Upload
nguyennhan
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian mengenai Kabhanti telah banyak dilakukan dari berbagai kajian, seperti: kajian
budaya, linguistik murni, dan wacana sastra. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan
dengan penelitian sebelumnya, perlu dipaparkan beberapa penelitian yang terkait dengan
penelitian ini. Berikut ini, beberapa inti sari penelitian terdahulu.
Sudu (2010) Menulis “Kabhanti Gambusu, Telaah Bentuk, Makna, dan Fungsi (Skripsi
Unhalu). Penelitian Sudu merupakan tinjauan pewarisan mengenai Kabhanti Gambusu, yang
bertujuan mengungkapkan model pewarisan Kabhanti Gambusu pada masyarakat Muna. Teori
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pewarisan, teori formula dengan memaparkan
konsep kelisanan, lantunan, dan penciptaan tradisi lisan. Sumber penelitian berupa data langsung
dari lapangan dan didukung oleh studi pustaka.
Penelitian Sudu menganalisis model baru pewarisan tradisi lisan Kabhanti Gambusu pada
masyarakat Muna. Pewarisan dilakukan baik secara formal maupun informal. Hasil pewarisan
secara formal berupa tindakan pemerintah Kabupaten Muna melalui pembuatan kurikulum
muatan lokal, namun tidak berjalan dengan baik. Sementara itu, hasil pewarisan informal
dilakukan melalui lantunan, keluarga, sanggar, dan industri rekaman yang dilakukan sendiri oleh
masyarakat setempat. Hal ini mampu berjalan dengan baik. Penelitian ini memiliki persamaan
dengan penelitian Sudu yaitu menjelaskan bagaimana bentuk, fungsi, dan makna sebagai pokok
permasalahan. Namun, yang menjadi perbedaan adalah jenis Kabhantinya. Sudu menggunakan
objek penelitian Kabhanti Gambusu, sedangkan penelitian ini menggunakan objek penelitian
Kabhanti Watulea. Singkatnya, berbeda pada lokasi namun memilik dasar penelitian yang sama
yaitu Kabhanti.
Aderalepe dkk (2006) dengan karya tulis berjudul “Analisis Semiotik Sastra Lisan
Kantola: Sastra Lisan Daerah Buton Tengah, Kendari, Kantor Bahasa Propinsi Sulawesi
Tenggara Departemen Pendidikan Nasional” menjelaskan karya lisan Kabhanti Kantola. Peneliti
menjabarkan permasalahan Kabhanti Kantola dalam bentuk pola budaya masyarakat setempat.
Lokasi penelitian pada lima Kecamatan, yakni: Kecamatan Kabawo, Kecamatan Napabalano,
Kecamatan Tiworo Kepulauan, Kecamatan Tongkuno, dan Kecamatan Kusambi, Sulawesi
Tenggara. Struktur bentuk Kabhanti Kantola tidak terikat, baik sajak maupun baris. Kabhanti
Kantola sarat makna multidimensional. Di samping itu, penelitian Sudu fokus pada peninjauan
bentuk, fungsi, dan makna dengan menggunakan teori semiotik untuk menjawab ketiga
permasalahannya.
Perbedaannya dengan penelitian ini yaitu tidak menggunakan teori tunggal semiotik.
Penelitian ini mengkaji bentuk, fungsi, dan makna wacana Kabhanti Watulea dengan
menggunakan tiga teori, yakni: teori formula, teori fungsi, dan teori semiotik. Penelitian ini
mengungkapkan kritik sosial pada masyarakat setempat. Lokasi penelitian ini adalah Kelurahan
Watulea, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara didasarkan pada
lantunan Kabhanti Watulea yang hanya ada di Kelurahan Watulea. Referensi dari penulis
sebelumnya, menjadi acuan dalam menganalisis makna wacana kritik sosial Kabhanti Watulea.
Banara (2012) dalam skripsi “Tradisi Lisan Kabhanti Kusapi (Analisis Fungsi dan
Makna) Pada Masyarakat Etnik Muna Tengah di Kecamatan Lawa Kabupaten Muna Sulawesi
Tenggara”, memaparkan Kabhanti Kusapi. Kabhanti Kusapi yang merupakan salah satu tradisi
lisan kebudayaan masyarakat Muna diturunkan secara turun temurun dan mengandung nilai-nilai
budaya. Dalam pementasan Kabhanti Kusapi dinyanyikan dan diiringi oleh alat musik kusapi
dan biasanya dilaksanakan pada acara pesta kampung, misalnya pesta panen.
