Upload
phamdien
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
KAJIAN TEORI
Konsep penelitian yang akan dibahas dalam kajian teori ini antara lain
tentang penanaman nilai, toleransi beragama, dan SMP (Sekolah Menegah
Pertama). Adapun penjelasan dari kajian teori tersebut sebagai berikut :
A. Tinjauan tentang Penanaman Nilai
1. Pengertian Penanaman Nilai
Manusia dalam kehidupan akan selalu berhubungan dengan nilai.
Misalnya yaitu ketika seseorang mengatakan orang lain baik atau buruk,
hal ini menandakan adanya suatu penilaian terhadap suatu objek, baik dan
buruk itu adalah contoh nilai. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu,
menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai
berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia.
Dalam bahasa Inggris, nilai diartikan sebagai value yaitu suatu
harga, penghargaan, atau taksiran. Maksudnya yaitu harga yang melekat
pada sesuatu atau penghargaan terhadap sesuatu. Bambang Daroeso
(Muchson AR, 2000: 16) mengemukakan bahwa nilai adalah suatu
kualitas atau penghargaan terhadap sesuatu, yang menjadi dasar penentu
tingkah laku seseorang.
Nilai sendiri memiliki arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau
berguna bagi kemanusiaan (W.J.S. Purwadarminta, 2002: 677). Nilai itu
15
praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga
secara obyektif di dalam masyarakat (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993:
110). Nilai adalah suatu perangkat keyakinan atau perasaan yang diyakini
sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola
pemikiran, perasaan, keterkaitan maupun perilaku. Oleh karena itu, sistem
nilai dapat merupakan standard umum yang diyakini, diserap dari keadaan
objektif maupun diangkat dari keyakinan, sentimen (perasaan umum)
maupun identitas yang diberikan atau diwahyukan oleh Allah SWT, yang
pada giliranya merupakan sentimen (perasaan umum), kejadian umum,
identitas umum yang oleh karenanya menjadi syariat umum (Abu Ahmadi
dan Noor Salimi, 2008: 202).
Menurut Sidi Gazalba yang dikutip Chabib Thoha (1996: 61)
mengartikan bahwa nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal,
nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan
salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang
dikehendaki dan tidak dikehendaki. Sedang Chabib Thoha sendiri nilai
merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang
telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia yang
meyakini). Jadi nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi
manusia sebagai acuan tingkah laku.
Dalam buku Lubis dan Zubaedi (2008: 17) Sidi Gazalba
mengungkapkan bahwa nilai adalah sesuatu yang abstrak dan ideal. Nilai
bukan benda konkret, bukan fakta yang tidak hanya sekedar penghayatan
16
yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, yang disenangi dan yang tidak
disenangi. Nilai itu terletak antara hubungan subjek penilai dengan objek”.
Milton dan James Bank menjelaskan bahwa nilai adalah suatu
kepercayaan seseorang yang harus bertindak atau menghindari suatu
tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan,
dimiliki dan dipercayai (Lubis dan Zubaedi, 2008: 16 ). Sedangkan sistem
nilai adalah ketentuan umum yang merupakan pendekatan kepada hakikat
filosofi dari tiga hal yaitu keyakinan, sentiment, dan identitas (Abu
Ahmadi dan Noor Salimi, 2008: 202). Dari beberapa pengertian tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak dan
melekat pada suatu objek. Dengan adanya nilai seseorang dapat
mengetahui tentang baik dan buruknya sesuatu.
Steeman (Sjarkawi, 2005: 29) berpendapat bahwa nilai adalah
yang memberikan makna hidup, yang memberi pada hidup ini titik tolak,
isi, dan tujuan. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang mewarnai
dan menjiwai tindakan seseorang. Nilai itu lebih dari sekedar keyakinan,
nilai selalu menyangkut tindakan. Nilai dapat dianggap keharusan, suatu
cita yang menjadi dasar bagi keputusan yang diambil seseorang. Nilai-nilai
itu merupakan bagian kenyataan yang tidak dapat dipisahkan atau
diabaikan. Setiap orang yang bertingkah laku sesuai dengan seperangkat
nilai, baik nilai yang sudah merupakan hasil pemikiran yang tertulis
maupun yang belum.
17
Ada beberapa ahli yang memberikan definisi berbeda-beda
mengenai istilah nilai, di antaranya yaitu Djahiri dan Wahab (1996: 22)
yang menyatakan bahwa nilai adalah “sesuatu yang berharga, baik
menurut standar logika (benar-salah), estetika (baik-buruk), etika (adil-
tidak adil), agama (dosa dan halal haram), dan hukum (sah-absah), serta
menjadi acuan dan atau sistem keyakinan diri maupun kehidupan”. Nilai-
nilai ada dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan baik dalam
keilmuan, maupun dalam Ipoleksosbudhankam. Selain itu, Frankel (1977:
6) menjelaskan bahwa nilai adalah suatu idea atau konsep tentang segala
sesuatu yang berharga dalam kehidupan manusia.
Sedangkan penanaman adalah proses (perbuatan, cara)
menanamkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991: 1002). Jadi yang
dimaksud dengan penanaman di sini adalah bagaimana usaha seseorang
atau seorang guru menanamkan suatu nilai kepada anak didiknya yang
dilandasi oleh pemahaman terhadap berbagai kondisi agama berbeda-beda.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
penanaman nilai adalah suatu proses menanamkan sesuatu yang berharga
yang melekat pada suatu objek. Salah satu contoh yang terkait dengan
penanaman nilai yaitu kegiatan ESQ yang merupakan kegiatan yang
memadukan antara prinsip Islam dan Alquran sebagai landasarn spritual
dengan psikoanalitik dan ilmu pengetahuan secara cerdas dan meyakinkan.
Menurut Ary Ginanjar (2008: 13) ESQ, kecerdasan spiritual adalah
kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku,
18
kegiatan, serta kemampuan menyinergikan IQ, EQ, dan SQ secara
komprehensif.
