Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
19
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian tentang wacana pariwisata dengan pendekatan analisis wacana
kritis memang belum banyak dilakukan. Namun, penulis tetap menekankan
beberapa kajian pustaka yang relevan dengan penelitian ini. Dalam melakukan
kajian pustaka, fokus utama dilihat pada pemerolehan informasi yang berupa teori
yang digunakan dalam penelitian, data, metodologi, hasil temuan dan kelebihan
serta kekurangan yang ada berdasarkan konsep dan pendekatan yang dilakukan
sehingga relevansinya lebih bisa ditunjukkan dalam penelitian ini. Kajian pustaka
yang diuraikan dalam bagian ini terdiri atas tiga bagian, yakni: (1) buku teks yang
memberikan kontribusi kerangka pikir dalam penelitian ini; (2) karya penelitian
sebelumnya yang sejenis dari sisi aplikasi metodologis yang relevan dengan arah
dan model kerangka teoretis yang mendukung penelitian ini; dan (3) Objek
penelitian yang digarap, yakni wacana pariwisata. Adapun kajian pustaka
dimaksud dijabarkan sebagai berikut.
Karya Eriyanto (2001) berjudul Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks
Media. Kajian dalam karya ini menjadi referensi di mana analisis wacana
terkonsep secara metodologis dan teoretis, utamanya terhadap analisis teks media.
Dalam buku ini, Eriyanto menyatakan bahwa ideologi melekat dalam setiap
produksi sosial, sistem budaya dan produksi media yang dapat menampilkan
pesan dan realitas hasil konstruksi tampak seperti nyata, natural dan benar.
20
Berkaitan dengan hal ini, wacana menempatkan sesuatu yang diasumsikan sebagai
sesuatu kebenaran. Maka, analisis wacana menjadi alternatif tersendiri dalam
analisis media yang acapkali bertumpu pada paradigma pluralis dengan
pendekatan analisis isi konvensional dibandingkan dengan paradigma kritis.
Perbedaan antara paradigma pluralis dan paradigma kritis dalam kajian teks media
dapat dilihat sebagai berikut.
Tabel 2.1
Paradigma Pluralis dan Paradigma Kritis tentang Media
PANDANGAN PLURALIS PANDANGAN KRITIS
FAKTA
Fakta diatur dalam kaidah tertentu dan
berlaku secara universal
Fakta merupakan pertarungan dari berbagai
ideologi dominan
Fakta haruslah diungkapkan dalam berita
secara seimbang
Fakta yang terungkap dalam berita hanya
cerminan dari ideologi tertentu
POSISI MEDIA
Media adalah sarana yang bebas dan
netral. Artinya, tidak terdapat kelompok
dominan
Media menjadi instrumen oleh
kelompok tertentu untuk meminggirkan
kelompok lainnya
Media menggambarkan kondisi dan
situasi masyarakat apa adanya
Media dimanfaatkan oleh kelompok
tertentu
POSISI WARTAWAN
Nilai dan ideologi wartawan berada di
luar proses pemberitaan
Nilai dan ideologi wartawan
memengaruhi proses pemberitaan
21
Wartawan berperan sebagai pelapor Wartawan berperan sebagai partisipan
dari kelompok tertentu
Wartawan memberitakan atau
menuliskan sesuatu, seseorang atau
kelompok masyarakat dengan apa
adanya
Wartawan memberitakan atau
menuliskan sesuatu, seseorang atau
kelompok masyarakat sesuai dengan
kepentingan dan ideologi kelompoknya
Wartawan bekerja berlandaskan etika Wartawan bekerja berlandaskan
ideologi tertentu
Profesi wartawan sebagai pengabdian Profesi wartawan sebagai alat dan
kuasa kontrol
Wartawan sebagai profesi pencari
kebenaran fakta di lapangan
Wartawan sebagai profesi pencari
pembenaran untuk dan demi ideologi
tertentu
HASIL LIPUTAN
Liputan bersifat kredibel yang
keseimbangan informasi
Liputan bersifat ideologis
Bersifat objektif yang
mengesampingkan pandangan subjektif
dari pemberitaan
Bersifat subjektif karena dipengaruhi
oleh ideologi tertentu
Pelaporan berita tidak menggunakan
bahasa yang menimbulkan multitafsir
Pelaporan berita menggunakan bahasa
yang menguntungkan kelompok
tertentu
(Sumber: Eriyanto, 2001:32-33 dimodifikasi oleh peneliti)
22
Keunggulan dari karya Eriyanto ini mampu memberikan pemahaman bagaimana
sebuah teks media dikomunikasikan dan diinformasikan melalui teks tulis untuk
dapat ditelaah dari sisi analisis wacana kritis. Kelemahan dari karya ini adalah
belum mengkaji penggunaan aspek lingual yang terekonstruksi dalam teks yang
merupakan piranti kunci dalam analisis wacana kritis sehingga penelitian lanjutan
untuk aspek-aspek tersebut layak untuk dilakukan. Hasil karya ini masih sangat
relevan bagi penelitian tentang ideologi dalam wacana pariwisata karena karya ini
menegaskan kemampuan analisis wacana kritis untuk membongkar ideologi
tertentu yang sering diungkap secara terselubung lewat teks tulis di media cetak
baik dalam bentuk berita maupun artikel opini.
Karya Azis, dkk. (2002) berjudul Analisis Wacana dari Linguistik sampai
Dekonstruksi yang membahas dan menguraikan pendekatan linguistik kritis
sebagai pelopor Analisis Wacana Kritis (AWK). Buku yang terdiri atas 7 bab ini
menguraikan perihal: 1) pendekatan linguistik kritis; 2) wacana dan pragmatik; 3)
membaca mitos bersama Roland Barthes; 4) konsep dan analisis wacana
Bakhtianian; 5) konsep dan analisis wacana Althuserean; 6) pendekatan pasca
struktural; dan 7) pendekatan feminis terhadap wacana. Kajian dalam buku ini
sangat relevan dalam penelitian ini, sebab pendekatan linguistik kritis merupakan
konsepsi teoretis dan metodologis yang sering digunakan dalam kajian wacana
seperti yang diungkapan oleh Fowler (1986:2) bahwa :
“the linguistic study of literary text means, not just study of language, but study of
language utilizing the concepts and method of modern linguistics.”
23
Pernyataan ini menggambarkan bahwa tujuan studi linguistik bukan hanya
difokuskan pada pemahaman unsur dan hubungan konsep dan metode
kebahasaan, melainkan juga difokuskan pada usaha memahami bahasa sebagai
teks yang sering digunakan sebagai instrumen dalam menggambarkan kehidupan
sosial budaya di mana pertarungan ideologi terjadi. Lebih lanjut, Azis (2002:5-6)
menyatakan bahwa telaah kebahasaan tidak hanya bertumpu pada entitas bahasa
sebagai struktur formal, tetapi juga bahasa sebagai sistem sosial. Pada konteks ini,
bahasa sebagai teks merupakan kreatifitas penuturnya yang dapat membentuk dan
mengklasifikasikan suatu fenomena pada ranah kehidupan sosial.
Karya ini memiliki kelemahan dari sisi aspek praktis-metodologis dalam
pemaparan dan masih lebih banyak bertumpu pada ulasan deskriptif-teoretis
sehingga penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat aspek implementatif-
teoretis atas keefektifan kajian linguistik kritis terhadap penggunaan bahasa ranah
sosial-media dapat diketahui. Hasil karya Azis, dkk. ini dapat dijadikan acuan
pemikiran dalam penelitian ini. Sebab, seperti yang terungkap dalam buku ini,
untuk memahami suatu teks berita dan artikel opini di media cetak diperlukan
adanya pemilahan, penafsiran dan penghubungan yang dilakukan secara objektif.
Untuk itu, karya ini akan sangat relevan dalam penelitian ini karena dapat
dijadikan rujukan awal dalam membedah ideologi dalam wacana pariwisata yang
tertuang dalam teks berita dan artikel opini di media cetak nasional.
Karya berkenaan dengan ideologi yang juga penting dikemukakan di sini
adalah karya Thompson (2003) yang berjudul “Analisis Ideologi: Kritik Wacana
Ideologi-Ideologi Dunia”. Buku ini mencakup dan mengulas tentang: (1)
24
konseptualisasi ideologi (2) hubungan ideologi dengan realitas sosial (3)
kekerasan simbolik (4) teori metode analisis wacana (membangun sebuah
kerangka kerja dan analisis ideologi), (5) teori strukturisasi (6) tindakan, ideologi
dan teks (reformulasi teori interprestasi Ricouer), (7) narasi sosialisme nasional
(sebuah analisis terhadap karya Jean Pierre Faye), (8) ideologi dan analisis
wacana (sebuah perkenalan kritis dengan karya Michel Pecheux), (9) pragmatik
universal (tawaran Habermas tentang analisis bahasa dan kebenaran), dan (10)
rasionalitas dan rasionalisasi sosial.
Karya Thompson mengangkat persoalan tentang analisis ideologi dapat
membantu memahami bagaimana sebuah ideologi bekerja melalui bahasa dan
bagaimana wacana memungkinkan terjadinya sirkulasi representasi dan relasi
dominasi di tengah-tengah masyarakat. Karya ini relevan bagi penelitian tentang
representasi dan dominasi lingual dalam wacana pariwisata. Sebab, ideologi
merupakan elemen kunci dalam mengungkap pergulatan konstruksi dan realitas
sosial.
Karya Hamad (2004) berjudul Konstruksi Realitas Politik dalam Media
Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik.
Dalam buku yang merupakan gambaran hasil penelitian disertasi, Hamad
menggunakan strategi analisis wacana kritis dalam usaha menyingkap keterkaitan
antara media dan politik. Hamad mengawali kajian analisis dengan sebuah
kerangka teori tentang media massa dan konstruksi realitas politik ke analisis
wacana berita politik dengan pendekatan dan metodologi analisis wacana kritis.
25
Karya Hamad menunjukkan bahwa media memegang peranan sangat
penting bagi sebuah kekuatan ataupun kekuasaan partai politik untuk
menanamkan ideologinya. Hasil penelitian Hamad memaparkan bahwa melalui
propaganda yang terintegrasi dalam teks berita, media massa dapat memberikan
warna tersendiri dalam sistem perpolitikan di Indonesia karena media terlibat
intens dalam wacana politik. Karya ini menunjukkan keunggulannya dari sisi
pembuktian empiris terhadap kemampuan media massa dalam melakukan
konstruksi, rekonstruksi ataupun dekonstruksi realitas. Dalam proses tersebut dan
dalam karya ini ditunjukkan bahwa media massa memerlukan medium bahasa
sebagai instrumen inti untuk mewacanakan suatu realitas maupun irrealitas. Lebih
jauh, Hamad menyatakan bahwa dalam konteks komunikasi politik dan
penanaman ideologi, relasi media dengan kekuatan politik menjadi hubungan
yang saling memengaruhi.
Karya Hamad tentang konstruksi realitas politik pada media massa
menggambarkan bahwa media dapat berperan penting dalam penyebaran ideologi.
Sehubungan dengan ini pula, karya ini menjadi relevan terhadap penelitian
dengan topik ideologi dalam wacana pariwisata karena dapat menjadi inspirasi
dalam melakukan kajian media dengan pisau bedah linguistik. Sisi lemah dari
karya ini adalah kurangnya fokus kajian pada strategi wacana yang digunakan
dalam mengulas adanya representasi dan dominasi lingual yang dimanfaatkan
oleh partai politik di media massa. Melalui pendekatan AWK, dapat ditemukan
bahwa media massa melalui pencitraan dan keberpihakannya dapat mengungkap
26
konstruksi makna yang dibangun. Temuan ini memberikan sintesa bahwa media
massa mampu menjadi penyalur ideologi tertentu.
Karya Takwin (2009) berjudul Akar-akar Ideologi. Karya ini memaparkan
secara terperinci tentang: (1) kajian awal ideologi, (2) akar-akar kritik ideologi
dari Kant, Hegel, Feurbach dan Marx, (3) ideologi sebagai kesadaran palsu, (4)
ideologi sebagai struktur, (5) ideologi dalam berbagai pandangan (pandangan
mazhab Frankfurt dan Habermas), (6) ideologi dalam pandangan kajian bahasa
(pandangan Voloshinov yang melihat ideologi sebagai hasil dari internalisasi
kata-kata yang termuat dalam bahasa), (7) pascaideologi: Foucault, Lyotard dan
Bourdieu (kajian Foucault yang menguraikan keterhubungan antara ideologi dan
wacana), dan (8) strategi penyebaran ideologi. Hasil karya Takwin tentang akar-
akar ideologi ini memberikan pemahaman bagaimana bahasa dapat dijadikan
instrumen untuk menyebarkan sebuah ideologi melalui strategi-strategi tertentu
dalam sebuah wacana. Karya ini relevan bagi penelitian tentang upaya
mengungkap suatu ideologi dalam wacana pariwisata, sebab hasil karya dalam
buku ini secara gamblang menguraikan bahwa ideologi bekerja dalam setiap
bidang kehidupan dan telah menjadi proses mekanistik sosial.
