Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Pustaka
1. Teori Perkembangan Usaha Mikro
Pengembangan usaha adalah suatu proses pelaksanaan usaha mengenai
peluang pertumbuhan potensial selama usaha itu berlangsung. Dalam hal ini
perusahaan dapat memanfaatkan satu sama lain keahlian, teknologi atau
kekayaan intelektual untuk memperluas kapasitas mereka untuk
mengidentifikasi, meneliti, menganalisis dan membawa ke pasar bisnis baru
dan produk baru, pengembangan bisnis berfokus pada implementasi dari
rencana bisnis strategi melalui ekuitas pembiayaan, akuisisi/divestasi
teknologi, produk, dan lain-lain.16
Jadi, perkembangan usaha merupakan suatu bentuk usaha untuk usaha
itu sendiri agar dapat berkembang menjadi lebih baik untuk mencapai pada
satu titik kesuksesan dan keuntungan. Perkembangan usaha akan dilihat dari
proses jalannya usaha itu sendiri dan kemungkinan adanya usaha tersebut
tumbuh dan berkembang.
Menurut Rudjito (2003)17
usaha mikro diartikan sebagai model usaha
yang paling kecil, biasanya dilakukan di rumah dan sebagian besar tenaga
kerjanya oleh kerabat keluarga, seperti dagang. Usaha kecil adalah kegiatan
ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih
atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan.
Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang
Usaha Mikro Kecil dan Menengah bahwa yang dimaksud “Usaha Mikro
adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha
perorangan yang memenuhi usaha mikro, sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.”
16
http://www.matabaraja.com/2016/10/pengertian-pengembangan-bisnis-
menurut.html diakses 22 Mei 2017 pkl 9.42 17
Arsyad, Lincolin, “Lembaga Keuangan Mikro” (Yogyakarta: Andi Offset, 2008),
hlm. 124
12
Dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang
Usaha Mikro Kecil dan Menengah bahwa yang dimaksud “Usaha Kecil
adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh
orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan
atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian
baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar
yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini.”
Sedangkan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 tahun
2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah bahwa:
a. Usaha Mikro. Kriteria kelompok Usaha Mikro adalah usaha produktif
milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi
kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
b. Usaha Kecil. Kriteria Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang
berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha
yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian langsung maupun tidak
langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria
Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
c. Usaha Menengah. Usaha Menengah adalah ekonomi produktif yang
berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha
yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak
langsung dengan usaha kecil atau besar dengan jumlah kekayaan bersih
atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Adapun kriteria-kriteria yang tergolong dalam UMKM adalah sebagai
berikut:
a. Kriteria Usaha Mikro, adalah sebagai berikut:
1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah) termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau;
13
2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga
ratus juta rupiah).
b. Kriteria Usaha Kecil, adalah sebagai berikut:
1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau;
2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,- (tiga
ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,-
(dua milyar lima ratus juta rupiah).
c. Kriteria Usaha Menengah, adalah sebagai berikut:
1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh
milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau;
2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,- (dua
milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.
50.000.000.000,- (lima puluh milyar rupiah).
Menurut Ismawan (2003)18
memetakan secara jelas persoalan yang
dihadapi oleh ekonomi usaha kecil (mikro). Mereka menghadapi berbagai
kesulitan dalam mengembangkan usahanya. Adapun faktor-faktor lain yang
dihadapi usaha mikro dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 2.1
Kesulitan Yang Dihadapi Usaha Mikro
No Jenis Kesulitan IKR IK
1 Kesulitan Modal 34.55% 44.05%
2 Pengadaan Bahan Baku 20.14% 12.22%
3 Pemasaran 31.70% 34.00%
4 Kesulitan lainnya 13.6% 9.73%
Masyarakat lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak tersentuh oleh
(underserved) dan tidak dianggap memiliki potensi dana oleh lembaga
keuangan formal, sehingga menyebabkan laju pertumbuhan ekonominya
18
Muhammad, “Bank Syariah Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia”
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm. 125-126
14
terhambat pada tingkat subsistensi saja. Kelompok masyarakat ini dinilai
tidak layak bank (notbankable) karena tidak memiliki agunan, serta
diasumsikan kemampuan mengembalikannya pinjamannya rendah, kebiasaan
menabung yang rendah dan mahalnya biaya transaksi. Akibat asumsi tersebut
maka aksesibilitas dari pengusaha mikro terhadap sumber keuangan formal
rendah, sehingga mereka mengandalkan modal apa adanya yang mereka
miliki. Tabel berikut ini akan memperlihatkan sumber pemerolehan modal
usaha mikro.
Tabel 2.2
Sumber Pendanaan Usaha Mikro
No Uraian IKR IK
1 Modal Sendiri 90.36% 69.82%
2 Modal Pinjaman 3.20% 4.76%
3 Modal Sendiri dan Pinjaman 6.44% 25.42%
Jumlah 100% 100%
Dengan memahami persoalan yang melingkari usaha ekonomi kecil
yang dikemukakan diatas, maka kehadiran lembaga keuangan syariah
merupakan momentum strategis bagi upaya pembebasan masyarakat
pengusaha kecil dari kesulitan pendanaan dalam mengembangkan usaha
ekonomi mereka.
Dengan keistimewaan dan ciri-ciri yang ada dan berbeda dari lembaga
keuangan konvensional sangat memungkinkan bagi perkembangan dan masa
depan ekonomi rakyat. Beberapa ciri-ciri keistimewaan lembaga keuangan
syariah, diantaranya sebagai berikut:19
1. Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat antara pemegang saham,
pengelola bank (lembaga keuangan syariah) dan nasabah.
2. Diterapkannya sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga, sehingga akan
berdampak positif dalam menekan cost push inflation dan persaingan antar
bank (lembaga keuangan syariah).
19
Muhammad, “Bank Syariah Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia”
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm. 128
15
3. Tersedianya fasilitas kredit kebaikan (Al-Qordhul Hasan) yang diberikan
secara cuma-cuma.
4. Konsep (build in concept) dengan berorientasi pada kebersamaan:
a. Mendorong kegiatan investasi dan menghambat simpanan yang tidak
produktif melalui sistem operasi profit and loss sharing.
b. Memerangi kemiskinan dengan membina golongan ekonomi lemah dan
tertindas, melalui bantuan hibah yang dilakukan bank (lembaga
keuangan syariah) secara produktif.
c. Mengembangkan produksi, menggalakkan perdagangan dan
memperluas kesempatan kerja melalui kredit pemilikan barang atau
peralatan modal dengan pembayaran tangguh dan pembayaran cicilan.
d. Meratakan pendapatan melalui sistem bagi hasil dan kerugian, baik
yang diberikan kepada bank (lembaga keuangan syariah) itu sendiri
maupun kepada peminjam.
5. Penerapan sistem bagi hasil yang tidak membebani biaya diluar
kemampuan nasabah dan akan terjamin adanya keterbukaan.