2. Macam-Macam Nilai
Noeng Muhadjir (Lubis dan Zubaedi, 2008: 18) beranggapan
bahwa nilai dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, yang akhirnya
menyebabkan terdapat bermacam-macam nilai, antara lain:
a. dilihat dari kemampuan jiwa manusia, nilai dapat dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu nilai yang statis seperti kognisi,
emosi, konasi, dan psikomotor. Kemudian nilai/kemampuan yang
dinamik, seperti motif, berafiliasi, dan motif berprestasi;
b. berdasarkan pendekatan budaya manusia, nilai hidup dapat dibagi
menjadi tujuh kategori yaitu nilai ilmu pengetahuan, nilai
ekonomi, nilai keindahan, nilai politik, nilai keagamaan, nilai
kekeluargaan, dan nilai kejasmanian;
c. nilai bisa dilihat dari sumbernya, terdapat 2 jenis yaitu nilai
Ilahiyah dan nilai insaniah. Nilai Ilahiyah adalah nilai yang
bersumber dari agama (wahyu Allah), sedangkan nilai insaniyah
adalah nilai yang dicitakan oleh manusia atas dasar criteria yang
diciptakan oleh manusia pula;
d. dilihat dari segi ruang lingkup dan keberlakuannya, nilai dapat
dibagi menjadi nilai-nilai universal dan nilai-nilai local. Tidak
semua nilai- nilai agama itu universal, demikian pula ada nilai-
nilai insaniyah yang bersifat universal. Dari segi keberlakuan
masanya, nilai dapat dibagi menjadi nilai-nilai abadi, nilai pasang
surut, dan nilai temporal;
e. ditinjau dari segi hakikatnya, nilai dapat dibagi menjadi nilai
hakiki (Root Values) dan nilai instrumental. Nilai-nilai yang
hakiki itu bersifat universal dan abadi, sedangkan nilai-nilai
instrumental dapat bersifat likal, pasang surut, temporal.
Kemudian Robert W. Rickey (Muchson AR, 2000: 19) membagi
nilai menjadi tujuh macam yaitu nilai intelektual, nilai personal dan fisik,
nilai kerja, nilai penyesuaian, nilai sosial, nilai keindahan dan nilai
rekreasi. Sementara itu Notonegoro membagi nilai menjadi tiga macam
yaitu nilai material, nilai vital, dan nilai kerohanian.
19
a. Nilai material adalah segala sesuatu yang berguna bagi
kehidupan jasmani manusia atau kebutuhan ragawi manusia.
b. Nilai vital adalah segala sesuatu yang berguna bagi manusia
untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerohanian adalah segala sesuatu yang berguna bagi rohani
manusia. Nilai kerohanian ini meliputi:
1) Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (cipta, budi, rasio)
manusia
2) Nilai keindahan atau nilai estetika yang bersumber pada
unsur perasaan manusia.
3) Nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur
kehendak (karsa) manusia.
4) Nilai religious (agama) yang merupakan nilai kerohanian
tertinggi dan mutlak bersumber pada kepercayaan atau
keyakinan manusia.
Berdasarkan klasifikasi di atas, kita dapat memberikan contoh
dalam kehidupan sehari-hari. Jika seorang siswa dapat menjawab suatu
pertanyaan, ia benar secara logika. Apabila ia keliru dalam menjawab
pertanyaan, kita katakan salah. Kita tidak bisa mengatakan siswa itu buruk
karena jawabanya salah. Buruk adalah nilai moral sehingga bukan pada
tempatnya kita mengatakan demikian. Contoh nilai estetika adalah apabila
kita melihat suatu pemandangan, menonton sebuah pentas pertunjukan,
atau merasakan makanan, nilai estetika bersifat subjektif pada diri yang
bersangkutan. Seseorang akan merasa senang dengan melihat sebuah
lukisan yang menurutnya sangat indah, tetapi orang lain mungkin tidak
suka dengan lukisan itu. Kita tidak bisa memaksakan bahwa lukisan itu
indah.
Nilai moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang
menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia. Moral selalu
berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai moral.
20
Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral
inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari.
Berdasarkan Pancasila nilai ada lima yaitu:
a. Nilai Ketuhanan: yang mengandung arti adanya pengakuan dan
keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pancipta alam
semesta;
b. Nilai Kemanusiaan: yang mengandung arti kesadaran sikap dan
perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama
atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu
hal sebagaimana mestinya;
c. Nilai Persatuan: yang mengandung makna usaha ke arah bersatu
dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. Nilai Kerakyatan: nilai yang mengandung makna suatu
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan
cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga
perwakilan;
e. Nilai Keadilan: yang mengandung makna sebagai dasar sekaligus
tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan
Makmur secara lahiriah ataupun batiniah;
Sedangkan menurut Abu Ahmadi dan Noor Salimi (2008: 203)
nilai dibagi menjadi dua yaitu:
a. Nilai Ilahi yaitu nilai yang bersumber pada Alquran dan sunnah;
b. Nilai yang mondial (duniawi) yang berupa ra’yu (pikiran), adat istiadat
dan kenyataan alam;
Bagi umat Islam sumber nilai yang tidak berasal dari Alquran
dan Sunnah hanya digunakan sepanjang tidak menyimpang atau yang
menunjang sistem nilai yang bersumber kepada Alquran dan Sunnah.
Dengan kata lain nilai yang tidak ada dalam Alquran dan Sunnah serta
tidak menyimpang maka akan digunakan, tetapi terlebih dahulu dalam
21
Islam nilai yang utama digunakan adalah nilai yang bersumber dari
Alquran dan Sunnah.
Di mata Wahib ada dua nilai dalam Islam: nilai yang kontekstual
dan nilai yang tetap. Nilai yang kontekstual memprasyaratkan ”kalau nilai-
nilai yang berlaku dalam masyarakat itu berkembang, seharusnyalah
hukum-hukum Islam itu berkembang.” Sedangkan, untuk nilai-nilai yang
tetap, Wahib menyebutnya dengan ”a well tested framework of values,”
berupa keadilan, persamaan dan toleransi (Sidiq Fatonah, 2012: 81 - 82).
3. Ciri-ciri Nilai
Selain memiliki tujuan dan fungsi, nilai juga memiliki ciri-ciri, di
antaranya yaitu:
a. Nilai itu berkaitan dengan subjek. Apabila tidak ada subjek yang
menilai maka tidak ada nilai juga.
b. Nilai tampil dalam suatu konteks yang praksis dan subjek ingin
membuat sesuatu.
c. Nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subyek pada sifat
yang dimiliki objek (Bertens, 2007: 141).
Sementara itu menurut Bambang Daroeso nilai memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai
yang bersifat abstrak tidak dapat diindra. Misalnya, orang yang
memiliki kejujuran;
22
b. Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-
cita, dan suatu keharusan sehingga nilai nemiliki sifat ideal (das
sollen);
c. Nilai berfungsi sebagai daya dorong/motivator dan manusia adalah
pendukung nilai. Misalnya, nilai ketakwaan. Adanya nilai ini
menjadikan semua orang terdorong untuk bisa mencapai derajat
ketakwaan (Herwan Priyanto, 2012: 1).
