32
16 BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik Sosio-teologis) 2.1 Pengantar Sebelum membahas tentang konsep/ajaran tentang keselamatan dari sudut pandang teoritis, terlebih dahulu penulis akan memaparkan sumber yang melahirkan ajaran tersebut. Sumber yang dimaksud adalah agama. Oleh karenanya agama dapat dikatakan sebagai pondasi bagi berdiri/lahirnya berbagai macam ajaran-ajaran yang diyakini dalam sistem kepercayaan tersebut. Dalam pemaparan ini, penulis akan menggunakan pengertian agama dari sudut pandang sosiologis yang akrab dengan pendekatan fungsionalnya. Lewat sudut pandang ini, kiranya dapat mengantarkan penulis dalam melihat agama sebagai sebuah fenomena sosial yang mampu mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia yang menganutnya. Sudut pandang sosiologis juga memandang masyarakat sebagai suatu lembaga sosial yang membentuk kegiatan manusia berdasarkan norma- norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta manusia itu sendiri. 1 Oleh karenanya (sosiologis), agama tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang berasal dari ‘luar’ tetapi dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis, tampaknya pemikiran Emile Durkheim tidak terlepas dalam konteks ini. Konsep Durkheim tentang agama, juga tidak terlepas dari argumentasinya tentang agama sebagai bagian dari 1 Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama. Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali, 1987), 3.

BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

16

BAB II

KONSEP KESELAMATAN

(Sebuah Kajian Teoritik Sosio-teologis)

2.1 Pengantar

Sebelum membahas tentang konsep/ajaran tentang keselamatan dari sudut

pandang teoritis, terlebih dahulu penulis akan memaparkan sumber yang

melahirkan ajaran tersebut. Sumber yang dimaksud adalah agama. Oleh karenanya

agama dapat dikatakan sebagai pondasi bagi berdiri/lahirnya berbagai macam

ajaran-ajaran yang diyakini dalam sistem kepercayaan tersebut. Dalam pemaparan

ini, penulis akan menggunakan pengertian agama dari sudut pandang sosiologis

yang akrab dengan pendekatan fungsionalnya. Lewat sudut pandang ini, kiranya

dapat mengantarkan penulis dalam melihat agama sebagai sebuah fenomena sosial

yang mampu mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia yang

menganutnya. Sudut pandang sosiologis juga memandang masyarakat sebagai

suatu lembaga sosial yang membentuk kegiatan manusia berdasarkan norma-

norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta manusia

itu sendiri.1 Oleh karenanya (sosiologis), agama tidak lagi dipandang sebagai

sesuatu yang berasal dari ‘luar’ tetapi dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari

manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat.

Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis, tampaknya pemikiran

Emile Durkheim tidak terlepas dalam konteks ini. Konsep Durkheim tentang

agama, juga tidak terlepas dari argumentasinya tentang agama sebagai bagian dari

1 Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama. Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali, 1987), 3.

Page 2: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

17

fakta sosial.2 Pemikiran-pemikiran Durkheim dalam bidang agama banyak dimuat

dan dipublikasikan terutama dalam buku The Elementary Form of Religion Life.

Durkheim, berbeda dengan peneliti lain yang hidup pada masanya yang lebih

disibukan dengan ide konvensional bahwa agama merupakan kepercayaan kepada

kekuatan super-natural seperti Tuhan atau dewa-dewi, namun Durkheim lebih

melihat agama sebagai ekspresi dari masyarakat yang bersatu.

Untuk mengeksplorasi agama, Durkheim memilih agama primitif sebagai

subjek penelitiannya. Pilihan itu jatuh pada suku Arunta di Australia. Dalam

penelitian ini, Durkheim memusatkan perhatiannya pada totem3 yang mana

menurutnya totem merupakan bentuk sederhana dari agama karena masyarakat

Arunta tidak bisa ada tanpa adanya totem. Setiap anggota klan/marga terikat satu

sama lain bukan karena hubungan darah dan kesamaan tempat tinggal melainkan

keterikatan tersebut muncul karena memiliki nama dan lambang totem yang

sama.4 Hal ini terlihat dalam hubungan ibu dan anak yang memiliki totem berbeda

kemudian mereka harus berpisah dan bersatu dengan klan yang totemnya sama

dengan mereka.5 Oleh karena itu, keberadaan totem merupakan simbol atau tanda

persatuan/persaudaraan yang pada saat-saat tertentu melampaui persaudaraan

karena hubungan darah (hubungan biologis).

2 Dalam pemikiran Durkheim, masyarakat adalah fakta sosial sedangkan agama merupakan

ekspresi atau representasi dari masyarakat kolektif. Bernard Raho, Agama dalam Perspektif

Sosiologi, (Jakarta: Obor, 2013), 38. 3 Istilah totem berasal kata ototeman yang berarti persaudaraan. Kata tersebut merupakan

bahasa dari suku Ojibwa (suku Algonkin dari Amerika Utara) yang kemudian ditulis secara

beragam totem, tatam, dodain. Totemisme merupakan fenomena yang menunjuk kepada hubungan

organisasioanal khusus antara suatu suku bangsa atau klan dengan spesies tertentu dalam suatu

wilayah binatang atau tumbuhan. Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi (Menurut Emile

Durkheim dan Henri Bergson), (Kanisius: 1994), 50. Bnd. Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi

Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 74. 4 Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (Sejarah Bentuk-bentuk Agama

Paling Mendasar), (Jogjakarta:IRCISoD, 2011), 252. 5 Ibid, 368-369.

Page 3: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

18

Selanjutnya, pandangan Durkheim terpusat pada klaimnya bahwa agama

adalah sesuatu yang benar-benar bersifat sosial. Menurut Durkheim, fungsi sosial

agama tersebut ditemukannya melalui observasi terhadap bentuk-bentuk

kepercayaan yang paling awal yaitu ”totemisme”. Totem dalam pandangan

Durkheim merupakan sumber kehidupan moral sebuah klan/marga. Segala

sesuatu yang bernaung di bawah prinsip totemik yang sama, menganggap dirinya

terikat satu sama lain secara moral dan berkewajiban untuk saling tolong-

menolong satu sama lain dan inilah yang membentuk pertalian darah. Oleh

karena-nya, prinsip dasar totemik adalah kekuatan fisikal dan sekaligus kekuatan

moral.6 Selain sebagai sumber kehidupan moral, keberadaan totem juga

merupakan tanda atau simbol dari tuhan dan kelompok (masyarakat7). Oleh

karena-nya, tuhan dalam konteks masyarakat totemisme adalah masyarakat itu

sendiri.8

Dalam kepercayaan totemik terdapat ide-ide sosial dan keagamaan hanya

hidup dalam kesadaran individu dan ide-ide tersebut perlu ditegaskan kembali

melalui berbagai ritual agama agar kehidupan sosial terus berlanjut. Peristiwa-

peristiwa ritual yang dicermati oleh Durkheim, bukan sebagai peristiwa yang

melahirkan ide-ide tentang ‘yang sakral’, tetapi sebagai suatu cara untuk

mengukuhkan kembali fakta sosial dan khususnya ide-ide tentang klan yang telah

ada sebelumnya serta semua simbol-simbol yang menyertainya. Keberadaan

totemisme dalam masyarakat Australia mengantarkan Durkheim pada sebuah

pandangan bahwa agama secara khas merupakan persoalan kolektif dari

6 Ibid, 283 dan 305. 7 Masyarakat menurut Durkheim sebagai sebagai fakta sosial yang merupakan istilah dari

aliran fungsional-struktural. Lih, dalam catatan kaki, Ibid, 305 8 Ibid.

Page 4: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

19

masyarakat yang mempunyai keprihatian yang sama dan keprihatinan itu tertuju

pada totem yang merupakan simbol kesatuan dengan klan mereka.

