Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
16
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kinerja Usaha
Kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional organisasi,
bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang
telah ditetapkan sebelumnya. Menurut Mangkunegara (2001), kinerja adalah: hasil
kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai oleh seorang pegawai dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Kinerja adalah penampilan hasil karya personel baik kuantitas maupun kualitas dalam
suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kerja
kelompok personel. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personel yang
memangku jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada keseluruhan
jajaran personel di dalam organisasi. Deskripsi dari kinerja menyangkut tiga
komponen penting, yaitu: tujuan, ukuran dan penilaian. Penentuan tujuan dari setiap
unit organisasi merupakan strategi untuk meningkatkan kinerja. Tujuan ini akan
memberi arah dan memengaruhi bagaimana seharusnya perilaku kerja yang
diharapkan organisasi terhadap setiap personel. Walaupun demikian, penentuan
tujuan saja tidaklah cukup, sebab itu dibutuhkan ukuran, apakah seseorang telah
mencapai kinerja yang diharapkan.
16
17
Menurut Notoatmodjo (2009), ada teori yang mengemukakan tentang faktor-
faktor yang memengaruhi kinerja yang disingkat menjadi “ACHIEVE” yang artinya
Ability (kemampuan yang dapat dikembangkan), Capacity (kemampuan yang sudah
tertentukan/terbatas), Help (bantuan untuk terwujudnya performance), Incentive
(insentif material maupun non material), Environment (lingkungan tempat kerja
karyawan), Validity (pedoman/petunjuk dan uraian tugas), dan Evaluation (adanya
umpan balik hasil kerja).
Kinerja adalah suatu konsep kontekstual terkait dengan fenomena yang
sedang dipelajari, sehingga langkah-langkah yang digunakan untuk mewakili kinerja
dipilih berdasarkan keadaan perusahaan yang sedang diamati. Penilaian kinerja
merupakan aktivitas penting bagi suatu perusahaan sebagai proses evaluasi seluruh
aktivitasnya. Sifat dasar kinerja suatu perusahaan dan pengukurannya menjadi topik
para ahli dan praktisi sejak perusahaan pertama kali dibentuk. Tetapi penilaian kinerja
sering menjadi masalah karena penilaian kinerja seakan-akan hanya ditujukan untuk
tujuan evaluasi semata dan mengesampingkan tujuan yang lain seperti tujuan
pengembangan kompetensi dan kemampuan individu dalam melaksanakan tugas serta
tujuan lainnya.
2.2 Daya Saing
Daya saing adalah suatu konsep yang umum digunakan di dalam ekonomi,
yang biasanya merujuk kepada komitmen terhadap persaingan pasar dalam kasus
perusahaan-perusahaan dan keberhasilan dalam persaingan internasional dalam kasus
negara-negara. Dengan semakin mengglobalnya perekonomian dunia dan persaingan
18
bebas, daya saing telah menjadi satu dari konsep-konsep kunci bagi perusahaan-
perusahaan, negara-negara, dan wilayah-wilayah untuk bisa berhasil dalam
partisipasinya di dalam globalisasi dan perdagangan bebas dunia (Markovics, 2005).
Dengan memakai konsep daya saing, Man (2002) membuat suatu model
konseptual untuk menghubungkan karakteristik-karakteristik dari manager atau
pemilik IKM dan kinerja perusahaan jangka panjang. Model konsepsual untuk daya
saing terdiri dari: skop daya saing perusahaan, kapabilitas organisasi dari perusahaan,
kompetensi pengusaha/pemilik usaha, dan kinerja. Daya saing merupakan
kemampuan perusahaan, industri daerah, negara atau antar daerah untuk
menghasilkan faktor pendapatan dan faktor pekerjaan yang relatif tinggi dan
berkesinambungan dalam rangka menghadapi persaingan internasional.
Daya saing memiliki tiga karakteristik yakni, potensi, proses, dan kinerja.
Selain hal tersebut daya saing juga dicirikan oleh orientasi jangka panjang,
kontrolabilitas, relativitas, dan dinamika. Disamping itu ada tiga aspek penting yang
memengaruhi daya saing IKM, yakni : faktor-faktor internal perusahaan, lingkungan
eksternal, dan pengaruh dari pengusaha/pemilik usaha. Daya saing sebuah perusahaan
tercerminkan dari daya saing dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Daya
saing dari perusahaan ditentukan oleh tujuh faktor yang sangat penting diantaranya
keahlian atau tingkat pendidikan pekerja, keahlian pengusaha, ketersediaan modal,
sistem organisasi dan manajemen yang baik (sesuai kebutuhan bisnis), ketersediaan
teknologi, ketersediaan informasi, dan ketersediaan input-input lainnya, seperti
energi, dan bahan baku (Tambunan, 2009).