4. Strategi atau Metode Penanaman Nilai
Pendidikan nilai merupakan suatu metode yang dapat
disampaikan secara langsung atau tidak langsung. Metode langsung dapat
dimulai dengan penentuan perilaku yang dinilai baik sebagai upaya
indoktrinasi berbagai ajaran. Caranya dengan memusatkan perhatian
secara langsung pada ajaran dengan melalui mendiskusikan,
mengilustrasikan, menghafalkan, dan mengucapkannya. Metode tidak
langsung tidak dimulai dengan menentukan perilaku yang diinginkan
tetapi dengan menciptakan situasi yang memungkinkan perilaku yang baik
dapat dipraktikkan. Keseluruhan pengalaman di sekolah ini dimanfaatkan
untuk mengembangkan perilaku yang baik bagi anak didik (Darmiyati
Zuchdi, 2003: 4).
Menurut Kirschenbaum (1995: 7) pendidikan nilai yang
dilakukan tidak hanya menggunakan strategi tunggal saja, seperti melalui
indoktrinasi, melainkan harus dilakukan secara komprehensif. Strategi
tunggal dalam pendidikan nilai sudah tidak cocok lagi apalagi yang
23
bernuansa indoktrinasi. Pemberian teladan atau contoh juga kurang efektif
diterapkan, karena sulitnya menentukan siapa yang paling tepat untuk
dijadikan teladan.
Istilah komprehensif yang digunakan dalam pendidikan nilai
mencakup berbagai aspek di antarnya yaitu:
a. Pendidikan nilai harus komprehensif meliputi semua permasalahan
yang berkaitan dengan nilai, mulai dari pilihan nilai-nilai yang bersifat
pribadi sampai pertanyaan-pertanyaan mengenai etika secara umum.
b. Metode yang digunakan dalam pendidikan nilai juga harus
komprehensif. Termasuk di dalamnya inkulkasi (penanaman) nilai,
pemberian teladan, dan penyiapan generasi muda agar dapat mandiri
dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan moral
secara bertanggung jawab dan keterampilan-keterampilan hidup yang
lain. Generasi muda perlu memperoleh penanaman nilai-nilai
tradisional dari orang dewasa yang menaruh perhatian kepada mereka,
yaitu para anggota keluarga, guru, dan masyarakat. Mereka juga
memerlukan teladan dari orang dewasa mengenai integritas
kepribadian dan kebahagiaan hidup. Demikian juga mereka perlu
memperoleh kesempatan yang mendorong mereka memikirkan dirinya
dan mempelajari keterampilan-keterampilan untuk mengarahkan
kehidupan mereka sendiri.
c. Pendidikan nilai hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses
pendidikan, seperti di kelas, dalam kegiatan ekstrakurikuler, dalam
24
proses bimbingan dan penyuluhan, dalam upacara-upacara pemberian
penghargaan, dan dalam semua aspek kehidupan. Contoh-contoh
mengenai hal tersebut misalnya tercermin dalam kegiatan yang
dilakukan oleh siswa seperti belajar kelompok, penggunaan bahan-
bahan bacaan dan topik-topik tulisan mengenai kebaikan. Penggunaan
klarifikasi nilai dan dilema moral, pemberian teladan tidak merokok,
tidak korup, tidak munafik, dermawan, kejujuran, menyayangi sesama
mahluk ciptaan Tuhan, dan lain sebagainya.
d. Pendidikan nilai hendaknya terjadi melalui kehidupan dalam
masyarakat. Orang tua, lembaga keagamaan, aparat penegak hukum,
polisi, organisasi kemasyarakatan, semua perlu berpartisipasi dalam
pendidikan nilai. Konsistensi semua pihak dalam melaksanakan
pendidikan nilai mempengaruhi kualitas moral generasi muda
(Kirschenbaum, 1995: 9-10).
Dari uraian di atas menunjukan bahwa ada beberapa metode yang
dapat digunakan untuk menginternalisasikan nilai. Pendidikan nilai dapat
dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja. Dengan adanya pendidikan
nilai diharapkan generasi muda yang akan datang dapat berperilaku sesuai
dengan aturan masyarakat yang ada.
B. Tinjauan tentang Toleransi Antarumat Beragama di Indonesia
1. Pengertian Toleransi Antarumat Beragama
Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama
yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi
25
terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh
mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama,
di mana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan
keberadaan agama-agama lainnya atau suatu sikap atau perilaku manusia
yang tidak menyimpang dari aturan, seseorang menghargai atau
menghormati setiap tindakan yang orang lain lakukan.
Dalam ilmu biologi misalnya istilah toleransi dipakai untuk
membiarkan terus bertumbuhnya sebuah kelainan biologis di tubuh
seseorang, misalnya kutil. Kutil yang tumbuh di tubuh saya mestinya
dibinasakan, namun saya membiarkannya saja, toh tidak terlalu
mengganggu. Dengan demikian, keberadaan kutil itu sangat tergantung
dari kemauan dan kerelaan saya. Di bidang ilmu kedokteran istilah ini
dipergunakan untuk mengacu kepada bahan-bahan yang diizinkan guna
pengobatan. Misalnya, di dalam pengobatan kanker yang memakai
penyinaran, maka harus sungguh-sungguh diatur dalam batas-batas
toleransi agar pengobatan itu tidak berubah menjadi penyakit baru. Dalam
ilmu tumbuh-tumbuhan istilah ini dipakai untuk mengacu kepada
kemampuan suatu organisme menolak pengaruh suatu parasit virus atau
dari faktor-faktor lingkungan (Djohan Effendi, 2011: 81). Sedangkan
dalam bahasa Arab toleransi adalah tasamuh, menurut formulasi ini, yaitu
“keinginan untuk membiarkan dan sabar terhadap orang lain yang pikiran
dan cara hidupnya berbeda, tanpa merusak iman”. Seterusnya, “toleransi
juga berarti memberikan kebebasan terhadap orang dan kelompok lain
26
untuk beribadah, dan mengatur kehidupan mereka selama tidak
bertentangan dengan kondisi stabilitas masyarakat.” Definisi ini
menunjukkan pembatasan sikap toleransi: iman umat dan kestabilan
masyarakat (Djohan Effendi, 2011: 328).