Beberapa kajian pustaka hasil penelitian dan kajian kritis yang
memberikan sumbangan berharga dan dasar pemikiran dalam penelitian dengan
topik representasi dan dominasi lingual dalam wacana pariwisata untuk
mengungkap ideologi di balik wacana tersebut adalah sebagai berikut.
Budiarsa (2006) melakukan penelitian dengan judul “Penggunaan Bahasa
dalam Ranah pariwisata di Beberapa Hotel di Kuta Kabupaten Badung Bali”.
27
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan sumber data
yang berupa ujaran dan ungkapan lisan dari karyawan yang bekerja di sembilan
hotel berbintang di wilayah Kuta.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian Budiarsa
adalah metode simak dan cakap. Penelitian ini merupakan kajian bidang
sosiolinguistik dan dari hasil analisi data yang berkaitan dengan penggunaan
variasi bahasa ditemukan bahwa ada tiga bentuk variasi penggunaan bahasa, yakni
(1) variasi penggunaan bahasa Indonesia, (2) variasi penggunaan bahasa Bali, dan
(3) variasi penggunaan bahasa Inggris. Keunggulan dalam penelitian ini adalah
kemampuannya dalam mengungkap penggunaan ragam bahasa, yakni ditemukan
bahwa dalam tindak tutur karyawan hotel menggunakan bahasa Indonesia ragam
formal dan tak formal, ragam bahasa Inggris formal dan tak formal, dan ragam
bahasa Bali formal dan tak formal.
Hasil penelitian ini memiliki relevansi dengan topik representasi dan
dominasi lingual dalam wacana pariwisata karena sama-sama berupaya
mempertautkan antara bidang pariwisata dan (sosio) linguistik. Hasil karya
Budiarsa menggunakan data teks lisan dan tidak memaparkan lebih rinci tentang
berbagai strategi wacana oleh pemroduksi teks (karyawan hotel) yang
memunculkan adanya variasi bahasa dalam penggunaan bahasa ranah pariwisata
di beberapa hotel di daerah Kuta, Bali sehingga penelitian tentang penggunaan
bahasa tulis ranah pariwisata dengan metode analisis wacana kritis layak untuk
dilanjutkan.
28
Kajian Ling Ip (2008) berjudul Analyzing Tourism Discourse: A Case
Study Of A Hong Kong Travel Brochure. Kajian kritis ini menjelaskan fitur-fitur
dalam wacana pariwisata yang tercermin dalam brosur perjalanan wisata di
Hongkong. Ling Ip menggunakan metode analisis multimodal dalam mengkaji
bahasa yang digunakan dalam brosur yang memaparkan tentang berbagai
perjalanan wisata di Hongkong yang dikelola oleh Splendid Tours & Travel
Limited sebagai bagian dari the Hong Kong Tourism Board.
Ling Ip mengkaji bahasa yang digunakan dari tataran mikro menuju
tataran makro linguistik dan elemen-elemen visual yang terdapat pada brosur
perjalanan wisata tersebut serta faktor-faktor yang memengaruhi interpretasi atas
wacana pariwisata. Hal ini menjadi keunggulan tersendiri dalam penelitian Ling
Ip, sebab karya ini mampu membuktikan secara empiris perihal kekuatan „energi
linguistik‟ dalam mengungkap berbagai wacana ranah sosial, termasuk wacana
pariwisata. Dia menemukan bahwa pemilihan kata, unsur stilistik dan tata bahasa
yang digunakan dalam bahasa perjalanan wisata cenderung menggunakan bahasa
hiperbola untuk meningkatkan kekuatan bahasa dengan tujuan menarik pebisnis
untuk melakukan perjalanan wisata di Hongkong.
Hasil karya Ling Ip tentang Analisis Wacana Pariwisata ini berupaya
memahami aspek-aspek linguistik, terutama dari unsur stilistik dan pemilihan kata
(lexical choices) dengan menggunakan metode multimodal analysis. Penelitian
Ling Ip berbeda dari rancangan penelitian ini dalam hal pendekatan metode yang
digunakan dan objek penelitian. Hal prinsip lainnya yang membedakan penelitian
Ling Ip dengan penelitian ini adalah pendekatan yang digunakan di mana Ling Ip
29
lebih menitikberatkan pada tataran mikrolinguistik ke tataran makrolinguistik
dalam membedah persoalan pariwisata. Sedangkan, penelitian ini berangkat dari
tataran linguistik kritis ke tataran mikrolinguistik seperti terjadinya proses
pemasifan dan nominalisasi dalam berbagai teks berita dan artikel opini di media
cetak nasional sebagai objek penelitian.
Penelitian Ling Ip tetap menjadi relevan dalam penelitian tentang
representasi dan dominasi lingual dalam wacana pariwisata karena tiga
pertimbangan utama, yakni 1) pendekatan kebahasaan (linguistics) yang
digunakan dalam membongkar wacana di bidang pariwisata. Sebab, penelitian
dan kajian pariwisata acapkali hanya ditautkan dengan bidang humaniora yang
dilihat dari segi dampak sosial, budaya dan ekonomi; 2) Tindakan, kegiatan dan
wacana pariwisata sering dianggap terlepas dari persoalan kebahasaan. Akan
tetapi, dalam penelitian Ling Ip, bahasa justru dianggap sebagai piranti pembedah
permasalahan pariwisata; 3) Penelitian ini menunjukkan pendekatan baru dalam
bidang pariwisata yang memberikan proses penyadaran bagi para akademisi dan
praktisi pariwisata tentang bagaimana wacana dapat terbangun di atas konstruksi
linguistik.
Karya Thurlow dan Jaworski (2011) berjudul Tourism Discourse:
Languages and Banal Globalization. Karya ini memaparkan: 1) wacana
pariwisata di era global; 2) peran bahasa dan komunikasi dalam bidang
pariwisata; 3) pemahaman terhadap keberadaan bahasa di era globalisasi atau
pasca posindustri, khususnya keterhubungannya dengan bidang pariwisata; 4)
sirkulasi kaidah linguistik seperti genre dan gaya bahasa (circulation of linguistic
30
“material”); dan 5) bagaimana komodifikasi bahasa lokal bisa terwujud dalam
komunikasi pariwisata, seperti yang pernah dikemukakan oleh Bourdieu (1991)
dan Irvine (1989) tentang the significance of languagecommodification in the
study of shifting identities, interpersonal relations, and group structures.
Penelitian Thurlow dan Jaworski (2011) ini menggunakan pendekatan
sosiolinguistik yang dikemukakan oleh Heller (2003), Coupland (2010), dan
Blommaert (2005) yang juga melihat peran dan fungsi bahasa dalam kajian
pariwisata. Inilah yang menjadi fokus pembeda antara penelitian Thurlow dan
Jaworski dengan penelitian ini, yakni pijakan teoretis sosiolinguistik dengan
pendekatan linguistik kritis. Hasil penelitian Thurlow dan Jaworski menunjukkan
bagaimana pariwisata memiliki kekuatan untuk membentuk ulang (reshape) suatu
kebudayaan dan penanaman ideologi di era global. Di samping itu, temuan
Thurlow dan Jaworski juga menunjukkan bahwa kegiatan pariwisata dapat
memberikan pembagian kekuasaan yang tidak seimbang (unequal relations of
power) di tengah masyarakat dan pertukaran bahasa melalui komunikasi
pariwisata adalah juga pertukaran aspek ekonomi dan ideologi. Temuan ini
menjadi keunggulan dalam penelitian ini yang secara eksplisit disimpulkan
bahwa:
“all linguistic exchanges are also economic exchanges; however, under the new
economic conditions of globalization, existing language forms and configurations
(e.g. bilingualism) are put to new uses, gain new value, and become objects of
intense crutiny, as well as vehicles and sites of ideological struggle, contestation,
legitimationand authentication of ethnic, national and other subject positions”
(Thurlow dan Jaworski, 2011: 28)”.
“setiap pertukaran bahasa adalah juga pertukaran ekonomi. Namun, di bawah
kondisi ekonomi global kekinian, konfigurasi dan bentuk-bentuk bahasa yang
31
sudah ada digunakan dalam situasi yang baru, memperoleh nilai-nilai yang baru
pula dan menjadi objek intensitas serta merupakan perangkat dan ruang
pergulatan ideologi, konstelasi, legitimasi dan otentitas etnik serta penempatan
subjektivitas lainnya”
Hasil karya Thurlow dan Jaworski tentang Tourism Discourse: Languages
and Banal Globalization ini memberikan inspirasi bagaimana suatu tema
pariwisata bisa dikaji melalui pendekatan linguistik. Maka, karya ini menjadi
sangat relevan karena dapat membantu mengeksplorasi lebih jauh tentang ideologi
yang muncul di bidang pariwisata lewat kajian analisis wacana kritis. Unsur
pembeda utama penelitian Thurlow dan Jaworski dengan penelitian ini adalah
metode analisis yang digunakan di mana Thurlow dan Jaworski fokus pada
pijakan teoretis sosiolinguistik dan penelitian ini beranjak dari analisis wacana
kritis serta aspek-aspek lingual yang dilihat untuk menemukan bagaimana
representasi dan dominasi lingual tersaji di media cetak nasional.
Penelitian Adyani (2011) berjudul Analisis Wacana Politik Menjelang
PILPRES 2009 dalam Harian Nasional Kompas. Hasil kajian ini bersifat
deskriptif-kualitatif dengan pendekatan analisis wacana pada level teks dengan
metode model van Dijk. Teks berita yang digunakan, sebagai sumber data adalah
teks berita yang terbit pada edisi April 2009 - Juni 2009. Kajian kritis ini
memaparkan berita berkenaan tentang situasi politik menjelang Pilpres 2009.
Kajian dalam penelitian ini lebih difokuskan pada kosakata dan bentuk kalimat
yang digunakan dalam mencitrakan figur elite politik yang menjadi kontestan
pada Pilpres 2009.
32
Dalam kajian ini, Adnyani menggunakan data yang dikumpulkan melalui
studi dokumen dengan mengkliping teks, pembuatan kartu data, tabulasi data yang
kemudian dianalisis, diinterpretasi, dan dideskripsikan. Keunggulan dalam
penelitian ini adalah kemampuannya dalam menunjukkan bahwa pilihan leksikal
dan bentuk kalimat dalam teks berita yang dimuat oleh Harian Nasional Kompas
menggambarkan cara-cara partai politik membentuk citra partai demi sebuah
pencitraan baik di masyarakat. Keunggulan lainnya dari penelitian Adnyani
adalah mampu mengungkapkan bahwa dalam setiap teks berita yang dimuat dapat
memunculkan suatu pembenaran atau ideologi yang ingin disampaikan. Pembuat
dan penyusun teks berita mengulas latar peristiwa sedemikian rupa sehingga
ideologi dapat disebarkan secara terselubung. Namun, seperti penelitian lainnya
yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini belum mengkaji berbagai strategi
wacana yang digunakan oleh media cetak nasional dalam mengungkap adanya
pesan-pesan dominan di dalam penyajian berita di media massa. Penelitian
Adnyani menjadi rujukan yang relevan dalam penelitian ini karena memiliki
kesamaan dalam proses kajian teks berita untuk mengungkap ideologi di balik
wacana.
Beberapa penelitian sejenis yang dimuat pada jurnal nasional dan
internasional juga dikaji untuk melihat benang merah antara penelitian ini dengan
penelitian-penelitian sejenis sebelumnya. Beberapa penelitian dimaksud antara
lain.
Rahimi dan Riasati (2011) memaparkan perpaduan Critical Discourse
Analysis (CDA) dalam upaya melakukan sinkronisasi analisis wacana kritis yang
33
muncul akibat adanya ideologi tertentu. Adapun judul kajian mereka adalah,
“Critical Discourse Analysis: Scrutinizing Ideologically-Driven Discourses”
yang dimuat dalam International Journal of Humanities and Social Sciences.
Dengan memadukan pendekatan analisis wacana kritis model van Leeuwen, van
Dijk, Hodge dan Kress serta Fairclough, mereka menyimpulkan bahwa analisis
wacana kritis merupakan pendekatan multidisipliner untuk menganalisis teks
ataupun percakapan untuk menemukan agenda yang tersembunyi di balik usaha
dominasi dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih jauh Rahimi dan Riasati
menyatakan bahwa bahasa merupakan media yang memiliki kekuatan dahsyat
untuk menyebarkan ideologi tertentu, identitas budaya dan menjadi faktor utama
dalam melakukan dominasi di tengah masyarakat. Hal yang menjadi keunggulan
dalam kajian Rahimi dan Riasati adalah penjelasan yang komprehensif terhadap
perbedaan dan adanya benang merah di antara keempat pendekatan CDA di atas
dan penemuan kesimpulan bahwa dengan mengkaji bentuk-bentuk bahasa, para
analis wacana kritis akan dapat menemukan ideologi tertentu dalam praksis sosial.
