27
12 BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINAN Kemiskinan adalah suatu masalah besar dan serius yang sedang terjadi ditengah- tengah kehidupan masyarakat bahkan juga ditengah-tengah dunia. Kemiskinan dalam arti, bahwa orang tidak menguasai sarana-sarana fisik secukupnya untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan dasarnya, untuk mencapai tingkat minimum kehidupan yang masih dapat dinilai manusiawi. 17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita, karena kemiskinan untuk sebagaian besar bukanlah kesalahan orang miskin sendiri melainkan akibat kondisi-kondisi objektif kehidupan mereka. Dalam bab ini penulis akan memaparkan lebih mendalam mengenai tanggungjawab Gereja terhadap kemiskinan. Adapun pembahasan yang akan di paparkan secara berturut- turut ialah: (1) Keprihatinan Gereja terhadap kemiskinan, (2) Diakonia, (3) Bentuk-Bentuk Diakonia, (4) Definisi, Sejarah serta Perkembangan Credit Union (CU). II.1. Keprihatinan Gereja terhadap Realitas Sosial Gereja merupakan sebuah institusi yang berada di tengah-tengah dunia, sehingga Gereja tidak dapat terlepas dari tanggungjawabnya terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang berada di dunia. Gereja dan masyarakat adalah dua dimensi dari satu kehidupan Kristiani. Iman, harapan dan cinta kasih Kristiani bukanlah sesuatu yang abstrak terkotak, yang hanya berlaku di dalam kerangka-intern Gerejawi, melainkan selalu konkret dan kontekstual di tengah masyarakat. 18 Keberadaan Gereja dan orang Kristen yang hidup ditengah-tengah masyarakat dan sebagai anggota masyarakat tidaklah terlepas dari masalah kemiskinan yang menyebabkan 17 F. Magnis-Suseno dalam buku Banawiratma Kemiskinan dan Pembebasan, (Yogyakarta: Kanisius,1987) 37 18 Eduard R. Dopo, Keprihatinan Sosial Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), ix

BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

12

BAB II

TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINAN

Kemiskinan adalah suatu masalah besar dan serius yang sedang terjadi ditengah-

tengah kehidupan masyarakat bahkan juga ditengah-tengah dunia. Kemiskinan dalam arti,

bahwa orang tidak menguasai sarana-sarana fisik secukupnya untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan dasarnya, untuk mencapai tingkat minimum kehidupan yang masih dapat dinilai

manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita, karena kemiskinan untuk

sebagaian besar bukanlah kesalahan orang miskin sendiri melainkan akibat kondisi-kondisi

objektif kehidupan mereka.

Dalam bab ini penulis akan memaparkan lebih mendalam mengenai tanggungjawab

Gereja terhadap kemiskinan. Adapun pembahasan yang akan di paparkan secara berturut-

turut ialah: (1) Keprihatinan Gereja terhadap kemiskinan, (2) Diakonia, (3) Bentuk-Bentuk

Diakonia, (4) Definisi, Sejarah serta Perkembangan Credit Union (CU).

II.1. Keprihatinan Gereja terhadap Realitas Sosial

Gereja merupakan sebuah institusi yang berada di tengah-tengah dunia, sehingga

Gereja tidak dapat terlepas dari tanggungjawabnya terhadap masalah-masalah yang sedang

dihadapi oleh masyarakat yang berada di dunia. Gereja dan masyarakat adalah dua dimensi

dari satu kehidupan Kristiani. Iman, harapan dan cinta kasih Kristiani bukanlah sesuatu yang

abstrak terkotak, yang hanya berlaku di dalam kerangka-intern Gerejawi, melainkan selalu

konkret dan kontekstual di tengah masyarakat.18

Keberadaan Gereja dan orang Kristen yang hidup ditengah-tengah masyarakat dan

sebagai anggota masyarakat tidaklah terlepas dari masalah kemiskinan yang menyebabkan 17 F. Magnis-Suseno dalam buku Banawiratma Kemiskinan dan Pembebasan, (Yogyakarta: Kanisius,1987) 37 18 Eduard R. Dopo, Keprihatinan Sosial Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), ix

Page 2: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

13

adanya ketimpangan nilai-nilai atau norma-norma kesejahteraan tersebut. Dalam

keterlibatannya mengatasi masalah kemiskinan, Gereja dan orang Kristen tidaklah cukup

hanya memahami apa arti kemiskinan dan siapa yang miskin (orang miskin) saja, tetapi

Gereja dan orang Kristen harus mampu merangkul mereka dan mengangkat hakekat dan

martabat mereka yang berada dalam kondisi hidup miskin. Dengan kata lain kesadaran etis

Gereja dan orang Kristen terhadap masalah kemiskinan harus disertai dengan tindakan

konkret atau tanggung jawab etis terhadap orang miskin, atau membantu meringankan beban

berat yang membuat mereka menderita.

Istilah Gereja berasal dari kata Portugis igreya yang dalam bahasa Yunani adalah

kyriake, yang berarti menjadi milik Tuhan.19 Adapun yang dimaksud dengan milik Tuhan

adalah: orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juru Selamatnya. Jadi yang

dimaksud dengan Gereja adalah persekutuan para orang beriman. Kata kyriake sebagai

sebutan bagi persekutuan para orang yang menjadi milik Tuhan. Di dalam Perjanjian Baru

kata yang dipakai untuk meyebutkan persekutuan para orang beriman adalah ekklesia, yang

berarti rapat atau perkumpulan yang terdiri dari orang-orang yang dipanggil untuk

berkumpul. Mereka berkumpul karena dipanggil atau dikumpulkan.20

Dengan menggunakan pengertian ini, maka yang tergabung dalam persekutuan ini

adalah orang-orang pilihan yang sudah dipanggil keluar dari lingkungannya yang gelap.21

Tetapi pada saat yang sama, mereka yang sudah dipanggil keluar tersebut kembali diutus ke

dalam dunia, ke dalam lingkungannya untuk menjadi garam dan terang (Mat. 5:13-14).

Pemanggilan Allah atas umat-Nya ini untuk dijadikan garam dan terang bagi kegelapan dan

ketawaran yang masih ada di sekitarnya.

19 Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta:BPK Gunung Mulia,1992), 362 20 Ibid, 362 21 Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen dalam Masyarakat, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004), 139

Page 3: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

14

Gereja yang seutuhnya adalah seutuhnya dalam melakukan tugas panggilan Gereja

yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.22 Tugas panggilan Gereja tersebut adalah

sebagai berikut:

1) Gereja Dipanggil untuk Ibadah/Penyembahan (Lateria)

Ibadah (Yun.lateria) adalah cara yang paling jelas bagi Gereja untuk memenuhi

tujuannya, yakni menghormati Allah serta ibadahpun mempunyai unsur-unsurnya yaitu:

persembahan puji-pujian, Firman Allah, dan sakramen-sakramen.23

2) Gereja Dipanggil untuk Persekutuan (Koinonia)

Persekutuan dalam bahasa Yunani Koinonia yang dipakai bagi persekutuan dengan

Tuhan Yesus Kristus.24 Soedarmo juga menegaskan bahwa Koinonia, bahwa kini kata

“keesaan” sering dipakai untuk menggambarkan koinonia antar Gereja dan antar manusia.

3) Gereja Dipanggil untuk Bersaksi (Marturia)

Kesaksian (Yunani. Marturia) yang berarti kesaksian, pada masa kini marturia biasa

dipakai bagi tugas Gereja dan orang percaya untuk bersaksi atas kasih karunia Kristus kepada

dunia.25 Gereja harusnya bersaksi bagi umatnya yang miskin dan menderita serta membela

mereka agar mereka terlepas dari kemiskinan dan penderitaan.

4) Gereja Dipanggil untuk Pelayanan/Melayani (Diakonia)

Pelayanan (Yunani. Diakonia) menurut Soedarmo dalam bukunya Kamus Istilah

Teologi dikatakan bahwa:

22 http://diakoniatransformatif.blogspot.com/ diunduh pada tanggal 17 Juli 2012 23 Bruce Milne, Mengenali Kebenaran, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 306 24 R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 47 25 Ibid, 54

Page 4: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

15

Diakonia pada umumnya dipakai bagi aktivitas Gereja untuk membantu anggota-anggota

Gereja yang lemah ekonominya (Soedarmo: 1986, hal 19).

II.2. Diakonia

II.2.1. Pengertian Diakonia

J. C. Sikkel (1880) pernah mengatakan bahwa Gereja bisa hidup tanpa gedung, tetapi

tidak bisa hidup tanpa diakonia.26 Hal ini menandakan bahwa Diakonia sangatlah penting

dalam kehidupan ber-Gereja. Usia panggilan diakonia setua dengan gerakan Yesus yang lahir

di Palestina lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Gerakan Yesus tidak bisa dipisahkan dari

gerakan solidaritas terhadap orang miskin. Solidaritas itu diwujudnyatakan oleh Gereja

melalui diakonia Gereja. Tanpa diakonia dan perhatian pada orang miskin, sebuah Gereja

tidak bisa disebut sabagai tubuh Kristus. Diakonia, sebagai misi Gereja dikenal dalam istilah

tritugas panggilan Gereja, yaitu Koinonia (persekutuan), marturia (kesaksian), dan diakonia

(pelayanan)

Secara harafiah kata “diakonia” berarti “memberi pertolongan atau pelayanan” atau

pelayan meja. Kata ini berasal dari kata Yunani diakonia (pelayanan), diakonien (melayani),

dan diakonos (pelayan).27

Dalam Perjanjian Baru di samping kata-kata ini terdapat lima kata lain untuk

“melayani”, masing-masing dengan nuansa dan arti tersendiri, yang dalam terjemahan-

terjemahan Alkitab kita pada umumnya diterjemahkan dengan kata “melayani” karena

26 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat Indonesia (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010), 1 27 ibid

Page 5: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

16

kosakata bahasa Indonesia yang kurang begitu kaya seperti bahasa Yunani.28 Di samping

diakonien dalam PB ditemukan kata-kata berikut ini:

Douleuein: melayani sebagai budak kata ini terutama menunjukkan arti ketergantungan dari

orang yang melayani. Orang Yunani sangat tidak menyukai kata ini. Orang baru menjadi

manusia jika ia dalam keadaan bebas. PB mula-mula memakai kata ini dalam arti biasa

sesuai dengan keadaan masyarakat pada waktu itu. Di samping itu, kata ini juga mendapat

arti religius.

Latreuein: melayani untuk uang. Kata benda latreia (pelayan yang diupah) juga dipakai

dalam pemujaan dewa-dewa. Dalam terjemahan Yunani dari PL, yaitu Septuaginta (LXX),

kata ini kurang lebih terdapat 90 kali, pada umumnya untuk melayani Tuhan Allah dan

khususnya untuk pelayan persembahan.

Leitourgein: dalam bahasa Yunani digunakan untuk pelayan umum bagi kesejahteraan rakyat

dan negara. Dalam LXX arti sosial-politik ini terutama dipakai di lingkungan kuil-kuil.

Dalam PB (khususnya surat Ibrani) kata ini menunjukkan kepada pekerjaan Imam Besar

Yesus Kristus. Kemudian dalam Roma 15:27 dan 2 Korintus 9:12 kata ini dipakai untuk

kolekte dari orang Kristen asal kafir (suatu perbuatan diakonal) untuk orang miskin di

Yerusalem. Dari kata inilah berasal kata “liturgi”, yaitu suatu tata ibadah dalam pertemuan

jemaat.

Therapeuein: menggarisbawahi kesiapan untuk melakukan pelayanan ini sebaik mungkin dan

memfokuskan diri kedalam pelayanan itu. Therapeuein di tempat lain juga dipakai sebagai

sinonim dari “menyembuhkan”

28 A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 2-3.

Page 6: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

17

Hupéretein: menunjukkan suatu hubungan kerja terutama relasi dengan orang untuk siapa

pekerjaan itu dilakukan. Hupéretés berarti sipelaksana memperhatikan instruksi si pemberi

kerja.

II.2.2. Diakonia dalam Alkitab dan Gereja Mula-Mula29

Praktik diakonia (pelayanan) terhadap orang miskin dapat ditemukan dalam Alkitab

yaitu dalam perjanjian lama, perjanjian baru, dan dalam zaman para rasul serta pada Gereja

mula-mula.

II.2.2.1. Diakonia dalam Perjanjian Lama

Dalam perjanjian lama, misalnya perhatian pada orang miskin, perlindungan pada

janda, yatim piatu dan orang asing terdapat dalam hukum taurat. Berdasarkan hukum Musa,

ada beberapa undang-undang yang memberikan perhatian pada orang miskin dan keadilan

sosial, diantaranya sebagai berikut:

- Tahun Yobel

Tahun Yobel tidaklah sekedar ide penataan sosial dalam bentuk pembebasan utang

dan budak serta pengembalian tanah yang digadaikan kepada pemiliknya, tetapi juga

memberikan perhatian pada pelestarian lingkungan hidup.30 Tahun Yobel tidak bisa

dilihat hanya sebagai aktivitas penghapusan utang dan pengembalian tanah pada

pemiliknya, tetapi Tahun Yobel sarana untuk mewujudkan masyarakat lestari dan

sustainable society, yaitu adanya economic and ecological justice atau caring and sharing

economic.

29 Gereja mula-mula yang dimaksud oleh penulis dalam hal ini adalah Gereja pada zaman bapa-bapa Gereja. 30 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis...., 20-21

Page 7: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

18

- Tahun Sabat

Tahun sabat merupakan tahun pembebasan yang dirayakan setiap tujuh tahun sekali.31

Tujuannnya adalah untuk menolong orang miskin, tanah, dan binatang dari perlakuan

tidak adil oleh kebijakan ekonomi saat itu. Kata sabat bisa berarti kelegaan, kebebasan,

dan pemulihan.

- Perpuluhan

Hukum perpuluhan dalam perjanjian lama dimaksudkan untuk menyatakan bahwa

tanah Kanaan berserta isinya adalah milik Allah, sehingga tanah tidak boleh dijadikan

barang komuditas sebab tanah itu memiliki nilai spritual yang memberi sumber hidup dan

menajdi barang pusaka.32 Hasil dari tanah Kanaan bukanlah untuk kepentingan penggarap

dan pemilik tanah saja, tetapi untuk menghidupi orang lain seperti orang Lewi yang tidak

memiliki warisan tanah Kanaan karena mereka dikhususkan bekerja di Bait Allah. Selain

untuk orang Lewi hasil tanah Kanaan juga menghidupi orang-orang miskin, yatim-piatu,

janda miskin, dan orang asing. Orang Israel membantu kesejahteraan orang miskin dari

persepuluhan yang dipersembahkan untuk bait Allah yang selanjutnya dikelola oleh orang

Lewi sebagai imam di bait Allah.

- Larangan mengambil bunga dari yang miskin

Banyak orang miskin semakin menjadi miskin karena terjerat oleh bunga dalam

sistem perdagangan. Pada masa itu Israel merupakan bangsa pengembara dan petani,

sehingga kemiskinan mengancam hidup mereka jika praktik bunga dalam pinjam-

meminjam dijalankan.33

31 Ibid, 22 32 Ibid, 22-23 33 Ibid, 24

Page 8: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

19

Dari penjelasan-penjelasan diatas, jelas bahwa pada zaman perjanjian lama sudah ada

kepedulian terhadap orang-orang miskin. Kepada orang-orang miskin dikembalikan hak-

haknya, baik hak atas tanah yang sudah sempat dimiliki oleh orang kaya maupun hak untuk

hidup bebas dari perbudakan.

II.2.2.2. Diakonia dalam Perjanjian Baru

Dalam Perjanjian Baru Yesus dengan jelas dan tegas mengajarkan kepada murid-

murid-Nya untuk memberi perhatian kepada orang miskin, bahkan pelayanan Yesus sendiri

memberikan perhatian khusus kepada orang-orang yang miskin, orang-orang yang terasing,

yang lapar, dan sakit dengan cara menyembuhkan dan memberdayakan mereka. Injil yang

disampaikan Yesus merupakan kabar baik untuk orang miskin. Injil memang merupakan

kabar baik dan sukacita untuk semua orang, tetapi fokus Allah melalui sejarah dan Yesus

Kristus adalah memberitakan kabar baik kepada orang miskin yang disebut anawim yaitu

mereka yang tidak berdaya baik secara sosial ekonomi maupun politik.34

Perhatian pada orang miskin dan tersisih dilanjutkan oleh murid-murid Yesus sesudah

Pentakosta.35 Mengurangi kemiskinan dan bersikap solider pada orang-orang miskin dan

tersisih merupakan praktik hidup dari jemaat pertama dengan cara menjual tanah dan harta

milik yang hasilnya diserahkan kepada para Rasul untuk mencukupi kebutuhan orang miskin

diantara mereka.

Dari uraian diatas jelas bahwa ada tradisi dan cara berdiakonia serta memberi

perhatian pada orang miskin baik secara pribadi maupun secara terorganisasi di dalam

Alkitab. Bahkan bisa dikatakan Bait Allah dalam Perjanjian Lama dan Gereja dalam

Perjanjian Baru tidak sekedar tempat untuk upacara keagamaan, tetapi juga sebagai pusat

34 Ibid, 26 35 Ibid, 28

Page 9: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

20

pelayanan kesejahteraan sosial yaitu tempat pemberi perhatian kepada orang-orang miskin

dan yang tersisih.

II.2.2.3. Diakonia pada masa Gereja Mula-Mula

Perhatian pada orang miskin atau masalah sosial tidak hanya dilakukan dalam

perjanjian lama, perjanjian baru atau zaman para Rasul bahkan pada zaman Paulus sebagai

arsitek perkembangan Gereja saja, tetapi praktik diakonia juga diteruskan oleh para bapa

Gereja.

Dalam sejarah Gereja terdapat banyak bapa Gereja yang memberikan ajaran sosial.

Diantaranya yang terkenal adalah bapak Gereja dari Kapadokia yaitu dua bersaudara: Basil

dari Kaesarea dan Gregorius dari Nyssa.36 Basil dari Kaesarea terkenal karena dialah yang

membangun pusat pelayanan sosial.

Dalam sejarah Gereja tercatat bahwa pada tahun 368 telah terjadi bencana kelaparan

yang diakibatkan oleh musim kering di Kapadokia.37 Situasi sulit seperti ini bayak digunakan

oleh penguasa Romawi dan orang-orang kaya untuk memeras petani miskin dengan cara

mereka harus menjual tanahnya atau terpaksa meminjam uang dari orang kaya dengan bunga

tinggi.

Menanggapi situasi seperti ini, Gereja yang dipimpin oleh Basilius tidak sekedar

mengorganisasikan bantuan pangan kepada mereka yang lapar tetapi juga mengecam

kekejaman dan kejahatan struktural para penguasa dan orang kaya. Kecaman Gregorius

terutama ditujukan pada praktik lintah darat yang mencapai 12 persen. Praktik diakonia yang

dilakukan Basilius tidak terbatas pemberian bantuan pangan kepada orang miskin, tetapi juga

36 Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 92 37 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis...., 61-63

Page 10: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

21

mendirikan pusat pelayanan sosial yang melayani orang yang berada dalam perjalanan dan

pelayanan kesehatan.

II.2.3. Hakekat Diakonia

Melakukan diakonia (pelayanan) secara baik dapat diumpamakan sebagai

“membangun rumah di atas batu karang yang teguh”.38 Melalui perumpamaan inilah Yesus

menegur kita sebagai pendengar firmanNya yang hanya mendengar tetapi tidak melakukan

dalam kehidupan kita, maka kita bagaikan seorang yang membangun rumah di atas pasir dan

kemudian rumah itu akan roboh terkena hujan dan angin. Bila kita melakukan diakonia, maka

kita ikut serta membangun fondasi yang kuat bagi Gereja sebagai Tubuh Kristus. Tanpa

diakonia, Pekabaran Injil oleh Gereja menjadi abstrak. Ada hubungan yang erat antara

diakonia dan misi; tanpa diakonia, maka misi tidak mempunyai perspektif.

Diakonia bukanlah sekedar persoalan memberi uang, tetapi diakonia merupakan

panggilan untuk berbagi solidaritas dengan yang miskin dan tertindas. Tujuan diakonia

adalah mewujudkan the sharing and community, bukan untuk menciptakan hubungan antara

pemberi dan penerima.39 Diakonia harus dijalankan dalam rangka Missio Dei, yaitu kehadiran

kerajaan Allah di dunia. Wilayah yang di dalamnya Gereja berdiakonia adalah dunia yang

penuh kontrakdiksi dan kompleks. Lingkup Gereja tidak dibatasi oleh tembok dinding Gereja

tetapi mencakup setiap sudut kehidupan, baik sosial ekonomi maupun politik.

II.2.4. Motif Dasar Diakonia

Motif dasar yang menjadi titik tolak pelaksanaan pelayanan bukanlah moralisme

walaupun dalam pelayanan menampakkan moral yang luhur. Bukan pada filanthropis,

walaupun ada keharusan mengasihi sesama manusia seperti perintah Tuhan. Juga bukan

38 Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 40-43 39 ibid

Page 11: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

22

humanisme meskipun harus memakai cara-cara manusia. Motif dasar yang paling hakiki

sebagai Theou dalam mengemban akta Tuhan untuk mengasihi ciptaanNya. Respon terhadap

panggilan Tuhan tersebut adalah suatu dedikasi, yaitu pengabdian, penyerahan diri atau

pengurbanan tenaga dan waktu untuk melaksanakan perintah Tuhan.

II.2.5. Tujuan Diakonia

Berdasarkan pengertian, hakekat dan motif dasar diakonia, serta praktik Diakonia

dalam Alkitab dan zaman Gereja mula-mula, maka tujuan utama pelayanan dapat

disimpulkan sebagai berikut:

(1) Memberitakan kepada umat manusia, bahwa Allah mempunyai rencana mengasihi

dan menyelamatkan manusia, dan sebagai kawan sekerja Allah (bnd I Kor 3 : 9)

dengan segala usaha untuk menunjukkan kemuliaan dan kebesaran Allah.

(2) Membantu menyadarkan dan mengembangkan derajat dan potensi diri atau

kemampuan manusiawi sebagai makhluk yang diciptakan menurut peta dan gambar

Allah.

(3) Menyatakan dan menyajikan kasih Allah kepada sesama orang yang menanggung

beban derita atau menjadi korban dalam medan percaturan kehidupan bersama.

(4) Memberikan topangan kepada sesama orang untuk berprestasi atau mengembangkan

perlengkapan hidup (cipta, rasa dan karsa) yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap

orang.

(5) Meringankan beban orang yang mengalami kesulitan hidup dan membantu orang

yang kekurangan dalam mencukupi kebutuhan hidup.

Page 12: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

23

II.3. Bentuk-Bentuk Diakonia

Diakonia sebagai pelayanan kasih tidak lagi hanya dimonopoli kegiatan institusi

Gereja melainkan telah dilakukan oleh Lembaga Pelayanan Kristen (LPK) dan juga Lembaga

Sosial Masyarakat (LSM) di luar Gereja.40 Bentuk-bentuk dan cara diakonia yang dilakukan

oleh organisasi sosial Kristen dan dan LSM ini telah berkembang lebih cepat daripada yang

dilakukan oleh institusi Gereja. Pada umumnya cara berdiakonia dapat dibagi menjadi tiga

bentuk, yaitu diakonia karikatif, diakonia reformatif dan diakonia transformatif

(pembebasan).

II.3.1. Diakonia Karitatif

Diakonia Karitatif berasal dari kata Charity (Inggris) yang berarti belas kasihan.

Diakonia ini merupakan bentuk yang paling tua yang dipraktekkan oleh Gereja dan pekerja

sosial.41 Diakonia Karitatif sering diwujudkan dalam bentuk pemberian makanan dan pakaian

kepada orang miskin, menghibur orang sakit, dan perbuatan amal kebajikan. Diakonia ini

didukung dan dipraktekkan oleh institusi Gereja karena: dapat memberikan manfaat langsung

yang segera dapat dilihat, memberikan penampilan yang baik terhadap diri si pemberi,

memusatkan perhatian pada hubungan pribadi, bisa digunakan untuk menarik seseorang yang

dibantu menjadi anggota agama mereka, menciptakan hubungan subjek-objek

(ketergantungan) dan status quo.

Diakonia karitatif merupakan produk dan perkembangan dari industrialisasi di Eropa

dan Amerika Utara pada abad ke 19. Diakonia Karitatif ini sangat digemari oleh bangsawan

dan wanita kelas menengah di Inggris pada zaman Victoria karena dapat mengembangkan

hubungan prbadi yang hangat dengan pihak yang dibantu (Philpot 1986:14).42 Hubungan yng

40 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat Indonesia, 31 41 Ibid, 31-36 42 Ibid, 32

Page 13: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

24

dibangun dalam diakonia karitatif menggambarkan hubungan antara pemberi/penyalur

bantuan dan pihak yang menerima bantuan.

Diakonia karitatif disebarkan ke seluruh dunia oleh misi dan zending selama masa

penjajahan. Diakonia ini sangat didukung oleh pemerintah penjajah tetapi sangat dikecam

oleh golongan kritis dan kelompok agama lainnya di negeri jajahan. Menurut Woodward

diakonia karitatif cenderung mempertahankan ideologi dan teologi status quo, karena:

kemiskinan tidak terhindarkan yang disebabkan situasi dan ketidakmampuan yang

bersangkutan, percaya bahwa melalui kerja keras seseorang dapat memperbaiki

kesejahtraannya bukan melalui perubahan sosial, mendesak perlunya tanggungjawab moral

dari yang kaya untuk melakukan amal demi mengurangi kemiskinan.43

Pendekatan diakonia karitatif sebagai warisan zaman kolonial mendapat kritik tajam

dari orang di luar Gereja dan kalangan oikumenis. Bagi kalangan di luar Gereja, diakonia

karitatif sering kali dikecam karena dituduh sebagai alat untuk menarik seseorang untuk

masuk kedalam Gereja. Sebaliknya, bagi kelompok oikumenis diakonia ini dikecam karena

diakonia karitatif menghasilkan ketergantungan dan status quo.