Berdasarkan ciri-ciri diatas, maka lembaga keuangan syariah memiliki
peluang yang baik untuk mewujudkan harapan pemerintah yang tertuang
dalam kebijakan perubahan regulasi dengan prioritas koperasi, pengusaha
kecil dan menengah atau sistem ekonomi rakyat yang memberikan
kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi.
Muatan aksiologis yang mendasari operasional lembaga keuangan
syariah juga menjadi kekuatan tersendiri dalam upaya pengembangan
ekonomi masyarakat secara menyeluruh. Nilai-nilai kebersamaan, kemitraan,
keseimbangan, keadilan, dan lepasnya salah satu pihak dari beban (bayar
modal plus bunga) berkesinambungan menjadi kekuatan tersendiri yang tidak
dimiliki oleh lembaga-lembaga konvensional.
Kekuatan lain yang memungkinkan lembaga keuangan syariah untuk
memberdayakan ekonomi rakyat adalah pada penyediaan pembiayaan murah
yang merupakan faktor penting untuk mendorong kegiatan dan
perkembangan ekonomi. Seperti diuraikan sebelumnya bahwa kendala utama
16
dari usaha kecil adalah modal. Oleh karena itu, perolehan modal pembiayaan
yang murah merupakan keinginan dari para pengusaha kecil.20
2. Teori Peningkatan Pendapatan Nasabah
Sesuai definisi di PSAK 23 (Revisi 2010) pendapatan adalah arus
masuk kotor dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal entitas
selama suatu periode jika arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan
ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal.
Terkadang muncul pertanyaan apa perbedaan penghasilan (income)
dengan pendapatan (revenue) dan bagaimana hubungan antara pendapatan
dan penghasilan? Dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan
Keuangan (KDP2LK), penghasilan adalah kenaikan manfaat ekonomi selama
suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aset atau
penurunan liabilitas yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal
dari kontribusi penanam modal. Penghasilan terdiri dari pendapatan (revenue)
dan keuntungan (gain). Pendapatan adalah penghasilan yang berasal dari
aktivitas normal dari suatu entitas dan merujuk kepada istilah yang berbeda-
beda seperti penjualan (sales), pendapatan jasa (fees), bunga (interest),
dividen (dividend), dan royalti (royalty). Sedangkan keuntungan
mencerminkan pos lain yang memenuhi definisi penghasilan dan mungkin
timbul atau mungkin tidak timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan
yang biasa. Keuntungan mencerminkan kenaikan manfaat ekonomi dan
dengan demikian pada hakikatnya tidak berbeda dengan pendapatan. Contoh
keuntungan, misalnya keuntungan dari penjualan aset tetap.
Sesuai definisi pendapatan, perusahaan hanya mengakui pendapatan
yang berasal dari manfaat ekonomi yang diterima atau dapat diterima oleh
entitas untuk entitas itu sendiri. Jumlah yang ditagih atas kepentingan pihak
lain, seperti pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan merupakan
pendapatan, karena tidak mengalir ke entitas dan tidak mengakibatkan
20
Muhammad, “Bank Syariah Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia”
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm. 129
17
kenaikan ekuitas. Contoh lain misalnya penerimaan oleh agen. Jumlah
tagihan yang meliputi hak prinsipal tidak dapat diakui sebagai pendapatan.
Dalam hal ini jumlah pendapatan yang dapat diakui agen adalah sebesar
komisi yang diterima.21
Menurut standar akuntansi keuangan, pendapatan adalah penghasilan
yang timbul dari aktivitas perusahaan yang dikenal dengan sebutan seperti
penjualan barang, penjualan jasa, sewa, dan sebagainya. Pendapatan
merupakan hal yang penting, karena pendapatan ini menjadi objek atas
kegiatan usaha.
Sedangkan yang dimaksud dengan nasabah menurut Undang-Undang
No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan mengenal
pengertian nasabah sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, yaitu:
1. Pengertian nasabah penyimpan yaitu nasabah yang menempatkan dananya
di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan
nasabah yang bersangkutan.
2. Pengertian nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah
yang bersangkutan.
Jadi, yang dimaksud dengan pendapatan nasabah adalah penghasilan
yang timbul dari aktivitas usaha, baik itu usaha barang atau jasa yang
menyimpan atau meminjam uang pada bank. Semakin tinggi penghasilan dan
keuntungan maka akan semakin tinggi pula pendapatan yang didapat.
21
Martani, dwi, dkk, “Akuntansi Keuangan Menengah Berbasis PSAK” (Jakarta:
Salemba Empat), hlm.204
18
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan adalah sebagai
berikut:22
1. Kesempatan kerja yang tersedia, semakin banyak kesempatan kerja yang
tersedia berarti semakin banyak penghasilan yang bisa diperoleh dari hasil
kerja tersebut.
2. Jenis pekerjaan, terdapat banyak jenis pekerjaan yang dapat dipilih
seseorang dalam melakukan pekerjaannya untuk mendapatkan
penghasilan.
3. Kecakapan dan keahlian, dengan bekal kecakapan dan keahlian yang
tinggi akan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas yang pada
akhirnya berpengaruh pula terhadap penghasilan.
4. Motivasi atau dorongan juga mempengaruhi jumlah penghasilan, semakin
besar dorongan seseorang untuk melakukan pekerjaan semakin besar pula
penghasilan yang diperoleh. Selain itu juga lokasi bekerja yang dekat
dengan tempat tinggal dan kota akan membuat seseorang lebih semangat
untuk bekerja.
5. Keuletan kerja, pengertian keuletan dapat disamakan dengan ketekunan,
keberanian untuk menghadapi segala macam tantangan. Bila saat
menghadapi kegagalan maka kegagalan tersebut dijadikan sebagai bekal
untuk meneliti kearah kesuksesan dan keberhasilan.
6. Banyak sedikitnya modal yang digunakan, besar kecilnya usaha yang
dilakukan seseorang sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya modal yang
dipergunakan.