Penelitian Durkheim pada totemisme bermuara pada pandangannya tentang

agama bahwa: “Agama merupakan kesatuan sistem kepercayaan dan praktek-

praktek yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral, yaitu hal-hal yang dipisahkan

dan terlarang; kepercayaan dan praktek-praktek itu disatukan dalam komunitas

moral tunggal yang disebut Gereja.”9

Ada dua hal yang penulis anggap sebagai hal yang menarik untuk dilihat

terkait dengan pengertian yang dikemukakan Durkheim yaitu pertama;

kepercayaan dan praktek-praktek sakral. Kepercayaan dan praktek-praktek

merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam setiap agama primitif. Kedua hal

tersebut merupakan kenyataan yang terdapat dalam agama dan tidak dapat

dipisahkan satu sama lain, dalam arti bahwa ketika ada kepercayaan terhadap

sesuatu yang dianggap ilahi maka pada saat yang bersamaan pula terdapat

praktek-praktek keagamaan untuk mengakui yang ilahi itu. Kemudian yang kedua

adalah komunitas moral yang disebut Gereja. Hal ini mengisyaratkan bahwa

agama tidak dapat terpisah dari kehidupan kemasyarakatan. Agama juga

membangkitkan perasaan satu komunitas dalam satu kelompok. Dengan kata lain

agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti yang terwujud

dalam ritus-ritus keagamaan. Kesadaran kolektif tersebut tidak selamanya selalu

solid namun lambat laun juga semakin lemah. Oleh kerena itu masyarakat

beragama selalu mengadakan ritus-ritus tersebut secara berkesinambungan secara

periodik sehingga rasa kesatuan dan kebersamaan itu selalu ada dalam kehidupan

9 Ibid, 80. Bnd. Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, (Oxford

University Press, 2001), 62.

Page 5: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

20

bermasyarakat.10 Oleh karenanya, Durkheim menganggap bahwa ritus merupakan

sarana yang mana kelompok masyarakat secara periodik mengukuhkan kembali

dirinya.11

Dari pandangan Durkheim ini, dapat diketahui bahwa ritual-ritual keagamaan

tidak lain adalah merupakan cara yang paling mendasar untuk mengekspresikan

dan menguatkan kembali sentimen (rasa) dan solidaritas kelompok. Jadi seluruh

pandangan Durkheim tentang agama terpusat pada klaimnya bahwa agama adalah

sesuatu yang amat bersifat sosial, dalam arti bahwa dalam setiap kebudayaan,

agama adalah bagian yang paling berharga dari seluruh kehidupan sosial. Ia

melayani masyarakat dengan menyediakan ide, ritual dan perasaan-perasaan yang

akan menuntun seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

Selain penjelasan tentang agama di atas, dari segi lahir atau munculnya,

agama dapat dibedakan menjadi dua jenis agama yaitu agama antroposentrik dan

agama theosentrik12. Agama antroposentrik maupun agama theosentrik

mempunyai perhatian yang utama yaitu perhatian yang bersifat kosmologis dan

seteriologis13. Perhatian yang bersifat kosmologis akan mempunyai perhatian

yang besar terhadap dunia dan hal-hal lain dari kosmos. Perhatian kosmologis

memberikan penekanan pada aspek keyakinan religiusnya dan mencoba

memahami karakter fundamental alam semesta yang diresapi lewat ritus-ritus.

Kemudian, perhatian agama yang bersifat seteriologis menggambarkan manusia

yang berada dalam situasi yang berbahaya dan terkutuk dalam kehancuran yang

10 Bernard Raho, Agama..., 38 11 Durkheim, dalam Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama..., 23. 12 Suhardi. Ritual Pencarian Jalan Keselamatan Tataran Agama Dan Masyarakat Perspektif

Antropologi, (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Antropologi Pada Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gajah Mada, 2009), 6-11. 13 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi..., 293-294.

Page 6: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

21

membutuhkan keselamatan dalam arti pembebasan dari kejahatan maupun

keselamatan dalam arti kebahagian yang sempurna.

Dalam pembahasan selanjutnya, penulis akan menggambarkan ke-dua jenis

agama tersebut yaitu agama antroposentrik dan agama theosentrik.

2.1.1 Agama Antroposentrik

Agama secara antroposentris banyak diformulasikan oleh ahli-ahli

antropologi pada awal abab XIX. Bahan-bahan yang digunakan untuk menyusun

teori-teori ini bersumber dari benda-benda artefak manusia purba dan masyarakat

primitif yang masih hidup. Asumsi dari teori ini adalah bahwa masyarakat primitif

itu dianggap sebagai percontohan kebudayaan purba yang tetap bertahan hidup

sampai pada masa kini. Dengan kata lain, kebudayaan primitif itu dipandang

sebagai gambaran tingkat awal kebudayaan manusia dalam proses evolusi yang

sudah berlangsung ribuan tahun silam. Sebagai contoh dalam konteks kehidupan

keagamaan, gambaran awal kehidupan keagamaan dari masyarakat primitif

termanifestasi dalam pen-dewa-an mereka terhadap spesies hewan dan tanaman

sebagai objek yang keramat yang merepresentasikan masyarakatnya dan sebagai

simbol nurani dan semangat masyarakat tersebut. Dengan demikian nurani atau

semangat kolektif itu diyakini sebagai daya spiritual yang menjiwai masyarakat

itu sendiri yang divisualisasikan dalam benda atau makhluk yang dianggap sakral

(seperti totem dalam masyarakat Arunta-Australia). Tentu saja tujuannya adalah

berharap agar mendapatkan perlindungan dan jaminan kesejahteraan.

Perlindungan dalam hal ini tentu sangat berkaitan dengan fenomena alam

(kosmis) yang merupakan sumber kehidupan dan sekaligus sebagai sumber

malapetaka bagi manusia. Pengharapan untuk mendapatkan perlindungan ini-lah

Page 7: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

22

yang kemudian terwujud dalam berbagai cultus atau ritual yang dilakukan oleh

masyarakat baik secara individu maupun kelompok untuk memuja kepada objek

yang dianggap sakral bagi masyarakat tersebut. Proses utama ritus ini adalah

mempersembahkan hewan korban, hasil alam dan makan secara komune.

Selanjutnya, agama antroposentris memiliki pandangan bahwa kosmos itu

rapuh dan semakin rusak dalam kelangsungan waktu sehingga alam semesta

secara periodik berada dalam bahaya yang serius. Oleh karena-nya manusia

antroposentris cenderung untuk melakukan berbagai macam ritus secara periodik

untuk mengembalikan dan memperbaharui kosmos maupun kehidupan dalam

kosmos itu sendiri. Manusia antroposentris melakukan ritus-ritus semacam itu

karena mempunyai keyakinan bahwa pasti ada kekuatan supranatural yang setiap

saat dapat mengendalikan eksistensi dari kosmos dan dipercaya telah memberikan

kehidupan bagi alam semesta.

Keselamatan dalam agama antroposentris dapat diketahui lewat fenomena-

fenomena alam yang terjadi atau dialami oleh manusia antroposentris. Fenomena-

fenomena tersebut seperti: tidak terjadi bencana alam, makanan berlimpah,

kedamaian, masyarakat yang harmonis dan hidup manusia yang bahagia.

Demikian hal-nya jika keselamatan itu tidak terjadi dapat diketahui lewat tanda-

tanda seperti: kemarau yang panjang, sakit penyakit, kelaparan, dsb. Jadi

keselamatan dalam agama antroposentrik tidak terletak pada kepentingan akan

keselamatan pada setiap individu atau keselamatan setelah kematian melainkan

memberikan perhatian utama pada keselamatan kosmos14.

14 Ibid. 295.

Page 8: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

23

Dalam agama antroposentris, anti-sosial merupakan hakikat dosa dalam arti

bahwa dosa merupakan tindakan yang menghancurkan ajaran-ajaran atau kata-

kata yang baik. Dosa merupakan suatu perbuatan yang merusak atau menodai

daya hidup orang lain, seperti perselisihan dengan kerabat, kekerasan, mencuri,

berzinah, dsb, yang mana tindakan-tindakan tersebut merupakan tindakan-

tindakan anti-sosial karena melanggar kata-kata yang baik. Bobot kebaikan dan

kejahatan diukur menurut akibat dari tindakan-tindakan yang dihasilkan terhadap

orang lain.15 Jika orang melakukan kejahatan, agama antroposentrik tidak

mengenal tentang pemberian sanksi atau hukuman melainkan hukuman tersebut

akan dialami oleh si pelaku kejahatan dalam menjalani kehidupannya.

