Click here to load reader
Upload
anisa-novi-alfiyana
View
28
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II KONSEP PROFESI KEGURUAN
Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa memahami:
1) Pengertian dan syarat-syarat profesi, profesi keguruan, serta perkembangan profesi
keguruan di Indonesia.
2) Pengertian dan fungsi kode etik profesional, khususnya kode etik guru Indonesia.
3) Fungsi dan tujuan organisasi profesional keguruan PGRI.
Dalam percakapan sehari-hari sering terdengar istilah profesi atau profesional. Seseorang
mengatakan bahwa profesinya sebagai seorang dokter; yang lain mengatakan bahwa
profesinya sebagai arsitek, atau ada pula sebagai pengacara, guru; malah juga ada yang
mengatakan profesinya pedagang, penyanyi, petinju, penari, tukang koran, dan sebagainya.
Para staf dan karyawan instansi militer dan pemerintahan juga tidak henti-hentinya
menyatakan akan meningkatkan keprofesionalannya. Ini berarti bahwa jabatan mereka adalah
suatu profesi juga.
Kalau diamati dengan cermat bermacam-macam profesi yang disebutkan di atas, belum dapat
dilihat dengan jelas apa yang merupakan kriteria bagi suatu pekerjaan sehingga dapat disebut
suatu profesi itu. Kelihatannya, kriterianya dapat bergerak dari segi pendidikan formal yang
diperlukan bagi seseorang untuk mendapatkan suatu profesi, sampai kepada kemampuan
yang dituntut seseorang
dalam melakukan tugasnya. Dokter dan arsitek harus melalui pendidikan tinggi yang cukup
lama, dan menjalankan pelatihan berupa pemagangan yang juga memakan waktu yang tidak
sedikit sebelum mereka diizinkan memangku jabatannya. Setelah memangku jabatannya,
mereka juga dituntut untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka
dengan tujuan meningkatkan kualitas layanannya kepada khalayak.
Sernentara itu untuk menjadi pedagang atau petinju mungkin tidak diperlukan pendidikan
tinggi, rnalah pendidikan khusus sebelum memangku jabatan itu pun tidak perlu, meskipun
latihan, baik sebelum ataupun' sefelah menggauli jabatan itu, tentu saja sangat diperlukan.
Oleh sebab itu, agar tidak menimbulkan kerancuan dalam pembicaraan selanjutnya kita harus
memperjelas pengertian profesi itu.
Pada bab ini akan dibahas pengertian profesi, profesi keguruan, syarat-syarat profesi
keguruan, kode etik, dan organisasi profesional keguruan. Hal ini amat perlu diperhatikan
mengingat jabatan guru dituntut untuk makin lama makin meningkatkan keprofesionalannya,
apalagi setelah keluarnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) RI No.
2/1989.
A. Pengertian dan Syarat-Syarat Profesi
Kebanyakan kita mengatakan bahwa mengajar adalah suatu profesi. Apakah yang dimaksud
dengan profesi, dan syarat-syarat serta kriteria yang harus dipenuhi agar suatu jabatan dapat
disebut suatu profesi. Omstein dan Levine (1984) menyatakan bahwa profesi itu adalah
jabatan yang sesuai dengan pengertian profesi di bawah ini:
/. Pengertian Profesi
Melayani masyarakat, merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat (tidak
berganti-ganti pekerjaan). Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar
jangkauan khalayak ramai (tidak setiap orang dapat melakukannya).
c) Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek (teori bam dikembangkan
dari hasil penelitian).
d) Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.
e) Terkendali berdasarkan lisensi baku dan atau mempunyai persyaratan masuk (untuk
menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau ada persyaratan khusus yang
ditentukaii untuk dapat mendudukinya).
f) Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja
tertentu (tidak diatur oleh orang luar).
g) Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan unjuk kerja yang
ditampilkan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan (langsung bertanggung jawab
terhadap apa yang diputuskannya, tidak dipindahkan ke atasan atau instansi yang Iebih
tinggi). Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.
h) Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien; dengan penekanan terhadap layanan
yang akan diberikan.
i) Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya; relatif bebas dari
supervisi dalam jabatan (misalnya dokter memakai tenaga administrasi untuk mendata klien,
sementara tidak ada supervisi dari luar terhadap pekerjaan dokter sendiri).
j) Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.
k) Mempunyai asosiasi profesi dan atau kelompok 'elit' untuk mengetahui dan mengakui
keberhasilan anggotanya (keberhasilan tugas dokter dievaluasi dan dihargai oleh organisasi
Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bukan oleh Departeman Kesehatan).
l) Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan atau menyangsikan
yang berhubungan dengan layanan yang diberikan.
m) Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggi dari publik dan kepercayaan diri setiap
anggotanya (anggota masyarakat selalu meyakini dokter Iebih tahu tentang penyakit pasien
yang dilayaninya).
n) Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi (biia disbanding dengan jabatan
lainnya).
Tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri di atas, Sanusi et al. (1991), mengutarakan ciri-ciri utama
suatu profesi itu sebagai berikut:
a) Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang menentukan (crusial).
b) Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu.
c) Keterampilan/keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan masalah
dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
d) Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematik, eksplisit,
yang bukan hanya sekadar pendapat khalayak umum.
e) Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup
lama.
f) Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai
profesional itu sendiri.
g) Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada
kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.
h) Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgement terhadap
permasalahan profesi yang dihadapinya.
i) Dalam prakteknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom ian bebas dari campur
tangan orang luar.
j) Jabatan ini mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat, (fan oleh karenanya
memperoleh imbalan yang tinggi pula.
Bila kita bandingkan kriteria yang dipakai Sanusi et al. ini kriteria Ornstein dan
Levine yang dibicarakan lebih dahulu, fata simpulkan bahwa keduanya hampir mirip, dan
saling i, dan oleh karenanya dapat kita pakai sebagai pedoman ponbicaraan selanjutnya.