19
Menurut Tambunan (2008a), IKM yang berdaya saing tinggi dicirikan oleh:
(1) kecenderungan yang meningkat dari laju pertumbuhan volume produksi, (2)
pangsa pasar domestik dan atau pasar ekspor yang selalu meningkat, (3) untuk pasar
domestik, tidak hanya melayani pasar lokal saja tetapi juga nasional, dan (4) untuk
pasar ekspor, tidak hanya melayani di satu negara tetapi juga banyak negara.
Keunggulan bersaing merupakan kemampuan sebuah perusahaan untuk menang
konsisten dalam jangka panjang pada situasi persaingan. Untuk mampu bersaing
dipasar, maka usaha yang harus dilakukan adalah memberdayakan para pelaku IKM
itu sendiri agar memiliki tanggung jawab serta bisa meningkatkan kerja sama dengan
pemerintah disamping harus mempunyai kemampuan dan keterampilan yang
memadai.
Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu pendekatan dalam pembangunan
yang berpusat pada rakyat (People Centered Development). Paradigma ini menuntut
untuk menempatkan masyarakat/rakyat sebagai pusat perhatian dan sasaran sekaligus
pelaku utama dalam pembangunan. Untuk itu segala upaya pembangunan harus selalu
diarahkan pada penciptaan kondisi dan kesempatan yang memungkinkan masyarakat
untuk dapat menikmati kehidupan yang lebih baik, sekaligus memberikan
kesempatan yang lebih luas kepada mereka untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai
dengan kebutuhan, potensi dan karakteristik yang mereka miliki. Pendekatan ini
muncul sebagai reaksi terhadap timbulnya berbagai kesenjangan, baik kesenjangan
kamampuan antar daerah, kesenjangan kemajuan antar sektor maupun kesenjangan
kemajuan dan kesejahteraan antara kelompok masyarakat sebagai akibat dari
20
pendekatan pembangunan yang bersifat Top Down dengan lebih mengutamakan
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, pendekatan ini menempuh strategi dengan
memberikan perhatian yang lebih banyak kepada lapisan masyarakat bawah yang
masih tertinggal dengan memberikan kesempatan, daya dan potensinya secara
maksimal sehingga mampu bertahan mencapai taraf hidup yang lebih baik secara
mandiri.
2.3 Konsep Budaya Lokal dan Potensi Modal Sosial
Konsep budaya lokal Bali menyimpan sejumlah potensi nilai-nilai yang
mengatur kelembagaan kemasyarakatan, norma dan hukum adat (Koentjaraningrat,
1987). Nilai-nilai demokrasi, hidup damai, toleransi, dengan semangat persaudaraan
(menyama-braya). Nilai nilai demokrasi dalam konsep menyama-braya tersebut
diyakini sebagai modal sosial, modal religius kultural, yang sangat bermanfaat
apabila diperluas penerapannya dibidang pengelolaan bisnis.
Kearifan lokal yang ditelusuri melalui potensi budaya Bali dengan simbol
menyama-braya terkandung di dalamnya semangat kebersamaan sebagaimana
diuraikan oleh Zuhro (2009) dan Gaffar (2004). (Lihat Gambar 2.1). Dalam dinamika
kehidupan global, maka persaingan pasar global akan membawa dampak pada
perubahan sosial kemasyarakatan Bali, yang dapat memperkuat ketahanan kearifan
lokal atau bahkan memperlemah ketahanan budaya lokal tersebut (Plano, 1982).
Kearifan lokal budaya Bali yang terkandung pada semangat menyama-braya
seperti penghargaan terhadap hak individu, semangat bekerja sama, toleransi dalam
perbedaan pendapat adalah modal dasar yang dapat ditingkatkan menjadi fondasi
21
modal sosial sebagaimana dirumuskan oleh Putnam (1978). Perubahan sosial
kemasyarakat yang terjadi sebagai akibat pengaruh pasar global, adalah proses
dinamika yang akan berdampak kepada peluang, tantangan dan keberhasilan
perubahan sosial menuju penguatan nilai-nilai lokal dalam memperkuat struktur
kemasyarakatan.
Gambar 2.1
Konsep Budaya Lokal dan Modal Sosial
Sumber : Zuhro (2009), Gaffar (2004)
Demokrasi
Menyame - Braya
1. Penghargaan terhadap hak individu 2. Mementingkan tata krama 3. Semangat bekerja sama 4. Kesetaraan dan penghargaan atas hak warga 5. Toleransi dalam perbedaan pendapat 6. Transparansi dan akuntabilitas pemegang kekuasaan
7. Partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik
Globalisasi
Perubahan Sosial
Kemasyarakatan
Transformasi ekonomi desa ke kota
Ekonomi Pasar dan Kapitalisme
(Keberadaan IKM)
22
Pengembangan potensi modal sosial sebagai alternatif dalam pengembangan
usaha berdaya saing telah dipelopori oleh DiMaggio dan Powell (2001) yaitu dengan
menerapkan modal sosial sebagai kekuatan baru dalam mengelola daya saing sebuah
perusahaan bisnis. Budaya Bali dengan kearifan lokal sebagaimana telah disajikan
pada konsep menyama-braya, memiliki identifikasi yang searah dengan konsep
modal sosial sebagaimana dirintis oleh Putnam (1978) dan DiMaggio dan Powell
(2001).
