Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Pelajaran bahasa Inggris di SD menjadi peletak dasar keberhasilan siswa
untuk mempelajarinya pada jenjang selanjutnya. Berbagai persoalan yang terjadi
pada pembelajaran bahasa Inggris di SD menjadi petunjuk bagi kita bahwa
penguasaan bahasa Inggris siswa di Indonesia masih mengalami kegagalan.
Berbagai faktor ditengarai sebagai penyebab kegagalan tersebut, antara lain,
penguasaan guru dalam mengajar, metode pembelajaran yang kurang tepat, materi
pembelajaran yang kurang menarik, lingkungan dan sarana belajar, serta
kebijakan pemerintah berupa revisi kurikulum yang sering berubah-ubah. Faktor-
faktor penyebab tersebut seyogianya secara terus menerus dan berkelanjutan
dikaji secara cermat untuk mendapatkan solusi yang baik. Hal ini semata-mata
bertujuan untuk membekali siswa agar terampil dalam penguasaan bahasa Inggris
dengan baik dan benar sesuai dengan konteks dan situasi penggunaannya.
Beberapa penelitian tentang pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SD yang
relevan dengan usulan penelitian ini adalah sebagai berikut. Faridi (2008) dalam
penelitiannya berjudul “Pengembangan Model Materi Ajar Muatan Lokal Bahasa
Inggris di Sekolah Dasar Jawa Tengah yang Berwawasan Sosiokultural”
menemukan banyak materi ajar yang tidak sesuai dengan kurikulum yang ada di
Jawa Tengah. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya guru bahasa Inggris
18
menggunakan materi ajar yang diterbitkan dari luar negeri atau dalam negeri yang
belum mengusung tujuan pembelajaran bahasa Inggris di SD, khususnya di Jawa
Tengah. Penelitian ini mengembangkan model materi ajar muatan lokal bahasa
Inggris yang berwawasan sosiokultural yang dapat dimanfaatkan oleh guru-guru
bahasa Inggris di SD. Pengembangan materi ajar ini dikembangkan dengan
mempertimbangkan: (1) acuan pengembangan (dasar pemikiran), (2) isi materi,
(3) organisasi materi, (4) pengembangan materi, (5) penyajian, dan (6) evaluasi.
Pengembangan model materi ajar mulok bahasa Inggris di Jawa Tengah pada
penelitian tersebut didasarkan pada strategi pembelajaran bahasa Inggris dengan
tahapan, yakni Membangun Pengetahuan Lapangan (Building Knowledge of the
Field), Pemodelan Teks (Modelling of the Text), Konstruksi Bersama Teks (Joint
Construction of the Text), dan Konstruksi Independen Teks (Independent
Construction of the Text). Organisasi materi mencakup empat kompetensi, yakni
kompetensi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Materi ajar dalam
pengembangannya dibuat dengan memperhatikan kegiatan sehari-hari di
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, serta memasukkan unsur-unsur
sosiokultural setempat (adat istiadat, kebiasaan). Meskipun dalam organisasi
materi disebutkan bahwa buku tersebut disusun berdasarkan beberapa
keterampilan atau skills, yakni listening (menyimak), speaking (bicara), reading
(membaca) dan writing (menulis), dalam penyajiannya bersifat integratif dan
semuanya masih diarahkan untuk mencapai kompetensi komunikatif saja.
Temuan penelitian tersebut di atas mengisyaratkan adanya usaha dalam
memperbaiki materi pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi guru
19
bahasa Inggris di SD untuk menyusun bahan ajarnya. Materi yang dikembangkan
sudah mengangkat nilai-nilai lokal daerah dengan wawasan sosiokulturalnya. Dari
hasil penelitian tersebut dapat digarisbawahi bahwasanya materi yang
dikembangkan masih bersifat bahasa Inggris sebagai tool (alat) untuk mempelajari
bahasa asing, belum pada tataran bagaimana menggunakannya dalam percakapan
lisan yang efektif dan benar sesuai dengan kaidah atau konteks suatu bahasa. Pada
dasarnya wawasan sosiokultural yang disajikan pada materi sudah dapat
memenuhi kebutuhan bahasa Inggris dengan ciri mata pelajaran muatan lokal.
Namun, sebenarnya hal tersebut belum cukup meningkatkan kompetensi
komunikatif siswa. Pada dasarnya target penguasaan bahasa Inggris adalah siswa
pada akhirnya mampu berkomunikasi dengan baik dan benar apabila dihadapkan
langsung dengan penutur aslinya dan mampu beradaptasi serta berinteraksi
dengan baik apabila siswa berada pada masyarakat penutur bahasa yang
dipelajarinya. Dengan demikian, mempelajari bahasa Inggris dengan wawasan
pengetahuan budaya lokal atau daerah masing-masing saja masih belum cukup
membekali siswa untuk memiliki kemampuan berkomunikasi dengan penutur
aslinya atau belum memiliki kompetensi pragmatik.
Berikutnya, Beratha Sutjiati, dkk. (2010) meneliti tentang buku ajar dan
materi pengajaran bahasa Inggris untuk SD di Pemda Tingkat I Denpasar, Bali.
Penelitian tersebut menghasilkan penerapan model pengajaran bahasa Inggris
dengan pendekatan komunikatif berupa metode dan teknik pengajaran serta
mengembangkan empat keterampilan berbahasa dan pengembangan kosakata
untuk menunjang pembelajaran komunikasi lisan. Pada penelitian tersebut juga
20
disebutkan bahwa bahan ajar dan materi yang sebelumnya digunakan di SD masih
bersifat kompetensi saja, belum berupa performansi, yaitu bagaimana selayaknya
bahasa tersebut dipraktikkan. Penelitian tersebut telah menghasilkan pengajaran
bahasa dengan pendekatan pragmatik yang disebutkannya sebagai pendekatan
komunikatif. Hasil penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa pendekatan
komunikatif adalah suatu pendekatan yang menggunakan sejumlah fungsi
komunikatif dalam mengajarkan suatu bahasa, dan menentang pengajaran bahasa
yang menitikberatkan pada permasalahan struktur bahasa.
Keterkaitan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan ini adalah
sama-sama mendasari pembelajaran bahasa Inggris di SD dengan pendekatan
pragmatik. Tujuan penelitian hampir sama yaitu sama-sama membuat model atau
desain pembelajaran bahasa Inggris yang bermuara pada pengembangan
keterampilan berkomunikasi dalam bahasa Inggris secara efektif dan kontekstual.
Namun, ada beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian
tersebut, yaitu:
1) Ruang lingkup penelitian tersebut hanya pada materi pengajaran, metode dan
teknik pembelajaran, sedangkan ruang lingkup penelitian ini pada materi atau
bahan ajar, perencanaan pembelajaran, dan strategi pengajaran.
2) Penelitian tersebut belum memasukkan unsur budaya bahasa yang dipelajari
yaitu aspek interkultural pada materi ajar yang diusulkan.
3) Penelitian tersebut mengarahkan kompetensi siswa secara komunikatif saja,
sedangkan penelitian ini mengarah ke kompetensi interkultural, yaitu satu
21
kompetensi yang menggabungkan antara kompetensi komunikatif dan
kompetensi budaya.
4) Penelitian tersebut menggunakan teori pembelajaran konstruktif, sedangkan
penelitian ini menggabungkan teori linguistik terapan, yaitu pragmatik dan
teori pembelajaran bahasa asing.
Penelitian oleh Sukamerta (2011) tentang “Kebijakan Pengajaran Bahasa
Inggris di Denpasar” juga menghasilkan temuan yang relevan dengan penelitian
ini. Penelitian tersebut salah satunya menemukan bahwa guru bahasa Inggris di
SD masih belum mengajarkan bahasa Inggris dengan aktivitas praktis dan belum
melibatkan siswa secara langsung dalam pemakaian bahasa Inggris untuk
kepentingan berinteraksi secara sosial. Saran pada penelitian tersebut adalah
belajar bahasa secara komunikatif berarti belajar menggunakan bahasa tersebut
untuk berinteraksi dalam situasi yang nyata. Pengajaran bahasa Inggris yang
memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya untuk dilatih dalam interaksi sosial
pada pengajaran bahasa akan lebih mencapai tujuan sesuai dengan hakikat bahasa
itu sendiri, yakni sebagai alat komunikasi. Pengajaran bahasa harus lebih
menekankan pada keterampilan menggunakan bahasa (language use), bukan pada
aturan pemakaiannya (language usage).
Peneliti hanya mencuplik satu hasil penelitian dari Sukamerta (2011) yang
relevan saja dengan variabel penelitian ini, yaitu pada metode pembelajaran
bahasa Inggris dan kompetensi siswa. Hal-hal yang dapat dirujuk dari hasil
penelitian tersebut adalah bahwa pengajaran bahasa Inggris di SD di Kota
Denpasar masih belum memenuhi tuntutan pembelajaran yang konstruktif dan
22
bersifat kontekstual. Pengajaran bahasa Inggris masih menekankan aspek
linguistik saja sebagai target kompetensinya sehingga siswa lebih banyak
diajarkan struktur gramatikal dari bahasa yang dipelajarinya dan belum pada
penggunaan bahasanya. Kemampuan siswa memahami bahasa yang dipelajarinya
dan mampu menggunakannya secara alami ketika dihadapkan langsung dengan
penutur aslinya menjadi kompetensi yang mutlak dicapai oleh siswa. Hanya
dengan kompetensi komunikatif saja tidaklah cukup bagi siswa karena
pemahaman budaya dari bahasa target berperan penting dalam pencapaian
kesepahaman pesan dan komunikasi antara si penutur dan lawan bicaranya. Hal
ini akan menghasilkan kemampuan komunikatif yang bermakna aktif dan
kontekstual. Pada hasil penelitian Sukamerta tersebut belum diberikan alternatif
metode pembelajaran yang mengarah pada pembelajaran bahasa Inggris bagi
siswa SD yang kontekstual dan berwawasan pragmatik.
Seperti diungkapkan oleh Liddicoat, Scarino & Kohler (2003), bahasa tidak
semata-mata struktural, namun juga komunikatif dan bersifat sosial. Mempelajari
bahasa baru tidaklah sederhana mengingat kompleksitas yang dibentuk oleh
keterkaitan antara bentuk-bentuk lingual dan aspek-aspek sosiokulturalnya. Oleh
karena itu, pembelajaran bahasa Inggris harus didesain untuk pencapaian
kompetensi dan performansi yang menyeluruh, yaitu kompetensi dan performansi
komunikatif dan pragmatik, agar penguasaan bahasa Inggris benar-benar dapat
dilakukan oleh siswa. Pada penelitian tersebut kompetensi pendukung
komunikatif siswa dalam belajar bahasa Inggris adalah kompetensi interkultural.