Dalam kegiatan perusahaan, pendapatan para pengusaha adalah
keuntungan. Keuntungan ditentukan dengan cara mengurangkan berbagai
biaya yang dikeluarkan dari hasil penjualan yang diperoleh. Biaya yang
dikeluarkan meliputi pengeluaran untuk bahan mentah, pembayaran upah,
pembayaran bunga, sewa tanah, dan penghapusan (depresiasi). Apabila hasil
22
Ratna, Sukmayanti, dkk, “Ilmu Pengetahuan Sosial” (Jakarta: Galaxy Puspa
Mega, 2008), hlm. 117
19
penjualan yang diperoleh dikurangi dengan biaya-biaya tersebut nilainya
adalah positif maka diperolehlah keuntungan.23
3. Teori Pembiayaan Musyarakah
Istilah pembiayaan pada intinya berarti I Believe, I Trust, „saya percaya‟
atau „saya menaruh kepercayaan‟. Perkataan pembiayaan yang artinya
kepercayaan (trust), berarti lembaga pembiayaan selaku shahibul maal
menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang
diberikan. Dana tersebut harus digunakan dengan benar, adil, dan harus
disertai dengan ikatan dan syarat-syarat yang jelas, dan saling
menguntungkan bagi kedua belah pihak, sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat An-Nisa: 29 dan surat Al-Maidah:1.24
Artinya: “Hai orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
(mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantara kamu. Dan janganlah
kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”. (Q.S An-Nisa: 29)
Artinya: “Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang
23
Sukirno, Sadono, “Mikroekonomi Teori Pengantar” (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013), hlm. 383-384 24
Rivai, Veithzal, “Islamic Financial Management” (Jakarta: PT Raja Grafindo,
2008), hlm. 3
20
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut
yang dikehendaki-Nya”. (Q.S Al-Maidah:1)
Secara ekonomi pembiayaan dapat diartikan sebagai pemindahan daya
beli dari satu tangan ke tangan lain, dan atau penciptaan daya beli:25
1. Pemindahan daya beli (source of fund) pada umumnya terkumpul dari
sekian banyak titipan/investasi dari masyarakat yang bersedia menyisihkan
sebagian dari penghasilannya tidak untuk dikonsumsi melainkan untuk
dititipkan/diinvestasikan. Pada umumnya penabung kurang mengetahui
untuk apa daya beli/uang tabungan mereka akan dipergunakan. Oleh
karena itu, mereka mempercayakan uang mereka pada lembaga keuangan,
yang nantinya akan memerlukannya.
2. Penciptaan daya beli, dari sisi mudharib merupakan penciptaan daya beli,
dimana dengan fasilitas pembiayaan yang diterimanya, para pengusaha
telah mempunyai rencana untuk apa pembiayaan tersebut akan
dipergunakan, untuk investasi ataukah untuk modal kerja.
Pasal 1 ayat (25) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, menyatakan: pembiayaan adalah
penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.
2. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik.
3. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna.
4. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh.
5. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa.
25
Rivai, Veithzal, “Islamic Financial Management” (Jakarta: PT Raja Grafindo,
2008), hlm. 2
21
Dengan demikian, dalam praktiknya pembiayaan adalah:26
1. Penyerahan nilai ekonomi sekarang atas kepercayaan dengan harapan
mendapatkan kembali suatu nilai ekonomi yang sama dikemudian hari;
2. Suatu tindakan atas dasar perjanjian yang dalam perjanjian tersebut
terdapat jasa dan balas jasa (prestasi dan kontra prestasi) yang keduanya
dipisahkan oleh unsur waktu;
3. Pembiayaan adalah suatu hak, dengan hak dimana seorang dapat
mempergunakannya untuk tujuan tertentu, dalam batas waktu tertentu dan
atas pertimbangan tertentu pula.
Perbedaan pokok antara perbankan syariah dengan konvensional dalam
pembiayaan adalah adanya larangan riba (bunga) pada perbankan syariah.
Prinsip utama yang dianut bank-bank Islam adalah:27
a. Larangan riba dalam berbagai bentuk transaksi.
b. Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada
memperoleh keuntungan yang sah secara syariah.
c. Memberikan zakat.
Musyarakah berasal dari kata syirkah, yang artinya pencampuran atau
interaksi. Sedangkan secara terminologi, syirkah adalah persekutuan usaha
untuk mengambil hak atau untuk beroperasi. IAI dalam PSAK 106
mendefinisikan musyarakah sebagai akad kerja sama antara dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu dengan kondisi masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana, dengan ketentuan keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan, sedangkan kerugian berdasarkan kontribusi dana.28
Menurut arti asli bahasa arab, syirkah berarti mencampurkan dua bagian
atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu bagian dengan bagian
26
Rivai, Veithzal, “Islamic Financial Management” (Jakarta: PT Raja Grafindo,
2008), hlm. 4 27
E.Nasution, Mustafa, dkk, “Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam” (Jakarta:
Kencana, 2006), hlm. 295 28
Yahya, Rizal, dkk, “Akuntansi Perbankan Syariah” (Jakarta: Salemba Empat,
2009), hlm. 136
22
lainnya.29
Menurut Afzalur Rahman, seorang Deputy Secretary General in
The Muslim School Trust, secara bahasa al-syirkah berarti al-ikhtilath
(pencampuran) atau persekutuan dua orang atau lebih. Istilah lain dari
musyarakah adalah sharikah atau syirkah atau kemitraan.30
Para mitra
bersama-sama menyediakan dana untuk mendanai sebuah usaha tertentu
dalam masyarakat, baik usaha yang sudah berjalan maupun yang baru,
selanjutnya salah satu mitra dapat mengembalikan dana tersebut dan bagi
hasil yang telah disepakati nisbahnya secara bertahap atau sekaligus kepada
mitra lain.
Pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan atau barang. Jika
pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan
harus dinilai secara tunai berdasarkan kesepakatan. Pembagian keuntungan
dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati
dengan metode bagi untung atau rugi (profit and loss sharing) atau metode
bagi pendapatan (revenue sharing). Sedangkan apabila terjadi kerugian, bank
dan nasabah menanggung risiko secara proporsional menurut porsi modal
masing-masing, kecuali jika terjadi kecurangan atau kelalaian yang menyalahi
perjanjian dari salah satu pihak.31
Dalil yang menjadi landasan hukum syariah dalam pembiayaan
musyarakah ini diantaranya tercantum dalam Q.S. Shaad:24 dan Q.S An-
Nisa: 12, yaitu:32
29
Sudarsono, Heri, “Bank dan Lembaga Keuangan Syariah” (Yogyakarta:
Ekonosia), hlm. 67 30
Sri Nurhayati dan Wasilah, “Akuntansi Syariah di Indonesia edisi 3” (Jakarta:
PT.Salemba Empat, 2013), hlm. 150 31
Burhanuddin, “Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah” (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2010), hlm. 67-68 32
Wirdyaningsih, dkk, “Bank dan Asuransi Islam di Indonesia” (Jakarta: Kencana,
2005), hlm. 119-120
23
Artinya:“Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu
dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya.
Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah
mereka ini.” (Q.S. Shaad:24)
.... ....
Artinya:“....Dan jika saudara-saudara itu lebih dua orang,maka mereka
berserikat pada sepertiga....” (Q.S An-Nisa: 12)
Serta dalam Hadits Riwayat Muslim yang artinya: “Allah akan
menolong dua orang yang berserikat selama mereka tidak saling
berkhianat.”
Juga dalam Hadits lain, Rasulullah SAW. bersabda: “Tangan Allah
diatas dua orang yang berserikat selagi keduanya tidak berkhianat.” (HR.
Ad-Daruquthni).