Secara prinsipil, apa yang dikemukakan Djohan Effendi dan
Nurcholish Madjid, tak jauh berbeda dengan pandangan Abdurrahman
Wahid yang menekankan pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Inilah
menurutnya yang melahirkan toleransi. Sikap toleran tidak bergantung
pada tingginya tingkat pendidikan formal atau pun kepintaran pemikiran
secara alamiah, tetapi merupakan persoalan hati dan perilaku. Bahkan,
seringkali semangat ini terdapat justru pada mereka yang tidak pintar juga
tidak kaya, yang biasanya disebut ”orang-orang terbaik” (Mohammad
Takdir Ilahi, 2012: 99).
Toleransi merupakan sebuah keniscayaan untuk membendung
arus-arus intoleransi (Zuhairi Misrawi, 2008: xl). Toleransi sendiri berasal
dari bahasa latin, yaitu “tolerantia” yang berarti kelonggaran, kelembutan
hati, keringanan, dan kesabaran. Dengan kata lain, toleransi merupakan
suatu sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain agar
bebas menyampaikan pendapat kendatipun pendapat tersebut belum tentu
benar atau berbeda. Secara etimologis, istilah toleransi juga dikenal sangat
baik di dataran Eropa, terutama pada masa revolusi Perancis. Hal itu
terkait dengan slogan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang
menjadi inti revolusi di Perancis. Ketiga istilah tersebut mempunyai
27
kedekatan etimologis dengan istilah toleransi. Secara umum istilah
tersebut mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, suka rela, dan
kelembuatan. Bila ditarik dalam ruang sosiologis, toleransi dapat dipahami
sebagai sikap dan gagasan yang menggambarkan berbagai kemungkinan
(Moh. Yamin dan Vivi Aulia, 2011: 5).
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Abdul Halim (2008) dalam
arikel yang berjudul “Menggali Oase Toleransi”, menyatakan “Toleransi
berasal dari bahasa Latin, yaitu tolerantia, berarti kelonggaran,
kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran”. Secara umum, istilah ini
mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan kelembutan.
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) mengartikan toleransi sebagai sikap “saling menghormati,
saling menerima, dan saling menghargai di tengah keragaman budaya,
kebebasan berekspresi, dan karekter manusia”. Untuk itu, toleransi harus
didukung oleh cakrawala pengetahuan yang luas, bersikap terbuka, dialog,
kebebasan berfikir dan beragama. Singkatnya toleransi setara dengan
bersikap positif dan menghargai orang lain dalam rangka menggunakan
kebebasan asasi sebagai manusia.
Begitu pula dengan pendapat Djohan Effendi (2011: 33), di mana
ia berpendapat bahwa tidak ada pertentangan logis antara beriman dan
menjadi toleran. Justru sebaliknya, toleransi bersumber dari iman yang
benar dan seharusnya menjadi bagian identitas agama. Seringkali “orang-
orang sekuler” mempertentangkan keteguhan beriman dengan toleransi,
28
seolah tidak mungkin menjadi kesatuan: orang yang beriman pasti tidak
toleran dan sebaliknya orang yang toleran pasti tidak beriman. Sedangkan
terkait dengan militan Djohan berpendapat bahwa “toleransi militan”
adalah suatu pandangan bahwa perjuangan untuk mewujudkan toleransi
antaragama dan antariman bisa merupakan bagian dari pergumulan iman
sejati.
Menurut Soerjono Soekanto (2002: 518), toleransi adalah suatu
sikap yang merupakan perwujudan pemahaman diri terhadap sikap pihak
lain yang tidak disetujui. Sedangkan Gerald O’ Collins SJ dan Edward G.
Farrugia SJ (1996: 335) memberikan pengertian bahwa toleransi adalah
membiarkan dalam damai orang-orang yang mempunyai keyakinan dan
praktik hidup yang lain. Kemudian menurut Asyraf Abdul Wahab,
toleransi dalam konteks sosial-budaya merupakan keniscayaan. Pada
hakikatnya, setiap masyarakat yang plural membutuhkan kedamaian dan
perdamaian. Kedua hal tersebut adalah toleransi. Secara lebih tegas,
toleransi merupakan sikap moderat yang bisa menghubungkan ketegangan
antara pihak yang berbeda dalam paham dan kepentingan tertentu.
Toleransi menjadi pembangun tingkat kesadaran maha tinggi, bahwa
perbedaan paham dan kepentingan adalah sangat wajar dalam kehidupan
manusia. Siapapun harus menyadari bahwa toleransi bukanlah konstruksi
pemikiran kelompok manusia tertentu melainkan sebuah bangunan konsep
kodrati dari Tuhan Yang Maha Esa bahwa perbedaan dan keperbedaan
tidak bisa dihindari ataupun dijauhi akan tetapi menjadi bagian hidup
29
manusia dalam berbangsa dan itu harus dijadikan satu prinsip dasar dalam
menjalani kehidupan berbangsa, bukan kemudian mengingkari dengan
sedemikian rupa (Moh. Yamin dan Vivi Aulia, 2011: 7).
Toleransi dalam pengertianya mengizinkan (membiarkan)
seseorang (segolongan) atas dasar kerelaan dan kehendak seseorang
(segolongan) yang lebih kuat memang membutuhkan regulasi. Secara
harfiah, regulasi berarti pengaturan yang dalam penampakannya bisa
bersifat aturan dan atau undang-undang. Kegunaan regulasi adalah, agar
yang lemah (yang ditoleransi) dilindungi dan tidak tenggelam di dalam
kesewenangan yang menolerir. Kalau sikap toleran hanya didasarkan atas
kehendak dan kemauan seseorang (atau segolongan), maka bukan tidak
mungkin sewaktu-waktu kehendak dan kemauan itu ditarik kembali.
Dalam keadaan seperti ini, maka pihak yang ditolerir akan menjadi
korban. Dalam sejarah Eropa, sebagaimana secara singkat dikemukakan di
atas, dibutuhkan Undang-undang, seperti toleration Act, dan sebagainya.
Ukuran untuk menguji apakah nilai-nilai demokrasi benar-benar telah
diterapkan adalah apabila golongan yang dianggap lemah di dalam
masyarakat telah memperoleh hak-haknya (Djohan Effendi, 2011: 83).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa toleransi berarti
sikap lunak, membiarkan, dan memberi keleluasan kepada penganut
agama yang lain. Jadi toleransi beragama adalah suatu sikap untuk
bersabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan
30
agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama yang
lain.
Toleransi dalam beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas
menganut agama tertentu dan esok harinya menganut agama yang lain,
atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritual semua agama tanpa
adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi toleransi beragama harus
dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain
selain agama kita dengan segala bentuk sistem, dan tata cara
peribadatannya, serta memberikan kebebasan untuk menjalankan
keyakinan agamanya masing-masing.