Kabhanti Kusapi di daerah Muna menunjukkan bentuk Kabhanti Kusapi yang meliputi:
jumlah baris, suku kata, dan persamaan bunyi. Jumlah baris Kabhanti Kusapi dalam masyarakat
Muna terdiri atas dua baris, seperti: Adhetani sitani lado ganda tendo-tendo. Suku kata kabhanti
kusapi berjumlah 8-20 suku kata. Ditinjau dari hasil analisis data ditemukan makna nasihat,
makna percintaan, makna sindiran, curahan hati, dan makna kegembiraan. Banara meneliti
permasalahan bentuk dan makna Kabhanti Kusapi dengan menggunakan teori semiotik.
Sementara, penelitian ini menggunakan teori formula, teori fungsi, dan teori semiotik yang
menentukan bentuk, fungsi dan makna dalam wacana Kabhanti Watulea. Perbedaan terletak
pada objek penelitian dan Banara belum mengkritisi isu kritik sosial yang menjadi tujuan
seseorang melantunkan Kabhanti.
Ketiga penelitian di atas mengungkapkan sastra lisan Kabhanti yang memiliki persamaan
dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan berupa penggunaan teori semiotik dan teori
formula. Perbedaan pada objek kajian yakni ketiga peneliti belum menyinggung objek Kabhanti
Watulea serta belum membahas masalah kritik sosial. Penelitian Kabhanti Watulea memberi
gambaran kritik sosial berupa penyampaian nilai-nilai moral, estetika, religi, dan kebenaran.
Data sejarah dalam penelitian ini menginspirasi pembaca mengenai wacana kritik sosial yang
membangun jati diri dan mewujudkan kualitas manusia yang lebih baik.
2.2 Konsep
Konsep adalah bagian penting dari penelitian yang berfungsi untuk mengklasifikasikan
data, sehingga mendapatkan ide, definisi, dan pengertian menyeluruh. Bungin (2009:73)
berpendapat bahwa konsep merupakan hal terpenting dalam suatu penelitian sebagai generalisasi
suatu fenomena yang muncul dari permasalahan. Konsep digunakan sebagai penjelasan dari
fenomena yang ada. Terdapat dua konsep yang dipaparkan yakni konsep wacana kritik sosial dan
konsep sastra lisan Kabhanti Watulea.
2.2.1 Wacana Kritik Sosial
Wacana biasanya ditemukan dalam bentuk teks narasi maupun bentuk yang lain.
Pengertian wacana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1621) adalah ucapan,
percakapan, tutur, dan keseluruhan ucapan merupakan suatu kesatuan. Tradisi lisan Kabhanti
Watulea merupakan teks narasi yang memiliki wacana. Hal ini sejalan dengan Badudu (Badara,
2012:16) yang menerangkan bahwa wacana merupakan untaian kalimat yang berkaitan dan
menghubungkan dan membentuk suatu kesatuan makna yang utuh yang disampaikan baik secara
lisan maupun tertulis.
Webster menjelaskan bahwa kata kritik berasal dari bahasa Yunani kritikos yang berarti a
judge atau dari kata kinnea yang berarti to judge (Webster, 1983:432). Sementara itu, sosial
mengandung pengertian having to do with human beings living together as a group in a situation
that they have dealing with another (Webster, 1983:1723).
Kritik sosial adalah penilaian dan tanggapan seseorang mengenai sesuatu yang
berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat. Penilaian atau tanggapan tersebut bisa
bernuansa ejekean, cemooh, sindiran, dan sejenisnya Sudewa (2011:4). Kritik sosial adalah
salah satu media komunikasi yang bertujuan sebagai kontrol terhadap keberlangsungan suatu
sistem sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan dua definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan pengertian kritik sosial.
Kritik sosial yang dimaksudkan adalah peniliaian dan tanggapan keadaan sosial masyarakat
Watulea yang terdapat dalam tradisi lisan Kabhanti Watuela. Dengan kata lain, kritik sosial
sebagai tindakan untuk membandingkan serta mengamati secara teliti dan melihat perkembangan
secara cermat tentang baik atau buruknya kualitas suatu masyarakat.
Kritik sosial dalam karya sastra bersifat universal, sehingga perlu adanya pembatasan
definisi agar tidak terjadi ambiguitas makna. Kritik sosial dalam penelitian ini adalah kritik sosial
mengenai isu yang muncul karena adanya ketimpangan, ketidakpuasan, kekecewaan, dan
pertentangan visi. Hal tersebut lahir sebagai bentuk nyata keadaan masyarakat Watulea, sehingga
yang mendorong pelantun untuk mengekspresikan perasaannya melalui kritik yang hadir dalam
Kabhanti Watulea. Sementara itu, isu-isu yang muncul dalam masyarakat Watulea adalah kritik
perkawinan poliandri, kritik kepercayaan hukum karma, kritik kepercayaan takdir Tuhan, dan
kritik pengingkaran ajaran Tuhan.