Kalau kita pakai acuan ini maka jabatan pedagang, penyanyi, penari, serta tukang
koran yang disebut pada bagian pertama jelas bukan profesi. Tetapi yang akan kita bicarakan
selanjutnya adalah jabatan guru, apakah jabatan guru telah dapat disebut sebagai suatu
profesi?
2. Pengertian dan Syarat-Syarat Profesi Keguruan
Khusus untuk jabatan guru, sebenamya juga sudah ada yang niencoba menyusun
kriterianya. Misalnya National Education Association (NEA) (1948) menyarankan kriteria
berikut:
a) Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.
b) Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
c) Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama (bandingkan dengan
pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka).
d) Jabatan yang memerlukan 'latihan dalam jabatan' yang bersinambungan.
e) Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen.
f) Jabatan yang menentukan baku (standarnya) sendiri.
g) Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan
pribadi. h) Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan
terjalin erat.
Sekarang yang menjadi pertanyaan lebih lanjut adalah apakah semua kriteria ini dapat
dipenuhi oleh jabatan mengajar atau oleh guru? Mari kita lihat satu persaru.
a. Jabatan yang. Melibatkan Kegiatan Intelektual
Jelas sekali bahwa jabatan guru memenuhi kriteria ini, karena mengajar melibatkan
upaya-upaya yang sifatnya sangat didominasi kegiatan intelektual. Lebih lanjut dapat diamati,
bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota profesi ini adalah dasar bagi persiapan dari
semua kegiatan profesional lainnya. Oleh sebab itu, mengajar seringkali disebut sebagai ibu
dari segala profesi (Stinnett dan Huggett, 1963).
b. Jahatan yang Menggeluti Batang Tubuh Ilmu yang Khusus
Semua jabatan memponyai monopoli pengetahuan yang memisahkan anggota mereka
dari orang awam, dan memungkinkan mereka mengadakan pengawasan tentang jabatannya.
Anggota-anggota suatu profesi menguasai bidang ilmu yang membangun keahlian mereka
dan melindungi masyarakat dari penyalahgunaan, amatiran yang tidak terdidik, dan kelompok
tertentu yang ingin mencari keuntungan (misalnya orang-orang yang tidak bertanggung jawab
yang membuka praktek dokter). Namun, belum ada kesepakatan tentang bidang ilmu khusus
yang melatari pendidikan (education) atau keguruan (teaching) (Ornstein and Levine, 1984).
Terdapat berbagai pendapat tentang apakah mengajar memenuhi persyaratan kedua
ini. Mereka yang bergerak di bidang pendidikan menyatakan bahwa mengajar telah
mengembangkan secara jelas bidang khusus yang sangat penting dalam mempersiapkan guru
yang berwenang. Sebaliknya, ada yang berpendapat bahwa mengajar belum mempunyai
batang tubuh ilmu khusus yang dijabarkan secara ilmiah. Kelompok pertama percaya bahwa
mengajar adalah suatu sains (science), sementara kelompok kedua mengatakan bahwa
mengajar adalah suatu kiat (art) (Stinnett dan Huggett, 1963). Namun, dalam karangan-
karangan yang ditulis dalam Encyclopedia of Educational Research, misalnya terdapat bukti-
bukti bahwa pekerjaan mengajar telah secara intensif mengembangkan batang tubuh ilmu
khususnya *). Sebaliknya masih ada juga yang berpendapat bahwa ilmu pendidikan sedang
dalam krisis identitas, batang tubuhnya tidak jelas, batas-batasnya kabur, strukturnya sebagai
a body of knowledge samar-samar (Sanusi et al., 1991). Sementera itu, ilmu pengetahuan
tingkah laku (behavioral sciences), ilmu pengetahuan
*) Terbitan edisi ketiga tahun 1960, misalnya memuat lebih dari 1500 halaman hasil
riset, sebagai bukti bahwa profesi keguruan telah mengembangkan batang tubuh ilmu
khususnya. Tiap tahun dapat kita baca ribuan halaman laporan riset baru yang diterbitkan di
mana-mana, baik sebagai disertasi ataupun hasil riset para pelaksana pendidikan.
alam, dan bidang kesehatan dapat dibimbing langsung dengan peraturan dan prosedur
yang ekstensif dan menggunakan metodologi yang jelas. Ilmu pendidikan kurang terdefinisi
dengan baik. Di samping jtu, ilmu yang terpakai dalam dunia nyata pengajaran masih banyak
yang belum teruji validasinya dan yang disetujui sebagian besar ahlinya (Gideonse, 1982, dan
Woqdring, 1983).
Sebagai hasilnya, banyak orang khususnya orang awam, seperti juga dengan para
ahlinya, selalu berdebat dan berselisih, malahan kadang-kadang menimbulkan pembicaraan
yang negatif, Hasil lain dari bidang ilmu yang belum terdefinisi dengan baik ini adalah isi
dari kurikulum pendidikan guru berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya, walaupun
telah mulai disamakan dengan menentukan topik-topik inti yang wajib ada dalam kurikulum.
Banyak guru di sekolah menengah diperkirakan mengajar di luar dan bidang ilmu
yang cocok dengan ijazahnya; misalnya banyak guru matematika yang tidak mendapatkan
mayor dalam matematika sewaktu dia belajar pada lembaga pendidikan guru, ataupun mereka
tidak disiapkan untuk mengajar matematika. Masalah ini sangat menonjol dalam bidang
matematika dan ilmu pengetahuan alam, walaupun sudah agak berkurang dengan adanya
persediaan guru yang cukup sekarang ini.
Apakah guru bidang ilmu pengetahuan tertentu juga ditentukan oleh baku pendidikan
dan pelatihannya? Sampai saat pendidikan guru banyak yang ditentukan dari atas, ada yang
waktu pendidikannya cukup dua tahun saja, ada yang perlu tiga tahun atau harus empat tahun.
Untuk melangkah kepada jabatan profesional, guru harus mempunyai pengaruh yang
cukup besar dalam membuat keputusan tentang jabatannya sendiri. Organisasi guru harus
mempunyai kekuasaan dan kepemimpinan yang potensial untuk bekerja sama, dan bukan
didikte dengan kelompok yang berkepentingan, misalnya oleh lembaga pendidikan guru atau
kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan beserta jajarannya.
c, Jabatan yang Memerhtkan Persiapan Latihan yang Lama
Lagi-lagi terdapat perselisihan pendapat mengenai hal ini. Yang membedakan jabatan
profesional dengan non-profesional antara lain adalah dalam penyelesaian pendidikan melalui
kurikulum, yaitu ada yang diatur universitas/institut atau melalui pengalaman praktek dan
pemagangan atau campuran pemagangan dan kuliah. Yang pertama, yakni pendidikan
melalui perguruan tinggi disediakan untuk jabatan profesional, sedangkan yang kedua, yakni
pendidikan melalui pengalaman praktek dan pemagangan atau campuran pemagangan dan
kuliah diperuntukkan bagi jabatan yang non-profesional (Ornstein dan Levine, 1984). Tetapi
jenis kedua ini tidak ada lagi di Indonesia.
Anggota kelompok guru dan yang berwenang di departemen pendidikan dan
kebudayaan berpendapat bahwa persiapan profesional yang cukup lama amat perlu untuk
mendidik guru yang berwenang. Konsep ini menjelaskan keharusan memenuhi kurikulum
perguruan tinggi, yang terdiri dari pendidikan umum, profesional, dan khusus, sekurang-
kurangnya empat tahun bagi guru pemula (SI di LPTK), atau pendidikan persiapan
profesiona! di LPTK paling kurang selama setahun setelah mendapat gelar akademik SI di
perguruan tinggi non-LPTK. Namun, sampai sekarang di Indonesia, ternyata masih banyak
guru yang lama pendidikan mereka sangat singkat, malahan masih ada yang hanya seminggu,
sehingga tentu saja kualitasnya masih sangat jauh untuk dapat memenuhi persyaratan yang
kita harapkan.
d. Jabatan yang Memerlukan Latihan dalam Jabatan yang Sinambung
Jabatan guru cenderung menunjukkan bukti yang kuat sebagai jabatan profesional,
sebab hampir tiap tahun guru melakukan berbagai kegiatan latihan profesional, baik yang
mendapatkan penghargaan kredit maupun tanpa kredit. Malahan pada saat sekarang
bermacam-macam pendidikan profesional tambahan diikuti guru-guru dalam menyetarakan
dirinya dengan kualifikasi yang telah ditetapkan. (Ingat penyetaraan D-D untuk guru-guru
SD, dan penyetaraan
D-III untuk guru-guru SLTP, baik melalui tatap muka di LPTK tertentu maupun lewat
pendidikan jarak jauh yang dikoordinasikan Universitas Terbuka.)
Dilihat dari kacamata ini, jelas kriteria ke empat ini dapat dipenuhi bagi jabatan guru
di negara kita.
e. Jabatan yang Menjanjikan Karier Hidup dan Keanggotaan yang Permanen
Di luar negeri barangkali syarat jabatan guru sebagai karier permanen merupakan titik
yang paling lemah dalam menuntut bahwa mengajar adalah jabatan profesional. Banyak guru
baru yang hanya bertahan selama satu atau dua tahun saja pada profesi mengajar, setelah itu
mereka pindah kerja ke bidang lain, yang lebih banyak menjanjikan bayaran yang lebih
tinggi. Untunglah di Indonesia kelihatannya tidak begitu banyak guru yang pindah ke bidang
lain, walaupun bukan berarti pula bahwa jabatan guru di Indonesia mempunyai .pendapatan
yang tinggi. Alasannya mungkin karena lapangan kerja dan sistem pindah jabatan yang agak
sulit. Dengan demikian kriteria ini dapat dipenuhi oleh jabatan guru di Indonesia.
f. Jabatan yang Menentukan Bakunya Sendiri
Karena jabatan guru menyangkut hajat orang banyak, maka baku untuk jabatan guru
ini sering tidak diciptakan oleh anggota profesi sendiri, terutama di negara kita. Baku jabatan
guru masih sangat banyak diatur oleh pihak pemerintah, atau pihak lain yang menggunakan
tenaga guru tersebut seperti yayasan pendidikan swasta.
Sementara kebanyakan jabatan mempunyai patokan dan persyaratan yang seragam
untuk meyakinkan kemampuan minimum yang diharuskan, tidak demikian halnya dengan
jabatan guru. Dari pengalarnan beberapa tahun terakhir penerimaan calon mahasiswa LPTK
didapat kesan yang sangat kuat bahwa skor nilai calon mahasiswa yang masuk ke lembaga
pendidikan guru jauh lebih rendah dibandingkan dengan skor calon yang masuk ke bi-dang
lainnya. Permasalahan ini mempunyai akibat juga dalara hasil pendidikan guru nantinya,
karena bagaimanapun juga mutu lu-lusan akan sangat dipengaruhi oleh mutu masukan atau
bahan bakunya, dalam hal ini mutu calon mahasiswa lembaga pendidikan guru.
Dalam setiap jabatan profesi setiap anggota kelompok dianggap sanggup untuk
membuat keputusan profesional berhubungan dengan iklim kerjanya. Para profesional
biasanya membuat peraturan sendiri dalam daerah kompetensinya, kebiasaan dan tradisi yang
berhubungan dengan pengawasan yang efektif tentang hal-hal yang berhubungan dengan
pekerjaan dan hal-hal yang berhubungan dengan langganan (klien)nya. Sebetulnya
pengawasan luar adalah musuh alam dari profesi, karena riiembatasi kekuasaan profesi dan
membuka pintu terhadap pengaruh luar (Ornstein dan Levine, 1984).
Dokter dan pengacara misalnya, menyediakan layanan untuk masyarakat, sementara
kliennya membayar untuk itu, namun tak seorang pun mengharap bahwa orang banyak atau
klien akan menulis resep ataupun yang menulis kontrak. Bila klien ikut mempengaruhi
keputusan dari praktek dokter atau pengacara, maka hubungan profesional-klien berakhir. Ini
pada hakikatnya berarti mempertahankan klien dari mangsa ketidaktahuannya, di samping
juga menjaga profesi dari penilaian yang tidak rasional dari klien atau khalayak ramai.
Peter Blau dan W. Richard Scott (1965: 51-52) menulis:
"Professional service ... requires that the [professional] maintain independence of
judgement and not permit the clients'wishes as distinguished from their interests to influence
his decisions."
Para profesional harus mempunyai pengetahuan dan kecakapan dalam membuat
penilaian, sebaliknya tidak demikian dengan klien, sebagaimana ditulis Blau dan Scott,
"and the clients not qualified to evaluate the services he needs.''Profesional yang
membolehkan langganannya untuk mengatakan apa yang harus dia kerjakan akan gagal
dalam memberikan layanan yang <jptimal.
Bagainiana dengan guru? Guru, sebagaimana sudah diutarakan juga di atas,
sebalikhya membolehkan orang tua, kepala sekolah, pejabat kantor wilayah, atau anggota
masyarakat lainnya mengatakan apa yang harus dilakukan mereka. Otonomi profesional tidak
berarti bahwa tidak ada sama sekali kontrol terhadap profesional. Sebaliknya, ini berarti
bahwa kontrol yang memerlukan kompetensi teknis hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
yang mempunyai kemampuan profesional dalam hal itu.
Kelihatannya untuk masa sekarang sesuai dengan kondisi yang ada di negara kita,
kriteria ini belum dapat secafa keseluruhan dipenuhi oleh jabatan guru.
g. Jabatan yang Mementingkan Layanan di Atas Keuntungan Pfibadi
Jabatan mengajar adalah jabatan yang mempunyai nilai sosial yang tinggi, tidak perlu
diragukan lagi. Guru yang baik akan sangat berperan dalam mempengaruhi kehidupan yang
lebih baik dari warga negara masa depan.
Jabatan guru telah terkenal secara universal sebagai suatu jabatan yang anggotanya
termotivasi oleh keinginan untuk membantu orang lain, bukan disebabkan oleh keuntungan
ekonomi atau keuangan. Kebanyakan guru memilih jabatan ini berdasarkan apa yang
dianggap baik oleh mereka yakni mendapatkan kepuasan rohaniah ketimbang kepuasan
ekonomi atau lahiriah. Namun, ini tidak berarti bahwa guru harus dibayar lebih rendah tetapi
juga jangan mengharapkan akan cepat kaya bila memilih jabatan guru. Oleh sebab itu, tidak
perlu diraguk^ilagi bahwa persyaratan ketujuh ini dapat dipenuhi dengan baik.
h. Jabatan yang Mempunyai Qrganisasi Profesional yang Kuat dan Terjalin Rapat
Semua profesi yang dikenal mempunyai organisasi profesional yang kuat untuk dapat
mewadahi tujuan bersama dan melindungi anggotanya. Dalam beberapa hal, jabatan guru
telah memenuhi kriteria ini dan dalam hal lain belum dapat dicapai. Di Indonesia telah ada
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan wadah seluruh guru mulai dari
guru taman kanak-kanak sampai guru sekolah lanjutan atas, dan ada pula Ikatan Sarjana
Pendidikan Indonesia (ISPI) yang mewadahi seluruh sarjana pendidikan. Di samping itu, juga
telah ada kelompok guru mata pelajaran sejenis, baik pada tingkat daerah maupun nasional,
namun belum terkait secara baik dengan PGRI. Harus dicarikan usaha yang sungguh-sungguh
agar kelompok-kelompok guru mata pelajaran sejenis itu tidak dihilangkan, tetapi dirangkul
ke dalam pangkuan PGRI sehingga merupakan jalinan yang amat rapi dari suatu profesi yang
biak.
Berdasarkan analisis ini tampaknya jabatan guru belum sepenuhnya dapat
dikategorikan sebagai suatu profesi yang utuh, dan bahkan banyak orang sependapat bahwa
guru hanya jabatan semiprofesional atau profesi yang baru muncul (emerging profession)
karena belum semua ciri-ciri di atas yang dapat dipenuhi.
Menurut Amitai Etzioni (1969: p. v.), guru adalah jabatan semiprofesional disebabkan
oleh:
"... the training [of teachers] is shorten, their status less legitimated [low or
moderate], their right to privileged communication less established; theirs is less of a
specialized knowledge, and they have less autonomy from supervision or societal'control than
'the professions' ...
Selanjutnya Robert B. Howsam et al. (1976), menulis bahwa guru hams dilihat
sebagai profesi yang baru muncul, dan karena itu mempunyai status yang lebih tinggi dari
jabatan semiprofesional, malahan mendekari status jabatan profesi penuh. Pada saat sekarang,
seperti telah dijelaskan juga di depan, sebagian orang cenderung raenyatakan guru sebagai
suatu profesi, dan sebagian lagi tidak mengakuinya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan jabatan
guru sebagian, tapi bukan seluruhnya, adalah jabatan profesional, namun sedang bergerak ke
arah itu. Kita di Indonesia dapat merasakan jalan ke arah itu "mulai ditapaki, misalnya
dengan adanya peraturan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa yang boleh
menjadi guru hanya yang mempunyai akta mengajar yang dikeluarkan oleh Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Selain itu, juga guru diberi penghargaan oleh
pemerintah melalui Keputusan Menpan No. 26 Tahun 1989, dengan memberikan tunjangan
fungsional sebagai pengajar, dan dengan kemungkinan kenaikan pangkat yang terbuka.
Setelah dibicarakan profesionalisasi secara panjang lebar, mungkin timbul pertanyaan,
untuk apa dibicarakan profesionalisasi dalam dunia kependidikan? Kalau dipahami secara
baik kriteria jabatan profesional yang telah dibicarakan di atas, maka jelaslah bahwa jabatan
profesional sangat memperhatikan layanan yang diberikan kepada masyarakat. Oleh sebab
itu, dalam rangka menjaga dan meningkatkan layanan ini secara optimal serta menjaga agar
masyarakat jangan sampai dirugikan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab,
tuntutan jabatan profesional harus sangat tinggi. Profesi kependidikan, khususnya profesi
keguruan mempunyai tugas utama melayani masyarakat dalam dunia pendidikan. Sejalan
dengan alasan tersebut, jelas kiranya bahwa profesionalisasi dalam bidang keguruan
mengandung arti peningkatan segala daya dan usaha dalam rangka pencapaian secara optimal
layanan yang akan diberikan kepada masyarakat. Lebih khusus lagi, Sanusi et ah (1991)
mengajukan enam asumsi yang melandasi perlunya profesionalisasi dalam pendidikan (dan
bukan dilakukan secara acak saja), yakni sebagai berikut:
1) Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi,
dan perasaan, dan dapat dikembangkan segala potensinya; sementara itu pendidikan dilandasi
oleh nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai martabat manusia.
2) Pendidikan dilakukan secara intensional, yakni secara sadar dan beitujuan, maka
pendidikan menjadi normatif yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik secara
universal, nasional, maupun lokal, yang merupakan acuan para pendidik, peserta didik, dan
pengelola pendidikan.
3) Teori-teori pendidikan merupakan kerangka hipotetis dalarm menjawab
permasalahan pendidikan.
4) Pendidikan bertolak dari asumsi pokok tentang manusia, yakni manusia
mempunyai potensi yang baik untuk berkembang. Oleh sebab itu, pendidikan adalah usaha
untuk mengembangkan potensi unggul tersebut.
5) Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yakni situasi di mana terjadi dialog
antara peserta didik dengan pendidik, yang memungkinkan peserta didik tumbuh ke arah
yang dikehendaki oleh pendidik dan selaras dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi
masyarakat.
6) Sering terjadinya dilema antara tujuan utama pendidikan, yakni menjadikan
manusia sebagai manusia yang baik (dirnensi intrinsik), dengan misi instrumental yakni yang
merupakan alat untuk perubahan atau mencapai sesuatu.
3. Perkembangan Profesi Keguruan
Kalau kita ikuti perkembangan profesi keguruan di Indonesia, jelas bahwa pada
mulanya guru-guru Indonesia diangkat dari orang-orang yang tidak berpendidikan khusus
untuk memangku jabatan guru. Dalam bukunya Sejarah Pendidikan Indonesia, Nasution
(1987) secara jelas melukiskan sejarah pendidikan di Indonesia terutama dalam zaman
kolonial Belanda, termasuk juga sejarah profesi keguruan. Guru-guru yang pada mulanya
diangkat dari orang-orang yang tidak dididik secara khusus menjadi guru, secara berangsur-
angsur dilengkapi dan ditambah dengan guru-guru yang lulus dari sekolah guru
(Kweekschool) yang pertama kali didirikan di Solo tahun 1852. KaieriW kebutuhan guru
yang mendesak maka Pemerintah Hindia Belanda mengangkat lima macam guru, yakni:
(1) guru lulusan sekblah guru yang dianggap sebagai guru yang berwenang penuh, (2^
guru yang bukan lulusan sekolah guru, tetapi lulus iijian yang diadafcan untukmenjadi guru,
(3) guru bantu, yakni yang Krnis ujian guru bantu*. (4) guru yang dimagangkan kepada
seorang guru senior, yang merupakan calon guru, dan (5) guru yang diangkat karena keadaan
yang amat mendesak yang berasal dari warga yang pernah>mengecap pendidikan. Teritu saja
yang terakhir ini sangat beragam dari satu daerah dengan daerah lainnya.
Walaupun sekolah guru telah dimulai dan kemudian juga didirikan sekolah normal,
namun pada mulanya bila dilihat dari kurikulumnya dapat kita katakan hanya mementingkan
pengetahuan yang akan diajarkan saja. Ke dalamnya belum dimasukkan secara khusus
kurikulum ilmu mendidik dan psikologi. Sejalan dengan pendjrian sekolah-sekolah yang
lebih tinggi tingkatnya dari sekolah umum seperti Hollands Inlandse School (HIS), M'eer
Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO), Hogere Burgeschool (HBS), dan Algemene
Middelbare School (AMS) maka secara berangsur-angsur didirikan pula lembaga pendidikan
guru atau kursus-kursus; untuk mempersiapkan guru-gurunya, seperti Hogere Kweekschool
(HKS) untuk guru HIS dan kursus Hoofdacte (HA) untuk calon kepala sekolah (Nasution,
1987).
Keadaan yang demikian berlanjut sampai zaman pendudukan Jepang dan awal perang
kemerdekaan, walaupun dengan nama dan bentuk lembaga pendidikan guru yang disesuaikan
dengan keadaan waktu itu. Selangkah demi selangkah pendidikan guru meningkatkan jenjang
kualifikasi dan mutunya, sehingga saat ini kita hanya mempunyai lembaga pendidikan guru
yang tunggal, yakni Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Walaupun jabatan guru tidak harus disebut sebagai jabatan profesional penuh,
statusnya mulai membailc. Di Indonesia telah ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
yang mewadahi persatuan guru, dan juga mempunyai perwakilan di DPR/MPR. Apakah para
wakil daiit organisasi ini telah mewakili semua keinginan para guruj baik dari segi
profesional ataupun kesejahteraan? Apakah guru betul -betul jabatan profesional, sehingga
jabatan guru terlindungi, merapunyai otoritas tinggi dalam bidangnya, dihargai dan
mempunyai status yang tinggi dalam raasyarakat, semuanya akan tergantung kepada guru itu
sendiri dan unjuk kerjanya, serta masyarakat dan pemerintah yang memakai atau
mendapatkan layanan guru itu.
Dalam sejarah pendidikan guru di Indonesia, guru pernah mempunyai status yang
sangat tinggi dalam masyarakat, mempunyai wibawa yang sangat tinggi, dan dianggap
sebagai orang yang serba tahu. Peranan guru saat itu tidak hanya mendidik anak di depan
kelas, tetapi mendidik masyarakat, tempat bagi masyarakat untuk bertanya, baik untuk
memecahkan masalah pribadi ataupun masalah sosial. Namun, kewibawaan guru mulai
memudar sejalan dengan kemajuan zaman, perkembangan ilmu dan teknologi, dan
kepedulian guru yang meningkat tentang imbalan atau balas jasa (Sanusi et al., 1991). Dalam
era teknologi yang maju sekarang, guru bukan lagi satu-satunya tempat bertanya bagi
masyarakat. Pendidikan masyarakat mungkin lebih tinggi dari guru, dan kewibawaan guru
berkurang antara lain karena status guru dianggap kalah gengsi dari jabatan lainnya yang
mempunyai pendapatan yang lebih baik.
B. Kode Etik Profesi Keguruan
Setiap profesi, seperti telah dibicarakan dalam bagian terdahulu, hams mempunyai
kode etik profesi. Dengan demikian, jabatan dokter, notaris, arsitek, guru, dan lain-lain yang
merupakan bidang pekerjaan profesi mempunyai kode etik. Sama halnya dengan kata profesi
sendiri, penafsiran tentang kode etik juga belum memiliki pengertian yang sama. Sebagai
contoh, dapat dicantumkan beberapa pengertian kode .etik, antara lain sebagai berikut:
1. Pengertian Kode Etik
a) Menurut Uadang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian. Pasal 28 Undang-Undang ini dengan jelas menyatakan bahwa "Pegawai
Negeri Sipil mempunyai Kode Etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan di
dalam dan diluar kedinasan." Dalam penjelasan Undang-Uhdang tersebut dinyatakan bahwa
dengan adanya Kode Etik ini, pegawai negeri sipil sebagai aparatur negara, abdi negara, dan
abdi masyarakat mempunyai pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam
melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya, dalam Kode Etik
Pegawai Negeri Sipil itu digariskan pula prinsip-prinsip pokok tentang pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab pegawai negeri. Dari uraian ini dapat kita simpulkan, bahwa kode etik
merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan di dalam melaksanakan tugas dan
dalam hidup sehari-hari.
b) Dalam pidato pembukaan Kongres PGRI Xffl, Basuni sebagai Ketua Umum
PGRI menyatakan bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan landasan moral dan
pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya
bekerja sebagai guru (PGRI, 1973). Dari pendapat Ketua Umum PGRI ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam1 Kode Etik Guru Indonesia terdapat dua unsur pokok yakni: (1)
Sebagai landasan moral. (2) Sebagai pedoman tingkah laku.
Dari uraian tersebut kelihatan, bahwa kode etik suatu profesi adalah norma-norma
yang hams diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya
dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para
anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanakan profesinya dan larangan-larangan,
yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh
mereka, tidak saja dalam menjalankan tugas profesi mereka, melainkan juga menyangkut
tingkah laku anggota profesi pada umumnya dalam pergaulannya sehari-hari di dalam
masyarakat.
2. Tujuan Kode Etik
Pada dasarnya tujuan merarnuskan kode etik dalam suatu profesi adalah untuk
kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Secara umum tujuan
mengadakan kode etik adalah sebagai berikut (R. Hermawan S, 1979): >
a) Untuk menjunjung tinggi martabat profesi
Dalam hal ini kode etik dapat menjaga pandangan dan kesan dari pihak luar atau
masyarakat, agar mereka jangan sampai memandang rendah atau remeh terhadap profesi
yang bersangkutan. Oleh karenanya, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai
bentuk tindak-tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik
profesi terhadap dunia luar. Dari segi ini, kode etik juga seringkali disebut kode kehormatan.
b) Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya
Yang dimaksud kesejahteraan di sini meliputi baik kesejahteraan lahir (atau material)
maupun kesejahteraan batin (spiritual atau mental). Dalam hal kesejahteraan lahir para
anggota profesi, kode etik umumnya memuat larangan-larangan kepada para anggotanya
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kesejahteraan para anggotanya.
Misalnya dengan menetapkan tarif-tarif minimum bagi honorarium anggota profesi dalam
melaksanakan tugasnya, sehingga siapa-siapa yang mengadakan tarif di bawah minimum
akan dianggap tercela dan merugikan rekan-rekan seprofesi. Dalam hal kesejahteraan batin
para anggota profesi, kode etik umumnya memberi petunjuk-petunjuk kepada para
anggotanya untuk melaksanakan profesinya.
Kode etik juga sering mengandung peraturan-peraturan yang bertujuan membatasi
tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur bagi para anggota profesi dalam berinteraksi
dengan sesama rekan anggota profesi.
c) Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
Tujuan lain kode etik dapat juga berkaitan dengan peningkatan kegiatan pengabdian
profesi, sehingga bagi para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan
tanggung jawab pengabdiannya dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, kode etik
merumuskari-ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi dalam
menjalankan tugasnya.
d) Unfftk meningkatkan mutu profesi
Wntuk meningkatkan mutu profesi kode etik juga memuat norma-norma dan anjuran
agar para anggota profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para
anggotanya.
e) Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi
Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diwajibkan kepada setiap anggota
untuk secara aktif berpartisipasi dalam membina organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan
yang dirancang organisasi.
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan suatu profesi menyusun
kode etik adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara
kesejahteraan para anggota, meningkatkan pengabdian anggota profesi, dan meningkatkan
mutu profesi dan mutu organisasi profesi.
3. Penetapan Kode Etik
Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh suatu organisasi profesi yang berlaku dan
mengikat para anggotanya. Penetapan kode etik lazim dilakukan pada suatu kongres
organisasi profesi. Dengan demikian, penetapan kode etik tidak boleh dilakukan oleh orang
secara perprangan, melainkan hams dilakukan oleh orang-orang yang diutus untuk dan atas
nama anggota-anggota profesi dari organisasi tersebut. Dengan demikian, jelas bahwa orang-
orang yang bukan atau tidak menjadi anggota profesi tersebut, tidak dapat dikenakan aturan
yang ada dalam kode etik tersebut. Kode etik suatu profesi hanya akan mempunyai pengaruh
yang kuat dalam menegakkan disiplin dikaiangan profesi tersebut, jika semua orang yang
menjalankan profesi tersebut tergabung (menjadi anggota) dalam organisasi profesi yang
bersangkutan. Apabila setiap orang yang menjalankan suatu profesi secara otomatis
tergabung di dalam suatu organisasi atau ikatan profesional, maka barulah ada jaminan
bahwa profesi tersebut dapat dijalankan secara raurni dan baik, karena setiap anggpta profesi
yang melakukan pelanggaran yang serius terhadap kode etik dapat dikenakan sanksi.
4. Sanksi Pelanggaran Kode Etik
Sering juga kita jumpai, bahwa ada kalanya negara mencampuri urusan profesi,
sehingga hal-hal yang semula hanya merupakan kode etik dari suatu profesi tertentu dapat
meningkat menjadi peraturan hukum atau undang-undang. Apabila halnya demikian, maka
aturan yang mulanya sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku meningkat menjadi
aturan yang membenkan sanksi-sanksi hukum yang sifatnya memaksa, baik berupa sanksi
perdata maupun sanksi pidana.
Sebagai contoh dalam hal ini jika seseorang anggota profesi bersaing secara tidak
jujur atau curang dengan sesama anggota profesinya, dan jika dianggap kecurangan itu serius
ia dapat dituntut di muka pengadilan. Pada umumnya, karena kode etik adalah landasan
moral dan merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan maka sanksi terhadap
pelanggaran kode etik adalah sanksi moral. Barangsiapa melanggar kode etik akan mendapat
celaan dari rekan-rekannya, sedangkan sanksi yang dianggap terberat adalah sipelanggar
dikeluarkan dari organisasi profesi. Adanya kode etik dalam suatu organisasi profesi tertentu,
menandakan bahwa organisasi profesi itu telah mantap,
5. Kode Etik Guru Indonesia
Kode Etik Guru Indonesia dapat dirumuskan sebagai himpunan nilai-nilai dan norma-
norma profesi guru yang tersusun dengan baik dan sistematik dalam suatu sistem yang utuh
dan bulat. Fungsi Kode Etik Guru Indonesia adalah sebagai landasan moral dan pedoman
tingkah laku setiap guru warga PGRI dalam menunaikan tugas pengabdiannya sebagai guru,
baik di dalam maupun di luar sekolah serta dalarn kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Dengan demikian, maka Kode Etik Guru Indonesia merupakan alat yang amat penting untuk
pembentukan sikap prbfesional para anggota profesi keguruan.
Sebagaimana halnya dengan profesi lainnya, Kode Etik Guru Indonesia ditetapkan
dalam suatu kongres yang dihadiri oleh seluruh utusan Cabang dan Pengurus Daerah, PGRI
dari seluruh penjuru tanah air, pertama dalam Kongres XIII di Jakarta tahun 1973, dan
kemudian disempurnakan dalam Kongres PGRI XVI tahun 1989 juga di Jakarta. Adapun teks
Kode Etik Guru Indonesia yang telah disempurnakan tersebut adalah sebagai berikut*):
KODE ETIK GURU INDONESIA
Guru Indonesia menyadari, bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, bangsa, dan negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru
Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setiap pada Undang-Undang Dasar 1945, rurut
bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, Guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya
dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut:
1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia
seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan
melakukaii bimbingan dan pembinaan.
4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya
proses belajar-mengajar.
*) Dikutip dari lembaran Kode Etik Guru Indonesia (yang disempurnakan pada
Kongres XVI, Tahun 1989 di Jakarta) lerbitan PGRI.
5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua raurid dan masyarakat
sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6. Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu
dan martabat profesinya.
7. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan
sosial.
8. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI
sebagai sarana perjuangan dan pehgabdian.
9. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.
C. Organisasi Profesional Keguruan
1. Fungsi Organisasi Profesional Keguruan
Seperti yang telah disebutkan dalam salah satu kriteria jabatan profesional, jabatan
profesi harus mempunyai wadah untuk menyatukan gerak langkah dan mengendalikan
keseluruhan profesi, yakni organisasi profesi. Bagi guru-guru di negara kita, wadah ini telah
ada yakni Persatuan Guru Repubiik Indonesia yang lebih dikenal dengan singkatan PGRI.
PGRI didirikan di Surakarta pada tanggal 25 November 1945, sebagai perwujudan aspirasi
guru Indonesia dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa (Hermawan S., 1989). Salah
satu tujuan PGRI adalah mempertinggi kesadaran, sikap, mutu, dan kegiatan profesi guru
serta meningkatkan kesejahteraan mereka (Basuni, 1986). Selanjutnya, Basuni menguraikan
empat misi utama PGRI, yakni: (a) Misi politis/ideologi, (b) Misi persatuan organisatoris, (c)
Misi profesi, dan (d) Misi kesejahteraan. Kelihatannya, dari praktek pelaksanaan keempat
misi tersebut dua misi pertama - misi politis/ideologis, dan misi persatuan/organisasi - lebih
menonjol realisasinya dalam program-program PGRI. Ini dapat dibuktikan dengan telah
adanya wakil-wakil PGRI dalam badan legislatif seperti DPR dan MPR. Peranan yang lebih
menonjol ini dapat kita pahami sesuai dengan tahap perkembangan dan pembangunan bangsa
dalam era orde baru ini.
Dalam pelaksanaan misi lainnya, misi kesejahteraan, kelihatannya masih perlu
ditingkatkan. Sementara pelaksanaan misi ketiga, misi profesi, belum tampak kiprah
nyatanya dan belum terlalu melembaga.
Dalam kaitannya dengan pengembangan profesional guru, PGRI sampai saat ini
masih mengandalkan pihak pemerintah, misalnya dalam merencanakan dan melakukan
program-program penataran guru serta program peningkatan mutu lainnya. PGRI belum
banyak merencanakan dan melakukan program atau kegiatan yang berkaitan dengan
perbaikan cara mengajar, peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru, peningkatan
kualifikasi guru, atau melakukan penelitian ilmiah tentang masalah-masalah profesional yang
dihadapi oleh para guru dewasa ini.
Kebanyakan kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan mutu profesi biasanya
dilakukan bersamaan dengan kegiatan peringatan ulahg tahun atau kongres, baik di pusat
maupun di daerah (Sanusi etal., 1991). Oleh sebab itu, peranan organisasi ini dalam
peningkatan mutu profesional keguruan belum begitu menonjol.
2. Jenis-Jenis Organisasi Keguruan
Di samping PGRI sebagai satu-satunya organisasi guru-guru sekolah yang diakui
pemerintah sampai saat ini, ada organisasi guru yang disebut Musyawarah .Guru Mata
Pelajaran (MGMP) sejenis yang didirikan atas anjuran pejabat-pejabat Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan mutu dan
profesionalisasi dari guru dalam kelompoknya masing-masing. Kegiatan-kegiatan dalam
kelompok ini diatur dengan jadwal yang cukiip baik. Sayangnyaj belum ada keterkaitan dan
hubungan formal antara kelompok guru-guru dalam MGMP ini dengan PGRI.
Selain PGRI, ada lagi organisasi profesional resmi di bidang pendidikan yang harus
kita ketahui juga yakni Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), yang saat ini telah
mempunyai divisi-divisi antara lain: Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), Himpunan
Sarjana Administrasi Pendidikan Indonesia (HISAPIN), Himpunan Sarjana Pendidikan
Bahasa Indonesia (HSPBI), dan lain-lain. Hubungan formal antara organisasi-organisasi ini
dengan PGRI masih belum tarnpak secara nyata, sehingga belum didapatkan kerja sama yang
saling menunjang dan menguntungkan dalam peningkatan mutu anggotanya. Sebagian
anggota PGRI yang sarjana mungkin juga menjadi anggota salah satu divisi dari ISPI, tetapi
tidak banyak anggota ISPI staf pengajar di LPTK yang juga menjadi anggota PGRI.
Rangkuman
Jabatan guru merupakan jabatan profesional, dan sebagai jabatan profesional,
pemegangnya harus memenuhi kualifikasi tertentu. Kriteria jabatan profesional antara lain
bahwa jabatan itu melibatkan kegiatan intelektual, mempunyai batang tubuh ilmu yang
khusus, memerlukan persiapan lama untuk memangkunya, memerlukan latihan dalam jabatan
yang bersinambungan, merupakan karier hidup dan keanggotaan yang permanen,
menentukan baku perilakunya, mementingkan layanan, mempunyai organisasi profesional,
dan mempunyai kode etik yang ditaati oleh anggotanya.
Jabatan guru belum dapat memenuhi secara maksimal persyaratan itu, namun
perkembangannya di tanah air menunjukkan arah untuk terpenuhinya persyaratan tersebut.
Usaha untuk ini sangat tergantung kepada niat, perilaku dan komitmen dari guru sendiri dan
organisasi yang berhubungan dengan itu, selain juga, oleh kebijaksanaan pemerintah.
Daftar Pustaka
Amitai, Etzioni. 1969. The Semiprofessions and Their Organization Teachers, Nurses,
and Social Workers. New York: Free Press.
Blau, Peter dan Scott, W. Richard. 1965. Formal Organization. San Francisco:
Chandler.
Departemen Penerangan Republik Indonesia. 1974. Undang-Undang Republik
Indonesia No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Jakarta: Dep. Penerangan
R.I.
Gideonse, Hendrick D.. 1982. The Necessary Revolution in Teacher Education.
Bloomington, Ind: Phi Delta Kappa.
Harris, Chester (ed.). 1960. Encyclopedia of Educational Research, erd. ed. New
York: The Macmillan Company, 1564 pp.
Hermawan, S. R.. 1979. Etika Keguruan. Suatu Pendekatan Terhadap Profesi dan
Kode Etik Guru Indonesia. Jakarta: FT Margi Hayu.
Howsam, Robert B., et al. 1976. Educating a Profession. Washington D.C: American
Association of Colleges for Teachers Education.
Nasutiorif S.. 1987. Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung: Penerbit -. ..• =
Jenmars. ,
National Education Association, Division of Field Service. 1948. The Yardstick of a
Profession. Dalam Institutes on Professional and Publik Relation* Washington D.C.: The
Association. Ornstein, Allan C., dan Levine, Daniel U.. 1984. An Introduction to the
Foundations of Education.. Third Edition. Boston: Houghton Mifflin Company.
PGRI. 1973. Kenang-Kenangan Kongrres PGRI XIII 21 s/d 25
November 1973 dan HUT PGRI XXVHI. Jakarta: PGRI.
Sanusi, Achmad, et al. 1991. Studi Pengembangan Model Pendidikan
Profesional Tenaga Kependidikan. Bandung: IKIP Bandung
Departemen P dan K.
Stinnett, T.M., dan Huggett, Albert J.. 1963. Professional Problems of Teachers.
Second Edition. New York: The Macmillan
Company. Suryamihardja, Basuni. 1986. PGRI sebagai Organisasi Profesi bagi
Guru. Bandung: IPBI.
Woodring, Paul. 1983. The Persistent Problems of Education. Bloonungton, Ind:
Phi Delta Kappa.