif signifikan iklim organisasi terhadap disiplin kerja karyawan. Lebih

32

lanjut dijelaskan dalam penelitian ini bahwa iklim organisasi merupakan

faktor penting yang menentukan kehidupan suatu organisasi. Iklim

organisasi mencerminkan kondisi internal suatu organisasi karena iklim

hanya dapat dirasakan oleh anggota organisasi tersebut dan iklim dapat

menjadi sarana untuk mencari penyebab perilaku negatif yang muncul pada

karyawan. Jika iklim yang dimunculkan oleh perusahaan positif, maka akan

tercipta perilaku kerja positif yang tergambar melalui meningkatnya disiplin

kerja karyawan. Tetapi sebaliknya jika iklim kerja yang tercipta tidak

kondusif, maka akan memunculkan perilaku-perilaku negatif dalam diri

karyawan yakni malas dalam bekerja, menunda-nunda pekerjaan, datang

tidak tepat waktu, yang kesemuanya itu merupakan aspek-aspek penting dari

disiplin kerja karyawan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Castro & Martins (2010)

ditemukan bahwa terdapat pengaruh iklim organisasi terhadap disiplin kerja

karyawan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dengan terbentuknya iklim kerja

yang kondusif akan memberikan kenyamanan dalam diri karyawan untuk

bekerja. dengan adanya kenyamanan, maka karyawan akan terdorong untuk

aktif dalam bekerja sehingga terhindar perilaku-perilaku buruk seperti

mogok kerja, bolos, maupun menunda-nunda pekerjaan. Hasil penelitian

senada diutarakan oleh Probowati & Admadji (2004) dimana dinyatakan

bahwa iklim organisasi berpengaruh positif signifikan terhadap disiplin kerja

karyawan. Hal ini disebabkan karena organisasi mampu menciptakan

suasana kerja yang kondusif. Lebih lanjut dijelaskan bahwa suasana kerja

yang kondusif akan memberikan dorongan positif dalam diri karyawan untuk

memunculkan perilaku-perilaku positif ketika bekerja, salah satunya yakni

disiplin kerja yang tinggi.

33

2.4.2 Hubungan Konsep Diri dan Disiplin Kerja

Selain disiplin kerja, konsep diri juga merupakan salah satu faktor

yang memengaruhi tinggi rendahnya disiplin kerja. Sari (2009) dalam

penelitian menyatakan bahwa ada hubungan positif signifikan konsep diri

terhadap disiplin kerja karyawan. Pegawai yang memiliki konsep diri yang

positif akan mampu meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri yang

tinggi. Hal ini akan memampukan invidu untuk mampu beradaptasi dengan

lingkungan kerja. hal ini akan meningkatkan kualitas kerja, rajin bekerja,

jarang absen, dan menunjukan performa kerja yang tinggi. Haryotomo

(2008), yang menyimpulkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara

konsep-diri dengan disiplin kerja pada karyawan, dengan hasil korelasi

product moment dari Pearson adalah 0,584 dengan p = 0,000 (p < 0,01), yang

menunjukkan bahwa konsep-diri akan mengarahkan individu untuk

mengambil sikap tertentu pada lingkungan, termasuk lingkungan pekerjaan.

Apabila perusahaan dipersepsi secara positif, maka akan tumbuh rasa aman

dan percaya terhadap wibawa perusahaan, sehingga karyawan berperilaku

sesuai dengan peraturan yang ada di perusahaan. Sedangkan penelitian yang

dilakukan oleh Siregar (2012) dalam penelitian menyimpulkan bahwa

terdapat tidak ada pengaruh konsep diri terhadap disiplin kerja karyawan.

Hasil ini menunjukkan, individu yang memiliki konsep diri yang rendah

akan tampak ragu-ragu, kurang percaya-diri dengan kemampuan dan

penampilan, serta kurang berani dalam menghadapi persaingan antar sesama

rekan kerja meskipun individu tersebut memiliki kemampuan dan

penampilan yang menarik (Haryotomo, 2008). Hal ini seperti pendapat

Fuhrman (dalam Hendrowati, 2003) yaitu, bila individu menilai dirinya

kurang baik, maka individu akan menganggap remeh dan membayangkan

kegagalan.

34

2.5 Dinamika Psikologi

Peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi sangat urgen dan

perlu dilakukan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan dalam

rangka meningkatkan kemampuan dan profesionalisme. Sasaran dari

pengembangan kualitas sumber daya pegawai adalah untuk meningkatkan

kinerja operasional pegawai dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.