23
Beberapa penelitian tentang kompetensi interkultural pada pembelajaran
bahasa asing telah dilakukan. Setidaknya terdapat dua penelitian terdahulu dengan
variabel kompetensi interkultural yang direview pada penelitian ini. Pertama
adalah penelitian Moloney (2007) dengan judul “Intercultural Competence in
Young Language Learners: A Case Study”. Studi kasus ini meneliti ciri
kompetensi interkultural pada pembelajaran bahasa pada siswa SD di Australia.
Para siswa tersebut berada pada program bahasa imersi (language immersion
program) selama delapan tahun dengan salah satu dari tiga bahasa, yaitu Perancis,
Jerman, atau Jepang. Penelitian Moloney tersebut mengkaji perilaku dan
pemahaman guru bahasa sebagai individu yang memfasilitasi pengembangan
kompetensi interkultural pada siswa. Selain itu, penelitian tersebut juga bertujuan
untuk mengeksplorasi secara ringkas karakteristik kompetensi interkultural siswa.
Penelitian itu menggunakan data kualitatif yang diperoleh dari wawancara
terfokus terhadap siswa dan guru serta melakukan observasi di lapangan.
Penelitian yang melibatkan siswa SD pada tahun ke-enam sebanyak empat puluh
sembilan siswa dan empat guru di Sydney ini menghasilkan beberapa temuan.
Pertama, terdapat sejumlah indikator yang termasuk dalam pengembangan
kompetensi interkutural siswa, yaitu melalui pemahaman budaya bahasa yang
dipelajari dan identitasnya. Kedua, para siswa melihat dirinya sendiri sebagai
tujuan komunikator interaktif, yaitu memahami bahasa sasaran tersebut sebagai
alat untuk memahami budayanya, siswa juga selalu menampilkan rasa ingin
tahunya secara metalinguistik dan menunjukkan berbagai keterampilan yang
dimilikinya. Beberapa siswa juga mampu merefleksikan secara kritis
24
keterlibatannya pada beberapa bahasa dan budaya serta mampu menegosiasikan
identitasnya sebagai bukan penutur asli. Ketiga, guru bahasa adalah model bagi
siswanya dalam mengajarkan interkultural. Kompetensi interkultural pada guru
terjadi atas dasar hubungan yang terjalin di antara mereka dan dengan pemilihan
pedagogi yang dirancang berupa tugas-tugas belajar yang memberikan
pengalaman serta memfasilitasi adanya hubungan-hubungan antarbahasa dan
budaya para siswa. Terakhir, penelitian tersebut juga menemukan bahwa language
immersion program dapat memfasilitasi pembelajaran kompetensi interkultural
siswa.
Dari temuan penelitian Moloney tersebut maka dapat diperoleh gambaran
bahwa kompetensi interkultural yang dimiliki siswa sangat berkaitan erat dengan
penelitian tentang pembelajaran interkultural bahasa, pedagogi imersi dan
pedagogi terkait lainnya berupa pembelajaran bahasa berbasis pemahaman.
Dukungan penelitian Moloney pada penelitian yang dilakukan ini adalah bahwa
pengembangan kompetensi interkultural pada pembelajar usia anak telah
dilakukan dan terbukti mampu mendukung ketercapaian pembelajaran bahasa
sasaran dengan model language immersion program. Penelitian tersebut memiliki
kelebihan, yaitu telah menemukan strategi belajar siswa yang mendukung
kompetensi interkulturalnya dan guru sebagai model belajarnya. Aspek yang
membedakan antara penelitian Moloney dengan penelitian yang dilakukan ini
adalah pada aspek materi pembelajarannya. Pada penelitian Moloney tidak dikaji
materi pembelajaran kompetensi interkultural seperti yang dikaji pada penelitian
ini. Selain itu, juga perbedaan pada aspek strategi pembelajarannya, Moloney
25
melihat strategi belajar siswa, sedangkan pada penelitian ini pada strategi
mengajar guru. Berdasarkan review pada penelitian Moloney tersebut maka
penelitian tentang kompetensi interkultural pada pembelajar usia anak sangat
perlu dikembangkan lebih lanjut karena belum ditemukan desain pembelajaran
kompetensi interkultural yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengajar.
Selanjutnya, penelitian Jin (2012) dengan judul “Intercultural Competence in
the Learning of Chinese as a Foreign Language in the UK – an Exploratory
Study” meneliti tentang pengajaran bahasa Cina sebagai bahasa asing dan
implikasinya untuk pengembangan kurikulum (termasuk materi pengajaran dan
pelatihan guru) di perguruan tinggi di Inggris serta pembelajarannya dengan
perspektif budaya. Dijelaskan pada penelitian tersebut bahwa konsep kompetensi
interkultural dalam kaitannya dengan belajar bahasa Cina sebagai bahasa asing
perlu dikembangkan untuk mencerminkan fitur budaya Cina.
Penelitian awal tersebut dilakukan untuk mengidentifikasi pengembangan
budaya dan mengetahui kemunculan kompetensi interkultural dilihat dari
karakteristik Cina sebagai bahasa asing. Hasil penelitian tersebut menjadi studi
percontohan yang memiliki implikasi terhadap praktik bahasa Cina sebagai bahasa
asing dalam konteks Cina sebagai bahasa global. Kompetensi interkultural
merupakan aspek penting dalam proses belajar mengajar bahasa Cina sebagai
bahasa asing. Para guru di tempat kursus bahasa telah memasukkan unsur budaya,
namun kompetensi interkultural masih belum dikembangkan. Gagasan yang bagus
tentang kompetensi interkultural tersebut dapat membantu mengembangkan
pendidikan dan kurikulum bahasa Cina sebagai bahasa asing di perguruan tinggi
26
di Inggris. Oleh karena itu, penelitian tersebut masih membutuhkan penelitian
lebih lanjut terutama pada aspek hubungan antara bahasa dan budaya. Implikasi
dari penelitian tersebut adalah pentingnya memahami keterampilan, sikap, dan
pengetahuan yang dibutuhkan agar berhasil mengambil bagian dalam komunikasi
interkultural.
Implikasi penelitian Jin (2012) adalah bahwa sudah ada perhatian tentang isu
pengajaran bahasa asing secara efektif dengan perspektif budaya, namun masih
membutuhkan pengembangan kurikulum bahasa Cina sebagai bahasa asing,
khususnya pengembangan bahan ajar (misalnya, buku teks) dan pelatihan guru
dalam rangka memberikan dukungan untuk mengembangkan pengetahuan guru
terhadap pembelajaran perspektif budaya dalam konteks bahasa Cina sebagai
bahasa global. Sebagai contoh, kriteria untuk memilih komponen budaya dan
tugas-tugas belajar budaya dan bahasa serta desain proses pembelajarannya harus
menekankan kompetensi interkultural.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu tersebut maka pada dasarnya
penelitian tentang kompetensi interkultural masih harus terus dikembangkan
terutama sejak jenjang pendidikan dasar. Agar kompetensi interkultural siswa
dalam belajar bahasa asing dapat tercapai maka semua komponen pembelajaran
harus dipersiapkan dengan baik. Komponen pembelajaran seperti kurikulum,
perencanaan pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran, bahan ajar, media,
dan evaluasi pembelajaran harus bersinergi secara menyeluruh. Dengan demikian,
hal tersebut akan menjadi desain pengajaran bahasa asing berwawasan
27
interkultural yang dapat dijadikan sebagai desain dan pedoman bagi guru bahasa
asing untuk mengajar.
Penelitian yang dilakukan oleh Jin (2012) tersebut menunjukkan model
pembelajaran bahasa asing dengan tujuan pragmatik untuk jenjang perguruan
tinggi di Inggris. Sebagai pengembangan penelitian kompetensi interkultural
dalam pengajaran bahasa asing, penelitian ini sangat mendesak dilakukan.
Variabel yang sama-sama diteliti adalah kompetensi interkultural pada
pembelajaran bahasa asing, sedangkan perbedaannya adalah pada subjek dan
jenjang sekolah yang diteliti. Penelitian Jin (2012) dilakukan pada pembelajar
dewasa (adult learners) dan sumber datanya adalah pengajar di perguruan tinggi,
sedangkan penelitian ini pada pembelajar anak (young learners) dan pada jenjang
pendidikan dasar (SD). Selain itu, luaran penelitian Jin (2012) adalah konsep
kompetensi interkultural pada proses belajar mengajar bahasa Cina sebagai bahasa
asing di perguruan tinggi di Inggris, sedangkan luaran yang akan diperoleh dari
penelitian yang dilakukan ini adalah desain berupa perencanaan dan strategi
pembelajaran bahasa Inggris yang bermuatan kompetensi interkultural berupa
pedoman dan desain bagi guru bahasa Inggris di SD untuk mengajar. Kekhasan
penelitian ini adalah pada teori yang digunakan untuk menganalisis data, yaitu
dengan menggabungkan teori pragmatik interkultural dengan teori pembelajaran
bahasa asing.
2.2 Konsep
28
Konsep adalah hal yang mendasar keberadaannya dalam sebuah penelitian.
Sebelum melakukan sebuah penelitian maka yang paling penting adalah
menentukan dan menjelaskan konsep terminologi yang digunakan dalam
penulisan karya ilmiah (disertasi). Konsep adalah generalisasi dari sekelompok
fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai
fenomena yang sama. Konsep merupakan suatu kesatuan pengertian tentang suatu
hal atau persoalan yang dirumuskan. Dalam merumuskannya harus dapat
dijelaskan tentang hal tersebut sesuai dengan maksud peneliti dalam memakainya
(Singarimbun dan Efendi, 2006).
Dalam sebuah penelitian, konsep tentang topik yang diteliti merupakan hal
yang sangat penting untuk dijelaskan secara detail. Konsep yang benar akan
memberikan kejelasan alur berpikir serta arah sebuah penelitian. Konsep yang
dimaksudkan di sini adalah penjelasan arti atau definisi operasional yang
digunakan untuk membantu proses analisis data dan pemecahan masalah
penelitian. Konsep-konsep yang terkait dengan penelitian ini adalah 1)
kompetensi interkultural, 2) pembelajaran bahasa Inggris di SD, 3) bentuk-bentuk
lingual, dan 4) kajian pragmatik interkultural.