Tindakan mengritik dapat dilakukan oleh siapa pun termasuk sastrawan dalam
menanggapi suatu permasalahan yang terjadi dalam lingkungan sosial. Kritik sosial merupakan
suatu variabel penting dalam memelihara sistem sosial yang ada. Kritik adalah penilaian ilmiah
ataupun pengujian terhadap situasi masyarakat pada suatu saat, sehingga dengan adanya kritik
sosial mampu mengedepankan bukti-bukti objektif dan bobot ilmiah dari masalah yang terjadi.
Kritik sosial adalah respon yang terdiri atas sindiran dan tanggapan terhadap kenyataan
yang terjadi di dalam masyarakat, manakala terdapat konfrontasi dengan realitas berupa
ketidaksesuaian dan kebobrokan. Kritik sosial diungkapkan ketika nilai kehidupan tidak selaras
dan tidak harmonis, masalah-masalah sosial tidak mampu diatasi, dan terjadi perubahan sosial
yang berdampak negatif.
Masalah yang terjadi dalam masyarakat dapat disampaikan baik secara langsung maupun
tidak langsung, seperti: kemiskinan, kemelaratan, penderitaan, keputusasaan, dan kesedihan.
Terdapat beberapa media penyampaian kritik sosial. Salah satu media yang digunakan untuk
penyampaian kritik sosial tersebut adalah Kabhanti Watulea. Singkatnya, Kabhanti Watulea
muncul dalam masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial
masyarakat bersangkutan.
2.2.2 Sastra Lisan Kabhanti Watulea
Sastra lisan merupakan bentuk sastra pertama sebelum sastra tulis. Penyebaran sastra
lisan dilakukan secara lisan. Zaman dahulu belum dikenal aksara atau tulisan jadi proses
penyampaiannya dilakukan secara lisan. Istilah sastra lisan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Alwi, dkk. 2001:1002) dibatasi sebagai hasil kebudayaan lisan dalam masyarakat
tradisional yang isinya dapat disesuaikan dengan sastra tulis dalam masyarakat modern.
Sastra lisan menurut Santosa (1995:19) adalah hasil kebudayaan lisan dalam masyarakat
tradisional yang isinya disejajarkan dengan sastra tulis dalam masyarakat modern. Sastra lisan
diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam wujud lisan.
Sampai sekarang, sastra lisan masih hidup di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian besar
sastra lisan dibukukan dan ditulis kembali dalam bentuk gubahan, saduran, diceritakan kembali,
atau dialihbahasakan dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia.
Finnegan, (1992:9) menjelaskan bahwa sastra lisan berangkat dari konsep hubungan
antara kesusastraan dan tradisi tulis-menulis. Hubungan tersebut adalah hubungan asidental yang
merupakan tahap kedua dalam sejarah kesusastraan. merupakan hubungan asidental dan
merupakan tahap kedua dalam sejarah kesusateraan. Dengan demikian, kegiatan sastra yang
paling awal adalah kegiatan sastra lisan. Banyak masyarakat yang tidak memiliki tradisi menulis,
namun sudah memiliki tradisi sastra lisan, contohnya di Kelurahan Watulea, Kecamatan Gu,
Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara yang merupakan lokasi penelitian ini.
Bentuk sastra lisan berupa prosa, syair, pepatah, cerita rakyat, dan lain sebagainya. Sastra
lisan tidak hanya digunakan sebagai media hiburan namun dijadikan juga sebagai alat mendidik,
memberi petunjuk kehidupan, aturan hukum, dan lain-lain. Teks yang dipertunjukkan oleh
anggota masyarakat (seniman) untuk masyarakatnya (khalayak) akan tetap ada dan hidup selama
masyarakat masih menikmatinya. Artinya, sastra lisan hadir dan diapresiasi oleh masyarakatnya
membentuk hubungan segitiga antara seniman, karya, dan penikmat. Endraswara (2008:151)
menyatakan bahwa sastra lisan hadir secara turun-temurun dalam penyebarannya. Cara
penyampaian tradisi lisan ini tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga gabungan antara kata-kata
dan perbuatan tertentu yang menyertai kata-kata. Ada beberapa bentuk sastra lisan sebagai
bagian dari tradisi lisan yang disebut verbal arts, folktale, oral narrative, folk narrative dan
folklore). Kabhanti Watulea digolongkan sebagai oral narrative/narasi lisan karena dilantunkan
secara oral dalam menyampaikan pesan.
Kabhanti Watulea adalah tradisi lisan yang dituturkan, didengar, dan dihayati bersama-
sama pada peristiwa dan tujuan tertentu. Taylor dalam Daud, (2008:258), mendefinisikan tradisi
lisan sebagai bahan-bahan yang dihasilkan oleh masyarakat tradisional, yang berbentuk
pertuturan, adat, tradisi, ritual, upacara adat, cerita rakyat, nyanyian rakyat, tarian, dan
permainan. Misalnya pada saat acara pernikahan, khitanan, pesta rakyat, upacara menanam dan
menuai padi, upacara yang bertujuan magis dan sebagainya.