Kajian Rahimi dan Riasati hanya berfokus pada deskripsi Analisis Wacana
Kritis tanpa memmaparkan aspek praktis-metodologis sehingga penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk melihat aspek implementatif-teoretis atas keefektifan
analisis wacana kritis terhadap penggunaan bahasa dalam wacana pariwisata.
Namun, karya ini tetap dapat dijadikan acuan pemikiran dalam penelitian ini
untuk mengelaborasi pendekatan analisis wacana kritis yang lebih tepat dalam
mengkaji berita dan artikel opini tentang wacana pariwisata di media cetak
nasional. Untuk itu, kajian Rahimi dan Riasati memiliki relevansi dalam
34
penelitian ini karena dapat dijadikan referensi dalam membedah ideologi dalam
wacana pariwisata melalui analisis wacana kritis.
Kheirabadi and Moghaddam (2012) melakukan kajian representasi
linguistik pada media cetak internasional dengan pendekatan wacana kritis yang
berjudul, “The Linguistic Representation of Iranian and Western Actors of Iran‟s
Nuclear Program in International Media: A CDA Study. Penelitian ini
menggunakan pendekatan analisis wacana kritis model Fairclough dan van
Leeuwen (2008) perihal aktor sosial untuk mengkaji berita dan artikel media
internasional yang memberitakan tentang program nuklir Iran. Sumber data yang
digunakan dalam menjawab rumusan masalah tentang adanya representasi
linguistik pada pemberitaan tentang program nuklir Irak pada periode November
dan Desember 2010 adalah sejumlah 50 berita dan artikel yang dimuat di media
internasional mencakup Agance France Press, Bloomberd, The Wall Street
Journal, The Associated Pres, The New York Times, The Washington Post,
Reuters, dan BBC News.
Dalam penelitian ini, Kheirabadi and Moghaddam mengkaji netralitas
media cetak dalam memberitakan masalah nuklir Iran dengan melihat konteks
representasi linguistik dengan pendekatan analisis wacana kritis model bingkai
kerja van Leeuwen, yakni penelahaan tentang sosio-semantik aktor sosial dalam
pemberitaan. Kheirabadi and Moghaddam menggunakan strategi eksklusi dan
inklusi dalam mengkaji representasi linguistik dalam 50 berita dan artikel termuat
di dalam 8 media cetak internasional di atas. Data penelitian dikumpulkan dengan
melakukan kutipan judul berita tentang masalah pengembangan nuklir Iran.
35
Hasil penelitian menunjukkan bahwa media cetak internasional
menggambarkan ketidaknetralan dalam pemberitaaan masalah nuklir Iran. Hal ini
ditunjukkan dari kajian mekanisme linguistik melalui penjabaran strategi eksklusi
dan inklusi. Dengan menggunakan strategi inklusi blok barat, diwakili Amerika
dan sekutunya dalam pemberitaan dipresentasikan secara positif bahwa mereka
mengecam pengembangan nuklir Iran demi alasan menjaga hak asasi manusia dan
menjaga perdamaian internasional yang menggambarkan seolah-olah negara Iran
dapat mengamcam kedamaian dunia dengan bom nuklir. Strategi eksklusi dalam
pemberitaan oleh media cetak internasional untuk memarginalkan atau bahkan
menghilangkan sisi positif aktor sosial Iran. Pernyataan-pernyataan yang dikutip
untuk mencitrakan secara negatif pihak Iran lebih dominan dikutip dari pihak
barat ataupun dengan menggunakan generalisasi, misalnya Top US officer says
Iran still driving for a bomb. Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan
pengembangan adanya strategi penyebutan (naming strategy) yang juga
menyudutkan Iran dalam pemberitaan berkenaan dengan masalah pengembangan
nuklir. Contoh data yang digunakan, “Iran is Islamic regime, irresponsible
country”. Dengan menyebut Iran sebagai rezim islam dan sebagai negara yang
tidak bertanggung jawab, khalayak pembaca secara tidak langsung akan terbawa
kepada kesan ketakutan akan ekstremis Islam (Islamopobic trend).
Relevansi penelitian Kheirabadi and Moghaddam dengan penelitian ini
terletak pada kesamaan kajian teks media cetak dengan pendekatan paradigma
kritis melalui analisis wacana kritis model van Leeuwen yang juga berangkat dari
pijakan linguistik. Keunggulan dalam penelitian ini adalah kemampuannya dalam
36
menunjukkan bahwa representasi linguistik terungkap dalam teks berita yang
dimuat media cetak internasional menggambarkan pola dan mekanisme blok barat
dalam menyudutkan aktor sosial Iran terkait masalah nuklir dan penggambaran
positif blok barat sebagai pencipta perdamaian dunia. Keunggulan lainnya dari
penelitian yang dilakukan oleh Kheirabadi and Moghaddam adalah mampu
mengungkapkan bahwa strategi penyebutan juga dapat digunakan untuk
memarginalkan atau menggambarkan aktor sosial secara negatif. Namun, hal yang
menjadi kelemahan dalam penelitian Kheirabadi and Moghaddam belum
dilakukannya kajian lebih lanjut perihal isi berita sebagai pesan utama dalam
pemberitaan. Inilah salah satu pembeda dan menjadi pertimbangan mengapa
penelitian ini akan juga berfokus pada isi berita maupun artikel untuk menemukan
berbagai strategi wacana yang diimplementasikan dan mengkaji adanya
representasi dan dominasi lingual pada teks media cetak untuk selanjutnya
menemukan ideologi penyerta. Penelitian Kheirabadi and Moghaddam menjadi
referensi penting dalam penelitian ini karena adanya relevansi dari sisi objek
penelitian dan pendekatan paradigma kritis yang digunakan.
Bustam, Heriyanto dan Citraresmana (2013) mengkaji teks berita yang
dimuat di The Jakarta Post melalui kajian analisis wacana kritis model van
Leeuwen dengan pendekatan strategi eksklusi dengan judul, “The Exclusion
Strategies of the Representation of Social Actors in the Case of FPI‟s Rejection to
Lady Gaga‟s Performance in Indonesia on the Jakarta Newspaper Headlines (A
CDA Approach). Penelitian ini mengkaji berita tentang penolakan Front Pembela
Islam (FPI) terhadap rencana konser Lady Gaga di Jakarta. Sumber data yang
37
digunakan untuk menjelaskan strategi eksklusi dalam pemberitaan tentang
penolakan FPI terhadap rencana konser Lady Gaga di Jakarta adalah tajuk berita
dimuat di the Jakarta Post pada periode Mei – Juni 2012 dengan pertimbangan
utama bahwa tajuk berita merupakan bagian yang paling penting dalam
pemberitaan di media cetak. Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh
Bustam, Heriyanto dan Citraresmana adalah untuk menjelaskan pengeluaran aktor
sosial dalam kasus penolakan konser Lady Gaga di Jakarta.
Hasil kajian Bustam, Heriyanto dan Citraresmana menunjukkan bahwa
penggunaan berbagai strategi eksklusi yang mencakup pasivisasi, nominalisasi
dan penggantian dalam tajuk rencana di The Jakarta Post. Kajian ini juga
memaparkan bahwa the Jakarta Post menggunakan strategi eksklusi dengan tiga
pertimbangan utama. Pertama, hal itu dilakukan untuk menyembunyikan aktor
sosial yang ada dalam kasus penolakan konser Lady Gaga di Jakarta. Kedua,
untuk melindungi aktor sosial dari ancaman dan kesan negatif. Ketiga, untuk
mengalihkan perhatian pembaca kepada aktor sosial lainnya yang dalam hal ini
adalah Lady Gaga dan para penggemarnya. Penelitian yang dilakukan oleh
Bustam, Heriyanto dan Citraresmana hanya berfokus pada strategi eksklusi.
Sedangkan, penelitian ini akan mengkaji baik strategi eksklusi maupun inklusi
yang akan menjadi satu kesatuan kajian model van Leeuwen. Penelitian Bustam,
Heriyanto dan Citraresmana memberikan kontribusi dalam penelitian ini dalam
hal relevansi topik dan pendekatan paradigma kritis melalui analisis wacana kritis
model van Leeuwen. Selain itu, kontribusi lainnya adalah adanya kesaman tema
yang diangkat, yakni teks media.
38
Penelitian Bestari, Artawan dan Yasa (2014) berjudul Pemberitaan
Gubernur Bali, Mangku Pastika, dalam Surat Kabar Bali Post: Analisis Strategi
Eksklusi-Inklusi Theo van Leeuwen. Penelitian ini menggunakan rancangan
penelitian deskriptif kualitatif dengan tujuan mendeskripsikan strategi eksklusi
dan strategi inklusi dalam media Bali Post pada pemberitaan Gubernur Bali,
Mangku Pastika.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode dokumentasi dengan teknik baca-catat dengan teknik analisis Miles dan
Huberman. Adapun objek penelitian yang dikaji adalah 22 data berupa struktur
kalimat dalam pemberitaan Gubernur Bali, Mangku Pastika pada periode 19
September 2011 sampai dengan 21 Juli 2012 dengan model pendekatan analisis
wacana kritis model van Leeuwen. Asumsi awal penelitian ini adalah bahwa
realitas politik sering dikonstruksi atau dikonseptualisasikan oleh media dalam
proses pembuatan berita. Penelitian ini menjelaskan berbagai jenis strategi
eksklusi dan inklusi yang digunakan oleh media Bali Post dalam memberitakan
Gubernur Bali, Mangku Pastika. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa sosok
Gubernur Bali, Mangku Pastika disudutkan dan difokuskan ke dalam pencitraan
yang buruk di mata pembaca. Hal ini dilakukan dengan penggunaan strategi
eksklusi dalam bentuk pasivasi sebanyak 55 data atau sejumlah 85 %; bentuk
nominalisasi sebanyak 9 data atau sejumlah 14 %; dan bentuk penggantian
kalimat sebanyak 1 data atau sejumlah 1 %. Sedangkan pemilihan strategi inklusi
dalam bentuk diferensiasi sebanyak 11 data atau sejumlah 20 %; bentuk abstraksi
sebanyak 6 data atau sejumlah 11 %; bentuk kategorisasi sebanyak 4 data atau
39
sejumlah 7 %; bentuk identifikasi sebanyak 21 data atau sejumlah 38 %; bentuk
asimilasi sebanyak 6 data atau sejumlah 11 %; dan bentuk asosiasi sebanyak 7
data atau sejumlah 13 %;
Hasil penelitian Bestari, Artawan dan Yasa (2014) menitikberatkan hanya
pada kajian berbagai bentuk strategi eksklusi dan inklusi yang digunakan oleh
media Bali Post dalam memberitakan Gubernur Bali tanpa melakukan analisis
lanjutan perihal ideologi di balik pemberitaan tersebut dan lebih memaparkan
kuantifikasi dari berbagai strategi wacana tersebut sehingga penelitian ini lebih
mencirikan content analysis daripada kajian analisis wacana kritis dengan
paradigma kritis-konstruktif. Inilah salah satu pembeda penelitian ini dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh Bestari, Artawan, dan Yasa. Hal prinsip
lainnya yang membedakan penelitian Bestari, Artawan dan Yasa dengan
penelitian ini adalah bahwa penelitian Bestari, dkk. berhenti hanya teks berita
tanpa ketelusuran lebih lanjut kepada media Bali Post sebagai pemroduksi wacana
dan kepada audiens sebagai pengkonsumsi teks. Akan tetapi, penelitian Bestari,
Artawan dan Yasa tetap menjadi relevan dalam penelitian tentang representasi dan
dominasi lingual dalam wacana pariwisata karena tiga pertimbangan utama, yakni
1) kajian terhadap berbagai strategi wacana model van Leeuwenyang digunakan
dalam mengkaji berita di media cetak; 2) kesamaan media cetak yang dijadikan
objek penelitian, yakni Bali Post; 3) penelitian ini menunjukkan bukti empiris
bahwa strategi eksklusi dan inklusi dapat digunakan sebagai piranti untuk
membongkar terjadinya ketimpangan perspektif dalam pemberitaan di media
cetak.
40
Berdasarkan uraian karya hasil penelitian, kajian buku teks, dan aplikasi
teoretis dan metodologis di atas, penelitian ini layak dan mendesak untuk
dilakukan untuk menjawab rumusan masalah dan menjelaskan fenomena
penggunaan bahasa ranah teks media cetak untuk selanjutnya menemukan
ideologi di balik wacana pariwisata.