2.1.2 Agama Theosentrik

Penjelasan tentang agama antroposentrik diatas mengarahkan kita pada

pemahaman bahwa agama muncul dari manusia yang berbudaya karena

kehidupan kolektifitasnya. Dengan kata lain agama muncul sebagai ekpresi dari

individu-individu yang hidup bermasyarakat. Berbeda dengan agama theosentrik.

Agama theosentrik berasumsi bahwa lahirnya agama merupakan intervensi alam

transenden terhadap hati nurani manusia. Pada intinya agama muncul karena

kehendak Tuhan. Teori ini berasumsi bahwa Tuhan mengilhami pikiran manusia

sehingga ia mampu berpikir tentang sesuatu yang absolut, sempurna tiada batas,

maha tau, maha kuasa yaitu Tuhan. Dunia sebagai ciptaan-Nya tidak ada yang

sempurna termasuk manusia. Gagasan tentang Tuhan pun bersumber dari Tuhan

sendiri dan itu bukan-lah sesuatu yang ditentukan oleh pikiran manusia.

15 Lih. Ibid.

Page 9: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

24

Demikian hal-nya juga tentang ajaran-ajaran yang bersumber dari Tuhan.

Seperti hal-nya tentang ajaran keselamatan. Manusia memperoleh keselamatan

bukan karena usaha manusia itu sendiri melainkan manusia diselamatkan karena

anugerah yang berasal dari Tuhan (seperti dalam ajaran Kristen). Selanjutnya

paham kebenaran agama dari agama theosentris ini juga berasal dari Tuhan atau

dengan kata lain agama A lebih benar dari agama B, C dan seterusnya. Agama A

menjadi paling benar karena sudah diwahyukan oleh Tuhan bahwa agama ini-lah

yang paling benar. Untuk mempertahankan kebenaran itu manusia tinggal

mengikuti berbagai ajaran-ajarannya maka manusia itu sudah pasti mendapat

jaminan keselamatan.

Atas dasar kebenaran agama ini-lah yang kemudian oleh Nabeel Jabbour

sebagai seorang teolog Kristen yang menaruh perhatian pada sikap hidup umat

beragama. Jabbour mengelompokkan sikap itu dalam tiga bentuk yaitu; 16

pertama, etnosentrisitas atau eksklusif. Sikap seperti ini merupakan sikap manusia

beragama yang tertutup dengan keberadaan agama (manusia) lain karena ‘agama

yang lain’ itu tidak sama dengan agama yang dianutnya. Agama yang lain itu

dianggap sebagai agama yang tidak benar (kafir), tidak beradab, bukan diturunkan

dari ‘atas’, dan sebagainya, yang pada intinya agama lain itu tidak setara

(direndahkan) dengan agama yang dianutnya. Manusia beragama seperti ini

cenderung dengan kehidupan berkelompok yang memiliki agama yang sama. Jika

terdapat individu dari kelompok agama yang lain, maka individu tersebut

dianggap sebagai ancaman yang dapat ‘merusak atau menodai’ kesucian

agamanya karena individu tersebut berasal dari agama yang tidak benar. Sikap

16 Dalam Ebenhaezer I Nuban Timo, Gereja Lintas Agama, Pemikiran-pemikiran Bagi

Pembaharuan Kekristenan di Asia, (Satya Wacana University Press, 2013), 202-212.

Page 10: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

25

seperti ini menurut Jabbour tentu saja tidak salah karena hal itu terjadi demi

menjaga kemurnian dan ke-solid-an dalam kelompok. Tetapi yang salah dari sikap

ini adalah tidak terjalinnya hubungan baik yang terjalin dengan kelompok yang

lain. Sikap seperti ini hanya akan memupuk sikap saling curiga antara yang satu

dengan yang lain. Kedua, kehidupan duniawi atau kehidupan yang menyatu

dengan dunia. Sikap ini merupakan sikap hidup manusia beragama yang hidup

membaur dengan manusia beragama lain. Bahaya dari sikap hidup semacam ini

menurut Jabbour adalah ketika terhanyut dalam kehidupan yang membaur itu,

maka pada akhirnya akan kehilangan identitas diri, hilangnya nilai-nilai dasar

yang menjadi pijakan dan pembentuk karakter dari individu tersebut. Kemudian

sikap hidup manusia beragama yang ketiga adalah sikap hidup tinggal diantara

bangsa-bangsa. Sikap hidup seperti ini adalah sikap hidup yang sama dengan

sikap hidup yang diatas bahwa manusia beragama itu hidup di antara manusia

yang berbeda dengannya. Perbedaannya adalah bahwa sikap hidup yang ketiga ini

tidak bermuara pada kehilangan identitas namun ia tetap menjaga identitas

tersebut sebagai pedoman untuk hidup bersama dengan manusia yang berbeda

dengannya. Menurut Jabbour, manusia seperti ini bagaikan ragi atau garam yang

mengkhamiri masyarakat dengan anugerah dan kebenaran.

Agama (antrposentrik dan teosentrik) dengan keberadaannya dalam

kehidupan bersama (bermasyarakat) memiliki kontribusi dalam mempengaruhi

masyarakat penganutnya. Pengaruh tersebut tentu saja memiliki ‘wajah’ yang

beraneka-ragam dalam arti bahwa wajah agama dapat mendukung kehidupan

bersama dan tanpa dipungkiri bahwa wajah agama juga dapat merusak kehidupan

bersama. Wajah agama yang baik maupun buruk tentu saja berkaitan erat dengan

Page 11: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

26

ajaran agama dan sikap manusia beragama tersebut dalam memperlakukan ajaran

agamanya. Agama antroposentrik dan theosentrik mendokumentasikan ajaran-

ajaran yang berbeda baik konsepsinya tentang alam transenden, dalam relasinya

dengan sesama, dengan alam semesta maupun jalan yang harus ditempuh manusia

untuk bersekutu dengan Tuhan. Langkah pencarian jalan keselamatan pun berbeda

di mana agama theosentrik mendoktrinkan jalan keselamatan sedangkan agama

antroposentrik mendoktrinkan jalan kosmologis. Jalan keselamatan dalam

perspektif kosmologis hanya dapat dicapai dengan cara menanggalkan semua

keinginan duniawi sehingga jiwa manusia bebas dari belenggu kosmis, sedangkan

jalan keselamatan menurut theosentris lebih berorientasi pada mempertahankan

kebenaran agama lewat berbagai macam kultus.

2.2 Keselamatan: Tujuan Akhir Manusia Beragama

Sebelum membahas lebih jauh tentang ajaran keselamatan, terlebih dahulu

penulis akan menjelaskan keselamatan yang penulis maksudkan dalam tulisan ini.

Secara terminologi, keselamatan berasal dari kata dasar ‘selamat’. Menurut kamus

besar bahasa Indonesia, selamat memiliki arti terbebas atau terhindar dari bahaya,

malapetaka, bencana, tidak kurang suatu apa, tidak mendapat gangguan, selalu

sehat, tercapai maksud, tidak gagal, sebuah doa yang mengandung harapan

supaya sejahtera (beruntung, tidak kurang suatu apa, dsb). Kata selamat jika

ditambahkan dengan awalan ke dan akhiran an maka kata itu menjadi sebuah kata

sifat yang menunjukkan pada situasi selamat. Situasi dalam hal ini adalah situasi

yang penuh dengan kehidupan damai, tidak terjadi permusuhan dalam setiap

aspek kehidupan manusia baik antara sang Ilahi, antar sesama manusia maupun

antara alam semesta.

Page 12: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

27

Ajaran tentang keselamatan merupakan sebuah ajaran yang sudah menjadi

tujuan akhir dari setiap manusia yang beragama. Ajaran keselamatan yang dianut

oleh setiap manusia yang beragama itu tentu mempunyai pemahaman dan

pemaknaan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tentu saja dipengaruhi oleh

konteks agama itu muncul dan berkembang.