Kabhanti Watulea didefinisikan sebagai karya sastra lama yang terikat oleh bentuk yang
khas. Kekhasan bentuk Kabhanti Watulea yang disimpulkan oleh peneliti adalah (1) terdiri atas
dua hingga tiga baris dalam satu bait. Kabhanti Watulea tidak terikat jumlah larik dalam satu
bagian; (2) Kabhanti Watulea tidak memiliki sampiran, seperti: pantun. Teks Kabhanti Watulea
memuat isi pesan tanpa ada sampiran; (3) Kabhanti Watulea memiliki alur cerita dalam bentuk
narasi. Kabhanti Watulea memuat cerita di setiap bagian Kabhanti Watulea. Isi narasi
antarbagian berbeda; (4) terdapat pengulangan kata dan frasa; dan (5) Kabhanti Watulea
menggunakan bahasa daerah Muna
Kabhanti Watulea disampaikan dari mulut ke mulut. Hal ini disebabkan masyarakat
Buton Tengah pada umumnya tidak mengenal aksara pada zaman dahulu. Hasil wawancara
dengan informan La Tani pada 12 Mei 2015, diketahui bahwa masyarakat Buton Tengah hidup
berpindah-pindah dan tidak mengenal membaca dan menulis pada zaman dahulu. Kabhanti
Watulea biasa dilantunkan pada saat bercocok tanam dan mereka mewariskan Kabhanti Watulea
secara lisan. Amir (2013:10) menyatakan sastra lisan hidup di tengah masyarakat tradisional
yang hidup dalam suasana lisan, tidak mengenal membaca, bahkan tidak mengenal huruf.
Kabhanti Watulea dikategorikan ke dalam sastra lisan karena berwujud dan dinikmati secara
lisan di tengah masyarakat Watulea, dan diwariskan secara lisan. Kabhanti Watulea
menggunakan ungkapan yang berulang-ulang, ungkapan yang sama antar satu pelantun dengan
pelantun lainnya. Hal ini terjadi karena masyarakat Watulea tidak membaca, hanya mengulang
apa yang sudah dipakai pendahulunya.
Kabhanti Watulea mengandung gagasan, pokok pikiran, harapan, pesan, ajaran tertentu,
dan nasihat. Pelaksanaanya dilakukan dengan kebersamaan, ikatan sosial tersendiri yang
mengeyampingkan fungsi individual masyarakat. Sastra lisan Kabhanti Watulea mempererat
hubungan di antara masyarakat dan memiliki pesan tertentu. Wellek dan Waren (1995:109-111)
mengemukakan bahwa sastra adalah cara untuk mengungkapkan perasaan manusia sebagai
masyarakat sosial berdasarkan apa yang dirasakan dalam bentuk pengalaman hidup, sudut
pandang, dan lain lain.
Endraswara (2003:145) menjelaskan bahwa suatu karya sastra dapat digolongkan sebagai
suatu sastra lisan jika memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut: (1) karya sastra tersebut
merupakan hasil dari masyarakat; (2) menggambarkan kebudayaan tertentu; (3) penulis anonim
yang diturunkan dari mulut ke mulut; (4) biasanya mengandung hal-hal yang bersifat mendidik,
seperti: norma-norma agama, adat istiadat dan lain sebagianya; dan (5) kata-kata yang digunakan
biasanya menggunakan kata-kata yang mengandung nasihat dengan perumpaan yang klise.
Kabhanti Watulea merupakan pencerminan kehidupan masyarakat Watulea, Buton
Tengah. Tradisi lisan ini memiliki makna persatuan serta padu menaati aturan-aturan nenek
moyang dengan metafora yang penuh makna. Kabhanti Watulea menggunakan metafora yang
digunakan sebagai strategi retoris untuk memperkuat serta memperindah ucapan. Danesi
(2012:134) menyatakan metafora dapat dilihat sebagai sesuatu yang bisa menghasilkan sebuah
tanda yang kompleks.
Kabhanti Watulea merupakan salah satu kebudayaan masyarakat Buton Tengah sebagai
podoman hidup yang mengandung nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan nilai moral.
Kabhanti Watulea dilakukan sambil bernyanyi bersama dengan irama Watulea ataupun seorang
diri. Biasanya, dilantunkan pada saat berkebun dan menebas hutan. Kabhanti Watulea
dilantunkan agar tidak kesepian di tempat yang sunyi, difungsikan sebagai pelipur lara pada saat
kesepian dan jenis kegiatan lain yang ada di daerah Buton Tengah. Perlu digarisbawahi bahwa
dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Kabhanti Watulea yang dilantunkan pada saat
berkebun seorang diri sebagai bentuk curahan hati tanpa disaksikan oleh banyak orang.
