Upload
tessa-yp
View
17
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
pidana kerja sosial bagi pelaku tindak pidana anak
Citation preview
BAB II
TINJAUAN TEORITIK MENGENAI PEMIDANAAN
BAGI PELAKU TINDAK PIDANA ANAK
Bab ini akan meninjau secara teoritik berbagai hal sehubungan dengan pemidanaan
bagi pelaku tindak pidana anak. Pokok penulisan pada bab ini akan ditujukan pada anak
sebagai subjek hukum nasional dan internasional yang memegang peranan penting sebagai
bibit masa depan dari suatu bangsa, maka menurut penulis baik untuk memulai bab ini
dengan terlebih dahulu memberikan pengertian mengenai anak dan perlindungan hak anak
yang mulai diperjuangkan ketika banyak pengaturan konvensi internasional yang membahas
mengenai Hak Asasi Anak.
Selain dalam pandangan umum, penulis juga akan membahas mengenai anak dalam
pandangan hukum pidana yang ditekankan pada bagian pemidanaan yang dimulai dari
pengertian mengenai anak nakal dan batasan umur seorang anak yang melanggar hukum
dapat dijatuhi hukuman pidana, sehubungan dengan itu tidak luput juga untuk penulis
membahas mengenai sanksi-sanksi pidana bagi anak yang pengaturannya sangat berbeda
dengan sanksi pidana pada umumnya yang beragam-macam diatur dalam KUHP, Undang-
Undang no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang no. 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Anak, dan peraturan terbaru yang dapat kita temukan dalam
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Penulis juga akan meninjau secara umum mengenai permasalahan terhadap sanksi
pidana penjara dikhususkan pada pelaku tindak pidana anak, yang secara hukum sebenarnya
bertentangan dengan banyak konvensi internasional yang sudah ditanda-tangani dan
diratifikasi oleh pemerintahan Indonesia. Maka dari itu menjadi urgensi dalam sistem pidana
Indonesia untuk melakukan pembaharuan hukum pidana Indonesia dan melakukan generasi
sanksi pidana yang tidak lagi menggunakan pidana perampasan kemerdekaan sebagai sanksi
pidana untuk menghukum anak nakal.
2.1. Tinjauan umum mengenai Perlindungan terhadap hak-hak anak
2.1.1. Pengertian anak
Anak adalah eksistensi nyata yang tidak dipungkiri memegang peranan besar
dalam kehidupan manusia dan kehidupan bangsa. Bangsa yang menginginkan
kemajuan memiliki tanggung jawab untuk membina sumber daya manusia yang
memegang kunci utama dari pembangunan bangsa yaitu anak. Bangsa Indonesia
1 | P a g e
melihat anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa1.
Menurut seorang ahli anak bernama Elizabeth H. Hurlock, manusia
berkembang melalui beberapa tahapan yang berlangsung secara berurutan, terus
menerus dan dalam tempo perkembangan yang tertentu dan bisa berlaku umum.
Untuk lebih jelasnya tahapan perkembangan tersebut dapat dilihat pada uraian
tersebut: – Masa pra-lahir : Dimulai sejak terjadinya konsepsi lahir – Masa jabang
bayi : satu hari-dua minggu. – Masa Bayi : dua minggu-satu tahun. – Masa anak :
– masa anak-anak awal : 1 tahun-6 bulan, Anak-anak lahir : 6 tahun-12/13 tahun.
– Masa remaja : 12/13 tahun-21 tahun – Masa dewasa : 21 tahun-40 tahun. –
Masa tengah baya : 40 tahun-60 tahun. – Masa tua : 60 tahun-meninggal.2
Melihat pada deskripsi di atas penulis mencoba untuk menyimpulkan bahwa
menurut Hurlock, seseorang disebut anak ketika mereka berumur 1 tahun hingga
21 tahun.
Melihat kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang merupakan
rujukan utama masyarakat Indonesia dalam memahami pengertian umum suatu
kata, memberikan pengertian anak sebagai “keturunan yang kedua”. Kamus
Besar Bahasa Indonesia juga menguraikan anak sebagai “manusia yang masih
kecil”, yang masih membutuhkan arahan dan bimbingan dalam melangsungkan
kehidupannya3. Pengertian anak di atas masih dianggap terlalu rancu untuk secara
garis besar menggambarkan arti dari seorang anak itu sendiri. Maka dari itu perlu
kita melihat kepada berbagai pandangan lainnya, yang dalam pembahasannya
dapat kita kategorikan secara non-yuridis, dan secara yuridis. Non-yuridis akan
membahas anak dalam pandangan agama, ekonomi, sosiologis, dan psikologis.
Sedangkan dalam pandangan yuridis akan dibahas menurut bidang hukum
lainnya, berbagai peraturan internasional, dan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam sudut pandang yang dibangun oleh agama khususnya dalam hal ini
adalah agama islam, anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang
keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT melalui proses
penciptaan. Anak sebagai amanat Allah yang harus dilaksanakan dengan baik,
1 UU. NO. 3 TAHUN 1997 pembukaan 2 Hurlock, E.B. (1980). Developmental psychology ; A life-span approach (5th Ed). New York; Mc Graw-Hill. Page 363 http://kbbi.web.id/anak
2 | P a g e
khususnya bagi orang tua, dan tidak boleh begitu saja mengabaikannya, lantaran
hak-hak anak termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua terhadap anak
yang telah digariskan oleh agama Islam.4 Pengertian anak menurut istilah hukum
Islam adalah keturunan kedua yang masih kecil, sifat kecil ini dihubungkan
dengan perwalian hak milik dan larangan bertindak sendiri. 5 Pengertian anak
dalam pandangan agama islam mengandung arti bahwa setiap anak yang
dilahirkan harus diakui, diyakini, dan diamankan sebagai implementasi amalan
yang diterima dari orang tua, masyarakat , bangsa dan negara.
Dalam pengertian ekonomi, anak dikelompokan pada golongan non- produktif
dalam tabel angkatan kerja. Merujuk pada undang-undang ketenagakerjaan no. 13
tahun 2003, menyebutkan bahwa yang dapat bekerja itu adalah orang yang telah
berumur 18 tahun ke atas6. Kelompok pengertian anak dalam bidang ekonomi
mengarah pada konsepsi kesejahteraan anak sebagaimana yang ditetapkan oleh
Undang-Undang no.4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yaitu anak berhak
atas kepeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan, dalam
lingkungan masyarakat yang dapat menghambat atau membahayakan
perkembangannya7, sehingga anak tidak lagi menjadi korban dari
ketidakmampuan ekonomi keluarga dan masyarakat.
Dalam aspek sosiologis anak diartikan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT
yang senantiasa berinteraksi dalam lingkungan masyarakat bangsa dan negara.
Dalam hal ini anak diposisikan sebagai kelompok sosial yang mempunyai status
sosial yang lebih rendah dari masyarakat dilingkungan tempat berinteraksi.
Sosiologi memandang bahwa anak merupakan bagian dari masyarakat. Dimana
keberadaan anak sebagai bagian yang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya,
baik dengan keluarga, komunitas, atau masyarakat pada umumnya. Sosiologi
menjelaskan tugas atau peran yang oleh anak pada masa perkembangannya8:
- Pada usia 5-7 tahun, anak mulai mencari teman untuk bermain
- Pada usia 8-10 tahun, anak mulai serius bersama-sama dengan temannya
lebih akrab lagi4 Abdul Razaq Husain, Islam wa Tiflu, Alhi bahasa Azwir Butun, Hak-hak anak dalam Islam, Jakarta : Fika Hati Aniska, 1992, hlm. 495 Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Hlm. 1126 Undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 1 ayat 267 Undang-undang no. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak8 Hartini G Kartasapoetra. 1992. Kamus Sosiologi dan Kependudukan. Bumi Aksara : Jakarta, hlm. 90
3 | P a g e
- Pada usia 11-15 tahun, anak menjadikan temannya menjadi sahabatnya
Pengertian anak dari aspek psikologi dapat kita tinjau dari berbagai
pengertian yang disebutkan oleh para ahli filsafat, Menurut John Locke (dalam
Gunarsa, 1986) anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap
rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan.9Augustinus yang
dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa
anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk
menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah
belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat
memaksa.10 Sobur mengartikan anak sebagai orang yang mempunyai pikiran,
perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan segala
keterbatasan.11
Dalam hukum positif Indonesia terdapat pluralisme mengenai pengertian anak.
Hal ini terjadi sebagai akibat dari tiap-tiap peraturan perundang-undangan yang
mengatur secara tersendiri mengenai anak itu sendiri. Pengertian anak dalam
kedudukan hukum meliputi pengertian anak dari pandangan sistem hukum atau
disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai objek hukum. Terhadap pengertian
anak ditinjau secara yuridis perlu kita tinjau dari sudut pandang hukum lain
hingga kepada peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku.
Pengertian anak dalam UUD 1945 terdapat di dalam pasal 34 yang berbunyi:
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” Hal ini
mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum nasional yang
harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak.
Dengan kata lain anak tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat
9 Gunarsa, D Singgih, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta ; Gunung Mulia, 2004, hlm 1510 Suryabrata, Sumadi, Pengukuran dalam Psikologi Kepribadian, Jakarta ; Rajawali Pers, 1987, hlm 511 Sobur. 1988. Pengertiaan Anak. www.duniapsikologi.com/pengertian-anak tinjauan-secara-kronologis-dan- psikologis/. Diakses pada tanggal 21 Februari 2016
4 | P a g e
Pengertian anak dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak tercantum dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi12:
“Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.”
Jadi dalam hal ini pengertian anak dibatasi dengan syarat sebagai berikut :
pertama, anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) sampai dengan 18
(delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua, anak belum pernah kawin.
Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan
kemudian cerai. Apabila anak sedang terikat dalam perkawinan atau
perkawinannya putus karena perceraian, maka anak dianggap sudah dewasa
walaupun umurynya belum genap 18 (delapan belas) tahun.
