Upload
viia-alfa-beespe
View
15
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
BAB II
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Teori Motivasi
1. Definisi Motivasi
Perilaku kerja seseorang itu pada hakekatnya ditentukan oleh
keinginannya untuk mencapai beberapa tujuan. Keinginan itu istilah lainnya
ialah motivasi kerja perawat. Motivasi berasal dari bahasa latin yaitu movere
yaitu dorongan atau dya penggerak. Dengan demikian motivasi kerja
perawat merupakan dorongan terhadap serangkaian proses perilaku manusia
pada pencapaian tujuan (Wibowo, 2014).
Menurut Mangkunegara (2013), menyatakan motivasi merupakan
kondisi atau energi untuk menggerakkan karyawan yang terarah atau tertuju
untuk mencapai tujuan organisasi perusahaan.
Motivasi kerja merupakan suatu modal dalam menggerakkan dan
mengarahkan para karyawan atau pekerja agar dapat melaksanakan tugasnya
masing-masing dalam mencapai sasaran dengan penuh kesadaran,
kegairahan dan bertanggung jawab (Hasibuan, 2008).
Berdasarkan pada beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa motivasi merupakan suatu daya penggerak atau dorongan yang
terdapat dalam diri manusia yang dapat menimbulkan kegairahan kerja,
dengan membangkitkan, mengarahkan, dan menjaga perilaku untuk
mencapai tujuan tertentu.
2. Motivasi Intrinsik dan Eksternal
Menurut Marquis (2013) motivasi dilihat atas dasar pembentukannya
terbagi atas dua jenis, yaitu : (a) Motivasi Intrinsik dan (b) Motivasi
Eksternal. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berasal dari dalam diri
orang tersebut, yang mendorong dirinya menjadi produktif. Motivasi
ekstrinsik adalah motivasi yang berasal dari dorongan lingkungan kerja atau
penghargaan.
a. Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik secara langsung berhubungan dengan tingkat
ambisi seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Semakin tinggi ambisi
seseorang terhadap suatu kegiatan, dapat dikatakan semakin termotivasi
kerja perawat orang tersebut. Sebagai contoh : seorang perawat yang
mengingkan menjadi cpns akan memperhatikan bagaimana ia akan
memenuhi persyaratan pada tingkatan tersebut. Setelah yang
bersangkutan mengetahuinya, tingkah laku perawat tersebut akan
menggambarkan apa yang ia rasakan dan dengan perasaan tersebut
tingkah laku perawat dapat diperbaiki.
Dalam hal ini latar belakang budaya juga mempunyai dampak
terhadap motivasi instrinsik, seperti : mobilitas kerja, keberhasilan kerja,
dan pengakuan dari orang lain.
b. Motivasi Eksternal
Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang ditingkatkan oleh
lingkungan kerja atau penghargaan eksternal, penghargaan didapatkan
setelah perkerjaan selasai dilakukan. Seorang manajer dapat
menggunakan baik motivasi eksternal yang positif maupun motivai
eksternal yang negatif. Motivasi eksternal positif dengan menghargai
prestasi kerja yang sesuai dengan imbalan, sedangkan motivasi
ekstrinsik negatif dilaksanakan dengan memberikan sanksi jika prestasi
kerja tidak diperoleh.
Oleh karena itu, manajer harus menyediakan suasana yang
merangsang motivasi, baik ekstrinsik maupun intrinsik.
3. Teori Motivasi
a. Teori Hierarki Kebutuhan
Teori motivasi berdasarkan hierarki kebutuhan dikemukakan
Abraham Maslow yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia
berjenjang dari physiological, safety, sosial, esteem, dan self-
actualization (Wibowo, 2014). Dasar teori ini adalah bahwa manusia
merupakan makhluk yang keinginannya tak terbatas atau tanpa henti,
alat motivasi kerja perawatnya adalah kepuasan yang belum terpenuhi
serta kebutuhannya berjenjang.
Sedangkan teori kebutuhan McClelland menunjukkan adanya tiga
macam kebutuhan manusia, yaitu : Need for achievement (kebutuhan
untuk berprestasi), Need for affiliation (kebutuhan akan afiliasi), dan
Need for power (kebutuhan akan kekuasaan) (Mangkunegara, 2013).