2.2 Konsep
Untuk menghindari terjadinya bias pemahaman atau perbedaan persepsi
terhadap fokus penelitian, di bawah ini akan dijelaskan beberapa konsep dasar
yang menjadi pijakan dalam penelitian ini. Konsep dimaksud adalah konsep
representasi lingual, dominasi lingual, wacana pariwisata dan media cetak yang
diuraikan sebagai berikut.
2.2.1 Representasi Lingual
Representasi diartikan sebagai suatu keadaan diwakili atau suatu tindakan
yang mewakili sesuatu (KBBI, 2013:1167). Pada konteks ini, representasi
didefinisikan sebagai gambaran realitas yang disajikan di dalam teks sehingga
representasi menjadi populer di dalam kajian teks-teks sosial maupun budaya.
Dikaitkan dengan penelitian ranah wacana pariwisata, representasi juga merujuk
pada bagaimana seseorang, kelompok masyarakat, gagasan atau pendapat-
pendapat ditampilkan di media cetak nasional.
Representasi dalam tataran sosial dan media massa mengacu kepada dua
persoalan pokok. Pertama, apakah representasi seseorang, kelompok masyarakat,
41
gagasan atau pendapat-pendapat ditunjukkan sebagaimana mestinya melalui
unsur-unsur lingual. Dikatakan demikian karena diasumsikan bahwa tampilan di
media cetak cenderung terdistorsi oleh berbagai kepentingan. Kedua, bagaimana
representasi dimaksud ditampilkan. Hal ini berhubungan dengan pemilihan
leksikon, frase, kalimat, aksentuasi dan gambar untuk menampilkan seseorang,
kelompok masyarakat, gagasan ataupun pendapat-pendapat. Burton (2012:137-
138) menyatakan bahwa representasi lingual merujuk pada deskripsi atau narasi
terhadap sesuatu, seseorang atau kelompok masyarakat yang menyangkut makna-
makna yang dikaitkan dengan tampilan yang dikonstruksi, misalnya pemaknaan
tentang pariwisata budaya. Dalam penelitian ini, konsep representasi lingual yang
digunakan adalah penggunaan leksikon, frase, klausa ataupun struktur paragraf
yang menjadikan teks (wujud lingual) sebagai sarana representatif untuk
memperkokoh berbagai kepentingan dalam sebuah wacana.
2.2.2 Dominasi Lingual
Secara leksikal-terminologi, dominasi diartikan sebagai bentuk
penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah (bdk.
KBBI, 2013:339). Ini berarti, dominasi juga terwujud dalam bentuk pemaksaan
kerangka pandangan secara langsung maupun tidak langsung terhadap kelompok
yang lebih lemah. Ini berarti, apabila usaha penanaman pandangan kepada
seseorang atau kelompok masyarakat dan seseorang atau kelompok tersebut
menerima pandangan tersebut, saat itu tengah terjadi dominasi dari pihak pemilik
pandangan ke pihak yang menerima pandangan tersebut. Eriyanto (2001:272)
42
mendefinisikan dominasi sebagai suatu bentuk kekuasaan seseorang, kelompok
masyarakat atau lembaga atas orang atau kelompok lain untuk melakukan kontrol
dengan memanfaatkan akses yang dimiliki.
Lebih lanjut Eriyanto menjelaskan bahwa kekuasaan didasarkan atas
kepemilikan sumber-sumber yang bernilai seperti uang, status dan pengetahuan.
Premis ini menyatakan bahwa faktor uang, status dan pengetahuan sangat
memungkinkan dijadikan instrumen untuk melakukan dominasi. Dengan ketiga
faktor ini, akses informasi dan komunikasi yang merupakan ciri utama keberadaan
media massa akan dapat dikuasai. Menurut van Dijk (2008:6), dominasi adalah
suatu bentuk pemaksaan akibat adanya kekuasaan sosial (sosial power) oleh suatu
kelompok masyarakat. Persoalan relasi dan/atau keterpaduan antara kelompok
pendominasi dan yang didominasi akan menjadi salah satu faktor utama yang
termasuk kajian analisis wacana kritis. Sehubungan dengan hal ini, wujud lingual
yang tergambar dari penggunaan kata, struktur dan bentuk kalimat tertentu tidak
dipandang semata sebagai persoalan teknis tata bahasa atau linguistik, tetapi
ekspresi dari adanya dominasi, yakni suatu upaya untuk membentuk pendapat
umum, meneguhkan, dan membenarkan pihak sendiri atau mengucilkan pihak
lain. Dengan demikian, media cetak melalui saluran informasi dan kuasa
komunikasi yang dimiliki akan cenderung digunakan sebagai alat untuk
mendominasi pihak (audiences) yang lemah melalui sarana bahasa.
Sejalan dengan ini, Burton (2008) menyatakan bahwa media massa
melalui berbagai dominasi lingual yang terwujud dalam penggunaan struktur dan
bentuk kalimat akan memiliki kekuatan untuk membentuk pengetahuan dan
43
persepsi masyarakat tentang dunia. Pada konteks semacam ini, penggunaan
bahasa dipandang tidak netral karena mencerminkan adanya dominasi di tengah
masyarakat yang membawa implikasi ideologis tertentu.
Dari pemaparan beberapa konsep di atas, dapat dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan dominasi lingual dalam penelitian ini adalah berbagai leksikon,
frasa, klausa, dan struktur paragraph yang termuat dalam media cetak nasional
yang menampilkan adanya dominasi oleh pihak tertentu kepada pihak lain,
misalnya, media memberitakan perihal wacana pariwisata dengan bentuk kalimat,
“Pariwisata Bali adalah pariwisata budaya.” Maka, masyarakat percaya dan
memaknai bahwa kegiatan kepariwisataan di Bali tidak melenceng dari budaya
Bali. Meski, dalam kenyataan di lapangan hal ini masih perlu dipertanyakan.
Bentuk kalimat ini efektif untuk mendominasi kognisi dan praksis sosial
masyarakat Bali.
2.2.3 Wacana Pariwisata
Menurut Fairclough (1995) wacana adalah bahasa yang digunakan untuk
merepresentasikan suatu praktik sosial yang ditinjau dari sudut pandang tertentu.
Ini berarti, wacana adalah penggunaan bahasa oleh masyarakat untuk
merepresentasikan diri mereka melalui komunikasi dan interaski sosial. Undang-
undang No. 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata menyatakan bahwa pariwisata
adalah berbagai macam kegiatan wisata yang didukung oleh berbagai fasilitas
serta layanan yang disediakan masyarakat, pengusaha, pemerintah dan
pemerintah daerah. Dari penjelasan tersebut, pariwisata dapat didefinisikan
44
sebagai industri jasa yang bergerak dalam bidang transportasi, perhotelan, jasa
hospitaliti, tempat tinggal, makanan, minuman yang di dalamnya jelas berkaitan
erat dengan jasa lainnya seperti bank, asuransi, dan keamanan. Pariwisata secara
tidak langsung juga bersentuhan dengan budaya masyarakat. Goeldner dan
Ritchie (2009: 6) menyatakan bahwa :
“tourism is a composite of activities, services and industries that deliver a travel
experience: transportation, accommodations, eating and drinking establishments,
shops, entertainment and other hospitality services both provided by governments
and/or private sectors”.
Hal ini berarti bahwa pariwisata merupakan kumpulan berbagai kegiatan
yang bertumpu pada lingkup perjalanan, termasuk transportasi, akomodasi, usaha
restoran, toko-toko, perjamuan dan layanan hospitali lainnya baik yang disediakan
oleh pemerintah maupun sektor swasta. Hallet and Weinger (2009:11)
memaparkan secara jelas keterhubungan antara wacana dan pariwisata dalam
kemasan linguistik. Mereka menyatakan bahwa:
“The discourse of tourism is a discourse of identity construction, promotion,
recognition, and acceptance. It is a discourse created through the creation and
manipulation of linguistic and visual texts. Although these texts are specific to
their locale, they share common goals that become transparent through the work
of discourse analysis. Those goals involve both producer and audience”
“Wacana pariwisata adalah wacana tentang pembentukan identitas, promosi,
pengakuan dan penerimaan yang tercipta melalui kreasi dan manipulasi linguistik
serta teks visual. Meski teks ini mengkhusus pada bidangnya, wacana pariwisata
melibatkan tujuan-tujuan umum yang akan menjadi nyata jika dikaji dari sudut
analisis wacana di mana produsen teks dan khalayak terlibat.”
45
Dari pernyataan di atas diketahui bahwa wacana pariwisata merupakan
wacana tekstual yang merupakan suatu kreasi linguistik untuk sebuah pengakuan
adanya representasi dan dominasi di mana pemroduksi teks dan khalayak terlibat
di dalamnya. Merujuk pada konsep wacana pariwisata yang dikemukakan Hallet
dan Weinger (2009) wacana pariwisata dalam penelitian ini dikonsepkan sebagai
segala teks tulis dan konteksnya yang menggambarkan kegiatan yang
berhubungan dengan bidang pariwisata yang termuat di media cetak nasional.
2.2.4 Media Cetak Nasional
Nurudin (2009: 36) menyatakan bahwa komunikasi massa telah
memunculkan revolusi baru dalam era informasi ini yang mampu membentuk
karakter masyarakat. Sebab, ketergantungan informasi yang tinggi pada media
massa sebagai alat penyampai pesan akan dapat membentuk apa dan bagaimana
keberadaan suatu masyarakat. Dalam media massa, khalayak sering disapa atau
disebut secara langsung oleh teks. Penyapaan tersebut merupakan proses
bagaimana teks berkomunikasi dengan khalayak dan bagaimana khalayak
diposisikan oleh teks dalam posisi tertentu dalam teks. Sebagai contoh, ungkapan
pemerkosaan dapat dikatakan sebagai memerkosa, meniduri, menggagahi,
memerawani, dan sebagainya (lihat Badara, 2012:52-54). Ini menunjukkan
konstruksi lingual yang serupa dapat menggambarkan suatu peristiwa yang sama
dengan pemaknaan yang berbeda di benak khalayak. Bahasa yang berbeda dalam
media cetak akan menghasilkan realitas yang berbeda pula ketika diterima oleh
khalayak.
46
Dalam penelitian ini, media cetak dimaksud merujuk pada konsep batasan
definisi media cetak adalah sarana media massa yang dicetak dan diterbitkan
secara berkala seperti surat kabar dan majalah. Media cetak nasional yang
dimaksudkan di sini adalah Bali Post, Nusa Bali dan Kompas yang memuat
wacana pariwisata.
2.3 Landasan Teori
Untuk menganalisis dan menjelaskan fenomena yang secara eksplisit
terjabar dalam rumusan masalah, maka dikemukakan teori-teori relevan yang
digunakan dalam penelitian ini. Adapun teori-teori relevan tersebut adalah 1) teori
teori analisis wacana kritis model van Leeuwen dengan pendekatan strategi
eksklusi dan inklusi; 2) teori representasi lingual oleh Burton (2012) yang
mengemukakan bahwa representasi yang ditampilkan dalam wujud lingual di
media massa bekerja dengan dua cara, yakni determinasi dan fungsionalisme.; 3)
teori dominasi lingual oleh Burton (2008) yang mengemukakan bahwa media
massa melalui wujud lingual yang ditampilkan memiliki kekuatan untuk
melakukan konstruksi dan rekonstruksi realitas sosial; 4) teori ideologi oleh
Thompson (2003) yang mengemukakan bahwa ideologi merujuk pada ranah
deskriptif dan proses hubungan kekuasaan yang tidak simetris.
Menurut Mayr (2008), wacana dari sisi teoretis dimulai dari analisis sosial
oleh Foucault (1977), mengarah ke linguistik kritis oleh Fowler, dkk (1979), dan
analisis wacana kritis yang dipelopori oleh van Dijk (1990). Lebih lanjut, Mayr
memaparkan bahwa definisi wacana dapat dilihat dari dua sudut pandang yang
47
berbeda, yakni bagi kaum strukturalis dan bagi kaum fungsionalis. Kaum
strukturalis memandang wacana sebagai tataran klausa dan kalimat yang berfokus
pada bagaimana struktur teks terbingkai dari sisi kohesi dan koherensi (bdk.
Halliday and Hasan, 1987:21-23; Halliday, 1994:129). Dalam konteks ini, para
strukturalis kurang memerhatikan aspek sosial yang dapat memberikan informasi
tentang bagaimana orang menggunakan dan mengintepretasikan bahasa, kurang
mengkaji lebih jauh tentang bagaimana teks terproduksi dan diproduksi akibat
adanya pengaruh kekuasaan sosial yang tercermin dari representasi, dominasi dan
ideologi yang terungkap di dalam teks. Sedangkan, kaum fungsionalis melihat
wacana sebagai bentuk „language in use‟ (penggunaan bahasa) yang tidak bisa
dilepaskan dari tujuan dan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dalam praksis
sosial. Wacana, bagi kaum fungsionalis, dilihat sebagai suatu cara bagaimana
bahasa digunakan dalam praktik sosial. Dengan kata lain, bahasa mampu
merepresentasikan realitas sosial yang sekaligus berkontribusi terhadap konstruksi
realitas.