Undang-Undang No. 1 1974 tentang perkawinan tidak mengatur secara
langsung tolak ukur kapan seseorang digolongkan sebagai anak, akan tetapi hal
tersebut tersirat dalam pasal 6 ayat (2) yang memuat ketentuan syarat perkawinan
bagi orang yang belum mencapai umur 21 tahun mendapati izin kedua orang
tua.13 Pasal 7 ayat (1) UU memuat batasan minimum usia untuk dapat kawin bagi
pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enambelas) tahun.14
Dalam hukum adat tidak ada yang menentukan siapa yang dikatakan anak-
anak dan siapa yang dikatakan orang dewasa. Akan tetapi dalam hukum adat
ukuran anak dapat dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia tetapi pada ciri
tertentu yang nyata. Seperti kemampuan bekerja sendiri, mampu bertanggung
jawab, dan dapat mengurus harta kekayaan sendiri.
Pengertian anak menurut hukum perdata dibangun dari beberapa aspek
keperdataan yang ada pada anak sebagai seseorang subjek hukum yang tidak
mampu. Aspek-aspek tersebut adalah: – Status belum dewasa (batas usia) sebagai
subjek hukum. – Hak-hak anak di dalam hukum perdata15. Pasal 330 KUHPerdata
memberikan pengertian anak adalah orang yang belum dewasa dan seseorang
yang belum mencapai usia batas legitimasi hukum sebagai subjek hukum atau
12 Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tercantum dalam pasal 1 ayat (2)13 Undang-Undang No.1 1974 tentang perkawinan pasal 6 ayat 214 Ibid. pasal 7 ayat (1)15 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet 31, (Jakarta : PT. Intermasa, 2003), hlm. 55
5 | P a g e
layaknya subjek hukum nasional yang ditentukan oleh perundang-undangan
perdata.16 Dalam ketentuan hukum perdata anak mempunyai kedudukan sangat
luas dan mempunyai peranan yang amat penting, terutama dalam hal memberikan
perlindungan terhadap hak-hak keperdataan anak, misalnya dalam masalah harta
warisan.
Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 tahun 1973, pengertian
tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya,
dalam Convention on The Right Of the Child tahun 1989 yang telah diratifikasi
pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa
anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF
mendifenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18
tahun.17
Maka, secara keseluruhan pengertian anak yang telah penulis ungkapkan baik
secara non-yuridis maupun yuridis meletakkan rentang usia anak pada skala 0
sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan
berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, kematangan
pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah
seseorang melampaui usia 21 tahun.
2.1.2. Hak-Hak Anak.
2.1.2.1. Perkembangan Hak Anak
Anak dengan segala keistimewaannya memegang kedudukan penting
dalam dunia internasional maupun nasional, kendati demikian hak anak
yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia melewati perjalanan yang
panjang untuk mencapai titik pengakuan hingga saat ini. Perjuangan
mengenai hak anak bermula sejak berakhirnya Perang Dunia I sebagai
reaksi atas penderitaan yang timbul akibat dari bencana peperangan
terutama yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak. Liga Bangsa-
Bangsa saat itu tergerak karena besarnya jumlah anak yang menjadi yatim
piatu akibat perang.
Seseorang yang harus dikenali oleh masyarakat atas usahanya
memperjuangkan Hak Anak bermula dari gerakan para aktivis perempuan
16 KUHPerdata pasal 33017 Huraerah, Abu. 2006. Kekerasan Pada Anak. Bandung: Penerbit Nuansa, hlm 19
6 | P a g e
yang melakukan protes dan meminta perhatian publik atas nasib anak-anak
yang menjadi korban perang. Salah seorang di antara para aktivis tersebut
yakni yang bernama Eglantyne Jebb dibantu oleh adiknya yang bernama
Dorothy Buxton (pendiri Save the Children) serta dukungan dari Komite
Palang Merah Internasional (International Committee of the Red
Cross/ICRC) kemudian mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang
hak anak atau deklarasi hak anak (Declaration of The Rights of The Child)18
yang pada tahun 1923 diadopsi oleh lembaga Save the Children Fund
International Union.
Kemudian pada tanggal 26 September 1924, Liga Bangsa-Bangsa
mengadopsi deklarasi yang dilakukan oleh Jebb yang kini lebih dikenal
sebagai Deklarasi Genewa. Hal ini merupakan hari yang bersejarah karena
untuk pertama kalinya Hak Anak diakui secara internasional. Dalam
Deklarasi Genewa dinyatakan bahwa “humanity owes to the Child the best
that it has to give” 19 atau dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebagai
kemanusiaan berhutang kepada anak-anak apa yang terbaik yang mereka
bisa dapatkan.
Pada tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan
pernyataan mengenai Hak Anak yang merupakan deklarasi internasional
kedua bagi hak anak. Tahun 1979 saat dicanangkannya Tahun Anak
Internasional, Pemerintah Polandia mengajukan usul untuk perumusan
suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan
terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah awal perumusan
Konvensi Hak Anak. Tahun 1989, rancangan Konvensi Hak Anak
diselesaikan dan pada tahun itu juga naskah akhir tersebut disahkan dengan
suara bulat oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 November 1989.
Persetujuan Majelis Umum PBB atas Konvensi Hak Anak menandai dan
merepresentasikan titik kulminasi proses perjuangan panjang pengakuan
jaminan melalui hukum internasional terhadap eksistensi hak anak20.
18 Muhammad Joni, dkk. Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1999. Hal. 30.19 http://www.humanium.org/en/childrens-rights-history/references-on-child-rights/geneva-declaration/ diakses pada tanggal 21 Februari 2016. Geneva Declaration of the Rights of the Child, 1924.20 Impact of the Convention on the Rights of the Child (Florence, Italy : UNICEF Innocenti Research Centre, 2005) (with John Tobin) hal. 35
7 | P a g e
Konvenan ini kemudian diratifikasi oleh setiap bangsa termasuk Indonesia,
kecuali Somalia dan Amerika Serikat.21
Pengakuan hak anak sebagai hak asasi manusia merupakan suatu
proses yang terjadi dalam dua bagian; pertama, pengakuan bahwa anak
berhak atas hak asasi manusia sebagai haknya sendiri yang independen,
bukan sebagai hak orang tua atau wali mereka; dan kedua, pengakuan
bahwa anak memerlukan perlindungan tambahan. Sekaligus menjadi alas
hak bagi setiap individu untuk menuntut pemenuhan hak bagi anak
melalui mekanisme hukum hak asasi manusia internasional. Indonesia
sendiri meratifikasi konvensi hak anak tersebut pada tahun 1990 dan
kemudian dilanjutkan pada saat peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23
Juli 1997 yang mana pada saat itu Presiden Republik Indonesia
mencanangkan “Gerakan Nasional Perlindungan Anak” dan sejak saat itu
perlindungan anak menjadi bagian dari proses dinamika pembangunan,
khususnya pembangunan sumber daya manusia.22
2.1.2.2. Pengaturan Hukum mengenai Hak Anak
Untuk lebih mendalami pengertian dan penjabaran mengenai hak anak
kita harus meninjaunya lewat instrumen hukum Internasional maupun
Nasional. Lewat instrumen-instrumen ini penulis akan menjabarkan
Perlindungan Hak Anak baik yang mengatur perlindungan secara umum
hingga pengaturan Hak Anak dalam bidang hukum.
A. Konvensi Hak Anak
Sebagaimana dengan yang penulis telah jabarkan pada sub-bab
sebelumnya bahwa Konvensi ini memegang peranan yang sangat
penting dalam menjamin Hak Asasi Anak merupakan instrumen
Internasional di bidang Hak Asasi Manusia dengan cakupan hak
yang paling komprehensif. Terdiri dari 54 pasal, Pemerintah
Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan mengeluarkan
Keputusan Presiden (Kepres) No. 36 tahun 1990, tertanggal 25
21 http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Konvensi_Hak_Anak.pdf diakses pada tanggal 21 Februari 2016 (Surpiyadi W. Eddyono, “Pengantar Konvensi Hak Anak”, Lembaga Studi dan Advokasi Hak Anak, hlm. 2)22 Muhammad Joni, dkk. Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1999. Hal. 30.. hal. 33
8 | P a g e
Agustus 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak (Convention
on the right of the Child).
Berdasarkan strukturnya, konvensi ini dibagi menjadi 4 bagian
yaitu : Preambule (mukadimah) yang menjadi pokok pegangan bagi
keseluruhan konvensi dengan memberikan pernyataan bahwa anak
dalam kebutuhan perkembangan fisik dan mentalnya memerlukan
perhatian dan bantuan khusus demi menunjang perkembangan
kesehatan, fisik, mental, moral dan sosialnya ; memerlukan
perlindungan hukum dalam kondisi kebebasan, martabat, dan
keamanan. Serta menganjurkan ditingkatkannya perkembangan
kepribadian, bakat, serta kemampuan mental dan fisik anak sampai
pada tingkat sepenuhnya dan menggalakan rasa hormat terhadap
semua hak asasi dan kebebasan dasar manusia. Bagian Satu (pasal
1-4) yang mengatur hak bagi semua anak, Bagian Dua (pasal 42-
45) yang mengatur masalah pemantauan dan pelaksanaan Konvensi
Hak anak, dan Bagian Tiga (Pasal 46-54) yang mengatur masalah
pemberlakuan Konvensi.
Pada intinya, terdapat empat prinsip yang terkandung di dalam
Konvensi Hak Anak, diantaranya ;
1) Prinsip Non Diskriminasi
Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi
Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa
pembedaan apapun
2) Prinsip yang Terbaik Bagi Anak (The Best Interest of the
Child)
Dalam semua tindakan mengenai anak, apakah yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial, negara, atau swasta,
pengadilan hukum, penguasa administrative, atau badan
legislatif, kepentingan-kepentingan anak harus merupakan
pertimbangan utama.
3) Prinsip atas Hak Hidup, Kelangsungan dan Perkembangan
(The Rights to Life, Survival and Development)
Hak-hak yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak meliputi
hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the
9 | P a g e
rights to life) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan
tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya (the rights to the
highest standard of health and medical care attainable)
4) Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak (Respect for
the Views of the Child)
Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut
hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan
dalam setiap pengambilan keputusan.23
Perlindungan terhadap hak anak tidak hanya terbatas pada hal
yang bersifat umum, karena salah satu komponen penting dalam
perlindungan Hak Anak berada di bidang hukum. Hukum sebagai
alat untuk mentertibkan masyarakat memiliki sanksi beragam
macam yang apabila pelaksanannya dijalankan tanpa ada
pengawasan dapat berakibat buruk bagi masa depan seseorang
terutama bagi seorang anak. Konvensi Hak Anak ini tidak luput
mengatur mengenai anak yang berkonflik dengan hukum (juvenile
justice), yang dapat kita temukan dalam pasal 37 dan pasal 40
dimana kedua pasal ini memberikan penekanan pada Hak Anak dari
sisi Hukum Acara Pidana.
Pasal 37 berbunyi demikian24 ;
“Negara-negara Peserta akan memastikan bahwa:(a) Tak seorang anak pun boleh menjalani siksaan atau kekerasan lain, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau menurunkan martabat. Hukuman mati maupun hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan tidak akan dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berusia dibawah delapan belas tahun;(b) Tidak seorang anak pun akan kehilangan kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau penghukuman seorang anak harus sesual dengan hukum dan hanya akan diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang singkat dan layak;(c) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabat kemanusiaannya, dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang seusianya. Secara khusus, setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan dipisahkan dan orang-orang dewasa kecuali bila dianggap bahwa tidak melakukan hal ini merupakan kepentingan terbaik dan anak yang bersangkutan, dan ia berhak mengadakan hubungan
23 http://www.unicef.org/magic/media/documents/CRC_bahasa_indonesia_version.pdf Konvensi Hak Anak yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Oktober 198924 Lihat Konvensi Anak http://gugustugastrafficking.org/index.php?option=com_content&view=article&id=134:konvensi-hak-anak&catid=104:konvensi&Itemid=139
10 | P a g e
dengan keluarganya melalul surat menyurat atau kunjungan-kunjungan, kecuali dalam keadaankeadaan khusus;
(d) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak segera mendapat bantuan hukum dan bantuan lain yang layak, dan juga berhak untuk menggugat keabsahan perampasan kemerdekaan itu didepan pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, independen dan tidak memihak, dan berhak atas suatu keputusan yang cepat mengenai hat tersebut”
Pasal 40 Konvensi Hak Anak berbunyi demikian25;“1. Negara-negara Peserta mengakui hak setiap anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah melanggar undang-undang hukum pidana untuk diperlakukan dengan cara yang konsisten dengan peningkatan pengertian anak tentang martabat dan nilai dirinya, hal mana memperkuat sikap menghargai anak pada hak-hak azasi manusia dan kemerdekaan hakiki orang-orang lain, dengan memperhatikan usia anak dan keinginan untuk meningkatkan reintegrasi anak dan pelaksanaan peran yang konstruktif dan anak dalam masyarakat.
2. Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dan perangkatperangkat internasional yang relevan, Negara-negara Peserta, secara khusus, akan menjamin bahwa:
(a) Tak seorang anakpun akan disangka, dituduh, atau diakui sebagal telah melanggar undang-undang hukum pidana karena perbuatan-perbuatan atau kelalaian yang tidak dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada saat perbuatan itu dilakukan; (b) Setiap anak yang disangka sebagai atau dituduh telah melanggar undang-undang hukum pidana setidaknya memiliki jaminan-jaminan sebagai berikut:
(i) Dianggap tidak bersalah sebelum dibuktikan bersalah menurut hukum;(ii) Secepatnya dan secara langsung diberitahu mengenal tuduhan-tuduhan terhadapnya, dan, jika layak, melalui orangtua atau walinya yang sah, dan untuk memperoleh bantuan hukum atau bantuan lain yang layak dalammempersiapkan dan pengajuan pembelaannya;(iii) Memeriksa masalah tersebut tanpa penundaan oleh penguasa yang berwenang, independen dan tidak memihak atau oleh badan peradilan dalam suatu pemeriksaan yang adil sesuai dengan undang-undang, dengan bantuan hukurn atau bantuan lain yang layak dan, kecuali jika dianggap bukan untuk kepentingan terbaik dan anak, khususnya, dengan memperhatikan usia atau situasi anak, onangtua atau walmnya yang sah;(iv) Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau untuk mengakui kesalahan; untuk memeriksa atau menyuruh memeriksa saksi-saksi yang membenarkan dan untuk memperoleh partisipasi dan pemeriksaan saksi-saksi untuk kepentingan anak berdasarkan persamaan hak;(v) Jika dianggap telah melanggar undang-undang hukum pidana, keputusan dan setiap tindakan yang dikenakan sebagai akibatnya dapat ditinjau kembali oleh penguasa atau badan peradilan yang lebih tinggi yang berwenang, independen dan tidak memihak sesuai undang-undang;(vi) Memperoleh bantuan cuma-cuma dan penerjemah bahasa jika anak tidak dapat memahami atau berbicara dalam bahasa yang digunakan;(vii) Dihormati sepenuhnya kehidupan pribadi anak dalam semua tingkat proses hukum.
3. Negara-negara Peserta akan berupaya untuk meningkatkan penetapan undang-undang, proses peradilan, pihak yang berwenang dan lembaga-lembaga yang
25 Ibid. pasal 40.
11 | P a g e
secara khusus berlaku untuk anak-anak yang diduga, dituduh, atau diakui tetah rnelanggar undangundang hukum pidana, dan khususnya:
(a) Penetapan usia minimum dimana anak-anak dengan usia dibawahnya akan dianggap tidak memiliki kemampuan untuk melanggar undang-undang hukum pidana;(b) Bilamana layak dan dikehendaki, langkah-langkah untuk menangani anak-anak seperti itu tanpa melalui proses hukum, asalkan hak-hak azasi manusia dan perlindungan hukum sepenuhnya dihormati,
4. Berbagai pengaturan, seperti perawatan, bimbingan dan peraturan pengawasan; konseling; masa percobaan; pengasuhan anak; program-program pendidikan dan pelatihan kejuruan dan atternatif-alternatif lain hingga lembaga pemeliharaan anak, akan disediakan guna menjamin bahwa anak-anak ditangani dengan cara yang layak bagi kehidupan mereka dan seimbang dengan keadaan mereka maupun pelanggaran yang dilakukan”
Dalam konvensi ini kita dapat menyimpulkan bahwa penanganan
terhadap seorang anak dalam Hukum Acara Pidana harus dijalankan
dengan mempertimbangkan kepentingan mereka. Hal ini sejalan
dengan 4 prinsip konvensi hak anak yang telah disebutkan di atas.
Agar prosesi hukum yang mereka jalankan tidak mencenderai
mental dan masa depan mereka.
B. Deklarasi Hak Anak
Deklarasi Hak Anak ini dibentuk untuk menjadi fondasi utama bagi
setiap peraturan perundang-undangan di setiap negara yang
mengatur perihal anak agar keseluruhan peraturan dibuat
berdasarkan 10 asas umum yang akan dijelaskan lebih lanjut. Pada
bagian mukadimah dijelaskan maksud dari adanya deklarasi ini yang
berbunyi bahwa, umat manusia berkewajiban memberikan yang
terbaik bagi anak-anak. Dengan maksud agar agar anak-anak dapat
menjalani masa kecil yang membahagiakan, berhak menikmati hak-
hak kebebasan baik kepentingan mereka sendiri maupun untuk
kepentingan masyarakat. Majelis umum PBB menghimbau para
orang tua wanita dan pria secara perorangan, organisasi, sukarela,
para penguasa setempat dan pemerintah pusat agar mengakui hak-
hak ini dan memperjuangkan pelaksanaan hak-hak tersebut secara
bertahap baik melalui undang-undang maupun peraturan lainnya
yang sesuai dengan asas-asas berikut 26;
26 Lihat deklarasi hak anak http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-4379-lampiran1_WAHYUDIN%202002-41-027.pdf
12 | P a g e
1. Anak-anak berhak menikmati seluruh hak yang tercantum di
dalam deklarasi ini. Semua anak tanpa pengecualian yang
bagaimanapun berhak atas hak-hak ini.
2. Anak-anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan
khusus, dan harus memperoleh kesempatan dan fasilitas yang
dijamin oleh hukum dan sarana lain sehingga secara jasmani,
mental, akhlak rohani sosial, mereka dapat berkembang dengan
sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermartabat.
3. Sejak dilahirkan, anak-anak harus memiliki nama dan
kebangsaan.
4. Anak-anak harus mendapat jaminan mereka harus tumbuh dan
berkembang dengan sehat.
5. Anak- anak yang tumbuh cacat dan mental atau berkondisi sosial
lemah akibat suatu keadaan tertentu harus memperoleh
pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus.
6. Agar supaya kepribadiannya tumbuh secara maksimal dan
harmonis, anak-anak memerlukan kasih sayang dan pengertian.
Sedapat mungkin mereka harus dibesarkan di bawah asuhan dan
tanggung jawab orang tua mereka sendiri.
7. Anak-anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cuma-
cuma sekurang-kurangnya di tingkat sekolah dasar. Mereka
harus mendapat pendidikan yang dapat meningkatkan
pengetahuan umumnya, dan yang memungkinkan mereka, atas
dasar kesempatan yang sama, untuk mengembangkan
kemampuannya, pendapat pribadinya, dan perasaan tanggung
jawab moral dan sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi
anggota masyarakat yang berguna. Anak-anak harus mempunyai
kesempatan yang leluasa untuk bermain dan berekreasi yang
harus diarahkan untuk tujuan pendidikan, masyarakat dan
penguasa berwenang harus berusaha meningkatkan pelaksanaan
hak ini.
8. Dalam keadaan apapun anak-anak harus didahulukan dalam
menerima perlindungan dan pertolongan.
13 | P a g e
9. Anak-anak harus dilindungi dari segala penyia-nyiaan,
kekejaman dan penindasan. Dalam bentuk apapun, mereka tidak
boleh menjadi “bahan perdagangan. Tidak dibenarkan
memperkerjakan anak-anak dibawah umur, dengan alasan
apapun, mereka tidak boleh dilibatkan dalam pekerjaan yang
dapat merugikan kesehatan atau pendidikan mereka, maupun
yang dapat mempengaruhi perkembangan tubuh, mental atau
akhlak mereka.
10. Anak-anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke
dalam bentuk diskriminasi lainnya.
C. Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-
Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak (United
Nations Standard Minimum Rules for the Administration of
Juvenile Justice)
Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak (United Nations
Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice)
ini lebih dikenal dengan sebutan Beijing Rules yang pada tanggal 29
November 1985 disahkan melalui resolusi Majelis PBB no. 40/33 di
Beijing Cina. Peraturan ini mengatur secara rinci mengenai standar
bagi administrasi peradilan anak. Resolusi ini tidak bersifat
mengikat dimana Indonesia dapat memilih akan memberlakukannya
atau tidak. Beberapa peraturan mengenai Administrasi Peradilan
Bagi Anak ini sebenarnya mencantumkan banyak hal yang bersifat
pokok dan perlu dimasukkan sebagai pertimbangan dalam membuat
peraturan mengenai pidana anak, peraturan yang mengatur
mengenai hak dasar anak yang berkonflik dengan hukum dapat kita
temukan dalam pasal 7 yang berbunyi demikian27;
1. Hak untuk diproses berdasarkan asas praduga tak bersalah
(presumption of innocent)
2. Hak diberitahu akan tuntutan-tuntutan terhadapnya
3. Hak untuk tetap diam
27 Erica Harper ,international law and standar applicable in natural disaster situation “perlindungan hak hak warga sipil dalam situasi bencana, grasindo ; jakarta 2009, hlm 28-30
14 | P a g e
4. Hak akan pengacara
5. Hak akan kehadiran orang tua dan wali
6. Hak untuk memanggil saksi-saksi
7. Hak untuk naik banding ke pihak berwenang yang lebih tinggi
8. Hak akan privasi
Tujuan dari adanya peradilan anak dapat kita lihat pada pasal 5 yang
berbunyi, 28
“Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan
anak dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap
pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan selalu sepadan
dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya
maupun pelanggaran hukumnya.”
Melihat kepada pasal tersebut kita dapat menarik tujuan dari
peradilan anak yaitu :
1. Memajukan kesejahteraan anak
2. Prinsip kesepadanan, dimana pertimbangan beratnya
pelanggaran hukum harus didasarkan juga pada pertimbangan
keadaan-keadaan pribadinya.
D. Peraturan-peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa Bagi
Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (United
Nations Rules for the Protection of Juveniles Deprevide of Their
Liberty)
Peraturan-peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa Bagi Perlindungan
Anak yang Kehilangan Kebebasannya berkaitan sangat erat dengan
Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak. Dalam peraturan ini
dibahas tentang bentuk penahanan atau hukuman penjara atau
penempatan seseorang pada suatu tempat penahanan yang dalam arti
lain merampas kebebasan dari terpidana anak. Peraturan mengenai
Administrasi Peradilan Bagi Anak dan Perlindungan Anak yang
Kehilangan Kebebasan ini sebenarnya menjunjung satu aturan yang
sama bahwa upaya pemidanaan anak yang merampas kemerdekaan 28 Lihat Beijing Rules pasal 5
15 | P a g e
sekiranya tidak dijatuhkan sebisa mungkin. Maka apabila hakim
tetap menjatuhkan hukum pidana yang bersifat ultimum remedium
itu, beberapa pasal yang harus di perhatikan sehubungan dengan
sanksi pidana, adalah 29;
1. Sistem peradilan bagi remaja harus menjujung tinggi hak-hak
dan keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan
mental remaja. Berbicara sistem peradilan, akan mencakup
keseluruhan komponen dan proses berjalannya hukum seperti
substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum. Ini berarti,
apabila PBB menghendaki kesejahteraan sebagai akhir dari
sitem peradilan, maka substansi hukum, struktur hukum dan
kultur hukum yang berkaitan dengan peradilan anak harus
mempunyai visi dan misi yang sama, yaitu mengus ahakan
kesejahteraan anak.
2. Penjara harus menjadi alternatif terakhir, karena membiarkan
seorang anak memasuki Lembaga Pemasyarakatan berarti
memberikan pendidikan negatif kepada anak, sebab apabila di
dalam LP penghuninya adalah mereka yang diidentifikasikan
sebagai yang jahat, maka anak tersebut akan mengimitasi
tingkah laku yang jahat. Sebab, perilaku kriminal dapat
dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses
komunikasi.
3. Peraturan bagi anak/remaja tidak boleh membedakan ras, warna
kulit, usia, bahasa, agama, kebangsaan, pandangan politik,
kepercayaannya, atau praktek-praktek budaya, kepemilikan,
kelahiran atau status keluarga, asal-usul etnis atau sosial, cacat
jasmani, agama serta konsep moral yang bersangkutan harus
dihormati.
4. Para remaja yang belum diadili, harus dianggap tidak bersalah.
Remaja yang masih dalam proses hukum, harus dipisahkan dari
29 Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak (Bandung: Mandar Maju, 2009), disadur dari hlm.57-63
16 | P a g e
remaja yang telah dijatuhi hukuman. Terhadap remaja yang
belum diadili dalam proses hukum, ia berhak:
a. Didampingi penasehat hukum dengan cuma-cuma.
b. Disediakan kesempatan bekerja dengan menerima upah.
c. Melanjutkan pendidikan.
d. Memiliki dan tetap menyimpan barang yang menjadi
hiburannya.
5. Data yang berkaitan dengan remaja bersifat rahasia. Data yang
harus dirahasiakan tentunya tidak hanya menyangkut
penyingkatan nama, akan tetapi mencakup segala aspek yang
berkaitan dengan kondisi sosial anak, seperti data pribadi
maupun data keluarga baik secara kauntitatif maupun kualitatif.
6. Anak/remaja yang ditahan berhak untuk memperoleh:
a. Pendidikan;
b. Latihan keterampilan dan latihan kerja;
c. Rekreasi;
d. Memeluk agama;
e. Mendapat perawatan kesehatan;
f. Pemberitahuan tentang kesehatan;
g. Berhubungan dengan masyarakat luas.
E. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak
Undang-Undang ini mungkin merupakan produk nasional paling tua
yang mengatur mengenai Hak Anak. Salah satu hak anak ialah
untuk mendapatkan kesejahteraan. Kesejahteraan anak adalah suatu
tata kehidupan yang dapat menjamin pertumbuhan dna
perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani,
maupun sosial. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 4 tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak. Pada Undang-Undang ini dimulai
dari pasal 2 hingga pasal 8 mengatur mengenai hak-hak anak atas
kesejahteraan sebagai berikut :
1. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan
2. Hak atas pelayanan
3. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan
17 | P a g e
4. Hak atas perlindungan lingkungan hidup
5. Hak mendapat pertolongan pertama
6. Hak memperoleh asuhan
7. Hak memperoleh bantuan
8. Hak diberi pelayanan dan asuhan
9. Hak memperoleh pelayanan khusus
10. Hak mendapat bantuan dan pelayanan
F. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Tujuan dari adanya undang-undang nomor 12 tahun 1995 tentang
pemasyarakatan dalam dunia hukum pidana ialah untuk menjadi
panduan pokok sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir dari
sistem pemidanaan. Dalam konsiderans Undang-undang ini
dinyatakan bahwa sistem pemasyarakatan yang harus ditegakkan
bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat
hidups secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab. Undang-undang ini berlaku untuk seluruh subjek hukum
yang berarti tidak mengecualikan pelaku tindak pidana anak.
Undang-undang ini membagi pelaku tindak pidana anak menjadi 3
kategori, dan tiap bagiannya melekat Hak Anak yang tidak
terpisahkan.30
1. Anak Pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama
sampai berumur 18 tahun. Adapun hak-hak bagi anak pidana
adalah ;
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
b. Mendapat perawan, baik rohani maupun jasmani
c. Mendapat pendidikan dan pengajaran
d. Mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak30 Lihat undang-undang pemasyarakatan
18 | P a g e
e. Menyampaikan keluhan
f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media
massa lainnya yang tidak dilarang
g. Mendapat kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang
tertentu lainnya
h. Mendapatkan pengurangan masa pidana
i. Mengadapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi keluarga
j. Mendapatkan pembebasan bersyarat
k. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
2. Anak Negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan kepada Negara untuk dididik dan ditempatkan di
Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18
tahun. Anak Negara memiliki semua hak sebagaimana naak
pidana kecuali hak untuk mendapatkan pengurangan masa
pidana
3. Anak Sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau
walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di
Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18
tahun.
Pada undang-undang ini sangat ditekankan hak anak ketika kita
berbicara tentang anak yang berada di dalam Lembaga
Pemasyarakatan. Undang-Undang pemasyarakatan menjadi sangat
penting ketika kita menyangkutpautkannya dengan Konvensi Hak
Anak dan Peraturan-Peraturan Mininum Standar PBB mengenai
Administrasi Peradilan Anak karena perampasan kemerdekaan
bukan suatu opsi atau pilihan yang baik dalam memberikan
hukuman pidana bagi anak maka apabila tidak dapat dielakkan
seluruh Hak Anak harus dijunjung tinggi demi kepentingan masa
depan mereka.
G. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
19 | P a g e
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menyebutkan beberapa hak bagi anak ketika berhadapan dengan
hukum yang diatur dalam pasal 66, yaitu 31;
“(1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukumanyang tidak manusiawi.(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masihanak.(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.(4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yangberlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir .(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dandengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkandari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.(6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnyasecara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.”
Ketika kita mencoba untuk membandingkan Undang-undang ini
dengan Konvensi Hak anak, kita bisa melihat bahwa undang-undang
ini meski tidak begitu luas tetap memasukan pengaturan perihal anak
sesuai dengan tujuan dari Konvensi Hak Anak itu sendiri.
H. Undang-Undang Nomor. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
Sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Internasional pada
tanggal 25 Agustus 1990 dengan Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990, maka Indonesia berkonsekuensi untuk
mengimplementasikan Hak-Hak Anak ke dalam Hukum Nasional
Indonesia. Salah satunya adalah Undang-Undang no. 23 tahun 2002,
yang telah diundangkan pada tanggal 22 Oktober 2002 Lembaran
Negara Nomor 109 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan Anak yang dimaksud adalah segala kegiatan yang
31 Lihat Undang-Undang no. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 66
20 | P a g e
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya, agar dapat tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Asas perlindungan anak disini sesuai
dengan prinsip pokok yang dapat kita temukan dalam Konvensi Hak
Anak. Penyelenggaran Perlindungan Anak ini berasaskan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, serta prinsip dasar Konvensi Hak
Anak. Demikian prinsip-prinsip yang ada di dalam peraturan ini
namun tidak dapat kita temukan dalam peraturan perundangan
lainnya 32;
1. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam
bimbingan orang tua
2. Hak istirahat dan memanfaatkan waktu luang
3. Hak memperoleh kebebasan
4. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara sesuai
dengan hak yang berlaku
5. Hak bagi anak yang dirampas kemerdekaannya
a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya ; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan
pengadilan
I. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak merupakan undang-undang yang menggantikan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif
memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan
hukum. Pengaturan hak anak menurut Undang-Undang sangat
sejalan yang kurang lebih dapat kita jumpai juga dalam Konvensi
Hak Anak. Hak anak yang disebutkan dalam Undang-Undang ini 32 Lihat UU PA
21 | P a g e
lebih menekankan kepada hak setiap anak dalam proses peradilan
pidana yang dapat kita temukan pada pasal 333;
a) Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b) Dipisahkan dari orang dewasa;c) Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;d) Melakukan kegiatan rekreasional;e) Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang
kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f) Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;g) Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;h) Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif,
tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;i) Tidak dipublikasikan identitasnya;j) Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang
dipercaya oleh Anak;k) Memperoleh advokasi sosial;l) Memperoleh kehidupan pribadi;m) Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;n) Memperoleh pendidikan;o) Memperoleh pelayananan kesehatan; danp) memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undanganJuga mengenai hak anak yang sedang menjalani masa pidana yang tertulis pada pasal 4 34;“Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak:a. mendapat pengurangan masa pidana;b. memperoleh asimilasi;c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga;d. memperoleh pembebasan bersyarat;e. memperoleh cuti menjelang bebas;f. memperoleh cuti bersyarat; dang. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Ketika kita mempelajari setiap hak yang disebutkan dalam pasal 3 dan
pasal 4, sesungguhnya beberapa ketentuan yang sama juga telah diterapkan
pada perundang-undangan yang sebelumnya penulis telah jabarkan yaitu
Undang-Undang Nomor. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-33 Lihat Undang-Undang no. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak34 Ibid. pasal 4
22 | P a g e
Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang
Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 4
tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Maka disini kita bisa menyimpulkan
bahwa Undang-Undang ini dirumuskan sejalan dengan Hak Anak.
2.1.2.3. Perlindungan Anak
Di Indonesia perhatian dalam bidang perlindungan anak dan remaja
menjadi salah satu tujuan pembangunan, hal ini dapat diketahui
dalam Garis-garis Besar Haluan negara Bab II/B. Disadari bahwa
dalam proses pembangunan, akibat tidak adanya perlindungan anak,
akan menimbulkan berbagai masalah sosial yang dapat mengganggu
jalannya pembangunan itu sendiri dan mengganggu ketertiban dan
keamanan.
Ruang lingkup kajian mengenai perlindungan anak, secara garis
besar dapat dibedakan dalam dua pengertian pokok yaitu bersifat :
a. Yuridis (baik dalam ruang lingkup hukum public maupun hukum
perdata
b. Non Yuridis (bidang sosial, kesehatan, dan pendidikan)
Dalam ruang lingkup yuridis objek kajiannya adalah berbagai
ketentuan hukum dan norma-norma yang berlaku di masyarakat
yang mengenai anak dan remaja dalam mempergunakan hak-haknya
yang Universal.
Hak-hak anak secara Universal diakui dalam Deklarasi Hak-Hak
Anak (Declaration of the Rights of the Child) tanggal 20 November
1959, pengakuan hak-hak anak yang bersifat Universal ini di
Indonesia tercantum dalam pasal 2 Undang-undang no. 4 tahun 1979
tentang kesejahteraan anak. 35
Jadi perlindungan anak yang bersifat yuridis, menyangkut semua
aturan hukum yang mempunyai dampak langsung bagi kehidupan
seorang anak, dalam arti semua aturan hukum yang mengatur
kehidupan anak.
35 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : Bumi Aksara, 1990, hal. 11
23 | P a g e
Di dalam seminar Perlindungan Anak/Remaja yang diadakan oleh
Pra Yuwana pada tahun 1977, terdapat dua perumusan tentang
Perlindungan Anak, yaitu ;
1. Segala upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun
lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan
pengamanan, penguasaan, dan pemenuhan kesejahteraan fisik, mental
dan sosial anak yang sesuai dengan kepentingan dari hak asasinya.
2. Segala daya upaya bersama yang dilakukan dengan sadar oleh
perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan
swasta untuk pengamanan, pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan
rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum
pernah nikah, sesuai dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat
mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.36
2.2. Anak dalam Pandangan Hukum Pidana ; Pengertian dan batasan usia Anak
yang berhadapan dengan hukum
Seorang anak yang terlibat dalam kasus hukum, dimana dalam kasus tersebut anak
merupakan pelaku tindak pidana, disebut oleh Undang-Undang no. 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak sebagai anak nakal. Kenakalan remaja ini disebut Juvenile
Delinquent di Amerika, yang di Lembaga Peradilan Amerika dirumuskan
pengertiannya sebagai berikut :
“Juvenile delinquency is most jurisdiction is technically speaking a child or young
person (in most states under 16,17,18 ; in two states under 21) who has committed an
offense for which he may referred to juvenile court authorities.”
Berdasarkan perumusan ini kita dalam menggarisbawahi ;
(a) bahwa anak minimal umur 16 tahun dan maksimal umur 21 tahun,
(b) dimana perbuatannya berada dibawah yurisdiksi pengadilan anak.
Kedua faktor inilah yang menentukan status seseorang menjadi juvenile delinquent
(juvenile = young person, delinquent = doing wrong)37
36 Ibid 13-1437 B. Simandjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Bandung, 1981, hal. 287
24 | P a g e
Dapat dikatakan bahwa Juvenile Delinquency adalah suatu tindakan atas perbuatan
pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh
anak-anak. Hal tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak dari pada
kejahatan anak, karena terlalu ekstrim jika seorang anak yang melakukan tindak
pidana disebut sebagai penjahat, sementara yang dilakukan oleh anak-anak
merupakan proses alami dari kegoncangan semasa menjelang kedewasaan.38
Anak yang melakukan tindakan penyimpangan disebut sebagai anak nakal
berdasarkan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, kriteria yang dimaksud dengan anak nakal adalah 39:
a. Anak yang melakukan tindak pidana ;
Walaupun Undang-Undang Pengadilan Anak tidak merumuskan lebih jelas
tentang tindak pidana yang dapat dilanggar bagi anak, karena dalam penjelasan
pasalpun dirumuskan “cukup jelas”, akan tetapi dapat dipahami bahwa tindak
pidana yang dimaksud tidak hanya tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP,
tetapi juga tindak pidana di luar KUHP semisal : Undang-undang tentang
Narkotika, Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Hak Cipta, dan
sebagainya. 40
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak
Perbuatan terlarang yang dimaksud bagi anak nakal adalah baik menurut peraturan
perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini peraturan tersebut
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis seperti hukum adat atau aturan
kesopanan dan kepantasan dalam masyarakat.41
Terdapat berbagai macam pengertian mengenai anak nakal. Anak nakal juga dapat
diartikan sebagai anak yang melakukan kenakalan, yang berbeda dari orang dewasa
sehingga perlakuan terhadapnya juga haruslah dibedakan42. Namun perumusan yang
kita temukan pada Undang-Undang no. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
tidak lagi menyebut anak yang berkonflik dengan hukum sebagai anak nakal 38 Bimo Walgito, Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency), Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1982, hlm. 639 Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 1 ayat 240 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 7741 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 7842 Bortner, M.A., Deliquency and Justice ; An Age Of Crisis, McGraw-Hill Book Company, Page 4
25 | P a g e
melainkan sebatas kepada anak. Hal ini dilakukan dengan upaya agar anak tidak
mendapatkan stigma apapun ketika mereka.
Sebagai konsekuensi dari negara yang bercirikan Civil Law, segala bidang kehidupan
masyarakat diatur di atas peraturan perundang-undangan, yang memunculkan dilema
pluralisme karena ketika kita membicarakan batasan umur pada anak, berbagai
peraturan yang mengatur memiliki definisi yang berbeda-beda. Secara jelas dapat kita
lihat perbedaannya lewat tabel berikut.
Tabel Perbedaan Definisi Anak43
No. Peraturan/Undang-Undang Batasan Umur Anak
1. Convention on The Rights of
the Child
Setiap orang dibawah usia 18 tahun kecuali
berdasarkan hukum yang berlaku terhadap
anak kedewasaan telah diperoleh
sebelumnya
2. Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
Belum berusia 16 tahun dan belum pernah
menikah
3. Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
Belum mencapai 21 tahun dan belum
menikah
4. Undang-Undang No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan
Berusia 16 tahun bagi perempuan dan 19
tahun bagi pria
5. Undang-Undang no. 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan
Anak
Belum mencapai 21 tahun dan belum
menikah
6. Undang-Undang no. 3 tahun
1997 tentang Pengadilan Anak
Anak nakal adalah anak yang telah
mencapai 8 tahun tetapi belum mencapai
umur 18 tahun dan belum pernah menikah
7. Undang-Undang No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi
Manusia
Di bawah 18 tahun dan belum pernah
menikah, termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabial hal tersebut adalah
43 DS. Dewi, Fatahillah A., “Mediasi Penal ; Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia”, Indie Pro Publishing : Jakarta, 2011, hlm. 8
26 | P a g e
demi kepentingannya
8. Undang-Undang no. 23 tahun
2002 tentang Perlindungan
Anak
Belum berusia 18 tahun
9. Putusan MK No. 1/PUU-
VIII/2010 Tahun 2010
Minimal usia anak yang dapat dituntut pertanggung jawban pidana menjadi 12 tahun
10. Undang-Undang No. 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan
Anak
Batasan usia pertanggung jawaban pidana yaitu 12 tahun sampai 18 tahun
11. Rancangan Undang-Undang
Kitab Hukum Pidana
Batasan usia pertanggung jawaban pidana
yaitu 12 tahun sampai 18 tahun
Rumusan Undang-Undang KUHP yang baru sudah memberikan batasan bahwa
anak yang dapat dipidana memiliki jangkauan umur dari minimal 12 tahun hingga
18 tahun yang pengaturannya serupa dengan Undang-Undang no. 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Anak. Bahkan secara tegas dinyatakan dalam RUU
KUHP bahwa anak yang belum mencapai usia 12 tahun tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana atas segala perbuatannya. Namun selama
Undang-Undang KUHP yang baru masih merupakan rancangan, maka ketika anak
dijumpai berada dalam suatu perkara pidana sebagai pelaku tindak pidana, acuan
yang akan digunakan adalah batasan umur yang terdapat pada Undang-Undang
tentang Sistem Peradilan Anak.
1.3. Sistem Pemidanaan Bagi Pelaku Tindak Pidana Anak
1.3.1. Tinjauan umum mengenai Sanksi Pidana
Dibandingkan dengan Hukum Perdata maupun Hukum Administrasi
Negara, sanksi pidana memiliki karakteristik yang khas. Kekhasan tersebut
dapat dilihat dari sifat sanksi yang mengancam kepentingan hukum yang
dilindungi. Sanksi pidana dapat merampas nyawa manusia, kebebasan maupun
harta benda yang dimiliki oleh subjek hukum. Sementara sanksi keperdataan
biasanya berupa ganti kerugian, biaya dan bunga, begitu juga dengan sanksi
administrasi berupa pencabutan izin maupun denda.
27 | P a g e
Sifat keras dan kejam sanksi pidana menimbulkan kontradiksi dan paradoksal
artinya (hukum) pidana itu tidak disukai atau dibenci oleh karena itu
diusahakan untuk dihindarkan atau tidak dipergunakan akan tetapi di sisi lain,
justru butuh untuk digunakan. Fenomena ini terlihat dari banyaknya ketentuan
undang-undang yang berisi “Ketentuan Pidana”. Sifat kontradiktif dan
paradoksal terus berjalan selama pembentuk undang-undang meyakini bahwa
untuk menegakkan hukum perlu ditetapkan sanksi sebagai penjamin agar
ketentuan yang dibuat efektif. Ironisnya, sanksi yang dipilih selalu jatuh pada
sanksi pidana, dan lebih memprihatinkan lagi, pilihan tersebut berujung
kepada penetapan sanksi pidana berupa perampasan kemerdekaan berupa
penjara atau kurungan di samping pidana denda.
Penggunaan Hukum Pidana tidak dapat dipisahkan dengan tujuan
pembangunan nasional guna mewujudkan kesejahteraan. Dengan demikian,
sanksi pidana jika hendak diterapkan harus memperhatikan tujuan lain yang
ingin diwujudkan melalui sanksi itu. Perampasan kemerdekaan bukan
dimaksudkan agar pelaku dimasukkan dalam lembaga pemasyarakatan akan
tetapi seberapa jauhkan pidana itu tidak menyimpang dari tujuan
pembangunan nasional berdasarkan nilai-nilai Pancasila terutama aspek
Kemanusiaan.
Jika pembangunan nasional diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan, maka
fungsi Hukum Pidana sebagia salah satu subsistem pengendalian sosial harus
diselaraskan pula dengan tujuan pembangunan nasional tersebut. Oleh karena
itu, sifat yang ditimbulkan oleh sanksi pidana harus diminimalisasi ke tingkat
yang serendah-rendahnya.
Penjatuhan sanksi pidana hanya ditujukan dalam hal tidak ada upaya lain yang
lebih layak di samping tingkat kerugian yang dialami oleh masyarakt begitu
besar dan tidak dapat dipulihkan kembali. Dengan sadar Nigel Walker
mengemukakan prinsip pembatas dalam upaya meminimalisasi penggunaan
sanksi pidana, yakni :44
a. Jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan
44 Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebiakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung : Penerbit Citra Aditya Bhakti. 1998. Hlm. 48
28 | P a g e
b. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak
merugikan/membahayakan.
c. Jangan menggunakan hukum pidana untuk suatu tujuan yang dapat dicapai
secara lebih efektif dengan sarana-saranan lain yang lebih ringan.
d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul
dari pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak
pidana itu sendiri
e. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat yang lebih
berbahaya dari perbuatan yang akan dicegah
f. Hukum pidana jangan membuat larangan-larangan yang tidak mendapat
dukungan yang kuat dari publik.
Selain prinsip ultimum remedium perlu diperhatikan juga prinsip subsidiaritas
yakni dalam menentukan sanksi pidana yang dijatuhkan, dipilih sanksi yang
lebih ringan. Di kedepankannya kedua prinsip ini sejalan dengan
perkembangan dunia internasional, sanksi perampasan kemerdekaan
merupakan jenis sanksi yang kurang disukai. Kecenderungan Internasional
justru berusaha untuk menghindarkan pidana perampasan kemerdekaan,
apalagi yang sifatnya pendek.45
1.3.2. Perbandingan Sanksi Pidana Anak dalam KUHP dan Undang-
Undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh
anak-anak memang harus ada, mengingat latar belakang dari anak itu
sendiri yang memang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa.
Betapa pentingnya arti seorang anak bagi perkembangan suatu bangsa
sehingga diperlukan suatu peraturan pidana khusus untuk anak
digambarkan dengan baik oleh Javier Perez de Cuellar, Mantan
Sekretaris Jenderal PBB, yang mengatakan 46:
“Cara suatu masyarakat memperlakukan anak, tidak hanya mencerminkan kualitas rasa iba, hasrat, untuk melindungi dan memperhatikan anak, namun juga mencerminkan kepekaannya akan
45 Disaring dari Ali Zaidan, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 10-2446 Paulus Hadisuprapto, Hak-Hak Asasi Anak dan Implementasinya (Tinjauan Yuridis Sosiologis), Makalah, Pertemuan Ilmiah tentang “Kejahatan yang Dilakukan oleh Pelaku Usia Muda, Dewasa dan Penangglangannya”, BPHN, Jakarta, 1994, hal. 1
29 | P a g e
rasa keadilan, komitmennya pada masa depan dan peranan penting anak sebagai generasi penerus bangsanya.”
Pada penjelasan Undang-Undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan anak, pada paragraf 3 bagian umum menyatakan bahwa
dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah
laku anak nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala
ciri dan sifatnya yang khas. Karena itu pula Undang-Undang
Pengadilan Anak telah mengatur secara spesifik terkait dengan sanksi
yang dapat diberikan terhadap anak yang melakukan kenakalan.
Sehubungan dengan sanksi yang dapat diberikan terhadap anak nakal,
UU Pengadilan Anak telah mengaturnya. Secara garis besar, sanksi
yang dapat dijatuhkan bagi anak yang telah melakukan kenakalan,
terdiri dari dua yaitu : Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan (pasal 22)
Perumusan kedua jenis sanksi ini menunjukan bahwa Undang-Undang
no. 3 / 1997 tentang Pengadilan Anak telah menganut apa yang disebut
dengan Double Track System. Dengan kata lain, Undang-Undang ini
telah secara eksplisit mengatur tentang jenis sanksi Pidana dan Sanksi
Tindakan sekaligus.
Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, tindakan yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal
adalah ;
a. Dikembalikan kepada orang tua, wali ataupun orang tua asuh.
Anak Nakal dijatuhi tindakan dikembalikan kepada orang tua, wali
ataupun orang tua asuh apabila menurut penilaian hakim si anak
masih dapat dibina di lingkungan orang tuanya, wali, orang tua
asuhnya. Namun demikian si anak tersebut tetap dibawah
pengawasan dan bimbingan pembimbing kemasyarakatan.
Pengawasan dan bimbingan tersebut dapat berupa pengawasan dan
bimbingan kepada anak yang bersangkutan untuk mengikuti
kegiatan kepramukaan
b. Diserahkan kepada negara
Dalam hal hakim menilai bahwa pembinaan dan pendidikan
terhadap anak nakal tidak dapat lagi dilakukan di lingkungan
30 | P a g e
keluarga, maka anak tersebut diserahkan kepada negara dan disebut
sebagai Anak Negara. Untuk itu si anak ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak dan wajib mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja. Tujuannya adalah untuk memberi
bekal keterampilan kepada anak dengan memberikan keterampilan
mengenai pertukangan, pertanian, perbengkelan, tata rias, dan
sebagainya. Setelah selesai menjalani tindakan tersebut diharapkan
agar anak dapat hidup mandiri.
c. Diserahkan kepada departemen sosial atau organisasi sosial
kemasyarakatan
Tindakan lain yang dapat dijatuhkan hakim kepada anak nakal
adalah menyerahkannya kepada departemen sosial atau organisasi
sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja untuk dididik dan dibina. Walaupun
pada prinsipnya keseluruhan aktivitas tersebut diselenggarakan
oleh Pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan Anak atau oleh
departemen sosial akan tetapi dalam hal kepentingan anak
menghendaki maka hakim dapat menetapkan anak tersebut
diserahkan kepada organisasi sosial kemasyarakatan, seperti
pesantren, panti sosial, dan lembaga sosial lainnya. Apabila anak
diserahkan kepada organisasi kemasyarakatan, maka harus
diperhatikan agama dari anak yang bersangkutan.
Dalam pembangunan hukum pidana positif Indonesia, memang telah
diakui keberadaan sanksi tindakan selain sanksi pidana, walaupun
dalam KUHP menganut Single Track System yang hanya mengatur
tentang satu jenis saja yaitu sanksi pidana (pasal 10 KUHP).
Pengancaman Sanksi Tindakan dalam UU 3/1997 menunjukkan bahwa
ada saranan lain selain pidana (penal) sebagai sarana dalam
penanggulangan kejahatan.
Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga
bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi
penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia
merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan kepada pengenaan
31 | P a g e
penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk
pernyataan pencelaan terhadap perbautan si pelaku. Dengan demikian,
perbedaan prinsip antara sanksi pidana dan sanksi tindakan terletak
pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan ada tidaknya unsur
penderitaan. Sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. 47
Lebih lanjut, terkait dengan sanksi bagi anak nakal yang berupa sanksi
pidana, dapat kita lihat pada Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No.3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu 48:
A. Pidana pokok
1) Pidana penjara
2) Pidana kurungan
3) Pidana denda
4) Pidana pengawasan
B. Pidana Tambahan
1) Perampasan barang-barang tertentu
2) Pembayaran ganti rugi
Apabila kita bandingkan dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, terlihat
jelas perbedaan pengaturan sanksi yang dikhususkan bagi seorang
anak, dalam KUHP jenis-jenis sanksi pokok berupa ;
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda
5. Pidana tutupan
Beberapa jenis sanksi seperti pidana penjara, pidana kurungan, pidana
denda sama-sama dapat kita temukan dalam dua perundang-undangan
tersebut, namun penerapan setiap sanksinya tidak dapat di persamakan.
Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal sesuai
pasal 26 (1) undang-undang tersebut adalah paling lama setengah dari
maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Lewat
rumusan di atas, maka ketentuan yang ada dalam KUHP tentang 47 Nashriana 81-8248 Lihat Undang-Undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
32 | P a g e
ancaman pidana bagi anak harus dibaca setengah dari ancaman
hukuman bagi orang dewasa.
Lamanya pidana kurungan bagi anak nakal pada intinya sama dengan
lamanya pidana penjara bagi anak nakal, yaitu setengah dari
maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Demikian
juga halnya dengan pidana denda. Pidana denda yang dapat dijatuhkan
kepada anak nakal adalah setengah dari maksimum ancaman pidana
denda bagi orang dewasa.
Kembali membandingkan kedua rumusan sanksi di atas, kita dapat
menemukan tidak adanya sanksi pidana mati bagi pelaku tindak
pidana anak. Hal tersebut disebabkan karena undang-undang
pengadilan anak tidak menghendaki apabila anak yang telah
melakukan kenakalan diancam dan dijatuhi pidana pokok berupa
pidana mati. Sebagaimana diketahui bahwa pemidanaan anak nakal
dilatarbelakangi oleh filosofi semata-mata demi kepentingan anak.
Artinya terhadap anak yang notabene sebagai generasi penerus bangsa
tidak diinginkan untuk dijatuhi pidana mati, karena anak sangat
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan yang menunjang perkembangan fisik, mental, dan
sosialnya. Karena itu apabila diancam pidana mati, maka upaya
pembinaan dan perlindungan tidak dapat diberikan sementara usia
yang akan dijalani oleh seorang anak masih sangat panjang demikian
pula sama halnya dengan ancaman pidana seumur hidup, yang
bermakna bahwa pelaksana pidana akan dilalui sepanjang hidup si
anak di lembaga pemasyarakat. Hukuman tersebut tidak sesuai
dengan tujuan dan jiwa dari dibentuknya UU Pengadilan anak. Selain
itu Undang-Undang ini menegaskan bahwa terhadap anak nakal yang
telah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
pidana seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan
kepada anak paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Dari keempat pidana pokok yang diperuntukkan bagi anak nakal,
pidana pengawasan adalah jenis pidana yang baru yang tidak dapat
ditemukan dalam sanksi pokok KUHP. Pidana pengawasan adalah
33 | P a g e
pidana yang khusus dikenakan untuk anak yakni pengawasan yang
dilkukan oleh Jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-
hari di rumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan yang
dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.49 Pidana pengawasan
dapat dijatuhkan paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 bulan.
Namun secara factual pidana pengawasan ini belum dapat berlaku
sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan belum adanya Peraturan
Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana dari pidana pengawasan
tersebut.
1.3.3. Perbandingan Sanksi Pidana Anak dalam RUU KUHP dan
Undang-Undang no. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
Pada tanggal 30 Juli 2012, Undang-Undang no. 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak telah sah digantikan oleh Undang-Undang no. 11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pergantian
Undang-Undang ini digantikan karena Undang-Undang no. 3 tahun
1997 dirasa sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat dan karena belum secara komprehensif
memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan
hukum.
Pasal 71 Undang-Undang no. 11 tahun 2012 menguraikan sanksi
pidana yang dapat dijatuhkan pada pelaku tindak pidana anak, yaitu ;
1. Pidana pokok bagi anak terdiri atas ;
a. Pidana peringatan
b. Pidana dengan syarat
1) Pembinaan di luar lembaga ;
2) Pelayanan Masyarakat; atau
3) Pengawasan
c. Pelatihan kerja
d. Pembinaan dalam lembaga
e. Penjara
2. Pidana tambahan terdiri atas :49 Pasal 30 uu no. 3 tahun 1997 tentang PA
34 | P a g e
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana ;
atau
b. Pemenuhan kewajiban adat
3. Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa
penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja
4. Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat
dan martabat Anak.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan peraturan Pemerintah.
Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia lewat RUU KUHP yang
disusun oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, tampak memberikan
progres yang berarti tentang pengaturan mengenai jenis pidana dan
tindakan terhadap anak. Pengaturan mengenai sanksi pokok terhadap
pelaku tindak pidana anak dapat kita temukan pada pasal 116 yang
terdiri atas ;
1. Pidana Pokok terdiri atas ;
a. Pidana Verbal
1. Pidana peringatan, atau
2. Pidana teguran keras ;
b. Pidana dengan syarat :
1. Pidana pembinaan di luar lembaga
2. Pidana kerja sosial ; atau
3. Pidana pengawasan ;
c. Pidana denda ; atau
d. Pidana pembatasan kebebasan :
1. Pidana pembinaan di dalam lembaga ;
2. Pidana penjara ; atau
3. Pidana tutupan
2. Pidana tambahan terdiri atas ;
a. Perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan ;
b. Pembayaran ganti kerugian ; atau
35 | P a g e
c. Pemenuhan kewajiban adat
Terlihat jelas bagaimana sanksi pidana anak dalam rancangan Undang-Undang
KUHP lebih terperinci dan jelas apabila dibandingkan dengan UU SPPA.
Dalam RUU KUHP pidana verbal mencakup pidana peringatan yang juga
diatur dalam UU SPPA, dengan tambahan pidana teguran keras. Dijelaskan
dalam RUU KUHP bahwa pidana verbal merupakan pidana ringan yang tidak
mengakibatkan pembatasan kebebasan kepada anak. Pidana peringatan sendiri
adalah pemberian nasihat kepada anak agar menjauhi perbuatan yang negatif.
Yang dimaksud dengan pidana teguran keras tidak hanya sebatas memberikan
nasihat melainkan anak diberi peringatan keras.50
Kedua peraturan masih mempertahankan pidana dengan syarat setelah pidana
verbal. Perbedaannya tampak dalam sanksi baru yang dinamakan Pidana Kerja
Sosial menggantikan pelayanan masyarakat dalam UU SPPA. Namun dalam
UU SPPA sendiri sebenarnya sudah ada Pidana Kerja Sosial namun dengan
nama yang berbeda yaitu pelayanan kerja. Dalam hal pidana dengan syarat,
hakim tidak menjatuhkan pidana penjara, tetapi berupa pidana pembinaan di
luar lembaga, pidana kerja sosial, atau pidana pengawasan. Pidana pembinaan
di luar lembaga dimaksudkan untuk memberikan pembinaan kepada anak, baik
dalam rangka penyembuhan karena tidak atau kurang mampu bertanggung
jawab pidana disebabkan sakit jiwa atau retardasi mental ataupun berupa
pembinaan lainnya bagi anak yang sehat jiwanya untuk memperoleh
keterampilan yang berguna bagi kehidupannya. 51
Pidana pengawasan dan pidana kerja sosial merupakan pidana baru yang
dikembangkan sebagai alternative dari pidana perampasan kemerdekaan
jangka pendek (short prison sentence) yang akan dijatuhkan oleh hakim.
Pidana pengawasan (probation) merupakan fase pertama dimana pelaku tindak
pidana hanya ditetapkan bersalah dan ditetapkan suatu masa percobaan.
Sedangkan fase kedua, sanksi pidana penjara baru dijalani apabila terpidana
melakukan tindak pidana pada masa fase pertama. Pidana kerja sosial sendiri
merupakan pidana dimana terpidana harus melakukan pekerjaan sosial yang
ditentukan tanpa bayaran.
50 KUHP pasal 117. 51 Pasal 118 ruu kuhp
36 | P a g e
Hal yang membedakan terakhir dari kedua pengaturan di atas, diaturnya
pidana denda dan pidana tutupan dalam rangkaian sanksi pidana anak dalam
RUU KUHP yang tidak ada dalam UU SPPA.
1.4. Permasalahan Pada Pidana Penjara Anak dan Urgensi Pembaharuan
Hukum Pidana
Menurut PAF Lamintang,52 pidana perampasan kemerdekaan atau penjara telah
dikenal sejak abad keenam belas atau ketujuh belas, pada waktu itu hukuman
dilakukan dengan menutup para terpidana di menara-menara, di puri-puri atau di
benteng-benteng. Pidana ini semula dijatuhkan kepada mereka dalam bentuk
hukuman mati, akan tetapi kemudian justru bergeser pula dijatuhkan kepada
mereka berupa pidana perampasan kemderkaan baik untuk sementara maupun
untuk seumur hidup.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang Pidana Perampasan Kemerdekaan perlu
dilakukan penelusuran tentang perjalanan sejarah sanksi pidana perampasan
kemerdekaan khususnya pidana penjara.53
Dimulai dari sistem Pensyvalnia ketika terpidana menjalani hukuman di kamar
sempit seorang diri, dengan tujuan agar antara sesame terhukum tidak
terkontaminasi. Setelahnya dikenal Sistem Auburn dimana para pekerja
dibolehkan untuk melakukan kerajinan pada siang hari.
Masa reformasi sistem pidan penjara dijalani pelaku dalam tiga tingkatan yakni
pertama, probation di mana terhukum diasingkan dalam sebuah sel tersendiri yang
lamanya tergantung dari perubahan perilaku terhukum, akan tetapi maksimum
lamanya satu tahunn. Tingkatan kedua, terpidana ditempatkan bersama-sama
dengan terpidana lain untuk melakukan pekerjaan tertentu, yang dibagi-bagi
dalam beberapa kelas. Tingkat ketiga, terpidana sudah diberi hak untuk
dibebaskan dengan perjanjian bahwa selama waktu tersebut masih berada di
bawah pengawasan.
Pemerintah Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945 belum banyak
memperoleh kesempatan memperbaiki keadaan untuk pembaharuan pelaksaan
pidana penjara,54 selain perubahan terhadap struktur organisasi kepenjaraan dalam
rangka perubahan pemerintahan terhadap struktur organisasi kepenjaraan dalam 52 PAF Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Penerbit Armico, Bandung, 1984, hlm. 5653 Disarikan dair buku Utrecht, Rangkaian sari kuliah hukum pidana II, Penerbitan Universitas Cetakan ke 3, 1965, hlm. 277. Juka buku dwija priyatno, sistem pelaksanan Pidana penjara di Indonesia, PENERBIT Rineka, Cipta 2006, hlm. 20
37 | P a g e
rangka perubahan pemerintah adna keududkan organisasi negara Republik
Indonesia yang merdeka.
Dlaam salah satu laporan PBB disebutkan bahwa efektivitas pidana penjara
mejadi isu actual yang dipandang dari sudut efeknya terutama dari sudut
kepentingan terpidana sendiri untuk kembali kepada masyarakat dan menjadi
warga yang patuh pada hukum.55 Dinyatakan bahwa eksistensi pidana penjara
tidak dapat diabaikan, hanya saja sebagai suatu masalah kebijakan public,
penggunaannya harus dibatasi terhadap para pelanggar yang perlu dinetralisir
untuk kepentingan kemanaan umum dan perlindungan masyarakat.
Ternyata peran pidana penjara di berbagai negara menurut PBB mengalami krisis
kepercayaan terutama dalam usahanya untuk mengontrol atau mengurangi
kejahatan. Efektivitas pidana penjara masih diragukan, jika dikaitkan dengan
angka laju kejahatan. Efektivitas pidana penjara dalam kaitannya dengan
penanggulangan kejahatan telah menimbulkan dampak negative terhadap
kehidupan narapidana. Selain pemberian stigma, dan hilangkan kepercayaan diri
untuk hidup normal di tengha pergaulan masyarakat di dalam penjara antara
narapidana terjadi interaksi tentang modus dan motif melakukan kejahatan,
sehingga orang yang baik sekalipun akan belajar metode dan teknik untuk
melakukan kejahatan Ramsey Clark mealui judul bukunya Prison, Factories of
Crime” penara telah berubah menjadi pabrik kejahatan yang proses terjadinya
mengikuti pola internaksi sebagaimana dikemukakan di atas.
Oleh karena itu, PBB menyerukan agar pidana penjara atau pidana perampasan
kemerdekaan sedapat mungkin dihindarkan, terutama terhadap mereka yang baru
pertama kali melakukan kejahatan, terdakwanya masih muda, atau telah berusia
lanjut, atau kerugian yang diitmbulkan tidak mengguncangkan sendi-sendi
kehidupan masyarakat. Menurut PBB bahwa orang tidak menjadi lebih baik tetapi
justru menjadi lebbih jahat seteah menjalni pidana penjara.
1.5. Generasi Sanksi Pidana
Sejarah Pidana perampasan kemerdekaan telah melampaui masa yang cukup
panjang, hal ini diketahui dari pendapat PJP Tak seorang ugur besar di
54 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm. 13755 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, Cetakan Kedua, tahun 1996, hlm. 109.
38 | P a g e
Universitas Nijmengen Belanda yang mengemukakan bahwa ada 4 generasi
sanksi pidana (modern), yaitu sebagai berikut:56
1. Generasi pertama, dimana sanksi pidana perampasan kemerdekaan
merupakan pidana yang utama untuk menggantikan pidana mati, pidana siksa
badan, pidana kerja paksa, dan pidana mendayung kapal. Pidana perampasan
kemerdekaan ketika itu dianggap lebih manusiawi dan rational, tetapi juga
untuk melakukan rehabilitasi terhadap pelanggar hukum.
2. Generasi kedua ditandai oleh gejala semakin populernya pidan perampasan
kemerdekaan di Eropa Barat. Konsepsi PIDANA PENJARA DI Eropa Barat
mewarnai negara-negar yang menjadi koloni negara eropa tersebut. Indonesia
merupakan salah satu contoh dair konsepsi pidana penjara yang
idkembangkan di belahan dunia Eropa tersebut. Konsepsi seperti pidana
penjara dan kurungan yang kemudian disederhanakan menajdi pidaan penajra
saja, terus mengalami perkemabgan yang kemudian menemukan kelemahan
pidan perampasan kemerdekaan. Hasi penelitian kriminologi memberi
sumbangih yang besar terhadpa reformasi di bidang pemenjaraan. Diketahui
bahwa pidana penjara selain menimbulkan efek kriminogen dan viktimogen
juga memberi kontribusi yang besar untukt erjadinya residivisme oleh Karen
itu mnuncu gasaasn pidan berysat untuk menghidarkan penerapan pidana
penjar.a jenis pidana ini masuk ke Indoensia tahun 1915 dengan ditambahakn
ektetenuan dalam pasal 14 kuhp.
3. Generasi ketiga merupakan kelanjutan dair generasi kedua yang mencari
alternative terhadpa pidana perampasan kemerdekaan.pidana denda dalam
KUHP Belanda yang semula sama dengan di Indonesia, yaitu ditentukan
maksimummnya secara khusus pada setiap delik sesuai dengan kadar
seriusnya, sedangkan minimumnya ditentukan secara umum (sama untuk
semua delik). Akan tetapi kemudian belanda mengubahkan karena ada
beberapa delik tertentu umumnya yang menimbulkan kerugian materiil yang
dimungkinkan pengenaan denda bersama dengan pidana penjara.
4. Generasi keempat, sistem pidana yang timbul ketika pidna yang ditunda
(suspended sentence( dan pidana denda mulai dirasakan juga kurang jika
diterapkan secara luas, karena akan mengurangi kredibilatasinya. Alternative
56 Dwija Priyatno, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit STHB Press, Bandung, 2005, hlm. 3.
39 | P a g e
lain dari pidana perampasan kemerdekaan mulai ditemukan yaitu sanksi-
sanksi alternative. Yang dimaksud engan sanksi alternative itu ialah pidana
kerja sosial, pidaan pengawasan, dan perhatian kepada korban kejahatan,
sehingga diperkenalkan ganti kerugian kepada korban kejahatan sebagia
sanksi alternative. Generasi keempat diipengaruhi oleh pandangan yang
melihat pidana penjara telah menimbulkan kerugian yang cukup parah,
sehingga penggunaannya sebagia saranan untuk menanggulangi kejahatan
dipertanyakan. Kritik yang dialamatkan kepada pidana penjara ditujukan
kepada sistem pidan penjara itu sendiri. Aliran pertama disebut dengan aliran
moderat yang berpenderian untuk tetapi memetahankan pidana penjara.
Namun penggunaannya harus dibatasi. Aliran kedua disebut kritik ekstrim.
Aliran kedua menghendaki hapusnya sama sekali pidana penjara. Gerakan
penghapusan pidana penjara (prison abolition) ini terlhihat dengan adanya
International Conference on Prison Abolition (ICOPA) yang diselenggarakan
pertama kali pada bulan Mei 1983 di Toronto, Kanada.
PBB merekomendasikan bahwa pengurangan berangsur-angsur pidaan
perampasan kemerdekaan, dengan meningkatkan bentuk bentuk
pengganti/alternative pidana bersyarat, pengawasan/probation, denda, pekerjaan
di luar lembaga, dan tindakan-tindakan lain yang tidak mengandung perampasan
kemerdekaan. Secara ideologis prinsip demikian dikemukaakn adalah untuk
mengurangi atau membatasi penerapan pidaan penjara hanya pada orang-orang
yang melaksanakan tindak pidana berat. Sementara mereka yang melakukan
tindak pidana yang akibatnya tidak terlalu serius di upayakan untuk menghindari
pidana penjara.
40 | P a g e