Dalam mengembangkan kegiatan usaha selalu memerlukan sarana dalam
berkomunikasi antara yang satu dengan lainnya. Pengusaha sebagai individu selalu
juga akan berusaha mengembangkan kemampuan untuk bisa mengadaptasikan
dirinya dalam bekerja sama dalam sebuah organisasi. Pola kerja sama yang
terorganisir, teratur berdasarkan tujuan tertentu yang saling terkait satu sama lainnya
sangat ditentukan oleh tingkat kedalaman dari pola hubungan tersebut (Corodanu,
2000).
Trust adalah salah satu aspek social capital yang menjadi fondasi dasar dalam
rangka perekatan antar komunitas dalam kebersamaan, dimana semua orang yang
tergabung dalam komunitas mendapatkan bagian dari manfaat terhadap kegiatan
bisnis, sehingga dapat menjadi pemicu dan memberikan dampak kesejahteraan bagi
komunitas. Pendekatan social capital adalah melaksanakan pengembangan sumber
daya manusia melalui potensi networking mencakup bonding, bridging dan linkage.
Salah satu wujud komunitas yang dapat dikembangkan sebagai modal sosial
untuk mendorong produksi dan nilai tambah adalah norma organisasi
23
kegotongroyongan. Maka cara pandang pengusaha tentang norma kegotongroyongan
adalah kekuatan sosial pengusaha yang dapat diwujudkan dalam kegiatan produksi
dan investasi, sehingga potensi norma gotong royong dapat menjadi kekuatan nyata
sebagai modal bagi pembangunan organisasi.
2.4 Strategi Pengembangan Usaha
Porter (1995) telah merumuskan strategi bersaing untuk meningkatkan nilai
tambah pelanggan serta dapat mempertinggi posisi daya saing produk suatu
perusahaan. Strategi bersaing pada perusahaan dan industri dinyatakan berdimensi 5
mencakup hubungan, yang berintikan posisi dari industri bersangkutan (Gambar
Tengah) terhadap 4 komponen pendukung, yaitu threat of new entrance (kuadran
atas), bergaining power of supplier (kuadran kiri), bargaining power of customer
(kuadran kanan), dan the threats of substitute of product and service (kuadran
bawah).
Gambar 2.2
Strategi Ancaman Pesaing Porter
Sumber : Porter (1995).
24
Strategi dalam pengembangan usaha mengikuti Porter (1995) merupakan
kombinasi dalam meningkatkan potensi daya saing perusahaan dengan
memperhatikan lingkungan kuadran customer, supplier, pesaing berupa ancaman dari
pendatang baru, serta adanya product development sebagai ancaman pesaing. Dalam
proses perjalanan waktu, strategi pengembangan usaha dapat ditahapkan sebagai
periode waktu pengembangan, periode perolehan laba dan periode ancaman (lihat
Gambar 2.3).
Gambar 2.3
Implementasi Strategi Berdasarkan Periode Waktu
Sumber : Porter (1995)
Barney (1998) yang menyajikan strategi secara lebih terfokus kepada
pengembangan sumber daya dan kapabilitas yang dipetakan melalui konsep resources
based views (RBV) mendapat perhatian untuk diangkat kembali sebagai kerangka
strategi pilihan, setelah dipandang pendekatan Porter (1995) kurang relevan dengan
Imitation
duplicatio
n and
“attacks”
by rivals
erode the
advantage
Size of
Advantage
Achieved
Strategic Moves are
succsessfull in
producing a
competitive advantage
Erosion
Period
Benefit Period Buildup Period
Siz
e of
Com
pet
itiv
e
Adva
nta
ge
Time
25
arah persaingan pasar yang menuntut ketajaman produk dan kualitas serta harga
bersaing untuk selalu mampu berada di atas pesaing yang lain.
Tingkat Analisis
Individu
Perusahaan Antar
Perusahaan
Determinan
Berbasis
Sumber Daya
Rasionalitas
Ekonomi
Faktor Strategis
Ketidaksempurnaan
Pasar
Proses dan
Hasil
Pilihan
Managerial
Temukan
Resource
Heterogenitas
Perusahaan
Keuntungan
Yang
Berkelanjutan
Penentu
Kelembagaan
Rasionalitas
Normatif
Faktor
Institusional
Tekanan
Isomorfisma
Gambar 2.4
Konsep RBV
Sumber : Barney (1998)
Konsep Barney (1998) diteruskan dengan focus strategi yang mencakup
periode waktu, yang dikenal dengan RBV competitive advantage. Gambar 2.4
menyajikan konsep RBV yang telah diperluas melalui tahapan pengembangan
individual, strategi perusahaan dan persaingan pasar.