Analisis teks media yang muncul dari kajian analisis wacana telah
melahirkan berbagai bentuk analisis yang memunculkan persinggungan antara
model analisis yang satu dengan yang lain, misalnya, analisis model teks media
versi Norman Fairclough dan Teun A Van Dijk lebih menekankan analisis teks
berdasarkan konteks sosial. Dalam kaitan ini, proses kerja wacana berfokus pada
bahasa dalam pemakaiannya yang terkonstruksi dan terdesiminasi ke dalam teks
dan mengalami internalisasi dengan suguhan informasi di dalamnya (bdk.
Schiffrin, 1994:27-28; Locke, 2004:5). Jadi, pandangan para ahli ini menyuratkan
48
bahwa wacana berada pada tataran penggunaan bahasa yang sering diungkapkan
dalam bentuk teks tertentu.
Sejalan dengan hal ini, Fiske (2012: 57) mengemukakan bahwa wacana
dalam wilayah komunikasi diartikan sebagai suatu pernyataan atau ungkapan
seorang penyampai pesan mengirim sebuah teks kepada penerima. Dalam konteks
ini, Fiske kemudian menambah dua faktor yang lain. Pertama adalah kontak yang
merupakan saluran yang bersifat fisik dan hubungan psikologis antara penyampai
dan penerima; faktor tambahan kedua adalah kode, sebuah sistem makna milik
bersama yang digunakan untuk menstrukturkan pesan atau ideologi yang ingin
ditanamkan. Riana (2012: 21) mengungkapkan bahwa wacana merupakan satuan
gramatika tertinggi realisasinya yang dapat berupa karangan utuh, paragraf,
kalimat dan bahkan berupa kata yang mengungkap pesan yang lengkap. Dari
definisi ini, tergambar jelas bahwa wacana nyatanya merupakan satuan lingual
berupa kata, frase, klausa ataupun kalimat yang dapat membentuk satu kesatuan
makna sesuai dengan situasi kebahasaan pada konteks sosial di mana unsur-unsur
lingual dimaksud dipergunakan.
Dalam analisis wacana kritis (AWK), wacana tidak dipahami semata-mata
sebagai kajian dan sajian bahasa. Analisis wacana kritis menggunakan bahasa
tekstualitas dengan konteks untuk diinterpretasi dan dianalisis. Hasilnya bukan
hanya untuk memperoleh gambaran dari aspek kebahasaan, melainkan juga
menghubungkannya dengan aspek sosial. Hal ini berarti bahwa bahasa
dipergunakan untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik
konstruksi sosial. Dari kajian terhadap pandangan-pandangan van Dijk,
49
Fairclough, Sara Mills, Wodak, dan van Leuween dalam Eriyanto (2001:8-13)
dapat dinyatakan bahwa karakteristik terpenting dari analisis wacana kritis adalah
interaksi antara teks dengan konteks sosialnya secara bersamaan. Dalam konteks
ini, wacana ditempatkan dalam ruang terbuka, bukannya terkukung secara internal
dan asumsi dasarnya adalah bahwa tidak ada wacana yang bersifat netral. Wacana
mengemuka karena adanya hal yang perlu diperdebatkan. Hal ini memberikan dua
implikasi nyata, yakni a) wacana dipandang sebagai sesuatu yang memiliki tujuan
untuk memengaruhi, membujuk, atau menyanggah seseorang dan/atau sesuatu
dalam suatu interaksi sosial. Seseorang yang berbicara atau menulis selalu
mempunyai tujuan dan sesuatu yang terungkap pasti pula memiliki tujuannya
sendiri; b) wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar dan
terkontrol. Artinya, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar
kesadaran dan tidak ada wacana yang lahir tanpa disadari sepenuhnya oleh
pembicaranya ataupun pemroduksi teks.
Sehubungan dengan hal ini, ada tiga istilah kunci dalam AWK yang akan
dijadikan rujukan dalam penelitian ini. Ketiga istilah dimaksud adalah teks,
konteks sosial dan AWK. AWK mampu menjelaskan keberadaan teks dalam
konteks sosial. Untuk itu, titik perhatian analisis wacana kritis dalam penelitian ini
adalah pemaparan atas teks dan konteksnya secara bersama-sama dalam kaitannya
dengan wacana pariwisata. Konteks yang dimaksudkan di sini bukanlah dalam
pengertian yang sempit dan semata-mata mengaitkan dengan konteks lingual,
seperti kohesi dan koherensi, melainkan ke dalam konteks sosial tempat produksi
dan reproduksi teks terjadi. AWK melihat bahwa tidak ada tindakan komunikasi
50
tanpa partisipan antarteks, situasi dan pergulatan sosial. Namun, AWK dalam
penelitian ini tetap menggunakan pendekatan Critical Linguistics terutama dalam
konsep unit dasar komunikasi yaitu unit teks diskursif yang lebih besar, sehingga
penelitian ini juga mempertimbangkan wacana-wacana institusional, politik,
gender, dan media (bdk. Wodak & Meyer, 2009: 2).
Melalui kata dan konstruksi lingual lainnya berbagai pertarungan
kepentingan tercipta, termasuk ideologi sebagai titik awal terjadinya konstruksi
sosial untuk menentukan dan mengukuhkan posisi representasi dan dominasi
kuasa. Pendekatan semacam ini sering dimaksudkan sebagai kognisi sosial yang
merupakan faktor penting dalam produksi wacana, sebab komponen utama yang
dipersoalkan dalam wacana adalah siapa dan bagaimana seseorang
mengartikulasikan bahasa dalam tindakan komunikasi (lihat van Dijk, 1997:2-3).
Oleh karena itu, menurut pendekatan ini analisis wacana kritis dapat digunakan
untuk mengetahui posisi sosial kelompok-kelompok penguasa (pendominasi) dan
kelompok marjinal (terdominasi) serta pendekatan perubahan sosial memandang
wacana sebagai praktik konstruksi. Lebih lanjut Van Dijk memaparkan bahwa
sebuah wacana mempunyai tiga efek dalam perubahan sosial, yaitu (1) memberi
andil dalam mengonstruksi identitas sosial dan posisi subjek, (2) memberi
kontribusi dalam mengonstruksi relasi sosial, (3) memberi kontribusi dalam
mengonstruksi sistem pengetahuan dan kepercayaan atau ideologi. Untuk
memperoleh gambaran tentang bentuk, strategi, dan dampak pertarungan ideologi
dalam wacana pariwisata di media cetak nasional digunakan teori analisis wacana
kritis (AWK) model van Leeuwen dengan pendekatan eksklusi dan inklusi.
51
Selanjutnya proses analisisnya dilakukan dengan tiga tahap, yaitu (a) deskripsi,
yakni analisis teks yang dicurigai mengandung representasi lingual, dominasi
lingual dan pertarungan ideologi, baik berupa bentuk maupun strategi, (b)
penafsiran, yakni mengaitkan bentuk dan strategi pertarungan ideologi dengan
proses produksi dan penerimaan informasi yang disampaikan dalam bentuk
wacana pariwisata dan (c) penjelasan, yakni mengaitkan hasil penafsiran
pertarungan ideologi yang ditemukan dalam teks sehingga diperoleh penjelasan
yang utuh dan mendalam.
Dalam wacana pariwisata, analisis teks lebih difokuskan pada tingkat
penggunaan bahasa melalui pendekatan eksklusi dengan strategi pemasifan,
nominalisasi, dan penggantian kalimat serta pendekatan inklusi dengan strategi
diferensiasi-indeferensiasi, objektivasi-abstraksi, nominasi-kategorisasi, nominasi-
identifikasi, determinasi-indeterminasi, asimilasi-individualisasi dan asosiasi-
disosiasi. Analisis wacana telah menjadi salah satu alat untuk mengkaji persoalan
teks media. Eriyanto (2001) menyampaikan bahwa salah satu agen terpenting
dalam mendefinisikan kelompok adalah media. Lewat pemberitaan yang terus
menerus disebarkan, media secara tidak langsung membentuk pemahaman dan
kesadaran di kepala khalayak mengenai sesuatu. Wacana yang dibuat oleh media
itu merupakan representasi yang bisa jadi melegitimasi suatu hal atau kelompok
dan mendelegitimasi atau memarginalkan kelompok lain. Bagaimana pihak yang
menjadi korban ini acapkali juga digambarkan secara buruk, sehingga khalayak
tidak bersimpati dan justru lebih bersimpati kepada pelaku daripada korban.
52
Berkaitan dengan hal ini, van Leeuwen memperkenalkan sebuah model
dalam analisis wacana. Model analisis tersebut digunakan untuk mendeteksi atau
mengetahui bagaimana sebuah kelompok hadir sebagai kelompok yang
dimarginalkan. Inti analisisnya adalah bagaimana seseorang atau sesuatu
dikeluarkan atau dimasukkan ke dalam wacana. Konstruksi teks yang diteliti
adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk
menegaskan suatu tema tertentu, yakni representasi tentang bagaimana seseorang,
kelompok, atau segala sesuatu ditampilkan melalui bahasa. Berkenaan dengan
wacana, van Leeuwen (2005: 94) mengatakan bahwa “The term „discourse‟ is
often used to denote an extended stretch of connectedspeech or writing, a „text‟.
„Discourse analysis‟ then means „the analysis of anextended text, or type of text‟.”
Lebih lanjut, van Leeuwen menjelaskan bahwa wacana sering digunakan
untuk mengungkapkan ujaran dan tulisan yang saling berhubungan yang disebut
teks. Jadi, teori analisis wacana model van Leeuwen mengungkap perihal analisis
tentang ruang lingkup teks atau jenis teks tertentu. Leeuwen memperkenalkan
model analisis wacana untuk mendeteksi dan meneliti proses pemarginalan
seseorang atau kelompok dalam suatu wacana. Pada konteks tersebut, ada
hubungan antara wacana dan kekuasaan di mana bentuk-bentuk representasi dan
dominasi menjadi bagian integral dalam kehidupan sosial.Wacana di media cetak
nasional selalu dihubungkan dengan praktik sosial.
Van Leeuwen (2005: 93-95) memaparkan bahwa representasi dan
dominasi dapat tergambar dalam setiap peristiwa komunikasi yang terjadi di
tengah masyarakat pada situasi tertentu. Dalam hal ini, persoalannya adalah
53
bagaimana seseorang atau kelompok masyarakat memanfaatkan sumber-sumber
informasi dan komunikasi untuk memproduksi makna. Inilah yang menjadi ranah
discourse yang akan membicarakan sebuah makna tersirat dan bagaimana sebuah
teks hadir atau dihadirkan menjadi sebuah kalimat dan ungkapan komunikatif
lainnya untuk sebuah representasi dan dominasi, misalnya, pada suatu berita yang
telah diamati oleh seorang wartawan kemudian direpresentasikan ke dalam teks
berita. Dalam proses representasi berita yang berbentuk suatu kejadian tertentu
menjadi susunan teks, dapat diperhatikan bagaimana seorang wartawan
menyampaikan sebuah kenyataan. Pembaca berita dapat memperhatikan
bagaimana suatu kelompok mendominasi wacana dalam berita tersebut.
Mendominasi wacana yang dimaksudkan adalah adanya kekuatan yang
dimiliki oleh sebuah kelompok untuk memegang kendali penafsiran pembaca dari
sebuah berita, opini, atau bentuk teks lainnya. Dominasi yang terjadi dalam teks
berita berbentuk sebuah pencitraan media terhadap pelaku dan korban dalam
sebuah berita, misalnya, kaum buruh, tani, pengemis, anak jalanan adalah
golongan yang meresahkan masyarakat. Demonstrasi mahasiswa yang marak bisa
menjadi contoh, bahwa mahasiswa dihadirkan dengan kesan bahwa mereka adalah
kelompok yang anarkis, sering merusak dan senang membuat rusuh. Segala
bentuk pencitraan seperti itu dilakukan hanya dengan merepresentasikan suatu
kejadian yang benar terjadi menjadi susunan teks dengan pilihan kata dan bentuk
kalimat.
Secara umum, analisis wacana kritis model van Leeuwen menampilkan
bagaimana pihak-pihak dan aktor (perorangan atau kelompok) ditampilkan dalam
54
sebuah wacana. Menurutnya, terdapat dua titik fokus perhatian. Pertama, proses
eksklusi (exclusion) yaitu apakah dalam suatu teks ada kelompok atau aktor yang
dikeluarkan dalam wacana. Proses pengeluaran seseorang atau aktor dalam suatu
wacana adalah perilaku menghilangkan atau menyamarkan pelaku/aktor dalam
berita, sehingga dalam berita korbanlah yang menjadi perhatian berita. Proses
pengeluaran ini secara tidak langsung bisa mengubah pemahaman khalayak akan
suatu isu dan melegitimasi posisi pemahaman tertentu, misalnya, dalam berita
mengenai “demonstrasi mahasiswa yang berlangsung ricuh sehingga polisi
melepaskan tembakan, akhirnya seorang mahasiswa tewas karena tertembak”.