Berdasarkan teori McClelland tersebut yang dapat diperhatikan
adalah membeikan pelatihan yang dapat meningkatkan motivasi
berprestasi. Motivasi berprestasi dapat diartikan sebagai suatu dorongan
dalam diri seseorang untuk melakukan atau mengerjakan suatu kegiatan
atau tugas yang sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan predikat
terpuji.
b. Teori Dua Faktor (Two-Factor Theory)
Menurut Herzberg dalam melaksanakan pekerjaan dipengaruhi oleh
dua faktor utama, yaitu : motivators dan hygiene factors. Motivator atau
pemuas kerja ada dalam pekerjaan itu sendiri, hal tersebut memberikan
orang keinginan untuk bekerja dan melakukan pekerjaan dengan baik.
Hasil motivator didapatkan meliputi dorongan prestasi, pengakuan,
kerja, tanggung jawab, kemajuan dan kemungkinan bertumbuh.
Sedangkan faktor hygiene atau pemeliharaan menjaga perawat merasa
tidak puas atau kurang termotivasi, tetapi tidak berfungsi sebagai
motivator yang sesungguhnya meliputi gaji, pengawasan, keamanan
kerja, kondisi kerja yang positif, kehidupan pribadi, hubungan
interpersonal/kelompok sebaya, kebijakan perusahaan, status (Marques,
2013).
Hal tersebut sejalan dengan Wibowo (2014), motivator sebenarnya
mendorong orang untuk mendapatkan kebutuhannya. Sebagai motivator
adalah prestasi, pengakuan, minat pada pekerjaan, tanggung jawab, dan
kemajuan. Seseorang yang merasa senang dengan pekerjaan mereka
cenderung mengaitkan faktor-faktor ini ke diri mereka sendiri. Di pihak
lain, bila mereka tidak puas maka mereka akan cenderung mengaitkan
faktor hygiene seperti gaji, kondisi kerja, kebijakan organisasi,
kedudukan, keamanan kerja, pengawasan dan otonomi, kehidupan di
tempat kerja, dan kehidupan pribadi.
Data ini mengemukakan bahwa kebalikan dari ketidakpuasan
bukanlah kepuasan. Ketika motivator terpenuhi ada pengurangan
ketidakpuasan, demikian juga tidak adanya motivator tidak selalu
menyebabkan ketidakpuasan (Marques, 2013). Ini artinya
menyingkirkan karakteristik yang tidak memuaskan pada pekerjaan
tertentu tidak serta merta menyebabkan pekerjaan itu menjadi
memuaskan. Faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan kerja terpisah
dan berbeda dari faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja.
c. Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth)
Alderfer mengemukakan bahwa teori ini ada tiga kelompok
kebutuhan yang utama, yaitu: kebutuhan akan keberadaan (existence)
berhubungan dengan kebutuhan untuk mempertahankan keberadaan
seseorang dalam hidupnya, kebutuhan akan afiliasi (relatedness)
berhubungan dengan kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain,
kebutuhan akan kemajuan (growth), berhubungan dengan kebutuhan
pengembangan diri (Mangkunegara, 2014).
d. Teori harapan (Expectation)
Victor Vroom menyatakan bahwa motivasi kerja perawat seseorang
dipengaruhi oleh tiga faktor atau, yaitu : pertama, hubungan tingkat
usaha dengan tingkat tampilan kerja (performance), dalam arti
keyakinan seseorang untuk dapat memenuhi tingkat performance yang
diharuskan dalam suatu pekerjaan yang disebut expectancy. Kedua,
hubungan antara tampilan kerja dan suatu outcome/reward,yang artinya
keyakinan seseorang akan mendapatkan ganjaran bilamana memenuhi
tingkat performance tertentu, yang dalam hal ini disebut instrumentally.
Ketiga, nilai yang diberikan seseorang terhadap reward yang akan
didapat oleh seseorang dari pekerjaannya disebut valence (Wibowo,
2013).