Selain itu, kualitas sumber daya pegawai yang tinggi akan bermuara pada

lahirnya komitmen yang kuat dalam penyelesaian tugas-tugas rutin sesuai

tanggung jawab dan fungsinya masing-masing secara lebih efisien, efektif,

dan produktif. Peningkatan kualitas SDM ini terjadi di segala sektor baik

yang bergerak di bidang produksi maupun industri yang menawarkan

pelayanan jasa, termasuk Rumah Sakit.

Rumah Sakit mempunyai tugas melaksanakan suatu upaya kesehatan

secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan atau

mementingkan upaya penyembuhan dan pemulihan yang telah dilaksanakan

secara serasi dan terpadu oleh pihak rumah sakit. Hal tersebut dalam upaya

peningkatan dan pencegahan penyakit serta upaya perbaikan. Rumah sakit

tidak hanya sekedar menampung orang sakit saja melainkan harus lebih

mementingkan jaminan hak-hak pengguna pelayanan kesehatan sesuai

dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur

operasional yang berlaku, etika profesi, dan mengutamakan keselamatan

pasien. Untuk hal itulah maka perlu peningkatan kualitas SDM.

Peningkatan kualitas SDM menemui berbagai hambatan dan

kesulitan bagi karyawan di Rumah Sakit. Terutama dalam hal disiplin kerja.

Disiplin kerja menjadikan salah satu faktor penting dalam bentuk ketaatan

dari perilaku seseorang untuk memenuhi ketentuan atau peraturan yang

berkaitan dengan pekerjaan dan mutu pelayanan menunjuk pada tingkat

kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan dan tuntuan

35

setiap pasien. Disiplin kerja bukan tercipta secara begitu saja. Disiplin kerja

timbul karena kualitas mental individu. Disiplin kerja dipengaruhi oleh

berbagai faktor, dua diantaranya yaitu iklim organisasi dan konsep diri.

Iklim organisasi merupakan salah satu faktor yang memengaruhi

terciptanya disiplin kerja karyawan yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh

adanya iklim organisasi yang merupakan suasana lingkungan kerja dapat

memengaruhi tingkah laku karyawan. Pada akhirnya akan memunculkan

perilaku baru. Perilaku tersebut akan menjadi positif jika iklim organisasi

yang tercipta baik. Tetapi sebaliknya, jika iklim organisasi tidak kondusif

maka akan tercipta perilaku kerja yang tidak diinginkan misalnya

ketidakdisiplinan kerja. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Nurlaksono & Kumolohadi (2008) bahwa iklim organisasi

yang kondusif akan memunculkan disiplin kerja yang tinggi. Hal senada

diungkapkan oleh Choudury (2011), Patterson dkk (2005), dan McGrath

(2011) bahwa iklim organisasi memberikan dampak yang positif bagi

disiplin kerja karyawan. Dengan adanya iklim organisasi yang kondusif,

ditopang dengan faktor konsep diri yang positif maka akan memberikan

dampak yang positif juga terhadap disiplin kerja karyawan. hal ini berarti

bahwa konsep diri yang positif memberikan dampak yang positif terhadap

disiplin kerja karyawan. Dengan demikian diharapkan bahwa karyawan

hendaknya memiliki konsep diri yang positif agar memberikan pengaruf

yang positif signifikan terhadap disiplin kerja karyawan.

36

2.6. Model Peneltian

Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu di atas, maka penulis

membuat sebuat model atau kerangka berpikir sebagai berikut:

2.7. Hipotesis Penelitian

Adapun rumusan hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini

adalah:

H1 : Terdapat hubungan iklim organisasi dan konsep diri dengan disiplin

kerja karyawan di RS Panti Waluyo Surakarta.

H2 : Terdapat pengaruh interaksi iklim organisasi dan jenis kelamin

terhadap disiplin kerja karyawan di RS Panti Waluyo Surakarta.

H3 : Terdapat pengaruh interaksi konsep diri dan jenis kelamin terhadap

disiplin kerja karyawan di RS Panti Waluyo Surakarta.

H4 : Terdapat pengaruh interaksi iklim organisasi, konsep diri dan jenis

kelamin terhadap disiplin kerja karyawan di RS Panti Wluyo

Surakarta.

H5 : Terdapat perbedaan disiplin kerja ditinjau dari jenis kelamin.

Iklim

Organisasi

Konsep

Diri

Jenis

Kelamin

Disiplin

Kerja

Gambar 2.6

Model Penelitian