2.2.1 Kompetensi Interkultural
Konsep kompetensi interkultural pemaknaannya cukup beragam. Untuk
menjelaskan konsep kompetensi interkultural pada penelitian ini, terlebih dahulu
dikutip beberapa definisi dari beberapa ahli. Kramsch sebagaimana dikutip oleh
Crozet & Liddicoat (1999) menyatakan bahwa setiap kali kita menggunakan
bahasa, secara bersamaan pula kita mempraktikkan budaya. Menjadi kompeten
29
secara interkultural ibarat berada pada third place (tempat ketiga). “Tempat
ketiga” ini diibaratkan sebuah tempat atau tepatnya posisi pembelajar bahasa
dapat berperan seperti seorang outsider dan insider secara bersamaan, memiliki
perspektif etic (sebagai orang luar) dan juga perspektif emic (sebagai orang
dalam) terhadap budayanya dan budaya dari bahasa yang dipelajari.
Kompetensi interkultural bermakna bahwa pembelajar memiliki sensitivitas
terhadap budaya karena ia menyadari bahwa secara realitas terdapat budaya lain
selain budayanya sendiri. Bennett (2011) menyatakan bahwa kompetensi
interkultural adalah seperangkat keterampilan kognitif, afektif dan perilaku, dan
karakteristik yang mendukung interaksi yang efektif dan tepat dalam berbagai
konteks budaya. Keterampilan inilah yang selanjutnya oleh Bennett dijabarkan ke
dalam beberapa komponen kompetensi, yaitu 1) memahami identitas budaya
sendiri, 2) berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, 3) mengembangkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang mendorong pemahaman, 4) mengelola
kontak yang tak terhindari dengan orang lain, 5) memecahkan masalah bersama,
6) melibatkan diri sendiri dalam belajar, dan 7) bekerja dengan budaya lain yang
berbeda. Oleh karena itu, pada hakikatnya kompetensi interkultural adalah
kemampuan pembelajar untuk meniru penutur asli dan mampu menjelaskan
kepada orang lain dengan budaya yang sama apa yang ada pada budaya penutur
asli dan begitu pula sebaliknya.
Fantini (2009) menyatakan bahwa kompetensi interkultural adalah
kemampuan yang berhasil dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang berasal
dari budaya lain. Kemampuan ini bisa dimiliki oleh pembelajar sejak usia muda,
30
dan/atau kemudian dikembangkan dan ditingkatkan berkat kemauan dan
kompetensi yang dimilikinya. Jelaslah dari pernyataan tersebut bahwasanya untuk
mencapai jenjang kompetensi interkultural, seorang pembelajar harus dikenalkan
dengan materi budaya bahasa yang dipelajari dengan sudut pandang budaya yang
dimiliki sejak usia SD. Kemampuan yang terbentuk sejak usia dini akan
menghasilkan kompetensi yang lebih baik. Karakteristik pembelajar anak yang
adaptif dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi memungkinkan mereka lebih
cepat dalam mengembangkan kemampuan, strategi dan keterampilan berbahasa
asing dengan wawasan interkultural. Kemampuan di tingkat dasar inilah sebagai
modal bagi siswa untuk meningkatkan kemampuannya pada jenjang yang lebih
tinggi hingga pada saatnya ia menguasai kompetensi interkultural sebagai modal
untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan budaya asing dan masyarakatnya.
Konsep tentang kompetensi interkultural lebih lanjut dikemukakan oleh
Byram (1997) yang mengklaim bahwa kompetensi komunikatif digabungan
dengan kompetensi interkultural akan menjadi Kompetensi Komunikatif
Interkultural atau Intercultural Communicative Competence (ICC). Byram juga
telah mengembangkan kerangka teori tentang pengajaran dan pengukuran ICC ini
sebagai kontribusi untuk pengembangan pengajaran bahasa asing.
Selanjutnya, berdasarkan pada teori tersebut, Lundgren (2006) terinspirasi
untuk membuat teori yang melihat hubungan antara kompetensi komunikatif dan
kompetensi interkultural dalam hubungannya dengan belajar bahasa pertama (L1)
dan belajar bahasa kedua (L2). Berikut adalah bagan dan keterangan yang
menjelaskan hubungan tersebut.
31
Bagan 2.1 Hubungan antara Kompetensi Komunikatif dan Kompetensi
Interkultural
Keterangan:
A = membaca, menulis, menyimak, berbicara, genre, register
B = budaya sehari-hari, budaya populer, ide, kepercayaan, persepsi, artefak,
tingkah laku, institusi, sejarah, geografi, literatur, seni, musik, gender, kelas,
dan lain-lain
C = kemampuan umum tentang lintas kurikuler, yaitu kemampuan beradaptasi,
toleransi, menerima pandangan lain, empati, fleksibilitas, kesadaran
berbudaya, mewujudkan konsep etnosentrisitas, stereotipi, konstruktifitas
sosial
L1= bahasa ibu, L2= bahasa target, BL1= budaya pembelajar, BL2= budaya bahasa
target, X= kompetensi komunikasi interkultural
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka selanjutnya semakin jelas
bahwa ada hubungan yang saling berkaitan antara komunikasi, budaya, dan
interkulturalitas. Ketiga bidang tersebut sangat berkaitan dengan pengembangan
pembelajaran bahasa asing karena sangat signifikan terhadap pengembangan
C
Kompetensi
Interkultural
B
Kompetensi Budaya
BL1
BL2
A
Kompetensi
Komunikatif
L1
L2 x
32
kompetensi komunikatif dan pemahaman interkultural secara terintegrasi bukan
sebagai keterampilan atau kompetensi secara terpisah. Dari beberapa definisi
tentang kompetensi interkultural tersebut maka definisi dari Fantini (2009) yang
sangat mendasari penelitian yang dilakukan ini. Alasannya ialah jika sejak usia
anak siswa sudah diperkenalkan dengan materi budaya bahasa yang dipelajarinya
maka siswa akan memiliki kemampuan komunikatif yang lebih baik.
2.2.2 Pembelajaran Bahasa Inggris di SD
Pembelajar usia anak dikelompokkan antara anak usia 6-11 tahun. Usia
tersebut merupakan masa-masa vital dan kritis dalam pertumbuhan dan
perkembangan yang mampu memberikan kontribusi positif dalam setiap jenis
pembelajaran, demikian pula dalam belajar bahasa. Dalam konteks pendidikan di
Indonesia, usia ini tergolong pada usia belajar di sekolah dasar (SD). Rentang usia
tersebut kemudian dikelompokkan menjadi dua kelompok kelas, yaitu usia 6-8
tahun disebut sebagai kelompok Kelas Awal (kelas I-III) dan usia 9-11 tahun
disebut sebagai kelompok Kelas Atas (kelas IV-VI). Pengelompokan tersebut
berdasarkan pada kapasitas kognitif dan kemampuan siswa. Penelitian ini
difokuskan pada kelompok kelas atas karena tingkat kesiapan siswa menerima
pengetahuan baru tentang bahasa asing lebih baik dibandingkan dengan kelompok
kelas awal. Asumsi ini berdasarkan pada pendapat yang mengatakan bahwa lebih
tua usia anak, lebih efektif dia belajar bahasa (Ur; 1996).
Menurut Orlich et al (1998) anak usia 8-11 tahun termasuk pada tahap
concrete operational karena pada usia ini anak memerlukan banyak ilustrasi,
model, gambar, aktivitas motorik, dan kegiatan-kegiatan aktif lain. Seiring dengan
33
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembelajaran verbal, interaksi
sosial, dan budaya terbukti dapat meningkatkan pembelajaran secara optimal.
Curtain dan Pesola (1994) menegaskan kembali bahwa anak-anak akan belajar
bahasa asing dengan baik apabila proses belajar terjadi dalam konteks yang
komunikatif dan bermakna bagi mereka. Konteks tersebut meliputi situasi sosial,
kultural, permainan, nyanyian, dongeng, dan pengalaman-pengalaman kesenian,
kerajinan, dan olahraga.
Dalam mendesain pembelajaran di SD dan aktivitasnya, seorang guru harus
memperhatikan banyak faktor, di antaranya adalah memahami karakteristik
pembelajar. Karakteristik pembelajar anak adalah: memiliki rasa ingin tahu yang
tinggi, rentang konsentrasinya pendek, perkembangan kognitifnya terbatas, mudah
bosan, suka meniru, menyukai hal-hal baru dan nyata, menyukai kegiatan fisik
motorik, menyukai kegiatan berkelompok, suka menceritakan tentang dirinya,
agresif, senang dipuji, gemar bersaing, dan lain-lain (Brumfit, 1994). Sebagai
konsekuensi dari karakteristik tersebut, sebaiknya pembelajaran dirancang untuk
dapat memenuhi kebutuhan siswa. Aktivitas-aktivitas yang disarankan antara lain:
aktivitas harus bervariasi, menggunakan media-media yang konkret/nyata,
menciptakan aktivitas belajar sambil bermain, memberikan penugasan secara
berpasangan atau berkelompok dan memilihkan aktivitas yang menyenangkan
(games, songs, story telling, role plays, mime, drawing/coloring,
experiment/discovery, creating crafts) (Scott dan Ytreberg: 1990). Kegiatan
pembelajaran tersebut tentunya harus dirancang dengan perencanaan pengajaran
yang tepat agar mendukung tercapainya empat kompetensi belajar bahasa, yaitu
34
menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis
(writing). Berikut adalah beberapa contoh topik yang mengimplikasikan
pembelajaran kompetensi interkultural yang sesuai untuk siswa SD kelas atas:
daily life, families, living conditions, school, friendship, leisure-time activities, the
festivals that celebrated, season or climate, transport, buying and selling, city and
country life, art, music, dance, dan film (Rivers, 1981). Topik-topik tersebut akan
dikemas dalam kisi-kisi materi pembelajaran yang tersaji dalam perencanaan
pembelajaran beserta dengan strategi pengajarannya di dalam kelas.
Pengajaran tidak bisa didefinisikan terpisah dengan pembelajaran. Pengajaran
adalah memandu dan memfasilitasi pembelajaran, memungkinkan pembelajar
untuk belajar, menetapkan kondisi-kondisi pembelajaran (Brown, 2008:8).