Menurut teori ini ketiga aspek ini akan membentuk motivasi kerja
perawat seseorang yang dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai
berikut :
M = I x Ex V
Keterangan :
M = Tingkat motivasi kerja perawat
I = Instrumentally
E = Expectancy
V = Valence
Persamaan ini menunjukkan bahwa bila satu faktor tidak ada berarti
motivasi kerja perawat rendah.
e. Teori Penepatan Tujuan (Goal Setting)
Menurut Mangkunegara (2014) menjelaskan bahwa penetapan suatu
tujuan tidak hanya berpengaruh pada pekerjaan saja, tetapi juga
merangsang karyawan untuk mencari atau menggunakan metode kerja
yang paling efektif. Melibatkan karyawan dalam menetapkan tujuan
dapat menumbuhkan motivasi kerja dan pencapaian prestasi kerja
maksimal. Dengan demikian, penetapan tujuan merupakan upaya
meningkatkan kinerja yang produktif sekaligus memotivasi untuk
mencapai tujuan organisasi perusahaan.
Menurut (Robert Kreitner and Angelo Kinicki, 2001 dalam
Wibowo, 2013) goal setting mempunyai empat mekanisme
motivasional, yaitu :
1. Goals direct attention, yaitu tujuan yang secara pribadi
bermakna cenderung memfokus pada satu perhatian pada apa
yang relavan dan penting.
2. Goals regulate effort, yaitu tujuan tidak hanya membuat kita
menegrti secara selektif, mereka juga memotivasi kita untuk
bertindak.
3. Goals increase persistence, yaitu ketekunan yang merupakan
usaha yang dikeluarkan pada tugas selama perpanjangan
periode waktu.
4. Goals foster strategis and action plans, yaitu tujuan dapat
membantu karena tujuan mendorong orang menembangkan
strategi dan rencana aksi yang memungkinkan mencapai tujuan
mereka.
Berdasarkan uraian tentang teori motivasi kerja perawat diatas,
yang akan dijadikan indikator motivasi kerja perawat dalam
penyusunan instrumen pada penelitian ini diukur berdasarkan teori
dua faktor dari Herzberg, yaitu : prestasi, pengakuan orang lain,
kepuasan kerja, tanggung jawab, peluang untuk maju dan motivasi
ekstrinsik, meliputi : gaji, pengawasan, keamanan kerja, kondisi
kerja, kehidupan pribadi, hubungan interpersonal, kebijakan
perusahaan, status.
B. Konsep Teori Kepatuhan (Compliance Theory)
1. Definisi Kepatuhan
Kepatuhan berasal dari kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar
Bahasa Indonesia), patuh berarti suka menurut perintah, taat kepada perintah
atau aturan dan berdisiplin. Kepatuhan berarti bersifat patuh, ketaatan,
tunduk, patuh pada ajaran dan aturan.
Menurut Azwar (2005) seseorang dikatakan patuh apabila orang tersebut
mau mengikuti dan mentaati peraturan atau kebijakan yang telah ditentukan
tanpa harus ada paksaan dan tuntutan dari orang lain.
Kepatuhan petugas profesional (perawat) adalah sejauh mana perilaku
seorang perawat sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan pimpinan
perawat ataupun pihak rumah sakit (Niven, 2002).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
kepatuhan adalah seseorang yang mau mengikuti perintah dan mentaati
peraturan yang telah dibuat oleh pimpinan perawat atau pihak rumah sakit
tanpa ada paksaan dari orang lain.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
Menurut (Cambell, 1993 dalam Amir 2015) menyebutkan faktor
langsung dan tidak langsung yang mendorong terciptanya sebuah kinerja dan
tampilan dalam perilaku. Faktor langsung terdiri atas pengetahuan deklaratif,
pengetahuan dan ketrampilan prosedural, dan motivasi. Faktor tidak
langsung yang mempengaruhi terciptanya kinerja adalah faktor yang
bersumber dari luar kognisi seseorang seperti unsur kepribadian, imbalan,
kemampuan, minat, pelatihan, dan pengalaman.