Keselamatan dalam tataran spiritual adalah identik dengan selamat dari

kondisi manusiawi yang eksistensinya terbelenggu, situasi keterikatan pada

kemalangan karena kelahiran kembali dan semua kejahatan yang merupakan

konsekuensi dari jenis eksistensi ini; keselamatan dari penderitaan dan hasrat atau

nafsu darimana muncul semua kesengsaraan manusia dan ketidak-bahagiaan.17

Secara mendasar, keselamatan berarti pembebasan, pelepasan dari hasrat

manusiawi yang tidak pernah berakhir. Semua usaha-usaha manusia untuk

menyingkirkan yang jahat dan menjadi satu dengan yang ilahi secara definitif

merupakan jalan-jalan keselamatan dan pencapaian terakhir dari tujuan ini adalah

keselamatan itu sendiri.

Keselamatan yang ingin dicapai oleh manusia yang beragama itu tidak

semata-mata bersifat keselamatan dalam bentuk fisik melainkan juga keselamatan

dalam bentuk psikologis dan spiritual. Secara naluriah manusia selalu mencari

ketenangan dan keamanan. Oleh karenanya manusia menjadikan sesuatu yang

berada di luar jangkauan alam pikirannya yang disebut ilahi sebagai sumber untuk

memperoleh ketenangan dan keamanan. Dalam usaha untuk memperoleh tujuan

itu, tentu ada berbagai hal yang harus dilakukan dan dihayati oleh manusia

sebagai wujud ketaatannya kepada yang ilahi. Hal yang dilakukan dan dihayati

17 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi..., 316.

Page 13: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

28

oleh manusia beragama tersebut terwujud dalam ritus dan mitos. Ritus dan mitos

merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena kedua hal tersebut adalah

sebuah ‘ekspresi’ manusia beragama terhadap yang ilahi dalam usaha untuk

mendapatkan keselamatan.

2.2.1. Ritus : Sebagai Tindakan Mencapai Keselamatan

Keberadaan agama dan ritual pada dasarnya tidak dapat dipisahkan, ibarat

dua sisi mata uang yang jika dipisahkan maka uang tersebut tidak dapat digunakan

lagi sebagai mana mestinya. Demikian hal-nya juga dalam setiap agama.

Ritus/ritual dalam agama merupakan representasi dari kepercayaan manusia yang

beragama terhadap yang ilahi. Oleh karena-nya ritual merupakan upaya manusia

untuk menjalin komunikasi dengan kekuatan transenden baik itu bersifat roh para

leluhur, makhluk halus, dewa-dewa dan kekuatan-kekuatan transenden lainnya

yang dianggap sakral oleh para pengikutnya.

Durkheim dalam pembahasannya tentang agama telah menyinggung tentang

ritus. Menurutnya, ritus merupakan pesta dan ragam upacara yang mempunyai

kerakteristik yang selalu berulang-ulang secara periodik. Tujuan dari ritus-ritus

tersebut adalah untuk memenuhi keinginan penganutnya secara periodik serta

memperkuat ikatan antar mereka dengan hal-hal yang sakral tempat mereka

bergantung.18

Pada dasarnya upaya pencarian jalan keselamatan spiritual lewat berbagai

macam ritual merupakan kebutuhan setiap individu dan juga kelompok. Seperti

yang terlihat pada ritus-ritus yang mana dapat dilakukan secara pribadi maupun

18 Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (Sejarah...), 101.

Page 14: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

29

berkelompok. Ritus-ritus yang dilakukan baik dalam bentuk perorangan maupun

secara berkelompok mempunyai efek ganda yaitu efek emosional dan efek

sentimental (rasa). Oleh karena hal ini Dhavamony mengatakan bahwa ‘ritual

merupakan agama dalam tindakan.’19 Setiap ritus yang dipraktekkan akan

menghasilkan perubahan-perubahan status emosi spiritual yang diasumsikan

sebagai kondisi angan-angan seseorang menjadi lebih teratur dan bersih dalam arti

bahwa pikiran menjadi lebih jernih dan cara berpikir menjadi lebih baik.

2.2.2. Cakupan Keselamatan

Di atas telah dijelaskan secara terminologi bahwa keselamatan merupakan

sebuah situasi kehidupan yang penuh dengan kedamaian yang diharapkan oleh

manusia dalam setiap aspek kehidupannya. Kedamaian paling tidak memiliki arti

bahwa manusia mempunyai hubungan yang harmonis dengan sesama, hubungan

yang bersahabat dengan alam dan hubungan yang baik dengan Tuhan. Dengan

menjaga hubungan yang baik itu, maka kehidupan batin setiap orang pun akan

dipenuhi dengan situasi yang damai. Oleh karena itu, untuk memperoleh

keselamatan paling tidak manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga

hubungan yang baik Tuhan, sesama dan alam semesta.20 Tiga hal pokok tersebut

dapat dijelaskan sebagai berikut:

19 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi..., 167. 20 Dari segi makna keselamatan yang penulis maksudkan sama dengan kata pendamaian

yang digunakan oleh Andreas A. Yewangoe dalam bukunya yang berjudul pendamaian. Dalam

buku tersebut dijelaskan bahwa manusia perlu melakukan tiga hal yaitu pendamaian dengan Allah,

dengan sesama dan dengan alam semesta. Tiga hal tersebut yang dijadikan penulis sebagai ruang

lingkup keselamatan. Andreas A. Yewangoe, Pendamaian, (BPK. Gunung Mulia, 1983), 127-210.

Page 15: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

30

a. Hubungan dengan Tuhan

Pada dasarnya secara naluriah manusia cenderung mencari ketenangan dan

keamanan diri. Adappun sumber daya intervensi ketidak-teteraman dibayangkan

berasal dari lingkungan jagat raya yang dipersepsikan sebagai ‘yang misterius’

dan ‘menakjubkan’ yang tidak dapat dicerna oleh akal pikiran . Dari persepsi ini

manusia mulai menggagas adanya kekuatan ilahi (kekuatan supra-natural) yang

mengitari dirinya. Oleh karenanya, manusia beranggapan bahwa gerak-gerik

alam fisik itu didorong oleh kekuatan ilahi yang menjiwainya dan kemudian

dikonsepsikan sebagai dewa-dewa.

Atas dasar gagasan ini, manusia mulai menentukan sikap dan melakukan

upaya-upaya untuk menanggapi perbuatan Ilahi. Tindakan yang dilakukan dapat

berupa kepasraan, persembahan, pemujaan, bujukan konsiliasi sampai

penguasaan daya itu untuk kepentingan dirinya. Dalam konteks ini, pencarian

ketenteraman diri dan keselamatan spiritual (salvation) dilakukan baik per-

orang-an maupun secara kolektif. Dalam kolektif manusia secara bersama-sama

menghadapi kekuatan supranatural yang dianggapnya bersifat misterius karena

berada di luar daya nalar mereka. Kekuatan ilahi yang misterius itu kemudian

dibayangkan seperti dihuni oleh makhluk-makhluk gaib yang berpribadi seperti

manusia yang menjadi objek penyembahan.