Penelitian Kabhanti Watulea dengan pelantun yang melantunkan Kabhanti Watulea
seorang diri dipilih mengingat minimnya masyarakat yang melantunkan Kabhanti Watulea pada
saat panen raya. Menurut hasil wawancara dengan informan, La Ode Ma’naf (Kelurahan
Watulea, 21 Mei 2015), lahan pertanian, seperti: ubi, jagung, dan lain-lain sudah beralih fungsi
menjadi lahan perkebunan jambu mete, sehingga menyebabkan kurangnya pelaksanaan Kabhanti
Watulea yang dilantunkan secara berkelompok.
Kenyataan tersebut memprihatinkan, mengingat masyarakat Watulea adalah masyarakat
pertanian. Sementara itu, masyarakat telah disibukkan oleh banyak kegiatan perekonomian lain,
seperti: niaga, kegiatan perkantoran, dan sebagainya yang menyebabkan lunturnya nilai gotong
royong. Kenyataan ini menjadi tantangan bagi peneliti untuk mengetahui perbedaan dan
persamaan antara melantunkan Kabhanti Watulea yang dilakukan secara individual dengan
secara berkelompok untuk keberlanjutan penelitian.
Dalam teks Kabhanti Watulea terdapat beberapa pengulangan yang berfungsi sebagai
penekanan pesan dengan tujuan tertentu kepada pendengar. Kabhanti Watulea memiliki
keterkaitan dengan jenis Kabhanti lain, serta berbeda dari ketiga Kabhanti di bawah ini.
Tiga jenis Kabhanti selain Kabhanti Watulea dalam Mokui (1991:6-8).
1) Kabhanti Kantola sesuai dengan namanya, jenis Kabhanti ini merupakan jenis pantun dengan
menggunakan alat musik kantola (gambus dalam ukuran kecil dengan dua tali senar). Dalam
pergelarannya pemain berdiri berhadap - hadapan antara wanita dan pria. Mereka berbalas
pantun dengan irama ruuruunte atau ruuruuntete, paling tinggi lima nada. Pergelaran ini
biasanya dipentaskan saat malam hari setelah panen tiba. Struktur Kabhanti sebagai prosa
liris yakni prosa yang lebih mementingkan irama. Kabhanti ini disebut talibun atau pantun
dengan empat baris dan jumlahnya genap.
2) Kabhanti Gambusu adalah jenis Kabhanti yang menggunakan alat musik gambus dan
dilengkapi dengan biola, kecapi atau botol kosong. Kabhanti ini biasa dilakukan dalam
pementasan pesta rakyat daerah Buton Tengah, seperti: sunatan, khitanan, dan lain-lain.
3) Kabhanti modero adalah jenis Kabhanti dengan latar tarian lulo, tari khas Sulawesi tenggara.
Pementas Kabhanti membentuk lingkaran sambil berpegangan tangan serirama dalam
nyanyian dan langkah tarian.
2.3 Landasan Teori
Suatu teori dibaratkan sebagai pisau yang bertujuan mengupas permasalahan yang ada.
Menurut Djojosuroto Kinayati & M.L.A Sumaryati (2004:16), teori merupakan rangkaian
beberapa asumsi, konsep dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara
sistematis dengan merumuskan hubungan antarkonsep. Begitu pula dengan penelitian ini, ada
tiga teori yang digunakan dalam analisis ini yaitu teori formula, teori fungsi, dan teori semiotik.
2.3.1 Teori Formula
Kabhanti Watulea disampaikan penutur secara spontanitas yang dilakukan tanpa adanya
teks terikat. Aktivitas ini membentuk formula. Formula merupakan dasar atau pedoman dalam
tradisi lisan berupa baris, kata, atau kalimat yang membuka dan memperlancar sebuah cerita. Hal
ini didukung oleh pernyataan Lord yang mendefinisikan formula as a group of world which is
regularly employed under the same metrical condition to express a given essensial idea, (Lord
1964:30).
Menurut Lord, sastra lisan bersifat mekanis dan paralelistis. Penggunaan teori formula
berdasarkan frase-frase, klausa-klausa, dan kalimat-kalimat yang khas. Menurut Lord (1964:5),
konsep kelisanan tidak hanya diartikan sebagai objek kelisanan. Hal tersebut dimaknai sebagai
komposisi lisan selama terjadinya penyampaian secara lisan. Teori formula menggarisbawahi
prinsip kelisanan yang berorientasi pada proses pembelajaran tertentu. Sebagai contoh, unsur
pembelajaran lisan, komposisi lisan, dan transmisi lisan yang muncul secara bersamaan, tampak
sebagai sisi sisi yang berbeda dari proses yang sama.