Notoatmodjo (2003) menyatakan, ada dua faktor yang mempengaruhi
terbentuknya perilaku, yakni faktor interen dan eksteren. Faktor interen yang
berfungsi mengolah rangsangan dari luar mencakup pengetahuan,
kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan faktor eksteren meliputi
kepemimpinan, fasilitas serta sosio budaya.
Dari beberapa pendapat diatas ada kesamaan pendapat bahwa kepatuhan
seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal individu. Yang
termasuk kedalam faktor internal antara lain pengetahuan, pendidikan, masa
kerja, motivasi, kemampuan, ketrampilan dan beban kerja. Sedangkan yang
termasuk kedalam faktor eksternal adalah kepemimpinan, fasilitas, prosedur,
dan supervisi.
Adapun unsur-unsur yang berkaitan dengan faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan :
a. Faktor Internal
1. Pengetahuan
Menurut Noatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil
penginderaan manusia terhadap suatu objek diluarnya, melalui indera-
indera yang dimiliki. Pengetahuan tersebut dapat diukur atau diobservasi
melalui apa yang diketahui tentang objek. Pengetahuan merupakan
dominan yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku untuk
bertindak (kepatuhan) seseorang.
2. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu kegiatan, usaha manusia meningkatkan
kepribadian atau proses perubahan perilaku menuju kedewasaan dan
penyempurnaan kehidupan manusia dengan jalan membina dan
mengembangkan potensi kepribadiannya, yang berupa rohni (cipta,
rasa, karsa) dan jasmani. Domain pendidikan dapat diukur dari
(Notoatmodjo, 2003) :
1) Pengetahuan terhadap pendidikan yang diberikan (knowledge).
2) Sikap atau tanggapan terhadap materi pendidikan yang
diberikan (attitude).
3) Praktek atau tindakan sehubungan dengan materi pendidikan
yang diberikan.
3. Masa Kerja
Anderson (1974) mengatakan seseorang yang telah lama
bekerja akan mempunyai wawasan yang lebih luas dan pengelaman
yang lebih banyak, juga memegang peranan dalam pembentukan
perilaku kepatuhannya menerapkan standar. Jadi lama kerja dan
pengalaman dalam mengelola klien juga mempengaruhi ketrampilan
yang dimiliki seseorang.
4. Motivasi
Motivasi merupakan hasrat di dalam seseorang yang
menyebabkan orang tersebut melakukan tindakan. Mangkunegara
(2013), menyatakan motivasi merupakan kondisi atau energi untuk
menggerakkan karyawan yang terarah atau tertuju untuk mencapai
tujuan organisasi perusahaan. Manajer memegang peran yang
penting dalam memotivasi staf untuk mencapai tujuan organisasi.
Untuk hal tersebut, peranan kepemimpinan (leadership), motivasi
staf, kerja sama dan komunikasi antar staf merupakan hal pokok
yang perlu mendapat perhatian para manajer organisasi. Dengan
motivasi yang tepat maka para karyawan akan terdorong untuk
berbuat semaksimal mungkin dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini
disebabkan karena yang bersangkutan mempunyai keyakinan bahwa
dengan keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan dan berbagai
sasarannya, maka kepentingan-kepentingan pribadi para anggota
tersebut akan tercapai.
5. Kemampuan
Suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu
pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas ketrampilan dan
pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh
pekerjaan tersebut (Wibowo, 2013). Kemampuan secara garis
besarnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu : a) kemampuan
kognitif pengetahuan, kemampuan fisik berkaitan dengan sikap dan
aktifitas, b) gaya kerja, kepribadian, kepentingan/minat.
Dengan demikian, kemampuan merupakan karakteristik yang
mendasar pada setiap individu yang dihubungkan dengan kriteria
yang direferensikan terhadap kinerja yang unggul atau efektif dalam
sebuah pekerjaan.