Berusaha untuk menjalin hubungan yang baik antara Tuhan dengan

manusia terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan kultis/ritual yang dilakukan

oleh manusia. Ritual-ritual itu merupakan jawaban atau tanggapan yang

dipersembahkan oleh manusia terhadap Tuhan atas segala perbuatan-Nya. Oleh

karena ritual-ritual itu ditujukan kepada Tuhan, maka ritual itu harus dilakukan

Page 16: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

31

dengan benar dan tanpa kesalahan sedikit pun. Jika manusia melakukan

kesalahan terhadap pelaksanaan ritual, biasanya ada sebuah akibat yang terjadi

pada pengikut agama tersebut. Oleh karena-nya, ritual-ritual tersebut harus

dijaga dan dilestarikan sebagai perwujudan jawaban manusia terhadap

perbuatan-Nya dan demi mencapai hubungan yang baik antara manusia dengan

Tuhan. Lewat ritual/kultus manusia mendapat kehidupan dan keselamatan dari

Sang Pencipta21.

b. Hubungan dengan Sesama

Untuk mencapai keselamatan tidak hanya berusaha untuk menjalin

hubungan yang baik dengan Tuhan, namun upaya untuk menjalin hubungan

yang baik dengan sesama juga harus dilakukan. Hal ini merupakan tindakan

nyata yang dilakukan oleh manusia dan tindakan itu terwujud dalam kehidupan

sosial/bermasyarakat. Kehidupan sosial paling tidak terdapat tiga unsur yaitu;

pertama, kehidupan sosial antara suku, ras dan bangsa. Suku, ras dan bangsa

merupakan tiga unsur kehidupan di dalam lingkungan masyarakat yang setiap

saat dapat melahirkan konflik. Setiap individu merasa lebih dekat dengan

sukunya karena memiliki nenek moyang yang sama dan kesamaan itu terwujud

dalam pengaturan adat-istiadat yang sama. Penyimpangan terhadap aturan adat

tersebut merupakan penghianatan yang bersar terhadap nenek moyang. Oleh

karena-nya, segala sesuatu yang asing dalam aturan suku tersebut merupakan

musuh yang dapat mengancam eksistensi dari suku tersebut. Demikian halnya

dengan kesombongan ras dan bangsa yang pada intinya mempunyai fenomena

yang sama dengan kehidupan kesukuan yang bersifat ekklusif suku yang lain.

21 Ibid, 130.

Page 17: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

32

Kedua, hubungan sosial ekonomi. Kehidupan sosial ekonomi berkaitan erat

dengan yang kaya dan yang miskin, antara orang kaya dan orang miskin, antara

negara kaya dan negara miskin. Biasanya yang menjadi korban dan sekaligus

kaum tertindas adalah yang miskin. Hal ini dapat terlihat dalam negara kita

(Indonesia) sebagai negara berkembang yang kemudian oleh negara maju

menjadikan Indonesia sebagai negara tempat pembuangan sampah.22

Selanjutnya muncul istilah ‘yang paling miskin diantara yang miskin’ yang

mana fenomena ini dapat terlihat pada masyarakat pedesaan yang tidak tersentuh

oleh kesejahteraan dan kemajuan-kemajuan yang hendak dicapai. Kesenjangan-

kesenjangan dalam hal kehidupan sosial ekonomi semacam ini hanya akan

melahirkan situasi yang menyakitkan bagi yang tertindas. Jika hal ini terjadi

maka kehidupan yang penuh dengan kedamaian yang merupakan harapan setiap

insan tidak akan tercapai. Kemudian ketiga adalah hubungan antar

keyakinan/agama. Konteks ini dapat kita amati dalam agama-agama theosentris

seperti yang penulis jelaskan diatas. Konflik antar agama muncul tidak lain

adalah hanya karena klaim kebenaran agama tertentu. Hal semacam ini tentu

saja merupakan hasil dari sikap manusia beragama yang eksklusif terhadap

agama lain. Meminjam istilah Nabeel Jabbour bahwa sikap eksklusif manusia

beragama merupakan ketidak-mampuannya untuk keluar dari kenyamanan

sangkar agama. Untuk menciptakan situasi yang baik antar agama, manusia

beragama itu harus mampu untuk keluar dari kenyamanan agamanya untuk

bertemu dan berinteraksi serta turut serta dalam kehidupan orang yang beragama

lain.

22 Ibid, 153-154

Page 18: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

33

c. Hubungan dengan alam

Manusia sebagaimana makhluk lainnya, memiliki keterkaitan dan

ketergantungan terhadap alam dan lingkungannya. Namun demikian, manusia

justru semakin aktif mengambil langkah-langkah yang merusak, atau bahkan

menghancurkan lingkungan hidup. Pemanfaatan alam lingkungan secara

serampangan dan tanpa aturan telah dimulai sejak manusia memiliki

kemampuan lebih besar dalam menguasai alam lingkungannya. Dengan

mengeksploitasi alam, manusia menikmati kemakmuran hidup yang lebih

banyak. Namun sayangnya, seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, alam

malah dieksploitasi sedemikian rupa sehingga menimbulkan kerusakan yang

setiap saat dapat mengancam kehidupan manusia.

Kerusakan alam yang ditimbulkan oleh manusia bersumber dari cara

pandang manusia terhadap alam lingkungannya. Dalam pandangan manusia

yang oportunistis, alam adalah barang dagang yang menguntungkan dan

manusia bebas untuk melakukan apa saja terhadap alam. Menurutnya, alam

dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kesenangan manusia. Sebaliknya,

manusia yang beragama (tidak terkecuali agama suku) akan menyadari adanya

keterkaitan antara dirinya dan alam lingkungan. Manusia seperti ini akan

memandang alam sebagai sahabatnya yang tidak bisa dieksploitasi secara

sewenang-wenang.

Alam merupakan sumber kehidupan manusia dan sekaligus sebagai

sumber malapetaka yang sering mengancam kehidupan manusia. Oleh karena-

nya, dalam setiap agama suku terdapat ritual khusus agar alam bersahabat

dengan manusia dalam arti bahwa ketika manusia menjalin hubungan yang baik

Page 19: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

34

dengan alam lewat ritual-ritual khusus maka manusia berharap agar tidak terjadi

bencana alam, agar hasil pertanian dapat memuaskan, agar tidak terjadi

malapetaka ketika mencari nafkah, dsb.

Dalam usaha untuk menghindari fenomena alam yang dapat mengancam

kehidupan manusia, penganut agama suku biasanya akan menghindari berbagai

tindakan/kegiatan yang dipercaya dapat mengancam kehidupan manusia. Seperti

dalam masyarakat Marapu tidak diperbolehkan untuk mencuci dan mencelup

alat masak (periuk) di air laut. Jika hal tersebut terjadi, mereka percaya bahwa

akan terjadi gelombang besar selama berhari-hari dan akibatnya mereka tidak

dapat mencari dan menikmati hasil laut. Kemudian untuk menenangkan

gelombang besar tersebut harus dilakukan ritual khusus.

2.2.3. Dunia Keselamatan (Ruang Lingkup Keselamatan)

Dunia keselamatan yang penulis maksudkan di sini adalah dunia dimana

keselamatan yang diharapkan oleh penganut beragama itu dirasakan oleh

manusia ketika manusia beragama itu melakukan ibadahnya sesuai dengan

ajaran agamanya. Dalam setiap penganut agama suku maupun agama modern

terdapat dua dunia keselamatan yang diharapkan yaitu keselamatan dalam dunia

masa kini dan keselamatan dalam dunia akhirat. Dunia masa kini merupakan

dunia di mana manusia mendambakan keselamatan dalam melangsungkan

kehidupan-nya dan berharap bahwa kehidupan-nya berjalan dengan penuh

kedamaian. Demikian halnya dengan dunia akhirat bahwa ketika manusia itu

meninggal berharap bahwa ia dapat merasakan kedamaian yang abadi dan

berada di tempat yang dianggap suci oleh setiap agama, seperti dalam agama

Marapu dunia yang suci itu adalah Praingu Marapu (tempat para dewa).

Page 20: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

35

Mencermati kehidupan keagamaan dari beberapa agama suku23 yang ada

di Indonesia bahwa pada dasarnya, keberadaan agama suku yang diyakini oleh

pengikutnya cenderung bertujuan untuk memperoleh keselamatan dalam dunia

masa kini. Hal ini terlihat dalam berbagai bentuk ritual yang mereka (pengikut

agama suku) lakukan, pada prinsipnya bertujuan untuk terhindar dari berbagai

macam ‘kekacauan’ yang mana setiap saat dapat saja terjadi dalam kehidupan

manusia. Kekacauan itu seperti sakit penyakit, bencana alam, kelaparan,

permusuhan, dan sebagainya yang merupakan sesuatu yang manakutkan bagi

manusia dan hal-hal tersebut sebaiknya tidak boleh terjadi dalam kehidupan

manusia.

Usaha untuk memperoleh keselamatan dalam dunia masa kini biasanya

terwujud dalam ritus-ritus yang sering dilakukan oleh pengikut agama suku dan

ritus-ritus itu tentu berkaitan atau disesuaikan dengan periode-periode tertentu.

Ritus-ritus itu biasanya dilakukan dalam bentuk kelompok maupun dalam

bentuk personal/individu. Seperti terlihat dalam berbagai ritual yang dilakukan

secara berkelompok yang terdapat dalam suku yaitu dengan tujuan supaya

pengikut agama tersebut dapat memperoleh kedamaian dalam kehidupannya.

Dalam kelompok atau klan terdapat pula beberapa pantangan yang tidak boleh

diambil atau pun dikonsumsi oleh klan tersebut. Hal itu bertujuan agar klan

tersebut tidak mendapat kutukan yang berakibat dapat terserang penyakit dan

bahaya lainnya. Sedangkan keselamatan yang bersifat individu dapat dilihat

dalam pengikut agama suku bahwa mereka mempunyai benda-benda keramat

23 Beberapa agama suku yang dimaksudkan oleh penulis terdapat dalam Andreas A.

Yewangoe, Pedamaian, (BPK. Gunung Mulia, 1983), 44-79. Kemudian dapat dilihat juga dalam

pembahasan selanjutnya dari penulis tentang agama suku Kejawen dan agama suku Kaharingan

dalam bab ini.

Page 21: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

36

(sakral) yang dipercayai dapat melindungi individu tersebut dari berbagai

macam bahaya yang mengancam. Benda-benda sakral tersebut dapat berupa

batu, akar kayu yang ada di darat maupun yang berasal dari laut.

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap pemeluk agama melakukan

kewajiban ke-agama-an sesusai dengan keyakinannya (seperti melakukan

berbagai macam ritual) dengan tujuan supaya terhindar dari berbagai macam

kekacauan, maka pada saat yang bersamaan mereka juga berharap untuk

mendapatkan keselamatan di dunia akhirat. Mereka mengharapkan kehidupan

setelah kematian penuh dengan kehidupan yang damai. Oleh karena itu, setiap

agama suku pasti mempunyai harapan akan keselamatan dalam dua dunia yaitu

dunia masa kini dan dunia akhirat.

2.3 Keselamatan dalam Agama Suku

Untuk melihat konsep keselamatan dalam agama suku, penulis mencoba

untuk memaparkan konsep keselamatan dari beberapa agama suku yang ada di

Indonesia antara lain: konsep keselamatan dalam agama Kaharingan di

Kalimantan dan konsep keselamatan menurut aliran Kejawen ‘Urip Sejati’ dalam

agama suku masyarakat Jawa. Pemaparan ini tidak bertujuan untuk

membandingkan ajaran-ajaran yang ada dalam agama-agama suku, melainkan

bertujuan untuk melihat sejauh mana konsep keselamatan itu ada dan berpengaruh

dalam kehidupan masyarakat penganutnya.

Page 22: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

37

2.3.1 Agama Kaharingan24

Kata kaharingan berasal dari bahasa Sangiang yaitu dari kata Haring

(kemudian ditambah dengan awalan ka dan akhiran an) yang artinya hidup atau

juga bisa berarti tumbuh dengan sendirinya. Kaharingan berarti sumber kehidupan

dengan kuasa Tuhan. Jadi kaharingan berati agama yang hidup dan tumbuh

berdasarkan pesan Tuhan atau Ranying Hatalla Langit melalui perantara leluhur

atau nenek moyang. Kaharingan ada semenjak Ranying Hatalla Langit

menciptakan manusia dan mengatur segala sesuatunya agar kelak manusia dapat

menuju kehidupan ke arah yang kekal dan abadi. Pada saat sekarang, agama

Kaharingan menjadi Hindu Kaharingan yang dianut oleh masyarakat Dayak

(tepatnya suku Dayak Ngaju di kalimantan Tengah) yang memiliki seperangkat

aturan yang mengatur hubungan dengan Tuhan, hubungan manusia dengan

manusia dan hubungan manusia dengan alam. Aturan tersebut ditulis dalam kitab

suci Panaturan.

2.3.1.1. Ajaran Kaharingan

2.3.1.1.1. Ajaran tentang Tuhan

Para penganut agama kaharingan percaya bahwa Yang Maha Tinggi

terbagi dalam tiga golongan ilah yaitu Ilah tertinggi dalam Kaharingan adalah

Ranying Hatalla Langit. Kemudian yang kedua adalah ilah yang ada di antara

langit dan bumi atau yang disebut sebagai ilah pengantara. Ketiga adalah ilah-

ilah yang ada di atas bumi dan di bawah bumi yang memiliki sifat baik dan

buruk.

24 Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba di Indonesia, (Jakarta: BPK. Gunung

Mulia, 1977), 57-70. Skripsi, Farida Fitri Wiastuti Yono, Perbandingan Konsep Keselamatan

Menurut Agama Kristen Dengan Agama Kaharingan, (Salatiga:UKSW, 2009), 45-66. Harun

Hadiwijono, Religi Suku Murba di Indonesia, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1977), 57-70.

Page 23: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

38

2.3.1.1.2. Ajaran tentang roh baik dan roh yang jahat25

Penganut agama Kaharingan percaya akan adanya banyak roh yang

baik dan roh yang jahat. Ada yang dipandang sebagai pembantu alam atas dan

ada juga yang dipandang sebagai pembantu alam bawah. Roh-roh tersebut

adalah; pertama, raja Pali atau Nyaro. Roh ini bertindak sebagai pembalas dan

menghukum mereka yang melanggar adat atau peraturan-peraturan Pali. Roh

ini dihubungakan dengan alam atas. Kedua, raja Ontong yang menjadi sumber

keselamatan dengan memberikan rezeki, kekayaan, kemakmuran, dsb. Ketiga,

raja Sial adalah roh yang mendatangkan kecelakaan dan memberikan kerugian,

kematian, dan sebagainya. Orang hanya dapat dibebaskan dari peristiwa-

peristiwa sial itu dengan melakukan upacara-upacara penyucian yang besar.

Raja Ontong dan Raja Sial dihubungkan dengan alam atas dan alam bawah

sebagai yang mengungkapkan hubungan kedua alam tadi. Keempat, raja Puru

atau Peres yang menjadi sumber penyakit, kemudian yang kelima, raja

Hantuen, yang menjadi sumber kerusuhan. Ia sering mengganggu manusia

dengan sihirnya yang dilakukan dengan perantara para dukun. Raja Puru dan

raja Hantuen dihubungkan dengan alam bawah dan Jata.

2.3.1.1.3. Kosmologi penganut Kaharingan26

Penganut agama Kaharingan memandang alam terdiri dari tiga bagian

yaitu alam atas, alam tengah dan alam bawah. Alam atas merupakan tempat

kediaman Mahatala (ranying Hatala langit). Alam atas ini digambarkan sebagai

pencerminan alam tempat kediaman manusia. Hanya saja di sana berada dalam

keadaan yang jauh lebih indah dan lebih berkelimpahan daripada keadaan di

25 Ibid, 59. 26 Harun Hadiwijono, Religi ..., 58-62.

Page 24: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

39

dunia manusia. Alam tengah adalah bumi ini, tidak lain adalah ruang hidup

yang dipandang oleh penganut agama kaharingan sebagai tanah suci yang

merupakan pemberian dari dewa sebagai hadiah. Kemudian alam bawah

merupakan tempat tinggal atau tempat bersemayam dari Jata27.

2.3.1.2. Upacara Tiwah: Jalan menuju Keselamatan

Tujuan akhir dalam ajaran agama Kaharingan adalah Lewu Tatau Dia

Rumpang Tulang, Rundung Raja Isen Kamaleu Uhat (gambaran surga menurut

kaharingan). Untuk mencapai tujuan akhir tersebut tentu saja para penganut

Kaharingan harus membuat kebaikan terhadap sesama. Perbuatan baik

terhadap sesama dalam kelompok penganut agama Kaharingan terwujud dalam

upacara yang disebut dengan upacara atau perayaan Tiwah. Tiwah (artinya:

bebas, lepas dari kewajiban) merupakan pesta kematian untuk memimpin liau28

di dalam perjalannya menuju Lewu Liau (akhirat) yang mana tempat ini

merupakan tempat bersatunya liau dengan nenek moyangnya dan untuk kedua

kalinya memakamkan tulang-tulang orang mati di tempat pemakaman tetap

atau terakhir yang disebut sandong29.

Tiwah adalah suatu upacara suci, kewajiban luhur dan mutlak yang

harus dilaksanakan oleh keluarga yang masih hidup. Upacara tiwah tersebut

dilakukan supaya tidak menimbulkan akibat buruk bagi kehidupan pribadi,

27Terdapat berbagai versi tentang Jata. Adaya yang mengatakan bahwa Jata merupakan

bayangan dari Ranying Hatala Langit tetapi versi lain menunjukkan bahwa Hatalla dan Jata

merupakan satu kesatuan yang terdapat dalam satu perwujudan baik dalam seekor burung

enggang yang bersisik maupun dalam sekor naga yang berbulu burng enggang. Ibid, 58. 28Pada prinsipnya, liau adalah orang yang sudah meninggal itu sendiri. Liau merupakan

bentuk eksistensi manusia yang dimulai dengan kematiannya dan yang berbeda sekali dengan

bentuk eksistensinya yang semula. Ibid, 65-66. 29Sebelum upacara tiwah, penganut Kaharingan melakukan upacara kematian biasa untuk

mengantarkan jenasah di pemakaman sementara yaitu bukit pasahan raung. Ibid, 66.

Page 25: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

40

keluarga, masyarakat dan lingkungan. Bagi penganut Kaharingan, upacara

tiwah merupakan upacara yang sangat sakral. Oleh karenanya upacara ini harus

dipersiapkan dan dilakukan secara matang dan teliti agar tidak terjadi

kesalahan pada saat pelaksanaannya. Jika terjadi kesalahan, kaum Kaharingan

percaya bahwa keluarga yang masih hidup akan mendapatkan malapetaka.

Upacara tiwah merupakan upacara besar yang membutuhkan biaya

cukup mahal sehingga kaum penganut Kaharingan seringkali menunggu hingga

ada 60 orang yang meninggal baru melaksanakan upacara tiwah. Hal ini tentu

dalam pelaksanaanya memerlukan waktu yang lama minimal dua tahun sekali

perayaan. Perayaan tiwah berlangsung selama tujuh30 hari yang mana pada hari

penutup (hari ketujuh) dilakukan ritual penyucian terhadap keluarga yang

masih hidup serta semua orang yang turut serta dalam upacara tersebut. Ritual

penyucian ini bertujuan agar semua keluarga yang ditinggalkan terlepas dari

gangguan si mati.

2.3.1.3. Keselamatan menurut Penganut Kaharingan

Keselamatan menurut penganut Kaharingan ter-manifestasi dalam

ritual khususnya dalam upacara/ritual tiwah. Substansi dari upacara tiwah

sebenarnya bukan merupakan keselamatan itu sendiri namun tiwah merupakan

sebuah bentuk ekspresi dari penganut Kaharingan dalam sebuah pengharapan

akan keselamatan. Singkat kata tiwah merupakan cara yang terdapat dalam

pengaut Kaharingan dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan.

Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh penganut Kaharingan

khususnya dalam upacara perayaan tiwah; pertama, keselamatan bagi jiwa

30 Penjelasan pelaksanaa tiwah mulai dari hari pertama sampai hari ketujuh terdapat

dalam, Harun Hadiwijono, Religi..., 67-69. Bnd, Skripsi, Farida...,72-78.

Page 26: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

41

orang mati. Penganut Kaharingan menganggap bahwa orang mati adalah

simbol dari ketidak-berdayaan manusia baik jiwa maupun raga. Oleh karenya,

keluarga yang masih hidup harus berbuat sesuatu untuk mengantarkan jenazah

ketempat yang terakhir yaitu Lewu Liau. Selanjutnya ketika jiwa dari jenazah

itu telah sampai pada tujuan terakhirnya, maka penganut Kaharingan

berangapan bahwa jiwa dari orang mati tersebut telah memperoleh

keselamatan. Kedua, keselamatan bagi keluarga/orang yang masih hidup.

Perayaan tiwah merupakan perayaan yang besar bagi penganut Kaharingan

karena perayaan ini dihadiri oleh semua kerabat dan keluarga. Hal tersebut

berarti ada sebuah keprihatianan yang sama dalam setiap individu Kaharingan

bahwa perayaan tiwah merupakan sebuah simbol kebebasan dan persatuan.

Kebebasan karena dalam pemahaman penganut Kaharingan, melakukan tiwah

berarti mereka terhindar dari malapetaka. Persatuan karena dalam perayaan

tersebut dihadiri oleh semua sanak keluarga yang jauh maupun dekat.

Meminjam istilah Durkheim, peristiwa inilah yang disebut sebagai kesadaran

kolektif. Menurut penulis, inilah substansi dari keselamatan dalam agama

Kaharingan.

2.3.2 Agama Kejawen ‘Urip Sejati’ di Jawa31

Kejawen merupakan kepercayaan asli dari leluhur orang Jawa yang

merupakan sikap orang Jawa dalam menjalani hidup yang di dalamnya terdapat

konsep, aturan, tata cara hidup serta berbagai pandangan orang Jawa dalam

31Informasi yang penulis paparkan pada bagian ini merupakan informasi yang diadaptasi

dari, Jarot Sarwadi dan David Samiyono, Pernikahan Menurut Komunitas Kejawen ‘Urip

Sejati’, (katalog dalam terbitan, seri kebudayaan), (Salatiga: Fakultas Teologi, UKSW, 2010),

40-63. Dyah Pramesti, Perbandingan Antara Konsep Keselamatan Menurut Ajaran Agama

Kristen Dengan Konsep Keselamatan Menurut Aliran Kejawen ‘Urip Sejati’, (Skripsi),

(Salatiga:Fakultas Teologi, UKSW, 2008), 40-47.

Page 27: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

42

dalam menyikapi sesuatu. Sedangkan Urip Sejati merupakan sebuah komunitas

Kejawen yang masih melestarikan dan pertahankan kemurnian dari tradisi

Kejawen. Komunitas ini berada di kaki gunung Merbabu, desa Kapuhan,

Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.32

Kejawen merupakan kepercayaan warisan nenek moyang orang Jawa

sejak 1,9 juta tahun sebelum masehi. Kejawen sudah menjadi budaya orang

Jawa yang di dalamnya terdapat aspek material dan spiritual. Aspek material

ini meliputi sistem kemasyarakatan, pemenuhan kebutuhan ekonomi, strata

kekuasaan dan politik. Sedangkan aspek spiritualnya adalah ilmu (ngelmu),

ketuhanan, filsafat dan mistik.33

2.3.2.1. Ajaran tentang Tuhan

Penganut Kejawen percaya kepada Tuhan yang mereka sebut sebagai

Gusti yang berasal dari kata Bagusing Ati yang berarti Baiknya Hati. Selain

sebutan itu, komunitas Kejawen juga memiliki banyak sebutan terhadap Tuhan

yang pada dasarnya sebutan-sebutan itu sebagai pencerminan dari sifat-sifat

Tuhan. Sebutan-sebutan itu seperti: Hyang Widi, Sing Nggawe Urip, Ingkang

Murben Dumadi, Hyang Maha Agung, Hyang Maha Luwih, Hyang Maha

Dhuwur dan sebagainya.34

Penganut Kejawen percaya bahwa Tuhan itu bersemayam dalam hati

mereka. Tuhan merupakan nafas hidup mereka dan beranggapan bahwa jika

manusia sudah mati berarti manusia itu tidak lagi berbicara soal ketuhanan.

Pada intinya komunitas Kejawen Urip Sejati menggantung hidupnya hanya

kepada Tuhan. Komunitas Kejawen Urip Sejati berpandangan bahwa mereka

32 Jarot Sarwadi dan David Samiyono, Pernikahan Menurut..., 4. 33 Ibid, 40. 34 Ibid, 58.

Page 28: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

43

berkerja untuk Tuhan dan bukan Tuhan yang bekerja untuk mereka. Tuhan itu

sebenarnya sudah menyatu dengan diri manusia itu sendiri. Tuhan itu

sebetulnya ‘aku’ tetapi ‘aku’ tidak boleh mengaku sebagai Tuhan.35

Selain kepercayaan mereka kepada Tuhan, komunitas Kejawen percaya

bahwa alam gaib itu ada dan situasi di alam gaib itu sama denga situasi alam

nyata. Alam gaib itu bersifat metafisik. Oleh karenanya untuk berhubungan

dengan Tuhan, maka komunitas Kejawen melakukannya dengan perantara para

dewa dan roh-roh yang berada di alam gaib. Komunitas kejawen beranggapan

bahwa para dewa dan roh-roh itu tidak bisa dilihat dengan mata sehingga untuk

melihat roh-roh tersebut harus melalui laku atau ritual khusus.

2.3.2.2. Ajaran tentang dosa

Komunitas kejawen percaya akan adanya karma atau hukum tabur tuai

(ngunduh wohing panggawe). Ajaran-ajaran dalam komunitas Kejawen baik

adanya namun tergantung manusia apakah berkehendak untuk melakukannya

atau tidak. Jika tidak melakukan ajaran-ajaran dalam komunitas, maka individu

yang melanggar itu akan mendapatkan karma. Karma dapat bersifat individu

maupun bersifat turun temurun. Mereka percaya bahwa karma merupakan

hukuman yang setimpal dengan perbuatan setiap penganut kejawen yang

melanggar aturan. Agar terhindar dari hukuman karma, manusia harus menjaga

alam dan tidak boleh menaklukkannya, manusia tidak boleh bersaing dan

berambisi terhadap sesuatu dengan sifat materialistis, dan sebagainya. Oleh

35 Ibid, 60.

Page 29: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

44

karena itu penganut Kejawen harus menaati ajaran-ajaran terebut supaya sang

Pemberi itu tidak murka terhadap manusia.

2.3.2.3. Ajaran tentang sorga dan neraka

Berdasarkan pandangan mereka tentang akibat dari perbuatan dosa

yaitu karma maka komunitas Kejawen Urip Sejati memahami sorga dan

neraka bersumber dan tergantung dari sikap dan perbuatan manusia selama

manusia itu hidup. Dalam arti bahwa adanya sorga dan neraka yang dialami

oleh manusia tergantung dari perbuatan manusia selama ia masih hidup di

dunia. Jika perbuatannya tidak melanggar ajaran-ajaran Kejawen maka ia

tidak mengenal yang namanya neraka (karma) demikian pula sebaliknya.

Komunitas Kejawen percaya bahwa setelah manusia mati maka ia

kembali ke zat Tuhan (zat suci) apabila selama hidupnya selalu berbuat baik

dan sedikit melakukan kejahatan. Kemudian jika manusia itu selama

hidupnya selalu berbuat jahat dan sedikit berbuat baik maka ia tidak dapat

kembali ke zat suci melainkan ia tetap di dunia (krambyangan) selamanya

dan menjadi roh penasaran.

2.3.2.4. Keselamatan Menurut Penganut Kejawen ‘Urip Sejati’36

Komunitas kejawen memiliki tiga ajaran tentang keselamatan yaitu:

1. Manunggaling Kawula Gusti

Manunggaling Kawula Gusti berarti bersatunya manusia sebagai hamba

dengan Tuhannya atau berdekatan dengan Tuhan. Komunitas Kejawen

percaya bahwa ketika kawula lan Gusti Manunggal (bersatu dengan Tuhan)

36 Ibid, 54-58. Bnd, Mulyana, Spritualisme Jawa: Meraba Dimensi Dan Pergulatan

Religiusitas Orang Jawa, Kejawen. Jurnal Kebudayaan Jawa, (Vol. I, No.2), (Yogyakarta:

Narasi , 2006), 6-8. Band, Dyah Pramesti, Perbandingan Antara...,47-53.

Page 30: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

45

maka di situ-lah manusia mengalami puncak kesempurnaan. Kesempurnaan

dapat dipahami sebagai suatu situasi yang penuh dengan kedamaian baik bagi

dirinya, sesama dan lingkungannya.

Selanjutnya, untuk mencapai kesempurnaan yang demikian, komunitas

Kejawen melakukan Cipto Wening dan Meleng Cipto. Kedua ajaran tersebut

merupakan ajaran inti dengan cara memuji dan menyembah Tuhan sebagai

usaha manusia untuk mencapai Manunggaling Kawula Gusti. Cipto Wening

berarti menyucikan diri dari badan rohani dan Meleng Cipto berarti meminta

kepada Gusti tentang segala macam kebutuhan badaniah (keperluan hidup).

2. Sangkan Paraning Dumadi

Sangkan Paraning Dumadi artinya asal manusia sebelum lahir dan

tujuan akhir manusia sebelum mati. Ajaran ini sering dikaitkan dengan asal-

usuling dumadi (asal-usul keberadaan manusia) merupakan sebuah

pernyataan yang paling mendasar bagi orang Jawa Kejawen karena setiap

perilaku orang Jawa selalu ingin mengetahui bibit kawit (asal mula) atau wiji

(benih). Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran ini terlihat dalam ritual dalam

menyambut kelahiran seorang bayi. Sejak bayi dalam kandungan sampai ia

lahir dan berumur satu tahun, penganut kejawen mempunyai rentetan ritual

yang harus dilakukan. Hal ini bertujuan supaya selama masa pertumbuhan,

bayi tersebut selalu dalam keadaan sehat dan selamat.

Selain ritual penyambutan kelahiran bayi, penganut Kejawen juga

mempunyai ritual bagi orang mati. Bagi keluarga yang masih hidup harus

melakukan berbagai ritual agar jasad orang yang sudah mati dapat kembali ke

zat Tuhan (zat suci). Oleh karena itu, penganut Kejawen harus berziarah ke

Page 31: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

46

makam denga tujuan agar jiwa orang mati memperoleh keselamatan. Mereka

percaya bahwa ketika jiwa orang mati tidak memperoleh keselamatan, maka

arwahnya tidak akan menjadi zat suci (zat Tuhan) dan akan tinggal

bergentayangan di dunia.

3. Mamayu Hayuning Buwana

Mamayu Hayuning Buwana merupakan salah satu mistik keselamatan

Jawa. Ajaran ini merupakan Dharma Ksatria untuk menyelamatkan dan

memperindah dunia.37 Ajaran ini berkaitan dengan usaha manusia untuk

menjaga, melestarikan dan mengembangkan dunia sebagai bekal menuju

Tuhan. Usaha manusia tersebut merupakan kesadaran bahwa manusia wajib

memberikan sumbangsih untuk menyelamatkan dunia sebagai perwujudan

bahwa manusia merupakan wakil Tuhan di dunia.

2.4 Kesimpulan

Bagi masyarakat agama suku, mereka percaya bahwa alam dan segala

materinya baik makhluk hidup, benda mati, dan segala energi yang ada adalah

dunia religi mereka. Dalam konstruksi keyakinan yang demikian, maka kerap kali

dalam agama-agama suku terdapat kepercayaan bahwa sesuatu yang terdapat di

alam adalah perpanjangan tangan Dewa-dewa, Roh leluhur dan Tuhan, sehingga

segala bentuk aktivitas religi masyarakat tradisional begitu dekat dengan

lingkungan alamnya. Biasanya, konsep kepercayaan tersebut mereka rangkumkan

dalam sebuah inskripsi atau pembukuan tradisionil lainnya, bahkan hanya tradisi

lisan saja yang bekerja dalam pewarisan sistem kepercayaan tersebut. Dalam

37 RM. Wisnu Wardana, dalam Jarot Sarwadi dan David Samiyono, Pernikahan

Menurut..., 57.

Page 32: BAB II KONSEP KESELAMATAN (Sebuah Kajian Teoritik ......manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis,

47

konsep kepercayaan masyarakat tradisional seringkali hadir mitos-mitos tentang

asal mula kehidupan, penciptaan manusia pertama, hukum karma, ajaran moral

kehidupan, dewa-dewi kehidupan, hingga adanya negeri impian, ideal atau surga

pasca kehidupan di dunia. Itu-lah agama suku.