Gagasan dasar yang dapat digunakan sebagai masukan untuk
menyusun metode pendidikan yang menyantuni multikulturalisme di
antaranya sebagai berikut:
Pertama, menjadikan program pendidikan apresiasi
multikulturalis-me/pluralisme sebagai kebijakan resmi oleh
institusi pendidikan dan institusi agama, untuk kemudian
diterjemahkan dan dijabarkan melalui prinsip-prinsip otonomi
pendidikan dan manajemen pendidikan berbasis kompetensi sesuai
dengan latar belakang, karakteristik, dan kebutuhan komunitas
lokal di daerah masing-masing;
Kedua, mengembangkan proses dan metode belajar-
mengajar yang memanfaatkan sebanyak mungkin potensi sosial
yang ada pada komunitas lokal setempat, untuk
menumbuhkembangkan social competence anak didik (secara
individual) dan social capital (secara kolektif), dengan tujuan
menciptakan dan memelihara harmoni dalam relasi social;
Ketiga, menyiapkan tenaga pendidik yang kompeten dalam
menerjemahkan muatan etika relasi sosial, dan berfungsi sebagai
role model yang nyata (living model) dalam menanamkan sikap
tepa slira (empathy) dan toleransi serta apresiasi yang inklusif pada
anak didik. Tenaga pendidik harus mampu memberi teladan
penegakan asas demokrasi yang mengakomodasi perbedaan, baik
31
dalam interaksi vertikal (antara guru dan murid) maupun interaksi
horizontal (murid dengan murid atau guru dengan guru);
Keempat, memodifikasi kurikulum agar lebih banyak berisi
muatan toleransi dan apresiasi terhadap budaya dan kelompok lain;
Kelima, mempopulerkan program-program pertukaran
budaya (cross-cultural exchange program), seperti program
SchoolsCombat Racism di Amerika Serikat misalnya, yang
memfasilitasi kontak, komunikasi, interaksi, dan kerja sama di
antara anak didik yang berasal dari kelompok etnis dan agama
yang berbeda-beda (Ahmad Syafii Maarif, 2012: 91)
Adapun macam-macam toleransi menurut Hardjana (1993: 115)
dibagi menjadi dua yaitu toleransi ajaran atau dogmatis dan toleransi
bukan ajaran atau toleransi praksis. Toleransi ajaran atau dogmatis adalah
toleransi di mana pemeluk agama tidak menonjolkan keunggulan ajaran
agamanya masing-masing. Sedangkan toleransi bukan ajaran atau praksis
adalah toleransi yang pemeluk agamanya akan membiarkan pemeluk
agama yang lain melaksanakan keyakinan mereka masing-masing.
Pemahaman demikian akan melahirkan konsep baru.
Sedangkan menurut Abdul Halim (2008) dalam artikelnya
membagi model toleransi menjadi dua macam, yaitu toleransi pasif dan
toleransi aktif. Toleransi pasif yaitu, sikap menerima perbedaan sebagai
sesuatu yang bersifat faktual. Kemudian toleransi aktif yaitu toleransi yang
melibatkan dirinya sendiri bergabung dengan yang lain di tengah
perbedaan dan keragaman.
David Little, toleransi itu ada dua macam, yaitu toleransi dalam
arti sempit dan toleransi dalam arti luas. Kalau Little sendiri mengambil
toleransi dalam arti yang luas yaitu toleransi dalam pengertian memihak
(Budhy Munnawar, 2011: 343). Kemudian Misrawi (2010: 3) mengutip
32
pendapat Rainer Forst dalam Tolerantion and Democracy (2007)
menyebutkan, ada dua cara pandang tentang toleransi, yaitu konsepsi yang
dilandasi pada otoritas negara ( permission conception) dan konsepsi yang
dilandasi pada kultur dan kehendak untuk membangun pengertian dan
penghormatan terhadap yang lain (respect conception). Dalam hal ini,
Forst lebih memilih konsepsi kedua, yaitu toleransi dalam kontek
demokrasi harus mampu membangun saling pengertian dan saling
menghargai ditengah keragaman suku, agama, ras, dan bahasa. Untuk
membangun toleransi sebagai nilai kebajikan setidaknya ada dua modal
yang dibutuhkan, yaitu: pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial
melalui percakapan dan pergaulan yang intensif. Kedua, membangun
kepercayaan di antara berbagai kelompok dan aliran.
Ditinjau dari kacamata sejarah, orang biasa membedakan antara
toleransi formal dan toleransi material. Toleransi formal berarti
membiarkan saja pandangan-pandangan dan praktik-praktik politik atau
agama yang tidak sesuai dengan pandangan kita sejauh itu tidak
mengganggu. Sementara toleransi material bermakna suatu pengakuan
terhadap nilai-nilai positif yang mungkin terkandung dalam pemahaman
yang berbeda itu. Agama misalnya, selama ia hanya memasuki seluruh
relung kehidupan dan solidaritas dengan kelompok yang ambil bagian
berisikan ritual saja, maka kita ketemu di sini dengan toleransi formal
dalam berhadapan dengan agama-agama lain. Dalam hal ini sering agama-
agama yang bersifat politeistis lebih supel, ketimbang agama-agama
33
monoteistis yang sangat eksklusif. Dalam agama-agama yang lebih tinggi
kita melihat adanya pergeseran-pergeseran: agama-agama universal, yang
tidak terikat kepada masyarakat tertentu (Buddhisme, Kekristenan, Islam,
etc). Sebaliknya, yang disebut agama-agama profetis, disebabkan oleh
pretensinya yang mutlak, menjadi tidak toleran. Contoh mengenai hal ini
bisa dilihat di dalam kitab Perjanjian Lama. Yang disebut agama-agama
mistik justru memper lihat kan toleransi yang tinggi. Di situ diakui adanya
berbagai jalan untuk tiba pada kesatuan dengan yang ilahi (Djohan
Effendi, 2011: 81).