6. Ketrampilan
Ketrampilan adalah kecakapan yang spesifik yang dimiliki
seseorang berkaitan/berhubungan dengan penyelesaian tugas secara
cepat dan tepat. Oleh sebab itu seorang manajer harus mencoba
mencocokkan kemampuan mental dan ketrampilan fisik seseorang
dengan persyaratan masing-masing pekerjaan yang akan
dilakukannya, sebab tidak ada sumber kepemimpinan, motivasi atau
organisasi yang dapat melengkapi/mengejar kekurangan dalam
kemampuan mental dan ketrampilan fisik seseorang. Pada dasarnya
masing-masing individu mempunyai kemampuan mental dan
ketrampilan fisik yang berbeda. Jadi kemampuan mental dan
ketrampilan fisik dibutuhkan untuk keberadaan kerja yang memadai
7. Beban Kerja
Menurut ILO (International Labour Office) yang disebut faktor
beban kerja adalah bagian dari seluruh siklus waktu yang diperlukan
oleh pekerja untuk melaksanakan pekerjaan sesuai standar selama
proses berlangsung.
Dalam penelitian yang dilakukan di Polandia menunjukkan
bahwa faktor beban kerja ditetapkan sebagai salah satu hambatan
kepatuhan menerapkan standar, petugas yang bekerja sampai malam
hari lebih sering mengabaikan rekomendasi kebersihan dari pada
petugas yang bekerja di pagi dan siang hari. Dengan pengurangan
beban kerja dapat memberikan kontribusi pada peningkatan
kepatuhan menerapkan standar (Garus, 2011; Sharmaet al, 2011;
Enein, Mahdy, 2011).
b. Faktor Eksternal
1. Kepemimpinan
Kepemimpinan didefinisikan sebagai kemampuan seseorang
untuk mempengaruhi sebuah kelompok menuju kearah pencapaian
tujuan kelompok tersebut. Dengan kepemimpinan seseorang mampu
untuk mempengaruhi motivasi atau kompetensi individu-individu
lainnya dalam suatu kelompok. Kepemimpinan mampu untuk
membangkitkan semangat orang lain agar bersedia dan memiliki
tanggung jawab total terhadap usaha mencapai atau melampaui
tujuan organisasi.
Perilaku seorang pemimpin itu bisa diterima oleh bawahan
sejauh mana perilaku tersebut dipandang oleh mereka sebagai
sumber kepuasan segera atau sebagai cara untuk mencapai kepuasan
di masa depan. Jadi perilaku seorang pemimpin bersifat
motivasional, sejauh mana perilaku tersebut a) dapat membuat
kepuasan bawahan terhadap kebutuhan-kebutuhannya seirama
dengan kinerja yang efektif, b) dapat memberikan pelatihan,
bimbingan, support, dan penghargaan yang diperlukan untuk kinerja
yang efektif.
House mendefinisikan empat perilaku kepemimpinan yaitu a)
gaya kepemimpinan direktif, yaitu pemimpin membiarkan bawahan
mengetahui apa yang diharapkan oleh mereka, jadwal kerja yang
harus dikerjakan dan memberikan bimbingan khusus tentang
bagaimana menyelesaikaan tugas-tugas, b) Gaya kepemimpinan
partisipatif yaitu seorang pemimpin dalam melakukan pengambilan
keputusan menggunakan saran dan konsultasi dengan petugas, c)
gaya kepemimpinan suportif yaitu seorang pemimpin yang
menunjukkan perhatian akan kebutuhan-kebutuhan petugas serta
bersahabat, d) gaya kepemimpinan orientasi keberhasilan yaitu
seorang pemimpin yang menciptakan tujuan-tujuan yang menantang
dan mengharapkan bawahannya berprestasi kerja ada tingkat pada
tingkat yang tertinggi. Seorang pemimpin yang sama dapat
mendemonstrasikan salah satu atau semua perilaku kepemimpinan
tersebut diatastergantung pada situasi yang dihadapinya.
2. Fasilitas
Fasilitas adalah sarana atau peralatan yang dipergunakan dalam
melaksanakan pelayanan pekerjaan. Untuk meningkatkan kepatuhan
terhadap standar sehingga pelayanan yang bermutu tercapai, maka
fasilitas harus sesuai baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.
