36
11 BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka 1. Teori Perkembangan Usaha Mikro Pengembangan usaha adalah suatu proses pelaksanaan usaha mengenai peluang pertumbuhan potensial selama usaha itu berlangsung. Dalam hal ini perusahaan dapat memanfaatkan satu sama lain keahlian, teknologi atau kekayaan intelektual untuk memperluas kapasitas mereka untuk mengidentifikasi, meneliti, menganalisis dan membawa ke pasar bisnis baru dan produk baru, pengembangan bisnis berfokus pada implementasi dari rencana bisnis strategi melalui ekuitas pembiayaan, akuisisi/divestasi teknologi, produk, dan lain-lain. 16 Jadi, perkembangan usaha merupakan suatu bentuk usaha untuk usaha itu sendiri agar dapat berkembang menjadi lebih baik untuk mencapai pada satu titik kesuksesan dan keuntungan. Perkembangan usaha akan dilihat dari proses jalannya usaha itu sendiri dan kemungkinan adanya usaha tersebut tumbuh dan berkembang. Menurut Rudjito (2003) 17 usaha mikro diartikan sebagai model usaha yang paling kecil, biasanya dilakukan di rumah dan sebagian besar tenaga kerjanya oleh kerabat keluarga, seperti dagang. Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan. Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah bahwa yang dimaksud “Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi usaha mikro, sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini.” 16 http://www.matabaraja.com/2016/10/pengertian-pengembangan-bisnis- menurut.html diakses 22 Mei 2017 pkl 9.42 17 Arsyad, Lincolin, “Lembaga Keuangan Mikro” (Yogyakarta: Andi Offset, 2008), hlm. 124

BAB II LANDASAN TEORI Teori Perkembangan Usaha Mikrosc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB21413233090.pdf11 BAB II LANDASAN TEORI A . Kajian Pustaka 1. Teori Perkembangan Usaha

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 11

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Kajian Pustaka

    1. Teori Perkembangan Usaha Mikro

    Pengembangan usaha adalah suatu proses pelaksanaan usaha mengenai

    peluang pertumbuhan potensial selama usaha itu berlangsung. Dalam hal ini

    perusahaan dapat memanfaatkan satu sama lain keahlian, teknologi atau

    kekayaan intelektual untuk memperluas kapasitas mereka untuk

    mengidentifikasi, meneliti, menganalisis dan membawa ke pasar bisnis baru

    dan produk baru, pengembangan bisnis berfokus pada implementasi dari

    rencana bisnis strategi melalui ekuitas pembiayaan, akuisisi/divestasi

    teknologi, produk, dan lain-lain.16

    Jadi, perkembangan usaha merupakan suatu bentuk usaha untuk usaha

    itu sendiri agar dapat berkembang menjadi lebih baik untuk mencapai pada

    satu titik kesuksesan dan keuntungan. Perkembangan usaha akan dilihat dari

    proses jalannya usaha itu sendiri dan kemungkinan adanya usaha tersebut

    tumbuh dan berkembang.

    Menurut Rudjito (2003)17

    usaha mikro diartikan sebagai model usaha

    yang paling kecil, biasanya dilakukan di rumah dan sebagian besar tenaga

    kerjanya oleh kerabat keluarga, seperti dagang. Usaha kecil adalah kegiatan

    ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih

    atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan.

    Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang

    Usaha Mikro Kecil dan Menengah bahwa yang dimaksud “Usaha Mikro

    adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha

    perorangan yang memenuhi usaha mikro, sebagaimana diatur dalam Undang-

    Undang ini.”

    16

    http://www.matabaraja.com/2016/10/pengertian-pengembangan-bisnis-

    menurut.html diakses 22 Mei 2017 pkl 9.42 17

    Arsyad, Lincolin, “Lembaga Keuangan Mikro” (Yogyakarta: Andi Offset, 2008),

    hlm. 124

  • 12

    Dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang

    Usaha Mikro Kecil dan Menengah bahwa yang dimaksud “Usaha Kecil

    adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh

    orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan

    atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian

    baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar

    yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-

    undang ini.”

    Sedangkan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 tahun

    2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah bahwa:

    a. Usaha Mikro. Kriteria kelompok Usaha Mikro adalah usaha produktif

    milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi

    kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

    b. Usaha Kecil. Kriteria Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang

    berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha

    yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan

    yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian langsung maupun tidak

    langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria

    Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

    c. Usaha Menengah. Usaha Menengah adalah ekonomi produktif yang

    berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha

    yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang

    dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak

    langsung dengan usaha kecil atau besar dengan jumlah kekayaan bersih

    atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

    Adapun kriteria-kriteria yang tergolong dalam UMKM adalah sebagai

    berikut:

    a. Kriteria Usaha Mikro, adalah sebagai berikut:

    1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh

    juta rupiah) termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau;

  • 13

    2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga

    ratus juta rupiah).

    b. Kriteria Usaha Kecil, adalah sebagai berikut:

    1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta

    rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta

    rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau;

    2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,- (tiga

    ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,-

    (dua milyar lima ratus juta rupiah).

    c. Kriteria Usaha Menengah, adalah sebagai berikut:

    1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta

    rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh

    milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau;

    2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,- (dua

    milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.

    50.000.000.000,- (lima puluh milyar rupiah).

    Menurut Ismawan (2003)18

    memetakan secara jelas persoalan yang

    dihadapi oleh ekonomi usaha kecil (mikro). Mereka menghadapi berbagai

    kesulitan dalam mengembangkan usahanya. Adapun faktor-faktor lain yang

    dihadapi usaha mikro dapat dilihat dalam tabel berikut:

    Tabel 2.1

    Kesulitan Yang Dihadapi Usaha Mikro

    No Jenis Kesulitan IKR IK

    1 Kesulitan Modal 34.55% 44.05%

    2 Pengadaan Bahan Baku 20.14% 12.22%

    3 Pemasaran 31.70% 34.00%

    4 Kesulitan lainnya 13.6% 9.73%

    Masyarakat lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak tersentuh oleh

    (underserved) dan tidak dianggap memiliki potensi dana oleh lembaga

    keuangan formal, sehingga menyebabkan laju pertumbuhan ekonominya

    18

    Muhammad, “Bank Syariah Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia”

    (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm. 125-126

  • 14

    terhambat pada tingkat subsistensi saja. Kelompok masyarakat ini dinilai

    tidak layak bank (notbankable) karena tidak memiliki agunan, serta

    diasumsikan kemampuan mengembalikannya pinjamannya rendah, kebiasaan

    menabung yang rendah dan mahalnya biaya transaksi. Akibat asumsi tersebut

    maka aksesibilitas dari pengusaha mikro terhadap sumber keuangan formal

    rendah, sehingga mereka mengandalkan modal apa adanya yang mereka

    miliki. Tabel berikut ini akan memperlihatkan sumber pemerolehan modal

    usaha mikro.

    Tabel 2.2

    Sumber Pendanaan Usaha Mikro

    No Uraian IKR IK

    1 Modal Sendiri 90.36% 69.82%

    2 Modal Pinjaman 3.20% 4.76%

    3 Modal Sendiri dan Pinjaman 6.44% 25.42%

    Jumlah 100% 100%

    Dengan memahami persoalan yang melingkari usaha ekonomi kecil

    yang dikemukakan diatas, maka kehadiran lembaga keuangan syariah

    merupakan momentum strategis bagi upaya pembebasan masyarakat

    pengusaha kecil dari kesulitan pendanaan dalam mengembangkan usaha

    ekonomi mereka.

    Dengan keistimewaan dan ciri-ciri yang ada dan berbeda dari lembaga

    keuangan konvensional sangat memungkinkan bagi perkembangan dan masa

    depan ekonomi rakyat. Beberapa ciri-ciri keistimewaan lembaga keuangan

    syariah, diantaranya sebagai berikut:19

    1. Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat antara pemegang saham,

    pengelola bank (lembaga keuangan syariah) dan nasabah.

    2. Diterapkannya sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga, sehingga akan

    berdampak positif dalam menekan cost push inflation dan persaingan antar

    bank (lembaga keuangan syariah).

    19

    Muhammad, “Bank Syariah Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia”

    (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm. 128

  • 15

    3. Tersedianya fasilitas kredit kebaikan (Al-Qordhul Hasan) yang diberikan

    secara cuma-cuma.

    4. Konsep (build in concept) dengan berorientasi pada kebersamaan:

    a. Mendorong kegiatan investasi dan menghambat simpanan yang tidak

    produktif melalui sistem operasi profit and loss sharing.

    b. Memerangi kemiskinan dengan membina golongan ekonomi lemah dan

    tertindas, melalui bantuan hibah yang dilakukan bank (lembaga

    keuangan syariah) secara produktif.

    c. Mengembangkan produksi, menggalakkan perdagangan dan

    memperluas kesempatan kerja melalui kredit pemilikan barang atau

    peralatan modal dengan pembayaran tangguh dan pembayaran cicilan.

    d. Meratakan pendapatan melalui sistem bagi hasil dan kerugian, baik

    yang diberikan kepada bank (lembaga keuangan syariah) itu sendiri

    maupun kepada peminjam.

    5. Penerapan sistem bagi hasil yang tidak membebani biaya diluar

    kemampuan nasabah dan akan terjamin adanya keterbukaan.

    Berdasarkan ciri-ciri diatas, maka lembaga keuangan syariah memiliki

    peluang yang baik untuk mewujudkan harapan pemerintah yang tertuang

    dalam kebijakan perubahan regulasi dengan prioritas koperasi, pengusaha

    kecil dan menengah atau sistem ekonomi rakyat yang memberikan

    kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi.

    Muatan aksiologis yang mendasari operasional lembaga keuangan

    syariah juga menjadi kekuatan tersendiri dalam upaya pengembangan

    ekonomi masyarakat secara menyeluruh. Nilai-nilai kebersamaan, kemitraan,

    keseimbangan, keadilan, dan lepasnya salah satu pihak dari beban (bayar

    modal plus bunga) berkesinambungan menjadi kekuatan tersendiri yang tidak

    dimiliki oleh lembaga-lembaga konvensional.

    Kekuatan lain yang memungkinkan lembaga keuangan syariah untuk

    memberdayakan ekonomi rakyat adalah pada penyediaan pembiayaan murah

    yang merupakan faktor penting untuk mendorong kegiatan dan

    perkembangan ekonomi. Seperti diuraikan sebelumnya bahwa kendala utama

  • 16

    dari usaha kecil adalah modal. Oleh karena itu, perolehan modal pembiayaan

    yang murah merupakan keinginan dari para pengusaha kecil.20

    2. Teori Peningkatan Pendapatan Nasabah

    Sesuai definisi di PSAK 23 (Revisi 2010) pendapatan adalah arus

    masuk kotor dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal entitas

    selama suatu periode jika arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan

    ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal.

    Terkadang muncul pertanyaan apa perbedaan penghasilan (income)

    dengan pendapatan (revenue) dan bagaimana hubungan antara pendapatan

    dan penghasilan? Dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan

    Keuangan (KDP2LK), penghasilan adalah kenaikan manfaat ekonomi selama

    suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aset atau

    penurunan liabilitas yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal

    dari kontribusi penanam modal. Penghasilan terdiri dari pendapatan (revenue)

    dan keuntungan (gain). Pendapatan adalah penghasilan yang berasal dari

    aktivitas normal dari suatu entitas dan merujuk kepada istilah yang berbeda-

    beda seperti penjualan (sales), pendapatan jasa (fees), bunga (interest),

    dividen (dividend), dan royalti (royalty). Sedangkan keuntungan

    mencerminkan pos lain yang memenuhi definisi penghasilan dan mungkin

    timbul atau mungkin tidak timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan

    yang biasa. Keuntungan mencerminkan kenaikan manfaat ekonomi dan

    dengan demikian pada hakikatnya tidak berbeda dengan pendapatan. Contoh

    keuntungan, misalnya keuntungan dari penjualan aset tetap.

    Sesuai definisi pendapatan, perusahaan hanya mengakui pendapatan

    yang berasal dari manfaat ekonomi yang diterima atau dapat diterima oleh

    entitas untuk entitas itu sendiri. Jumlah yang ditagih atas kepentingan pihak

    lain, seperti pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan merupakan

    pendapatan, karena tidak mengalir ke entitas dan tidak mengakibatkan

    20

    Muhammad, “Bank Syariah Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia”

    (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm. 129

  • 17

    kenaikan ekuitas. Contoh lain misalnya penerimaan oleh agen. Jumlah

    tagihan yang meliputi hak prinsipal tidak dapat diakui sebagai pendapatan.

    Dalam hal ini jumlah pendapatan yang dapat diakui agen adalah sebesar

    komisi yang diterima.21

    Menurut standar akuntansi keuangan, pendapatan adalah penghasilan

    yang timbul dari aktivitas perusahaan yang dikenal dengan sebutan seperti

    penjualan barang, penjualan jasa, sewa, dan sebagainya. Pendapatan

    merupakan hal yang penting, karena pendapatan ini menjadi objek atas

    kegiatan usaha.

    Sedangkan yang dimaksud dengan nasabah menurut Undang-Undang

    No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan mengenal

    pengertian nasabah sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang No. 10

    Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

    tentang Perbankan, yaitu:

    1. Pengertian nasabah penyimpan yaitu nasabah yang menempatkan dananya

    di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan

    nasabah yang bersangkutan.

    2. Pengertian nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas

    kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang

    dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah

    yang bersangkutan.

    Jadi, yang dimaksud dengan pendapatan nasabah adalah penghasilan

    yang timbul dari aktivitas usaha, baik itu usaha barang atau jasa yang

    menyimpan atau meminjam uang pada bank. Semakin tinggi penghasilan dan

    keuntungan maka akan semakin tinggi pula pendapatan yang didapat.

    21

    Martani, dwi, dkk, “Akuntansi Keuangan Menengah Berbasis PSAK” (Jakarta:

    Salemba Empat), hlm.204

  • 18

    Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan adalah sebagai

    berikut:22

    1. Kesempatan kerja yang tersedia, semakin banyak kesempatan kerja yang

    tersedia berarti semakin banyak penghasilan yang bisa diperoleh dari hasil

    kerja tersebut.

    2. Jenis pekerjaan, terdapat banyak jenis pekerjaan yang dapat dipilih

    seseorang dalam melakukan pekerjaannya untuk mendapatkan

    penghasilan.

    3. Kecakapan dan keahlian, dengan bekal kecakapan dan keahlian yang

    tinggi akan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas yang pada

    akhirnya berpengaruh pula terhadap penghasilan.

    4. Motivasi atau dorongan juga mempengaruhi jumlah penghasilan, semakin

    besar dorongan seseorang untuk melakukan pekerjaan semakin besar pula

    penghasilan yang diperoleh. Selain itu juga lokasi bekerja yang dekat

    dengan tempat tinggal dan kota akan membuat seseorang lebih semangat

    untuk bekerja.

    5. Keuletan kerja, pengertian keuletan dapat disamakan dengan ketekunan,

    keberanian untuk menghadapi segala macam tantangan. Bila saat

    menghadapi kegagalan maka kegagalan tersebut dijadikan sebagai bekal

    untuk meneliti kearah kesuksesan dan keberhasilan.

    6. Banyak sedikitnya modal yang digunakan, besar kecilnya usaha yang

    dilakukan seseorang sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya modal yang

    dipergunakan.

    Dalam kegiatan perusahaan, pendapatan para pengusaha adalah

    keuntungan. Keuntungan ditentukan dengan cara mengurangkan berbagai

    biaya yang dikeluarkan dari hasil penjualan yang diperoleh. Biaya yang

    dikeluarkan meliputi pengeluaran untuk bahan mentah, pembayaran upah,

    pembayaran bunga, sewa tanah, dan penghapusan (depresiasi). Apabila hasil

    22

    Ratna, Sukmayanti, dkk, “Ilmu Pengetahuan Sosial” (Jakarta: Galaxy Puspa

    Mega, 2008), hlm. 117

  • 19

    penjualan yang diperoleh dikurangi dengan biaya-biaya tersebut nilainya

    adalah positif maka diperolehlah keuntungan.23

    3. Teori Pembiayaan Musyarakah

    Istilah pembiayaan pada intinya berarti I Believe, I Trust, „saya percaya‟

    atau „saya menaruh kepercayaan‟. Perkataan pembiayaan yang artinya

    kepercayaan (trust), berarti lembaga pembiayaan selaku shahibul maal

    menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang

    diberikan. Dana tersebut harus digunakan dengan benar, adil, dan harus

    disertai dengan ikatan dan syarat-syarat yang jelas, dan saling

    menguntungkan bagi kedua belah pihak, sebagaimana firman Allah SWT

    dalam surat An-Nisa: 29 dan surat Al-Maidah:1.24

    Artinya: “Hai orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

    (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan

    perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantara kamu. Dan janganlah

    kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

    kepadamu”. (Q.S An-Nisa: 29)

    Artinya: “Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan

    bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang

    23

    Sukirno, Sadono, “Mikroekonomi Teori Pengantar” (Jakarta: PT Raja Grafindo

    Persada, 2013), hlm. 383-384 24

    Rivai, Veithzal, “Islamic Financial Management” (Jakarta: PT Raja Grafindo,

    2008), hlm. 3

  • 20

    demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang

    mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut

    yang dikehendaki-Nya”. (Q.S Al-Maidah:1)

    Secara ekonomi pembiayaan dapat diartikan sebagai pemindahan daya

    beli dari satu tangan ke tangan lain, dan atau penciptaan daya beli:25

    1. Pemindahan daya beli (source of fund) pada umumnya terkumpul dari

    sekian banyak titipan/investasi dari masyarakat yang bersedia menyisihkan

    sebagian dari penghasilannya tidak untuk dikonsumsi melainkan untuk

    dititipkan/diinvestasikan. Pada umumnya penabung kurang mengetahui

    untuk apa daya beli/uang tabungan mereka akan dipergunakan. Oleh

    karena itu, mereka mempercayakan uang mereka pada lembaga keuangan,

    yang nantinya akan memerlukannya.

    2. Penciptaan daya beli, dari sisi mudharib merupakan penciptaan daya beli,

    dimana dengan fasilitas pembiayaan yang diterimanya, para pengusaha

    telah mempunyai rencana untuk apa pembiayaan tersebut akan

    dipergunakan, untuk investasi ataukah untuk modal kerja.

    Pasal 1 ayat (25) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun

    2008 tentang Perbankan Syariah, menyatakan: pembiayaan adalah

    penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:

    1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.

    2. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam

    bentuk ijarah muntahiya bittamlik.

    3. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna.

    4. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh.

    5. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi

    multijasa.

    25

    Rivai, Veithzal, “Islamic Financial Management” (Jakarta: PT Raja Grafindo,

    2008), hlm. 2

  • 21

    Dengan demikian, dalam praktiknya pembiayaan adalah:26

    1. Penyerahan nilai ekonomi sekarang atas kepercayaan dengan harapan

    mendapatkan kembali suatu nilai ekonomi yang sama dikemudian hari;

    2. Suatu tindakan atas dasar perjanjian yang dalam perjanjian tersebut

    terdapat jasa dan balas jasa (prestasi dan kontra prestasi) yang keduanya

    dipisahkan oleh unsur waktu;

    3. Pembiayaan adalah suatu hak, dengan hak dimana seorang dapat

    mempergunakannya untuk tujuan tertentu, dalam batas waktu tertentu dan

    atas pertimbangan tertentu pula.

    Perbedaan pokok antara perbankan syariah dengan konvensional dalam

    pembiayaan adalah adanya larangan riba (bunga) pada perbankan syariah.

    Prinsip utama yang dianut bank-bank Islam adalah:27

    a. Larangan riba dalam berbagai bentuk transaksi.

    b. Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada

    memperoleh keuntungan yang sah secara syariah.

    c. Memberikan zakat.

    Musyarakah berasal dari kata syirkah, yang artinya pencampuran atau

    interaksi. Sedangkan secara terminologi, syirkah adalah persekutuan usaha

    untuk mengambil hak atau untuk beroperasi. IAI dalam PSAK 106

    mendefinisikan musyarakah sebagai akad kerja sama antara dua pihak atau

    lebih untuk suatu usaha tertentu dengan kondisi masing-masing pihak

    memberikan kontribusi dana, dengan ketentuan keuntungan dibagi

    berdasarkan kesepakatan, sedangkan kerugian berdasarkan kontribusi dana.28

    Menurut arti asli bahasa arab, syirkah berarti mencampurkan dua bagian

    atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu bagian dengan bagian

    26

    Rivai, Veithzal, “Islamic Financial Management” (Jakarta: PT Raja Grafindo,

    2008), hlm. 4 27

    E.Nasution, Mustafa, dkk, “Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam” (Jakarta:

    Kencana, 2006), hlm. 295 28

    Yahya, Rizal, dkk, “Akuntansi Perbankan Syariah” (Jakarta: Salemba Empat,

    2009), hlm. 136

  • 22

    lainnya.29

    Menurut Afzalur Rahman, seorang Deputy Secretary General in

    The Muslim School Trust, secara bahasa al-syirkah berarti al-ikhtilath

    (pencampuran) atau persekutuan dua orang atau lebih. Istilah lain dari

    musyarakah adalah sharikah atau syirkah atau kemitraan.30

    Para mitra

    bersama-sama menyediakan dana untuk mendanai sebuah usaha tertentu

    dalam masyarakat, baik usaha yang sudah berjalan maupun yang baru,

    selanjutnya salah satu mitra dapat mengembalikan dana tersebut dan bagi

    hasil yang telah disepakati nisbahnya secara bertahap atau sekaligus kepada

    mitra lain.

    Pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan atau barang. Jika

    pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan

    harus dinilai secara tunai berdasarkan kesepakatan. Pembagian keuntungan

    dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati

    dengan metode bagi untung atau rugi (profit and loss sharing) atau metode

    bagi pendapatan (revenue sharing). Sedangkan apabila terjadi kerugian, bank

    dan nasabah menanggung risiko secara proporsional menurut porsi modal

    masing-masing, kecuali jika terjadi kecurangan atau kelalaian yang menyalahi

    perjanjian dari salah satu pihak.31

    Dalil yang menjadi landasan hukum syariah dalam pembiayaan

    musyarakah ini diantaranya tercantum dalam Q.S. Shaad:24 dan Q.S An-

    Nisa: 12, yaitu:32

    29

    Sudarsono, Heri, “Bank dan Lembaga Keuangan Syariah” (Yogyakarta:

    Ekonosia), hlm. 67 30

    Sri Nurhayati dan Wasilah, “Akuntansi Syariah di Indonesia edisi 3” (Jakarta:

    PT.Salemba Empat, 2013), hlm. 150 31

    Burhanuddin, “Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah” (Yogyakarta: Graha

    Ilmu, 2010), hlm. 67-68 32

    Wirdyaningsih, dkk, “Bank dan Asuransi Islam di Indonesia” (Jakarta: Kencana,

    2005), hlm. 119-120

  • 23

    Artinya:“Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu

    dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya.

    Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu

    sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-

    orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah

    mereka ini.” (Q.S. Shaad:24)

    .... ....

    Artinya:“....Dan jika saudara-saudara itu lebih dua orang,maka mereka

    berserikat pada sepertiga....” (Q.S An-Nisa: 12)

    Serta dalam Hadits Riwayat Muslim yang artinya: “Allah akan

    menolong dua orang yang berserikat selama mereka tidak saling

    berkhianat.”

    Juga dalam Hadits lain, Rasulullah SAW. bersabda: “Tangan Allah

    diatas dua orang yang berserikat selagi keduanya tidak berkhianat.” (HR.

    Ad-Daruquthni).

    Dan dalam Hadits Riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah:

    مالم يخه أحذٌما صاحبً, أ وا ثالث الشركيه: ان هللا يقُل : رفعً قال , عه أبي ٌريرة

    (رَاي أبُا داَد َالحاكم عه أبي ٌريرة)فارا خاوً خرجت مه بيىٍما

    Artinya: “Dari Abu Huraira, ia merafa‟kannya kepada Nabi, beliau

    bersabada: Aku (Allah) merupakan orang ketiga dalam perserikatan antara

    dua orang. Selama salah seorang di antara keduanya tidak melakukan

    pengkhianatan terhadap yang lain. Jika seseorang melakukan pengkhianatan

    terhadap yang lain, aku keluar dari perserikatan antara dua orang itu.”33

    Pembiayaan musyarakah merupakan akad kerja sama antara dua belah

    pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan

    33

    Nurul Huda dan Mohamad Heykal, “Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoretis

    dan Praktis” (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.67

  • 24

    dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Dalam

    operasionalnya, penerapan akad musyarakah ini didasarkan pada fatwa DSN

    No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah. Adapun

    keuntungan dari pembiayaan ini harus dibagikan secara proporsioanl atas

    dasar seluruh keuntungan.34

    Ketentuan umum pembiayaan musyarakah adalah sebagai berikut:

    1. Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan

    dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam

    menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek atau

    usaha. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah

    dan tidak boleh melakukan tindakan seperti:

    a. Menggabungkan dana usaha dengan harta pribadi.

    b. Menjalankan usaha dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal lainnya.

    c. Memberi pinjaman kepada pihak lain.

    d. Setiap pemilik modal dapat menghasilkan penyertaan atau digantikan

    oleh pihak lain.

    e. Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerja sama apabila: menarik

    diri dari perserikatan, meninggal dunia, menjadi tidak cakap hukum.

    2. Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu usaha

    harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai porsi kesepakatan

    sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.

    3. Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah usaha

    selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang

    telah disepakati untuk bank.35

    Adapun rukun dan syarat dari musyarakah itu sendiri akan dijelaskan

    sebagai berikut. Rukun merupakan sesuatu yang wajib dilakukan dalam suatu

    transaksi, begitu pula pada transaksi yang terjadi pada kerja sama bagi hasil

    musyarakah. Pada umumnya, terdapat 3 macam rukun musyarakah yaitu:

    34

    Basir, Cik, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah” (Jakarta: Kencana,

    2009), hlm. 75 35

    Karim, Adiwarman, “Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan” (Jakarta: Raja

    Grafindo, 2013), hlm. 102

  • 25

    1. Shigat, ijab qabul.

    2. Pelaku akad yaitu para mitra usaha.

    3. Objek akad, yaitu modal, kerja, dan keuntungan.

    Dalam akad kerja sama musyarakah, pernyataan ijab qabul harus

    menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak. Pihak-pihak

    yang melakukan akad juga harus cakap hukum seperti berkompeten dalam

    memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Selain itu juga mitra usaha

    harus menyediakan dana dan pekerjaan.

    Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 mengatur mengenai

    pembiayaan musyarakah dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:36

    a. Ijab kabul

    Ijab kabul yang dinyatakan oleh para pihak harus memperhatikan hal-hal

    berikut:

    1) Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan

    kontrak (akad);

    2) Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak; dan

    3) Akad dituangkan secara tertulis melalui korespondensi atau dengan

    menggunakan cara-cara komunikasi modern.

    b. Subjek hukum

    Para pihak yang berkontrak harus cakap hukum dan memperhatikan hal-

    hal berikut ini:

    1) Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.

    2) Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra

    melaksanakan kerja sebagai wakil.

    3) Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk

    mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang

    untuk melakukan aktivitas musyarakah dengan memerhatikan

    kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang

    disengaja.

    36

    Wirdyaningsih, dkk, “Bank dan Asuransi Islam di Indonesia” (Jakarta: Kencana,

    2005), hlm. 120-122

  • 26

    4) Tidak diizinkan menggunakan dana untuk kepentingan sendiri.

    c. Objek akad

    Objek akad pada musyarakah terdiri dari modal, kerja, keuntungan, dan

    kerugian. Masing-masing ditentukan hal-hal berikut ini.

    1) Modal

    (a) Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak, atau yang

    nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti

    barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk

    aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh

    para mitra.

    (b) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan

    atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali

    atas dasar kesepakatan.

    (c) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada

    jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan,

    maka Bank (LKS) diperkenankan meminta jaminan dari

    nasabah/mitra kerja.

    2) Kerja

    (a) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar

    pelaksanaan musyarakah, akan tetapi kesamaan porsi kerja

    bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan

    kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh

    menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.

    (b) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama

    pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam

    organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.

    3) Keuntungan

    (a) Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk

    menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi

    keuntungan atau ketika penghentian musyarakah.

  • 27

    (b) Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas

    dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di

    awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.

    (c) Seorang mitra boleh mengusulkan, bahwa jika keuntungan

    melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau presentasi itu diberikan

    kepadanya.

    (d) Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam

    akad.

    4) Kerugian

    Kerugian harus dibagi diantara para mitra secara proporsional menurut

    saham masing-masing dalam modal.

    d. Biaya operasional dan persengketaan:37

    1) Biaya operasional dibebankan pada modal bersama; dan

    2) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

    perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan

    melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan

    melalui musyawarah.

    Selain rukun musyarakah, terdapat juga syarat-syarat musyarakah

    yaitu:38

    1. Ucapan: tidak ada bentuk khusus dari kontrak musyarakah, ia dapat

    berbentuk pengucapan yang menunjukkan tujuan. Berakad dianggap sah

    jika diucapkan secara verbal atau ditulis. Kontrak musyarakah dicatat dan

    disaksikan.

    2. Pihak yang berkontrak: disyaratkan bahwa mitra harus kompeten dalam

    memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.

    3. Objek kontrak (dana dan kerja), dana atau modal yang diberikan harus

    uang tunai, emas, perak, atau yang bernilai sama. Para ulama menyepakati

    hal ini. Beberapa ulama memberi kemungkinan pula bila modal berwujud

    37

    Nurul Huda dan Mohamad Heykal, “Lembaga Keuangan Islam:Tinjauan teoretis

    dan praktis” (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 69 38

    Nawawi, Ismail, “Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer” (Bogor: Ghalia

    Indonesia, 2012), hlm. 155

  • 28

    aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, perlengkapan, dan

    sebagainya. Bahkan dalam bentuk hak yang tidak terlihat, seperti lisensi,

    hak paten, dan sebagainya. Bila itu ditakutkan, menurut kalangan ulama,

    seluruh modal tersebut harus dinilai lebih dahulu secara tunai dan

    disepakati oleh mitranya.

    Mazhab Syafi‟i dan Maliki mensyaratkan dana yang disediakan oleh

    masing-masing pihak harus dicampur. Tidak dibolehkan pemisahan dana dari

    masing-masing pihak untuk kepentingan khusus. Misalnya, yang satu khusus

    membiayai bahan baku, dan yang lainnya hanya membiayai pembelian

    perlengkapan kantor. Tetapi, mazhab Hanafi tidak mencantumkan syarat ini

    jika modal itu dalam bentuk tunai, sedangkan mazhab Hambali tidak

    mensyaratkan pencampuran dana.

    Partisipasi para mitra dalam pekerjaan musyarakah adalah ketentuan

    dasar. Tidak dibenarkan bila salah seorang diantara mereka menyatakan tak

    akan ikut serta menangani pekerjaan dalam kerja sama itu. Namun, tidak ada

    keharusan mereka menanggung beban kerja secara bersama. Salah satu pihak

    boleh menangani pekerjaan lebih dari yang lain, dan berhak menuntut

    pembagian keuntungan lebih bagi dirinya.

    Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No: 7/46/PBI/2005 tentang akad

    penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan

    usaha berdasarkan prinsip syariah, telah ditetapkan bahwa dalam kegiatan

    penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad musyarakah

    berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:39

    1. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan

    bersama-sama menyediakan dana dan atau barang untuk membiayai suatu

    kegiatan usaha tertentu;

    2. Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan bank sebagai mitra usaha

    dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan

    wewenang yang disepakati seperti melakukan review, meminta bukti-bukti

    39

    Anshori, Abdul Ghofur, “Hukum Perbankan Syariah” (Bandung: PT. Refika

    Aditama, 2009), hlm. 45-46

  • 29

    dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah berdasarkan bukti

    pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan;

    3. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk

    pembiayaan atas dasar akad musyarakah serta hak dan kewajiban nasabah

    sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai

    transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah;

    4. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan pembiayaan atas dasar

    akad musyarakah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal

    berupa analisa atas karakter (Character) dan aspek usaha antara lain

    meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan

    prospek usaha (Condition);

    5. Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk

    nisbah yang disepakati;

    6. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka

    waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak;

    7. Pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam bentuk uang dan

    atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan;

    8. Dalam hal pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam

    bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya;

    9. Dalam hal pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam

    bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar

    (net realizable value) dan dinyatakan secara jelas jumlahnya;

    10. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk

    perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar musyarakah;

    11. Jangka waktu pembiayaan atas dasar akad musyarakah, pengembalian

    dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan

    antara bank dan nasabah;

    12. Pengembalian pembiayaan atas dasar akad musyarakah dilakukan dalam

    dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode

    pembiayaan, sesuai dengan jangka waktu pembiayaan atas dasar akad

    musyarakah;

  • 30

    13. Pembagian hasil usaha berdasarkan laporan hasil usaha nasabah

    berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan; dan

    14. Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut

    porsi modal masing-masing.

    Secara garis besar, Zuhaily menyatakan musyarakah dibagi menjadi

    dua jenis, yakni musyarakah kepemilikan (syirkah al-amlak) dan musyarakah

    akad (syirkah al-„aqd). Syirkah kepemilikan tercipta karena warisan, wasiat

    atau kondisi lain yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau

    lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam

    dua aset nyata dan berbagi dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.

    Musyarakah akad tercipta karena kesepakatan dua orang atau lebih

    yang menyetujui bahwa tiap-tiap orang dari mereka memberikan kontribusi

    dari modal musyarakah, merekapun sepakat berbagi keuntungan dan

    kerugian. Musyarakah akad terbagi menjadi syirkah al-i‟nan, al-mufadhah,

    al-‟amal, dan syirkah al-wujuh.

    Pembagian syirkah yang disampaikan oleh Zuhaily tersebut senada

    dengan syirkah yang diungkapkan oleh Firdaus at al., bahwa para ulama

    membagi syirkah ke dalam bentuk-bentuk dijelaskan di bawah ini.40

    a. Perserikatan dalam pemilikan (syirkah al-amlak), yaitu dua orang atau

    lebih yang memiliki harta bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad

    syirkah. Musyarakah dalam kategori ini ada dua bagian, yaitu:

    1) Syirkah ikhtiar adalah perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum

    orang yang berserikat, seperti dua orang yang bersepakat membeli suatu

    atau mereka menerima hibah, wasiat, atau wakaf dari orang lain.

    Mereka menerima pemberian hibah, wakaf ataupun wasiat tersebut dan

    menjadi milik mereka secara berserikat.

    2) Syirkah jabar adalah sesuatu yang disepakati dua orang atau lebih tanpa

    kehendak. Artinya, perserikatan itu terjadi secara paksa, bukan atas

    40

    Nawawi, Ismail, “Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer” (Bogor: Ghalia

    Indonesia, 2012), hlm. 153

  • 31

    keinginan orang yang berserikat. Contoh, menerima warisan dari orang

    yang meninggal.

    b. Syirkah al-„uqud adalah akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk

    mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungan. Akad tersebut

    tercipta karena kesepakatan dua orang atau lebih yang setuju bahwa tiap

    orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Merekapun sepakat

    berbagi keuntungan dan kerugian. Syirkah al-„uqud dapat dibagi menjadi:

    syirkah al-„inan, syirkah mufawadhah, syirkah a‟mal, dan syirkah wujuh.

    Sedangkan menurut syariat Islam, syirkah atau musyarakah dibagi

    menjadi dua jenis yaitu:41

    1. Syirkah al-milk dapat diartikan sebagai kepemilikan bersama antara pihak

    yang berserikat dan keberadaannya muncul pada saat dua orang atau lebih

    secara kebetulan memperoleh kepemilikan bersama atas suatu kekayaan

    tanpa adanya perjanjian kemitraan yang resmi. Syirkah al-milk biasanya

    berasal dari warisan. Pendapatan atas barang warisan ini akan dibagi

    hingga porsi hak atas warisan itu sampai dengan barang warisan itu dijual.

    2. Syirkah al-uqud dapat dianggap sebagai kemitraan yang sesungguhnya,

    karena para pihak yang bersangkutan secara sukarela berkeinginan untuk

    membuat suatu perjanjian investasi bersama dan berbagi untung dan risiko.

    Berbeda dengan syirkah al-milk, dalam kerja sama jenis ini setiap mitra

    dapat bertindak sebagai wakil dari pihak lainnya. Syirkah al-„uqud dapat

    dibagi menjadi sebagai berikut:

    a. Syirkah Abdan

    Syirkah abdan (syirkah fisik), disebut juga syirkah a‟mal (syirkah

    kerja) syirkah shannaa‟i (syirkah para tukang) atau syirkah taqabbul

    (syirkah penerimaan). syirkah abdan adalah bentuk kerja sama antara

    dua pihak atau lebih dari kalangan pekerja dimana mereka sepakat

    untuk bekerja sama mengerjakan suatu pekerjaan dan berbagi

    penghasilan yang diterima. Misalnya, kerja sama dua orang arsitek

    41

    Sri Nurhayati dan Wasilah, “Akuntansi Syariah di Indonesia” (Jakarta: Salemba

    Empat, 2009), hlm. 135-138

  • 32

    untuk menggarap sebuah proyek. Atau kerja sama dua orang penjahit

    untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. Mazhab

    Hanafi, Maliki, dan Hambali membolehkan musyarakah ini, baik kedua

    orang tersebut satu profesi maupun tidak. Mereka merujuk kepada

    bukti-bukti termasuk persetujuan terbuka dari Nabi. Lagi pula hal ini

    didasarkan kepada perwakilan (wakalah) yang juga dibolehkan. Dalam

    musyarakah, musyarakah jenis ini telah lama dipraktikkan.

    b. Syirkah Wujuh

    Syirkah Wujuh adalah kerja sama antara dua pihak dimana masing-

    masing pihak sama sekali tidak menyertakan modal. Mereka

    menjalankan usahanya berdasarkan kepercayaan pihak ketiga. Masing-

    masing mitra menyumbangkan nama baik, reputasi, kepercayaan tanpa

    menyertakan modal. Contohnya: dua orang atau lebih membeli suatu

    barang tanpa modal atau dengan kredit, yang ada hanyalah nama baik

    mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka, dan

    keuntungan yang diperoleh untuk mereka. Setiap mitra menjadi

    penanggung dan agen bagi mitra yang lainnya, dengan kata lain

    pembelian barang tersebut ditanggung bersama. Keuntungan dibagi

    kepada para mitra berdasarkan kesepakatan bersama. Ulama hanafiyah,

    Hanabilah, dan Zaidiyah menyatakan hukumnya boleh, karena masing-

    masing pihak bertindak sebagai wakil dari pihak lain, sehingga pihak

    lain tersebut terikat pada transaksi yang telah dilakukan oleh mitra

    serikatnya. Akan tetapi, menurut ulama Malikiyah, Syafi‟iyah,

    Zahiriyah, dan Syi‟ah Imamiyah, perserikatan ini tidak sah dan tidak

    dibolehkan. Alasannya, objek dalam perserikatan ini adalah modal dan

    kerja, sedangkan dalam syirkah al-wujuh, baik modal maupun kerja

    yang diakadkan tidak jelas.

    c. Syirkah „Inan

    Syirkah „Inan (negosiasi) adalah bentuk kerja sama dimana posisi dan

    komposisi pihak-pihak yang terlibat didalamnya adalah tidak sama,

    baik dalam hal modal maupun pekerjaan. Mazhab Hanafi dan Hambali

  • 33

    mengizinkan salah satu dari alternatif berikut: pertama, keuntungan dari

    kedua pihak dibagi menurut porsi dana mereka. Kedua, keuntungan bisa

    dibagi secara sama tapi kontribusi dana masing-masing pihak mungkin

    berbeda. Ketiga, keuntungan bisa dibagi secara tidak sama tapi dana

    yang diberikan sama. Ibnu Qudamah mengatakan, “Pilihan dalam

    keuntungan dibolehkan dengan adanya kerja, karena seorang dari

    mereka mungkin lebih ahli dalam bisnis dari yang lain dan ia mungkin

    lebih kuat ketimbang yang lainnya dalam melaksanakan pekerjaan.

    Karenanya, ia diizinkan untuk menuntut lebih dari bagian

    keuntungannya.”

    d. Syirkah Mufawwadhah

    Syirkah Mufawwadhah adalah bentuk kerja sama dimana posisi dan

    komposisi pihak-pihak yang terlibat didalamnya adalah harus sama,

    baik dalam hal modal, pekerjaan, agama, keuntungan maupun risiko

    kerugian. Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan musyarakah jenis

    ini tetapi memberikan banyak batasan terhadapnya. Yang paling

    penting dalam perserikatan ini, baik modal, kerja, keuntungan maupun

    kerugian, mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Sementara

    menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah tidak membolehkan akad

    seperti ini, karena sulit untuk menetapkan prinsip kesamaan modal,

    kerja, dan keuntungan dalam perserikatan ini.

    Sedangkan penerapannya dalam perbankan diaplikasikan kedalam

    bentuk:42

    1. Pembiayaan dalam modal kerja, dapat dialokasikan untuk perusahaan yang

    bergerak dalam bidang konstruksi, industri, perdagangan, dan jasa.

    2. Pembiayaan investasi; dapat dialokasikan untuk perusahaan yang bergerak

    dalam bidang industri.

    3. Pembiayaan secara sindikasi; baik untuk kepentingan modal kerja maupun

    investasi.

    42

    Rivai, Veithzal, “Islamic Financial Management” (Jakarta: PT Raja Grafindo,

    2008), hlm. 122

  • 34

    Untuk memastikan kesesuaian syariah pada praktik transaksi

    musyarakah yang dilakukan bank, DPS melakukan pengawasan syariah

    secara periodik. Pengawasan tersebut berdasarkan pedoman yang ditetapkan

    oleh Bank Indonesia dilakukan untuk:43

    1. Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap telah disampaikan

    oleh bank kepada nasabah, baik secara tertulis maupun lisan tentang

    persyaratan pembiayaan musyarakah telah dilakukan.

    2. Menguji apakah perhitungan bagi hasil telah dilakukan sesuai prinsip

    syariah.

    3. Memastikan adanya persetujuan para pihak dalam perjanjian pembiayaan

    musyarakah.

    4. Memastikan terpenuhinya rukun dan syarat musyarakah.

    5. Memastikan bahwa kegiatan investasi yang dibiayai tidak termasuk jenis

    kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah.

    Dengan adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS

    menuntut bank syariah untuk hati-hati dalam melakukan transaksi

    musyarakah dengan para nasabah. Selain itu, bank juga dituntut untuk

    melaksanakan tertib administrasi agar berbagai dokumen yang diperlukan

    DPS dapat tersedia setiap saat dilakukan pengawasan.

    Sedangkan manfaat dari syirkah (musyarakah) adalah sebagai berikut:

    1. Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat

    keuntungan usaha meningkat.

    2. Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah

    pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil

    usaha sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.

    3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow atau arus

    kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.

    43

    Yahya, Rizal, dkk, “Akuntansi Perbankan Syariah” (Jakarta: PT. Salemba Empat,

    2014), hlm. 139

  • 35

    4. Bank akan lebih efektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-

    benar halal, aman, dan menguntungkan. Karena keuntungan yang riil dan

    benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.

    5. Prinsip bagi hasil dalam musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga

    tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu

    jumlah bunga. Tetapi berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah,

    bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

    Sedangkan risiko yang terdapat dalam musyarakah terutama pada

    penerapannya dalam pembiayaan, yaitu:

    a. Side Streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut

    dalam kontrak.

    b. Lalai dan kesalahan yang disengaja.

    c. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.

    Melalui pembiayaan musyarakah, kebutuhan nasabah untuk

    mendapatkan tambahan modal kerja dapat terpenuhi setelah mendapatkan

    pembiayaan dari lembaga keuangan bank maupun non bank. Selain

    dipergunakan untuk pembiayaan modal kerja, secara umum pembelian barang

    investasi dan pembiayaan proyek. Bagi lembaga keuangan pembiayaan ini

    memberi manfaat berupa keuntungan dari hasil pembiayaan usaha. Namun

    disamping bagi hasil, lembaga keuangan juga akan mendapatkan fee based

    income (administrasi, komisi asuransi, dan komisi notaris).44

    Dalam pembiayaan musyarakah, Lembaga Keuangan Syariah (LKS)

    memberikan modal sebagian dari total keseluruhan modal yang dibutuhkan.

    LKS dapat menyertakan modal sesuai porsi yang disepakati dengan nasabah.

    Misalnya, LKS memberikan modal sebesar 70%, dan 30% sisanya berasal

    dari modal nasabah. Pembagian hasil keuntungan, tidak harus dihitung sesuai

    porsi modal yang ditempatkan, akan tetapi sesuai dengan kesepakatan dalam

    44

    Burhanuddin, “Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah” (Yogyakarta: Graha

    Ilmu, 2010), hlm. 68

  • 36

    kontrak awal, misalnya 60% untuk nasabah dan 40% untuk LKS. Untuk lebih

    jelasnya, lihat skema musyarakah dibawah ini.45

    1. Akad Pembiayaan Musyarakah

    3.Modal 30% 2. Modal 70%

    4. Pengelolaan Usaha

    Bagi Hasil 60% Bagi Hasil 40%

    Modal 30% Modal 70%

    Gambar 2.1

    Skema Pembiayaan Musyarakah

    Keterangan skema:

    1. LKS (shahibul maal 1) dan nasabah (shahibul maal 2) menandatangani

    akad pembiayaan musyarakah.

    2. LKS menyerahkan dana sebesar 70% dari kebutuhan proyek usaha yang

    akan dijalankan oleh nasabah.

    3. Nasabah menyerahkan dana 30%, dan menjalankan usaha sesuai dengan

    kontrak.

    4. Pengelolaan proyek usaha dijalankan oleh nasabah, dapat dibantu oleh

    LKS atau menjalankan bisnisnya sendiri, LKS memberikan kuasa kepada

    nasabah untuk mengelola usaha.

    45

    Ismail, “Perbankan Syariah” (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 181-182

    SHAHIBUL MAAL 1

    (LKS)

    SHAHIBUL MAAL 2

    (Nasabah)

    KERJA SAMA USAHA

    5. PENDAPATAN

    6. MODAL

  • 37

    5. Hasil usaha atas kerja sama yang dilakukan antara LKS dan nasabah

    dibagi sesuai dengan nisbah yang telah diperjanjikan dalam akad

    pembiayaan, misalnya 60% untuk nasabah dan 40% untuk LKS. Namun

    dalam hal terjadi kerugian, maka LKS akan menanggung kerugian sebesar

    70% dan nasabah menanggung kerugian sebesar 30%.

    6. Setelah kontrak berakhir, maka modal dikembalikan kepada masing-

    masing mitra kerja, yaitu 70% dikembalikan kepada LKS dan 30%

    dikembalikan kepada nasabah.

    Secara umum, berakhirnya syirkah karena beberapa hal sebagai

    berikut:46

    1) Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan yang

    lainnya.

    2) Salah satu pihak kehilangan kecakapan mengelola harta.

    3) Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi jika anggota syirkah lebih dari

    dua, yang batal hanya yang meninggal dunia.

    4) Salah satu pihak berada dibawah pengampunan.

    5) Jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi

    saham syirkah.

    Mayoritas ulama, kecuali mazhab Maliki, berpendapat bahwa

    musyarakah adalah salah satu bentuk kontrak yang dibolehkan. Maka, tiap

    mitra berhak menghentikannya kapan saja ia inginkan, sama halnya dalam

    kontrak perwakilan. Ketika salah satu mitra meninggal, salah satu ahli

    warisnya yang baligh dan berakal sehat dapat menggantikan posisi mitra yang

    meninggal tersebut. Namun, hal ini memerlukan persetujuan ahli waris lain

    dan mitra musyarakah. Hal demikian juga berlaku jika salah satu mitra

    kehilangan kompetensi hukumnya.

    Adapun hikmah dari syirkah (musyarakah) adalah manusia tidak dapat

    hidup sendirian, pasti membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan.

    Ajaran Islam, mengajarkan supaya kita menjalin kerja sama dengan siapa pun

    46

    Nawawi, Ismail, “Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer” (Bogor: Ghalia

    Indonesia, 2012), hlm. 158

  • 38

    terutama dalam bidang ekonomi dengan prinsip saling tolong menolong dan

    menguntungkan, tidak menipu dan merugikan. Tanpa kerja sama, maka kita

    sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup. Syirkah pada hakikatnya adalah

    sebuah kerja sama yang saling menguntungkan dalam mengembangkan

    potensi yang dimiliki baik berupa harta atau pekerjaan. Oleh karena itu, Islam

    menganjurkan umatnya untuk bekerja sama kepada siapa saja dengan tetap

    memegang prinsip sebagaimana tersebut diatas. Maka hikmah yang dapat kita

    ambil dari syirkah yaitu adanya tolong menolong, saling bantu membantu

    dalam kebaikan, menjauhi sifat egoisme, menumbuhkan saling percaya,

    menyadari kelemahan dan kekurangan, dan menimbulkan keberkahan dalam

    usaha jika tidak berkhianat.47

    B. Penelitian Terdahulu

    Penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti tentang pembiayaan

    musyarakah dan pengaruhnya terhadap perkembangan usaha mikro serta

    peningkatan pendapatan nasabah diantaranya adalah sebagai berikut:

    Tabel 2.3

    Penelitian Terdahulu

    No Nama Judul Skripsi Hasil Perbedaan

    1. Mohamad

    Ade

    Saefudin

    (IAIN

    Syekh

    Nurjati

    Cirebon

    2014)

    Pengaruh

    Pembiayaan

    Musyarakah

    Terhadap

    Produktivitas

    Usaha Kecil

    (Penelitian

    Pada BMT

    Nur‟Inah

    Plered)

    Praktek pembiayaan

    musyarakah yang

    dilakukan oleh BMT

    Nur‟Ianah Plered ternyata

    menerapkan produk

    musyarakah tidak

    menggunakan prinsip bagi

    hasil tetapi margin.

    Berdasarkan tanggapan

    responden ditunjukkan

    bahwa responden hampir

    seluruhnya sangat setuju

    dengan praktik

    Penelitian

    yang penulis

    teliti

    merupakan

    pengembangan

    dari skripsi

    M.Ade

    Saefudin ini

    yakni

    mengembang-

    kannya

    menjadi tiga

    variabel

    47

    Abdul Rahman Ghazaly, dkk, “Fiqh Muamalat” (Jakarta: Kencana Prenada

    Media Group, 2010), hlm. 135

  • 39

    pembiayaan musyarakah

    ini ditunjukkan dengan

    nilai rata-rata sebesar 73%.

    Sedangkan tingkat

    produktivitas usaha kecil

    para anggota BMT

    Nur‟Ianah Plered dari 30

    responden menyatakan

    sudah sangat baik dengan

    adanya pembiayaan

    musyarakah terhadap

    produktivitas usahanya.

    Pemberian pembiayaan

    musyarakah di BMT

    Nur‟Ianah Plered adalah r

    = 0,408 termasuk dalam

    kategori pengaruh sedang,

    dan terdapat hubungan

    yang signifikan atau

    dengan kata lain koefisien

    tersebut dapat

    digeneralisasikan atau

    dapat berlaku pada

    populasi dimana sampel

    diambil. Berdasarkan hasil

    penelitian dapat

    disimpulkan bahwa

    peningkatan produktivitas

    usaha kecil dipengaruhi

    oleh pembiayaan

    musyarakah sebesar

    16,6% dan sisanya 83,4%

    ditentukan oleh faktor lain.

    dengan

    menambah

    satu variabel

    yaitu

    pendapatan

    nasabah BMT

    Islamic Centre

    Kab. Cirebon.

    2. Vian

    Andriyani

    (IAIN

    Syekh

    Nurjati

    Cirebon

    2008)

    Pengaruh

    Pembiayaan

    Mudharabah

    Terhadap

    Peningkatan

    Pendapatan

    Nasabah

    Nasabah yang melakukan

    pembiayaan mudharabah

    BMT Khusnul Aulia

    memiliki bidang usaha

    yang bermacam-macam

    namun kebanyakan dari

    mereka adalah pengusaha

    Jika dalam

    penelitian yang

    dilakukan oleh

    Vian

    Andriyani

    meneliti

    tentang

  • 40

    (Penelitian

    Pada BMT

    Khusnul Aulia

    Kecamatan

    Ciledug

    Cirebon)

    kecil menengah ke bawah.

    Berdasarkan hasil

    penyebaran angket kepada

    26 nasabah BMT Khusnul

    Aulia menunjukkan bahwa

    dengan pembiayaan

    mudharabah secara efektif

    diketahui dapat

    meningkatkan pendapatan

    nasabah, sehingga dapat

    mengembangkan

    usahanya. Pembiayaan

    mudharabah BMT

    Khusnul Aulia

    berpengaruh secara positif

    terhadap peningkatan

    pendapatan nasabah,

    berdasarkan hasil yang

    diperoleh dari koefisien r

    = 0,857 yang artinya

    sangat kuat, maksudnya

    adalah pembiayaan

    mudharabah BMT

    Khusnul Aulia terdapat

    pengaruh yang positif dan

    signifikan terhadap

    peningkatan pendapatan

    nasabah BMT Khusnul

    Aulia.

    pembiayaan

    mudharabah,

    maka kali ini

    penulis

    meneliti

    mengenai

    pembiayaan

    musyarakah

    dan

    pengaruhnya

    terhadap

    perkembangan

    usaha mikro

    serta

    pengaruhnya

    terhadap

    peningkatan

    pendapatan

    nasabah BMT

    Islamic Centre

    Kab. Cirebon.

    3. Nurlaeli

    (IAIN

    Syekh

    Nurjati

    Cirebon

    2006)

    Pengaruh

    Pembiayaan

    Musyarakah

    BMT Lautze

    Terhadap

    Peningkatan

    Usaha

    Pedagang Di

    Pasar

    Kanoman

    Cirebon

    Pedagang di pasar

    Kanoman Cirebon

    memiliki bidang usaha

    dagang yang bermacam-

    macam, namun

    kebanyakan mereka atau

    usaha yang nasabah

    jalankan adalah pedagang

    menengah ke bawah,

    usaha yang nasabah

    jalankan termasuk pada

    Penulis tidak

    hanya meneliti

    pada

    peningkatan

    pedagang di

    Pasar

    Kanoman saja,

    melainkan

    kepada para

    nasabah yang

    mengajukan

  • 41

    usaha distribusi kecil

    khususnya perdagangan

    eceran. Namun

    pembiayaan musyarakah

    pada BMT Lautze cabang

    BMT Al-Falah terhadap

    peningkatan usaha

    pedagang di pasar

    Kanoman tidak

    menunjukkan hubungan

    yang berbanding lurus,

    dan adapun nilai rho yang

    diperoleh dan perhitungan

    analisis regresi linier

    sederhana yaitu 0,277 dan

    hasil rho tersebut

    termasuk ke dalam

    kategori rendah. jadi,

    terdapat hubungan yang

    positif sebesar 0,277 dan

    rendah antara pemberian

    pembiayaan musyarakah

    di BMT Lautze cabang

    BMT Al-Falah terhadap

    peningkatan usaha

    pedagang di pasar

    Kanoman Cirebon.

    pembiayaan

    musyarakah

    pada BMT

    Islamic Centre

    Kab. Cirebon

    serta

    peningkatan

    pendapatannya

    4. Fitra

    Ananda

    (Universitas

    DiPonegoro

    Semarang

    2011)

    Perkembangan

    Usaha Mikro

    Dan Kecil

    Setelah

    Memperoleh

    Pembiayaan

    Mudharabah

    Dari BMT At-

    Taqwa

    Halmahera Di

    Kota

    Semarang

    Objek dari penelitian ini

    yaitu UKM yang menjadi

    anggota BMT At-Taqwa

    Halmahera dengan sampel

    sebanyak 75. Jenis data

    yang dikumpulkan adalah

    data primer dan data

    sekunder. Metode analisis

    data yang digunakan

    dalam penelitian ini

    meliputi ujivaliditas, uji

    reliabilitas dan uji pangkat

    tanda wilcoxon.

    Pembiayaan

    yang penulis

    teliti yakni

    mengenai

    pembiayaan

    musyarakah

    terhadap usaha

    mikro serta

    peningkatan

    pendapatan

    nasabah pada

    BMT Islamic

    Centre Kab.

  • 42

    Berdasarkan perhitungan

    uji pangkat tandaWilcoxon

    untuk variabel modal

    didapatkan nilai -p

    sebesar 0,000

    (0,000

  • 43

    peningkatan sebesar 65%

    setelah mendapatkan

    pembiayaan dari BMT At-

    Taqwa Halmahera Kota

    Semarang. Dengan

    demikian dengan adanya

    pembiayaan dari BMT At-

    Taqwa Halmahera di Kota

    Semarang maka modal

    usaha, omzet penjualan

    dan keuntungan Usaha

    Mikro dan Kecil (UMK)

    mengalami peningkatan

    yang sangat berarti.

    5. Rani

    Ernawati

    (IAIN

    Walisongo

    Semarang

    2012)

    Akad

    Pembiayaan

    Mudharabah

    Pada BMT

    Dalam

    Meningkatkan

    Pendapatan

    Masyarakat

    (Studi Kasus

    Pada KJKS-

    BMT Ummat

    Sejahtera

    Abadi

    Rembang)

    Hasil dari penelitian ini

    menunjukkan bahwa akad

    pembiayaan mudharabah

    yang dilaksanakan oleh

    pihak KJKS-BMT Ummat

    Sejahtera Abadi dapat

    dikatakan dapat

    memberikan perubahan

    pada tingkat pendapatan

    masyarakat sekitar. Sebab

    melalui pembiayaan

    mudharabah ini, para

    pedagang kecil yang

    memerlukan tambahan

    modal untuk

    mengembangkan

    usahanya dengan mudah

    mereka mendapatkan

    dengan cara mengajukan

    pembiayaan yakni

    pembiayaan mudharabah.

    Sehingga dengan adanya

    pembiayaan tersebut,

    mereka tidak perlu

    meminjam modal dari

    para rentenir yang

    Akad yang

    penulis teliti

    yakni hanya

    mengenai akad

    musyarakah

    saja serta

    pengaruhnya

    terhadap

    perkembangan

    usaha mikro

    serta

    peningkatan

    pendapatan

    nasabah pada

    BMT Islamic

    Centre Kab.

    Cirebon.

  • 44

    menggunakan sistem

    bunga yang melambung

    tinggi. Dalam KJKS-BMT

    Ummat Sejahtera Abadi

    ini, mereka memberikan

    modal bukan hanya dalam

    bentuk uang saja

    melainkan juga dapat

    wujud peralatan yang

    dapat dijadikan sebagai

    sarana untuk bekerja. Dari

    hasil penelitian dan data-

    data yang diperoleh dapat

    ditarik sebuah kesimpulan

    bahwa, dalam program

    meningkatkan pendapatan

    masyarakat yang

    dilaksanakan oleh pihak

    BMT melalui akad

    pembiayaan mudharabah

    ternyata dapat

    meningkatkan

    perekonomian umat. Hal

    tersebut dapat dilihat dari

    hasil pelaksanaan program

    yang cukup maksimal.

    C. Kerangka Pemikiran

    Seperti apa yang kita ketahui keberadaan Baitul Maal Wattamwil (BMT)

    dipandang memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai lembaga keuangan dan

    juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi, salah satu diantaranya adalah

    mengelola kegiatan perdagangan (usaha mikro).

    Persoalan pendanaan merupakan salah satu dilema yang sangat krusial

    bagi kelanjutan usaha mikro, dan untuk mengatasi persoalan tersebut salah

    satunya dengan mengajukan pembiayaan musyarakah pada BMT Islamic

    Centre. Menurut teori Zuhaily, 1989:976, pembiayaan musyarakah adalah

    akad kerja sama diantara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha

  • 45

    tertentu yang masing-masing pihak dalam melakukan usaha dimaksud,

    memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) berdasarkan kesepakatan

    bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan

    ketika melakukan akad.48

    Sehingga dengan adanya tambahan modal dari pembiayaan musyarakah

    ini diharapkan akan mampu untuk perkembangan usaha mikro dan peningkatan

    pendapatan nasabah BMT Islamic Centre khususnya.

    Gambar 2.2

    Kerangka Pemikiran

    D. Hipotesis Penelitian

    Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh serta hubungan yang positif

    antara dua variabel atau lebih perlu dirumuskan suatu hipotesis. Hipotesis

    merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian yang

    diajukan, maka titik tolak untuk merumuskan hipotesis adalah rumusan

    masalah dengan kerangka berfikir.49

    Berdasarkan perumusan serta pemaparan

    mengenai pernyataan diatas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:

    48

    Ali, Zainuddin, “Hukum Perbankan Syariah” (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.

    28-29 49

    sugiyono, “Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D” (Bandung: Alfabeta, 2012),

    hlm. 284

    Usaha Mikro

    (Y1) Pembiayaan

    Musyarakah (X) Pendapatan Nasabah

    (Y2)

  • 46

    H1: Pembiayaan musyarakah berpengaruh positif signifikan terhadap

    perkembangan usaha mikro.

    H2: Pembiayaan musyarakah berpengaruh positif signifikan terhadap

    peningkatan pendapatan nasabah.

    H3: Pembiayaan musyarakah berpengaruh positif signifikan terhadap

    perkembangan usaha mikro dan peningkatan pendapatan nasabah.