Dengan adanya pandangan mengenai toleransi, Richard H. Dees
(1999) memberikan resep yang sejauh ini merupakan cara terbaik untuk
mengkukuhkan toleransi, khususnya dalam masyarakat plural. Menurut
Dees, masalah utama toleransi selama ini karena toleransi dipahami
sebagai modus vivendi, yaitu kesepakatan bersama yang dituangkan dalam
persetujuan hitam diatas putih. Toleransi pada level ini, menurut Dees,
mempunyai kelemahan yang bisa bertentangan dengan spirit toleransi
karena rentan terjebak dalam kepentingan kelompok tertentu, terutama bila
pihak mayorutas menjadikan otoritasnya untuk menentukan arah dan
acuan dari kesepakatan toleransi. Toleransi pada model ini bisa menjadi
jalan tol bagi munculnya tindakan intoleran karena toleransi yang
dibangun hanya di permukaan, yang biasa dikenal dengan toleransi politis
(Zuhairi Misrawi, 2010: 5).
2. Tujuan Toleransi
34
Pendidikan adalah proses pencerahan dan pencerdasan kehidupan
manusia, sehingga harus mampu mengarahkan manusia untuk berfikir dan
bertindak jernih, bukan mengikuti libido sektoral. Diakui maupun tidak,
inilah yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. Hal tersebut sama
halnya dengan pentingnya pelaksanaan pendidikan toleransi yang
bertujuan membuka pandangan sempit dan kerdil setiap orang. Muara
akhirnya adalah agar setiap orang atau kelompok masyarakat bisa lebih
komunikatif dalam berinteraksi. Kita sangat tidak menghendaki sebuah
kegagalan komunikasi sosial karena sebuah kesalahpahaman semata
diantara sesama (Moh. Yamin dan Vivi Aulia, 2011: 28)
Adapun pandangan dari Djohan Effensi (2011: 34) bahwa belajar
dari pengalaman perjuangan toleransi yang panjang tujuanya adalah pada
level doktrinal kita sama-sama tumbuh dan, pada level praktis kita sama-
sama bersatu mengatasi problem-problem kehidupan, seperti bencana
alam, perang, kebodohan, kemiskinan, pengangguran, dengan membangun
kerjasama sosial mengonsentrasikan sumber daya yang ada, waktu,
keterampilan, dan ilmu agar masalah yang dihadapi dapat lebih efektif
diatasi bersama. Hal ini, akan lebih mungkin berhasil dicapai kalau
dilakukan bersama-sama dari pada sendiri-sendiri.
Sedangkan Wacana kebebasan beragama dan berkeyakinan
sesungguhnya dapat menumbuhkan semangat toleransi terhadap agama
lain yang berbeda. Melalui toleransi, diharapkan terjalin hubungan yang
harmonis antarumat beragama, dengan terciptanya sikap saling memahami
35
dan menerima setiap perbedaan. Lebih dari itu, penerimaan terhadap
keberadaan agama lain adalah suatu upaya rekonstruksi semangat
keberagamaan yang seimbang dan konsisten di tengah kemajemukan
bangsa (Mohammad Takdir Ilahi, 2012: 97).
3. Bentuk-bentuk Toleransi Umat Beragama
Toleransi dalam suatu kehidupan akan melahirkan suatu karya-
karya besar yang bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Sebaliknya, apabila terjadi suatu pertikaian atau konflik maka akan
menimbulkan suatu kerusakan di bumi. Manusia sebagai makhluk sosial
akan selalu membutuhkan keberadaan orang lain dan hal ini akan
terpenuhi jika nilai-nilai toleransi tumbuh dan berkembang dikalangan
masyarakat.
Toleransi umat beragama merupakan suatu kebutuhan sosial,
dimana satu sama lain saling membutuhkan dengan tujuan agar terpenuhi
kebutuhan hidupnya dalam bermasyarakat. Salah satu contoh ajaran
mengenai toleransi umat beragama yaitu, dalam ajaran Islam seorang
muslim tidak diperbolehkan mencaci maki orang tua. Artinya, jika
seseorang mencaci maki orang tua saudaranya, maka orang tuanya pun
akan dibalas oleh saudaranya untuk dicaci maki. Demikian pula mencaci
maki Tuhan atau peribadatan agama lain, maka akibatnya pemeluk agama
lain pun akan mecaci maki Tuhan kita. Sejalan dengan hal tersebut, maka
sesama umat umat manusia dan sesama agama diwajibkan untuk saling
menghargai dan saling menghormati.
36
Indonesia yang merupakan salah satu negara yang multikultural
terbesar di dunia ini yang memiliki kurang lebih 13.000 pulau besar dan
kecil, dan jumlah penduduk kurang lebih 200 juta jiwa, terdiri dari 300
suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Kebenaran hal
tersebut dapat dilihat dari sosio kultur maupun geografis yang begitu
beragam dan luas. Selain itu juga masyarakat Indonesia menganut agama
dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katholik, Kristen protestan,
Hindu, Budha, Konghucu, dan kepercayaan yang lainnya. Wacana
pendidikan multikultural adalah salah satu isu yang mencuat ke permukan
di era globalisasi seperti saat ini. Pendidikan sebagai ruang tranformasi
budaya hendaknya selalu mengedepankan wawasan multikultural, bukan
monokultural. Untuk memperbaiki kekurangan dan kegagalan, serta
membongkar praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan
(Enndha).
Berdasarkan konteks pendidikan, semua persoalan dalam
masyarakat akan bisa diperbaiki melalui proses pendidikan. Artinya
kegagalan masyarakat adalah kegagalan pendidikan dan sebaliknya.
Dengan demikian, dalam mengatasi segala problematika masyarakat
sebaiknya dimulai dari penataan secara sistemik dan metodologis dalam
pendidikan. Salah satu komponen dalam pembelajaran adalah Proses
belajar mengajar (pembelajaran). Untuk memperbaiki realitas masyarakat,
perlu dimulai dari proses pembelajaran. Multikultural bisa dibentuk
melalui proses pembelajaran, dengan menggunakan pembelajaran berbasis
37
multicultural, yaitu proses pembelajaran yang lebih mengarah pada upaya
menghargai perbedaan diantara sesama manusia sehingga terwujud
ketenangan dan ketentraman tatanan kehidupan masyarakat.
Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran
multikultural diantaranya yaitu:
a. Asumsi terhadap siswa, Siswa merupakan input utama dalam
pembelajaran. Siswa merupakan elemen yang memiliki potensi yang
bisa mengarah pada realitas negatif maupun realitas positif.
Pembelajaran mengarahkan siswa kearah terwujudnya atau
terbentuknya realitas sikap dan perilaku siswa yang positif. Dalam
konteks ini, maka proses pembelajaran harus mampu menjawab,
memberikan dan menyelesaikan problematika siswa. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, dinyatakan bahwa dalam
pendidikan harus ada standar proses, yaitu proses pembelajaran yang
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan
kemandirian sesuai dengan minat, bakat dan perkembangan fisik serta
psikologis anak. Apabila pembelajaran justru melahirkan situasi dan
kondisi dimana siswa tidak mampu melakukan ekpresi secara bebas,
maka multikultural tidak akan dapat dicapai.
b. Asumsi terhadap pembelajaran. Ibarat sebuah pabrik, pembelajaran
adalah proses mencetak sesuatu barang menjadi barang cetakan.
38
Pembelajaran merupakan proses berinteraksinya seluruh elemen dalam
pembelajaran, seperti, siswa, tujuan, materi, metode, guru, sarana,
lingkungan. Seluruh elemen ini diramu, dikelola guru agar mampu
mewujudkan kualitas siswa sesuai dengan harapan. Pembelajaran
berarti mengoptimalisasikan seluruh elemen atau faktor dengan cara
yang sesuaid engan kapasitas siswa. Banyak anak-anak tidak suka
terhadap materi pelajaran tertentu, bukan disebabkan karena sulitnya
materi pelajaran tersebut, tetapi lebih pada faktor siswa yang pernah
memiliki pengalaman pahit di masa lalu terhadap pelajaran tersebut.
Oleh karena itu, jika pembelajaran tidak dikemas dengan suasana yang
menyenangkan maka, tidak akan dapat melahirkan pembelajaran
multikultural.
c. Asumsi terhadap guru. Guru diakui atau tidak memiliki peluang sangat
besar dalam mewujudkan kualitas pembelajaran. Meskipun demikian,
guru tidak bisa bersikap dan berperilaku sembarangan. Guru tidak
diperbolehkan memiliki anggapan bahwa dirinya merupakan satu-
satunya orang yang paling pinter, siswa adalah anak yang tidak
mengetahui apa-apa (bodoh). Apa yang dikatakan guru pasti benar dan
tidak boleh dibantah. Guru ibarat raja kecil didalam kelas yang harus
ditiru segala ucapan dan tindakannya. Jika asumsi demikian yang ada
dalam diri guru maka pembelajaran multikultural tidak pernah ada.
Guru adalah sebagai fasilitator, motivator, dinamisator dan mediator
segala elemen dalam pembelajaranan memiliki tugas dan kewenangan
39
memberi falisitas, memotivasi, memediasi segala faktor agar siswa
memiliki kesempatan yang baik dalam melakukan proses pembelajaran
(Enndha).
C. Tinjauan tentang SMP (Sekolah Menengah Pertama)
1. Pengertian SMP
Sekolah menengah pertama (disingkat SMP, Bahasa Inggris:
junior high school) adalah jenjang pendidikan dasar pada pendidikan
formal di Indonesia setelah lulus sekolah dasar (atau sederajat).
Sekolah menengah pertama ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari
kelas 7 sampai kelas 9. Pada tahun ajaran 1994/ 1995 hingga 2003/
2004, sekolah ini pernah disebut sekolah lanjutan tingkat pertama
(SLTP). Siswa kelas 9 diwajibkan mengikuti Ujian Nasional yang
mempengaruhi lulus atau tidaknya siswa. Lulusan sekolah menengah
pertama dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan lebih tinggi, yaitu
pendidikan sekolah menengah atas (SMA) atau sekolah menengah
kejuruan (SMK) atau yang sederajat. Pelajar sekolah menengah
pertama umumnya berusia 13-15 tahun.
Sekolah Menengah Pertama (SMP) termasuk wajib belajar
bagi setiap warga Negara yang berusia 7-15 tahun di Indonesia. Wajib
belajar 9 tahun meliputi pendidikan dasar, yakni sekolah dasar (atau
sederajat) 6 tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) 3
tahun.
40
Sekolah Menengah Pertama ( SMP) diselenggarakan oleh
pemerintah maupun swasta. Pengelolaan sekolah menengah pertama
negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen
Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah
kabupaten/kota sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun
2001. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan
sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara
struktural, sekolah menengah pertama negeri merupakan unit
pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten (Wikipedia Ensiklopedia.
http://id. wikipedia. org/wiki/ Sekolah_dasar. Diakses tanggal 1 Juni
2012).
Definisi pendidikan dasar disederhanakan berdasarkan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yaitu:
a. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi
jenjang pendidikan menengah.
b. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah
ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah
menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau
bentuk lain yang sederajat.
2. Karakteristik Siswa SMP
Masa remaja menurut Kanopka (Syamsu Yusuf, 2009: 9)
menyatakan bahwa masa remaja adalah segmen kehidupan yang
penting dalam siklus perkembangan siswa dan merupakan masa
41
transisi (dari masa anak-anak ke masa dewasa) yang diarahkan kepada
perkembangan masa dewasa yang sehat. Secara jelas Kanopka
(Syamsu Yusuf, 2009: 10) membagi masa remaja meliputi:
a. Remaja awal (12-15 tahun)
b. Remaja madya (15-18 tahun)
c. Remaja akhir (19-22)
Berdasarkan konsep perkembangan tersebut, maka dapat dilihat
bahwa siswa SMP berada pada usia remaja awal, yakni secara
kronologis individu yang memasuki masa reaja awal berkisar 12-15
tahun. Pada masa ini individu akan mulai merasakan berbagai
perubahan dalam dirinya baik dalam aspek psikis, sosial, mental,
maupun intelektual.
Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju
dewasa, di mana kegiatanya dipengaruhi oleh faktor emosi. Pada masa
ini remaja akan menghadapi berbagai macam permasalahan yang
semakin kompleks, maka emosi yang baik pada masa remaja akan
sangat berpengaruh terhadap proses pemecahan masalah yang baik
pula.
Karakteristik siswa SMP menurut Ali (2005: 16-18) sebagai
berikut:
a. Kegelisahan
Sesuai dengan fase perkembanganya remaja memiliki
banyak idealisme atau keinginan yang hendak diwujudkan dimasa
42
depan. Namun sesungguhnya remaja belum memiliki kemampuan
yang memadai untuk mewujudkan semua itu, seringkali angan-
angan dan keinginanya jauh lebih besar dibandingkan
kemampuanya.
b. Pertentangan
Sebagai individu yang sedang mencari jati diri, remaja
berada pada situasi psikologis antara ingin melepaskan diri dari
orang tua dan perasaan yang belum mampu untuk mandiri. Oleh
karena itu, pada umumnya remaja seringkali mengalami
kebingungan karena sering terjadi pertentangan pendapat antara
mereka dengan orang tua. Pertentangan yang sering terjadi itu
menimbulkan keinginan untuk melepaskan diri dari orang tua
kemudian ditentangkan sendiri karena didalam diri remaja ada
keinginan untuk memperoleh rasa aman. Remaja sesungguhnya
belum begitu berani mengambil resiko dari tindakan meninggalkan
lingkungan keluarganya yang jelas aman bagi dirinya.
c. Menghayal
Keinginan untuk menjelajah dan berpetualang namun
tidak semuanya tersalurkan. Biasanya hambatanya dari segi
keuangan atau biaya. Sebab, menjelajah lingkungan yang lebih luas
membutuhkan biaya yang banyak, padahal kebanyakan remaja
hanya memperoleh uang dari pemberian orang tuanya. Akibatnya
mereka lalu mengkhayal, mencari kepuasan, bahkan menyalurkan
43
khayalanya melalui dunia fantasi. Khayalan remaja putra biasanya
berkisar soal prestasi dan jenjang karir. Sedang remaja putri lebih
mengkhayalkan romantika kehidupan. Khayalan ini tidak
selamanya negatif, karena khayalan ini kadang-kadang
menghasilkan sesuatu yang bersifat konstruktif, misalnya timbul
ide-ide tertentu yang dapat direalisasikan.
d. Aktivasi berkelompok
Berbagai macam keinginan remaja seringkali tidak dapat
terpenuhi karena bermacam-macam kendala. Adanya larangan dari
orang tua seringkali melemahkan atau bahkan mematahkan
semangat remaja. Kebanyakan remaja akan menemukan jalan
keluar setelah berkumpul dengan rekan sebayanya. Mereka akan
melakukan kegiatan secara berkelompok, sehingga berbagai
kendala dapat diatasi secara bersama-sama.
e. Keinginan mencoba segala sesuatu
Pada umumnya remaja memiliki rasa ingin tahu yang
cukup tinggi. Hal ini dikarenakan remaja yang ingin berpetualang
menjelajah segala sesuatu dan mencoba hal-hal yang belum pernah
dialaminya.
Selain karakteristik tersebut, siswa SMP sebagai remaja juga
dipengaruhi oleh dimensi perkembangan remaja sebagai berikut :
44
a. Dimensi Biologis/Fisik
Dalam dimensi ini, jika terjadi perubahan bentuk fisik
tubuh yang semakin tumbuh dan berkembang baik bagi remaja
putri maupun putera yang disebut sebagai masa pubertas. Selain itu
terjadi kematangan sistem reproduksi ditandai dengan perubahan
suara pada laki – laki, menstruasi pada wanita.
b. Dimensi Kognitif
Dalam pandangan Jean Piaget dalam Makmum (2000),
perkembangan kognitif remaja merupakan “periode terakhir dan
tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of
formal operational)”. Pada periode ini idealnya para remaja susah
memiliki pola piker sendiri dalam usaha memecahkan masalah –
masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir remaja
berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah
dapat membayangkan banyak alternative pemecahan masalah
beserta kemungkinan akibat atau hasilnya.
c. Dimensi moral
Masa remaja adalah periode dimana sesorang mulai
bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di
lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri
mereka. Turiel (1978) menyatakan bahwa “remaja mulai membuat
penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah – masalah popular
45
yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya : politik,
kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb”.
d. Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada
masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat.
Hasil penelitian di Chicago oleh Csikszentmihalyi dan Larson
(1984) menemukan bahwa remaja rata – rata memerlukan waktu
hanya 4 menit untuk merubah dari mood :senang luar
biasa”ke”sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan
beberapa jam untuk hal yang sama.
e. Dimensi Emosional
Akibat langsung dari perubahan fisik dan hormonal
adalah perubahan dalam aspek emosionalitas pada remaja sebagai
akibat dari perubahan fisik dan hormonal, dan juga pengaruh
lingkungan yang terkait dengan perubahan badaniah tersebut.
Keterbatasannya secara kognitif mengolah perubahan – perubahan
baru tersebut dapat membawa pengaruh besar dalam fluktuasi
emosinya. Dikombinasikan dengan pengaruh – pengaruh sosial
yang juga senantiasa berubah, seperti tekanan dari teman sebaya,
media masa, dan minat pada jenis kelamin lain. Remaja menjadi
lebih terorientasi secara seksual.
f. Dimensi Bahasa
46
Karakteristik perkembangan bahasa remaja telah
mencapai kompetensi lengkap. Pada usia ini diharapkan individu
telah mempelajari semua sarana bahasa dan ketrampilan –
ketrampilan perfomansi untuk memahami dan menghasilkan
bahasa tertentu dengan baik.
Perilaku dan sikap siswa SMP dipengaruhi oleh perubahan
masa puber, perubahan itu diantaranya adalah emosi yang meninggi
yang ditunjukan dengan sikap kemurungan, merajuk, ledakan amarah,
dan kecenderungan menangis karena hasutan yang sangat kecil
merupakan ciri-ciri bagian dari masa puber. Pada masa ini anak
cenderung merasa khawatir, gelisah dan cepat marah (Hurlock, 1997:
192).
Adapun karakteristik siswa menurut Nurihsan (2005: 1-2)
tugas-tugas perkembangan siswa adalah sebagai berikut:
a. Mencapai perkembangan diri sebagai remaja yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Mempersiapkan diri, menerima dan bersikap positif serta dinamis
terhadap perubahan fisik dan psikis yang terjadi pada diri untuk
kehidupan yang sehat.
c. Mencapai pola hubungan yang baik dengan teman sebaya dalam
peranannya sebagai pria dan wanita.
d. Memantabkan nilai dan cara bertingkahlaku yang dapat diterima
dalam kehidupan sosial yang lebih luas
47
e. Mengenal kemampuan bakat, minat dan arah kecenderungan karir
dan apresiasi seni.
f. Mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan
kebutuhannya untuk mengikuti dan melanjutkan pelajaran dan atau
mempersiapkan karir serta berperan dalam masyarakat.
g. Mengenal gambaran dan mengembangkan sikap tentang hidup
mandiri secara emosional, sosial, dan ekonomi.
h. Mengenal sistem etika dan nilai–nilai bagi pedoman hidup sebagai
pribadi, anggota masyarakat dan minat manusia.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa Sekolah
Menengah Pertama (SMP) adalah remaja yang masih dipengaruhi oleh
faktor emosi. Dalam masa – masa ini siswa SMP akan menghadapi
bebagai macam permasalahan yang sifatnya kompleks, baik itu secara
biologis, psikologis maupun emosional.