Fasilitas juga termasuk lingkungan, ruangan dan suasana di tempat
kerja. Lingkungan yang tidak bersih, bau disekitar yang tidak enak,
ukuran ruangan yang terlalu kecil, sarana tidak tetata rapi,
penerangan ruangan yang kurang dan terlalu bising akan
mempengaruhi seseorang saat melakukan pekerjaan. Keberhasilan
suatu pekerjaan juga didukung oleh fasilitas yang memadai
3. Prosedur
Prosedur adalah rangkaian suatu tata kerja yang berurutan,
tahap demi tahap dan jelas menunjukkan jalan atau arus yang harus
ditempuh, dari mana pekerjaan berasal dan kemana diteruskan.
Karyawan cenderung tidak mematuhi standar bila prosedur yang
ada cukup rumit dan sulit dilaksanakan. Grilli dan Lomas (1994)
menyatakan bahwa berkaitan dengan subyek dari standar yang ada
maka standar harus bersifat a)semua harus dicakup, b)dapat
diterapkan, c) dapat diadakan, d)terus menerus, e)ekonomis, f)dapat
dibandingkan, g) dapat diberlakukan, h) bermakna, i)stabil dan
j)dapat dimengerti
4. Supervisi
Supervisi atau pembinaan adalah salah satu upaya pengarahan
dengan memberikan petunjuk serta saran, setelah menemukan
alasan dan keluhan pelaksana dalam mengatasi permasalahan yang
dihadapi. Menurut Flahault (1988), tujuan supervisi adalah untuk
meningkatkan performance dari petugas kesehatan secara kontinue.
Ada empat faktor besar manfaat dari supervisi, yaitu; a)untuk
membuat yakin bahwa sasaran program adalah tepat, b)dapat
mengatasi kesulitan yang dihadapi, c)dapat meningkatkan motivasi
staf, dan d)dapat membantu meningkatkan penampilan petugas serta
kemampuannya.
C. Keselamatan Pasien (Patient Safety)
1. Definisi Keselamatan Pasien (Patient Safety)
Institusi pelayanan kesehatan merupakan sistem yang kompleks yang
ditandai dengan penggunaan teknologi tinggi dan "kebebasan" profesi.
Kompleksitas itu menimbulkan kerawanan kesalahan medik (medical error).
Keselamatan adalah hak pasien, dan para profesional pelayanan kesehatan
berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan yang aman. Karena itu,
upaya meningkatkan keselamatan pasien harus menjadi prioritas utama para
pemimpin pelayanan kesehatan. “Safety is a fundamental principle of patient
care and a critical component of hospital quality management” (World
Alliance for Patient Safety, Forward Programme WHO, 2005).
Keselamatan pasien (patient safety) dirumah sakit adalah suatu sistem
dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut
meliputi : mengukur risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko terhadap
pasien, analisa insiden, kemampuan untuk belajar dan menindak lanjuti
insiden serta menerapkan solusi untuk mengurangi risiko. Sistem ini
mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalaha akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.
2. Tujuan Keselamatan Pasien (Patient Safety)
a. Terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit.
b. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan
masyarakat.
c. Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan (KTD).
d. Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan
KTD.
3. Sasaran Keselamatan Pasien (Patient Safety)
Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di
semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit.
Penyusunan sasaran keselamatan mengacu kepada Nine Life-Saving Patient
Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan dari
Joint Commission International (JCI).
Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai
berikut :
a. SASARAN I : KETEPATAN IDENTIFIKASI PASIEN
a) Standar SKP I adalah rumah sakit mengembangkan pendekatan
untuk meperbaiki/meningkatkan ketelitian identifikasi pasien.
b) Maksud dan Tujuan Sasaran I adalah untuk melakukan dua kali
pengecekan yaitu : pertama, untuk identifikasi pasien sebagai
individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan; dan
kedua, untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap
individu tersebut. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan
sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti
nama pasien, nomor rekam media, tanggal lahir, gelang identitas
pasien dengan bar-code, dan lain-lain.
c) Elemen Penilaian Sasaran I
1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak
boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien.
2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau
produk darah.
3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen
lain untuk pemeriksaan klinis.