Gambar 2.5 menyajikan focus strategi Barney (1998) dalam rangka
mempertahankan kinerja usaha agar tetap pada kisaran di atas pesaing secara
berkelanjutan (sustained competitive advantage). Berbeda dengan formulasi strategi
Porter dan lainnya, pada konsep strategi Barney (1998), dibangun strategi focus
berdasarkan ketersediaan sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk dapat
26
menampilkan capability dan competency sebagai fondasi sumber daya dalam rangka
menciptakan nilai tambah produksi secara berkelanjutan.
Gambar 2.5
Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Keunggulan Kompetitif
Sumber : Barney (1998)
Gambar 2.6
Proses Nilai Tambah dan Keunggulan Kompetitif
Sumber : Barney (1998)
Berharga, sumber
daya
langka/kemampuan
Keunggulan
Kompetitif
Kinerja
Berharga, langka,
ditiru, sumber daya
nonsubstitutable, /
kemampuan
Keunggulan
berkelanjutan
Kinerja yang
bekelanjutan
Praktek Sumber
Daya Manusia
pool Sumber
daya Manusia
Perilaku
Sumber daya
Manusia
Keunggulan
kompetiti yang
berkelanjutan
27
Produk perusahaan yang berdaya saing dibangun berdasarkan konsep
kelangkaan sumber daya dan bernilai tambah tinggi dengan produk yang tidak mudah
disubstitusi dengan produk lain dengan biaya lebih murah, sehingga daya saing
produk dapat dipertahankan secara berkesinambungan (lihat Gambar 2.6).
Komponen Analisis Internal
Gambar 2.7
Komponen Kinerja Untuk Menghasilkan Daya Saing Berkelanjutan
Sumber : Barney (1998)
Keunggulan produk yang berdaya saing akan diciptakan oleh basis
kompetensi sumber daya (core competency), kapabilitas sumber daya mencakup
tangible dan intangible resources. Kapabilitas sumber daya yang mendorong daya
saing menjadi berkelanjutan mencakup 4 kriteria unik yang akan menjadi
Menemukan
Kompetensi
Inti
Empat kriteria
keuntungan yang
berkelanjutan
Analisis
rantai nilai
Berharga
Langka
Mahal untuk meniru
nonsubstitutable
Outsourcing
Keunggulan
kompetitif
Penciptaan nilai
Kompetensi inti
Kemampuan
Sumber
Tangible
intangible
Komponen Analisis Internal
28
keuanggulan daya saing berkelanjutan, yaitu memiliki nilai tambah (valuable), langka
(rare), tidak mudah untuk ditiru (costly toimitiate) serta tidak mudah disubstitusi
dengan barang lain (non-substitutable).
2.5 Pendekatan Kelembagaan dan Sumber Daya
DiMaggio dan Powell (2001) menawarkan konsep pendekatan new
institutional sebagai external factor yang menjadi penentu keberhasilan sumber daya
perusahaan dalam meningkatkan dan mempertahankan daya saing mereka tetap pada
kisaran kinerjanya. Pendekatan new institutional relevan dengan kondisi di negara
berkembang dimana norma, tradisi, budaya dan politik sangat kuat berakar pada
tatanan masyarakat, sehingga dapat menjadi unsur penentu (actors) dalam melakukan
perubahan menuju industri dengan dukungan sumber daya berdaya saing tinggi.
Pengembangan sumber daya melalui sinkronisasi dengan norma dan budaya lokal,
arah perubahan dapat dikombinasikan secara harmoni, sehingga akan dapat
diwujudkan integrasi nilai budaya lokal yang memberi dukungan bagi perubahan pola
budaya tradisional menuju perubahan industri bersaing.
Dengan demikian, modernisasi tidak disikapi sebagai westernisasi adat dan
peradaban, karena kemajuan ekonomi westernisasi adalah pola peradaban barat yang
belum tentu sejalan dengan kondisi Negara berkembang. Maka transformasi sektor
ekonomi menjadi lebih efisien dan berdaya saing berkelanjutan, adalah dengan
memelihara dan mengharmonikan budaya dan adat istiadat masyarakat lokal untuk
berkembang harmonis bersama modernisasi di sektor produksi.
29
2.6 Karakteristik dan Tingkatan Kompetensi
Kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan
suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta
didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. Dengan demikian,
kompetensi menunjukkan keterampilan atau pengetahuan yang dicirikan oleh
profesionalisme dalam suatu bidang tertentu sebagai sesuatu yang terpenting, sebagai
unggulan bidang tersebut (Wibowo, 2007). Pendapat lainnya yang dikemukakan oleh
Palan (2007) menyatakan bahwa kompetensi merupakan karakter dasar orang yang
mengidentifikasikan cara berperilaku atau berfikir, yang berlaku dalam cakupan
situasi yang sangat luas dan berperan untuk waktu yang lama. Selanjutnya Hutapea
(2008) menyatakan bahwa kompetensi adalah perilaku produktif yang harus dimiliki
serta diperagakan oleh seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan agar dapat
berprestasi luar biasa.
Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat dinyatakan bahwa kompetensi
adalah karakter dasar seseorang yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan
sikap dalam suatu bidang tertentu agar seseorang dapat melaksanakan suatu pekerjaan
dan berprestasi luar biasa. Kompetensi merupakan karakteristik yang mendasar pada
setiap individu yang dihubungkan dengan kriteria yang direferensikan terhadap
kinerja yang unggul atau efektif dalam sebuah pekerjaan atau situasi. Terdapat lima
tipe karakteristik kompetensi yaitu seperti yang diuraikan berikut ini (Wibowo,
2007).
30
1. Motif
Motif adalah sesuatu yang secara konsisten dipikirkan atau diinginkan orang
yang menyebabkan tindakan. Motif mendorong, mengarahkan dan memilih
prilaku menuju tindakan atau tujuan tertentu.
2. Sifat
Sifat adalah karakteristik fisik dan respon yang konsisten terhadap situasi atau
informasi.
3. Konsep diri
Konsep diri adalah sikap, nilai-nilai atau citra diri seseorang. Percaya diri
merupakan keyakinan orang bahwa mereka dapat efektif dalam hampir setiap
situasi adalah bagian dari konsep diri seseorang.
4. Pengetahuan
Pengetahuan adalah informasi yang dimiliki seseorang dalam bidang spesifik.
Pengetahuan adalah kompetensi yang kompleks. Skor pada tes pengetahuan
sering gagal memprediksi prestasi kerja karena gagal dalam mengukur
pengetahuan dengan caya yang sebenarnya digunakan dalam pekerjaan.
5. Keterampilan
Keterampilan adalah kemampuan mengerjakan tugas fisik atau mental tertentu.
Kompetensi mental atau keterampilan kognitif termasuk berfikir analitis dan
konseptual.
31
Kompetensi dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan (Palan, 2007).
1. Kompetensi inti (core competencies)
Kompetensi inti menggambarkan kompetensi yang paling penting bagi
keseluruhan sebuah organisasi. Setiap kompetensi inti unik bagi organisasinya.
Oleh karena itu kompetensi inti harus diidentifikasi melalui diskusi kelompok
dengan manajemen madya dan puncak. Kompetensi inti ini diadaptasi agar sesuai
dengan tuntutan bermacam-macam pekerjaan dalam organisasi.
2. Kompetensi peran (role competencies)
Kompetensi peran hanya relevan bagi karyawan yang memegang posisi
managerial. Kompetensi peran dikategorikan ke dalam kompetensi yang
berhubungan dengan aktivitas, orang, sumber daya dan informasi. Kompetensi
peran merupakan pilar bagi organisasi untuk mencapai tujuannya.
3. Kompetensi prilaku (behavioural competencies)
Kompetensi prilaku merupakan karakteristik tersembunyi yang berkait dengan
kinerja efektif atau unggul. Kompetensi prilaku diklasifikasikan menjadi tugas,
atribut pribadi, hubungan antar individu dan pelayanan.
4. Kompetensi fungsional (fungsional competencies)
Kompetensi fungsional terdiri dari komponen dan keahlian untuk suatu pekerjaan
tertentu. Kompetensi fungsional diklasifikasikan menjadi tiga bidang yang
mencerminkan klasifikasi pekerjaan yang luas yaitu jasa utama perusahaan,
pelayanan terhadap jasa utama dan pelayanan terhadap organisasi.
32
2.7 Industri Kecil dan Ruang Lingkupnya
Industri kecil pada dasarnya merupakan bagian dari usaha kecil (small
business), sehingga setiap berbicara usaha kecil, maka termasuk di dalamnya adalah
industri kecil. Bidang kegiatan small business dapat diklasifikasikan menjadi :
manufacturing, wholesaling, retailing, service, mining dan finance (Pickle, at al,
1989). Sedangkan menurut Justis (1981) selain 6 bidang itu masih ada satu lagi yaitu
agriculture. Terhadap tujuh bidang kegiatan usaha kecil ini, Justis menyebutkan
empat bidang yang pertama sebagai industrial groups. Disini manufacturing (pabrik)
berkedudukan sebagai penghasil (pembuat), wholesaling (grosir) sebagai perantara
dari pabrik ke retailing service merupakan perusahaan yang tidak menghasilkan
produk, akan tetapi memberikan kemampuannya (yaitu jasa dan keterampilan) baik
kepada pabrik, grosir, pengecer, maupun konsumen. Selanjutnya pada bagian ini akan
dijelaskan tentang pengertian industri kecil dan ruang lingkupnya. Berbicara tentang
industri kecil sudah barang tentu akan berkaitan dengan usaha kecil karena industri
kecil merupakan bagian dari usaha kecil.
Pengertian usaha kecil, masing-masing negara memberikan batasan yang
berbeda-beda. Ada yang melihat dari sisi jumlah tenaga kerja, modal dan atau
kekayaan yang dimiliki perusahaan. Di Indonesia sampai sekarang batasan industri
kecil masih belum punya bakuan yang pasti antar lembaga atau instansi, masing-
masing instansi memberikan definisi usaha kecil yang berbeda-beda sesuai dengan
kepentingannya. Ada yang melihat dari aspek finansial, tenaga kerja, maupun
lainnya, perbedaan pandangan tentang batasan dan pengertian tentang industri kecil
33
masih belum dapat dipadukan secara baku. Berikut ini dikemukakan beberapa kriteria
perusahaan kecil di Indonesia.
1. Undang-undang Republik Indonesia No.: 9/1995, perusahaan yang :
a) Memiliki kekayaan bersih < Rp. 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha.
b) Memiliki hasil penjualan tahunan < Rp. 1 milyar.
c) Milik warga negara Indonesia.
d) Berdiri sendiri bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung
dengan usaha menengah atau besar.
e) Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan
hukum atau berbadan hukum, termasuk koperasi.
2. Bank Indonesia dan Depperindag, mendefinisikan perusahaan yang didasarkan
pada nilai kekayaan < Rp. 600 juta, di luar bangunan dan tanah.
3. Departemen Keuangan mendasarkan jumlah kekayaan dan omset penjualan <
Rp. 300 juta per tahunan).
4. BPS mendefinisikan berdasar jumlah karyawan yaitu perusahaan yang berjumlah
antara 15 – 19 orang dan mempunyai modal tetap < Rp. 100 juta.
Berdasarkan pada beberapa kriteria industri kecil di atas, maka kriteria
industri kecil yang dimaksud dalam penelitian ini adalah industri kecil menurut
kriteria Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) yaitu perusahaan
yang didasarkan pada nilai kekayaan < Rp. 600 juta, diluar bangunan dan tanah.
34
Menurut UURI 1995 memiliki hasil penjualan tahunan < Rp. 1 milyar dan menurut
BPS jumlah karyawan antara 5 – 19 orang termasuk pengusaha. Ini dilakukan dengan
pertimbangan informasi awal terhadap beberapa hal berikut sulit diperoleh, yaitu (a)
jumlah karyawan per unit usaha kecil, (b) prosentase pemilikan modal bagi pribumi,
(c) hasil penjualan maksimal pertahun.
Pengelompokan industri kecil dapat dilihat dari berbagai aspek. Pertama,
berdasarkan pengelompokannya, industri kecil dibedakan menjadi tiga kategori,
yaitu: (1) industri lokal, (2) industri sentra, (3) industri mandiri. (Saleh, 1986).
Industri lokal adalah kelompok industri yang menggantungkan kelangsungan
hidupnya kepada pasar setempat yang terbatas, serta lokasinya relatif tersebar.
Kelompok ini dilihat dari skala usahanya pada umumnya sangat terbatas, sehingga
pada umumnya hanya mempergunakan sarana transportasi yang sederhana, seperti :
sepeda, gerobak, dan pikulan. Karena pemasaran hasil produksinya pada umumnya
ditangani sendiri, maka peranan jasa pedagang kurang menonjol.
Industri sentra adalah kelompok jenis industri yang dari segi satuan usaha
mempunyai skala kecil, tetapi membentuk suatu kelompok atau kawasan produksi
yang terdiri dari kumpulan unit usaha yang menghasilkan barang sejenis. Target
pemasaran kelompok ini pada umumnya menjangkau pasar yang lebih luas dibanding
kelompok industri lokal, sehingga pada kelompok ini peranan pedagang perantara
menjadi cukup menonjol.
Industri mandiri adalah kelompok industri yang pada dasarnya termasuk
kelompok jenis industri kecil (skala usaha kecil, dan atau sistem manajemen yang
35
digunakan masih relatif sederhana), namun telah berkemampuan mengadaptasi
teknologi produksi yang cukup canggih. Pemasaran hasil produk kelompok ini relatif
tidak tergantung kepada peranan pedagang perantara. Kedua, berdasarkan
keunikannya dibanding perusahaan sedang dan besar, usaha kecil memiliki
karakteristik seperti berikut: (1) modal berasal dari individu atau kelompok kecil, (2)
ukuran relatif kecil, (3) perusahaan dijalankan oleh pemilik sebagai manager, dan (4)
lokasi usaha mengutamakan lokal. Sedangkan menurut Bumback (1985)
karakteristik industri kecil meliputi ; (1) dikelola oleh pemilik, (2) kepribadian tinggi,
(3) daerah operasi sebagian besar lokal, dan (4) sumber modal sebagian besar
internal.