Dari kejadian demonstrasi mahasiswa di atas, teks mengeluarkan polisi dari
pemberitaan dan korban penembakan yang ditonjolkan dalam suatu berita,
sehingga kesan yang hadir kemudian bahwa mahasiswa yang melakukan
demonstrasi pantas mendapatkan tembakan hingga tewas. Strategi eksklusi dibagi
menjadi tiga pendekatan
Kedua adalah proses inklusi (inclusion). Proses ini adalah lawan dari
proses eksklusi, proses ini berhubungan dengan pertanyaan bagaimana seseorang
atau kelompok aktor dalam suatu kejadian dimasukkan atau direpresentasikan ke
dalam sebuah wacana. Dengan menggunakan kata, kalimat, informasi atau
susunan bentuk kalimat tertentu, cara bercerita tertentu, masing-masing kelompok
direpresentasikan ke dalam sebuah teks. Salah satu agen yang berpeluang di
dalam mendefinisikan sesuatu kelompok adalah media massa. Melalui wacana
yang dibuat oleh media massa tersebut bisa jadi melegitimasi sesuatu hal atau
kelompok dan mendelegitimasi dan memarginalkan kelompok lain.
55
Secara lebih rinci analisis wacana kritis model van Leeuwen dapat dijabarkan
sebagai berikut.
1) Eksklusi
Eksklusi atau proses pengeluaran, yakni proses pengeluaran (exclusion) seseorang
atau suatu kelompok masyarakat dalam suatu teks. Proses semacam ini dalam
suatu wacana merupakan perilaku menghilangkan atau menyamarkan pelaku/aktor
dalam sebuah teks, sehingga sering korbanlah yang menjadi peerhatian utama.
Proses pengeluaran ini secara tidak langsunng bisa mengubah pemahaman
khalayak akan suatu isu dan melegitimasi posisi pemahaman atau ideologi
tertentu. Proses eksklusi pada suatu wacana dapat dilakukan dengan berbagai
proses, yakni:
(1) Pemasifan
Melalui kalimat pasif, aktor dapat dihilangkan dalam teks, sesuatu yang
tidak mungkin terjadi dalam kalimat yang berstruktur aktif. Kasus seperti itu
dicontohkan seperti berikut.
Aktif : Pemerintah Provinsi Bali menelantarkan konsep pariwisata budaya.
Pasif : Konsep pariwisata budaya di Bali terlantar.
Secara relasi gramatikal, kedua kalimat di atas mengalami perubahan fungsi
gramatikal. Pada contoh konstruksi aktif, aktor ditunjukkan oleh Pemerintah
Provinsi Bali yang berfungsi sebagai subjek gramatikal. Selanjutnya, pada
konstruksi pasifnya aktor tidak direalisasikan secara jelas sehingga terjadi
pengaburan fungsi aktor. Dalam tataran relasi gramatikal istilah tersebut
diistilahkan dengan chomer (bdk. Blake, 1990). Dengan kata lain, aktor berperan
56
sebagai argumen inti dikeluarkan statusnya menjadi non inti. Mengacu kepada
teori strategi pemasifan yang dikemukakan oleh van Leeuwen (2005), contoh di
atas menunjukkan proses pemasifan dapat menghilangkan aktor yang semestinya
bertanggung jawab dalam upaya pengembangan konsep pariwisata budaya.
Bentuk kalimat pasif yang menghilangkan pelaku dari kalimat seperti contoh di
atas juga dapat membuat khalayak pembaca tidak kritis.
(2) Nominalisasi
Salah satu bagian eksklusi yang merupakan strategi untuk menghilangkan
sekelompok aktor sosial tertentu adalah melalui nominalisasi, karena nominalisasi
pada dasarnya merupakan proses mengubah kata kerja yang bermakna tindakan
atau kegiatan menjadi kata benda yang bermakna peristiwa.
Verba : Direktur PT. Garuda Kencana mengembangkan kepariwisataan Bali
tanpa memerhatikan kearifan lokal.
Nomina : Pengembangan kepariwisataan Bali sering tanpa memerhatikan
kearifan lokal.
Nomina : Kearifan lokal kurang diperhatikan dalam pengembangan
kepariwisataan Bali .
Nomina : Perhatian terhadap kearifan lokal perlu ditingkatkan dalam
pengembangan kepariwisataan Bali.
Secara gramatikal, contoh di atas kata pengembangan dibentuk dari konfiks {pe -
an} + tambah verba. Dalam proses morfologis bahasa Indonesia, konfiks tersebut
bersifat substantif yang berfungsi sebagai pembentuk nomina. Dalam konteks
57
strategi wacana model van Leeuwen, strategi ini disebut sebagai strategi
nominalisasi untuk mengesampingkan aktor. Artinya, di sini tindakan
„mengembangkan‟ kepariwisataan Bali telah diubah fungsinya menjadi suatu
peristiwa „pengembangan‟. Hubungannya dengan media, Eriyanto (2001)
berpendapat bahwa redaksi umumnya sering kali dan lebih senang
memberitahukan suatu peristiwa dalam bentuk nominal dibandingkan dengan
bentuk tindakan. Sejalan dengan ini, Dosi (2012) menyatakan bahwa media massa
juga sering tidak mampu bersikap netral dan acapkali digunakan sebagai
instrumen kekuasaan untuk mengaburkan makna. Di sinilah, ideologi yang ada di
balik teks dan yang terungkap dalam media massa dapat dibongkar.
(3) Penggantian Kalimat
Penggantian kalimat merupakan strategi untuk menghilangkan
sekelompok aktor sosial tertentu yang tentunya bertujuan untuk menghilangkan
makna senyatanya dalam sebuah wacana. Strategi penggantian kalimat tidak
membutuhkan subjek, karena pada dasarnya merupakan proses mengubah kalimat
yang bermakna tindakan atau kegiatan menjadi bermakna peristiwa, misalnya:
Tanpa anak kalimat : Polisi Pamong Praja memukul salah satu anggota banjar
yang berdemonstrasi menuntut kue pariwisata hingga
babak belur.
Anak Kalimat : Untuk mengendalikan demonstrasi anggota banjar yang
menuntut pembagian kue pariwisata, pemukulan terpaksa
58
dilakukan. Akibatnya seorang anggota banjar babak
belur.
Melalui strategi penggantian kalimat, aktor utama sebagai penangung jawab yang
melakukan pemukulan dilenyapkan untuk memengaruhi (mendominasi) opini
bahwa proses pemukulan terpaksa dilakukan sehingga khalayak pembaca menjadi
maklum. Gambaran ini juga mengisyaratkan terbentuknya representasi sosial
dalam wacana pariwisata yang sedang berkembang.
2) Inklusi
Proses inklusi merupakan kebalikan dari proses eksklusi. Proses ini
berhubungan dengan pertanyaan bagaimana seseorang atau kelompok aktor dalam
suatu kejadian dimasukkan atau direpresentasikan ke dalam sebuah wacana. Baik
proses exclusion maupun inclusion akan terdapat dalam sebuah wacana. Ini berarti
dengan menggunakan kata, kalimat, informasi atau susunan bentuk kalimat
tertentu, cara bercerita tertentu, masing-masing kelompok direpresentasikan ke
dalam sebuah teks. Proses inklusi pada suatu wacana dapat dilakukan dengan
berbagai proses, yakni:
(1) Diferensiasi-indiferensiasi
Kehadiran peristiwa atau kelompok lain selain yang diberitakan yang
terjadi pada strategi Diferensiasi-lndiferensiasi bisa menjadi penanda yang baik
ataupun tidak baik bagaimana suatu kelompok atau peristiwa direpresentasikan
dalam teks. Penghadiran kelompok atau peristiwa lain tersebut secara tidak
langsung menunjukkan bahwa kelompok itu tidak bagus dibandingkan dengan
59
kelompok lain, misalnya, untuk kasus strategi diferensiasi-indiferensiasi seperti
berikut.
Indiferensiasi : Pegawai hotel Aston masih melanjutkan mogok sampai hari ini.
Diferensiasi : Pegawai hotel Aston masih melanjutkan mogok sampai hari ini.
Sementara harapan dari pihak manajemen hotel untuk berunding
tidak ditanggapi oleh para pegawai.
Kalimat kedua tersebut secara tidak langsung membedakan antara sikap pegawai
hotel dan pihak manajemen hotel.Teks tersebut memarginalkan posisi pegawai
hotel dengan menyatakan seakan-akan para pegawai tidak memedulikan pihak
manajemen dan tetap melanjutkan mogok kerja. Dikatakan memarginalkan karena
teks tersebut memisahkan sedemikian rupa, proposisi pertama (pegawai hotel
yang masih mogok) tidak dianggap sebagai akibat dari proposisi kedua (pihak
manajemen hotel yang meminta perundingan).
Diferensiasi dalam wujud yang lain sering kali menimbulkan prasangka
tertentu. Menurut van Leeuwen, penggambaran kita dan mereka merupakan
strategi wacana untuk menampilkan kenyataan bagaimana melalui wacana
tertentu satu kelompok dikucilkan, dimarginalkan, dan dianggap buruk.
(2) Objektivasi-abstraksi
Strategi objektivasi-abstraksi dilakukan untuk menggambarkan sesuatu
atau seseorang tidak semestinya, sehingga dapat menimbulkan kesan atau makna
yang kabur bagi pembaca teks, misalnya terdapat dalam kedua kalimat di bawah
ini:
60
Objektivasi :Para pemandu wisata telah dua kali melakukan mogok kerja.
Abstraksi :Para pemandu wisata telah berulang kali melakukan mogok kerja.
Terlihat jelas apa yang disampaikan dalam bentuk abstraksi akan menggambarkan
sikap pemandu wisata lebih buruk.
(3) Nominasi-kategorisasi
Sesuatu yang difokuskan dalam suatu wacana akan memberikan informasi
yang sangat berharga untuk lebih memahami tujuan hadirnya sebuah teks.
Fokusisasi dapat menunjukkan representasi bahwa suatu peristiwa atau seseorang
akan menjadi ciri khas atau atribut yang selalu hadir melalui kategorisasi yang
dimaksudkan, meski pemberian kategorisasi sering tidak akan mengubah makna
keseluruhan atas suatu peristiwa. Sebagai contoh, informasi tentang tewasnya
seorang wisatawan di jalan dapat diberitakan dengan berbagai cara, antara lain:
Nominasi : Seorang wisatawan tewas di jalan, diduga sebelumnya mengalami
kecelakaan.
Kategorisasi :
• Seorang wisatawan tanpa identitas tewas di jalan, diduga sebelumnya
mengalami kecelakaan
• Seorang wisatawan berambut pirang tewas di jalan, diduga sebelumnya
mengalami kecelakaan.
• Seorang wisatawan berbadan kekar tewas di jalan, diduga sebelumnya
mengalami kecelakaan.
61
Seorang wisatawan dengan busana minim tewas di jalan, diduga sebelumnya
mengalami kecelakaan.
Pemberian kategorisasi seperti contoh teks di atas tidak akan menambah informasi
ke khalayak secara jelas siapa sebenarnya wisatawan itu. Namun, perihal
pemberian kategorisasi tersebut menjadi menarik karena akan dapat membongkar
pesan di balik teks tersebut dan untuk menelusuri lebih jauh informasi semacam
ini akan dibawa ke mana dan untuk apa penambahan kategorisasi diberikan.
(4) Nominasi-identifikasi
Strategi tersebut menyerupai strategi wacana kategorisasi. Perbedaannya
terletak pada identifikasi, proses pendefinisian yang dilakukan dengan memberi
anak kalimat sebagai penjelas. Pada strategi ini ada dua proposisi. Proposisi kedua
merupakan penjelas atau keterangan dari proposisi pertama. Umumnya, proposisi
tersebut dihubungkan dengan kata hubung, seperti yang dan di mana.
Nominasi : Seorang wisatawan tewas di jalan, diduga sebelumnya mengalami
kecelakaan.
Identifikasi : Seorang wisatawan yang sering keluar malam tewas di jalan,
diduga sebelumnya mengalami kecelakaan.
Anak kalimat yang sering keluar malam adalah identifikasi yang diberikan oleh
penyusun berita (pewacana) sebagai pemroduksi teks. Akan tetapi, identifikasi
tersebut sering kali dapat menjadi penilaian ke arah mana peristiwa tersebut
dibawa. Dengan anak kalimat yang sering keluar malam wisatawan tersebut
digambarkan secara buruk, moralnya tidak baik karena sering keluar malam
62
sehingga dia diasumsikan mengalami kecelakaan karena pengaruh alkohol.
Padahal, dia keluar malam atau tidak bukanlah penyebab dia mengalami
kecelakaan.
Sebagai kalimat penjelas, ada atau tidak ada anak kalimat sama sekali
tidak memengaruhi arti kalimat yang menginformasikan ada wisatawan yang
tewas di jalan setelah sebelumnya diduga mengalami kecelakaan. Pemakaian
penjelas berupa anak kalimat tersebut sering kali bukan hanya berupa penilaian
yang subjektif mengenai diri seseorang atau tindakan, melainkan sering kali
memakai label-label yang menjadi representasi diri dan diamini oleh khalayak
pembaca.
(5) Determinasi-lndeterminasi
Untuk memperjelas strategi determinasi-indeterminasi dicontohkan dalam
kalimat pada wacana kepariwisataan: “Orang dekat pejabat membabat hutan
dengan alasan kepentingan pariwisata”. Pada kalimat ini, aktor tidak disebutkan
secara jelas atau anonim. Anonimitas dapat terjadi karena penyusun wacana atau
pembuat berita belum mendapatkan bukti yang cukup untuk menuliskannya,
sehingga lebih aman untuk menulis secara anonim. Akan tetapi, hal ini dapat juga
disebabkan oleh adanya ketakutan struktural kalau kategori dari seorang aktor
sosial tersebut dinyatakan secara gamblang dalam teks. Ini menggambarkan
bahwa kognisi sosial dan praktik kekuasaan dapat diwujudkan dan berpengaruh
terhadap konstruksi lingual dalam suatu wacana yang dalam hal ini wacana
pariwisata. Berkaitan dengan hal ini, analisis wacana berperan penting untuk
63
membongkar kognisi sosial dan praktik kekuasaan dipandang dari sudut atau
konstruksi lingual yang oleh van Dijk (1997:2) disebut dengan istilah Discourse
as Action. Ketika teks di atas menyebut nama yang jelas (misalnya, Putu
Mardika), arti yang ditunjuknya menjadi spesifik, tetapi ketika disebut orang
dekat Gubenur Bali, Mangku Pastika, justru tidak lagi bermakna tunggal, tetapi
jamak. Hal tersebut mengesankan bahwa ada beberapa orang dekat Made Mangku
Pastika yang terlibat kasus alih fungsi hutan. Efek generalisasi seperti contoh di
atas semakin besar apabila cara anonim yang digunakan dalam bentuk plural,
seperti banyak orang, sebagian orang, dan sebagainya seperti dalam contoh
berikut ini.
Indeterminasi: Pengamat pariwisata, Gede Putra, optimis pariwisata budaya
sangat cocok dikembangkan di Bali.
Determinasi: Banyak pengamat pariwisata optimis pariwisata budaya sangat
cocok dikembangkan di Bali.
Kalimat pertama di atas merujuk secara jelas bahwa Gede Putra sangat percaya
bahwa pariwisata budaya cocok dikembangkan di Bali. Akan tetapi, dalam
kalimat kedua ketika disebut ada pengamat pariwisata atau banyak pengamat
pariwisata percaya bahwa pariwisata budaya cocok dikembangkan di Bali akan
memberikan efek generalisasi secara lebih luas dan jelas, sehingga khalayak akan
lebih terpengaruh dengan opini yang dikemukakan.
(6) Asimilasi-individualisasi
Aktor sosial yang diwacanakan ditunjukkan dengan jelas kategorinya
ataukah tidak, strategi wacana asimilasi-individualisasi akan dapat memberi
64
gambaran yang lebih nyata terhadap persoalan ini. Ketika dalam proses hadirnya
wacana atau pemberitaan bukanlah aktor sosial yang spesifik yang disebut,
melainkan komunitas atau kelompok sosial di mana seseorang tersebut berada, di
situlah terjadi strategi wacana yang disebut asimilasi. Contoh yang berkaitan
dengan hal tersebut sebagai berikut.
Individualisasi : Susi, seorang karyawati Salon dan SPA Berdikari, sangat sedih
dilecehkan Slovik, seorang wisatawan, dalam Spa treatment di
Kuta kemarin malam.
Asimilasi : Seorang karyawati sangat sedih dilecehkan wisatawan dalam Spa
treatment di Kuta kemarin malam.
Pada teks tersebut, Susi, seorang karyawati Salon dan SPA Berdikari, dilecehkan
oleh wisatawan yang bernama Slovik pada suatu Spa Treatment. Peristiwa
tersebut dapat diberitakan dengan menyebut kategori karyawati dan wisatawan itu
dapat juga diberitakan kumpulan (karyawati dan wisatawan) seperti pada kalimat
kedua.
Kalimat pertama tersebut berbentuk individualisasi, karena kategori
karyawati disebutkan secara jelas. Kalaupun misalnya tidak disebutkan dalam
teks, berita tersebut tetap menegaskan bahwa yang mengalami pelecehan dalam
SPA Treatment tersebut hanyalah satu orang karyawati. Hal tersebut berbeda jika
dibandingkan dengan kalimat kedua yang dalam bentuk asimilasi. Dalam kalimat
tersebut Susi tidak disebut (karyawati yang mengalami pelecehan), tetapi yang
diacu adalah sebuah komunitas pekerja yang disebut“karyawati”. Demikian juga
Slovik, yang disebut adalah “wisatawan”.Memang benar, Susi merupakan
65
karyawati dan Slovik adalah wisatawan, tetapi dengan membentuk kalimat dalam
bentuk asimilasi, kesan dan makna yang dimengerti oleh khalayak menjadi
berbeda.
Dengan strategi wacana seperti yang diuraikan di atas, dikesankan seolah-
olah banyak karyawati mengalami kesedihan akibat dilecehkan atau
pemaknaannya adalah hampir kebanyakan karyawati yang bekerja di Salon
ataupun SPA menjadi korban pelecehan. Demikian pula halnya dengan wisatawan
yang melakukan Spa treatment dikesankan akan melakukan tindakan pelecehan.
Maka, kalimat atau bentuk teks lainnnya yang sudah mengalami proses asimilasi
akan lebih cepat berpengaruh dalam kesadaran publik. Pada konteks ini, asimilasi
pada dasarnya adalah perangkat bahasa yang seakan-akan terjadi efek
generalisasi. Sebaliknya, dalam individualisasi akan memunculkan efek
spesifikasi. Strategi wacana ini dapat pula digunakan untuk menimbulkan
pemaknaan yang berbeda pula. Efek utama dari asimilasi adalah penciptaan opini
publik, sebab asimilasi sering kali berhubungan dengan identifikasi, yaitu jika
seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang sedang diberitakan.
Jadi, kalau dalam pemberitaan ditulis karyawati dilecehkan wisatawan, efek yang
dihasilkan dari praktik bahasa semacam itu bukan hanya generalisasi melainkan
juga identifikasi terhadap karyawati salon dan SPA.
(7) Asosiasi-disosiasi
Strategi wacana asosiasi-disosiasi berhubungan dengan pertanyaan,
apakah aktor atau suatu pihak ditampilkan sendiri ataukah dihubungkan dengan
66
kelompok lain yang lebih besar. Elemen asosiasi ingin melihat apakah suatu
peristiwa atau aktor sosial dihubungkan dengan peristiwa lain atau kelompok lain
yang lebih luas.
Disosiasi : Sebanyak 10 wisatawan Jepang menjadi sasaran jambret di wilayah
Ubud.
Asosiasi : Orang Jepang di mana-mana menjadi sasaran penjambretan. Setelah di
objek wisata Nusa Dua, Sanur dan Kuta, sekarang di Ubud. Sebanyak
10 orang mengalami musibah penjambretan.
Pada contoh kalimat di atas, elemen asosiasi ditonjolkan untuk menggambarkan
tempat terjadinya peristiwa dan orang yang mengalami penjambretan terkesan
lebih luas.
2.3.2 Teori Representasi Lingual
Burton (2012) menyatakan bahwa representasi lingual merupakan cara
untuk mentransmisikan dan mentransformasikan ideologi dalam perluasan
konstruksi sosial yang dilakukan melalui wujud lingual. Teks yang menampilkan
representasi dapat mengungkapkan pelbagai hubungan atau benturan ideologis di
tengah masyarakat. Lebih lanjut, Burton memaparkan bahwa secara teoretis
representasi dalam media bekerja dalam dua cara, yakni determinasi dan
fungsionalisme yang dapat digambarkan dalam tabel berikut.
Tabel 2.2
Kerangka Kerja Representasi di Media
REPRESENTASI TINDAKAN SASARAN EKSPLANASI
67
DETERMINASI Rekonstruksi
terhadap apa
yang terjadi
Konstruksi
sosial
Pandangan ini menyatakan
bahwa secara sadar media
sebagai pemroduksi teks
atau wacana
mengonstruksi pelbagai
representasi yang makna-
maknanya bekerja untuk
kepentingan kekuasaan
dan sering bertentangan
dengan orang-orang yang
mestinya
direpresentasikan.
FUNGSIONALISME Refleksi
tentang apa
yang terjadi
Realitas
sosial
Pandangan ini menyatakan
bahwa media
menunjukkan
keberpihakan kepada
publik dan media
menyediakan apa yang
dibutuhkan publik, artinya
wacana yang diungkapkan
juga merupakan
representasi publik.
(sumber: Burton, 2012:145-146 dimodifikasi peneliti)
Kerangka kerja di atas menunjukkan adanya sirkulasi representasi yang
dipengaruhi oleh tindakan dan sasaran yang ingin dicapai melalui sarana bahasa di
media. Sebab, sejalan dengan konsep dasar analisis wacana kritis, diasumsikan
bahwa pemilihan leksikon, frase, struktur dan bentuk kalimat yang digunakan di
media cenderung dilakukan sesuai dengan kepentingan yang direpresentasikan.
Maka, persoalan mengenai informasi dan saluran komunikasi atas penggunaan
bahasa akan melengkapi sirkulasi representasi. Pada konteks ini, representasi
tidak hanya berarti diungkapkan dan digambarkan tetapi juga sebuah instrumen
untuk memaknai apa yang ingin disampaikan.
68
2.3.3 Teori Dominasi Lingual
Hubungan antara teks dan maknanya bersinggungan erat dengan hubungan
antara media dan khalayak umum atau hubungan antara media dengan
masyarakatnya (Burton, 2010:7). Dalam konteks ini, institusi media berperan
sebagai penyedia atau pemroduksi teks dan masyarakat sebagai pengkonsumsi
teks. Hubungan yang tidak simetris antara pemroduksi dan pengkonsumsi teks ini
cukup rentan adanya unsur mendominasi dan terdominasi melalui perantara
unsur-unsur lingual. Mengacu pada teori dominasi lingual yang dikemukakan oleh
Burton (2008233-234), teks lingual pada media dapat dijadikan instrumen
dominasi dengan beberapa efek di antaranya; 1) perubahan sikap; 2) perubahan
kognitif; 3) kepanikan moral; 4) tanggapan emosional/reaksi personal ; 5)
penetapan agenda; 6) sosialisasi; 7) kontrol sosial; 8) mendefinisikan realitas; dan
9) penyokongan terhadap ideologi dominan yang secara lebih rinci dapat
dijabarkan sebagai berikut.
1) Perubahan sikap
Media mampu memengaruhi sikap orang-orang terhadap suatu isu
sehingga mereka mengubah sikap dan perilaku terhadap orang lain dan terhadap
suatu isu, misalnya, media memberitakan bahwa pariwisata Bali adalah pariwisata
budaya. Akibatnya, masyarakat Bali kebanyakan percaya dan memaknai bahwa
kegiatan kepariwisataan di Bali tidak melenceng dari budaya Bali. Meskipun,
dalam praksis di lapangan masih perlu dipertanyakan, hal ini nyatanya efektif
untuk memengaruhi kognisi dan praksis sosial.
69
2) Perubahan kognitif
Media mampu mengubah cara seseorang berpikir terhadap suatu hal dan
menilai berbagai hal. Sebagai contoh, media menyoroti maraknya pembangunan
“city hotel” di Denpasar. Karena media mengangkat topik tersebut, khalayak akan
memiliki pengetahuan tentang istilah“city hotel”sesuai dengan apa yang media
konstruksikan.
3) Kepanikan moral
Media mampu menimbulkan kecemasan terhadap suatu isu yang dapat
menyebabkan kepanikan moral dan reaksi kolektif. Misalnya, ketika media
menyiarkan berita pasangan bule melakukan hubungan cinta di pura, maka
sebagian besar masyarakat Bali mulai resah terhadap kesucian pura dan
memberikan reaksi kolektif. Kepanikan akan terjadinya demoralisasi di tengah
geliat kepariwisataan merebak.
70
4) Tanggapan emosional/reaksi personal
Media mampu memengaruhi orang-orang dengan membangkitkan
tanggapan emosional atau reaksi personal dari khalayak, contohnya, media kerap
kali menggambarkan bahwa wisatawan asing adalah orang-orang kaya yang
datang ke suatu tempat untuk menghabiskan uangnya atau seorang „raja‟ yang
mesti dilayani dengan baik dan suka bergaya hidup mewah dan hedonis. Hal ini
mengakibatkan sebagian besar masyarakat memberikan reaksi personal dan
berpikir bahwa semua wisatawan asing adalah orang kaya yang digambarkan oleh
sebagian besar media tersebut.
5) Penetapan agenda
Media mampu merekonstruksi pandangan masyarakat terhadap isu mana
yang penting dan isu yang tidak begitu penting. Media melakukan upaya ini
dengan cara memberikan penekanan atau mengulang-ulang suatu isu, sehingga
khalayak berpikir isu tersebut penting, misalnya, ketika terjadi peristiwa alih
fungsi hutan Mangrove di Taman Hutan Raya (THR) Denpasar. Media mulai
memberitakan isu tersebut secara terus-menerus dan bahkan menjadikan isu
tersebut sebagai headline. Akibatnya, masyarakat mulai berpikir bahwa isu
tersebut penting untuk diberi perhatian dan untuk sementara melupakan isu-isu
lainnya.
71
6) Sosialisasi
Media mampu berperan sebagai agen untuk mensosialisasikan norma-norma
atau perilaku-perilaku yang berterima di tengah masyarakat. Sebagai contoh,
adanya iklan layanan masyarakat tentang pentingnya memerhatikan kesehatan
yang menyebabkan masyarakat memahami bahwa pola hidup sehat sangat perlu
diupayakan.
7) Kontrol sosial
Media mampu mengontrol khalayak untuk mengemukakan argumen-argumen
yang menyokong konsensus, hukum, tatanan dan konstruksi sosial lainya,
misalnya, banyaknya media cetak (koran) yang menyediakan kolom untuk
pembaca untuk menanyakan ataupun menanggapi suatu isu/persoalan. Inilah salah
satu bentuk media melakukan kontrol sosial.
8) Mendefinisikan realitas
Media mampu membuat definisi terhadap realitas sosial bagi khalayak.
Ketika media mengatakan baik secara eksplisit maupun implisit bahwa para elite
politik adalah kumpulan orang-orang dengan moral rendah dan cenderung
koruptif, maka gambaran para elite politik itu akan menjadi definisi sesungguhnya
bagi khalayak dan akan menjadi realitas kognitif di tengah masyarakat.
9) Penyokongan terhadap ideologi dominan
Media memiliki efek menyokong cara dominan dalam memandang dunia,
pandangan yang dominan tentang hubungan-hubungan kekuasaan antara berbagai
kelompok dalam masyarakat, dan pandangan dominan tentang bagaimana
berbagai hal dijalankan. Misalnya, ketika sebagian besar masyarakat menilai
72
bahwa dengan uang segalanya bisa diatur dan media turut memberitakan hal-hal
yang seolah-olah membuat penilaian terhadap tanggapan tersebut benar adanya,
khalayak akan semakin memandang uang adalah segalanya. Dalam konteks ini,
media tengah menyokong pola pandang dominan dari sekelompok orang dan
menanamkannya pada orang lain yang mungkin tidak memiliki pola pandang
terhadap hal tersebut.
Berbagai efek dan deskripsi di atas memperlihatkan bagaimana kuatnya
pengaruh atau dominasi media terhadap khalayak publik. Melalui berbagai
konstruksi lingual media mampu mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat.
Dari pemaparan ini, dominasi lingual didefinisikan sebagai segala konstruksi
lingual yang muncul dalam wacana pariwisata di media dan menunjukkan
dominasi kepada khalayak yang tergambar dalam berbagai efek di tengah
masyarakat.
2.3.4 Teori Ideologi
Ideologi memiliki definisi beragam dan kompleks sebagai akibat dari
banyaknya interpretasi yang muncul. Menurut Thompson (2004:17), secara teori
ideologi menunjuk pada dua hal yang berbeda. Pertama, ideologi digunakan
sebagai sebuah konsep yang murni deskriptif, yakni sebagai sistem berpikir,
sistem kepercayaan, dan praktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan
sosial dan politik. Penggunaan istilah ini memunculkan apa yang disebut dengan
konsepsi netral (neutral conception) tentang ideologi. Kedua, konsep ideologi
secara mendasar dikaitkan dengan segala proses pembenaran hubungan kekuasaan
73
yang tidak simetris dan seluruh representasi dalam proses pembenaran dominasi.
Penggunaan istilah kedua menimbulkan konsepsi kritis ideologi (critical
conception of ideology). Sejalan dengan konsep kedua, Fiske (2012:208)
mengungkapkan bahwa teori ideologi sebagai sebuah praktik tindakan yang
dikembangkan oleh Louis Althusser (1971) tentang struktur dan teori ketidak-
sadaran.
Ideologi merupakan alat bagi kelas penguasa untuk membuat ide-ide
(pemikiran) mereka diterima di dalam masyarakat sebagai sesuatu yang alami dan
normal. Ideologi menjadi kategori ilusi dan kesadaran palsu, tempat di mana kelas
penguasa memelihara dominasinya terhadap kelas pekerja. Kelas penguasa
mengendalikan elemen-elemen utama yang menyebarkan dan mengembangkan
ideologi ke seluruh masyarakat. Hal tersebutlah yang membuat kelas pekerja
beranggapan bahwa subordinasi yang mereka alami sebagai sesuatu yang
„dialami‟. Oleh karena itu, di sinilah kepalsuan berada.
Dua ideologi yang cukup mengemuka adalah ideologi sosialisme dan
kapitalisme. Hal tersebut sangat jelas terlihat dan cukup relevan dengan penelitian
ini karena kedua ideologi tersebut dipraktikkan di dalam semua tindakan
komunikasi. Semua komunikasi ditujukan pada seseorang dan ketika menuju
kepada khalayak, komunikasi menempatkan mereka di dalam sebuah hubungan
sosial.Ketika kita mengenali diri kita sebagai orang yang dituju dan memberikan
respons terhadap tindak komunikasi, kita berpartisipasi di dalam konstruksi sosial
dan ideologi yang kita miliki. Komunikasi adalah sebuah proses sosial dan oleh
74
karenanya pasti bersifat ideologi dan interpelasi adalah merupakan bagian kunci
dari praktik ideologis.
Menurut Althusser (2008) kepercayaan yang tertanam tanpa disadari itulah
dinamakan ideologi dan kepercayaan ini akan melekat dalam diri manusia. Lebih
lanjut, Althusser menjelaskan bahwa salah satu praktik ideologi yang paling
berbahaya adalah interpelasi, yakni segala bentuk komunikasi yang ditujukan
pada objek terterntu ke dalam relasi sosial. Teori Althusser mengenai ideologi
sebagai praktik adalah pengembangan dari teori Marx mengenai kesadaran palsu.
Artinya, sangat memungkinkan bahwa ideologi membawa kita bergerak dalam
relasi yang tidak nyata, tetapi seolah-olah nyata dan parahnya sesuatu yang fana
dianggap sebagai sesuatu yang abadi.
Dari pemaparan di atas, teori ideologi yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah teori yang dinyatakan oleh Thompson yang berkenaan
dengan konsepsi kritik ideologi. Mengacu pada parameter yang terjabar dalam
rumusan masalah, yakni (1) implementasi strategi wacana, (2) representasi
lingual, (3) dominasi lingual dan (4) ideologi, hubungan antara parameter teori
dengan aspek analisis secara ringkas dapat diuraikan seperti dalam tabel.
Tabel 2.3
Hubungan antara Parameter Teori dengan Aspek Analisis
Parameter
Aspek Analisis
Ontologis Epistemologis Aksiologis
Strategi
Wacana
Bahasa sebagai instrumen
pengendali praksis sosial
dan alat kekuasaan
Pendekatan bahasa dan
kekuasaan; pendekatan
strategi wacana
Sistem Langue
Representasi
Lingual
Bahasa sebagai
representasi dalam suatu
Pendekatan
fungsionalisme
Sistem
Representasi
75
wacana; media legitimasi;
relasi makna
Pendekatan determinasi
Dominasi
Lingual
Bahasa sebagai praktik
kekuasaan; pemertahanan
identitas kelas sosial
Pendekatan Otoritas
Pendekatan Wacana
Kritis
Sistem Dominasi
melalui unsur
lingual
Ideologi Bahasa sebagai instrumen
konstruksi dan
rekonsktruksi ideologi;
usaha mempertahankan
status sosial
Pendekatan Kritis
Abstraksi Nilai
Sistem legitimasi
dan Semio-
ideologi
Berdasarkan tabel hubungan antara parameter teori dan aspek analisis di
atas, maka penelitian tentang implementasi strategi wacana, representasi dan
dominasi lingual serta ideologi dalam wacana pariwisata dapat dikonstruksi
dengan paradigma filsafat yang berupaya menyusun sistem pengetahuan yang
rasional, yang memadai untuk memahami objek wacana pariwisata (fenomena
kebahasaan ranah pariwisata).
Tahapan paradigma filsafat (ontologis, epistemologi, dan aksiologi) dalam
memaknai implementasi berbagai strategi wacana, representasi lingual, dominasi
lingual dan ideologi dalam wacana pariwisata dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, paradigma ontologis digunakan sebagai landasan ilmu untuk
mengungkap apa yang ingin dimaknai, eksistensi, esensi, pernyataan-pernyataan,
perubahan atau fenomena sosial dalam wacana pariwisata.
Kedua, paradigma epistemologi dipakai untuk membahas bagaimana cara
mencari pengetahuan dan seperti apa pengetahuan tersebut menjawab hubungan,
sebab-akibat serta bagaimana dan mengapa wacana pariwisata itu diproduksi,
fakta kebenaran atau kenyataan masyarakat, khususnya masyarakat Bali dalam
76
memaknai pariwisata yang berkembang secara masif. Ketiga, paradigma aksiologi
dipakai untuk mengungkap hasil atau makna dan fakta kebahasaan yang terurai
dalam wacana pariwisata untuk selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk memahami
dan mengatasi masalah sosial sehingga azas kebermanfaatan terhadap hasil
penelitian ini akan berguna bagi masyarakat luas.
2.4 Model Penelitian
Model yang akan digunakan untuk menganalisis implementasi strategi
wacana, representasi lingual, dominasi lingual dan ideologi dalam wacana
pariwisata adalah perpaduan metode penelitian kualitatif-kuantitatif dengan
menggunakan pendekatan paradigma kritis sebagai payung utama untuk mengkaji
teks media yang terlahir dari pemroduksi teks, yakni institusi media dan dibaca
oleh pengkonsumsi teks, yakni audiens media untuk selanjutnya dapat ditemukan
ideologi apa yang terungkap dalam wacana pariwisata.
Model penelitian yang dibagankan dalam Gambar 2.2 di bawah ini
memvisualisasikan model skema yang memaparkan keterhubungan antara
institusi media dan audiens media melalui mediasi teks yang mengungkap wacana
pariwisata yang terrangkum ke dalam rumusan masalah penelitian menyangkut
implementasi berbagai strategi wacana, representasi lingual, dominasi lingual dan
ideologi. Ke empat masalah penelitian tersebut dikaji dengan pendekatan metode
penelitian kualitatif dan kuantitatif yang ditopang dengan teori AWK model van
Leeuwen (2005, 2008), teori representasi lingual oleh Burton (2002, 2008), teori
dominasi lingual oleh Burton (2010, 2012), dan konsepsi teoretis ideologi yang
77
dikemukakan oleh Thompson (2003). Hubungan metode penelitian dan teori
dalam menganalisis data adalah hubungan sistemik antara fenomena yang
dijabarkan ke dalam rumusan masalah penelitian, relevansi teori, dan temuan
penelitian. Keterhubungan antara rumusan masalah, metode penelitian dan teori
penunjang sebagaimna dipaparkan di atas merupakan upaya penjelasan atas
konstektualisasi etik empiris akademik dalam penelitian ini.
78
Model penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.2
Model Penelitian
Wacana Pariwisata
Masalah Penelitian
Institusi
Media Teks Media Audiens
Media
Landasan Teori Van Leewuen,
2005; 2008 Burton,
2002, 2008 Burton,
2010; 2012 Thompson,
2003
Representasi Lingual
Dominasi Lingual
Ideologi Strategi Wacana
Metode Penelitian Kualitatif-
Kuantitatif
Analisis
Temuan
79
Penjabaran Model Penelitian:
= Hubungan kausal antara objek penelitian, metodologi,
pendekatan penelitian, dan teori yang bermuara pada hasil dan
temuan.
= Hubungan resiprokal antar teori dan metode penelitian yang
saling mendukung untuk menjawab masalah penelitian