4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan
tindakan/prosedur.
5. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi
yang konsisten pada semua situasi dan lokasi.
b. SASARAN II : PENINGKATAN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF
a) Standar SKP II adalah rumah sakit mengembangkan pendekatan
untuk meningkatkan efektivitas komunikasi antar para pemberi
layanan.
b) Maksud dan Tujuan Sasaran II adalah untuk mengurangi kesalahan
dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi
dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis. Kebijakan dan/atau
prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk : mencatat (atau
memasukkan ke komputer) perintah yang lengkap atau hasil
pemeriksaan oleh penerima perintah; kemudian penerima perintah
membcakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan;
dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca
ulang adalah akurat.
c) Elemen Penilaian Sasaran II
1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau
hasil pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima
perintah.
2. Perintah lengkap lisan dan telepon atau hasil pemeriksaan
dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima perintah.
3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi
perintah atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan.
4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi
keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara
konsisten.
c. SASARAN III : PENINGKATAN KEAMANAN OBAT YANG
PERLU DIWASPADAI (HIGH-ALERT)
a) Standar SKP III adalah rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu
diwaspadai (high-alert).
b) Maksud dan Tujuan Sasaran III adalah untuk mengurangi atau
mengeliminasi kejadian kesalahan obat maka harus meningkatkan
proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk
memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke
farmasi. Kebijakan dan/atau prosedur untuk membuat daftar obat-
obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah
sakit. Kebijakan prosedur juga mengidentifikasi area mana saja
yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di IGD atau kamar
operasi, serta pemberian label secara benar pada eketrolit dan
bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi
akses, untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja/kurang hati-
hati.
c) Elemen Penilaian Sasaran III
1. Kebijakan dan / atau prosedur dikembangkan agar memuat
proses identifiksi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan
penyimpanan elektrolit konsentrat.
2. Implentasi kebijakan dan prosedur.
3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien
kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil
untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area
tersebut sesuai kebijakan.
4. Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien
harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang
dibayasi ketat (restricted).
d. SASARAN IV : KEPASTIAN TEPAT LOKASI, TEPAT
PROSEDUR, TEPAT PASIEN OPERASI
a) Standar SKP IV adalah rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat
pasien operasi.
b) Maksud dan Tujuan Sasaran IV adalah untuk mengurangi kejadian
salah lokasi, salah prosedut, dan pasien salah pada operasi. Rumah
sakit perlu untuk mengembangkan suatu kebiajakan dan/atau
prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang
mengkhawatirkan ini. Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan
pasien dan dilakukan atas satu pada tanda yang dapat dikenali.
Tanda itu harus digunakan secra konsisten di rumah sakit dan harus
dibuat oleh operator/oarang yang akan melakukan tindakan,
dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan, dn
harus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi operasi
dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel
struktur (jari tangan, jari kaki, lesi) atau multipel level (tulang
belakang).
Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk :
1. Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar.
2. Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil
pemeriksaan yang relavan tersedia, diberi label yang baik, dan
dipampang.
3. Melakukan verifikasi ketersedian peralatan khusus dan/atau implant
yang dibutukan.
Tahap “Sebelum Insisi” (Time Out) memungkinkan semua
pertanyaan atau kekeliruan diselesaikan. Time out dilakukan ditempat,
dimana tindakan akan dilakukan, tepat sebelum tindakan dimulai, dan
melibatkan seluruh tim operasi. Rumah skit menetapkan bagaimana
proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan
checklist.
c) Elemen Penilaian Sasaran IV
1. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan
dimengerti untuk identifiksdi lokasi operasi dan melibatkan
pasien di dalam proses penandaan.
2. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain
untuk memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat
prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen serta peralatan
yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional.
3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur
“sebelum insisi/time-out” tepat sebelum dimulainya suatu
prosedur/tindakan pembedahan.
4. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung
proses yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat
prosedur, dan tepat pasien, termasuk medis dan dental yang
dilaksanakan di luar kamar operasi.
e. SASARAN V : PENGURANGAN RISIKO INFEKSI TERKAIT
PELAYANANAN KESEHATAN
a) Standar SK V adalah rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi ynag terkait pelayanan
kesehatan.
b) Maksud dan Tujuan V untuk pencegahan dan pengendalian infeksi,
yang termasuk infeksi di pelayanan kesehatan : infeksi saluran
kemih, infeksi pada aliran darah (blood stream infections) dan
pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis).
Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah
cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Rumah sakit mempunyai
proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan/atau
prosedur yang menyesuaikan atu mengadopsi petunjuk hand
hygiene yang diterima secara umum dan untuk implementasi
petunjuk itu di rumah sakit.
c) Elemen Penilaian Sasarn V
1. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand
hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara
umum (al.dari WHO Patient Safety).
2. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.
3. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk
mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan risiko dari
infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
f. SASARAN VI : PENGURANGAN RISIKO PASIEN JATUH
a) Standar SKP VI adalah rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk mengurangi risiko pasien dari cedera karena
jatuh.
b) Maksud dan Tujuan Sasaran VI adalah jumlah kasus jatuh cukup
bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien rawat inap. Dalam
konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang
disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko
pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko ceder
bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan
telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan,
serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien. Program
tesebut harus diterapkan rumah sakit.
c) Elemen Penilaian Sasaran VI
1. Rumah sakit menerapkan pasien asesmen awl atas pasien
terhadap risiko jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien bila
diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan, dan
lain-lain.
2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh
bagi mereka yang pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh.
3. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhsilan
pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian
tidak diharapkan.
4. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk
mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko paien cedera
akibat jatuh di rumah sakit.
D. Kerangka Teori
E. Kerangka Konsep
Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel Bebas (Independen) adalah motivasi intrinsik perawat dalam
melaksanakan program patient safety.
2. Variabel Terikat
Herzberg Two-Theory Motivasi Intrinsik :
1. Prestasi2. Pengakuan orang lain3. Kepuasan kerja4. Tanggung jawab5. Peluang untuk
berkembang/maju
(Mangkunegara, 2014)
Kepatuhan Perawat
Program Patient Safety
Motivasi intrinsik perawat dalam melaksanakan program
patient safety
Kepatuhan perawat dalam melaksanakan program patient
safety
Variabel Terikat (Dependen) adalah kepatuhan perawat dalam melaksanakan
program patient safety.
F. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Ada hubungan motivasi intrinsik dengan kepatuhan perawat dalam
melaksanakan program patient safety di Instalasi Rawat Inap RSUD
Ungaran.
2. Ada hubungan prestasi dengan kepatuhan perawat dalam melaksanakan
program patient safety di Instalasi Rawat Inap RSUD Ungaran.
3. Ada hubungan pengakuan orang lain dengan kepatuhan peraawat dalam
melaksanakan program patient safety di Instalasi Rawat Inap RSUD
Ungaran.
4. Ada hubungan kepuasan kerja dengan kepatuhan peraawat dalam
melaksanakan program patient safety di Instalasi Rawat Inap RSUD
Ungaran.
5. Ada hubungan tanggung jawab dengan kepatuhan peraawat dalam
melaksanakan program patient safety di Instalasi Rawat Inap RSUD
Ungaran.
6. Ada hubungan peluang untuk maju dengan kepatuhan peraawat dalam
melaksanakan program patient safety di Instalasi Rawat Inap RSUD
Ungaran.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian berupa deskriptif korelasi
untuk menganalisis hubungan motivasi intrinsik (prestasi, pengakuan orang lain,
kepuasan kerja, tanggung jawab, peluang untuk maju) dengan kepatuhan perawat
dalam melaksanakan program patient safety di Instalasi Rawat Inap RSUD
Ungaran.
B. Lokasi Penelitian
Tempat penelitian dilaksanakan di Instalasi Rawat Inap RSUD ungaran
karena Rumah Sakit tersebut masih akreditasi C, sehingga kemungkinan masih
banyak perawat yang belum melaksanakan program patient safety terutama
dalam pengurangan resiko infeksi nosokomial (phlebitis).
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi