63
BAB II TINJAUAN TEORITIK MENGENAI PEMIDANAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA ANAK Bab ini akan meninjau secara teoritik berbagai hal sehubungan dengan pemidanaan bagi pelaku tindak pidana anak. Pokok penulisan pada bab ini akan ditujukan pada anak sebagai subjek hukum nasional dan internasional yang memegang peranan penting sebagai bibit masa depan dari suatu bangsa, maka menurut penulis baik untuk memulai bab ini dengan terlebih dahulu memberikan pengertian mengenai anak dan perlindungan hak anak yang mulai diperjuangkan ketika banyak pengaturan konvensi internasional yang membahas mengenai Hak Asasi Anak. Selain dalam pandangan umum, penulis juga akan membahas mengenai anak dalam pandangan hukum pidana yang ditekankan pada bagian pemidanaan yang dimulai dari pengertian mengenai anak nakal dan batasan umur seorang anak yang melanggar hukum dapat dijatuhi hukuman pidana, sehubungan dengan itu tidak luput juga untuk penulis membahas mengenai sanksi-sanksi pidana bagi anak yang pengaturannya sangat berbeda dengan sanksi pidana pada umumnya yang beragam-macam diatur dalam KUHP, Undang-Undang no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang no. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dan peraturan terbaru yang dapat kita temukan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Penulis juga akan meninjau secara umum mengenai permasalahan terhadap sanksi pidana penjara dikhususkan pada pelaku tindak pidana anak, yang secara hukum sebenarnya 1 | Page

BAB II Pidana Kerja Sosial bagi Pelaku Anak

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pidana kerja sosial bagi pelaku tindak pidana anak

Citation preview

BAB II

TINJAUAN TEORITIK MENGENAI PEMIDANAAN

BAGI PELAKU TINDAK PIDANA ANAK

Bab ini akan meninjau secara teoritik berbagai hal sehubungan dengan pemidanaan

bagi pelaku tindak pidana anak. Pokok penulisan pada bab ini akan ditujukan pada anak

sebagai subjek hukum nasional dan internasional yang memegang peranan penting sebagai

bibit masa depan dari suatu bangsa, maka menurut penulis baik untuk memulai bab ini

dengan terlebih dahulu memberikan pengertian mengenai anak dan perlindungan hak anak

yang mulai diperjuangkan ketika banyak pengaturan konvensi internasional yang membahas

mengenai Hak Asasi Anak.

Selain dalam pandangan umum, penulis juga akan membahas mengenai anak dalam

pandangan hukum pidana yang ditekankan pada bagian pemidanaan yang dimulai dari

pengertian mengenai anak nakal dan batasan umur seorang anak yang melanggar hukum

dapat dijatuhi hukuman pidana, sehubungan dengan itu tidak luput juga untuk penulis

membahas mengenai sanksi-sanksi pidana bagi anak yang pengaturannya sangat berbeda

dengan sanksi pidana pada umumnya yang beragam-macam diatur dalam KUHP, Undang-

Undang no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang no. 11 tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Anak, dan peraturan terbaru yang dapat kita temukan dalam

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Penulis juga akan meninjau secara umum mengenai permasalahan terhadap sanksi

pidana penjara dikhususkan pada pelaku tindak pidana anak, yang secara hukum sebenarnya

bertentangan dengan banyak konvensi internasional yang sudah ditanda-tangani dan

diratifikasi oleh pemerintahan Indonesia. Maka dari itu menjadi urgensi dalam sistem pidana

Indonesia untuk melakukan pembaharuan hukum pidana Indonesia dan melakukan generasi

sanksi pidana yang tidak lagi menggunakan pidana perampasan kemerdekaan sebagai sanksi

pidana untuk menghukum anak nakal.

2.1. Tinjauan umum mengenai Perlindungan terhadap hak-hak anak

2.1.1. Pengertian anak

Anak adalah eksistensi nyata yang tidak dipungkiri memegang peranan besar

dalam kehidupan manusia dan kehidupan bangsa. Bangsa yang menginginkan

kemajuan memiliki tanggung jawab untuk membina sumber daya manusia yang

memegang kunci utama dari pembangunan bangsa yaitu anak. Bangsa Indonesia

1 | P a g e

melihat anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita

perjuangan bangsa1.

Menurut seorang ahli anak bernama Elizabeth H. Hurlock, manusia

berkembang melalui beberapa tahapan yang berlangsung secara berurutan, terus

menerus dan dalam tempo perkembangan yang tertentu dan bisa berlaku umum.

Untuk lebih jelasnya tahapan perkembangan tersebut dapat dilihat pada uraian

tersebut: – Masa pra-lahir : Dimulai sejak terjadinya konsepsi lahir – Masa jabang

bayi : satu hari-dua minggu. – Masa Bayi : dua minggu-satu tahun. – Masa anak :

– masa anak-anak awal : 1 tahun-6 bulan, Anak-anak lahir : 6 tahun-12/13 tahun.

– Masa remaja : 12/13 tahun-21 tahun – Masa dewasa : 21 tahun-40 tahun. –

Masa tengah baya : 40 tahun-60 tahun. – Masa tua : 60 tahun-meninggal.2

Melihat pada deskripsi di atas penulis mencoba untuk menyimpulkan bahwa

menurut Hurlock, seseorang disebut anak ketika mereka berumur 1 tahun hingga

21 tahun.

Melihat kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang merupakan

rujukan utama masyarakat Indonesia dalam memahami pengertian umum suatu

kata, memberikan pengertian anak sebagai “keturunan yang kedua”. Kamus

Besar Bahasa Indonesia juga menguraikan anak sebagai “manusia yang masih

kecil”, yang masih membutuhkan arahan dan bimbingan dalam melangsungkan

kehidupannya3. Pengertian anak di atas masih dianggap terlalu rancu untuk secara

garis besar menggambarkan arti dari seorang anak itu sendiri. Maka dari itu perlu

kita melihat kepada berbagai pandangan lainnya, yang dalam pembahasannya

dapat kita kategorikan secara non-yuridis, dan secara yuridis. Non-yuridis akan

membahas anak dalam pandangan agama, ekonomi, sosiologis, dan psikologis.

Sedangkan dalam pandangan yuridis akan dibahas menurut bidang hukum

lainnya, berbagai peraturan internasional, dan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam sudut pandang yang dibangun oleh agama khususnya dalam hal ini

adalah agama islam, anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang

keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT melalui proses

penciptaan. Anak sebagai amanat Allah yang harus dilaksanakan dengan baik,

1 UU. NO. 3 TAHUN 1997 pembukaan 2 Hurlock, E.B. (1980). Developmental psychology ; A life-span approach (5th Ed). New York; Mc Graw-Hill. Page 363 http://kbbi.web.id/anak

2 | P a g e

khususnya bagi orang tua, dan tidak boleh begitu saja mengabaikannya, lantaran

hak-hak anak termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua terhadap anak

yang telah digariskan oleh agama Islam.4 Pengertian anak menurut istilah hukum

Islam adalah keturunan kedua yang masih kecil, sifat kecil ini dihubungkan

dengan perwalian hak milik dan larangan bertindak sendiri. 5 Pengertian anak

dalam pandangan agama islam mengandung arti bahwa setiap anak yang

dilahirkan harus diakui, diyakini, dan diamankan sebagai implementasi amalan

yang diterima dari orang tua, masyarakat , bangsa dan negara.

Dalam pengertian ekonomi, anak dikelompokan pada golongan non- produktif

dalam tabel angkatan kerja. Merujuk pada undang-undang ketenagakerjaan no. 13

tahun 2003, menyebutkan bahwa yang dapat bekerja itu adalah orang yang telah

berumur 18 tahun ke atas6. Kelompok pengertian anak dalam bidang ekonomi

mengarah pada konsepsi kesejahteraan anak sebagaimana yang ditetapkan oleh

Undang-Undang no.4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yaitu anak berhak

atas kepeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan, dalam

lingkungan masyarakat yang dapat menghambat atau membahayakan

perkembangannya7, sehingga anak tidak lagi menjadi korban dari

ketidakmampuan ekonomi keluarga dan masyarakat.

Dalam aspek sosiologis anak diartikan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT

yang senantiasa berinteraksi dalam lingkungan masyarakat bangsa dan negara.

Dalam hal ini anak diposisikan sebagai kelompok sosial yang mempunyai status

sosial yang lebih rendah dari masyarakat dilingkungan tempat berinteraksi.

Sosiologi memandang bahwa anak merupakan bagian dari masyarakat. Dimana

keberadaan anak sebagai bagian yang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya,

baik dengan keluarga, komunitas, atau masyarakat pada umumnya. Sosiologi

menjelaskan tugas atau peran yang oleh anak pada masa perkembangannya8:

- Pada usia 5-7 tahun, anak mulai mencari teman untuk bermain

-  Pada usia 8-10 tahun, anak mulai serius bersama-sama dengan temannya

lebih akrab lagi4 Abdul Razaq Husain, Islam wa Tiflu, Alhi bahasa Azwir Butun, Hak-hak anak dalam Islam, Jakarta : Fika Hati Aniska, 1992, hlm. 495 Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Hlm. 1126 Undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 1 ayat 267 Undang-undang no. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak8 Hartini G Kartasapoetra. 1992. Kamus Sosiologi dan Kependudukan. Bumi Aksara : Jakarta, hlm. 90

3 | P a g e

-  Pada usia 11-15 tahun, anak menjadikan temannya menjadi sahabatnya

Pengertian anak dari aspek psikologi dapat kita tinjau dari berbagai

pengertian yang disebutkan oleh para ahli filsafat, Menurut John Locke (dalam

Gunarsa, 1986) anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap

rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan.9Augustinus yang

dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa

anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk

menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan

pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah

belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat

memaksa.10 Sobur mengartikan anak sebagai orang yang mempunyai pikiran,

perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan segala

keterbatasan.11

Dalam hukum positif Indonesia terdapat pluralisme mengenai pengertian anak.

Hal ini terjadi sebagai akibat dari tiap-tiap peraturan perundang-undangan yang

mengatur secara tersendiri mengenai anak itu sendiri. Pengertian anak dalam

kedudukan hukum meliputi pengertian anak dari pandangan sistem hukum atau

disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai objek hukum. Terhadap pengertian

anak ditinjau secara yuridis perlu kita tinjau dari sudut pandang hukum lain

hingga kepada peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku.

Pengertian anak dalam UUD 1945 terdapat di dalam pasal 34 yang berbunyi:

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” Hal ini

mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum nasional yang

harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak.

Dengan kata lain anak tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan

masyarakat

9 Gunarsa, D Singgih, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta ; Gunung Mulia, 2004, hlm 1510 Suryabrata, Sumadi, Pengukuran dalam Psikologi Kepribadian, Jakarta ; Rajawali Pers, 1987, hlm 511 Sobur. 1988. Pengertiaan Anak. www.duniapsikologi.com/pengertian-anak tinjauan-secara-kronologis-dan- psikologis/. Diakses pada tanggal 21 Februari 2016

4 | P a g e

Pengertian anak dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak tercantum dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi12:

“Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun

tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.”

Jadi dalam hal ini pengertian anak dibatasi dengan syarat sebagai berikut :

pertama, anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) sampai dengan 18

(delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua, anak belum pernah kawin.

Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan

kemudian cerai. Apabila anak sedang terikat dalam perkawinan atau

perkawinannya putus karena perceraian, maka anak dianggap sudah dewasa

walaupun umurynya belum genap 18 (delapan belas) tahun.

Undang-Undang No. 1 1974 tentang perkawinan tidak mengatur secara

langsung tolak ukur kapan seseorang digolongkan sebagai anak, akan tetapi hal

tersebut tersirat dalam pasal 6 ayat (2) yang memuat ketentuan syarat perkawinan

bagi orang yang belum mencapai umur 21 tahun mendapati izin kedua orang

tua.13 Pasal 7 ayat (1) UU memuat batasan minimum usia untuk dapat kawin bagi

pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enambelas) tahun.14

Dalam hukum adat tidak ada yang menentukan siapa yang dikatakan anak-

anak dan siapa yang dikatakan orang dewasa. Akan tetapi dalam hukum adat

ukuran anak dapat dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia tetapi pada ciri

tertentu yang nyata. Seperti kemampuan bekerja sendiri, mampu bertanggung

jawab, dan dapat mengurus harta kekayaan sendiri.

Pengertian anak menurut hukum perdata dibangun dari beberapa aspek

keperdataan yang ada pada anak sebagai seseorang subjek hukum yang tidak

mampu. Aspek-aspek tersebut adalah: – Status belum dewasa (batas usia) sebagai

subjek hukum. – Hak-hak anak di dalam hukum perdata15. Pasal 330 KUHPerdata

memberikan pengertian anak adalah orang yang belum dewasa dan seseorang

yang belum mencapai usia batas legitimasi hukum sebagai subjek hukum atau

12 Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tercantum dalam pasal 1 ayat (2)13 Undang-Undang No.1 1974 tentang perkawinan pasal 6 ayat 214 Ibid. pasal 7 ayat (1)15 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet 31, (Jakarta : PT. Intermasa, 2003), hlm. 55

5 | P a g e

layaknya subjek hukum nasional yang ditentukan oleh perundang-undangan

perdata.16 Dalam ketentuan hukum perdata anak mempunyai kedudukan sangat

luas dan mempunyai peranan yang amat penting, terutama dalam hal memberikan

perlindungan terhadap hak-hak keperdataan anak, misalnya dalam masalah harta

warisan.

Menurut  The  Minimum Age  Convention  Nomor 138 tahun 1973, pengertian

tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya,

dalam Convention on The Right Of the Child tahun 1989 yang telah diratifikasi

pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa

anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF

mendifenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18

tahun.17

Maka, secara keseluruhan pengertian anak yang telah penulis ungkapkan baik

secara non-yuridis maupun yuridis meletakkan rentang usia anak pada skala 0

sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan

berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, kematangan

pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah

seseorang melampaui usia 21 tahun. 

2.1.2. Hak-Hak Anak.

2.1.2.1. Perkembangan Hak Anak

Anak dengan segala keistimewaannya memegang kedudukan penting

dalam dunia internasional maupun nasional, kendati demikian hak anak

yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia melewati perjalanan yang

panjang untuk mencapai titik pengakuan hingga saat ini. Perjuangan

mengenai hak anak bermula sejak berakhirnya Perang Dunia I sebagai

reaksi atas penderitaan yang timbul akibat dari bencana peperangan

terutama yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak. Liga Bangsa-

Bangsa saat itu tergerak karena besarnya jumlah anak yang menjadi yatim

piatu akibat perang.

Seseorang yang harus dikenali oleh masyarakat atas usahanya

memperjuangkan Hak Anak bermula dari gerakan para aktivis perempuan

16 KUHPerdata pasal 33017 Huraerah, Abu. 2006. Kekerasan Pada Anak. Bandung: Penerbit Nuansa, hlm 19

6 | P a g e

yang melakukan protes dan meminta perhatian publik atas nasib anak-anak

yang menjadi korban perang. Salah seorang di antara para aktivis tersebut

yakni yang bernama Eglantyne Jebb dibantu oleh adiknya yang bernama

Dorothy Buxton (pendiri Save the Children) serta dukungan dari Komite

Palang Merah Internasional (International Committee of the Red

Cross/ICRC) kemudian mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang

hak anak atau deklarasi hak anak (Declaration of The Rights of The Child)18

yang pada tahun 1923 diadopsi oleh lembaga Save the Children Fund

International Union.

Kemudian pada tanggal 26 September 1924, Liga Bangsa-Bangsa

mengadopsi deklarasi yang dilakukan oleh Jebb yang kini lebih dikenal

sebagai Deklarasi Genewa. Hal ini merupakan hari yang bersejarah karena

untuk pertama kalinya Hak Anak diakui secara internasional. Dalam

Deklarasi Genewa dinyatakan bahwa “humanity owes to the Child the best

that it has to give” 19 atau dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebagai

kemanusiaan berhutang kepada anak-anak apa yang terbaik yang mereka

bisa dapatkan.

Pada tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan

pernyataan mengenai Hak Anak yang merupakan deklarasi internasional

kedua bagi hak anak. Tahun 1979 saat dicanangkannya Tahun Anak

Internasional, Pemerintah Polandia mengajukan usul untuk perumusan

suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan

terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah awal perumusan

Konvensi Hak Anak. Tahun 1989, rancangan Konvensi Hak Anak

diselesaikan dan pada tahun itu juga naskah akhir tersebut disahkan dengan

suara bulat oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 November 1989.

Persetujuan Majelis Umum PBB atas Konvensi Hak Anak menandai dan

merepresentasikan titik kulminasi proses perjuangan panjang pengakuan

jaminan melalui hukum internasional terhadap eksistensi hak anak20.

18 Muhammad Joni, dkk. Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1999. Hal. 30.19 http://www.humanium.org/en/childrens-rights-history/references-on-child-rights/geneva-declaration/ diakses pada tanggal 21 Februari 2016. Geneva Declaration of the Rights of the Child, 1924.20 Impact of the Convention on the Rights of the Child (Florence, Italy : UNICEF Innocenti Research Centre, 2005) (with John Tobin) hal. 35

7 | P a g e

Konvenan ini kemudian diratifikasi oleh setiap bangsa termasuk Indonesia,

kecuali Somalia dan Amerika Serikat.21

Pengakuan hak anak sebagai hak asasi manusia merupakan suatu

proses yang terjadi dalam dua bagian; pertama, pengakuan bahwa anak

berhak atas hak asasi manusia sebagai haknya sendiri yang independen,

bukan sebagai hak orang tua atau wali mereka; dan kedua, pengakuan

bahwa anak memerlukan perlindungan tambahan.  Sekaligus menjadi alas

hak bagi setiap individu untuk menuntut pemenuhan  hak  bagi anak

melalui  mekanisme hukum hak asasi manusia internasional. Indonesia

sendiri meratifikasi konvensi hak anak tersebut pada tahun 1990 dan

kemudian dilanjutkan pada saat peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23

Juli 1997 yang mana pada saat itu Presiden Republik Indonesia

mencanangkan “Gerakan Nasional Perlindungan Anak” dan sejak saat itu

perlindungan anak menjadi bagian dari proses dinamika pembangunan,

khususnya pembangunan sumber daya manusia.22

2.1.2.2. Pengaturan Hukum mengenai Hak Anak

Untuk lebih mendalami pengertian dan penjabaran mengenai hak anak

kita harus meninjaunya lewat instrumen hukum Internasional maupun

Nasional. Lewat instrumen-instrumen ini penulis akan menjabarkan

Perlindungan Hak Anak baik yang mengatur perlindungan secara umum

hingga pengaturan Hak Anak dalam bidang hukum.

A. Konvensi Hak Anak

Sebagaimana dengan yang penulis telah jabarkan pada sub-bab

sebelumnya bahwa Konvensi ini memegang peranan yang sangat

penting dalam menjamin Hak Asasi Anak merupakan instrumen

Internasional di bidang Hak Asasi Manusia dengan cakupan hak

yang paling komprehensif. Terdiri dari 54 pasal, Pemerintah

Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan mengeluarkan

Keputusan Presiden (Kepres) No. 36 tahun 1990, tertanggal 25

21 http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Konvensi_Hak_Anak.pdf diakses pada tanggal 21 Februari 2016 (Surpiyadi W. Eddyono, “Pengantar Konvensi Hak Anak”, Lembaga Studi dan Advokasi Hak Anak, hlm. 2)22 Muhammad Joni, dkk. Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1999. Hal. 30.. hal. 33

8 | P a g e

Agustus 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak (Convention

on the right of the Child).

Berdasarkan strukturnya, konvensi ini dibagi menjadi 4 bagian

yaitu : Preambule (mukadimah) yang menjadi pokok pegangan bagi

keseluruhan konvensi dengan memberikan pernyataan bahwa anak

dalam kebutuhan perkembangan fisik dan mentalnya memerlukan

perhatian dan bantuan khusus demi menunjang perkembangan

kesehatan, fisik, mental, moral dan sosialnya ; memerlukan

perlindungan hukum dalam kondisi kebebasan, martabat, dan

keamanan. Serta menganjurkan ditingkatkannya perkembangan

kepribadian, bakat, serta kemampuan mental dan fisik anak sampai

pada tingkat sepenuhnya dan menggalakan rasa hormat terhadap

semua hak asasi dan kebebasan dasar manusia. Bagian Satu (pasal

1-4) yang mengatur hak bagi semua anak, Bagian Dua (pasal 42-

45) yang mengatur masalah pemantauan dan pelaksanaan Konvensi

Hak anak, dan Bagian Tiga (Pasal 46-54) yang mengatur masalah

pemberlakuan Konvensi.

Pada intinya, terdapat empat prinsip yang terkandung di dalam

Konvensi Hak Anak, diantaranya ;

1) Prinsip Non Diskriminasi

Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi

Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa

pembedaan apapun

2) Prinsip yang Terbaik Bagi Anak (The Best Interest of the

Child)

Dalam semua tindakan mengenai anak, apakah yang dilakukan

oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial, negara, atau swasta,

pengadilan hukum, penguasa administrative, atau badan

legislatif, kepentingan-kepentingan anak harus merupakan

pertimbangan utama.

3) Prinsip atas Hak Hidup, Kelangsungan dan Perkembangan

(The Rights to Life, Survival and Development)

Hak-hak yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak meliputi

hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the

9 | P a g e

rights to life) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan

tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya (the rights to the

highest standard of health and medical care attainable)

4) Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak (Respect for

the Views of the Child)

Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut

hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan

dalam setiap pengambilan keputusan.23

Perlindungan terhadap hak anak tidak hanya terbatas pada hal

yang bersifat umum, karena salah satu komponen penting dalam

perlindungan Hak Anak berada di bidang hukum. Hukum sebagai

alat untuk mentertibkan masyarakat memiliki sanksi beragam

macam yang apabila pelaksanannya dijalankan tanpa ada

pengawasan dapat berakibat buruk bagi masa depan seseorang

terutama bagi seorang anak. Konvensi Hak Anak ini tidak luput

mengatur mengenai anak yang berkonflik dengan hukum (juvenile

justice), yang dapat kita temukan dalam pasal 37 dan pasal 40

dimana kedua pasal ini memberikan penekanan pada Hak Anak dari

sisi Hukum Acara Pidana.

Pasal 37 berbunyi demikian24 ;

“Negara-negara Peserta akan memastikan bahwa:(a) Tak seorang anak pun boleh menjalani siksaan atau kekerasan lain, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau menurunkan martabat. Hukuman mati maupun hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan tidak akan dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berusia dibawah delapan belas tahun;(b) Tidak seorang anak pun akan kehilangan kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau penghukuman seorang anak harus sesual dengan hukum dan hanya akan diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang singkat dan layak;(c) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabat kemanusiaannya, dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang seusianya. Secara khusus, setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan dipisahkan dan orang-orang dewasa kecuali bila dianggap bahwa tidak melakukan hal ini merupakan kepentingan terbaik dan anak yang bersangkutan, dan ia berhak mengadakan hubungan

23 http://www.unicef.org/magic/media/documents/CRC_bahasa_indonesia_version.pdf Konvensi Hak Anak yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Oktober 198924 Lihat Konvensi Anak http://gugustugastrafficking.org/index.php?option=com_content&view=article&id=134:konvensi-hak-anak&catid=104:konvensi&Itemid=139

10 | P a g e

dengan keluarganya melalul surat menyurat atau kunjungan-kunjungan, kecuali dalam keadaankeadaan khusus;

(d) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak segera mendapat bantuan hukum dan bantuan lain yang layak, dan juga berhak untuk menggugat keabsahan perampasan kemerdekaan itu didepan pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, independen dan tidak memihak, dan berhak atas suatu keputusan yang cepat mengenai hat tersebut”

Pasal 40 Konvensi Hak Anak berbunyi demikian25;“1. Negara-negara Peserta mengakui hak setiap anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah melanggar undang-undang hukum pidana untuk diperlakukan dengan cara yang konsisten dengan peningkatan pengertian anak tentang martabat dan nilai dirinya, hal mana memperkuat sikap menghargai anak pada hak-hak azasi manusia dan kemerdekaan hakiki orang-orang lain, dengan memperhatikan usia anak dan keinginan untuk meningkatkan reintegrasi anak dan pelaksanaan peran yang konstruktif dan anak dalam masyarakat.

2. Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dan perangkatperangkat internasional yang relevan, Negara-negara Peserta, secara khusus, akan menjamin bahwa:

(a) Tak seorang anakpun akan disangka, dituduh, atau diakui sebagal telah melanggar undang-undang hukum pidana karena perbuatan-perbuatan atau kelalaian yang tidak dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada saat perbuatan itu dilakukan; (b) Setiap anak yang disangka sebagai atau dituduh telah melanggar undang-undang hukum pidana setidaknya memiliki jaminan-jaminan sebagai berikut:

(i) Dianggap tidak bersalah sebelum dibuktikan bersalah menurut hukum;(ii) Secepatnya dan secara langsung diberitahu mengenal tuduhan-tuduhan terhadapnya, dan, jika layak, melalui orangtua atau walinya yang sah, dan untuk memperoleh bantuan hukum atau bantuan lain yang layak dalammempersiapkan dan pengajuan pembelaannya;(iii) Memeriksa masalah tersebut tanpa penundaan oleh penguasa yang berwenang, independen dan tidak memihak atau oleh badan peradilan dalam suatu pemeriksaan yang adil sesuai dengan undang-undang, dengan bantuan hukurn atau bantuan lain yang layak dan, kecuali jika dianggap bukan untuk kepentingan terbaik dan anak, khususnya, dengan memperhatikan usia atau situasi anak, onangtua atau walmnya yang sah;(iv) Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau untuk mengakui kesalahan; untuk memeriksa atau menyuruh memeriksa saksi-saksi yang membenarkan dan untuk memperoleh partisipasi dan pemeriksaan saksi-saksi untuk kepentingan anak berdasarkan persamaan hak;(v) Jika dianggap telah melanggar undang-undang hukum pidana, keputusan dan setiap tindakan yang dikenakan sebagai akibatnya dapat ditinjau kembali oleh penguasa atau badan peradilan yang lebih tinggi yang berwenang, independen dan tidak memihak sesuai undang-undang;(vi) Memperoleh bantuan cuma-cuma dan penerjemah bahasa jika anak tidak dapat memahami atau berbicara dalam bahasa yang digunakan;(vii) Dihormati sepenuhnya kehidupan pribadi anak dalam semua tingkat proses hukum.

3. Negara-negara Peserta akan berupaya untuk meningkatkan penetapan undang-undang, proses peradilan, pihak yang berwenang dan lembaga-lembaga yang

25 Ibid. pasal 40.

11 | P a g e

secara khusus berlaku untuk anak-anak yang diduga, dituduh, atau diakui tetah rnelanggar undangundang hukum pidana, dan khususnya:

(a) Penetapan usia minimum dimana anak-anak dengan usia dibawahnya akan dianggap tidak memiliki kemampuan untuk melanggar undang-undang hukum pidana;(b) Bilamana layak dan dikehendaki, langkah-langkah untuk menangani anak-anak seperti itu tanpa melalui proses hukum, asalkan hak-hak azasi manusia dan perlindungan hukum sepenuhnya dihormati,

4. Berbagai pengaturan, seperti perawatan, bimbingan dan peraturan pengawasan; konseling; masa percobaan; pengasuhan anak; program-program pendidikan dan pelatihan kejuruan dan atternatif-alternatif lain hingga lembaga pemeliharaan anak, akan disediakan guna menjamin bahwa anak-anak ditangani dengan cara yang layak bagi kehidupan mereka dan seimbang dengan keadaan mereka maupun pelanggaran yang dilakukan”

Dalam konvensi ini kita dapat menyimpulkan bahwa penanganan

terhadap seorang anak dalam Hukum Acara Pidana harus dijalankan

dengan mempertimbangkan kepentingan mereka. Hal ini sejalan

dengan 4 prinsip konvensi hak anak yang telah disebutkan di atas.

Agar prosesi hukum yang mereka jalankan tidak mencenderai

mental dan masa depan mereka.

B. Deklarasi Hak Anak

Deklarasi Hak Anak ini dibentuk untuk menjadi fondasi utama bagi

setiap peraturan perundang-undangan di setiap negara yang

mengatur perihal anak agar keseluruhan peraturan dibuat

berdasarkan 10 asas umum yang akan dijelaskan lebih lanjut. Pada

bagian mukadimah dijelaskan maksud dari adanya deklarasi ini yang

berbunyi bahwa, umat manusia berkewajiban memberikan yang

terbaik bagi anak-anak. Dengan maksud agar agar anak-anak dapat

menjalani masa kecil yang membahagiakan, berhak menikmati hak-

hak kebebasan baik kepentingan mereka sendiri maupun untuk

kepentingan masyarakat. Majelis umum PBB menghimbau para

orang tua wanita dan pria secara perorangan, organisasi, sukarela,

para penguasa setempat dan pemerintah pusat agar mengakui hak-

hak ini dan memperjuangkan pelaksanaan hak-hak tersebut secara

bertahap baik melalui undang-undang maupun peraturan lainnya

yang sesuai dengan asas-asas berikut 26;

26 Lihat deklarasi hak anak http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-4379-lampiran1_WAHYUDIN%202002-41-027.pdf

12 | P a g e

1. Anak-anak berhak menikmati seluruh hak yang tercantum di

dalam deklarasi ini. Semua anak tanpa pengecualian yang

bagaimanapun berhak atas hak-hak ini.

2. Anak-anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan

khusus, dan harus memperoleh kesempatan dan fasilitas yang

dijamin oleh hukum dan sarana lain sehingga secara jasmani,

mental, akhlak rohani sosial, mereka dapat berkembang dengan

sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermartabat.

3. Sejak dilahirkan, anak-anak harus memiliki nama dan

kebangsaan.

4. Anak-anak harus mendapat jaminan mereka harus tumbuh dan

berkembang dengan sehat.

5. Anak- anak yang tumbuh cacat dan mental atau berkondisi sosial

lemah akibat suatu keadaan tertentu harus memperoleh

pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus.

6. Agar supaya kepribadiannya tumbuh secara maksimal dan

harmonis, anak-anak memerlukan kasih sayang dan pengertian.

Sedapat mungkin mereka harus dibesarkan di bawah asuhan dan

tanggung jawab orang tua mereka sendiri.

7. Anak-anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cuma-

cuma sekurang-kurangnya di tingkat sekolah dasar. Mereka

harus mendapat pendidikan yang dapat meningkatkan

pengetahuan umumnya, dan yang memungkinkan mereka, atas

dasar kesempatan yang sama, untuk mengembangkan

kemampuannya, pendapat pribadinya, dan perasaan tanggung

jawab moral dan sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi

anggota masyarakat yang berguna. Anak-anak harus mempunyai

kesempatan yang leluasa untuk bermain dan berekreasi yang

harus diarahkan untuk tujuan pendidikan, masyarakat dan

penguasa berwenang harus berusaha meningkatkan pelaksanaan

hak ini.

8. Dalam keadaan apapun anak-anak harus didahulukan dalam

menerima perlindungan dan pertolongan.

13 | P a g e

9. Anak-anak harus dilindungi dari segala penyia-nyiaan,

kekejaman dan penindasan. Dalam bentuk apapun, mereka tidak

boleh menjadi “bahan perdagangan. Tidak dibenarkan

memperkerjakan anak-anak dibawah umur, dengan alasan

apapun, mereka tidak boleh dilibatkan dalam pekerjaan yang

dapat merugikan kesehatan atau pendidikan mereka, maupun

yang dapat mempengaruhi perkembangan tubuh, mental atau

akhlak mereka.

10. Anak-anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke

dalam bentuk diskriminasi lainnya.

C. Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-

Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak (United

Nations Standard Minimum Rules for the Administration of

Juvenile Justice)

Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa

Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak (United Nations

Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice)

ini lebih dikenal dengan sebutan Beijing Rules yang pada tanggal 29

November 1985 disahkan melalui resolusi Majelis PBB no. 40/33 di

Beijing Cina. Peraturan ini mengatur secara rinci mengenai standar

bagi administrasi peradilan anak. Resolusi ini tidak bersifat

mengikat dimana Indonesia dapat memilih akan memberlakukannya

atau tidak. Beberapa peraturan mengenai Administrasi Peradilan

Bagi Anak ini sebenarnya mencantumkan banyak hal yang bersifat

pokok dan perlu dimasukkan sebagai pertimbangan dalam membuat

peraturan mengenai pidana anak, peraturan yang mengatur

mengenai hak dasar anak yang berkonflik dengan hukum dapat kita

temukan dalam pasal 7 yang berbunyi demikian27;

1. Hak untuk diproses berdasarkan asas praduga tak bersalah

(presumption of innocent)

2. Hak diberitahu akan tuntutan-tuntutan terhadapnya

3. Hak untuk tetap diam

27 Erica Harper ,international law and standar applicable in natural disaster situation “perlindungan hak hak warga sipil dalam situasi bencana, grasindo ; jakarta 2009, hlm 28-30

14 | P a g e

4. Hak akan pengacara

5. Hak akan kehadiran orang tua dan wali

6. Hak untuk memanggil saksi-saksi

7. Hak untuk naik banding ke pihak berwenang yang lebih tinggi

8. Hak akan privasi

Tujuan dari adanya peradilan anak dapat kita lihat pada pasal 5 yang

berbunyi, 28

“Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan

anak dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap

pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan selalu sepadan

dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya

maupun pelanggaran hukumnya.”

Melihat kepada pasal tersebut kita dapat menarik tujuan dari

peradilan anak yaitu :

1. Memajukan kesejahteraan anak

2. Prinsip kesepadanan, dimana pertimbangan beratnya

pelanggaran hukum harus didasarkan juga pada pertimbangan

keadaan-keadaan pribadinya.

D. Peraturan-peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa Bagi

Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (United

Nations Rules for the Protection of Juveniles Deprevide of Their

Liberty)

Peraturan-peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa Bagi Perlindungan

Anak yang Kehilangan Kebebasannya berkaitan sangat erat dengan

Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa

Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak. Dalam peraturan ini

dibahas tentang bentuk penahanan atau hukuman penjara atau

penempatan seseorang pada suatu tempat penahanan yang dalam arti

lain merampas kebebasan dari terpidana anak. Peraturan mengenai

Administrasi Peradilan Bagi Anak dan Perlindungan Anak yang

Kehilangan Kebebasan ini sebenarnya menjunjung satu aturan yang

sama bahwa upaya pemidanaan anak yang merampas kemerdekaan 28 Lihat Beijing Rules pasal 5

15 | P a g e

sekiranya tidak dijatuhkan sebisa mungkin. Maka apabila hakim

tetap menjatuhkan hukum pidana yang bersifat ultimum remedium

itu, beberapa pasal yang harus di perhatikan sehubungan dengan

sanksi pidana, adalah 29;

1. Sistem peradilan bagi remaja harus menjujung tinggi hak-hak

dan keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan

mental remaja. Berbicara sistem peradilan, akan mencakup

keseluruhan komponen dan proses berjalannya hukum seperti

substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum. Ini berarti,

apabila PBB menghendaki kesejahteraan sebagai akhir dari

sitem peradilan, maka substansi hukum, struktur hukum dan

kultur hukum yang berkaitan dengan peradilan anak harus

mempunyai visi dan misi yang sama, yaitu mengus ahakan

kesejahteraan anak.

2. Penjara harus menjadi alternatif terakhir, karena membiarkan

seorang anak memasuki Lembaga Pemasyarakatan berarti

memberikan pendidikan negatif kepada anak, sebab apabila di

dalam LP penghuninya adalah mereka yang diidentifikasikan

sebagai yang jahat, maka anak tersebut akan mengimitasi

tingkah laku yang jahat. Sebab, perilaku kriminal dapat

dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses

komunikasi.

3. Peraturan bagi anak/remaja tidak boleh membedakan ras, warna

kulit, usia, bahasa, agama, kebangsaan, pandangan politik,

kepercayaannya, atau praktek-praktek budaya, kepemilikan,

kelahiran atau status keluarga, asal-usul etnis atau sosial, cacat

jasmani, agama serta konsep moral yang bersangkutan harus

dihormati.

4. Para remaja yang belum diadili, harus dianggap tidak bersalah.

Remaja yang masih dalam proses hukum, harus dipisahkan dari

29 Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak (Bandung: Mandar Maju, 2009), disadur dari hlm.57-63

16 | P a g e

remaja yang telah dijatuhi hukuman. Terhadap remaja yang

belum diadili dalam proses hukum, ia berhak:

a. Didampingi penasehat hukum dengan cuma-cuma.

b. Disediakan kesempatan bekerja dengan menerima upah.

c. Melanjutkan pendidikan.

d. Memiliki dan tetap menyimpan barang yang menjadi

hiburannya.

5. Data yang berkaitan dengan remaja bersifat rahasia. Data yang

harus dirahasiakan tentunya tidak hanya menyangkut

penyingkatan nama, akan tetapi mencakup segala aspek yang

berkaitan dengan kondisi sosial anak, seperti data pribadi

maupun data keluarga baik secara kauntitatif maupun kualitatif.

6. Anak/remaja yang ditahan berhak untuk memperoleh:

a. Pendidikan;

b. Latihan keterampilan dan latihan kerja;

c. Rekreasi;

d. Memeluk agama;

e. Mendapat perawatan kesehatan;

f. Pemberitahuan tentang kesehatan;

g. Berhubungan dengan masyarakat luas.

E. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak

Undang-Undang ini mungkin merupakan produk nasional paling tua

yang mengatur mengenai Hak Anak. Salah satu hak anak ialah

untuk mendapatkan kesejahteraan. Kesejahteraan anak adalah suatu

tata kehidupan yang dapat menjamin pertumbuhan dna

perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani,

maupun sosial. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 4 tahun

1979 tentang Kesejahteraan Anak. Pada Undang-Undang ini dimulai

dari pasal 2 hingga pasal 8 mengatur mengenai hak-hak anak atas

kesejahteraan sebagai berikut :

1. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan

2. Hak atas pelayanan

3. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan

17 | P a g e

4. Hak atas perlindungan lingkungan hidup

5. Hak mendapat pertolongan pertama

6. Hak memperoleh asuhan

7. Hak memperoleh bantuan

8. Hak diberi pelayanan dan asuhan

9. Hak memperoleh pelayanan khusus

10. Hak mendapat bantuan dan pelayanan

F. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Tujuan dari adanya undang-undang nomor 12 tahun 1995 tentang

pemasyarakatan dalam dunia hukum pidana ialah untuk menjadi

panduan pokok sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir dari

sistem pemidanaan. Dalam konsiderans Undang-undang ini

dinyatakan bahwa sistem pemasyarakatan yang harus ditegakkan

bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari

kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak

pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan

masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat

hidups secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung

jawab. Undang-undang ini berlaku untuk seluruh subjek hukum

yang berarti tidak mengecualikan pelaku tindak pidana anak.

Undang-undang ini membagi pelaku tindak pidana anak menjadi 3

kategori, dan tiap bagiannya melekat Hak Anak yang tidak

terpisahkan.30

1. Anak Pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan

menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama

sampai berumur 18 tahun. Adapun hak-hak bagi anak pidana

adalah ;

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan

kepercayaannya.

b. Mendapat perawan, baik rohani maupun jasmani

c. Mendapat pendidikan dan pengajaran

d. Mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak30 Lihat undang-undang pemasyarakatan

18 | P a g e

e. Menyampaikan keluhan

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media

massa lainnya yang tidak dilarang

g. Mendapat kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang

tertentu lainnya

h. Mendapatkan pengurangan masa pidana

i. Mengadapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti

mengunjungi keluarga

j. Mendapatkan pembebasan bersyarat

k. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku

2. Anak Negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan

diserahkan kepada Negara untuk dididik dan ditempatkan di

Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18

tahun. Anak Negara memiliki semua hak sebagaimana naak

pidana kecuali hak untuk mendapatkan pengurangan masa

pidana

3. Anak Sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau

walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di

Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18

tahun.

Pada undang-undang ini sangat ditekankan hak anak ketika kita

berbicara tentang anak yang berada di dalam Lembaga

Pemasyarakatan. Undang-Undang pemasyarakatan menjadi sangat

penting ketika kita menyangkutpautkannya dengan Konvensi Hak

Anak dan Peraturan-Peraturan Mininum Standar PBB mengenai

Administrasi Peradilan Anak karena perampasan kemerdekaan

bukan suatu opsi atau pilihan yang baik dalam memberikan

hukuman pidana bagi anak maka apabila tidak dapat dielakkan

seluruh Hak Anak harus dijunjung tinggi demi kepentingan masa

depan mereka.

G. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia

19 | P a g e

Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

menyebutkan beberapa hak bagi anak ketika berhadapan dengan

hukum yang diatur dalam pasal 66, yaitu 31;

“(1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukumanyang tidak manusiawi.(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masihanak.(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.(4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yangberlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir .(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dandengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkandari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.(6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnyasecara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.”

Ketika kita mencoba untuk membandingkan Undang-undang ini

dengan Konvensi Hak anak, kita bisa melihat bahwa undang-undang

ini meski tidak begitu luas tetap memasukan pengaturan perihal anak

sesuai dengan tujuan dari Konvensi Hak Anak itu sendiri.

H. Undang-Undang Nomor. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak

Sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Internasional pada

tanggal 25 Agustus 1990 dengan Keputusan Presiden Nomor 36

Tahun 1990, maka Indonesia berkonsekuensi untuk

mengimplementasikan Hak-Hak Anak ke dalam Hukum Nasional

Indonesia. Salah satunya adalah Undang-Undang no. 23 tahun 2002,

yang telah diundangkan pada tanggal 22 Oktober 2002 Lembaran

Negara Nomor 109 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perlindungan Anak yang dimaksud adalah segala kegiatan yang

31 Lihat Undang-Undang no. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 66

20 | P a g e

menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya, agar dapat tumbuh,

berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat

dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi. Asas perlindungan anak disini sesuai

dengan prinsip pokok yang dapat kita temukan dalam Konvensi Hak

Anak. Penyelenggaran Perlindungan Anak ini berasaskan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945, serta prinsip dasar Konvensi Hak

Anak. Demikian prinsip-prinsip yang ada di dalam peraturan ini

namun tidak dapat kita temukan dalam peraturan perundangan

lainnya 32;

1. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan

berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam

bimbingan orang tua

2. Hak istirahat dan memanfaatkan waktu luang

3. Hak memperoleh kebebasan

4. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara sesuai

dengan hak yang berlaku

5. Hak bagi anak yang dirampas kemerdekaannya

a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya ; dan

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan

pengadilan

I. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak merupakan undang-undang yang menggantikan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan

kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif

memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan

hukum. Pengaturan hak anak menurut Undang-Undang sangat

sejalan yang kurang lebih dapat kita jumpai juga dalam Konvensi

Hak Anak. Hak anak yang disebutkan dalam Undang-Undang ini 32 Lihat UU PA

21 | P a g e

lebih menekankan kepada hak setiap anak dalam proses peradilan

pidana yang dapat kita temukan pada pasal 333;

a) Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;

b) Dipisahkan dari orang dewasa;c) Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;d) Melakukan kegiatan rekreasional;e) Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang

kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

f) Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;g) Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya

terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;h) Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif,

tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;i) Tidak dipublikasikan identitasnya;j) Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang

dipercaya oleh Anak;k) Memperoleh advokasi sosial;l) Memperoleh kehidupan pribadi;m) Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;n) Memperoleh pendidikan;o) Memperoleh pelayananan kesehatan; danp) memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undanganJuga mengenai hak anak yang sedang menjalani masa pidana yang tertulis pada pasal 4 34;“Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak:a. mendapat pengurangan masa pidana;b. memperoleh asimilasi;c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga;d. memperoleh pembebasan bersyarat;e. memperoleh cuti menjelang bebas;f. memperoleh cuti bersyarat; dang. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

Ketika kita mempelajari setiap hak yang disebutkan dalam pasal 3 dan

pasal 4, sesungguhnya beberapa ketentuan yang sama juga telah diterapkan

pada perundang-undangan yang sebelumnya penulis telah jabarkan yaitu

Undang-Undang Nomor. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-33 Lihat Undang-Undang no. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak34 Ibid. pasal 4

22 | P a g e

Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang

Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 4

tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Maka disini kita bisa menyimpulkan

bahwa Undang-Undang ini dirumuskan sejalan dengan Hak Anak.

2.1.2.3. Perlindungan Anak

Di Indonesia perhatian dalam bidang perlindungan anak dan remaja

menjadi salah satu tujuan pembangunan, hal ini dapat diketahui

dalam Garis-garis Besar Haluan negara Bab II/B. Disadari bahwa

dalam proses pembangunan, akibat tidak adanya perlindungan anak,

akan menimbulkan berbagai masalah sosial yang dapat mengganggu

jalannya pembangunan itu sendiri dan mengganggu ketertiban dan

keamanan.

Ruang lingkup kajian mengenai perlindungan anak, secara garis

besar dapat dibedakan dalam dua pengertian pokok yaitu bersifat :

a. Yuridis (baik dalam ruang lingkup hukum public maupun hukum

perdata

b. Non Yuridis (bidang sosial, kesehatan, dan pendidikan)

Dalam ruang lingkup yuridis objek kajiannya adalah berbagai

ketentuan hukum dan norma-norma yang berlaku di masyarakat

yang mengenai anak dan remaja dalam mempergunakan hak-haknya

yang Universal.

Hak-hak anak secara Universal diakui dalam Deklarasi Hak-Hak

Anak (Declaration of the Rights of the Child) tanggal 20 November

1959, pengakuan hak-hak anak yang bersifat Universal ini di

Indonesia tercantum dalam pasal 2 Undang-undang no. 4 tahun 1979

tentang kesejahteraan anak. 35

Jadi perlindungan anak yang bersifat yuridis, menyangkut semua

aturan hukum yang mempunyai dampak langsung bagi kehidupan

seorang anak, dalam arti semua aturan hukum yang mengatur

kehidupan anak.

35 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : Bumi Aksara, 1990, hal. 11

23 | P a g e

Di dalam seminar Perlindungan Anak/Remaja yang diadakan oleh

Pra Yuwana pada tahun 1977, terdapat dua perumusan tentang

Perlindungan Anak, yaitu ;

1. Segala upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun

lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan

pengamanan, penguasaan, dan pemenuhan kesejahteraan fisik, mental

dan sosial anak yang sesuai dengan kepentingan dari hak asasinya.

2. Segala daya upaya bersama yang dilakukan dengan sadar oleh

perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan

swasta untuk pengamanan, pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan

rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum

pernah nikah, sesuai dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat

mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.36

2.2. Anak dalam Pandangan Hukum Pidana ; Pengertian dan batasan usia Anak

yang berhadapan dengan hukum

Seorang anak yang terlibat dalam kasus hukum, dimana dalam kasus tersebut anak

merupakan pelaku tindak pidana, disebut oleh Undang-Undang no. 3 tahun 1997

tentang Pengadilan Anak sebagai anak nakal. Kenakalan remaja ini disebut Juvenile

Delinquent di Amerika, yang di Lembaga Peradilan Amerika dirumuskan

pengertiannya sebagai berikut :

“Juvenile delinquency is most jurisdiction is technically speaking a child or young

person (in most states under 16,17,18 ; in two states under 21) who has committed an

offense for which he may referred to juvenile court authorities.”

Berdasarkan perumusan ini kita dalam menggarisbawahi ;

(a) bahwa anak minimal umur 16 tahun dan maksimal umur 21 tahun,

(b) dimana perbuatannya berada dibawah yurisdiksi pengadilan anak.

Kedua faktor inilah yang menentukan status seseorang menjadi juvenile delinquent

(juvenile = young person, delinquent = doing wrong)37

36 Ibid 13-1437 B. Simandjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Bandung, 1981, hal. 287

24 | P a g e

Dapat dikatakan bahwa Juvenile Delinquency adalah suatu tindakan atas perbuatan

pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh

anak-anak. Hal tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak dari pada

kejahatan anak, karena terlalu ekstrim jika seorang anak yang melakukan tindak

pidana disebut sebagai penjahat, sementara yang dilakukan oleh anak-anak

merupakan proses alami dari kegoncangan semasa menjelang kedewasaan.38

Anak yang melakukan tindakan penyimpangan disebut sebagai anak nakal

berdasarkan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak, kriteria yang dimaksud dengan anak nakal adalah 39:

a. Anak yang melakukan tindak pidana ;

Walaupun Undang-Undang Pengadilan Anak tidak merumuskan lebih jelas

tentang tindak pidana yang dapat dilanggar bagi anak, karena dalam penjelasan

pasalpun dirumuskan “cukup jelas”, akan tetapi dapat dipahami bahwa tindak

pidana yang dimaksud tidak hanya tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP,

tetapi juga tindak pidana di luar KUHP semisal : Undang-undang tentang

Narkotika, Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Hak Cipta, dan

sebagainya. 40

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak

Perbuatan terlarang yang dimaksud bagi anak nakal adalah baik menurut peraturan

perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan

berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini peraturan tersebut

baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis seperti hukum adat atau aturan

kesopanan dan kepantasan dalam masyarakat.41

Terdapat berbagai macam pengertian mengenai anak nakal. Anak nakal juga dapat

diartikan sebagai anak yang melakukan kenakalan, yang berbeda dari orang dewasa

sehingga perlakuan terhadapnya juga haruslah dibedakan42. Namun perumusan yang

kita temukan pada Undang-Undang no. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak

tidak lagi menyebut anak yang berkonflik dengan hukum sebagai anak nakal 38 Bimo Walgito, Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency), Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1982, hlm. 639 Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 1 ayat 240 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 7741 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 7842 Bortner, M.A., Deliquency and Justice ; An Age Of Crisis, McGraw-Hill Book Company, Page 4

25 | P a g e

melainkan sebatas kepada anak. Hal ini dilakukan dengan upaya agar anak tidak

mendapatkan stigma apapun ketika mereka.

Sebagai konsekuensi dari negara yang bercirikan Civil Law, segala bidang kehidupan

masyarakat diatur di atas peraturan perundang-undangan, yang memunculkan dilema

pluralisme karena ketika kita membicarakan batasan umur pada anak, berbagai

peraturan yang mengatur memiliki definisi yang berbeda-beda. Secara jelas dapat kita

lihat perbedaannya lewat tabel berikut.

Tabel Perbedaan Definisi Anak43

No. Peraturan/Undang-Undang Batasan Umur Anak

1. Convention on The Rights of

the Child

Setiap orang dibawah usia 18 tahun kecuali

berdasarkan hukum yang berlaku terhadap

anak kedewasaan telah diperoleh

sebelumnya

2. Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana

Belum berusia 16 tahun dan belum pernah

menikah

3. Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata

Belum mencapai 21 tahun dan belum

menikah

4. Undang-Undang No.1 Tahun

1974 tentang Perkawinan

Berusia 16 tahun bagi perempuan dan 19

tahun bagi pria

5. Undang-Undang no. 4 Tahun

1979 tentang Kesejahteraan

Anak

Belum mencapai 21 tahun dan belum

menikah

6. Undang-Undang no. 3 tahun

1997 tentang Pengadilan Anak

Anak nakal adalah anak yang telah

mencapai 8 tahun tetapi belum mencapai

umur 18 tahun dan belum pernah menikah

7. Undang-Undang No. 39 tahun

1999 tentang Hak Asasi

Manusia

Di bawah 18 tahun dan belum pernah

menikah, termasuk anak yang masih dalam

kandungan apabial hal tersebut adalah

43 DS. Dewi, Fatahillah A., “Mediasi Penal ; Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia”, Indie Pro Publishing : Jakarta, 2011, hlm. 8

26 | P a g e

demi kepentingannya

8. Undang-Undang no. 23 tahun

2002 tentang Perlindungan

Anak

Belum berusia 18 tahun

9. Putusan MK No. 1/PUU-

VIII/2010 Tahun 2010

Minimal usia anak yang dapat dituntut pertanggung jawban pidana menjadi 12 tahun

10. Undang-Undang No. 11 tahun

2012 tentang Sistem Peradilan

Anak

Batasan usia pertanggung jawaban pidana yaitu 12 tahun sampai 18 tahun

11. Rancangan Undang-Undang

Kitab Hukum Pidana

Batasan usia pertanggung jawaban pidana

yaitu 12 tahun sampai 18 tahun

Rumusan Undang-Undang KUHP yang baru sudah memberikan batasan bahwa

anak yang dapat dipidana memiliki jangkauan umur dari minimal 12 tahun hingga

18 tahun yang pengaturannya serupa dengan Undang-Undang no. 11 tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Anak. Bahkan secara tegas dinyatakan dalam RUU

KUHP bahwa anak yang belum mencapai usia 12 tahun tidak dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana atas segala perbuatannya. Namun selama

Undang-Undang KUHP yang baru masih merupakan rancangan, maka ketika anak

dijumpai berada dalam suatu perkara pidana sebagai pelaku tindak pidana, acuan

yang akan digunakan adalah batasan umur yang terdapat pada Undang-Undang

tentang Sistem Peradilan Anak.

1.3. Sistem Pemidanaan Bagi Pelaku Tindak Pidana Anak

1.3.1. Tinjauan umum mengenai Sanksi Pidana

Dibandingkan dengan Hukum Perdata maupun Hukum Administrasi

Negara, sanksi pidana memiliki karakteristik yang khas. Kekhasan tersebut

dapat dilihat dari sifat sanksi yang mengancam kepentingan hukum yang

dilindungi. Sanksi pidana dapat merampas nyawa manusia, kebebasan maupun

harta benda yang dimiliki oleh subjek hukum. Sementara sanksi keperdataan

biasanya berupa ganti kerugian, biaya dan bunga, begitu juga dengan sanksi

administrasi berupa pencabutan izin maupun denda.

27 | P a g e

Sifat keras dan kejam sanksi pidana menimbulkan kontradiksi dan paradoksal

artinya (hukum) pidana itu tidak disukai atau dibenci oleh karena itu

diusahakan untuk dihindarkan atau tidak dipergunakan akan tetapi di sisi lain,

justru butuh untuk digunakan. Fenomena ini terlihat dari banyaknya ketentuan

undang-undang yang berisi “Ketentuan Pidana”. Sifat kontradiktif dan

paradoksal terus berjalan selama pembentuk undang-undang meyakini bahwa

untuk menegakkan hukum perlu ditetapkan sanksi sebagai penjamin agar

ketentuan yang dibuat efektif. Ironisnya, sanksi yang dipilih selalu jatuh pada

sanksi pidana, dan lebih memprihatinkan lagi, pilihan tersebut berujung

kepada penetapan sanksi pidana berupa perampasan kemerdekaan berupa

penjara atau kurungan di samping pidana denda.

Penggunaan Hukum Pidana tidak dapat dipisahkan dengan tujuan

pembangunan nasional guna mewujudkan kesejahteraan. Dengan demikian,

sanksi pidana jika hendak diterapkan harus memperhatikan tujuan lain yang

ingin diwujudkan melalui sanksi itu. Perampasan kemerdekaan bukan

dimaksudkan agar pelaku dimasukkan dalam lembaga pemasyarakatan akan

tetapi seberapa jauhkan pidana itu tidak menyimpang dari tujuan

pembangunan nasional berdasarkan nilai-nilai Pancasila terutama aspek

Kemanusiaan.

Jika pembangunan nasional diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan, maka

fungsi Hukum Pidana sebagia salah satu subsistem pengendalian sosial harus

diselaraskan pula dengan tujuan pembangunan nasional tersebut. Oleh karena

itu, sifat yang ditimbulkan oleh sanksi pidana harus diminimalisasi ke tingkat

yang serendah-rendahnya.

Penjatuhan sanksi pidana hanya ditujukan dalam hal tidak ada upaya lain yang

lebih layak di samping tingkat kerugian yang dialami oleh masyarakt begitu

besar dan tidak dapat dipulihkan kembali. Dengan sadar Nigel Walker

mengemukakan prinsip pembatas dalam upaya meminimalisasi penggunaan

sanksi pidana, yakni :44

a. Jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan

44 Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebiakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung : Penerbit Citra Aditya Bhakti. 1998. Hlm. 48

28 | P a g e

b. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak

merugikan/membahayakan.

c. Jangan menggunakan hukum pidana untuk suatu tujuan yang dapat dicapai

secara lebih efektif dengan sarana-saranan lain yang lebih ringan.

d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul

dari pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak

pidana itu sendiri

e. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat yang lebih

berbahaya dari perbuatan yang akan dicegah

f. Hukum pidana jangan membuat larangan-larangan yang tidak mendapat

dukungan yang kuat dari publik.

Selain prinsip ultimum remedium perlu diperhatikan juga prinsip subsidiaritas

yakni dalam menentukan sanksi pidana yang dijatuhkan, dipilih sanksi yang

lebih ringan. Di kedepankannya kedua prinsip ini sejalan dengan

perkembangan dunia internasional, sanksi perampasan kemerdekaan

merupakan jenis sanksi yang kurang disukai. Kecenderungan Internasional

justru berusaha untuk menghindarkan pidana perampasan kemerdekaan,

apalagi yang sifatnya pendek.45

1.3.2. Perbandingan Sanksi Pidana Anak dalam KUHP dan Undang-

Undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh

anak-anak memang harus ada, mengingat latar belakang dari anak itu

sendiri yang memang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa.

Betapa pentingnya arti seorang anak bagi perkembangan suatu bangsa

sehingga diperlukan suatu peraturan pidana khusus untuk anak

digambarkan dengan baik oleh Javier Perez de Cuellar, Mantan

Sekretaris Jenderal PBB, yang mengatakan 46:

“Cara suatu masyarakat memperlakukan anak, tidak hanya mencerminkan kualitas rasa iba, hasrat, untuk melindungi dan memperhatikan anak, namun juga mencerminkan kepekaannya akan

45 Disaring dari Ali Zaidan, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 10-2446 Paulus Hadisuprapto, Hak-Hak Asasi Anak dan Implementasinya (Tinjauan Yuridis Sosiologis), Makalah, Pertemuan Ilmiah tentang “Kejahatan yang Dilakukan oleh Pelaku Usia Muda, Dewasa dan Penangglangannya”, BPHN, Jakarta, 1994, hal. 1

29 | P a g e

rasa keadilan, komitmennya pada masa depan dan peranan penting anak sebagai generasi penerus bangsanya.”

Pada penjelasan Undang-Undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang

Pengadilan anak, pada paragraf 3 bagian umum menyatakan bahwa

dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah

laku anak nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala

ciri dan sifatnya yang khas. Karena itu pula Undang-Undang

Pengadilan Anak telah mengatur secara spesifik terkait dengan sanksi

yang dapat diberikan terhadap anak yang melakukan kenakalan.

Sehubungan dengan sanksi yang dapat diberikan terhadap anak nakal,

UU Pengadilan Anak telah mengaturnya. Secara garis besar, sanksi

yang dapat dijatuhkan bagi anak yang telah melakukan kenakalan,

terdiri dari dua yaitu : Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan (pasal 22)

Perumusan kedua jenis sanksi ini menunjukan bahwa Undang-Undang

no. 3 / 1997 tentang Pengadilan Anak telah menganut apa yang disebut

dengan Double Track System. Dengan kata lain, Undang-Undang ini

telah secara eksplisit mengatur tentang jenis sanksi Pidana dan Sanksi

Tindakan sekaligus.

Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, tindakan yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal

adalah ;

a. Dikembalikan kepada orang tua, wali ataupun orang tua asuh.

Anak Nakal dijatuhi tindakan dikembalikan kepada orang tua, wali

ataupun orang tua asuh apabila menurut penilaian hakim si anak

masih dapat dibina di lingkungan orang tuanya, wali, orang tua

asuhnya. Namun demikian si anak tersebut tetap dibawah

pengawasan dan bimbingan pembimbing kemasyarakatan.

Pengawasan dan bimbingan tersebut dapat berupa pengawasan dan

bimbingan kepada anak yang bersangkutan untuk mengikuti

kegiatan kepramukaan

b. Diserahkan kepada negara

Dalam hal hakim menilai bahwa pembinaan dan pendidikan

terhadap anak nakal tidak dapat lagi dilakukan di lingkungan

30 | P a g e

keluarga, maka anak tersebut diserahkan kepada negara dan disebut

sebagai Anak Negara. Untuk itu si anak ditempatkan di Lembaga

Pemasyarakatan Anak dan wajib mengikuti pendidikan,

pembinaan, dan latihan kerja. Tujuannya adalah untuk memberi

bekal keterampilan kepada anak dengan memberikan keterampilan

mengenai pertukangan, pertanian, perbengkelan, tata rias, dan

sebagainya. Setelah selesai menjalani tindakan tersebut diharapkan

agar anak dapat hidup mandiri.

c. Diserahkan kepada departemen sosial atau organisasi sosial

kemasyarakatan

Tindakan lain yang dapat dijatuhkan hakim kepada anak nakal

adalah menyerahkannya kepada departemen sosial atau organisasi

sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan,

pembinaan, dan latihan kerja untuk dididik dan dibina. Walaupun

pada prinsipnya keseluruhan aktivitas tersebut diselenggarakan

oleh Pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan Anak atau oleh

departemen sosial akan tetapi dalam hal kepentingan anak

menghendaki maka hakim dapat menetapkan anak tersebut

diserahkan kepada organisasi sosial kemasyarakatan, seperti

pesantren, panti sosial, dan lembaga sosial lainnya. Apabila anak

diserahkan kepada organisasi kemasyarakatan, maka harus

diperhatikan agama dari anak yang bersangkutan.

Dalam pembangunan hukum pidana positif Indonesia, memang telah

diakui keberadaan sanksi tindakan selain sanksi pidana, walaupun

dalam KUHP menganut Single Track System yang hanya mengatur

tentang satu jenis saja yaitu sanksi pidana (pasal 10 KUHP).

Pengancaman Sanksi Tindakan dalam UU 3/1997 menunjukkan bahwa

ada saranan lain selain pidana (penal) sebagai sarana dalam

penanggulangan kejahatan.

Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga

bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi

penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia

merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan kepada pengenaan

31 | P a g e

penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk

pernyataan pencelaan terhadap perbautan si pelaku. Dengan demikian,

perbedaan prinsip antara sanksi pidana dan sanksi tindakan terletak

pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan ada tidaknya unsur

penderitaan. Sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. 47

Lebih lanjut, terkait dengan sanksi bagi anak nakal yang berupa sanksi

pidana, dapat kita lihat pada Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No.3

tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu 48:

A. Pidana pokok

1) Pidana penjara

2) Pidana kurungan

3) Pidana denda

4) Pidana pengawasan

B. Pidana Tambahan

1) Perampasan barang-barang tertentu

2) Pembayaran ganti rugi

Apabila kita bandingkan dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, terlihat

jelas perbedaan pengaturan sanksi yang dikhususkan bagi seorang

anak, dalam KUHP jenis-jenis sanksi pokok berupa ;

1. Pidana mati

2. Pidana penjara

3. Pidana kurungan

4. Pidana denda

5. Pidana tutupan

Beberapa jenis sanksi seperti pidana penjara, pidana kurungan, pidana

denda sama-sama dapat kita temukan dalam dua perundang-undangan

tersebut, namun penerapan setiap sanksinya tidak dapat di persamakan.

Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal sesuai

pasal 26 (1) undang-undang tersebut adalah paling lama setengah dari

maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Lewat

rumusan di atas, maka ketentuan yang ada dalam KUHP tentang 47 Nashriana 81-8248 Lihat Undang-Undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

32 | P a g e

ancaman pidana bagi anak harus dibaca setengah dari ancaman

hukuman bagi orang dewasa.

Lamanya pidana kurungan bagi anak nakal pada intinya sama dengan

lamanya pidana penjara bagi anak nakal, yaitu setengah dari

maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Demikian

juga halnya dengan pidana denda. Pidana denda yang dapat dijatuhkan

kepada anak nakal adalah setengah dari maksimum ancaman pidana

denda bagi orang dewasa.

Kembali membandingkan kedua rumusan sanksi di atas, kita dapat

menemukan tidak adanya sanksi pidana mati bagi pelaku tindak

pidana anak. Hal tersebut disebabkan karena undang-undang

pengadilan anak tidak menghendaki apabila anak yang telah

melakukan kenakalan diancam dan dijatuhi pidana pokok berupa

pidana mati. Sebagaimana diketahui bahwa pemidanaan anak nakal

dilatarbelakangi oleh filosofi semata-mata demi kepentingan anak.

Artinya terhadap anak yang notabene sebagai generasi penerus bangsa

tidak diinginkan untuk dijatuhi pidana mati, karena anak sangat

memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin

pertumbuhan yang menunjang perkembangan fisik, mental, dan

sosialnya. Karena itu apabila diancam pidana mati, maka upaya

pembinaan dan perlindungan tidak dapat diberikan sementara usia

yang akan dijalani oleh seorang anak masih sangat panjang demikian

pula sama halnya dengan ancaman pidana seumur hidup, yang

bermakna bahwa pelaksana pidana akan dilalui sepanjang hidup si

anak di lembaga pemasyarakat. Hukuman tersebut tidak sesuai

dengan tujuan dan jiwa dari dibentuknya UU Pengadilan anak. Selain

itu Undang-Undang ini menegaskan bahwa terhadap anak nakal yang

telah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau

pidana seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan

kepada anak paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Dari keempat pidana pokok yang diperuntukkan bagi anak nakal,

pidana pengawasan adalah jenis pidana yang baru yang tidak dapat

ditemukan dalam sanksi pokok KUHP. Pidana pengawasan adalah

33 | P a g e

pidana yang khusus dikenakan untuk anak yakni pengawasan yang

dilkukan oleh Jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-

hari di rumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan yang

dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.49 Pidana pengawasan

dapat dijatuhkan paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 bulan.

Namun secara factual pidana pengawasan ini belum dapat berlaku

sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan belum adanya Peraturan

Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana dari pidana pengawasan

tersebut.

1.3.3. Perbandingan Sanksi Pidana Anak dalam RUU KUHP dan

Undang-Undang no. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak

Pada tanggal 30 Juli 2012, Undang-Undang no. 3 tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak telah sah digantikan oleh Undang-Undang no. 11

tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pergantian

Undang-Undang ini digantikan karena Undang-Undang no. 3 tahun

1997 dirasa sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan

kebutuhan hukum masyarakat dan karena belum secara komprehensif

memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan

hukum.

Pasal 71 Undang-Undang no. 11 tahun 2012 menguraikan sanksi

pidana yang dapat dijatuhkan pada pelaku tindak pidana anak, yaitu ;

1. Pidana pokok bagi anak terdiri atas ;

a. Pidana peringatan

b. Pidana dengan syarat

1) Pembinaan di luar lembaga ;

2) Pelayanan Masyarakat; atau

3) Pengawasan

c. Pelatihan kerja

d. Pembinaan dalam lembaga

e. Penjara

2. Pidana tambahan terdiri atas :49 Pasal 30 uu no. 3 tahun 1997 tentang PA

34 | P a g e

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana ;

atau

b. Pemenuhan kewajiban adat

3. Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa

penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja

4. Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat

dan martabat Anak.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan

pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

diatur dengan peraturan Pemerintah.

Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia lewat RUU KUHP yang

disusun oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, tampak memberikan

progres yang berarti tentang pengaturan mengenai jenis pidana dan

tindakan terhadap anak. Pengaturan mengenai sanksi pokok terhadap

pelaku tindak pidana anak dapat kita temukan pada pasal 116 yang

terdiri atas ;

1. Pidana Pokok terdiri atas ;

a. Pidana Verbal

1. Pidana peringatan, atau

2. Pidana teguran keras ;

b. Pidana dengan syarat :

1. Pidana pembinaan di luar lembaga

2. Pidana kerja sosial ; atau

3. Pidana pengawasan ;

c. Pidana denda ; atau

d. Pidana pembatasan kebebasan :

1. Pidana pembinaan di dalam lembaga ;

2. Pidana penjara ; atau

3. Pidana tutupan

2. Pidana tambahan terdiri atas ;

a. Perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan ;

b. Pembayaran ganti kerugian ; atau

35 | P a g e

c. Pemenuhan kewajiban adat

Terlihat jelas bagaimana sanksi pidana anak dalam rancangan Undang-Undang

KUHP lebih terperinci dan jelas apabila dibandingkan dengan UU SPPA.

Dalam RUU KUHP pidana verbal mencakup pidana peringatan yang juga

diatur dalam UU SPPA, dengan tambahan pidana teguran keras. Dijelaskan

dalam RUU KUHP bahwa pidana verbal merupakan pidana ringan yang tidak

mengakibatkan pembatasan kebebasan kepada anak. Pidana peringatan sendiri

adalah pemberian nasihat kepada anak agar menjauhi perbuatan yang negatif.

Yang dimaksud dengan pidana teguran keras tidak hanya sebatas memberikan

nasihat melainkan anak diberi peringatan keras.50

Kedua peraturan masih mempertahankan pidana dengan syarat setelah pidana

verbal. Perbedaannya tampak dalam sanksi baru yang dinamakan Pidana Kerja

Sosial menggantikan pelayanan masyarakat dalam UU SPPA. Namun dalam

UU SPPA sendiri sebenarnya sudah ada Pidana Kerja Sosial namun dengan

nama yang berbeda yaitu pelayanan kerja. Dalam hal pidana dengan syarat,

hakim tidak menjatuhkan pidana penjara, tetapi berupa pidana pembinaan di

luar lembaga, pidana kerja sosial, atau pidana pengawasan. Pidana pembinaan

di luar lembaga dimaksudkan untuk memberikan pembinaan kepada anak, baik

dalam rangka penyembuhan karena tidak atau kurang mampu bertanggung

jawab pidana disebabkan sakit jiwa atau retardasi mental ataupun berupa

pembinaan lainnya bagi anak yang sehat jiwanya untuk memperoleh

keterampilan yang berguna bagi kehidupannya. 51

Pidana pengawasan dan pidana kerja sosial merupakan pidana baru yang

dikembangkan sebagai alternative dari pidana perampasan kemerdekaan

jangka pendek (short prison sentence) yang akan dijatuhkan oleh hakim.

Pidana pengawasan (probation) merupakan fase pertama dimana pelaku tindak

pidana hanya ditetapkan bersalah dan ditetapkan suatu masa percobaan.

Sedangkan fase kedua, sanksi pidana penjara baru dijalani apabila terpidana

melakukan tindak pidana pada masa fase pertama. Pidana kerja sosial sendiri

merupakan pidana dimana terpidana harus melakukan pekerjaan sosial yang

ditentukan tanpa bayaran.

50 KUHP pasal 117. 51 Pasal 118 ruu kuhp

36 | P a g e

Hal yang membedakan terakhir dari kedua pengaturan di atas, diaturnya

pidana denda dan pidana tutupan dalam rangkaian sanksi pidana anak dalam

RUU KUHP yang tidak ada dalam UU SPPA.

1.4. Permasalahan Pada Pidana Penjara Anak dan Urgensi Pembaharuan

Hukum Pidana

Menurut PAF Lamintang,52 pidana perampasan kemerdekaan atau penjara telah

dikenal sejak abad keenam belas atau ketujuh belas, pada waktu itu hukuman

dilakukan dengan menutup para terpidana di menara-menara, di puri-puri atau di

benteng-benteng. Pidana ini semula dijatuhkan kepada mereka dalam bentuk

hukuman mati, akan tetapi kemudian justru bergeser pula dijatuhkan kepada

mereka berupa pidana perampasan kemderkaan baik untuk sementara maupun

untuk seumur hidup.

Untuk mengetahui lebih dalam tentang Pidana Perampasan Kemerdekaan perlu

dilakukan penelusuran tentang perjalanan sejarah sanksi pidana perampasan

kemerdekaan khususnya pidana penjara.53

Dimulai dari sistem Pensyvalnia ketika terpidana menjalani hukuman di kamar

sempit seorang diri, dengan tujuan agar antara sesame terhukum tidak

terkontaminasi. Setelahnya dikenal Sistem Auburn dimana para pekerja

dibolehkan untuk melakukan kerajinan pada siang hari.

Masa reformasi sistem pidan penjara dijalani pelaku dalam tiga tingkatan yakni

pertama, probation di mana terhukum diasingkan dalam sebuah sel tersendiri yang

lamanya tergantung dari perubahan perilaku terhukum, akan tetapi maksimum

lamanya satu tahunn. Tingkatan kedua, terpidana ditempatkan bersama-sama

dengan terpidana lain untuk melakukan pekerjaan tertentu, yang dibagi-bagi

dalam beberapa kelas. Tingkat ketiga, terpidana sudah diberi hak untuk

dibebaskan dengan perjanjian bahwa selama waktu tersebut masih berada di

bawah pengawasan.

Pemerintah Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945 belum banyak

memperoleh kesempatan memperbaiki keadaan untuk pembaharuan pelaksaan

pidana penjara,54 selain perubahan terhadap struktur organisasi kepenjaraan dalam

rangka perubahan pemerintahan terhadap struktur organisasi kepenjaraan dalam 52 PAF Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Penerbit Armico, Bandung, 1984, hlm. 5653 Disarikan dair buku Utrecht, Rangkaian sari kuliah hukum pidana II, Penerbitan Universitas Cetakan ke 3, 1965, hlm. 277. Juka buku dwija priyatno, sistem pelaksanan Pidana penjara di Indonesia, PENERBIT Rineka, Cipta 2006, hlm. 20

37 | P a g e

rangka perubahan pemerintah adna keududkan organisasi negara Republik

Indonesia yang merdeka.

Dlaam salah satu laporan PBB disebutkan bahwa efektivitas pidana penjara

mejadi isu actual yang dipandang dari sudut efeknya terutama dari sudut

kepentingan terpidana sendiri untuk kembali kepada masyarakat dan menjadi

warga yang patuh pada hukum.55 Dinyatakan bahwa eksistensi pidana penjara

tidak dapat diabaikan, hanya saja sebagai suatu masalah kebijakan public,

penggunaannya harus dibatasi terhadap para pelanggar yang perlu dinetralisir

untuk kepentingan kemanaan umum dan perlindungan masyarakat.

Ternyata peran pidana penjara di berbagai negara menurut PBB mengalami krisis

kepercayaan terutama dalam usahanya untuk mengontrol atau mengurangi

kejahatan. Efektivitas pidana penjara masih diragukan, jika dikaitkan dengan

angka laju kejahatan. Efektivitas pidana penjara dalam kaitannya dengan

penanggulangan kejahatan telah menimbulkan dampak negative terhadap

kehidupan narapidana. Selain pemberian stigma, dan hilangkan kepercayaan diri

untuk hidup normal di tengha pergaulan masyarakat di dalam penjara antara

narapidana terjadi interaksi tentang modus dan motif melakukan kejahatan,

sehingga orang yang baik sekalipun akan belajar metode dan teknik untuk

melakukan kejahatan Ramsey Clark mealui judul bukunya Prison, Factories of

Crime” penara telah berubah menjadi pabrik kejahatan yang proses terjadinya

mengikuti pola internaksi sebagaimana dikemukakan di atas.

Oleh karena itu, PBB menyerukan agar pidana penjara atau pidana perampasan

kemerdekaan sedapat mungkin dihindarkan, terutama terhadap mereka yang baru

pertama kali melakukan kejahatan, terdakwanya masih muda, atau telah berusia

lanjut, atau kerugian yang diitmbulkan tidak mengguncangkan sendi-sendi

kehidupan masyarakat. Menurut PBB bahwa orang tidak menjadi lebih baik tetapi

justru menjadi lebbih jahat seteah menjalni pidana penjara.

1.5. Generasi Sanksi Pidana

Sejarah Pidana perampasan kemerdekaan telah melampaui masa yang cukup

panjang, hal ini diketahui dari pendapat PJP Tak seorang ugur besar di

54 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm. 13755 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, Cetakan Kedua, tahun 1996, hlm. 109.

38 | P a g e

Universitas Nijmengen Belanda yang mengemukakan bahwa ada 4 generasi

sanksi pidana (modern), yaitu sebagai berikut:56

1. Generasi pertama, dimana sanksi pidana perampasan kemerdekaan

merupakan pidana yang utama untuk menggantikan pidana mati, pidana siksa

badan, pidana kerja paksa, dan pidana mendayung kapal. Pidana perampasan

kemerdekaan ketika itu dianggap lebih manusiawi dan rational, tetapi juga

untuk melakukan rehabilitasi terhadap pelanggar hukum.

2. Generasi kedua ditandai oleh gejala semakin populernya pidan perampasan

kemerdekaan di Eropa Barat. Konsepsi PIDANA PENJARA DI Eropa Barat

mewarnai negara-negar yang menjadi koloni negara eropa tersebut. Indonesia

merupakan salah satu contoh dair konsepsi pidana penjara yang

idkembangkan di belahan dunia Eropa tersebut. Konsepsi seperti pidana

penjara dan kurungan yang kemudian disederhanakan menajdi pidaan penajra

saja, terus mengalami perkemabgan yang kemudian menemukan kelemahan

pidan perampasan kemerdekaan. Hasi penelitian kriminologi memberi

sumbangih yang besar terhadpa reformasi di bidang pemenjaraan. Diketahui

bahwa pidana penjara selain menimbulkan efek kriminogen dan viktimogen

juga memberi kontribusi yang besar untukt erjadinya residivisme oleh Karen

itu mnuncu gasaasn pidan berysat untuk menghidarkan penerapan pidana

penjar.a jenis pidana ini masuk ke Indoensia tahun 1915 dengan ditambahakn

ektetenuan dalam pasal 14 kuhp.

3. Generasi ketiga merupakan kelanjutan dair generasi kedua yang mencari

alternative terhadpa pidana perampasan kemerdekaan.pidana denda dalam

KUHP Belanda yang semula sama dengan di Indonesia, yaitu ditentukan

maksimummnya secara khusus pada setiap delik sesuai dengan kadar

seriusnya, sedangkan minimumnya ditentukan secara umum (sama untuk

semua delik). Akan tetapi kemudian belanda mengubahkan karena ada

beberapa delik tertentu umumnya yang menimbulkan kerugian materiil yang

dimungkinkan pengenaan denda bersama dengan pidana penjara.

4. Generasi keempat, sistem pidana yang timbul ketika pidna yang ditunda

(suspended sentence( dan pidana denda mulai dirasakan juga kurang jika

diterapkan secara luas, karena akan mengurangi kredibilatasinya. Alternative

56 Dwija Priyatno, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit STHB Press, Bandung, 2005, hlm. 3.

39 | P a g e

lain dari pidana perampasan kemerdekaan mulai ditemukan yaitu sanksi-

sanksi alternative. Yang dimaksud engan sanksi alternative itu ialah pidana

kerja sosial, pidaan pengawasan, dan perhatian kepada korban kejahatan,

sehingga diperkenalkan ganti kerugian kepada korban kejahatan sebagia

sanksi alternative. Generasi keempat diipengaruhi oleh pandangan yang

melihat pidana penjara telah menimbulkan kerugian yang cukup parah,

sehingga penggunaannya sebagia saranan untuk menanggulangi kejahatan

dipertanyakan. Kritik yang dialamatkan kepada pidana penjara ditujukan

kepada sistem pidan penjara itu sendiri. Aliran pertama disebut dengan aliran

moderat yang berpenderian untuk tetapi memetahankan pidana penjara.

Namun penggunaannya harus dibatasi. Aliran kedua disebut kritik ekstrim.

Aliran kedua menghendaki hapusnya sama sekali pidana penjara. Gerakan

penghapusan pidana penjara (prison abolition) ini terlhihat dengan adanya

International Conference on Prison Abolition (ICOPA) yang diselenggarakan

pertama kali pada bulan Mei 1983 di Toronto, Kanada.

PBB merekomendasikan bahwa pengurangan berangsur-angsur pidaan

perampasan kemerdekaan, dengan meningkatkan bentuk bentuk

pengganti/alternative pidana bersyarat, pengawasan/probation, denda, pekerjaan

di luar lembaga, dan tindakan-tindakan lain yang tidak mengandung perampasan

kemerdekaan. Secara ideologis prinsip demikian dikemukaakn adalah untuk

mengurangi atau membatasi penerapan pidaan penjara hanya pada orang-orang

yang melaksanakan tindak pidana berat. Sementara mereka yang melakukan

tindak pidana yang akibatnya tidak terlalu serius di upayakan untuk menghindari

pidana penjara.

40 | P a g e