Upload
others
View
18
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
20
BAB II
PENGERTIAN DAN SEJARAH
A. Syiah
1. Pengertian Syiah dan Ajarannya
Secara bahasa, Syiah berarti pengikut, golongan1. Ihsan Ilahi Zahir lebih
mengartikan Syiah sebagai kelompok2. Dalam hal ini penulis lebih
mengartikan Syiah secarah terminologi sebagai pengikut atau kelompok.
Sedangkan secara etimologi, pengertian Syiah menurut Ibnu Manzhur Al-
Afriq adalah golongan yang menyepakati suatu urusan, tetapi secara umum
Syiah adalah orang atau golongan yang mengangkat Ali dan Ahlilbaitnya3.
Menurut Sayyid Muhammad Amin, Syiah adalah golongan pecinta anak
turunan Nabi SAW dan mengakui akan kekuasaan mereka4. Sedangkan
menurut Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, Syiah berarti partisan atau
pengikut, adalah kaum muslimin yang menganggap penggantian Nabi SAW
merupakan hak istimewa keluarga Nabi, dan mereka yang dalam bidang
pengetahuan dan kebudayaan islam mengikuti madzhab Ahlulbait5.
Al-Thusi, seorang syekh Imamiyah mengemukakan bahwa Syiah adalah
orang yang menyakini keberadaan Ali sebagai pemimpin kaum muslim dengan
1 Ahmad Warson Munawir, Al-Munnawir; Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: PP. Al-
Munnawir Krapyak, 1984) 2 Ihsan Ilahi Zahir, Syiah Berbohong, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hal 14 3 Ibid 4 Abu Muhammad Hasan An-Nubakhty, Firaqus Syiah, (Teheran: Hydariah, 1959), hal 39 5 Muhammad Husein Thabathaba’i, Islam Syiah, Terj (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), hal
32
20
21
wasiat dari Rasulullah dan dengan kehendak Allah SWT6. Selanjutnya Al-
Asy’ari mengatakan bahwa mereka disebut Syiah karena mengikuti Ali dan
mengutamakannya dibandingkan seluruh sahabat Nabi yang lainnya7.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan definisi Syiah adalah orang atau
golongan pecinta, mengangkat dan mengakui kekuasaan Ali dan Ahlilbaitnya.
Karena hanya Ali dan Ahlilbaitnya lah yang berhak mewarisi kekhalifaan
sepeninggal Rasulullah.
Dalam Syiah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama)
dan furu’uddin (masalah penerapan agama). Baik Sunni maupun Syiah
memahami bahwa ushuluddin terdiri dari tiga bagian, yaitu ketuhanan,
kenabian, dan kebangkitan. Kemudian Syiah lebih meluaskan tauhid
(ketuhanan) pada ‘adl dan kenabian pada imamah. Menurut Dr. Ali Syari’ati,
prinsip dan konsep-konsep dalam pemikiran Syiah adalah sebagai berikut8:
a. ‘Ishmah
‘Ishmah atau kesucian dalam akidah Syiah adalah prinsip yang mengatakan
bahwa pemimpin atau imam suatu masyarakat, yakni orang yang
memegang dan yang diberi amanat kepemimpinan oleh orang banyak,
haruslah bebas dari kejahatan dan kelemahan. Dengan kata lain seorang
imam harus terpelihara dari dosa (ma’sum).
b. Wishayah
6 Mustafa Murad, Ali bin Abi Thalib, (Kairo: Dar al-Fajr, 2007), hal 376 7 Al-Asy’ari, Al-Maqalat al-Islamiyah wa Ikhtilaf al-Mushallin, Jilid I, (Kairo: Dar al-Fajr,
1996), 65 8 Ali Syari’ati, Madzhab Syiah Merah, (Bandung: Mizan, 1992), 60
22
Wishayah adalah pengangkatan yang dilakukan oleh Nabi suci dengan
mengumumkan seorang mukmin yang saleh sebagai pengganti beliau
dalam mendakwahkan Islam. Peristiwa pengangkatan Ali oleh Nabi
berdasarkan hadist Nabi yang kemudian terkenal dengan hadist Ghadir
Khum, sebuah hadist yang sangat populer di kalangan Syiah dan menjadi
dalil bahwa Ali ditunjuk langsung sebagai khalifah setelah Nabi untuk
memimpin orang-orang mukmin dan penanggungjawab wahyu.
c. Imamah
Imamah adalah kepemimpinan progresif pada kedua belas makhluk suci
dan supranatural, yang setiap orang harus mencintai, memuja dan
memuliakannya, tanpa merasakan adanya tanggung jawab untuk mengikut
mereka sebagai teladan manusia.
d. Taqiyyah
Taqiyyah adalah menyembunyikan dan berhati-hati dalam masalah-masalah
agama disebabkan adanya larangan-larangan atas kebebasan beragama dan
beribadah oleh rezim penguasa tiranis dan zalim
e. Ghaybah
Ghaybah adalah pandangan Syiah yang menafikan tanggungjawab setiap
orang dan mencampakkan semua peraturan sosial islam dengan dasar
pikiran bahwa menerima tanggungjawab sosial seperti apapun tidaklah sah.
Ini dilakukan dengan dalih bahwa imam sajalah yang boleh memimpin.
Dan karena imam sedang ghaib, maka tidak ada sesuatu pun yang
dilakukan seseorang.
23
2. Sejarah Syiah dan Perkembangannya di Indonesia
Mengenai awal mula lahirnya Syiah, sebagian menganggap Syiah lahir
setelah wafatnya Rasulullah, yakni pada saat pemilihan Abu Bakar sebagai
khalifah di Tsaqifah Bani Saidah, sebagian lain menganggap Syiah lahir pada
masa Khalifah Ustman bin Affan. Menurut S.H.M Jafri, peristiwa tsaqifah
merupakan manifestasi pertama munculnya paham Syiah9, dimana kelompok
muhajirin memaksakan kehendak kepada kaum anshar untuk menerima Abu
Bakar sebagai pemimpin dan pengganti Nabi, sebagian yang lain
menggusulkan Ali sebagai pengganti10.