Secara umum, Departemen Perindustrian mengelompokkan industri kecil
mencakup; industri kerajinan, industri rumah tangga, usaha informal dan usaha
tradisional. Namun secara teknis, mengelompokkan kegiatan industri kecil dalam
empat kelompok, yaitu :
1. Kelompok industri pangan terdiri atas industri pengolahan ikan dan makanan
ringan.
2. Kelompok industri sandang terdiri atas industri pakaian jadi, barang jadi tekstil,
sepatu alas kaki kulit, barang jadi kulit dan batik.
3. Kelompok industri kimia dan bahan bangunan terdiri atas industri furniture,
barang jadi rotan dan arang kayu/tempurung.
4. Kelompok industri kerajinan terdiri atas industri anyaman, perhiasan emas,
perhiasan perak, kerajinan kayu, mainan anak-anak dan sulaman bordir.
36
2.8 Peran Pemerintah dan Industri Kecil dan Menengah
Peran pemerintah dalam pelayanan kepada pengusaha industri kecil di
sejumlah Negara, khususnya di Amerika Serikat telah berjalan dari sejak
pemerintahan Thomas Jefferson, jauh sebelum Indonesia mencapai kemerdekaannya.
Salah satu peranan yang menonjol dari fungsi pemerintahan adalah upaya mendorong
pertumbuhan industri kecil melalui bantuan sarana dan pengembangan teknologi.
Fungsi kepemerintahan telah terpolakan dalam fungsi yang secara permanen
mendorong pertumbuhan industri kecil, terbukti telah ikut serta memperkuat
pertumbuhan industri kecil untuk berkembang dengan jenis usaha lainnya (Phillips,
2002).
Dalam kesejarahan peranan pemerintah di sejumlah Negara maju, yang telah
berkembang sebagai akibat dari revolusi industri, yang bersamaan dengan itu terjadi
perang antar Negara telah menumbuhkan tantangan baru pengembangan industri
persenjataan, sehingga secara tidak langsung, industri kecil mendapat segmen pasar.
Sehingga muncul incubator bisnis yang menjadi alasan saat ini mengapa banyak
industri kecil di Negara maju memiliki posisi yang relatif kuat dalam bersaing dan
menciptakan laba dan lapangan pekerjaan baru. Entrepreneurs telah mengalami
pertumbuhan yang matang sebagai akibat dari perpaduan antara revolusi industri dan
perang antara Negara pada era perang dunia pertama maupun perang dunia kedua.
Sejumlah usahawan yang muncul terkemuka setelah perang dunia kedua,
tidak dapat dilepaskan dari kolaborasi industri kecil sebagai penyedia komponen
persenjataan di satu pihak, dengan pemerintah sebagai pembeli peralatan militer.
37
Kondisi demikian, telah melahirkan entrepreneurs terkemuka setelah perang dunia
kedua, seperti Andrew Carnegie, J.P.Morgan, J.D. Rockefeller, Marshall Field dan
Philip Armour sebagai pengusaha terdepan yang dikenal dunia. Setelah perang dunia
kedua, terjadi peralihan sumber dari bersekala industri kecil ke bisnis raksasa, sebagai
akibat dari revolusi industri. Sejumlah sektor transportasi, batu bara, energi dan jenis
produk strategis lainnya telah bergeser ke perusahaan besar, yang juga tidak dapat
dilepaskan dari peran pemerintah dalam mendorong kelas pengusaha baru.
Pada era tahun 1950-an pemerintah telah mengalami perubahan dibidang
regulasi dan perencanaan. Riley (1995) menyatakan bahwa pemerintahan di banyak
Negara memiliki konflik atas kepentingan melakukan pengawasan terhadap harga-
harga barang, dan pada saat bersamaan juga mendorong industri dan perdagangan
untuk berkembang.
Ketika pemerintah melahirkan banyak perusahaan besar yang mendominasi
perekonomian melalui produk economic-scale dengan jaringan multi nasional, maka
pada saat itu juga pemerintah bertindak melakukan regulasi dengan tujuan untuk
memproteksi usaha kecil dan menengah dari eksploitasi dan dominasi perusahaan
besar yang dikenal sebagai perusahaan multi nasional (Riley, 1995).
Bersamaan dengan dominasi perusahaan besar tersebut, industri kecil
dibanyak Negara melakukan penyesuaian diri untuk menjadi incubator bisnis yang
semakin spesialis untuk tetap dapat beras ditengah pasar yang semakin mengarah
kepada globalisasi pasar (Blackford, 2003).
38
Regulasi pemerintah terhadap industri kecil juga semakin berkembang
dengan dilakukannya antara lain dengan menempatkan kolaborasi industri kecil
dalam kawasan zona ekonomi dimana model economic area zone dimaksudkan
sebagai upaya mengintegrasikan pangsa pasar, bantuan permodalan, pusat pelatihan
serta bentuk kerja sama kemitraan dari industri zone area tersebut dengan pengusaha
besar sebagai bapak angkat dari pengusaha kecil yang tergabung dalam kawasan kerja
sama industri kecil tersebut. Pemerintah juga dapat melakukan regulasi perpajakan
melalui stimulus fiskal yang tujuannya dapat memberikan efek perlindungan
pemerintah terhadap keberadaan industri kecil (Spiegel, 2002).