Dan dalam Hadits Riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah:
مالم يخه أحذٌما صاحبً, أ وا ثالث الشركيه: ان هللا يقُل : رفعً قال , عه أبي ٌريرة
(رَاي أبُا داَد َالحاكم عه أبي ٌريرة)فارا خاوً خرجت مه بيىٍما
Artinya: “Dari Abu Huraira, ia merafa‟kannya kepada Nabi, beliau
bersabada: Aku (Allah) merupakan orang ketiga dalam perserikatan antara
dua orang. Selama salah seorang di antara keduanya tidak melakukan
pengkhianatan terhadap yang lain. Jika seseorang melakukan pengkhianatan
terhadap yang lain, aku keluar dari perserikatan antara dua orang itu.”33
Pembiayaan musyarakah merupakan akad kerja sama antara dua belah
pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan
33
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, “Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoretis
dan Praktis” (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.67
24
dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Dalam
operasionalnya, penerapan akad musyarakah ini didasarkan pada fatwa DSN
No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah. Adapun
keuntungan dari pembiayaan ini harus dibagikan secara proporsioanl atas
dasar seluruh keuntungan.34
Ketentuan umum pembiayaan musyarakah adalah sebagai berikut:
1. Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan
dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam
menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek atau
usaha. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah
dan tidak boleh melakukan tindakan seperti:
a. Menggabungkan dana usaha dengan harta pribadi.
b. Menjalankan usaha dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal lainnya.
c. Memberi pinjaman kepada pihak lain.
d. Setiap pemilik modal dapat menghasilkan penyertaan atau digantikan
oleh pihak lain.
e. Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerja sama apabila: menarik
diri dari perserikatan, meninggal dunia, menjadi tidak cakap hukum.
2. Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu usaha
harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai porsi kesepakatan
sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.
3. Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah usaha
selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang
telah disepakati untuk bank.35
Adapun rukun dan syarat dari musyarakah itu sendiri akan dijelaskan
sebagai berikut. Rukun merupakan sesuatu yang wajib dilakukan dalam suatu
transaksi, begitu pula pada transaksi yang terjadi pada kerja sama bagi hasil
musyarakah. Pada umumnya, terdapat 3 macam rukun musyarakah yaitu:
34
Basir, Cik, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah” (Jakarta: Kencana,
2009), hlm. 75 35
Karim, Adiwarman, “Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan” (Jakarta: Raja
Grafindo, 2013), hlm. 102
25
1. Shigat, ijab qabul.
2. Pelaku akad yaitu para mitra usaha.
3. Objek akad, yaitu modal, kerja, dan keuntungan.
Dalam akad kerja sama musyarakah, pernyataan ijab qabul harus
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak. Pihak-pihak
yang melakukan akad juga harus cakap hukum seperti berkompeten dalam
memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Selain itu juga mitra usaha
harus menyediakan dana dan pekerjaan.
Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 mengatur mengenai
pembiayaan musyarakah dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:36
a. Ijab kabul
Ijab kabul yang dinyatakan oleh para pihak harus memperhatikan hal-hal
berikut:
1) Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan
kontrak (akad);
2) Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak; dan
3) Akad dituangkan secara tertulis melalui korespondensi atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
b. Subjek hukum
Para pihak yang berkontrak harus cakap hukum dan memperhatikan hal-
hal berikut ini:
1) Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
2) Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra
melaksanakan kerja sebagai wakil.
3) Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk
mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang
untuk melakukan aktivitas musyarakah dengan memerhatikan
kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang
disengaja.
36
Wirdyaningsih, dkk, “Bank dan Asuransi Islam di Indonesia” (Jakarta: Kencana,
2005), hlm. 120-122
26
4) Tidak diizinkan menggunakan dana untuk kepentingan sendiri.
c. Objek akad
Objek akad pada musyarakah terdiri dari modal, kerja, keuntungan, dan
kerugian. Masing-masing ditentukan hal-hal berikut ini.
1) Modal
(a) Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak, atau yang
nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti
barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk
aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh
para mitra.
(b) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan
atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali
atas dasar kesepakatan.
(c) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada
jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan,
maka Bank (LKS) diperkenankan meminta jaminan dari
nasabah/mitra kerja.
2) Kerja
(a) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar
pelaksanaan musyarakah, akan tetapi kesamaan porsi kerja
bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan
kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh
menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
(b) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama
pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam
organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
3) Keuntungan
(a) Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk
menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi
keuntungan atau ketika penghentian musyarakah.
27
(b) Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas
dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di
awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
(c) Seorang mitra boleh mengusulkan, bahwa jika keuntungan
melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau presentasi itu diberikan
kepadanya.
(d) Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam
akad.
4) Kerugian
Kerugian harus dibagi diantara para mitra secara proporsional menurut
saham masing-masing dalam modal.
d. Biaya operasional dan persengketaan:37
1) Biaya operasional dibebankan pada modal bersama; dan
2) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
Selain rukun musyarakah, terdapat juga syarat-syarat musyarakah
yaitu:38
1. Ucapan: tidak ada bentuk khusus dari kontrak musyarakah, ia dapat
berbentuk pengucapan yang menunjukkan tujuan. Berakad dianggap sah
jika diucapkan secara verbal atau ditulis. Kontrak musyarakah dicatat dan
disaksikan.
2. Pihak yang berkontrak: disyaratkan bahwa mitra harus kompeten dalam
memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
3. Objek kontrak (dana dan kerja), dana atau modal yang diberikan harus
uang tunai, emas, perak, atau yang bernilai sama. Para ulama menyepakati
hal ini. Beberapa ulama memberi kemungkinan pula bila modal berwujud
37
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, “Lembaga Keuangan Islam:Tinjauan teoretis
dan praktis” (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 69 38
Nawawi, Ismail, “Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer” (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), hlm. 155
28
aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, perlengkapan, dan
sebagainya. Bahkan dalam bentuk hak yang tidak terlihat, seperti lisensi,
hak paten, dan sebagainya. Bila itu ditakutkan, menurut kalangan ulama,
seluruh modal tersebut harus dinilai lebih dahulu secara tunai dan
disepakati oleh mitranya.
Mazhab Syafi‟i dan Maliki mensyaratkan dana yang disediakan oleh
masing-masing pihak harus dicampur. Tidak dibolehkan pemisahan dana dari
masing-masing pihak untuk kepentingan khusus. Misalnya, yang satu khusus
membiayai bahan baku, dan yang lainnya hanya membiayai pembelian
perlengkapan kantor. Tetapi, mazhab Hanafi tidak mencantumkan syarat ini
jika modal itu dalam bentuk tunai, sedangkan mazhab Hambali tidak
mensyaratkan pencampuran dana.