Teori formula mampu menjelaskan hubungan kata dengan bangunan struktur sebuah
penyajian tradisi lisan atau perumusan pokok dalam tradisi lisan. Pola dan sistem bahasa satra
lisan Kabhanti Watulea pada umumnya dengan menggunakan tata bahasa puisi yakni tata bahasa
berlapis. Di samping itu, juga menggunakan tata bahasa puitik yang merupakan tata bahasa
prakaksis yakni konstruksi kalimat, klausa atau frase koordinatif, yang tidak menggunakan kata
penghubung. Tata bahasa tersebut sering memanfaatkan frase-frase yang membentuk formula
(Lord, 1964:41). Kabhanti Watulea menggunakan bahasa pantun dengan tata bahasa berlapis
yang membutuhkan cara kerja teori formula Lord untuk menganalisis bentuknya.
Formula berulang-ulang muncul dalam sastra lisan yang terdiri atas larik atau baris,
klausa dan frasa. Menganalisis struktur bentuk wacana dengan beberapa pengulangan dalam
puisi atau pantun lisan membutuhkan analisis dengan menggunakan teori formula. Formula
adalah kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi mantra yang sama dan
mengungkapkan satu ide hakiki. Formula sebagai ciri utama kelisanan diawali dengan
pengamatan awal terhadap frase-frase yang mengalami pengulangan (Lord, 1964:45).
Pengulangan tersebut sering ditemukan dalam sastra lisan Kabhanti Watulea.
Menganalisis formula teks Kabhanti Watulea, diawali dengan pengamatan terhadap frasa
yang berulang dalam Kabhanti Watulea. Hal ini dilakukan untuk menganalisis formula dari
variasi pola, sehingga dalam setiap larik maupun baris Kabhanti Watulea membentuk pola
formulaik. Pola ini mengilustrasikan dan menunjukkan pola tersendiri dari sistem puisi lisan.
Benang merah dari analisis bentuk Kabhanti Watulea dengan menggunakan teori formula
Lord adalah semua larik membentuk pola formula yang dapat mengilustrasikan pola-polanya
sendiri. Kabhanti Watulea tersusun oleh sistem formulik.
2.3.2 Teori Fungsi
Mitologi pada hakikatnya merupakan salah satu akar budaya. Di dalam mitologi
terkandung muatan lokal genius atau kearifan lokal setempat yang sering kali melandasi sikap
dan perilaku hidup. Dengan kata lain, mitologi telah menjadi ideologi bagi kehidupan. Dundes
(1984:272) meyebutkan bahwa mitos dan cerita rakyat selalu mencerminkan konflik tidak sadar
generasi sekarang yang dibentuk oleh tekanan untuk menanggung kondisi sosial yang ada.
Mitologi merupakan hasil kontak budaya dengan lingkungan alam dan budaya yang lebih
besar. Berhadapan dengan kebudayaan yang terkait dengan masyarakat sosial, berbagai bentuk
sastra telah berhasil ditulis, misalnya hikayat, cerita yang mengandung kepercayaan (legenda,
dongeng, dan fabel), pantun berkait atau syair keagamaan dalam bahasa Melayu. Penggalian
aspek mitologi dalam Kabhanti Watulea menunjukkan sikap dan pandangan hidup ketika
menghadapi problem dasar kehidupan, seperti: maut, cinta, tragedi, loyalitas, kekuasaan, makna
dan tujuan hidup, serta hal yang transendental dalam kehidupan manusia.
Hasil penghayatan atas realitas kehidupan dalam sastra, menampilkan aktualisasi diri,
antara lain aktualisasi dan reinterpretasi terhadap mitologi. Aktualisasi terhadap mitologi akan
mengungkapkan nilai mitologi dalam konteks zaman, pengukuhan nilai mitos, dan sebagai
jembatan penghubung antara dunia tradisi dan dunia modernitas. Dundes (1984:271) menyatakan
bahwa sebuah kesulitan teoretis yang penting sehubungan dengan interpretasi psikoanalisis mitos
berasal dari fakta bahwa pada dasarnya ada dua cara bagaimana teori psikoanalitik dapat
diterapkan. Sebuah mitos dapat dianalisis dengan pengetahuan tentang mitos-maker tertentu, atau
mitos dapat dianalisis tanpa pengetahuan tersebut.
Reinterprestasi terhadap mitologi, akan mengungkapkan penafsiran kembali berupa
pengingkaran atau pembalikan atas nilai mitologi itu dihadapkan dengan persoalan zaman dan
realitas. Kabhanti Watulea menjadi produk dari pikiran manusia (misalnya mitos) bahwa
seseorang harus tahu sesuatu tentang mekanisme pikiran manusia. Mereka mungkin mendorong
penafsiran simbolik terhadap mitos dan terhadap penemuan universal dalam mitos, sehingga
pertunjukkan Kabhanti Watulea sebagai produk pikiran mampu menunjukkan jati diri bangsa
yang berakar pada tradisi sosial budaya masyarakat Indonesia.