2.9 Penelitian Sebelumnya
Hernan 'Banjo' Roxas and Doren Chadee (2011) dengan judul penelitian A
Resources Based View of Small Export Firms, Social Capital In Southeas ASIAN
Country, penelitian ini mengembangkan model resources based view dari Barney
(1991) yang dikombinasikan dengan Social Capital untuk perusahaan kecil berbasis
ekspor di Negara Philipina. Gagasan dasar dari penelitian Roxas dan Chadee adalah
bahwa perusahaan konsep Barney (1991) tentang resources based view adalah focus
strategi pengembangan sumber daya yang tidak sepenuhnya mengandalkan sumber
daya manusia sebagai pendukung perusahaan dalam rangka menghasilkan produk
yang berdaya saing tinggi. Roxas dan Chadee melakukan terobosan untuk
memperhatikan kondisi lingkungan sosial sebagai kekuatan yang dapat dimanfaatkan
dalam rangka menghasilkan produk yang berdaya saing berkelanjutan. Maka
konstruksi dari knowledge and capability of the manpower dipetakan dengan
39
mengkaitkan pada social capital networking. Konsep modal sosial dan pendekatan
Resources Based Views (RBV) yang dikembangkan oleh Roxas dan Chadee, sebagai
berikut.
Gambar 2.8
Konsep Modal Sosial dan Resources Based Views
Sumber : Hernan 'Banjo' Roxas and Doren Chadee (2011)
Berdasarkan Gambar 2.8 kemudian dikembangkan oleh Roxas dan Chadee
menjadi kerangka pikir yang lebih operasional, untuk membuktikan hipotesis mereka
tentang peranan sosial capital yang dikolaborasikan dengan konsep RBV. Hasil
analisis yang diperoleh Roxas dan Chadee disajikan sebagai berikut.
Gambar 2.9
Framework Penelitian Roxas dan Chadee (2011)
Sumber : Hernan 'Banjo' Roxas and Doren Chadee (2011)
40
Hasil analisis dari model yang dikembangkan oleh Roxas dan Chadee
menunjukkan bahwa eksport partner relational capital dan generic export relational
capital ternyata memiliki hubungan positif dengan export knowledge. Apabila dilihat
dari kontribusinya ternyata exsport partner relational capital memiliki dorongan
yang lebih kuat terhadap exsport knowledge dibandingkan dengan generic export
relational capital. Ternyata penelitian Roxas dan Chadee juga menunjukkan dampak
positif terhadap pembentukan entrepreneur orientation.
Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh dari sosial kapital terhadap
orientasi entrepreneur yang dimediasi oleh export knowledge. Penelitian ini
menunjukkan secara emperik bahwa sosial kapital memerlukan mediator dalam
rangka mencapai sasaran akhir yaitu peningkatan produk eksport yang dikelola oleh
dunia usaha.
Penelitian ini juga menegaskan bahwa sosial kapital memerlukan dukungan
variabel lain untuk dapat mencapai sasaran akhir yang diinginkan oleh dunia usaha.
Studi ini berusaha untuk membangun link social capital dalam rangka peningkatan
nilai tambah yang menciptakan daya saing sebuah perusahaan berbasis export melalui
media export knowledge dan orientasi entrepreneur. Dalam konteks peningkatan daya
saing, maka sosial kapital yang pada intinya sebuah usaha kebersamaan atau
kolaborasi dimana dalam kebersamaan perusahaan dapat membangun kolaborasi
dengan prinsip membangun informasi bersama dalam rangka menghadapi persaingan
bisnis.
41
Konsep sosial kapital tentu akan mendorong dan menciptakan nilai tambah
dalam rangka membangun kapasitas organisasi melalui kolaborasi dan prinsip
membangun kebersamaan untuk mencapai sasaran akhir yang diinginkan. Maka
penggabungan antara sosial kapital dengan teori RBV telah menghasilkan nilai
tambah yaitu produk eksport yang berdaya saing.
Penelitian yang dilakukan oleh Ozcelik, at al (2006) tentang Competency
Approach to Human Resources Management; outcomes and Contribution in a
Turkish Cultural Context, yang menunjukkan bahwa pendekatan kompetensi adalah
merupakan sarana yang efektif untuk membantu pekerja dalam mencapai kinerja
yang superior. Pendekatan kompetensi juga berperan penting dalam meningkatkan
kinerja individu dan organisasi. Persamaan penelitian Ozcelik dengan penelitian ini
adalah bahwa kompetensi mempengaruhi kinerja usaha, sedangkan perbedaannya
yaitu dalam penelitian Ozcelik menggunakan analisis kualitatif sedangkan dalam
penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif.