42
BAB II TINJUAN PUSTAKA A. DEFINISI Asma merupakan suatu kelainan pada saluran napas yang diakibatkan oleh proses inflamasi kronis yang melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menyebabkan episode mengi (wheezing), apneu, sesak nafas dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau awal pagi. Episode ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan yang bersifat reversibel baik secara spontan ataupun dengan terapi. 3 Global Institute for Asthma (GINA) mendefinisikan asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan seperti, sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Inflamasi kronik tersebut menyebabkan episode mengi (wheezing) berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam hari atau dini hari. 3 Definisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas

Bab II Presus Asma

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hk

Citation preview

Page 1: Bab II Presus Asma

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Asma merupakan suatu kelainan pada saluran napas yang diakibatkan oleh proses

inflamasi kronis yang melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis

tersebut berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menyebabkan

episode mengi (wheezing), apneu, sesak nafas dan batuk-batuk terutama pada malam hari

atau awal pagi. Episode ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan yang

bersifat reversibel baik secara spontan ataupun dengan terapi.3

Global Institute for Asthma (GINA) mendefinisikan asma adalah gangguan

inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan seperti, sel mast,

eosinofil, dan limfosit T. Inflamasi kronik tersebut menyebabkan episode mengi

(wheezing) berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam

hari atau dini hari.3

Definisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah

mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul

secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas

fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya.5

Definisi asma yang saat ini umumnya disetujui oleh para ahli yaitu asma adalah

penyakit paru dengan karakteristik :

1. Obstruksi saluran napas yang reversible (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien)

baik secara spontan maupun dengan pengobatan

2. Inflamasi saluran nafas kronik

3. Peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan

B. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO(3,4,6)

Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. Faktor genetik

a. Hiperreaktivitas jalan napas

Page 2: Bab II Presus Asma

Berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas yang melibatkan sel-sel inflamasi.

b. Atopi/ alergi bronkus

Adanya riwayat atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten

dan beratnya asma. Beberapa laporan menunjukan bahwa sensitisasi alergi

terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun pertama

kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma

c. Jenis kelamin

Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens asma

pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak

perempuan.

d. Ras/ etnik

Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalens asma dan

kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih.

2. Faktor lingkungan

a. Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)

b. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)

c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan

laut, susu sapi, telur)

d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dan

sebagainya)

e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)

f. Ekspresi emosi berlebih

g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

i. Exercise induced asthmaj. Perubahan cuaca

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: 3,4,7

Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu

(anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta pajanan asap

rokok, infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang, alergen

dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen seperti serbuk sari,

asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di tempat kerja, udara dingin

Page 3: Bab II Presus Asma

dan kering, olahraga, menangis, tertawa, hiperventilasi, dan kondisi komorbid

(rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal refluks).

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu dan faktor

lingkungan. Interaksi faktor genetik atau pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui

kemungkinan :

Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan

genetik asma

Baik faktor lingkungan maupun faktor pejamu atau genetik masing-masing

meningkatkan risiko asma

Disini faktor pejamu termasuk predisposisi yang mempengaruhi untuk

berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopik), hiperreaktivitas bronkus, jenis

kelamin dan ras. Fenotip yang berkaitan dengan asma dikaitkan dengan ukuran subjektif

(gejala) dan objektif (hiperreaktivitas bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya.

Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau predisposisi

asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau

menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu

allergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan

(virus), diet, status ekonomi dan besarnya keluarga. Alergen dan sensitisasi bahan

lingkungan kerja dipertimbangkan sebagai penyebab utama asma dengan pengertian

faktor lingkungan tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan

kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan

menetapnya gejala.

C. EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS) tahun 2003,

prevalensi  serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah

anak 4,2  juta) dan pada dewasa dengan usia diatas 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa

7,8 juta). Jumlah anak laki-laki yang mengalami asma 1,5 sampai 2 kali lebih sering

dibandingkan perempuan, tetapi setelah pubertas prevalensi asma pada laki-laki sama

dengan perempuan. World Health Association (WHO) memperkirakan terdapat sekitar

Page 4: Bab II Presus Asma

250.000 kematian akibat asma. Sedangkan  berdasarkan laporan National Center for

Health Statistics (NCHS) tahun 2000 terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per

100  ribu populasi.2

Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan angka

kesakitan. Asma merupakan 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal

itu tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai

propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke 5 dari 10

penyebab kesakitan bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema.7

D. PATOGENESIS3,7,8

Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai oleh

serangan batuk, wheezing (mengi) dan dispnea pada individu dengan jalan nafas yang

hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan

penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling

sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan. Beberapa orang dengan

gejala asma yang bermula dalam 2 dekade pertama kehidupan, lebih besar

kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh Immunoglobulin E (IgE) dan

memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik.

Asma merupakan suatu bentuk reaksi hipersensitivitas tipe 1, alergen masuk ke

dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE yang terdiri dari 3 fase,

yaitu:

1. Fase Sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai

diikat silang oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel mast dan basofil.

2. Fase Aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen

yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang

menimbulkan reaksi.

3. Fase Efektor yaitu waktu terjadinya respons yang kompleks sebagai efek

mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil.

Page 5: Bab II Presus Asma

Gambar 1. Patofisiologi Asma

Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh

antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan

molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4+

dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik berperan sebagai Antigen Precenting

Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di

dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling

berhubungan di dalam epitel saluran respiratori.

Pajanan pada dengan antigen mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B

berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat

oleh Fce-R pada sel mast dan basofil. Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan

ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast, memacu pelepasan mediator

farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan basofil. Mediator-mediator tersebut

menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskular dan

vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis.

Teori terbaru mengenai patogenesis asma adalah hubungan antara suatu proses

inflamasi dengan proses remodeling sel epitel yang rusak akibat proses inflamasi.

Semakin lama suatu proses inflamasi terjadi, maka semakin besar pula proses remodeling

terjadi. Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang

menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori

melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Kombinsai

Page 6: Bab II Presus Asma

antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matriks

Metalloproteinase (MMP) dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi

berlebih faktor pertumbuhan profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan

proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses

yang penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi

faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel

otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah

vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul

termasuk kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada

pasien yang meninggal akibat asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan

lamanya penyakit.

Gambar 2. Patogenesis Asma (Teori remodelling)

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan

kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama pada proses inflamasi

kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan

perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan penebalan

dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis

hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh

Page 7: Bab II Presus Asma

dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi

inhalasi kortikosteroid.

Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi

bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus.Inhalasi alergen

akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin

juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan

mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel

jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa

sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.

E. PATOFISIOLOGI ASMA4,7,8

Obstruksi saluran respiratori

Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan oleh

banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang diprovokasi

mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin, triptase,

prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang

dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post

ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah

hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada

saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi

sekret yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari

mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.

Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh

penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon

trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas

adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan volume

yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini

meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara pernafasan melalui

jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks

berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami

kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas

dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas.

Page 8: Bab II Presus Asma

Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

Hiperaktivitas saluran respiratori

Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang menyebabkan

penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan

dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi sekunder serta berpengaruh

terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding

saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut.

Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada

pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan

penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik asma,

dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic Obstruction

Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga,

udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos

saluran nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang

sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan

mediatornya.

Otot polos saluran respiratori

Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus. Kelainan

ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan

otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien

Page 9: Bab II Presus Asma

asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan,

terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel

otot polos dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.

Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui hipotesis

pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas mengalami

kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai pada tahap akhir,

yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang

menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder terhadap

inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan timbulnya edema adventsial dan

lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis.

Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan protein

kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk berkontraksi,

sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Keadaan inflamasi ini

dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung ataupun sekunder terhadap

geometri saluran nafas.

Hipersekresi mukus

Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada

saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan

karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas

hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran

nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan

bronkodilator(9).

Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan

volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan dan perlengketan dari

sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi terdapat juga

penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal dari mikrovaskularisasi

bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis(9).

Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu

mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan

mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel Goblet yang

dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan

Page 10: Bab II Presus Asma

neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang

lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan

aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel mast, leukotrien,

histamin, produk neutrofil non-protease(9).

F. GAMBARAN KLINIK

Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak

napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada

asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa

disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret

baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang

gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant ashtma.

Bila hal yang terkahir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan

sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.

Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma

tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor

pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas

ataupun perubahan cuaca.

G. DIAGNOSIS3,4,7

Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan gejala

batuk dan/ atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari

(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan/ atau atopi

pada pasien atau keluarga.

. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya

dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow meter, atau yang lebih

lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamine, metakolin, gerak

badan (exercise), udara kering dan dingin,atau dengan salin hipertonis sangat menunjang

diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara

yaitu didapatkannya.

1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%

2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.

Page 11: Bab II Presus Asma

3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.

Anamnesis

Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala batuk

dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif, rasa berat di dada. Selain keluhan

batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala yang

timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang timbul

tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya tidak terganggu. Pada

serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada

serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-

putus saat mengucapkan kata-kata.

Riwayat penyakit atau gejala :

1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.

3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.

4. Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu.

5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit

1. Riwayat keluarga (atopi).

2. Riwayat alergi/atopi.

3. Penyakit lain yang memberatkan.

4. Perkembangan penyakit dan pengobatan.

Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari atau bila ada

beban fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian cukup banyak asma

anak dengan batuk kronik berulang, terutama terjadi pada malam hari ketika hendak

tidur, disertai sesak, tetapi tidak jelas mengi dan sering didiagnosis bronkitis kronik. Pada

anak yang demikian, yang sudah dapat dilakukan uji faal paru (provokasi bronkus)

sebagian besar akan terbukti adanya sifat-sifat asma.

Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan obat batuk

biasa dan kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator, sangat mungkin

merupakan bentuk asma.

Page 12: Bab II Presus Asma

Pemeriksaan Fisik

o Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan sedang

tidak ditemukan kelainan fisik di luar serangan.

o Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk

paroksismal, kadang-kadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat

retraksi daerah supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma

kronik bentuk toraks emfisematous, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter

anteroposterior toraks bertambah.

o Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah

posterior. Daerah pekak jantung dan hati mengecil.

o Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara napas

melemah atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Terdengar

juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lender bila sekresi bronkus

banyak. Hal ini terjadi akibat hipersekresi lendir, udem dinding bronkus dan

konstriksi otot polos bronkus. Sehingga timbul gejala batuk, terdengar ronkhi

basah kasar dan mengi. ekspiratori yang lebih menonjol seperti fase ekspirasi

lebih panjang dibandingkan fse inspirasi dan dapat ditemukan suara nafas

wheezing

o Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Mengi

dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat disertai gejala

sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan obat bantu

napas.

Pemeriksaan Penunjang

Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah

analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada AGD

dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2 (hipoksemia).

Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru bila kondisi

memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya penurunan FEV1 yang

mencapai <70% nilai normal.

Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eosinofil total dapat membantu

penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eosinofil total umum dijumpai

Page 13: Bab II Presus Asma

pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan pemeriksaan uji provokasi

dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi positif, maka diagnosis asma secara

definitive dapat ditegakkan.

Pada pemerikasaan radiologi dapat menunjukan gambaran hiperaerasi, diameter

aneto-posterior bertambah, costae mendatar, sela antar costae yang melebar dan

diafragma tertekan ke bawah.

Uji kulit alergi dan imunologi dengan komponen alergi pada asma dapat

diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji kulit

adalah cara utama untuk mendignosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan

prick test. Pemeriksaan IgE spesifik dapat memperkuat diagnosis dan menentukan

penatalaksaannya.

Klasifikasi Derajat Penyakit Asma

Page 14: Bab II Presus Asma

Derajat Serangan Asma

Page 15: Bab II Presus Asma

ALUR DIAGNOSIS ASMA

Batuk dan/mengi

Tidak

Berhasil

Riwayat Penyakit

Pemeriksaan fisik

Uji Tuberkulin

Tidak jelas asma:

Timbul pada masa neonates Gagal tumbuh Infeksi kronik Muntah/tersedak Kelainan fokal paru Kelainan system

Jika ada fasilitas, periksa dengan peak flow meter atau spirometer

Pertimbangkan pemeriksaan:

Rontgen thorax dan sinus Uji fungsi paru Uji respons terhadap

bronkodilator Uji provokasi bronkus Uji imunologik Pemeriksaan motilitas Pemeriksaan refluks

gastroesofagus

Patut diduga asma:

Episodik Nokturnal Pasca aktivitas berat Riwayat atopi

pasien/keluarga

Berikan Bronkodilator

Diagnosis kerja: Asma

Tentukan derajat dan pencetusnya

Berikan obat asma: bila tidak berhasil nilai ulang diagnosis

dan ketaatan berobat

Page 16: Bab II Presus Asma

H. DIAGNOSIS BANDING

Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis dan fibrosis kistik.

Kelainan trakea dan bronkus misalnya laringotrakeomalasia dan stenosis bronkus.

Tuberkulosis paru ditandai dengan batuk berdahak selama kurang lebih 2 minggu

disertai dengan keringat malam, demam dan penurunan BB.

Bronkitis kronik. Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang

mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab

batuk kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkarkan

dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien

berumur > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari,

lama-kelamaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan kegiatan

jasmani.pada stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor

pulmonal. Tidak ditemukan eosinofilia, suhu biasanya tinggi dan tidak herediter.

Asma kardial. Dispnea paroksismal terutama malam hari dan biasanya didapatkan

tanda-tanda kelainan jantung.

Page 17: Bab II Presus Asma

I. PENATALAKSANAAN

Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan

mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan

dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol).

Tujuan :

Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;

Mencegah eksaserbasi akut;

Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;

Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;

Menghindari efek samping obat;

Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel;

Mencegah kematian karena asma.

Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi

genetiknya.

Pada dasarnya terapi asma dapat dinagi menjadi dua kelompok besar yaitu terapi

non-medikamentosa dan terapi medikamentosa.

Terapi Non-Medikamentosa

Terapi non-medikamentosa pada pasien asma terutama ke arah edukasi kepada

pasien dan atau keluarga pasien. Terapi non-medikamentosa sangat penting dan perlu

mendapat perhatian yang cukup demi menurunkan insidensi dan morbiditas asma.

Edukasi pasien asma dapat meliputi:

1) Meningkatkan pemahaman pasien dan keluarga pasien mengenai asma secara

umum dan pola penyakit asma.

2) Meningkatkan pengetahuan pasien atau keluarga pasien dalam identifikasi faktor

penyebab gejala asma pada pasien, baik dalam hal kontrol terhadap alergen debu,

bulu binatang, asap rokok, atau penyebab lainnya.

3) Meningkatkan pola hidup sehat, terutama konsumsi makanan yang mengandung

gizi baik. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan imunitas seseorang yang

sudah terkena asma dan menurunkan morbiditas asma.

Page 18: Bab II Presus Asma

Tatalaksana Medikamentosa

Terapi medikamentosa meliputi terapi saat terjadinya serangan maupun

terapi untuk jangka panjang.

Tujuan tatalaksana saat serangan:

1. Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin

2. Mengurangi hipoksemia

3. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya

4. Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah

kekambuhan.

Terapi medikamentosa pada pasien asma dapat dibagi dalam dua

kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller).

Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang

timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini

tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat

pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini

digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran

nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun

sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan

Page 19: Bab II Presus Asma

yaitu 25 % setiap penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8

minggu.

Berat asma Medikasi pengontrol harian Alternatif / pilihan lain Alternatif lain

Asma intermiten Tidak perlu

Asma persisten ringan

Steroid inhalasi

(200-400_g BD/hari atau ekivalennya)

Teofilin lepas lambat kromolin

Leukotriene modifiers

Asma persisten sedang

Kombinasi inhalasi steroid (400-800_g BD/hari atau ekivalennya & LABA

Steroid inhalasi

(400-800_g BD/hari atau ekivalennya) ditambah teofilin lepas lambat atau steroid inhalasi (400-800_g BD/hari atau ekivalennya) ditambah LABA oral atau steroid inhalasi (400-800_g BD/hari atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers

Ditambah LABA oral atau ditambah teofilin lepas lambat

Asma persisten berat Kombinasi Inhalasi steroid (>800_g BD atau ekivalennya) dan LABA ditambah ≥ ditambah dibawah ini :

Teofilin lepas lambat

Leukotriene modifiers

Steroid oral

Prednisolon / metil prednisolon selang sehari 10 mg ditambah LABA oral, ditambah teofilin lepas lambat

Obat – obat Pereda (reliever)9

1. Bronkodilator

a. Short-acting β2 agonist

Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada

anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan,

alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan

pankreas(10).

Page 20: Bab II Presus Asma

Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan

ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas

yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan

klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya

pelepasan mediator sel mast

b. Epinefrin/adrenalin9

Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2

agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α

sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi,

takiaritmia, tremor, dan hipertensi.

Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek

bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama

pada jantung dan sistem saraf pusat.

c. β2 agonis selektif9

Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.

1) Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

2) Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

3) Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

4) Dosis salbutamol nebulisasi: 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis

maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu

dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).

5) Dosis terbutalin nebulisasi: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.

Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit,

efek puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian

inhalasi (inhaler/ nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak

dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.

Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena

pada keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan

napas. Efek samping berupa takikardi lebih sering terjadi.

1) Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1

mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.

Page 21: Bab II Presus Asma

2) Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit,

dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.

Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,

palpitasi, dan takikardi.

d. Methyl xanthine

Efek bronkodilatasi Methyl xanthine setara dengan β2 agonist inhalasi,

tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat

ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan

antikolinergik(12). Contoh obat golongan Methyl xanthine adalah teofilin dan

aminofilin.

Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap

reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methyl xanthine cepat

diabsorbsi setelah pemberian oral, rektal, atau parenteral. Pemberian teofilin

(intramuskular) IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang

lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan

absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Methyl

xanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air

susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolisme hati, sebagian besar

dieksresi bersama urin.

Dosis aminofilin intravena (IV) inisial bergantung kepada usia :

a. 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam

b. 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam

c. 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam

d. > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang

lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.

e. Anticholinergics

Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan

nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis

anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam.

Page 22: Bab II Presus Asma

Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk

usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia di bawah 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek

sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik

inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.

f. Kortikosteroid10

Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:

a. Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang

cukup lama.

b. Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid

hirupan sebagai kontroler.

c. Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk

mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam.

Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon

dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali

sehari.

Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat

ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat

sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain

di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vaskular.

Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi

ke jaringan paru lebih baik. Dosis metilprednisolon intravena (IV) yang

dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Selain itu dapat digunakan

Hidrokortison intravena (IV) dengan dosis 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam.

Dexamethasone bolus intravena (IV) juga dapat digunakan dengan dosis 0,5 – 1

mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam.

Obat untuk Nebulisasi

No. Nama Generik Sediaan Dosis Nebulasi

1. β Agonis

Fenoterol

Salbutamol

Solution 0,1%

Nebule 2,5 mg

5-10 tetes

1 nebule

Page 23: Bab II Presus Asma

Terbutalin Respule 2,5 mg 1 respule

2. Antikolinergik

Ipatropium Bromida Solution 0,025% > 6 tahun: 8-20 tetes

< 6 tahun: 4-10 tetes

3. Steroid

Budesonide Respule

Sediaan Steroid untuk Serangan Asma

No. Nama Generik Sediaan Dosis

1. Steroid Oral

Prednisolon

Prednison

Triamsinolon

Tab 4 mg

Tab 5 mg

Tab 4 mg

1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam

1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam

1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam

2. Steroid Injeksi

Metilprednisolon

Hidrokortison

Deksametason

Betametason

Vial 500 mg

Vial 100 mg

Ampul 4 mg

Ampul 4 mg

30 mg/kgBB dalam 30 menit

4 mg/kgBB tiap 6 jam

0,5-1 mg/kgBB tiap 6-8 jam

0,05-0,1 mg/kgBB tiap 6 jam

Obat – obat Pengontrol (controller)10

Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik

glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, teofilin, , dan long

acting oral β2-agonist.

1. Inhalasi glukokortikosteroid

Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling

efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal

dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam

pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi

pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-

gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di

rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif

bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.

Page 24: Bab II Presus Asma

Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,

mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya

down regulation receptor β2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400

ug/hari (respire anak). Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak,

gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)

Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan

mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang

yang membandingkannya dengan steroid hirupan dan Leukotriene Receptor

Antagonist(LTRA). Keuntungan memakai Leukotriene Receptor Antagonist

(LTRA) adalah sebagai berikut :

a. LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil

leukotriane;

b. Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor;

c. Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction

d. Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per hari.,

penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat

montelukast ini belum ada di Indonesia;

e. Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan

meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming

growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis,

hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan mencegah perubahan

fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.

3. Long acting β2 Agonist (LABA)

Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.

Pemberian inhalasi kortikosteroid 400 ug dengan tambahan LABA lebih baik

dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,

menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi inhalasi

kortikosteroid dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone

propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort).

Page 25: Bab II Presus Asma

Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini

mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai obat.

4. Teofilin lepas lambat

Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid

yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan

glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada

glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.

Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi

ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan

lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh

karena itu terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap

diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

Page 26: Bab II Presus Asma
Page 27: Bab II Presus Asma

PENCEGAHAN

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut:

Sehubungan dengan asal-usul tersebut, upaya pencegahan asma dapat dibedakan

menjadi 3 yaitu:

1. Pencegahan primer

2. Pencegahan sekunder

3. Pencegahan tersier

J. KOMPLIKASI 1,3,4

Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi

emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks membungkuk ke

depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letak rendah,

gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma kronik

dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison.

Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat

terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung lama

dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi bronkopneumonia.

Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi

dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila tidak ditolong dengan semestinya

dapat menyebabkan gagal pernapasan, gagal jantung, bahkan kematian.

K. PROGNOSIS3

Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir

menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang

jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di

pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.

Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik

ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul

Page 28: Bab II Presus Asma

pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun setelah

diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi

persentase anak yang menderita penyakit yang berat relatif berat (6 –19%). Secara

keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21

tahun asmanya sudah menghilang.