Berbeda dengan SHM Jafri, Imam Muhammad Abu Zahra mengemukakan
jiwa Syiah lahir pada masa Khalifah Usman bin Affan, yang kemudian tumbuh
dan berkembang pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib11. Pendapat yang
populer tentang lahirnya Syiah disaat gagalnya perundingan antara pihak
pasukan Ali dan pihak Muawiyah di Shiffin, yang disebut dengan peristiwa
tahkim atau arbitrase12.
Pendapat lain disampaikan Nasir Makarim Syirazi, yang menyakini bahwa
Syiah sudah ada sejak zaman Rasulullah, dapat dilihat dari ungkapan-ungkapan
Nabi sendiri dan bukti-bukti akurat lain yang secara implisit menyebutkan
keutamaan Ali dan pengikutnya. Seperti dalam ayat:
9 S.H.M Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah, Terj Meth Kieraha, (Bandung: Pustaka Hidayah,
1995), 57 10 Ibid 11 Imam Muhammad Abu Zahra, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Terj Abdurrahman
Dahlan, (jakarta: Logos, 1996), 27 12 Joesoef Souyb, Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Syiah, (Jakarta: Pustaka
Alhusna, 1982), 20
24
“Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal salih adalah sebaik-baik
makhluk”. (QS. Al-Bayyinah (98) : 7)
Yang dimaksud orang yang beriman dan beramal salih dalam ayat diatas
menurut para mufassir adalah Ali dan pengikutnya13.
Benih-benih Syiah sebagai pengikut setia Ali sudah ada di masa
Rasulullah. Kekecewaan pengikut Ali dalam peristiwa Tsaqifah menjadi
manifestasi pertama, yang selanjutnya secara explosive berkembang pesat di
zaman Khalifah Usman bin Affan karena konflik yang terjadi. Dan pada
akhirnya secara politik terpisah pada masa Muawiyah di Siffin. Akibat
kegagalan itu, muncul ketidakpuasan. Sejumlah pasukan Ali memberontak
terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali, mereka disebut
golongan khawarij. Sedangkan sebagian besar lagi tetap setia terhadap Ali,
mereka yang disebut Syiah.
Pada masa khalifah Usman di Mesir, Syiah tumbuh sumbur karena di sana
para propagandis menemukan lahan, yang kemudian tersebar luas di Irak, yang
selanjutnya menjadi tempat tinggal Syiah14. Ali bin Abi Thalib menjadikan
Irak sebagai ibukota kekhilafaannya, di sana Ali mendapat simpati yang lebih
dari rakyat dan sebaliknya rakyat tidak menunjukkan rasa patuh pada
kekuasaan Umayyah15. Sehingga di Irak lah Syiah berkembang dan tumbuh
pesat dengan didukung beberapa faktor politis dan keadaan rakyat Irak yang
mencintai Ali.
13 Nasir Makarim Syirazi, Aqiaiduna, (Iran: Qom, 1996), 112 14 Imam Muhammad Abu Zahra, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Terj Abdurrahman
Dahlan, (jakarta: Logos, 1996) 37 15 Ibid
25
Sedangkan awal munculnya Syiah dan perkembangan di Indonesia,
menurut Sekjen ABI (Ahlul Bait Indonesia) Ahmad Hidayat bahwa penyebaran
Syiah di Indonesia dibawa oleh ulama Hadramaut ribuan tahun yang lalu,
dimana sebagian bertujuan untuk berdagang dan sebagian yang lain untuk
berdakwah, tetapi mereka tidak menunjukkan keSyiahannya16. Pendapat yang
serupa tapi tak sama dijelaskan oleh sejarahwan Slamet Muljana, bahwa Islam
yang lebih dulu sampai di Asia Tenggara adalah Islam aliran Syiah17, melalui
orang-orang Islam yang berdagang ke Bandar Perlak. Pengaruh kedatangan
Islam sampai kepada raja Perlak dan keluarganya, yang selanjutnya
memutuskan untuk masuk Islam, dengan pendakwahnya yang bernama Sayyid
Ali Muktabar yang kemudian menikah dengan putri kerajaan Perlak, Putri
Makhdum Tansuri, ibu dari Sultan Aalidin yang merupakan sultan pertama
kerajaan Perlak18.
Bukti-bukti tentang ajaran Islam Syiah dapat dilihat dari beberapa tradisi
yang masih dipegang dan dilestarikan oleh warga masyarakat tertentu, seperti
ritus Tabut di Bengkulu dan Sumatera, Gerebek Syuro di Yogyakarta dan
Ponorogo, arak-arakan Hayok Tabui di Pariaman19. Terlepas dari pengaruh
Syiah dalam tradisi-tradisi tersebut atau Islam manakah yang pertama kali
memasuki Indonesia, setidaknya tradisi-tradisi yang dilestarikan masyarakat
Indonesia seperti hal nya di atas, sangatlah kental dengan ajaran Syiah.
16 http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/09/07/m9zeia-ini-sejarah-Syiah-di-indonesia. (diakses 23 Agustus 2013) 17 Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LkiS, 2008), 45 18 Ibid 19 http://daerah.sindonews.com/read/2013/06/26/29/754096/pengaruh-Syiah-dalam-tradisi-keagamaan-di-indonesia, (diakses 25 Agustus 2013)
26
Syiah semakin menunjukkan eksistensi disaat terjadi Revolusi Iran tahun
1979-1980, Syiah memiliki negara setelah Ayatullah Khameini berhasil
menumbangkan kekuasaan otokrasi Iran Mohammad Reza Shah Pahlevi20.
Dari sinilah membawa dampak dan rasa keingintahuan mahasiswa Indonesia
untuk mengetahui dan mempelajari Syiah, sehingga pada tahun 1980-an para
habib yang pulang dari Khum membawa dan menyebarkan ajaran tersebut pada
kalangan terbatas, seperti Habib Umar dari Palembang dan Habib Husein Al-
Habsyi dari Bangil Jawa Timur21. Para habib yang sudah menuntut ilmu di
Iran, mengirimkan beberapa santrinya untuk belajar di tempat yang sama.
Sepulang dari Qum, para santri mulai menyebarkan ajaran Syiah melalui
sejumlah kegiatan seperti ekonomi, politik, pendidikan, media dan sosial22.
Proses ini yang dikatakan Muhammad Baharun sebagai syi’ahisasi23.
Perkembangan Syiah di Indonesia saat ini, seperti yang disampaikan oleh
Jalaluddin Rahmat adalah sekitar 2,5-5 juta pengikut di seluruh Indonesia.
Mereka tersebar di beberapa pulau di Indonesia, seperti di Makasar, dan yang
paling banyak di pulau jawa, seperti di Pasuruan, Bandung, Jakarta,
Bondowoso, Tegal, Jepara, Pekalongan, Semarang, Garut dan Madura24.
Sampai pada tahun 2001, Syiah sudah memiliki 36 yayasan di Indonesia
20 http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/09/07/m9zeia-ini-sejarah-Syiah-di-indonesia. (diakses 23 Agustus 2013) 21 Ibid 22 Farid Akhmad Okbah, Fakta dan Data Perkembangan Syiah di Indonesia, (Jakarta: Perisai Qur’an, 2012) 23 Lihat Muhammad Baharun, Tipologi Pemahaman Doktrin Syiah di Jawa Timur; Disertasi, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2006), 128 24 http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/apa-itu-taqiyah-Syiah-dan-berapa-jumlah-penganut-Syiah-di-indonesia. (diakses tanggal 23 Agustus 2013)
27
dengan 43 kelompok pengajian, yang terdiri dari 21 pengajian di tingkat
propinsi dan 33 pengajian di tingkat kabupaten/kota25.
Selain melalui kelompok-kelompok pengajian, Syiah juga menyebarkan
pahamnya melalui karya-karya telektual dan ilmiah, yakni penerbitan buku.
Selanjutnya menurut Rausyan Fikr26, telah diterbitkan sebanyak 373 buku-
buku mengenai Syiah yang dicetak oleh sekitar 59 penerbit di seluruh
Indonesia27. Diakui atau tidak, langkah-langkah ini yang ditempuh Syiah dalam
upaya syi’ahisasi atau sekedar mengenalkan Syiah kepada masyarakat.
B. Ahlussunah wa al-Jama’ah
1. Pengertian dan Sejarah Ahlussunah wa al-Jama’ah
Kata Ahlussunah atau Ahlussunah wa al-Jama’ah merupakan kepanjangan
dari kata Sunni28, tetapi istilah Sunni sering dihadapkan pada kelompok-
kelompok yang berseberangan dan bertentangan dalam ideologi seperti Syiah,
Mu’tazillah, dan lain-lain29. Pengertian Sunni menurut Al-Zabidi adalah
pendukung ideologi berbasis pandangan-pandangan teologi Al-Asy’ari dan Al-
Maturidi30. Dapat dilihat bahwa Sunni adalah sebuah pengistilahan yang
didalamnya terdapat Ahlussunah wa al-Jama’ah, maka bisa diidentikkan Sunni
dengan Ahlussunah wa al-Jama’ah.
25 Menurut pusat data Lembaga Penelitian Syiah di Yogyakarta, yang disampaikan dalam makalah yang ditulis oleh Pengurus Wilayah Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Yogyakarta, lihat http://Syiahindonesia.com/?p=183. 26 Ketua Lembaga Penelitian Syiah Indonesia 27 Majalah Hidayatullah, Rabiul Tsani 1430H/April 2009, halaman 29 28 www.wikipedia.com 29 Lihat George Makdisi, The Sunni Revival, (Jakarta: Serambi, 1997), 14 30 Lihat Muhammad bin Muhammad al-Zabidi, Ittihaf Sadatul Muttaqin, (Kairo: Dar al-Fikr,
1996), 73
28
Secara bahasa kata Ahlussunah wa al-Jama’ah berasal dari tiga kata, yakni
Ahl yang berarti pengikut madzhab31. Al-Sunnah memiliki dua arti yakni segala
sesuatu yang telah diajarkan nabi baik perbuatan, ucapan dan pengakuan
nabi32. Atau al-Sunnah yang berarti al-Thariqah, jalan dan jejak para sahabat
nabi dan tabiin dalam memahami teks-teks keagamaan dan mengamalkan
ajaran agama33. Muhibbin Zuhri mengartikan al-Sunnah sebagai jalan nabi dan
para sahabat34. Ketiga al-Jama’ah yang berarti berkumpul atau bersatu35, atau
sekumpulan orang yang memiliki tujuan36. Menurut Ibn Taimiyah, al-Jama’ah
berarti persatuan dan menjadi nama bagi kaum yang bersatu37. Seperti apa yang
disampaikan oleh Imam Malik bin Anas ketika ditanya siapa Ahlussunah wa
al-Jama’ah, Imam Malik bin Anas menjawab “Ahlussunah adalah mereka
yang tidak memiliki julukan secara khusus, seperti julukan Jahmiyah,
Qadiriyah dan Rafidhiyah”38. Dari beberapa pengertian terpisah kata per kata
diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian Ahlussunah wa al-Jama’ah atau
Sunni berarti pengikut atau golongan yang mengikuti jejak nabi dan sahabat
dalam memahami teks-teks keagamaan dan pengamalan ajaran agama, atau
secara sederhana dapat diartikan sebagai pengikut jalan yang ditempuh oleh
nabi dan para sahabatnya. 31 Ibrahim Anis, Al-Mu’jam al-Wasit, (Mesir: Majma’ al-Lughah, 2006), 31 32 Al Hafidz Ibn Hajar, Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari, juz 13, (Mesir: Syarikah al-
Quds,2001), 245 33 Jalal Muhammad Musa, Nasy’at al Asy’ariyyah wa al Tathawwuruha,(Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiah, 1996), hal. 15 34 Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari, (Surabaya: Khalista, 2010), 32 35 Muhammad Abdul Hadi al-Mishri, Manhaj dan Aqidah Ahlussunah wal Jamaah, Terj As’ad
Yasin, dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 69 36 Ibrahim Anis, Al-Mu’jam al-Wasit, , (Mesir: Majma’ al-Lughah, 2006), 135 37 Ibn Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz 3, (Mesir: Darul Hadist, 2011), 157 38 Ibn ‘Abdil Barr, Al intiqa’ fi Fadhail al A’immat al Tsalatsah al Fuqaha’, (Mesir: Dar al-Fikr,
1998), 35
29
Istilah Ahlussunah wa al-Jama’ah lahir dan dikenal pada masa generasi
sahabat junior (Shighar al-Shahabah) seperti Ibn Abbas, Ibn Umar dan Abi
Said al Khudri. Ibn Abbas dalam menafsiri surat Ali Imran ayat 106 membawa
istilah Ahlussunah wa al Jama’ah:
pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu"39. (QS Ali Imran (3) : 106)
Menurut Ibn Abbas bahwa yang dimaksud dengan muka yang putih
berseri dalam ayat diatas adalah mereka Ahlussunah wa al-Jama’ah40. Generasi
inilah yang menghindari pertentangan antarkelompok dan derasnya arus
polarisasi waktu itu, yang kemudian melakukan gerakan tersendiri, gerakan
kultural dan menekuni bidang keilmuan dan keagamaan41. Pengistilahan secara
terang-terangan adalah seperti yang disampaikan Ibn Abbas, yang selanjutnya
berkembang pada generasi tabiin yang dipelopori oleh Hasan Al-Bashri dan
ulama salaf sesudahnya42. Pada tahap selanjutnya, lahir para ahli hadist, ahli
fiqih dan ahli tafsir, yang mengembangkan dan meneruskan gerakan para
sahabat dan tabiin43. Termasuk dalam golongan ini adalah imam 4 madzhab.
Golongan ini aktif menuliskan pemikirannya untuk memberikan sanggahan
39 Departemen Agama RI, Al-Hidayah; Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Ciputat: Penerbit Kalim,
2010), 64 40 Imam Muhammad Abu Zahra, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Terj Abdurrahman
Dahlan, (jakarta: Logos, 1996) 50 41 Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari, (Surabaya: Khalista, 2010), 44 42 Ibid 43 Ibid
30
terhadap berbagai pendapat yang dinilai cenderung mengabaikan sunnah Nabi
dan para sahabat dalam mengintepretasikan al-Qur’an dan persoalan-persoalan
pokok agama. Golongan yang mengikuti pola seperti inilah yang selanjutnya
disebut dengan Ahlussunah44.
Dalam perkembangan selanjutnya istilah Ahlussunah wa al-Jama’ah lebih
dikenal dan berkembang. Sebenarnya nabi sudah memberikan petunjuk-
petunjuk tentang istilah Ahlussunah wa al-Jama’ah, tetapi petunjuk tersebut
tidak lah secara terang-terangan menyebutkan Ahlussunah wa al-Jama’ah.
Seperti dalam hadist:
“Dari Muawiyah bin Abi Sufyan, bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya orang sebelum kamu dari pengikut Ahli kitab terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan akan masuk neraka, dan satu golongan akan masuk surga, yaitu golongan al-Jama’ah”45.
Menurut KH Nurul Huda, bahwa desain pemahaman Ahlussunah wa al-
Jama’ah merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sejak zaman
Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidin, tetapi desain ini muncul dan lebih
menonjol setelah lahirnya Madzhab Mu’tazilah abad ke II Hijriyah46.
Adapun prinsip-prinsip Ahlussunah wa al-Jama’ah adalah sebagai
berikut47:
44 Ibid, 45 45 Hadist diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Darimi, Ahmad dan al-Hakim, dalam Sunan Abu
Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1996), 132 46 KH Nurul Huda dalam www.nu.or.id/a,public-m 47 Muhammad Abdul Hadi Al-Mishri, Manhaj dan Aqidah Ahlussunah wal Jama’ah, Terj As’ad
Yasin, dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 124-136.
31
1. Tentang sifat-sifat Allah, aqidah Ahlussunah wa al-Jama’ah adalah
membenarkan tanpa mempersoalkan bentuknya dan mensucikan-Nya tanpa
mengingkari-Nya.
2. Al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk.
3. Keyakinin Ahlussunah wa al-Jama’ah bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh
makhluk di dalam kehidupan dunia.
4. Mengimani seluruh kabar tentang keadaan setelah kematian seperti yang
sampaikan oleh Rasulullah.
5. Bersepakat bahwa orang-orang surga akan dapat melihat Rabbnya dengan
kedua mata mereka.
6. Mengimani qadar Allah dengan segala tingkatannya.
7. Iman adalah ucapan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang.
8. Menyakini bahwa iman mempunyai ashl (pokok) dan furu’ (cabang).
9. Bersepakat tentang kemungkinan berkumpulnya antara siksa dan pahala
pada diri seseorang.
10. Mencintai dan mendukung sahabat-sahabat Rasul, ahlulbait, dan istri-istri
Rasul tanpa meyakini adanya kema’shuman pada diri mereka kecuali
Rasulullah.
11. Ahlussunah wa al-Jama’ah berperang bersama pemimpin-pemimpin
mereka, baik pemimpin yang baik atau yang dhalim, demi menegakkan
syariat.
12. Membenarkan dan meyakini adanya karomah para wali atau kejadian-
kejadian luar biasa yang diberikan Allah pada mereka.
32
2. Sejarah Ahlussunah wa al-Jama’ah dan Perkembangannya di
Indonesia
Terjadi kebinggungan tentang awal diperkenalkan Islam di Indonesia, sekte
apakah yang pertama kali dianut pada awal-awal penyebaran Islam. Bukti
sejarah menjelaskan bahwa kedua sekte besar dalam Islam telah berperan aktif
dalam penyebaran Islam. Yang pertama adalah Syiah, bukti-bukti bahwa Syiah
adalah sekte pertama yang bersinggungan dengan masyarakat pada awal
penyebaran Islam tidak bisa dipungkiri. Hal ini dapat dilihat beberapa
perayaan-perayaan adat yang masih dilestarikan hingga sekarang oleh sebagian
masyarakat Indonesia, seperti perayaan Tabut di Sumatera. Yang kedua adalah
Sunni, realitas menjelaskan bahwa yang dianut oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia sekarang adalah Islam Sunni, tentunya sumber keislaman masyarakat
Indonesia saat ini tidak bisa dilepaskan dari ajaran-ajaran keislaman generasi
pertama di Indonesia.
Pada awal penyebaran Islam di Indonesia telah terjadi perebutan pengaruh
dan kekuasaan antara pendukung Syiah dan Ahlussunah. Kondisi ini
berlangsung cukup lama, terutama di kerajaan Perlak pada masa kekuasaan
Sultan Alaidin Sayyid Maulana Abbas (888-913M) dan Sultan Alaiddin
Maulana Ali Mughaiyat Syah (915-918M)48. Kemudian penyebaran secara
khusus Ahlussunah dimulai pada masa ulama-ulama dalam jaringan walisongo.
Pada tahap selanjutnya walisongo telah berhasil menantapkan dasar keislaman
di nusantara, yang pada akhirnya secara organisatoris muncullah NU
48 A. Hasjimi, Syiah dan Ahlussunah; Saling Berebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), 46-47
33
(Nahdlatul Ulama) sebagai Jamiyyah Diniyyah Islamiyyah yang berakidah
Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jamā’ah dan mengikuti salah satu
madzhab empat yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali49. Selain NU ada
beberapa pelembagaan Islam Sunni di Indonesia seperti Muhammadiyah,
Persis dan Al-Irsyad. Artinya mereka adalah yang berpegang pada salah satu
Imam 4 madzhab, dan secara kontestasi mereka yang kontradiksi dengan ajaran
Syiah.
C. Kontestasi Sunni dan Syiah dalam Sejarah
Dalam hal pendidikan dan kejayaan kedinastian, telah banyak
pertentangan-pertentangan antara dinasti Sunni dan dinasti Syiah, tidak
terkecuali dalam bidang pendidikan. Setiap dinasti tersebut berusaha untuk
membentengi rakyatnya dari manuver-manuver aliran di luar aliran resmi
dinasti. Yang tampak dalam sejarah Islam adalah kontestasi antara dinasti
Fatimiyyah di Mesir dan dinasti Abbasiyah di Baghdad.
Dinasti Fatimiyah adalah satu-satunya dinasti Syiah dalam Islam.
Didirikan di Tunisia pada tahun 909M sebagai tandingan kekuasaan Sunni di
Baghdad50. Dalam sejarah dinasti Sunni mengalami kemunduran dari tindakan
separatis dan kudeta orang-orang Syiah.
Kedua dinasti tersebut saling berebut pengaruh, dan saling menanamkan
ideologinya kepada rakyat, sehingga sampai pada kejayaannya masing-masing.
Tak terkecuali persaingan tersebut pada dunia pendidikan, kejayaan dinasti
49 M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam Politik, (Jakarta: Gramedia, 1994), 35 50 Philip K Hitti, History of The Arabs, Terj Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta, 2002), 787
34
Abbasiyah dan Fatimiyah telah membuka dan memperkenalkan Islam pada
kemajuan pendidikan. Gemilangnya pendidikan, keilmiahan dan tradisi
research, tumbuh dan berkembang pada masa kedua dinasti ini, terbukti dengan
lahirnya ilmuan-ilmuan muslim yang mendominasi keilmuan dunia bahkan
hingga saat ini.
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa manuver-manuver kedua
dinasti tersebut dalam pendidikan adalah untuk membentengi dan
mempropagandakan ideologi yang dianut kerajaan. Seperti halnya tujuan
didirikannya Madrasah Nizamiyah di Baghdad, yakni:51
1. Menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran
Syiah.
2. Menyediakan guru-guru Sunni yang cakap untuk mengajar dan
mempropagandakan madzhab Sunni.
3. Membentuk kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam
menjalankan pemerintahan, pemimpin lembaga, khususnya di bidang
peradilan dan manajemen.
Tujuan awal untuk membina lembaga pendidikan dalam hal ini madrasah
karena pertimbangan bahwa Syiah sangat gencar menanamkan ideologinya
sehingga untuk melawannya tidak cukup dengan senjata tetapi juga harus
dilawan dengan ideologi52.
51 Abd al Madjid Abd al Futuh Badawi, Al Tarikh al Siyasi wa al Fikr,(Kairo: Dar al-Fajr, 2011),
176 52 Ibid
35
Sementara itu, orang-orang Fatimiyah mengajarkan ideologinya melalui
pendidikan53 juga. Lebih dari itu, melalui kegiatan-kegiatan misionaris
tersembunyi yang disebar di seluruh wilayah Islam dengan tujuan
menyebarkan ideologi Syiah Ismailiyah dan mengumpulkan dukungan pada
sebuah gerakan politik keagamaan, inilah yang akhirnya menegakkan
berdirinya dinasti Fatimiyah54.
Pada hakikatnya tujuan pendidikan pada kedua dinasti tersebut adalah
sama, yakni saling propaganda ideologi kerajaan, memberikan proteksi akidah
kepada masyarakat agar terlindungi dari ideologi yang resiprokal, Sehingga
terjadilah kompetisi dalam pendidikan. Karena kompetisi inilah membawa
dampak positif, yakni kemajuan pendidikan. Penulis mencoba memaparkan
kemajuan-kemajuan di bidang pendidikan pada masa dinasti Abbasiyah dan
Fatimiyah, yang pada hakikatnya mereka berkontestasi dan berkompetisi untuk
saling memajukan.
Adapun kemajuan-kemajuan pendidikan di masa dinasti Abbasiyah antara
lain sebagai berikut:
1. Pada masa dinasti Abbasiyah, berdiri banyak lembaga-lembaga seperti
perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan
sebuah universitas karena selain terdapat kitab-kitab, disana juga dapat
membaca, menulis dan berdiskusi55.
2. Baitul Hikmah di Baghdad merupakan perguruan tinggi yang dibangun
pada masa Khalifah Al-Makmun. Ilmu-ilmu yang diajarkan bukan hanya 53 Said Mursi Ahmad, Tatawur al Fikr al Tarbawi, (Kairo: Alam al Kutub, 1982), 209 54 K. Ali, Sejarah Islam; Tarikh Pramodern, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), 325 55 Jurji Zaidan, Tarikh al Tamaddun al Islami, Jilid 3, (Kairo: Dar Al-Hilal, tanpa tahun), 144
36
keilmuan agama saja tetapi keilmuan umum juga sudah mulai diajarkan
seperti ilmu kalam, kimia, falaq dan lain-lain. Di sana juga dikumpulkan
buku-buku pengetahuan dalam bermacam-macam bahasa seperti bahasa
Arab, Yunani, Persia, Suryani dan Qibtia56.
3. Al-Makmun juga mendirikan teropong bintang yang disebut teropong Al-
Ma’muni57.
4. Di masa ini pula berdiri madrasah Nizamiyah yang merupakan lembaga
pendidikan resmi pemerintah, dan pemerintah terlibat dalam menetapkan
tujuan-tujuannya, kurikulum, memilih guru dan memberikan subsidi yang
teratur kepada madrasah58.
5. Berlangsungnya gerakan terjemahan buku-buku filsafat dan kedokteran,
gerakan ini berlangsung pada masa Khalifah Al-Manshur hingga Khalifah
Al-Makmun, kemudian diteruskan hingga tahun 300H59. Bidang-bidang
ilmu yang diterjemahkan semakin meluas, terutama setelah adanya
pembuatan kertas60.
6. Berlangsungnya gerakan terjemahan dan tradisi keilmuan yang mulai
berkembang, membawa dampak positif pada lahirnya para ilmuan-ilmuan
Islam. Dalam bidang agama, lahirlah para pemikir-pemikir teologi iman-
imam madzhab hukum seperti Imam Abu Hanifah (700-767M), Imam
Malik (713-795M), Imam Syafi’i (767-820M), dan Imam Ahmad bin
56 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Hilda Karya Agung, 1992), 90 57 Ibid 58 Abd al Madjid Abd al Futuh Badawi, Al Tarikh al Siyasi wa al Fikr, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiah, 1996), 176 59 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), 56 60 Ibid
37
Hanbal (780-855M). Dalam keilmuan umum, lahir nama-nama ilmuan
yang menjadi acuan keilmuan hingga sekarang, seperti61:
a. Al-Fazari seorang astronom Islam yang menyusun astrolobe
b. Al-Razi seorang tokoh kedokteran yang membedakan antara penyakit
cacar dan measles.
c. Ibn Sina seorang filsuf dan ahli kedokteran yang berhasil menemukan
sistem peredaran darah manusia, dengan karyanya al-Qanun fi al-Thibb
dan al-Syifa’.
d. Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythami seorang ahli optika.
e. Jabir ibn Hayyan seorang ahli kimia.
f. Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi seorang ahli matematika yang
menciptakan ilmu aljabar, dengan karyanya al-Jabr wa al-Muqabalah.
Sementara itu, kemajuan-kemajuan dinasti Fatimiyah di bidang pendidikan
antara lain sebagai berikut:
1. Universitas Al-Azhar di Kairo merupakan universitas pertama di Mesir.
Universitas ini merekrut mahasiswa dari negara-negara Islam dengan
fasilitas yang lengkap seperti asrama, makanan dan beasiswa62.
2. Al-Aziz memberikan gaji yang cukup besar bagi pengajar, sehingga
banyak para ulama yang pindah dari Baghdad ke Mesir63.
3. Dar al-Hikmah dengan perpustakaannya Dar al-Ulum di Kairo didirikan
oleh Khalifah Al-Hakim, bertujuan untuk menandingi Baitul Hikmah di
Baghdad. Terdapat banyak koleksi buku sekaligus menjadi pusat 61 Ibid 62 Moh Nur Hakim, Sejarah dan Peradaban Islam, (Malang; UMM Press, 2004), 103 63 Ibid
38
pengkajian kedokteran, astronomi dan ajaran-ajaran Islam terutama
madzhab Syiah64.
4. Mendirikan beberapa observatorium di Mesir, Muqatan dan Syiria65.
5. Beberapa ulama dan ilmuan yang muncul pada masa dinasti Fatimiyah
seperti66:
a. Muhammad al Tamimi seorang ahli kedokteran dan fisikawan.
b. Al-Kindi seorang ahli filsafat dan sejarah.
c. Ali bin Yunus seorang ahli astronomi
Realitas sejarah diatas, menjelaskan adanya suatu kompetisi positif tetapi
hegemoni dan perebutan kekuasaan terselubung dalam setiap maksud dan
tujuan. Realitas ini akan berulang dari masa ke masa hingga saat ini, baik
dalam bidang pendidikan yang terlihat transparan atau berbagai bidang lain
yang terlihat jelas.
D. Pengertian Pendidikan Islam
Pengertian pendidikan secara umum adalah seni, praktek atau seperangkat
pengajaran yang berhubungan dengan prinsip dan metode-metode mengajar,
pengawasan dan bimbingan murid67. Ahmad D Marimba mendefinisikan
pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik guna terbentuknya
64 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Hilda Karya Agung, 1992), 90 65 Ahmad Syalabi, Mausu’at al-Tarikh al-Islami wa al-Mishriyah, (Mesir: Dar al-Fikr, 1979),
125 66 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), 283 67 Carter V. Good, Dictionary of Education, (New York: Mc Graw Hill Book Company, 1959),
387
39
kepribadian yang utama68. Kaitannya dengan pendidikan Islam dan pendidikan
secara umum adalah bagaimana menambahkan nilai-nilai Islami dalam
pendidikan tersebut, atau memasukkan domain Islam secara utuh dalam
pendidikan.
Sedangkan pengertian pendidikan Islam secara sempurna belum
terumuskan. Dalam konferensi Internasioanl Pendidikan Islam pertama tahun
1977 di Universitas King Abdul Aziz, hanya mendefenisikan pendidikan
menurut Islam sebagai keseluruhan pengertian yang terkandung dalam istilah
ta’lim, tarbiyah dan ta’dib69. Banyaknya istilah yang secara substansi sama
dengan pengertian pendidikan membuat kebuntuan dalam pendefinisian
pendidikan menurut Islam. `
Prof. Hamka seperti yang dikutip Samsul Nizar, mendefinisikan
pendidikan islam pada tataran istilah ta’lim dan tarbiyah. Pada ta’lim
mengandung pengertian bahwa pendidikan merupakan transferisasi
pengetahuan yang dianugerahkan Allah kepada manusia (Adam)70.
Sebagaimana yang termaktub pada Surah al-Baqarah ayat 31:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman:
68 Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987),
19. 69 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1992), 28 70 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamzah, (Jakarta:
Kencana, 2008), 106
40
‘sebutkanlah kepadaku nama benda-benda itu jika kamu orang yang benar’”71. (QS Al-Baqarah (2) : 31).
Selanjutnya pada tarbiyah mengandung makna bahwa pendidikan
merupakan transferisasi nilai dan misi tertentu72. Secara komprehensif, Hamka
memaknai pendidikan islam sebagai serangkaian upaya yang dilakukan
pendidik untuk membentuk watak, akhlak dan kepribadian peserta didik
sehingga ia bisa membedakan hal yang baik dan buruk73.
Selanjutnya menurut Marimba seperti yang dikutip Imam Bawani,
pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani rohani untuk mewujudkan
terbentuknya kepribadian Islam yang berdasarkan hukum-hukum agama
Islam74. Dari definisi diatas dapat diambil inti antara lain: 1) bahwa pendidikan
Islam mendidik serta membimbing bukan hanya jasmani tapi juga rohani.
Kognitif, afektif dan psikomotorik sudah tercover dalam pendidikan islam. 2)
bahwa pendidikan islam bertujuan untuk membentuk kepribadian muslim yang
sempurna dengan penanaman nilai-nilai agama. 3) bahwa pendidikan islam
bertumpu pada al-Qur’an dan hadist sebagai sumber hukum agama.
Menurut Muslih Musa dan Aden Wijaya, pendidikan Islam merupakan
proses pembelajaran yang sangat intens pada post pembentukan kepribadian,
budi pekerti yang luhur75. Lebih sederhana, pendidikan Islam didefiniskan
71 Departemen Agama RI, Al-Hidayah; Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Ciputat: Penerbit Kalim,
2010), 7 72 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamzah, (Jakarta:
Kencana, 2008), 106 73 Ibid 74 Imam Bawani, Segi-segi Pendidikan Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987), 122 75 Muslih Musa dan Aden Wijdan, Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, (Yogyakarta:
UII Press, 1997), 111
41
sebagai upaya pendidikan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya,
agar menjadi way of life seseorang76.
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan islam
adalah usaha membimbing dan mendidik yang dilakukan oleh pendidik untuk
membentuk kepribadian islam, yang bisa membedakan baik dan buruk, dan
berdasarkan al-Qur’an dan hadist sebagai sumber hukum.
E. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam
Secara umum, tujuan pendidikan Islam sinkron dengan tujuan agama
Islam, yaitu berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk, bertakwa, dan
beribadah dengan baik kepada Allah agar memperoleh kebahagiaan dunia
akhirat77. Sedangkan tujuan secara khusus merupakan penjabaran dari tujuan
umum, yakni: 1) mendidik individu yang saleh dengan memperhatikan segenap
dimensi perkembangannya, 2) mendidik anggota kelompok sosial yang saleh
baik dalam keluarga maupun masyarakat muslim, 3) mendidik manusia yang
saleh bagi masyarakat yang besar78.
Lebih lanjut, menurut Abdul Munir Mulkhan, tujuan pendidikan Islam
adalah sebagai proses pengaktualan akal peserta didik yang secara teknis
dengan kecerdasan yang terampil, dewasa serta membentuk kepribadian
muslim yang paripurna79. Secara singkat tujuan pendidikan Islam menurut
76Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultural, (Surabaya: PT. Temprina Media Grafika,
2007), 120 77 Hery Noer Aly dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2003), 142 78 Ibid, 143-144 79 Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: Sispress, 1993), 137
42
Athiyah al-Abrasy adalah menjadikan manusia berakhlak mulia80. Sedangkan
Fadhil Jamali merumuskan tujuan pendidikan Islam menjadi empat, yaitu: 1)
mengenalkan manusia pada perannya sebagai makhluk dan tanggungjawab, 2)
mengenalkan manusia pada interaksi sosial dan tanggungjawabnya pada tata
kehidupan bermasyarakat, 3) mengenalkan manusia pada alam dan mengajak
untuk mengetahui hikmah diciptakannya serta dapat mengambil manfaat, 4)
mengenalkan manusia akan penciptaan alam dan menyuruhnya untuk
beribadah81.
Dari tujuan pendidikan Islam yang masih bersifat umum diatas, setiap
satuan pendidikan merumuskan tujuan pendidikan secara khusus pada tingkat
satuan pendidikannya masing-masing. Pembagian ini seperti halnya yang
dijelaskan Abuddin Nata tentang cakupan dan ruang lingkup tujuan
pendidikan, antara lain82:
1. Tujuan pendidikan Islam secara universal; tujuan pendidikan Islam yang
masih bersifat global universal, yang menjadi dasar acuan pada setiap
tujuan pendidikan Islam secara khusus.
2. Tujuan pendidikan Islam secara nasional; tujuan pendidikan Islam yang
dirumuskan oleh setiap negara.
3. Tujuan pendidikan Islam secara institusional; tujuan pendidikan Islam yang
dirumuskan oleh setiap lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat
kanak-kanak sampai pada perguruan tinggi.
80 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Hadist, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 62 81 Lihat Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), 32 82 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010), 61-65
43
4. Tujuan pendidikan Islam pada tingkat program studi; tujuan pendidikan
yang disesuaikan dengan program studi.
5. Tujuan pendidikan Islam pada tingkat mata pelajaran; tujuan pendidikan
yang didasarkan pada tercapainya pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan ajaran Islam pada setiap bidang studi atau mata pelajaran
tertentu.
6. Tujuan pendidikan Islam pada tingkat pokok bahasan; tujuan pendidikan
yang didasarkan pada ketercapaian kompetensi utama dan kompetensi
dasar yang terdapat pada setiap pokok bahasan.
7. Tujuan pendidikan Islam pada tingkat subpokok bahasan
Tujuan pendidikan Islam yang didasarkan pada tercapainya kecakapan
yang terlihat pada indikator-indikator.
Setiap tujuan pendidikan dalam koridor agama Islam, merumuskan tujuan
pendidikannya berdasarkan kitab suci agama Islam dan hadist, karena disitulah
sumber pertama tujuan pendidikan Islam, yang selanjutnya dirumuskan oleh
Rasulullah sebagai suri tauladan.
Sedangkan fungsi pendidikan Islam adalah sebagai proses penanaman nilai-
nilai ilahiah pada diri anak didik, sehingga mampu untuk mengaktualisasikan
dirinya sesuai dengan prinsip-prinsip religius83. Pendidikan Islam juga
bertanggungjawab terhadap dinamika dan harmonisasi kebudayaan manusia,
83 Samsul Nizar, Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 121
44
selain itu pendidikan Islam juga menjadi fasilitator bagi seluruh potensi peserta
didik dan transformasi nilai-nilai sosiokulturalnya dengan ruh islami84.
F. Sistem Pendidikan Islam
Menurut Mc Ashan dalam Made Pidarta, pengertian sistem adalah srategi
menyeluruh atau rencana yang dikomposisikan oleh satu elemen,
mempresentasikan kesatuan unit dan masing-masing elemen mempunyai
tujuan sendiri, yang kesemuanya saling berkaitan dan terurut dalam bentuk
yang logis85. Johnson, Kost dan Rosenzweg seperti yang dikutip Anas Sudjana,
mendefinisikan sistem sebagai suatu kebulatan yang kompleks, suatu
himpunan yang terdiri dari hal-hal dan bagian-bagian yang membentuk
kebulatan/keseluruhan yang kompleks86. Definisi sistem secara umum
dijelaskan oleh Hasbullah, yang mengartikan sistem sebagai jumlah
keseluruhan dari bagian-bagian yang saling bekerja sama untuk mencapai hasil
yang diharapkan berdasarkan kebutuhan yang telah ditentukan87. Dari definisi
di atas dapat disimpulkan bahwa sistem merupakan kesatuan yang utuh, yang
terdiri dari beberapa komponen atau subsistem yang membentuk kesatuan
tersebut, saling bersinergi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan.
Dalam pendidikan, sebuah sistem pendidikan terdiri dari beberapa
subsistem yang membentuk pendidikan itu sendiri. Karena dalam sebuah
sistem mempunyai ciri-ciri adanya tujuan, fungsi, komponen, interaksi atau
84 Ibid 85 Made Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), 26 86 Anas Sudjana, Pengantar Administrasi Pendidikan Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1997), 21-26 87 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Kependidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), 123
45
saling berhubungan88. Pendidikan sebagai sebuah sistem terbuka, yang artinya
bahwa pendidikan tidak bisa mengisolasi dirinya dari lingkungannya agar
dapat melaksanakan fungsinya dengan baik89.
Adapun komponen-komponen atau bagian-bagian dalam sistem pendidikan
adalah sebagai berikut90:
1. Tujuan
Pendidikan haruslah mempunyai tujuan untuk memberikan arah terhadap
semua proses pendidikan. Seluruh komponen dalam pendidikan bertumpu
pada tujuan sebagai pedoman aktifitas.
2. Peserta didik
Pesera didik merupakan obyek dan subyek dalam pendidikan. Obyek
berarti peserta didik yang menerima perlakuan-perlakuan dalam
pendidikan. Subyek berarti peserta didik juga sebagai pelaksana, hal ini
merupakan pandangan pendidikan modern
3. Pendidik
Pendidik merupakan pembimbing, pengaruh, untuk menumbuhkan aktifitas
peserta didik. Oleh karenanya, seorang pendidik diwajibkan mampu
menguasai peserta didik dan mempunyai kompetensi sebagai pendidik,
88 Mudhoffir, Teknologi Instruksional, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990), 12 89 Made Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), 28 90 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Kependidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), 123-124; lihat
Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,hal 19; lihat juga Tadjab, Perbandingan Pendidikan,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), hal 33.
46
yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
profesional dan kompetensi sosial91.
4. Alat pendidikan
Alat pendidikan adalah pendukung atau penunjang pelaksanaan pendidikan.
Atau segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan,
mempermudah dan mempercepat tercapainya tujuan. Alat pendidikan
dalam arti perangkat keras adalah sarana pembelajaran dan media
pembelajaran yang dapat mendukung terselenggaranya pembelajaran92.
5. Lingkungan
Lingkungan adalah suatu ruang yang mendukung kegiatan pendidikan.
Lingkungan pendidikan meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah
dan lingkungan masyarakat. Situasi lingkungan mempengaruhi proses dan
hasil pendidikan, lingkungan berpengaruh besar dan menentukan terhadap
kelangsungan berkembangnya potensi diri siswa93.
Berbeda sedikit dengan Hasbullah, Made Pidarta membagi sistem
pendidikan menjadi 4 komponen atau subsistem, yaitu94:
1. Subsistem tujuan
2. Subsistem manajemen
3. Subsistem prosecing peserta didik
4. Subsistem lingkungan
91 PP No. 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, (Jakarta: PT Bina Aksara,
2004), 21 92 Ibid, 26 93 A Nurhadi Djamal, Epistimologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: UIN SGD Press,
1995), 27 94 Made Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), 30
47
Melihat dari subsistem atau komponen dalam sistem pendidikan diatas,
agaknya pembagian tersebut lebih tersegmen pada sistem pendidikan pada
tingkat satuan pendidikan. Sistem pendidikan pada tingkat nasional dan global,
pastilah akan lebih complecated karena banyak hal yang menyusun dan
membentuk sebuah sistem dalam pendidikan nasional.