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan musyarakah adalah ketentuan
dasar. Tidak dibenarkan bila salah seorang diantara mereka menyatakan tak
akan ikut serta menangani pekerjaan dalam kerja sama itu. Namun, tidak ada
keharusan mereka menanggung beban kerja secara bersama. Salah satu pihak
boleh menangani pekerjaan lebih dari yang lain, dan berhak menuntut
pembagian keuntungan lebih bagi dirinya.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No: 7/46/PBI/2005 tentang akad
penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, telah ditetapkan bahwa dalam kegiatan
penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad musyarakah
berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:39
1. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan
bersama-sama menyediakan dana dan atau barang untuk membiayai suatu
kegiatan usaha tertentu;
2. Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan bank sebagai mitra usaha
dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan
wewenang yang disepakati seperti melakukan review, meminta bukti-bukti
39
Anshori, Abdul Ghofur, “Hukum Perbankan Syariah” (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2009), hlm. 45-46
29
dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah berdasarkan bukti
pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan;
3. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk
pembiayaan atas dasar akad musyarakah serta hak dan kewajiban nasabah
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
4. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan pembiayaan atas dasar
akad musyarakah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal
berupa analisa atas karakter (Character) dan aspek usaha antara lain
meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan
prospek usaha (Condition);
5. Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk
nisbah yang disepakati;
6. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka
waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak;
7. Pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam bentuk uang dan
atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan;
8. Dalam hal pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam
bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya;
9. Dalam hal pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam
bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar
(net realizable value) dan dinyatakan secara jelas jumlahnya;
10. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk
perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar musyarakah;
11. Jangka waktu pembiayaan atas dasar akad musyarakah, pengembalian
dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan
antara bank dan nasabah;
12. Pengembalian pembiayaan atas dasar akad musyarakah dilakukan dalam
dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode
pembiayaan, sesuai dengan jangka waktu pembiayaan atas dasar akad
musyarakah;
30
13. Pembagian hasil usaha berdasarkan laporan hasil usaha nasabah
berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan; dan
14. Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut
porsi modal masing-masing.
Secara garis besar, Zuhaily menyatakan musyarakah dibagi menjadi
dua jenis, yakni musyarakah kepemilikan (syirkah al-amlak) dan musyarakah
akad (syirkah al-„aqd). Syirkah kepemilikan tercipta karena warisan, wasiat
atau kondisi lain yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau
lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam
dua aset nyata dan berbagi dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
Musyarakah akad tercipta karena kesepakatan dua orang atau lebih
yang menyetujui bahwa tiap-tiap orang dari mereka memberikan kontribusi
dari modal musyarakah, merekapun sepakat berbagi keuntungan dan
kerugian. Musyarakah akad terbagi menjadi syirkah al-i‟nan, al-mufadhah,
al-‟amal, dan syirkah al-wujuh.
Pembagian syirkah yang disampaikan oleh Zuhaily tersebut senada
dengan syirkah yang diungkapkan oleh Firdaus at al., bahwa para ulama
membagi syirkah ke dalam bentuk-bentuk dijelaskan di bawah ini.40
a. Perserikatan dalam pemilikan (syirkah al-amlak), yaitu dua orang atau
lebih yang memiliki harta bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad
syirkah. Musyarakah dalam kategori ini ada dua bagian, yaitu:
1) Syirkah ikhtiar adalah perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum
orang yang berserikat, seperti dua orang yang bersepakat membeli suatu
atau mereka menerima hibah, wasiat, atau wakaf dari orang lain.
Mereka menerima pemberian hibah, wakaf ataupun wasiat tersebut dan
menjadi milik mereka secara berserikat.
2) Syirkah jabar adalah sesuatu yang disepakati dua orang atau lebih tanpa
kehendak. Artinya, perserikatan itu terjadi secara paksa, bukan atas
40
Nawawi, Ismail, “Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer” (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), hlm. 153
31
keinginan orang yang berserikat. Contoh, menerima warisan dari orang
yang meninggal.
b. Syirkah al-„uqud adalah akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk
mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungan. Akad tersebut
tercipta karena kesepakatan dua orang atau lebih yang setuju bahwa tiap
orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Merekapun sepakat
berbagi keuntungan dan kerugian. Syirkah al-„uqud dapat dibagi menjadi:
syirkah al-„inan, syirkah mufawadhah, syirkah a‟mal, dan syirkah wujuh.
Sedangkan menurut syariat Islam, syirkah atau musyarakah dibagi
menjadi dua jenis yaitu:41
1. Syirkah al-milk dapat diartikan sebagai kepemilikan bersama antara pihak
yang berserikat dan keberadaannya muncul pada saat dua orang atau lebih
secara kebetulan memperoleh kepemilikan bersama atas suatu kekayaan
tanpa adanya perjanjian kemitraan yang resmi. Syirkah al-milk biasanya
berasal dari warisan. Pendapatan atas barang warisan ini akan dibagi
hingga porsi hak atas warisan itu sampai dengan barang warisan itu dijual.
2. Syirkah al-uqud dapat dianggap sebagai kemitraan yang sesungguhnya,
karena para pihak yang bersangkutan secara sukarela berkeinginan untuk
membuat suatu perjanjian investasi bersama dan berbagi untung dan risiko.
Berbeda dengan syirkah al-milk, dalam kerja sama jenis ini setiap mitra
dapat bertindak sebagai wakil dari pihak lainnya. Syirkah al-„uqud dapat
dibagi menjadi sebagai berikut:
a. Syirkah Abdan
Syirkah abdan (syirkah fisik), disebut juga syirkah a‟mal (syirkah
kerja) syirkah shannaa‟i (syirkah para tukang) atau syirkah taqabbul
(syirkah penerimaan). syirkah abdan adalah bentuk kerja sama antara
dua pihak atau lebih dari kalangan pekerja dimana mereka sepakat
untuk bekerja sama mengerjakan suatu pekerjaan dan berbagi
penghasilan yang diterima. Misalnya, kerja sama dua orang arsitek
41
Sri Nurhayati dan Wasilah, “Akuntansi Syariah di Indonesia” (Jakarta: Salemba
Empat, 2009), hlm. 135-138
32
untuk menggarap sebuah proyek. Atau kerja sama dua orang penjahit
untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. Mazhab
Hanafi, Maliki, dan Hambali membolehkan musyarakah ini, baik kedua
orang tersebut satu profesi maupun tidak. Mereka merujuk kepada
bukti-bukti termasuk persetujuan terbuka dari Nabi. Lagi pula hal ini
didasarkan kepada perwakilan (wakalah) yang juga dibolehkan. Dalam
musyarakah, musyarakah jenis ini telah lama dipraktikkan.
b. Syirkah Wujuh
Syirkah Wujuh adalah kerja sama antara dua pihak dimana masing-
masing pihak sama sekali tidak menyertakan modal. Mereka
menjalankan usahanya berdasarkan kepercayaan pihak ketiga. Masing-
masing mitra menyumbangkan nama baik, reputasi, kepercayaan tanpa
menyertakan modal. Contohnya: dua orang atau lebih membeli suatu
barang tanpa modal atau dengan kredit, yang ada hanyalah nama baik
mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka, dan
keuntungan yang diperoleh untuk mereka. Setiap mitra menjadi
penanggung dan agen bagi mitra yang lainnya, dengan kata lain
pembelian barang tersebut ditanggung bersama. Keuntungan dibagi
kepada para mitra berdasarkan kesepakatan bersama. Ulama hanafiyah,
Hanabilah, dan Zaidiyah menyatakan hukumnya boleh, karena masing-
masing pihak bertindak sebagai wakil dari pihak lain, sehingga pihak
lain tersebut terikat pada transaksi yang telah dilakukan oleh mitra
serikatnya. Akan tetapi, menurut ulama Malikiyah, Syafi‟iyah,
Zahiriyah, dan Syi‟ah Imamiyah, perserikatan ini tidak sah dan tidak
dibolehkan. Alasannya, objek dalam perserikatan ini adalah modal dan
kerja, sedangkan dalam syirkah al-wujuh, baik modal maupun kerja
yang diakadkan tidak jelas.
c. Syirkah „Inan
Syirkah „Inan (negosiasi) adalah bentuk kerja sama dimana posisi dan
komposisi pihak-pihak yang terlibat didalamnya adalah tidak sama,
baik dalam hal modal maupun pekerjaan. Mazhab Hanafi dan Hambali
33
mengizinkan salah satu dari alternatif berikut: pertama, keuntungan dari
kedua pihak dibagi menurut porsi dana mereka. Kedua, keuntungan bisa
dibagi secara sama tapi kontribusi dana masing-masing pihak mungkin
berbeda. Ketiga, keuntungan bisa dibagi secara tidak sama tapi dana
yang diberikan sama. Ibnu Qudamah mengatakan, “Pilihan dalam
keuntungan dibolehkan dengan adanya kerja, karena seorang dari
mereka mungkin lebih ahli dalam bisnis dari yang lain dan ia mungkin
lebih kuat ketimbang yang lainnya dalam melaksanakan pekerjaan.
Karenanya, ia diizinkan untuk menuntut lebih dari bagian
keuntungannya.”
d. Syirkah Mufawwadhah
Syirkah Mufawwadhah adalah bentuk kerja sama dimana posisi dan
komposisi pihak-pihak yang terlibat didalamnya adalah harus sama,
baik dalam hal modal, pekerjaan, agama, keuntungan maupun risiko
kerugian. Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan musyarakah jenis
ini tetapi memberikan banyak batasan terhadapnya. Yang paling
penting dalam perserikatan ini, baik modal, kerja, keuntungan maupun
kerugian, mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Sementara
menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah tidak membolehkan akad
seperti ini, karena sulit untuk menetapkan prinsip kesamaan modal,
kerja, dan keuntungan dalam perserikatan ini.
Sedangkan penerapannya dalam perbankan diaplikasikan kedalam
bentuk:42
1. Pembiayaan dalam modal kerja, dapat dialokasikan untuk perusahaan yang
bergerak dalam bidang konstruksi, industri, perdagangan, dan jasa.
2. Pembiayaan investasi; dapat dialokasikan untuk perusahaan yang bergerak
dalam bidang industri.
3. Pembiayaan secara sindikasi; baik untuk kepentingan modal kerja maupun
investasi.
42
Rivai, Veithzal, “Islamic Financial Management” (Jakarta: PT Raja Grafindo,
2008), hlm. 122
34
Untuk memastikan kesesuaian syariah pada praktik transaksi
musyarakah yang dilakukan bank, DPS melakukan pengawasan syariah
secara periodik. Pengawasan tersebut berdasarkan pedoman yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia dilakukan untuk:43
1. Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap telah disampaikan
oleh bank kepada nasabah, baik secara tertulis maupun lisan tentang
persyaratan pembiayaan musyarakah telah dilakukan.
2. Menguji apakah perhitungan bagi hasil telah dilakukan sesuai prinsip
syariah.
3. Memastikan adanya persetujuan para pihak dalam perjanjian pembiayaan
musyarakah.
4. Memastikan terpenuhinya rukun dan syarat musyarakah.
5. Memastikan bahwa kegiatan investasi yang dibiayai tidak termasuk jenis
kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah.
Dengan adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS
menuntut bank syariah untuk hati-hati dalam melakukan transaksi
musyarakah dengan para nasabah. Selain itu, bank juga dituntut untuk
melaksanakan tertib administrasi agar berbagai dokumen yang diperlukan
DPS dapat tersedia setiap saat dilakukan pengawasan.
Sedangkan manfaat dari syirkah (musyarakah) adalah sebagai berikut:
1. Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat
keuntungan usaha meningkat.
2. Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah
pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil
usaha sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow atau arus
kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
43
Yahya, Rizal, dkk, “Akuntansi Perbankan Syariah” (Jakarta: PT. Salemba Empat,
2014), hlm. 139
35
4. Bank akan lebih efektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-
benar halal, aman, dan menguntungkan. Karena keuntungan yang riil dan
benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
5. Prinsip bagi hasil dalam musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga
tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu
jumlah bunga. Tetapi berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah,
bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Sedangkan risiko yang terdapat dalam musyarakah terutama pada
penerapannya dalam pembiayaan, yaitu:
a. Side Streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut
dalam kontrak.
b. Lalai dan kesalahan yang disengaja.
c. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.
Melalui pembiayaan musyarakah, kebutuhan nasabah untuk
mendapatkan tambahan modal kerja dapat terpenuhi setelah mendapatkan
pembiayaan dari lembaga keuangan bank maupun non bank. Selain
dipergunakan untuk pembiayaan modal kerja, secara umum pembelian barang
investasi dan pembiayaan proyek. Bagi lembaga keuangan pembiayaan ini
memberi manfaat berupa keuntungan dari hasil pembiayaan usaha. Namun
disamping bagi hasil, lembaga keuangan juga akan mendapatkan fee based
income (administrasi, komisi asuransi, dan komisi notaris).44
Dalam pembiayaan musyarakah, Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
memberikan modal sebagian dari total keseluruhan modal yang dibutuhkan.
LKS dapat menyertakan modal sesuai porsi yang disepakati dengan nasabah.
Misalnya, LKS memberikan modal sebesar 70%, dan 30% sisanya berasal
dari modal nasabah. Pembagian hasil keuntungan, tidak harus dihitung sesuai
porsi modal yang ditempatkan, akan tetapi sesuai dengan kesepakatan dalam
44
Burhanuddin, “Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah” (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2010), hlm. 68
36
kontrak awal, misalnya 60% untuk nasabah dan 40% untuk LKS. Untuk lebih
jelasnya, lihat skema musyarakah dibawah ini.45
1. Akad Pembiayaan Musyarakah
3.Modal 30% 2. Modal 70%
4. Pengelolaan Usaha
Bagi Hasil 60% Bagi Hasil 40%
Modal 30% Modal 70%
Gambar 2.1
Skema Pembiayaan Musyarakah
Keterangan skema:
1. LKS (shahibul maal 1) dan nasabah (shahibul maal 2) menandatangani
akad pembiayaan musyarakah.
2. LKS menyerahkan dana sebesar 70% dari kebutuhan proyek usaha yang
akan dijalankan oleh nasabah.
3. Nasabah menyerahkan dana 30%, dan menjalankan usaha sesuai dengan
kontrak.
4. Pengelolaan proyek usaha dijalankan oleh nasabah, dapat dibantu oleh
LKS atau menjalankan bisnisnya sendiri, LKS memberikan kuasa kepada
nasabah untuk mengelola usaha.
45
Ismail, “Perbankan Syariah” (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 181-182
SHAHIBUL MAAL 1
(LKS)
SHAHIBUL MAAL 2
(Nasabah)
KERJA SAMA USAHA
5. PENDAPATAN
6. MODAL
37
5. Hasil usaha atas kerja sama yang dilakukan antara LKS dan nasabah
dibagi sesuai dengan nisbah yang telah diperjanjikan dalam akad
pembiayaan, misalnya 60% untuk nasabah dan 40% untuk LKS. Namun
dalam hal terjadi kerugian, maka LKS akan menanggung kerugian sebesar
70% dan nasabah menanggung kerugian sebesar 30%.
6. Setelah kontrak berakhir, maka modal dikembalikan kepada masing-
masing mitra kerja, yaitu 70% dikembalikan kepada LKS dan 30%
dikembalikan kepada nasabah.
Secara umum, berakhirnya syirkah karena beberapa hal sebagai
berikut:46
1) Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan yang
lainnya.
2) Salah satu pihak kehilangan kecakapan mengelola harta.
3) Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi jika anggota syirkah lebih dari
dua, yang batal hanya yang meninggal dunia.
4) Salah satu pihak berada dibawah pengampunan.
5) Jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi
saham syirkah.
Mayoritas ulama, kecuali mazhab Maliki, berpendapat bahwa
musyarakah adalah salah satu bentuk kontrak yang dibolehkan. Maka, tiap
mitra berhak menghentikannya kapan saja ia inginkan, sama halnya dalam
kontrak perwakilan. Ketika salah satu mitra meninggal, salah satu ahli
warisnya yang baligh dan berakal sehat dapat menggantikan posisi mitra yang
meninggal tersebut. Namun, hal ini memerlukan persetujuan ahli waris lain
dan mitra musyarakah. Hal demikian juga berlaku jika salah satu mitra
kehilangan kompetensi hukumnya.
Adapun hikmah dari syirkah (musyarakah) adalah manusia tidak dapat
hidup sendirian, pasti membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan.
Ajaran Islam, mengajarkan supaya kita menjalin kerja sama dengan siapa pun
46
Nawawi, Ismail, “Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer” (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), hlm. 158
38
terutama dalam bidang ekonomi dengan prinsip saling tolong menolong dan
menguntungkan, tidak menipu dan merugikan. Tanpa kerja sama, maka kita
sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup. Syirkah pada hakikatnya adalah
sebuah kerja sama yang saling menguntungkan dalam mengembangkan
potensi yang dimiliki baik berupa harta atau pekerjaan. Oleh karena itu, Islam
menganjurkan umatnya untuk bekerja sama kepada siapa saja dengan tetap
memegang prinsip sebagaimana tersebut diatas. Maka hikmah yang dapat kita
ambil dari syirkah yaitu adanya tolong menolong, saling bantu membantu
dalam kebaikan, menjauhi sifat egoisme, menumbuhkan saling percaya,
menyadari kelemahan dan kekurangan, dan menimbulkan keberkahan dalam
usaha jika tidak berkhianat.47
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti tentang pembiayaan
musyarakah dan pengaruhnya terhadap perkembangan usaha mikro serta
peningkatan pendapatan nasabah diantaranya adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3
Penelitian Terdahulu
No Nama Judul Skripsi Hasil Perbedaan
1. Mohamad
Ade
Saefudin
(IAIN
Syekh
Nurjati
Cirebon
2014)
Pengaruh
Pembiayaan
Musyarakah
Terhadap
Produktivitas
Usaha Kecil
(Penelitian
Pada BMT
Nur‟Inah
Plered)
Praktek pembiayaan
musyarakah yang
dilakukan oleh BMT
Nur‟Ianah Plered ternyata
menerapkan produk
musyarakah tidak
menggunakan prinsip bagi
hasil tetapi margin.
Berdasarkan tanggapan
responden ditunjukkan
bahwa responden hampir
seluruhnya sangat setuju
dengan praktik
Penelitian
yang penulis
teliti
merupakan
pengembangan
dari skripsi
M.Ade
Saefudin ini
yakni
mengembang-
kannya
menjadi tiga
variabel
47
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, “Fiqh Muamalat” (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), hlm. 135
39
pembiayaan musyarakah
ini ditunjukkan dengan
nilai rata-rata sebesar 73%.
Sedangkan tingkat
produktivitas usaha kecil
para anggota BMT
Nur‟Ianah Plered dari 30
responden menyatakan
sudah sangat baik dengan
adanya pembiayaan
musyarakah terhadap
produktivitas usahanya.
Pemberian pembiayaan
musyarakah di BMT
Nur‟Ianah Plered adalah r
= 0,408 termasuk dalam
kategori pengaruh sedang,
dan terdapat hubungan
yang signifikan atau
dengan kata lain koefisien
tersebut dapat
digeneralisasikan atau
dapat berlaku pada
populasi dimana sampel
diambil. Berdasarkan hasil
penelitian dapat
disimpulkan bahwa
peningkatan produktivitas
usaha kecil dipengaruhi
oleh pembiayaan
musyarakah sebesar
16,6% dan sisanya 83,4%
ditentukan oleh faktor lain.
dengan
menambah
satu variabel
yaitu
pendapatan
nasabah BMT
Islamic Centre
Kab. Cirebon.
2. Vian
Andriyani
(IAIN
Syekh
Nurjati
Cirebon
2008)
Pengaruh
Pembiayaan
Mudharabah
Terhadap
Peningkatan
Pendapatan
Nasabah
Nasabah yang melakukan
pembiayaan mudharabah
BMT Khusnul Aulia
memiliki bidang usaha
yang bermacam-macam
namun kebanyakan dari
mereka adalah pengusaha
Jika dalam
penelitian yang
dilakukan oleh
Vian
Andriyani
meneliti
tentang
40
(Penelitian
Pada BMT
Khusnul Aulia
Kecamatan
Ciledug
Cirebon)
kecil menengah ke bawah.
Berdasarkan hasil
penyebaran angket kepada
26 nasabah BMT Khusnul
Aulia menunjukkan bahwa
dengan pembiayaan
mudharabah secara efektif
diketahui dapat
meningkatkan pendapatan
nasabah, sehingga dapat
mengembangkan
usahanya. Pembiayaan
mudharabah BMT
Khusnul Aulia
berpengaruh secara positif
terhadap peningkatan
pendapatan nasabah,
berdasarkan hasil yang
diperoleh dari koefisien r
= 0,857 yang artinya
sangat kuat, maksudnya
adalah pembiayaan
mudharabah BMT
Khusnul Aulia terdapat
pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap
peningkatan pendapatan
nasabah BMT Khusnul
Aulia.
pembiayaan
mudharabah,
maka kali ini
penulis
meneliti
mengenai
pembiayaan
musyarakah
dan
pengaruhnya
terhadap
perkembangan
usaha mikro
serta
pengaruhnya
terhadap
peningkatan
pendapatan
nasabah BMT
Islamic Centre
Kab. Cirebon.
3. Nurlaeli
(IAIN
Syekh
Nurjati
Cirebon
2006)
Pengaruh
Pembiayaan
Musyarakah
BMT Lautze
Terhadap
Peningkatan
Usaha
Pedagang Di
Pasar
Kanoman
Cirebon
Pedagang di pasar
Kanoman Cirebon
memiliki bidang usaha
dagang yang bermacam-
macam, namun
kebanyakan mereka atau
usaha yang nasabah
jalankan adalah pedagang
menengah ke bawah,
usaha yang nasabah
jalankan termasuk pada
Penulis tidak
hanya meneliti
pada
peningkatan
pedagang di
Pasar
Kanoman saja,
melainkan
kepada para
nasabah yang
mengajukan
41
usaha distribusi kecil
khususnya perdagangan
eceran. Namun
pembiayaan musyarakah
pada BMT Lautze cabang
BMT Al-Falah terhadap
peningkatan usaha
pedagang di pasar
Kanoman tidak
menunjukkan hubungan
yang berbanding lurus,
dan adapun nilai rho yang
diperoleh dan perhitungan
analisis regresi linier
sederhana yaitu 0,277 dan
hasil rho tersebut
termasuk ke dalam
kategori rendah. jadi,
terdapat hubungan yang
positif sebesar 0,277 dan
rendah antara pemberian
pembiayaan musyarakah
di BMT Lautze cabang
BMT Al-Falah terhadap
peningkatan usaha
pedagang di pasar
Kanoman Cirebon.
pembiayaan
musyarakah
pada BMT
Islamic Centre
Kab. Cirebon
serta
peningkatan
pendapatannya
4. Fitra
Ananda
(Universitas
DiPonegoro
Semarang
2011)
Perkembangan
Usaha Mikro
Dan Kecil
Setelah
Memperoleh
Pembiayaan
Mudharabah
Dari BMT At-
Taqwa
Halmahera Di
Kota
Semarang
Objek dari penelitian ini
yaitu UKM yang menjadi
anggota BMT At-Taqwa
Halmahera dengan sampel
sebanyak 75. Jenis data
yang dikumpulkan adalah
data primer dan data
sekunder. Metode analisis
data yang digunakan
dalam penelitian ini
meliputi ujivaliditas, uji
reliabilitas dan uji pangkat
tanda wilcoxon.
Pembiayaan
yang penulis
teliti yakni
mengenai
pembiayaan
musyarakah
terhadap usaha
mikro serta
peningkatan
pendapatan
nasabah pada
BMT Islamic
Centre Kab.
42
Berdasarkan perhitungan
uji pangkat tandaWilcoxon
untuk variabel modal
didapatkan nilai -p
sebesar 0,000
(0,000
43
peningkatan sebesar 65%
setelah mendapatkan
pembiayaan dari BMT At-
Taqwa Halmahera Kota
Semarang. Dengan
demikian dengan adanya
pembiayaan dari BMT At-
Taqwa Halmahera di Kota
Semarang maka modal
usaha, omzet penjualan
dan keuntungan Usaha
Mikro dan Kecil (UMK)
mengalami peningkatan
yang sangat berarti.
5. Rani
Ernawati
(IAIN
Walisongo
Semarang
2012)
Akad
Pembiayaan
Mudharabah
Pada BMT
Dalam
Meningkatkan
Pendapatan
Masyarakat
(Studi Kasus
Pada KJKS-
BMT Ummat
Sejahtera
Abadi
Rembang)
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa akad
pembiayaan mudharabah
yang dilaksanakan oleh
pihak KJKS-BMT Ummat
Sejahtera Abadi dapat
dikatakan dapat
memberikan perubahan
pada tingkat pendapatan
masyarakat sekitar. Sebab
melalui pembiayaan
mudharabah ini, para
pedagang kecil yang
memerlukan tambahan
modal untuk
mengembangkan
usahanya dengan mudah
mereka mendapatkan
dengan cara mengajukan
pembiayaan yakni
pembiayaan mudharabah.
Sehingga dengan adanya
pembiayaan tersebut,
mereka tidak perlu
meminjam modal dari
para rentenir yang
Akad yang
penulis teliti
yakni hanya
mengenai akad
musyarakah
saja serta
pengaruhnya
terhadap
perkembangan
usaha mikro
serta
peningkatan
pendapatan
nasabah pada
BMT Islamic
Centre Kab.
Cirebon.
44
menggunakan sistem
bunga yang melambung
tinggi. Dalam KJKS-BMT
Ummat Sejahtera Abadi
ini, mereka memberikan
modal bukan hanya dalam
bentuk uang saja
melainkan juga dapat
wujud peralatan yang
dapat dijadikan sebagai
sarana untuk bekerja. Dari
hasil penelitian dan data-
data yang diperoleh dapat
ditarik sebuah kesimpulan
bahwa, dalam program
meningkatkan pendapatan
masyarakat yang
dilaksanakan oleh pihak
BMT melalui akad
pembiayaan mudharabah
ternyata dapat
meningkatkan
perekonomian umat. Hal
tersebut dapat dilihat dari
hasil pelaksanaan program
yang cukup maksimal.
C. Kerangka Pemikiran
Seperti apa yang kita ketahui keberadaan Baitul Maal Wattamwil (BMT)
dipandang memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai lembaga keuangan dan
juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi, salah satu diantaranya adalah
mengelola kegiatan perdagangan (usaha mikro).
Persoalan pendanaan merupakan salah satu dilema yang sangat krusial
bagi kelanjutan usaha mikro, dan untuk mengatasi persoalan tersebut salah
satunya dengan mengajukan pembiayaan musyarakah pada BMT Islamic
Centre. Menurut teori Zuhaily, 1989:976, pembiayaan musyarakah adalah
akad kerja sama diantara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha
45
tertentu yang masing-masing pihak dalam melakukan usaha dimaksud,
memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) berdasarkan kesepakatan
bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan
ketika melakukan akad.48
Sehingga dengan adanya tambahan modal dari pembiayaan musyarakah
ini diharapkan akan mampu untuk perkembangan usaha mikro dan peningkatan
pendapatan nasabah BMT Islamic Centre khususnya.
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran
D. Hipotesis Penelitian
Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh serta hubungan yang positif
antara dua variabel atau lebih perlu dirumuskan suatu hipotesis. Hipotesis
merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian yang
diajukan, maka titik tolak untuk merumuskan hipotesis adalah rumusan
masalah dengan kerangka berfikir.49
Berdasarkan perumusan serta pemaparan
mengenai pernyataan diatas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
48
Ali, Zainuddin, “Hukum Perbankan Syariah” (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.
28-29 49
sugiyono, “Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D” (Bandung: Alfabeta, 2012),
hlm. 284
Usaha Mikro
(Y1) Pembiayaan
Musyarakah (X) Pendapatan Nasabah
(Y2)
46
H1: Pembiayaan musyarakah berpengaruh positif signifikan terhadap
perkembangan usaha mikro.
H2: Pembiayaan musyarakah berpengaruh positif signifikan terhadap
peningkatan pendapatan nasabah.
H3: Pembiayaan musyarakah berpengaruh positif signifikan terhadap
perkembangan usaha mikro dan peningkatan pendapatan nasabah.