Konsep pembelajaran pada penelitian ini adalah pembelajaran bahasa asing yaitu
bahasa Inggris yang dimaksudkan untuk membekali pembelajarnya dengan
pengetahuan dan keterampilan penggunaan bahasa Inggris, baik untuk menunjang
akademik maupun non-akademik si pembelajar. Pembelajaran bahasa Inggris pada
penelitian ini adalah di tingkat SD yang menekankan pada pencapaian kompetensi
pembelajar, yaitu dapat berkomunikasi dengan efektif di dalam bahasa Inggris.
Penguasaan kompetensi yang ditargetkan untuk dicapai adalah kompetensi
pragmatik, yaitu siswa tidak hanya dibekali dengan kemampuan gramatikal saja,
namun juga diajarkan penggunaan bahasa Inggris tersebut sesuai dengan norma
sosial atau norma kultural penutur bahasa target. Dalam pembelajaran tersebut
tentu saja dilibatkan proses pembelajaran, yang artinya, seperti dikemukakan oleh
Brown (2008: 8) bahwa penguasaan atau pemerolehan pengetahuan tentang suatu
35
subjek atau sebuah keterampilan dilakukan melalui belajar, pengalaman, atau
instruksi. Pada penelitian ini lebih tepat pembelajaran diartikan sebagai
penguasaan subjek atau keterampilan baru, yaitu materi “interkultural”, yang
diintegrasikan di dalam pembelajaran bahasa Inggris di SD.
Agar target kompetensi yang ingin dicapai pada penelitian ini bersinergi
dengan kondisi riil di lapangan maka desain yang akan disusun harus
memperhatikan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tertuang di dalam
kurikulum muatan lokal mata pelajaran bahasa Inggris di SD. Selain itu,
komponen pengajaran, seperti metode mengajar beserta aktivitasnya, buku ajar
atau materi, media pengajaran, dan asesmen-nya disesuaikan dengan karakteristik
pembelajaran bahasa Inggris untuk siswa SD. Prinsip-prinsip pembelajaran bahasa
Inggris untuk SD yang dijadikan sebagai landasan utama dalam penelitian ini
adalah learning by doing, sederhana, menggunakan metode dan aktivitas yang
menyenangkan, dan menggunakan pendekatan kontekstual (Paul, 2003).
2.2.3 Bentuk-bentuk Lingual
Bentuk lingual dapat diartikan sebagai wujud satuan bahasa yang berupa
satuan fonologis, satuan gramatikal, dan satuan leksikal. Bentuk lingual
digunakan untuk menampilkan pilihan bahasa yang berasal dari berbagai bahasa
dan budaya. Bentuk lingual disebut juga satuan bahasa yang oleh Chaer (2004:
297) dikatakan dapat berupa kata, frasa, ataupun kalimat.
Selanjutnya, Leech (1983) menyatakan bahwa fonologi, morfologi, sintaksis,
dan semantik merupakan bagian dari tata bahasa atau gramatika, sedangkan
pragmatik merupakan bagian dari penggunaan tata bahasa (language use). Leech
36
menambahkan bahwa pragmatik dapat berintegrasi dengan tata bahasa atau
gramatika yang meliputi fonologi, morfologi, dan sintaksis melalui semantik.
Dalam hal, ini Levinson (1983:9) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa
yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud telah
tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak pernah dapat dilepaskan dari
struktur bahasanya. Berdasarkan pengertian tersebut maka jelaslah bahwa bentuk-
bentuk lingual yang ada pada penelitian ini berupa tata bahasa yang terstruktur
yang terikat dengan konteks.
Konsep bentuk-bentuk lingual pada penelitian ini adalah sebuah analisis
terhadap leksikon dan gramatika atau tata bahasa yang terdapat pada materi
pembelajaran bahasa Inggris di SD yang berkaitan dengan kompetensi
interkultural. Leksikon merupakan suatu komponen bahasa yang memuat semua
informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa atau daftar kata yang
disusun seperti kamus, tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis
(Kridalaksana, 2008:142). Menurut Kridalaksana (1982: 98), satuan leksikon atau
kosakata adalah komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna
dan pemakaian kata dalam bahasa, kekayaan kata yang dimiliki seorang
pembicara, penulis suatu bahasa atau daftar kata yang disusun seperti kamus.
Sementara itu, kosakata tersebut terdiri atas nomina (kata benda) yang bisa berupa
pronomina, ekspresi atau frasa nominal/verbal, verba (kata kerja), adjektiva (kata
sifat) dan adverbia (kata keterangan).
Gramatika yang juga disebut dengan satuan gramatikal pada penelitian
ini adalah bentuk-bentuk ujaran yang dapat dipakai untuk mengungkapkan daya
37
ilokusioner di dalam suatu bahasa (Leech, 1983:11). Satuan gramatikal sebagai
kajian dalam penelitian ini bisa berupa morfem (pemarkah), berupa kata
(pemarkahnya), frasa, klausa, struktur kalimat, atau penanda satuan kata lainnya
(Ramlan, 1985: 24).
Selain itu, wujud gramatikal lain yang dikaji pada penelitian ini adalah yang
ditemukan pada tindak tutur, yaitu makna tindak tuturan (speech acts) menurut
Searle (1969) dan Wijana dan Rohmadi (2009), fungsi tindak tutur menurut Searle
(1983) dan Tarigan (2009), dan teori jenis tindak tutur menurut Wijana (2006) dan
Rahardi (2009).
Untuk menemukan bentuk-bentuk lingual yang dapat diintegrasikan ke dalam
desain pembelajaran kompetensi interkutural pada pembelajaran bahasa Inggris di
SD, kajian pragmatik interkultural diterapkan dengan cara menganalisis secara
rinci setiap bentuk lingual atau satuan bahasa berupa tindak tutur yang
mengandung pemahaman interkultural. Bentuk-bentuk lingual berupa tuturan
bahasa yang menjadi sumber data pada penelitian ini berupa data lisan dan tertulis
atau teks berupa bacaan (reading text) sebagai materi pembelajaran bahasa Inggris
untuk siswa SD.
2.3 Landasan Teori
Pada sub-bab ini disajikan landasan teori yang digunakan sebagai landasan
kerangka berpikir yang dibangun pada penelitian ini agar komprehensif. Sugiyono
(2010) menyatakan bahwa teori adalah seperangkat konsep definisi, dan proposisi
yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan
38
meramalkan fenomena). Dari definisi tersebut dapat dijelaskan kembali bahwa
landasan teori adalah seperangkat konsep, definisi, dan preposisi yang disusun
secara sistematis mengenai variabel-variabel yang ada dalam penelitian yang
kemudian menjadi dasar yang kuat bagi penelitian ini dan akan menghasilkan
sebuah simpulan teori baru yang valid dan ilmiah.
Landasan teori pada penelitian ini adalah teori-teori yang relevan yang
digunakan untuk menjelaskan variabel yang diteliti, serta sebagai dasar dalam
memberikan jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang diajukan dan
penyusunan instrumen penelitian. Teori utama yang digunakan pada penelitian ini
adalah pragmatik interkultural sebagai salah satu teori linguistik terapan yang
membingkai pemakaian bahasa dalam kondisi sosial tertentu. Kajian teori
pragmatik interkultural diperlukan pada penelitian ini untuk menghasilkan
deskripsi pragmatis yang rinci yang terdapat pada materi pembelajaran bahasa
Inggris untuk siswa SD dengan cara mengidentifikasi bentuk-bentuk lingual yang
mengandung aspek interkultural. Teori pragmatik interkultural ini diterapkan
untuk menjawab rumusan masalah pertama dan kedua.
Selain pragmatik interkultural, teori pembelajaran bahasa asing (foreign
language learning) juga menjadi teori utama pada penelitian ini, yaitu teori yang
mendukung kerangka berpikir praktis yang menjadi landasan untuk membuat
desain pembelajaran yang sesuai dengan tujuan penelitian. Cara kerja teori
pembelajaran bahasa asing pada penelitian ini adalah dengan menemukan prinsip-
prinsip pembelajaran yang berlaku bagi pembelajaran bahasa Inggris untuk usia
SD terutama yang berkaitan dengan bentuk-bentuk lingual atau materi
39
pembelajaran, dan strategi pembelajarannya. Teori pembelajaran bahasa asing
pada penelitian ini diperlukan untuk merumuskan desain pembelajaran yang
mendukung peningkatan kompetensi interkultural pada pembelajaran bahasa
Inggris di SD kaitannya dengan rumusan masalah kedua. Berikut adalah
penjelasan teori-teori tersebut.
2.3.1 Kajian pragmatik
Kajian pragmatik terkait langsung dengan fungsi utama bahasa, yaitu sebagai
alat komunikasi. Kajian pragmatik selalu terarah pada permasalahan pemakaian
bahasa di dalam suatu masyarakat bahasa, mengungkap bagaimana perilaku
berbahasa suatu masyarakat bahasa bersosialisasi. Oleh karena itu, teori pragmatik
terkait secara langsung dengan teori performansi (Zamzani, 2007; 16).
Crystal (1992) menyatakan bahwa pragmatik adalah kajian bahasa dari sudut
para pemakai, khususnya pilihan-pilihan yang mereka buat, hambatan-hambatan
yang mereka hadapi dalam pemakaian bahasa dalam interaksi sosial, dan efek dari
pemakaian bahasa mereka terhadap partisipasi lain dalam tindak komunikasi. Hal
tersebut sejalan dengan pandangan Levinson (1983) yang menyatakan bahwa
pragmatik merupakan kajian tentang pemakaian bahasa. Levinson juga telah
memberikan lima sudut pandang tentang pragmatik. Pertama, pragmatik
dipandang sebagai kajian tentang hubungan bahasa dengan konteks yang
digramatikalisasikan atau yang dikodekan dalam struktur bahasa. Pandangan
tersebut menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara sintaksis dan
pragmatik. Artinya, kajian pragmatik dapat mengarah ke pengaruh konteks pada
40
struktur kalimat, klausa dan sebagainya, atau dapat pula kaidah sintaksis yang
diperlukan dalam kajian pragmatik.
Kedua, pragmatik merupakan kajian aspek makna yang tidak tercakup atau
dimasukkan dalam teori semantik. Pragmatik dipandang memiliki hubungan
dengan semantik. Baik pragmatik maupun semantik, kedua-duanya mengkaji
tentang makna atau arti. Namun, tampaknya masih ada batas kajian antara
pragmatik dan semantik mengenai makna. Meskipun demikian, bisa dicermati
lebih lanjut bahwa kajian kedua bidang itu sulit ditentukan, bahkan boleh
dikatakan kabur mengingat betapa luasnya kajian tentang makna itu sendiri.
Ketiga, pragmatik merupakan kajian tentang hubungan antara bahasa dengan
konteks yang mendasari penjelasan pengertian atau pemahaman bahasa.
Pandangan tersebut menunjukkan adanya tiga aspek penting dalam kajian
pragmatik, yaitu bahasa, konteks, dan pemahaman. Pemahaman bahasa dalam
pemakaian tidak dapat dilepaskan dari konteks pemakaian bahasa itu sendiri.
Keempat, pragmatik merupakan kajian tentang kemampuan pemakai bahasa
yang mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai atau cocok dengan
kalimat itu. Menurut konsep ini, kajian pragmatik lebih ditekankan pada
bagaimana kemampuan pemakai bahasa menggunakan bahasanya sesuai dengan
konteks yang ada sehingga boleh dikatakan menghasilkan wacana yang pragmatis
dan komunikatif.
Kelima, pragmatik sebagai bidang ilmu yang mandiri yang memiliki lima
cabang kajian, yaitu deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur atau tindak
bahasa, dan struktur wacana. Deiksis adalah cabang pragmatik yang mengkaji
41
pergantian makna kata atau kalimat yang disebabkan oleh pergantian konteks.
Implikatur adalah cabang pragmatik yang mengkaji makna konotatif. Praanggapan
merupakan sesuatu yang diambil oleh penyapa sebagai dasar berpijak yang
dipakai bersama-sama antarpartisipan suatu percakapan.
Dari kelima sudut pandang Levinson tentang pragmatik tersebut di atas,
tampaknya pernyataan ketiga yang paling mendukung penelitian ini. Pengertian
yang menjadi landasan penelitian ini adalah pemahaman bahasa dalam pemakaian
tidak dapat dilepaskan dari konteks pemakaian bahasa itu sendiri. Pemahaman
makna harus didasarkan konteks pemakaian bahasa, tidak boleh bebas konteks.
Menguasai bahasa target dengan cara memahami konteks budayanya termasuk
dalam pemahaman bahasa secara kontekstual. Kompetensi interkultural dalam
pengajaran bahasa Inggris di SD mengajarkan pemakaian bahasa dalam
berkomunikasi secara riil, dan ini merupakan bidang kajian pragmatik.
Sebagai tambahan, Levinson (1983) menegaskan bahwa istilah pragmatik
mencakup aspek-aspek bahasa yang bergantung pada konteks dan prinsip-prinsip
penggunaan bahasa serta pemahaman yang tidak ada kaitannya dengan atau
sedikit berhubungan dengan struktur bahasa. Meskipun ada banyak definisi yang
dijelaskan oleh para pakar linguistik, tampaknya ada satu benang merah yang
dapat menghubungkan antara beberapa definisi tersebut, yaitu bahwa pragmatik
membahas pemakaian bahasa dalam konteks. Dalam bingkai pragmatik makna
yang diperhatikan bukanlah makna literal pada tataran kata dan kalimat di luar
konteks, melainkan makna nonliteral yang muncul dalam konteks. Tujuan
pragmatik itu sendiri adalah untuk menjelaskan bagaimana dari sudut rangkaian
42
kata yang dianjurkan, pendengar bisa berhasil menangkap sebagian interpretasi
yang dimaksud oleh pembicara (Ma’mur, 2006).
43
2.3.1.1 Pragmatik interkultural
Pragmatik interkultural berfokus pada perolehan dan penggunaan norma
pragmatis pada pemerolehan bahasa kedua, bagaimana pembelajar bahasa kedua
memproduksi dan memahami tindak tutur, dan bagaimana kompetensi pragmatik
mereka berkembang dari waktu ke waktu (Kecskes 2014: 17). Lebih lanjut
Kasper & Dahl (Kasper dan Dahl 1991: 216) menyampaikan bahwa fokus dari
interkultural pragmatik adalah proses pemerolehan, dalam hal ini
mengembangkan pemahaman tindak tutur bukan penutur asli, dan bagaimana
pengetahuan tindak tutur pemerolehan bahasa kedua mereka diperoleh. Selain
itu, pragmatik interkultural juga mengamati perilaku tindak tutur pembelajar
bahasa asing pada anak dan orang dewasa.
Bagian penting dari pragmatik interkultural dapat dijelaskan sebagai
berikut: Pertama, landasan teori pragmatik interkultural adalah kerangka sosio-
kognitif. Kedua, pragmatik interkultural terfokus pada interkultural
dibandingkan dengan aspek budaya yang mewakili penggunaan bahasa lawan
bicaranya. Interkulturalitas dalam kerangka tersebut memiliki komponen
normatif dan emergen. Seperti dibahas sebelumnya, interkultural ini tidak hanya
dibangun dari interaksi dan sosial, namun juga bergantung pada model budaya
dan norma yang dapat didefinisikan secara relatif yang mewakili kelompok
pemakai uajaran dimana mereka berada. Model dan norma budaya pemakai
bahasa pertama ini sepenuhnya tidak mewakili interaksi antar budaya sama
sekali. Sejauh mana penutur mengandalkan model dan norma budaya tersebut
dipengaruhi oleh beberapa variabel, antara lain; dinamisme percakapan, niat
44
individu yang muncul, faktor situasional, proses yang terbangun, situasi yang
terjadi, dan sebagainya. Ketiga, fokus penelitian pragmatik interkultural adalah
pada keaslian dan sifat penggunaan bahasa itu sendiri, dan bukan pada transfer
pragmatik atau realisasi tindak tutur dalam budaya yang berbeda. Apa yang
dapat digarisbawahi dari kajian pragmatik interkultural adalah fitur-fitur unik
dari sebuah komunikasi interkultural yang dapat membedakannya (Kecskes
2014: 18-19).
Selanjutnya, komunikasi interkultural tersebut mengarah pada perubahan
beberapa konsep dasar pragmatik seperti kerjasama, kesamaan, sensitivitas
konteks, arti penting, dan lain-lain. Secara implisit pragmatik interkultural
merupakan perkembangan dari sosiopragmatik yang kajiannya bersifat
monolingual, sedangkan pragmatik interkultural bersifat bilingual atau bahkan
multilingual. Sehingga, pada penelitian ini aspek-aspek tindak tutur yang diteliti
dengan kerangka sosiopragmatik termasuk ke dalam teori pragmatik
interkultural.
Teori pragmatik interkultural dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji
maksud penutur dalam menuturkan satuan lingual tertentu pada sebuah praktik
berbahasa. Karena yang dikaji adalah makna satuan lingual secara eksternal,
pragmatik bersifat terikat konteks, dan mengkaji bentuk kebahasaan untuk
memahami maksud penutur (speaker’s meaning) (Rahardi, 2009; 22).
Pada penelitian ini kajian pragmatik interkultural didasarkan pada teori
makna tindak tutur Searle (1969: 23-24) dan Wijana dan Rohmadi (2009: 20-24).
Searle (1969) menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis makna tindak tutur (speech
45
act), yaitu (1) tindak lokusioner (locutionary acts), (2) tindak ilokusioner
(illocutionary acts), dan (3) tindak perlokusioner (perlocutionary acts). Pertama,
tindak tutur lokusioner yaitu tindak tutur dengan kata, frasa, dan kalimat, sesuai
dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu sendiri. Adapun
tindak tutur lokusioner dapat juga dikatakan sebagai the act of saying something.
Di dalam tindak tutur ini sama sekali tidak dipermasalahkan asal usul maksud
tuturan yang disampaikan oleh penutur. Jadi, tindak tutur lokusioner adalah tindak
tutur menyampaikan informasi yang disampaikan oleh penutur. Kedua, tindak
tutur ilokusioner yang merupakan tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan
fungsi tertentu di dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya. Tindak tutur ini
dapat dinyatakan dengan ungkapan dalam bahasa Inggris the act of doing
something. Dengan demikian, ada sebuah daya di dalamnya yang dihasilkan oleh
makna dari sebuah tuturan.
Di dalam kajian pragmatik interkultural, tindak tutur ilokusioner itulah yang
banyak dipelajari. Menurut Searle (1983: 357-363) dan Tarigan (2009: 42-44),
tindak tutur ilokusioner digolongkan ke dalam lima macam fungsi tindak tutur,
yakni (1) asertif, (2) direktif, (3) ekspresif, (4) komisif, dan (5) deklaratif. Berikut
adalah penjelasan secara singkat masing-masing tindak tutur ilokusioner tersebut.
Tindak tutur asertif (assertive) adalah tindak tutur yang mengikat penutur
pada kebenaran proposisi yang sedang diungkapkannya dalam tuturan itu. Tindak
tutur asertif dapat mencakup hal-hal sebagai berikut: a) menyatakan (stating), b)
menyarankan (suggesting), c) membual (boasting), d) mengeluh (complaining),
dan e) mengklaim (claiming). Tindak tutur direktif (directive) adalah bentuk
46
tindak tutur yang dimaksudkan oleh si penuturnya untuk membuat pengaruh agar
pendengar melakukan tindakan-tindakan yang dikehendakinya, seperti a)
memesan (ordering), b) memerintah (commanding), c) memohon (requesting), d)
menasihati (advising), dan e) merekomendasi (recommending).
Tindak tutur ekspresif (expressive) adalah bentuk tindak tutur yang berfungsi
menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap keadaan
tertentu, seperti a) berterima kasih (thanking), b) memberi selamat
(congratulating), c) meminta maaf (pardoning), d) menyalahkan (blaming), e)
memuji (praising), dan f) berbela sungkawa (condoling). Tindak tutur komisif
(commissive) adalah tindak tutur yang digunakan untuk menyatakan janji atau
penawaran tertentu, seperti a) berjanji (promising), b) bersumpah (swearing), dan
c) menawarkan sesuatu (offering). Terakhir, tindak tutur deklaratif (deklarative)
adalah tindak tutur yang menghubungkan antara isi tuturan dan kenyataannya,
seperti a) berpasrah (resigning), b) memecat (dismissing), c) membaptis
(christening), d) memberi nama (naming), e) mengangkat (appointing), f)
mengucilkan (excommunicating), dan g) menghukum (sentencing).
Ketiga, tindak perlokusioner yang merupakan tindak menumbuhkan pengaruh
kepada pendengar oleh penutur. Tindak tutur ini dapat dinyatakan pula dengan the
act of affecting someone (Rahardi, 2009; 17-19). Pada penelitian ini, teori Speech
Acts digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk-bentuk lingual yang
diintegrasikan dalam materi pembelajaran bahasa Inggris untuk siswa SD yang
berisi pengetahuan interkultural. Selain itu, teori pragmatik interkultural dalam
penelitian ini juga mengkaji bentuk-bentuk lingual dan jenis-jenis tindak tutur.
47
Rahardi (2009: 19) menguraikan adanya dua macam jenis tindak tutur di
dalam praktik berbahasa, yaitu (1) tindak tutur langsung (directive speech) dan
tindak tutur tidak langsung (indirect speech), dan (2) tindak tutur literal (literal
speech) dan tidak tutur tidak literal (illiteral speech). Tindak tutur langsung adalah
tindak tutur yang dinyatakan sesuai dengan modus kalimatnya. Jadi,
sesungguhnya tindak tutur langsung merefleksikan fungsi konvensional dari
sebuah kalimat. Sebagai contoh, kalimat deklaratif digunakan untuk
menyampaikan informasi, kalimat tanya digunakan untuk menanyakan sesuatu,
dan kalimat perintah digunakan untuk menyatakan perintah. Sebaliknya, tindak
tutur tak langsung adalah tindakan yang tidak dinyatakan langsung oleh modus
kalimatnya. Sebagai contoh, untuk menyampaikan maksud memerintah, orang
akan menggunakan kalimat berita atau bahkan menggunakan kalimat tanya.
Sebuah pertanyaan mungkin juga dinyatakan secara tidak konvensional, yaitu
dengan sebuah kalimat berita. Namun, untuk kalimat perintah tidak bisa
dinyatakan secara tidak langsung. Jadi, hanya kalimat berita dan tanya sajalah
yang dapat digunakan untuk menyatakan tindak tutur tidak langsung. Tidak tutur
tidak langsung dimaknai dengan sesuatu yang tersirat atau yang terimplikasi di
dalamnya dan makna tersebut diperoleh dengan melibatkan konteks situasinya.
Berikutnya adalah tindak tutur literal yang dapat dimaknai sebagai tindak
tutur yang maksudnya sama persis dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
Tindak tutur nonliteral adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama, atau
bahkan berlawanan, dengan makna kata-kata yang menyusunnya itu. Dapat
dikatakan di sini bahwa sebuah tindakan yang sesuai dengan wujud tuturannya
48
adalah yang disebut dengan tindak tutur literal, sedangkan yang memiliki tujuan
lain adalah tindak tutur nonliteral (Rahardi, 2009: 20).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diperjelas bahwa penelitian ini
menggunakan teori pragmatik interkultural yang diturunkan dari teori pragmatik
untuk menganalisis bentuk-bentuk lingual yang terintegrasi pada materi pelajaran
bahasa Inggris dan jenis tindak tutur yang ditemukan pada proses pembelajaran
bahasa Inggris di kelas. Bentuk-bentuk lingual yang dipilih untuk dianalisis
dengan teori tindak tutur adalah bahasa yang berfungsi di dalam komunikasi dan
interaksi dalam memajankan kompetensi interkultural. Teori-teori tindak tutur
bahasa tersebut adalah teori makna tindak tutur (speech acts) menurut Searle
(1969) dan Wijana dan Rohmadi (2009), teori fungsi tindak tutur menurut Searle
(1983) dan Tarigan (2009), dan teori jenis-jenis tindak tutur menurut Wijana
(2006) dan Rahardi (2009).
Ada dua hal yang perlu dikaji sehubungan dengan teori pragmatik
interkultural. Pertama, pragmatik interkultural kedudukannya ada di dalam teori
pragmatik. Kedua, pragmatik interkultural merupakan titik temu antara sosio-
kognitif dan interkultural sehingga inferensi pragmatik yang dihasilkan pada
hakikatnya merupakan inferensi sosiologis.
2.3.1.2 Pragmatik interkultural dalam pembelajaran
Hubungan antara pragmatik interkultural dan pengajaran bahasa dapat dilihat
dari komponen-komponen kompetensi komunikatif, seperti kompetensi linguistik
(gramatika), sosiolinguistik, wacana, dan strategi. Pembelajar tidak cukup dibekali
kompetensi gramatikal (linguistik) saja, namun juga perlu dibekali dengan
49
kompetensi yang lain karena tujuan pembelajaran bahasa asing (bahasa Inggris)
adalah agar pembelajar dapat berkomunikasi dengan efektif menggunakan bahasa
yang diajarkan. Pembelajar tidak dapat berkomunikasi dengan efektif di dalam
bahasa itu tanpa mengetahui prinsip-prinsip pragmatik yang mengatur bagaimana
bahasa digunakan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa asing (bahasa
Inggris) perlu juga diajarkan aspek-aspek sosial dan kultural penggunaan bahasa
asing itu. Hal itu mencakup pengetahuan tentang pemilihan ragam bahasa yang
sesuai untuk suatu situasi interaksi (Gunarwan, 2007; 71).
Selanjutnya, kaitan pragmatik interkultural dengan pengajaran bahasa
ditunjukkan oleh Gunarwan (1999) sebagai “pegangan” mengajarkan bahasa:
1) Ada lebih dari satu cara untuk mengungkapkan makna atau maksud, dan cara
yang patut hendaklah dipilih untuk suatu interaksi tertentu.
2) Penutur yang rasional akan menentukan pilihan strategi untuk melakukan
tindak tutur berdasarkan faktor-faktor interaksional dan, mungkin sekali,
faktor-faktor kultural.
3) Ketidaklangsungan ujaran tidak selalu berkorelasi positif dengan kesantunan.
4) Kesantunan terletak di telinga pendengar dan beragam dari bahasa ke bahasa.
5) Kesantunan bahasa mengacu ke bentuk bahasa dan ke pesan tindak tututr.
6) Demi kelengkapan, pembelajar bahasa asing mungkin juga perlu dibekali
dengan keterampilan bertutur di dalam jenis wacana yang oleh Richard
(1990) disebut small talk, termasuk cara-cara (yang santun) untuk mengakhiri
percakapan.
50
Pemakaian bahasa dalam komunikasi terkait pula dengan faktor-faktor non-
bahasa yang merupakan kondisi sosial dan budaya “lokal” yang bersifat spesifik.
Pemakaian bahasa dalam konteks yang bersifat spesifik demikian itu menjadi
bidang garapan kajian sosiopragmatik (Zamzani, 2007; 21). Kajian
sosiopragmatik tersebut termasuk ke dalam kajian pragmatik interkultural yang
menjadi fokus pada penelitian ini.
2.3.2 Pembelajaran bahasa asing
Banyak teori yang berkembang kaitannya dengan pembelajaran bahasa asing.
Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menjelaskan proses
pembelajaran bahasa. Sehubungan dengan pemerolehan bahasa asing yang
terdapat pada subjek penelitian ini, yaitu pembelajar anak, maka sepatutnya dikaji
teori yang mampu menjelaskan bagaimana proses pemerolehan bahasa pada anak.
Teori yang dapat mendukung penelitian ini adalah teori dari Chomsky (1964)
yang mengemukakan bahwa dalam belajar bahasa anak sudah memiliki kapasitas
internal yang telah dibawanya sejak lahir.
Chomsky mengatakan bahwa lingkungan hanya berfungsi sebagai pemberi
masukan dan Language Acquisition Device (LAD) itulah yang akan mengelola
masukan (input) dan menentukan apa yang dikuasai lebih dahulu seperti bunyi,
kata, frasa, kalimat, dan seterusnya. Dengan demikian, kemampuan yang dimiliki
manusia telah terprogram secara biologis agar manusia dapat belajar bahasa.
Kemudian, kemampuan itu tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan
biologis anak (otak, organ bicara, dan lain-lain) yang pada akhirnya mampu
mempelajari kaidah tata bahasa. Sehingga kalimat-kalimat yang beum pernah
51
didengar sebelumnya akan tetap mampu diujarkan secara benar dan konsisten
karena pada LAD tersebut.
Menurut pandangan tersebut, perilaku bahasa yang normal harus terbebas dari
pengaruh orang lain dan bersifat pembaharuan (innovative), maka mengerti atau
hafal sejumlah kalimat yang sudah ada dalam suatu bahasa tidaklah berarti sudah
mengetahui bahasa itu. Dalam kehidupan sehari-hari terjadi perilaku bahasa yang
tidak pernah direncanakan sebelumnya, namun itu harus dilakukan. Manusia
dilahirkan ke dunia dilengkapi dengan kemampuan berpikir dan satu-satunya
makhluk yang dapat belajar bahasa. Perkembangan bahasa berlangsung terus
menerus selama manusia itu berpikir dan tertarik pada sesuatu yang baru. Bahasa
bukanlah sesuatu yang diperoleh dengan tiba-tiba dan belajar bahasa tidak akan
berhasil tanpa ada situasi penggunaan yang berarti. Kreativitas merupakan hal
yang utama dalam pemerolehan bahasa sehingga seseorang dapat berbahasa di
dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, bagi Chomsky, LAD yang dibawa sejak bayi dilahirkan adalah
hal yang menentukan potensi bahasa itu. Dengan alat itu, anak dapat memiliki
kemampuan untuk membuat hipotesis tentang struktur bahasa umum, dan tentang
struktur bahasa yang sedang dipelajari secara khusus. Ada dua indikator utama
yang digunakan untuk mengukur potensi bahasa seseorang, yakni kompetensi dan
performasi (competence and performance). Secara prinsip, kompetensi dan
performansi berbeda. Kompetensi mengenai pengetahuan pembicara–pendengar
terhadap bahasanya, sedangkan performansi adalah penggunaan bahasa yang
sebenarnya dalam konteks komunikasi (Chomsky, 1965). Dengan demikian, dapat
52
dikatakan bahwa belajar bahasa bukanlah sesuatu yang diperoleh secara tiba-tiba
tanpa ada perpaduan terhadap kedua indikator tersebut serta situasi yang
melatarbelakangi bahasa itu. Proses kompetensi kompetensi tersebut menjadi
syarat terjadinya proses performansi yang terdiri atas dua proses, yaitu proses
pemahaman dan proses penerbitan. Kedua proses tersebut yang akan menjadi
kemampuan linguistik seorang anak.
Chomsky (1965) juga beranggapan bahwa pemakai bahasa mengerti struktur
dari bahasanya yang membuatnya dapat berkreasi kalimat-kalimat baru pada
bahasa yang dipelajarinya. Jadi, terdapat keterkaitan yang sangat erat antara
proses akuisisi dan belajar. Akuisisi dapat membangun pengetahuan intuitif yang
dimiliki siswa terhadap bahasa ibunya ( native language). Namun, intuisi
linguistik tersebut tidak berhenti disitu saja melainkan berkembang sejalan dengan
pertumbuhannya. Sedangkan proses belajar adalah sesuatu yang dihasilkan dari
proses akuisisi dan input yang diperoleh dari lingkungan belajar siswa. Manfaat
teori Chomsky (1965) tersebut terhadap penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan bentuk-bentuk lingual apa yang sesuai untuk diterapkan oleh
guru bahasa Inggris di SD dalam mengajarkan kompetensi interkultural sehingga
mampu menghasilkan kompetensi seperti yang diinginkan. Proses pemahaman
pada siswa pada penelitian ini adalah input materi kompetensi interkultural
sebagai pengetahuan dasar dalam pemerolehan bahasa. Sedangkan proses
penerbitan adalah penguasaan dalam menggunakan bahasa asing secara
komunikatif.
2.3.2.1 Kompetensi pembelajaran bahasa
53
Pengajaran seperti dikutip dari Brown (2008: 8) adalah kegiatan
menunjukkan atau membantu seseorang mempelajari cara melakukan sesuatu,
memberi instruksi, memandu dalam pengkajian sesuatu, menyiapkan
pengetahuan, menjadikan tahu atau paham. Pengajaran tidak bisa didefinisikan
terpisah dari pembelajaran. Pengajaran adalah memandu dan memfasilitasi
pembelajaran, memungkinkan pembelajar untuk belajar, menetapkan kondisi-
kondisi pembelajaran. Kaitannya dengan definisi tersebut maka dalam kegiatan
pengajaran hasil yang diharapkan adalah munculnya kompetensi dan performansi.
Kompetensi menunjuk pada pengetahuan dasar seseorang tentang sistem,
kejadian, atau fakta. Kompetensi merupakan kemampuan yang tak teramati dalam
melakukan sesuatu. Sementara itu, performansi adalah manifestasi yang konkret
dan bisa diamati, atau realisasi atas kompetensi. Kompetensi yang diamati pada
penelitian ini adalah kompetensi bahasa, yaitu sebuah pengetahuan mendasar
tentang sistem bahasa, kaidah-kaidah tata bahasanya, kosakatanya, seluruh
pernak-pernik bahasa dan bagaimana menggunakannya secara padu (Brown,
2008; 38). Jelaslah di sini bahwa pembelajaran kompetensi bahasa adalah proses
mentransferkan sebuah pengetahuan baru berupa sistem bahasa yang akan
menghasilkan kemampuan untuk menggunakannya.
Seperti dikutip dari Brown (2008: 241), ada beberapa komponen kompetensi
yang terdapat pada teori pengajaran dan pembelajaran bahasa kedua yang
diusulkan oleh para ahli linguistik, antara lain, kompentensi linguistik dan
kompetensi komunikatif untuk menyoroti perbedaan antara pengetahuan “tentang”
bentuk-bentuk bahasa dan pengetahuan yang memungkinkan seseorang
54
berkomunikasi secara fungsional dan interaktif. Sementara itu, Michael Canale
dan Merrill Swain yang dikutip dari Brown (2008), modelnya menjadi rujukan
utama pada diskusi tentang kompetensi komunikatif dan pengajaran bahasa kedua,
mengajukan empat komponen kompetensi, yaitu 1) kompetensi gramatikal, 2)
kompetensi wacana, 3) kompetensi sosiolinguistik, dan 4) kompetensi strategis.
Pertama, kompetensi gramatikal adalah aspek kompetensi komunikatif yang
meliputi “pengetahuan tentang item-item leksikal dan kaidah morfologi, sintaksis,
semantik kalimat-tata bahasa, dan fonologi”. Kedua, kompetensi wacana yaitu
kemampuan mengaitkan kalimat-kalimat dalam rentang wacana dan untuk
membentuk keseluruhan bermakna dari serangkaian ujaran. Ketiga, kompetensi
sosiolinguistik yaitu pengetahuan tentang kaidah-kaidah sosial budaya dan
wacana. Tipe kompetensi ini “mensyaratkan pemahaman tentang konteks sosial
tempat bahasa digunakan: peran para partisipan, informasi yang mereka bagi, dan
fungsi interaksi. Sementara itu, yang keempat adalah kompetensi strategis yaitu
strategi komunikasi verbal dan nonverbal yang bisa dipakai untuk mengimbangi
kemacetan dalam komunikasi karena variabel-variabel performansi atau karena
kompetensi yang tidak memadai.
Pandangan baru tentang komponen kompetensi telah banyak mengalami
modifikasi dan lebih bagus karena dapat dilihat dari skematisasi Brown (2008;
243) yang menyebutkannya dengan sederhana, yaitu kompetensi bahasa.
Bachman menyebutkan kompetensi gramatikal dan wacana (dinamakan kembali
“tekstual”) di bawah satu cabang, yang dengan tepat dia sebut kompetensi
organisasional, yaitu yang berkenaan dengan semua kaidah dan sistem yang
55
menentukan apa yang bisa kita lakukan dengan bentuk-bentuk bahasa. Kemudian,
kompetensi pragmatik dibedakan menjadi dua, yaitu aspek-aspek fungsional
bahasa (kompetensi ilokusioner, berhubungan dengan pengiriman dan penerimaan
pesan-pesan yang dimaksudkan) dan aspek-aspek sosiolinguistik (yang membahas
tentang pertimbangan-pertimbangan, seperti sopan santun, formalitas, metafora,
register, dan aspek-aspek bahasa yang terkait secara kultural). Komponen
kompetensi menurut Bachman (1990) yang dirujuk pada penelitian ini adalah
kompetensi sosiolinguistik, yaitu yang berhubungan dengan variasi bentuk-bentuk
ujaran dan tuturan dalam kerangka perbedaan sosial dan budaya. Komponen
kompetensi tersebut dapat dilihat pada bagan berikut.
Kompetensi Bahasa
Kompetensi Organisasional Kompetensi Pragmatik
Kompetensi Kompetensi Kompetensi Kompetensi
Gramatikal Tekstual Ilokusioner Sosiolinguistik
Bagan 2.2 Komponen Kompetensi Bahasa (Bachman dikutip dari Brown,
2008: 243)
2.3.2.2 Pembelajaran kompetensi interkultural
Mempelajari bahasa tidak dapat dipisahkan dari mempelajari bagaimana
bahasa tersebut digunakan dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagaimana
bahasa tersebut dipengaruhi dan juga ikut membentuk budaya para penutur
- Kosakata
- Morfologi
- Sintaksis
- Fonologi/Grafol
ogi
- Kohesi
- Organisasi
Retoris
- Fungsi Ideasional
- Fungsi Manipulatif
- Fungsi Heuristik
- Fungsi Imajinatif
- Kepekaan terhadap
dialek atau varietas
- Kepekaan terhadap
register
- Kepekaan terhadap
kealamiahan
- Referensi Budaya dan
Gaya Bahasa
56
aslinya. Dalam pembelajaran bahasa kedua, penguasaan kompetensi gramatikal
saja tidak cukup karena pembelajar hanya akan tahu bagaimana membuat kalimat
bahasa asing yang gramatikal, tetapi ia tidak tahu apakah kalimat itu sesuai
dengan norma sosial atau norma kultural penutur asli bahasa asing itu (Gunarwan,
2007: 71).
Pada konteks pembelajaran bahasa asing dewasa ini kemampuan berbicara
fasih menyerupai penutur asli bukan lagi menjadi hal yang paling utama.
Pemahaman terhadap budaya dari bahasa yang dipelajari terbukti berperan penting
dalam menentukan keberhasilan penyampaian pesan dan terjalinnya komunikasi
yang lancar antara si penutur dan lawan bicaranya. Dengan demikian, dalam
pembelajaran bahasa asing aspek-aspek sosial dan kultural beserta bagaimana
bahasa tersebut digunakan secara tepat dalam situasi interaksi menjadi hal yang
mutlak untuk diajarkan.
Seperti dikutip dari Brown (2008: 219-220), banyak studi penelitian terbaru
yang dapat dikutip kaitannya dengan interkultural, seperti 1) Byram & Feng
(2005) yang telah memperlihatkan efek positif penyertaan kesadaran budaya di
kelas-kelas bahasa, 2) Savignon dan Sysoyev (2002) mempromosikan kompetensi
sosial budaya pada pembelajar bahasa Inggris mereka di Rusia dengan
memperkenalkan strategi-strategi sosial budaya seperti mengawali kontak,
mengantisipasi kesalahpahaman budaya, dan menggunakan diplomasi dalam
diskusi, 3) Wright (2000) mendapati bahwa mengajarkan bahasa Jerman sebagai
bahasa asing, dengan menggunakan tugas berorientasi proses, bisa memajukan
kemampuan adaptasi lintas budaya, 4) Abrams (2002) sukses menggunakan
57
portofolio budaya berdasarkan internet untuk mempromosikan kesadaran budaya
dan melucuti stereotipi budaya. Wawancara-wawancara dengan penutur asli
bahasa sasaran membantu pembelajar, dan 5) Bateman (2002), menganggap
penting mengembangkan sikap lebih positif pada budaya sasaran., dan 6) Choi
(2003) menggunakan drama sebagai “gerbang” menuju pada kesadaran
antarbudaya dan pemahaman bagi mahasiswa Koreanya yang belajar bahasa
Inggris sebagai bahasa kedua. Studi terakhir yang direview dan yang paling
signifikan dengan penelitian ini adalah dengan ide sejumlah materi dan teknik –
bacaan, film, permainan stimulasi, asimilator budaya, “kapsul budaya”, dan
“kulturgram” yang tersedia bagi guru bahasa untuk membantu mereka dalam
proses akulturasi di ruang kelas (Fantani, 1997; Ramirez, 1995; Levine dkk.,
1987; Mcgroarty & Galvan, 1985; Kohl, 1984).
Berdasarkan pada penelitian terdahulu seperti tersebut di atas maka penelitian
lebih lanjut tentang peningkatan kompetensi interkultural pada pembelajaran
bahasa Inggris masih sangat mendesak dilakukan, terutama di Indonesia yang
ditengarai masih memiliki banyak permasalahan dalam hal penguasaan bahasa
Inggris peserta didiknya. Pada konteks penelitian ini, jenjang penelitian yang
diprioritaskan adalah SD, karena siswa SD sebagai pembelajar pemula perlu sejak
awal dibekali dengan pengetahuan tentang bahasa dan budaya bahasa sasaran
yang memadai, sehingga pada jenjang sekolah selanjutnya mereka akan lebih
mudah memahaminya.
Selama ini, prioritas yang digembar-gemborkan di bidang pembelajaran
bahasa Inggris adalah kompetensi komunikatif. Padahal, menurut beberapa ahli
58
bahasa, kompetensi komunikatif ini berhubungan erat dengan kompetensi yang
lain, yaitu kompetensi budaya. Apabila kompetensi komunikatif dan kompetensi
budaya digabungkan maka akan menghasilkan kompetensi interkultural. Di
sinilah letak kemampuan pragmatik dapat diamati (Gunarwan, 2007).
Kompetensi interkultural diharapkan mampu membuat siswa memahami
budaya sendiri dan budaya asing dengan lebih baik. Konsep ini memiliki landasan
bahwa keberhasilan komunikasi yang terjadi antardua orang yang berasal dari dua
budaya berbeda tidak hanya ditentukan oleh penguasaan aspek lingual
kebahasaan, ditinjau dari struktur gramatikalnya saja, tetapi juga sosial
pragmatiknya, begitu pula kemampuan menangkap, memahami dan memiliki
empati terhadap kultur partner komunikasi.
Santoso (2012) mengajukan setidaknya ada tiga tujuan kompetensi
interkultural ini pada pengajaran bahasa asing. Pertama, agar pembelajar memiliki
kemampuan untuk memahami sesuatu yang “asing” (kultur asing), termasuk di
dalamnya adalah nilai-nilai asing. Kedua, pembelajaran bahasa asing berwawasan
interkultural memiliki tujuan yang berhubungan dengan kawasan afektif pada
pembelajar, yaitu mengembangkan empati dan toleransi pada sesuatu yang
“asing” atau segala sesuatu yang berasal dari luar lingkaran kulturalnya. Ketiga,
dalam pembelajaran bahasa asing berwawasan interkultural bermaksud untuk
menghilangkan stereotip negatif terhadap kultur asing dalam diri pembelajar.
Oleh karena itu, definisi tentang kompetensi yang diajukan oleh Bennett (2011),
yaitu bahwa kompetensi interkultural adalah seperangkat keterampilan kognitif,
afektif, dan perilaku dan karakteristik yang mendukung interaksi yang efektif dan
59
tepat dalam berbagai konteks budaya, sangatlah tepat. Tiga ranah tujuan
pembelajaran, yaitu kognitif, afektif, dan perilaku, telah tercakup pada
pembelajaran bahasa Inggris yang mengarah pada kompetensi interkultural itu.
Ada beberapa strategi yang diusulkan oleh para ahli sehubungan dengan
upaya pengembangan pembelajaran kompetensi interkultural di kelas bahasa.
Liddicoat (2004) mengajukan sebuah kerangka utama yang berisikan empat
aktivitas yang berkaitan dengan transfer budaya, yakni 1) mempelajari dan
memahami sebuah praktik budaya, 2) membandingkan praktik budaya, 3)
mengeksplorasi budaya, dan 4) memosisikan diri pada “tempat ketiga” di antara
dua (atau lebih) budaya. Liddicoat (2004) juga menyebutkan beberapa strategi
pembelajaran kompetensi interkultural yang mungkin dapat dilakukan, antara lain:
pengajaran budaya secara eksplisit, pengintegrasian budaya ke dalam empat
keterampilan berbahasa, pengajaran budaya sejak awal pengajaran bahasa,
pengajaran secara bilingual, pelibatan eksplorasi interkultural, dan pertolongan
pada pembelajar untuk terus belajar. Contoh-contoh yang dapat dilakukan dalam
rangka pengintegrasian strategi pengajaran kompetensi interkultural tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
1) Pengajaran interkultural secara eksplisit, yaitu guru memberikan contoh
langsung kepada siswa bentuk-bentuk budaya yang ada pada bahasa target,
misalnya, menjelaskan tentang konsep waktu (a.m dan p.m), cuaca dan
musim, mengungkapkan kesopanan, apa yang boleh dan tidak boleh
ditanyakan/dilakukan pada orang dengan budaya lain, berbagai macam sikap
60
yang telah menjadi kebiasaan penutur bahasa target, bentuk-bentuk
festival/perayaan, dan sebagainya.
2) Pengintegrasian budaya ke dalam empat keterampilan berbahasa; misalnya,
menjelaskan materi interkultural melalui teks/bacaan, melalui penugasan
menulis paragraf/esai, melalui speaking performance dalam berbagai bentuk
aktivitas, dan melalui kegiatan menyimak berbagai konteks interkultural,
seperti percakapan di publik, menyimak dialog resmi dan tidak resmi, dan
percakapan yang biasa dilakukan sehari-hari.
3) Pengajaran budaya sejak awal pembelajaran bahasa, dalam hal ini, guru
secara langsung menanamkan kaidah-kaidah interkultural melalui kebiasaan,
perilaku, dan penggunaan bentuk lingual bermakna interkultural di kelas;
misalnya, bertanya di kelas, mengucapkan salam, berterima kasih, kebiasaan
antri, bekerja sama, menggunakan bentuk-bentuk kalimat sopan dalam bahasa
target, dan sebagainya.
4) Pengajaran secara bilingual, misalknya guru mengajarkan materi interkultural
melalui penggunaan dua bahasa sekaligus sebagai contoh dengan membahas
topik-topik, seperti climate, clothing, crime, eating, education, family life,
geography, history, holidays, humor, language, leisure activities, meeting
people, money, pets, population, religion, social occasions, sports,
transportation, vacation, dan nonverbal communication.
5) Pelibatan eksplorasi interkultural; misalnya, pada strategi ini guru
memaparkan berbagai topik kajian interkultural dan siswa berpartisipasi
dalam berbagai aktivitas belajar di kelas, seperti pembahasan tentang:
61
a) Interacting or transacting, seperti frasa Where are you going? adalah
contoh bahasa sosial atau berinteraksi.
b) Registering politeness, melalui kegiatan role play atau simulasi topik
tentang kesopanan berbahasa ini dapat diterapkan.
c) Timing and listening, topik ini dikembangkan melalui kegiatan
menyimak di kelas dan meminta siswa untuk mengutarakan pendapatnya
untuk mengembangkan keterampilan berkomunikasinya.
d) Looking and learning, topik ini merupakan pemahaman komunikasi
non-verbal dalam konteks percakapan dalam bahasa Inggris.
6) Pertolongan pada siswa untuk terus belajar, yaitu berupa motivasi secara
internal yang dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran dan penguatan
kebahasaan berupa pendampingan dalam memperoleh pengetahuan
interkultural yang baru.
2.4 Model Penelitian
Perumusan sebuah desain pembelajaran harus melalui sistematika yang jelas
agar menghasilkan produk yang benar dan sesuai dengan yang diharapkan.
Keberhasilan dari pengembangan desain pembelajaran harus disertai dengan
kerangka konsep yang menggambarkan adanya masukan, proses dan luaran.
Bagan berikut menjelaskan bagaimana proses masukan dan luaran dirancang
untuk menghasilkan pedoman pembelajaran kompetensi interkultural pada
pelajaran bahasa Inggris di SD dengan kajian pragmatik interkultural.
62
Bagan 2.3 Sistem Masukan-Luaran Model Penelitian Kompetensi Interkultural
Pembelajaran Bahasa Inggris Siswa Sekolah Dasar
MODEL PENELITIAN
KOMPETENSI INTERKULTURAL
PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS SISWA
SEKOLAH DASAR
MASUKAN PROSES LUARAN
KAJIAN TEORI
KAJIAN TENTANG
PEMBELAJARAN
KOMPETENSI
INTERKULTURAL
MERUMUSKAN
DESAIN
PERENCANAAN
PEMBELAJARAN
DENGAN TEORI:
1. PRAGMATIK
INTERKULTURAL
2. PEMBELAJARAN
BAHASA ASING
GURU DAN SISWA
MEMILIKI WAWASAN:
KOMPETENSI
INTERKULTURAL
PEMBELAJARAN
BAHASA INGGRIS
SUDAH
MENGGUNAKAN
PENDEKATAN
PRAGMATIK
INTERKULTURAL
KAJIAN
PENGEMBANGAN
DESAIN
PEMBELAJARAN
KOMPETENSI
INTERKULTURAL
STUDI AWAL:
KAJIAN
PUSTAKA
WAWANCARA
PADA GURU DAN
OBSERVASI
DOKUMEN
(SILABUS, RPP,
DAN BUKU
AJAR)
KONTEKS
PEMBELAJARAN
BAHASA
INGGRIS YANG
BERKEMBANG
PRODUK BERUPA
DESAIN
PERENCANAAN
PEMBELAJARAN
BERISI:
BENTUK LINGUAL
MATERI/BAHAN
AJAR
BERWAWASAN
INTERKULTURAL
STRATEGI
PENGAJARAN
MEDIA
KEGIATAN
PEMBELAJARAN
PENILAIAN
LAPORAN
PENELITIAN
METODE PENELITIAN
DESAIN PENELITIAN:
RESEARCH AND
DEVELOPMENT
LOKASI PENELITIAN:
SDN BUNULREJO 2
MALANG
WAKTU, FEB-MAR 2015
SUBJEK: GURU DAN
SISWA SD KELAS IV, V,
DAN VI
INSTRUMEN
PENELITIAN:
OBSERVASI,
WAWANCARA,
ANGKET, DISKUSI
AHLI, DAN FGD
TAHAPAN MEMBUAT
DESAIN: DRAFT, UJI
COBA, REVISI, DAN
DESAIN FINALISASI
63
Keterangan bagan:
- Masukan adalah kondisi awal penelitian yang dimulai dengan studi awal yang
menghasilkan kajian pengembangan model pembelajaran kompetensi
interkultural.
- Proses adalah pelaksanaan penelitian yang berupa kajian tentang
pembelajaran kompetensi interkultural, perumusan model dengan teori yang
dipilih. Di dalam proses penelitian juga dikembangkan metode penelitian.
- Luaran adalah hasil penelitian berupa proses dan dalam bentuk produk.
- Garis panah ( ) menunjukkan arah berlangsungnya penelitian secara
urut.
- Garis lurus ( ) menunjukkan hubungan antar bagian dalam bagan yang
saling berkesinambungan.
- Garis panah dua arah berlawanan menunjukkan hubungan yang
saling memengaruhi antarbagian.