Dundes (1984:270) menjelaskan dua pelopor dalam memahami fungsi mitos. Mereka
adalah Boas dan Malinowski. Kedua pelopor ini berpendapat bahwa mitos pada dasarnya non
simbolik. Boas sering berbicara tentang mitologi yang mencerminkan budaya, menyiratkan
sesuatu dari hubungan antarpersonal. Dengan pandangan ini, data yang murni deskriptif
etnografis dapat diambil dari bahan mitologis budaya tertentu. Malinowski berpendapat
sepanjang garis yang sama yaitu pembelajaran hidup dan mitos tidak simbolik, tetapi ekspresi
langsung dari subyek.
Teori fungsional adalah sebuah teori mengenai operasi mental, mempelajari fungsi
kesadaran, menjembatani kebutuhan manusia beserta lingkungannya, dan menekankan totalitas
dalam hubungan tindakan maupun perilaku, sehingga hal ini memberikan dampak manifestasi
dari tindakan (Koenjaraningrat, 1987:162). Malinowski menjadikan teori fungsi sebagai alat
menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya sebagai suatu teori fungsional
tentang kebudayaan atau a functional theory of culture.
Menurut Koenjaraningrat (1987:160), kata fungsionalisme berasal dari kata fungsi dan –
isme, yang berarti paham. Secara menyeluruh berarti paham atau aliran cara berpikir mengenai
fungsi sesuatu. Setiap benda pasti memiliki fungsi, begitu pula dengan produk budaya, misalnya
sastra lisan Kabhanti Watulea. Setiap hal yang terjadi memiliki sebuah fungsi. Kegunaan dari
fungsional ini lebih menekankan fungsi-fungsi yang diterapkan dari hal-hal yang sifatnya kecil
hingga hal-hal yang sifatnya kompleks. Kaberry (1957:82) membedakan antara fungsi sosial
dalam tiga tingkat abstraksi.
1) Pada tingkat abstraksi pertama, fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial mengenai efeknya
terhadap adat, tingkah laku mausia, dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.
2) Pada tingkat abstraksi kedua, fungsi sosial mengenai efeknya terhadap kebutuhan suatu adat
atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti: yang dikonsepsikan oleh warga
masyarakat yang bersangkutan.
3) Tingkat abstraksi yang ketiga, fungsi sosial mengenai efeknya terhadap kebutuhan mutlak
keberlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
Pada prinsipnya, Kabhanti Watulea memiliki fungsi dalam setiap lariknya. Bukti yang
tersedia dari Kabhanti Watulea menunjukkan bahwa ada stabilitas yang luar biasa dalam narasi
lisan. Mitos dan cerita kembali dikumpulkan dari budaya yang sama. Hal itu menunjukkan
kesamaan yang cukup besar dalam pola struktur, meskipun, fakta bahwa mitos dan cerita berasal
dari informan yang berbeda yang mungkin dipisahkan oleh banyak generasi.
2.3.3 Teori Semiotik
Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan,
yaitu sistem ketandaan yang memiliki arti. Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas
(netral), seperti: bunyi pada seni musik ataupun warna pada lukisan. Warna sebelum
dipergunakan dalam lukisan masih bersifat netral, belum mempunyai arti apa-apa, sedangkan
bahasa sebelum digunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti
yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat (bahasa). Pradopo (2005:121) menyatakan lambang-
lambang atau tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti oleh
konvensi masyarakat. Sistem ketandaan itu disebut itu disebut semiotik .
Ratna (2004:97) menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion atau berarti
tanda. Semiotika dalam pengertian luas merupakan studi sistematis mengenai produksi dan
intepretasi tanda, cara kerja, serta manfaat bagi kehidupan. Kehidupan dipenuhi oleh serangkaian
tanda. Dasar filosofis teori semiotika adalah manusia sebagai animal symbolicum atau homo
semiotikus. Semiotika adalah teori dan analisis berbagai tanda (signs) dan pemaknaan
(signification). Teori semiotika mengungkapkan kebudayaan manusia bersandar pada pemikiran
dan tingkah laku simbolis, yang melaluinya memungkinkan manusia menciptakan dan
merefleksikan ulang entitas dan praksis kebudayaannya.
Teori semiotik lahir oleh dua pencetus yakni Charles Sanders Pierce dan Ferdinand de
Sausure. Penelitian ini menggunakan teori semiotika Peirce. Menurut Charles Sanders Pierce,
tanda diproduksi dan dipahami serta berkembang dalam masyarakat melalui dua sistem yaitu
sistem primer dan sekunder. Sistem primer adalah sistem yang merupakan hasil konvensi yang
mendasar sedangkan sistem sekunder adalah pengembangan pengenalan tanda yang masing-
masing memiliki makna yang disebut meta bahasa. Dalam hal ini, yang berkembang pada tanda
adalah segi bentuk atau ekspresi sedangkan makna berkisar pada isi, conten pada sistem primer.
Perkembangan tanda secara meta bahasa dilihat dari segi bahasa disebut intelektualisasi
(pencendikiawan).
Semiotik Pierce terdiri atas tiga karakter tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda
dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda
hubungan antara petanda dan penanda bersifat persamaan bentuk alamiah. Indeks adalah tanda
yang menunjukkan hubungan penanda dan petanda, hubungan alamiah yang bersifat kausal atau
hubungan sebab akibat. Simbol adalah tanda, yang hubungan petanda dan petanda tidak bersifat
alamiah (Pradopo, 2007:121-122). Hubungan terjadi adalah semau-maunya, hubungan terjadi
berdasarkan perjanjian (konvensi) dalam masyarakat.
Peirce dikenal dengan konsep triadik dan trikotominya. Prinsip dasar dari tanda triadik
tersebut bersifat representatif. Berdasarkan prinsip ini, tanda menjadi wakil yang menjelaskan
sesuatu. Teori makna Pierce (Teeuw, 1984:42) menekankan pada bentuk tripihak (triadik).
Setiap gejala secara fenomologis mencakup (1) bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus
mengacu pada sesuatu yang lain; (2) bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar
dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu; dan (3) bagaimana gejala tersebut dimediasi,
direpresentasi, dikomunikasikan, dan ditandai. Rumusan ini mengimplikasikan bahwa makna
sebuah tanda dapat berlaku secara pribadi, sosial, atau bergantung pada konteks khusus tertentu.
Simbol
Ikon Index
Sistem tanda mencakup simbol, indeks, dan ikon. Simbol yang dikatakan juga thirdness
ditunjuk dengan aturan, hukum atau kebiasaan, karena representamen yang tidak dapat terlepas
dari konteks sejarah atau sosial suatu masyarakat. Simbol dan
tanda terbentuk berdasarkan kesepakatan di masyarakat. Tingkat keberlakuan tanda dan
pemahaman penafsir bersifat sebagai aturan, hukum, atau yang sudah berlaku umum. Misalnya
kata-kata dalam suatu bahasa (kecuali onomatope), benda atau gambar, misalnya bendera merah
putih (Indonesia), bendera kuning (orang meninggal).
Objek
Representatif Interpretan
Dalam kaitanya dengan sastra lisan Kabhanti Watulea, teori ini menjawab, memaparkan,
menggambarkan makna yang terkandung dalam karya sastra. Kabhanti Watulea terdapat banyak
tanda. Tanda yang mengacu kepada objek satu ke objek yang lain, yang disebut dengan
denotatum. Tanda baru berfungsi apabila diinterpretasikan oleh interpretan. Interpretan adalah
pemahaman makna dari penerima tanda terhadap pengetahuan tentang sistem tanda dalam
masyarakat sosial.
2.4 Model Penelitian
Keterangan model penelitian
Kebudayaan masyarakat Watulea
Objek Penelitian
Temuan wacana
Kabhanti Watulea
Tradisi Lisan Masyarakat Watulea
Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara
Hasil Temuan
Makna Wacana
Fungsi Wacana
Bentuk Wacana
Wacana
Kritik Sosial
Teori Formula
Teori Fungsi
Teori Semiotik
Metode Deskriptif
Analitik
Pendekatan Sosiologi
Sastra
Teori yang digunakan dalam penelitian
Analisis Penelitian
Garis yang menghubungkan hasil penelitian
Hasil temuan penelitian
Garis yang menghubungkan tradisi lisan
kepada objek penelitian dan dari objek
penelitian terhubung dengan hasil penelitian
Penjelasan:
Bagan di atas menjelaskan kerangka penelitian ini. Masyarakat Watulea Kabupaten
Buton Tengah, Sulawesi Tenggara adalah masyarakat yang memiliki tradisi lisan. Tradisi lisan
lahir dalam kaitannya dengan lingkungan sosial budaya masyarakat Watulea. Kebiasaan yang
muncul dari lingkungan tersebut melahirkan tradisi lisan Kabhanti Watulea. Oleh karena itu,
Kabhanti Watulea merupakan pencerminan keadaan sosial bagi mayarakat Watulea.
Kabhanti Watulea adalah sastra lama terikat yang terdiri atas dua hingga tiga baris dalam
satu bait. Kabhanti Watulea memuat pesan yang disampaikan. Pesan tersebut adalah kritik
terhadap keadaan sosial sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap ketimpangan yang terjadi.
Wacana kritik sosial adalah wacana yang merepresentasikan tradisi lisan Kabhanti Watulea bagi
mayarakat Watulea.
Kabhanti Watulea dianalisis untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah. Kabhanti
Watulea dianalsis dengan menggunakan teori formula, teori fungsi, dan teori semiotik. Kabhanti
Watulea dianalisis dengan dukungan metode deskriptif analitik dan pendekatan sosiologi sastra,
sehingga rumusan masalah, seperti: bentuk formal, fungsi, dan makna Kabhanti Watulea dapat
terjawab. Jawaban tersebut ditemukan dalam hasil dan temuan penelitian.