Bentuk diakonia karitatif yang sering dilakukan oleh Gereja adalah mengunjungi

orang dalam penjara dengan membawa makanan dan memimpin renungan, menyedikan beras

untuk membantu keluarga miskin, serta mendirikan poliklinik gratis atau murah untuk orang

miskin. Walaupun diakonia karitatif digambarkan dengan memberikan ikan dan roti kepada

yang lapar tanpa memberdayakan mereka, diakonia karitatif tetap masih diperlukan terutama

dalam keadaan darurat seperti musibah, bencana alam, dll.

Tidak dapat disangkal bahwa diakonia karikatif memiliki kelemahan dan

keterbatasan. Tetapi di dalam kehidupan sehari-hari, diakonia karitatif tidak dapat dihindari.

43 Ibid, 32

Page 14: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

25

Sebab, masalah sosial yang membutuhkan tanggap-darurat sebelum menangani akar

masalahnya yang lebih bersifat memberdayakan.

II.3.2. Diakonia Reformatif/ Pembangunan

Untuk mengurangi ketegangan Perang Dingin antara Blok Timur dan Barat, anggota

PBB sepakat atas perlunya memberikan perhatian pembangunan di negara-negara yang baru

merdeka.44 Dengan pembangunan, kemiskinan dan kelaparan di dunia diharapkan dapat

diatasi melalui pertumbuhan ekonomi. Ideologi pembangunan merupakan ideologi yang

muncul di tengah Perang Dingin ketika terjadi persaingan antara kapitalisme dan komunisme.

Ideologi pembangunan dapat dianggap sebagai ideologi untuk menghindari dan menjinakkan

semangat revolusi melawan kapitalisme dan kolonialisme di negara yang sedang

berkembang. Ideologi pembangunan ditawarkan sebagai ideologi alternatif untuk mengurangi

kemiskinan di Dunia Ketiga.

Setelah berjalan kurang lebih dua dekade, pembanguan tidak menghasilkan

kesejahtraan dan keadilan, tetapi justru yang sebaliknya yang terjadi. Jurang pemisah antara

kaya dan miskin dirasakan di kota dan di desa. Pembanguan sering diartikan sebagai

modenisasi dan westerniasi, di mana kesempatan kerja bagi rakyat kecil semakin sempit.

Hasil pembangunan selama dua dekade justru menghilangkan kesempatan pekerja tradisional.

Dalam suasana pembangunan inilah Gereja-Gereja juga ikut berpartisipasi dalam

pembangunan.

Pembangunan yang terjadi selama lebih dari dua dekade tidak menghasilkan

perdamaian, kesejahteraan, dan keadilan, melainkan permusuhan, kemiskinan dan

ketidakadilan. Pembangunan telah menjadi suatu ideologi untuk menekan hak asasi dan

martabat manusia pada saat itu. Demi pembangunan harus ada stabilitas. Demi satbilitas

44 Ibid, 36

Page 15: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

26

segala bentuk kritik sosial harus ditiadakan. Demi pembangunan tanah petani harus

dikorbankan untuk proyek industri dan perumahan mewah. Demi pembangunan dan stabilitas

tuntutan gaji dan pemogokan harus ditiadakan. Demi stabilitas, perlu iadakan hukum darurat

militer dan penahanan tanpa proses pengadilan melalui undang-undang keamanan dalam

negeri.

Diakonia reformatif yang lebih dikenal sebagai dikonia pembangunan muncul dalam

era pembangunan. Kesadaran baru dari Gereja-Gereja untuk melakukan diakonia reformatif

muncul seiring dengan kesadaran untuk berpartisipasi dalam pembangunan yaitu pada saat

Sidang Raya Dewan Gereja se Dunia (DGD) IV di Upsalla, Swedia pada tahun 1967. Sidang

Raya Upsalla mendesak agar negara-negara kaya di Utara bersedia memberikan bantuan

ekonomi dan teknologi bagi negara-negara miskin di Selatan.

Sejak Sidang Raya di Upsalla diakonia Gereja mulai bergeser dari diakonia karitatif

ke diakonia reformatf/pembangunan. Diakonia karikatif sering digambarkan sebagai tindakan

belas kasihan pada orang yang lapar dengan memberi sepotong ikan, sedangkan diakonia

reformatif sering digambarkan dengan menolong orang lapar dengan memberi alat pancing

(bantuan modal) dan mengajar memancing (bantuan teknologi). Dari desa hingga ibu kota,

bahkan mancanegara, para pemimpin Gereja mulai berbicara tentang pembangunan. Sejak

tahun 1967, tidak ada kata yang lebih indah dari kata pembangunan.

Diakonia reformatif/pembangunan bisa dikatakan tidak mampu menyelesaikan

kemiskinan rakyat, sebab ia hanya memberi perhatian pada pertumbuhan ekonomi, bantuan

modal dan teknik, tetapi mengabaikan sumber kemiskinan yaitu ketidakadilan dan

pemerataan.

Seiring dengan perkembangan teologi dan ideologi pembangunan, diakonia Gereja

bergeser dari diakonia karitatif menjadi diakonia reformatif/pembangunan. Diakonia tidak

Page 16: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

27

lagi sekedar memberikan bantuan pangan dan pakaian tetapi mulai memberikan perhatian

pada penyelenggaraan kursus keterampilan, pemberian atau pinjaman moda pada kelomok

masyarakat. Mengatasi kemiskinan dengan asumsi kurang teknologi (keterampilan) dan

modal menjadi alasan dan dasar diakonia reformatif/pembangunan. Sumber kemisikinan

hanya dilihat sebagai akibat kebodohan, kemalasan, keterampilan/ modal yang kurang, dan

alam yang tidak subur. Kemiskinan tidak dilihat sebagai akibat tatanan sosial yang tidak adil.

II.3.3. Diakonia Transformatif

Di beberapa negara, pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi hanya

menciptakan kemiskinan baru dan memperluas gap antara kelompok orang yang kaya dan

yang miskin, bahkan merusak lingkungan ekologis bumi untuk kebutuhan jangka panjang,

sehingga muncul alternatif ke tiga untuk menjawab permasalahan kemiskinan dan

ketidakadilan struktural yang muncul di permukaan.45

Pada pembahasan sebelumnya diakonia karikatif digambarkan sebagai pelayanan

memberikan ikan pada orang yang lapar, sedangkan diakonia reformatif atau pembangunan

adalah pelayanan memberikan pancing dan mengajarkan memancing, maka diakonia

transformatif atau pembebasan digambarkan sebagai pelayanan mencelikkan mata yang buta

dan memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan sendiri. Pemberian pancing dan

keterampilan memancing tidaklah berguna bila sungai-sungai dan laut sudah dikuasaii oleh

orang-orang yang serakah. Rakyat kecil yang buta hukum serta mengalami kelumpuhan

semangat berjuang perlu dilayani, yaitu dengan menyadarkan hak-hak mereka dan

45Bakti Situmorang, Diakonia: Tugas Gereja Untuk Membebaskan, http://baktijsitumorang.files.wordpress.com/2008/03/diakonia-Gereja-sebagai-tugas-pembebasan.pdf diunduh tanggal 17 Juli 2012, pukul 15:48

Page 17: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

28

menyadarkan mereka. Mereka juga butuh dorongan dan semangat untuk percaya pada diri

sendiri.46

Kata transform berarti Their apperance and function is totally change.47 Artinya

diakonia transformatif bertujuan terjadinya perubahan total dalam fungsi dan penampilan

dalam kehidupan bermasyarakat baik perubahan sosial, budaya, ekonomi, serta politik.

Sejarah lahirnya dipelopori oleh Gereja Amerika Latin mencari jawaban atas

kemiskinan yang sangat parah di sana. Asumsi yang mendasari pelayanan ini adalah kalau

ada orang lapar, tidak cukup diberi roti, sebab besok ia akan datang kembali untuk meminta

roti (menghapus mental ketergantungan); juga tidak cukup, hanya diberi pancing atau pacul,

karena masalahnya terletak pada pertanyaan, di mana mereka dapat mengail dan mengolah

tanah? Bila tanah dan laut dikuasai kaum pemilik modal yang mempunyai kapital? Karena itu

berilah dia hak hidup melalui pendampingan dan pemberdayaan bagi mereka.

Peran Gereja selama ini dalam mentransformasikan dunia dirasakan belum optimal.48

Maka teolog pembebasan merumuskan "ekklesiologi baru" (ilmu tentang Gereja) dan

merefleksikan Gereja secara kontekstual. Tokoh yang berperanan di antaranya adalah

Gustavo Gutierrez dengan pendekatan ortopraksis. Digunakannya analisis sosial budaya

masyarakat, analisis SWOT dan perencanaan partisipatif dan melakukan jejaring dengan

institusi sosial yang ada, dan melakukan monitoring dan evaluasi partisipatif. Diakonia

transformatif bukan mau menciptakan oposisi bagi pemerintah dan penguasa, tetapi

menjadikan kelompok yang diberdayakan sebagai mitra dalam membangun kualitas

kehidupan yang lebih baik. Pengalaman Gereja di Amerika Latin mulai meredifinisi kembali

peran Gereja dan tugasnya di dunia saat ini. Gereja tidak lagi diartikan sebagai gedung yang

statis, melainkan sebagai suatu "gerakan" yang terbuka bagi pembaharuan (agent of change) 46 Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi, 114-115 47 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis Diakonia...., 44 48 http://baktijsitumorang.files.wordpress.com/2008/03/diakonia-Gereja-sebagai-tugas-pembebasan.pdf diunduh tanggal 17 Juli 2012, pukul 15:48

Page 18: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

29

dan aktif menjalankan visi misi kerajaan Allah. Karena itu Gereja tidak harus menjadi besar

dan megah fisiknya, melainkan nilai Injil Kerajaan Allah harus hadir dan meresap dalam

seluruh sendi kehidupan manusia.

Titik berangkat teologi pembebasan Gutierrez adalah Gereja dan hubungannya

dengan dunia di Amerika Latin.49 Guna memindahkannya ke dunianya, Gereja memerlukan

sebuah pemahaman baru dalam sifat dasar dan misinya. Dan dengan pemahaman ini pula

fungsi pembebasan Gereja tampak dalam tiga tingkatan: pembebasan politik yang

mengakomodasi golongan miskin dan tertindas; pembebasan sebagai sebuah pemahaman

akan sejarah, dengan orang menyadari dan dapat melihat masa depannya secara

bertanggungjawab; dan pembebasan oleh Kristus dari dosa, akar dari segala kebobrokan

hubungan manusia, ketidakadilan dan penindasan.

Maksud dari diakonia pembebasan adalah diakonia yang bertujuan untuk

membebaskan rakyat kecil yang terbelenggu struktur yang tidak adil, bukan sekedar diakonia

yang berfungsi sebagai palang merah yang menolong korban tanpa usaha mencegah dan

mengurangi sebab-sebab terjadinya korban dari masalah-masalah sosial.

Dengan kata lain, diakonia tranformatif adalah pelayanan Gereja bagi dan bersama

orang miskin yang lebih bersifat pendampingan dan mendorong mereka untuk

memperjuangkan hak-hak mereka guna mengatasi kemiskinan mereka.50 Hal ini

menunjukkan bahwa kemiskinan hanya dapat diatasi oleh simiskin itu sendiri. Perjuangan

mereka untuk mengatasi kemiskinan tersebut tidak hanya membutuhkan bantuan uang dan

keterampilan, tetapi juga suatu kekuatan bersama dalam kelompok mereka sendiri.

Diakonia tranformatif juga mempunyai arti menolong masyarakat untuk

memperjuangkan hak-haknya sehingga bisa hidup dengan layak sebagai manusia dengan

49 ibid 50 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia, 223

Page 19: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

30

harkat dan martabatnya.51 Hak-hak yang dimaksudkan dalam hal ini adalah hak untuk hidup,

hak memperoleh keadilan, dan lain-lain. Hak-hak tersebut dapat diperoleh oleh

pemberdayaan yang dilakukan bagi orang-orang miskin.

Proses penyadaran dan memberikan kekuatan pada rakyat untuk percaya pada dirnya

(empowering people) melalui pendekatan Community Organization (CO), dengan pendekatan

pengorganisasian komunitas/ masyarakat diharapkan untuk dapat merancang dan

merencanakan hidup mereka sendiri.52

Dengan mengunakan pengorganisasian masyarakat dalam melayani orang miskin dan

tersisih, maka fokus dari diakonia transformatif adalah:53

- Pertama, rakyat sebagai subjek dari sejarah, bukan objek;

- Kedua, tidak karitatif, tetapi preventif;

- Ketiga, tidak didorong oleh belas kasihan, tetapi keadilan;

- Keempat, mendorong partisipasi rakyat;

- Kelima, memakai alat analisis sosial dalam memahami sebab-sebab kemiskinan;

- Keenam, melakukan penyadaran pada rakyat, dan;

- Ketujuh, mengorganisasikan rakyat.

Memberi kekuatan pada rakyat untuk menegakkan keadilan merupakan gerakan

pelayanan yang saat itu berkembang di Dunia Ketiga. Keadilan tidaklah mungkin jatuh

sebagai hadiah dari atas, tetapi keadilan merupakan perjuangan dari bawah, dari mereka yang

diperlakukan tidak adil.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa diakonia transformatif lebih kepada

pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat dapat membantu diri mereka sendiri untuk

keluar dari lingkaran kemiskinan. Diakonia transformatif berusaha memampukan manusia

51 E. Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan “Berteologi dalam Konteks Awal Milenium III”, 63 52 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis Diakonia...., 44 53 Ibid, 45

Page 20: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

31

untuk dapat menentukan hidupnya sendiri terlepas dari ketergantungan kepada orang lain.

Diakonia jenis ini berusaha melakukan perubahan yang mutlak, bukan sekedar

mengusahakan peningkatan pada yang dilayani.

II.4. Definisi, Sejarah serta Perkembangan Credit Union (CU)

II.4.1. Definisi Credit Union (CU)

Bentuk diakonia yang dilakukan oleh GBKP pada saat ini adalah berupa program

Credit Union (CU). Credit Union Sendiri mempunyai banyak definisi. Menurut literatur, ada

beberapa definisi Credit Union (CU) yang dalam penyampaiannya memiliki perbedaan,

namun sesungguhnya mempunyai arti yang sama.54

Pertama, Credit Union adalah koperasi keuangan yang dijalankan secara demokratis

dan bagi hasil (profit sharing), menawarkan berbagai produk simpanan dan pinjaman

berbunga rendah kepada para anggotanya.

Kedua, Credit Union (CU) adalah lembaga keuangan koperasi yang dimiliki dan

diawasi oleh para anggotanya dan dioperasikan untuk tujuan mendorong pola hidup hemat,

menyediakan pinjaman dengan suku bunga bersaing, dan menyediakan berbagai pelayanan

keuangan lain kepada anggotanya.

Ketiga, World Council of Credit Union (WOCCU) mendefinisikan Credit Union (CU)

sebagai “not-for-profit cooperative institutions” yang artinya lembaga koperasi yang bukan

untuk tujuan mencari keuntungan.

Keempat, Credit Union (CU) adalah koperasi keuangan yang didirikan dari, oleh, dan

untuk anggota di mana para anggota adalah penabung, peminjam, dan sekaligus pemegang

saham. Credit Union (CU) beroperasi dengan basis tidak untuk mencari keuntungan. Credit

54 Munaldus, dkk, Credit Union “Kendaraan Menuju Kemakmuran, Praktik Bisnis Sosial Model Indonesia” Elex Media (Jakarta:2012),

Page 21: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

32

Union (CU) menawarkan banyak pelayanan perbankan, seperti pinjaman konsumtif dan

pinjaman komersial (bunga pinjaman biasnya lebih rendah dari suku bunga pasar), simpanan

sukarela berjangka (suku bunga biasanya lebih tinggi dari suku bunga pasar), kartu kredit,

dan asuransi. Credit Union (CU) pada umumnya dikenakan pajak lebih rendah bahkan ada

yang bebas pajak dari pada pajak yang dikenakan pada bank komersial atau lembaga

keuangan lain. Para anggota diikat dalam satu ikatan pemersatu (common-bond) seperti

pekerjaan, tempat tingal, dan lain-lain.

Kelima, Credit Union (CU) adalah koperasi keuangan yang tidak mencari keuntungan

(not-for-profit), yang kehadirannya bertujuan melayani anggota yang berada dalam satu

ikatan pemersatu (common-bond) seperti wilayah tempat tinggal, profesi, tempat kerja, dan

lain-lain. Credit Union (CU) dioperasikan secara demokratis oleh para anggota dan diurus

oleh para pengurus dan pengawas yang melayani secara sukarela (voluntarily). Para pengurus

dan pengawas yang melayani anggota secara sukarela ini dipilih dari dan oleh anggota pada

suatu Rapat Anggota. Tujuan utama Credit Union (CU) adalah melayani para anggota agar

permasalahan dan kebutuhan keuangan mereka teratasi.

Keenam, sebuah lembaga keuangan koperasi yang dimiliki dan dikendalikan oleh

anggotanya. Credit Union (CU) tidak untuk keuntungan (not-for-profit) dan hadir untuk

memberikan tempat yang aman, nyaman bagi anggota untuk menyimpan uang dan

memperoleh pinjaman dan pelayanan keuangan lainnya dengan harga yang bersaing.

Dari semua definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa Credit Union (CU) adalah

lembaga keuangan yang lebih memperhatikan kesejahteraan anggota yang ada di dalamnya

dan yang tidak mencari keuntungan lembaga.

Page 22: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

33

Secara harafiah “kredit” (credit) berasal dari bahasa latin Credere atau Credo yang

artinya percaya, sedangkan kata “Union” berarti perkumpulan.55 Jadi, Credit Union (CU)

berarti perkumpulan orang-orang yang saling percaya. Di Indonesia, “Credit Union (CU)”

diterjemahkan sebagai Koperasi Kedit.

II.4.2. Sejarah serta Perkembangan Credit Union (CU)

Koperasi Credit Union (CU) muncul pertama kalinya di Eropa tepatnya di Jerman.56

Gagasan ini dipelopori pertama kali oleh Walikota Flammersfield yang bernama Frederich

Wilhelm Raiffeisen. Hal ini dilatarbelakangi oleh terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan

di Eropa dan pengurangan fungsi sumber daya manusia akibat revolusi industri, sehingga

buruh-buruh pabrik di PHK dan dengan terpaksa berusaha menciptakan pekerjaan yang baru

sebagai petani. Tingkat pengangguran yang tinggi ini memaksa penduduk miskin untuk

berhutang dan menjadi korban lintah darat agar mempunyai modal usaha.

Langkah-langkah awal yang ditempuh oleh Frederich Wilhelm Raiffeisen untuk

menanggulangi masalah ini, antara lain ialah menghimpun dana (uang) dari para dermawan

dan mengumpulkan bahan makanan untuk selanjutnya dibagikan kepada penduduk miskin.

Namun upaya ini tidak berhasil karena penduduk miskin menjadi terlalu bergantung dan

bencana kelaparan tetap saja terjadi. Ketidakberhasilan itu mengantarkan sang walikota pada

suatu kesimpulan, bahwa kesulitan kaum miskin hanya dapat diatasi dengan cara

mengumpulkan uang dari mereka dan dipinjamkan kembali kepada mereka.

Sumbangan tidak menolong diri sendiri tetapi sebaliknya merendahkan martabat

manusia yang menerimanya. Prinsip ini pula yang kemudian dikenal dengan tiga prinsip

utama Koperasi Credit Union (CU), yaitu :

55 Ibid, 56 Agustinus Pengarapenta Purba, Menuju Kemandirian Dana GBKP, Abdi Karya (Kabanjahe:2010), 57

Page 23: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

34

1. Tabungan (modal) diperoleh hanya dari anggota.

2. Pinjaman diberikan hanya kepada anggota.

3. Jaminan terbaik bagi peminjam adalah “watak.

Gagasan Credit Union (CU) oleh Friedric Wilhelm Raiffeisen berhasil menghapuskan

usaha-usaha lintah darat (rentenir, ijon) yang pada masa itu sudah merajalela melakukan

pemerasan terhadap petani. Credit Union (CU) menjadi salah satu gerakan pemberdayaan

masyarakat dengan mengembangkan swadaya kemampuan/potensi yang ada.

Filosofi yang harus dipahami oleh seluruh anggota adalah bahwa Credit Union (CU)

bukan mencari keuntungan semata (not for profit), bukan untuk tujuan derma/amal (not for

charity), tetapi adalah untuk pelayanan (service). Secara rinci prinsip dan filosofi Credit

Union (CU) dapat digambarkan sebgai berikut:57

a. Credit Union (CU) bukan tempat penanaman modal atau tempat memberikan

pinjaman dengan bunga tinggi.

b. Credit Union (CU) bukan organisasi keuangan, melainkan organisasi manusia yang

mengadakan kerja sama dengan swadaya (self-help) untuk kemajuan bersama.

c. Credit Union (CU) bukan organisasi pemberi derma/ amal yang menciptakan sikap

ketergantungan.

d. Credit Union (CU) merupakan organisasi manusia yang saling memberikan pelayanan

kepada sesama anggotanya secara swadaya melalui usaha bersama (self-help through

mutual help)

57 Ibid, 58

Page 24: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

35

e. Credit Union (CU) adalah organisasi manusia yang melakukan pendidikan terus

menerus untuk mengatasi segala permasalahan yang menggangu kehidupan dan usaha

anggotanya.

Pada tahun 1898 Alphonso Desyading, seorang jurnalis Kanada merasa tertarik dan

menaruh perhatiannya terhadap Koperasi Credit Union (CU).58 Ia juga mengadakan

korespondensi dengan Hennry A. Walff, seorang yang ahli di bidang koperasi di Eropa. Pada

tanggal 1 Desember 1900 ia berhasil mendirikan Koperasi Credit Union (CU) pertama,

dengan anggota lebih dari 80 orang. Koperasi Credit Union (CU) itu diberi nama Caisse

Populaire de Levis. Koperasi Credit Union (CU) ini berhasil meningkatkan taraf hidup

masyarakat di Kanada dan menjadi badan koperasi yang paling berkembang di seluruh dunia.

Kerberhasilan dan pengaruh yang sangat positif dari pembentukan Koperasi Credit

Union (CU) di Kanada memicu kemunculan organisasi yang sama di seluruh dunia. Di

Amerika Serikat, Koperasi Credit Union (CU) didirikan oleh seorang saudagar kaya yang

bernama Edward A. Fillene pada tahun 1907.

Sementara itu, di Filipina Koperasi Credit Union (CU) didirikan oleh 2 orang

Misionaris Protestan dari Amerika Serikat yaitu Rew Allan dan R. Huller sejak tahun 1937.

Koperasi Credit Union (CU) ini berkembang pesat di Filipina dan kebanyakan dikelola lewat

pelayanan Gereja, dan tidak terbatas hanya di kota-kota tetapi juga hingga di pedesaan.

Di Indonesia pembentukan koperasi telah dimulai sebelum adanya peraturan-

peraturan tentang perkoperasian.59 Pada tahun 1895 di Purwokerto misalnya, Raden

Wiriatmadja mendirikan semacam koperasi simpan-pinjam (koperasi kredit) yang sama

58 Kosmas Lawa Bagho, Sejarah Koperasi Kredit/Credit Union.htm di unduh tanggal 27 Septembe 2012 59 Munaldus, dkk, Credit Union “Kendaraan Menuju Kemakmuran, Praktik Bisnis Sosial Model Indonesia”, Elex Media (Jakarta:2012),

Page 25: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

36

seperti dibentuk oleh Raiffesien dan dinamakan ”bank pertolongan dan simpanan.” Pada

awalnya pembentukan koperasi kredit ini adalah untuk menolong kaum pegawai (priyayi)

agar mereka terlepas dari ikatan hutang oleh para pelepas uang atau “rentenir.” Dengan

bantuan E. Seibrugh dan de Wolf van Westerode, maka pada tahun 1898 usaha Patih

Wiriatmadja dikembangkan menjadi “Bank Penolong Tabungan dan Kredit Pertanian” untuk

selanjutnya memperluas jangkauan keanggotaannya di kalangan kaum petani. Selain itu,

terdapat pula rintisan usaha yang sama diberbagai daerah pada saat itu.

Di Mojowarno muncul semacam bank simpan-pinjam yang dikhususkan bagi kaum

bumi putera pada tahun 1895. Berikutnya mulai bermunculan pula usaha-usaha serupa di

Garut, Probolinggo dan Lamongan. Namun demikian, bentuk usaha yang dijalankan itu

masih belum menetapkan cara kerja koperasi yang sesungguhnya.

Di awal kebangkitan nasional pada tahun 1908, para perintis kemerdekaan mulai

mengembangkan koperasi yang memiliki nilai-nilai demokrasi. Pada saat itu Boedi Oetomo

mulai mengembangkan pendirian koperasi kredit. Koperasi juga dimaksudkan sebagai upaya

penyebarluasan semangat kebangsaan dan alat perjuangan rakyat di masa pergerakan

nasional. Walaupun demikian, pada akhirnya hal ini dipandang sebagai ancaman yang dapat

membahayakan kedudukan pemerintah kolonial.

Dalam mengantisipasi berdirinya badan koperasi yang dapat membahayakan

kedudukan pemerintah kolonial, maka dikeluarkanlah peraturan koperasi yang pertama di

Hindia Belanda (Indonesia) pada tahun 1915. Keputusan tersebut selajutnya sangat

membatasi pertumbuhan dan perkembangan koperasi di kalangan masyarakat bumiputera,

bahkan banyak koperasi yang ditutup karena tidak memenuhi persyaratan yang telah

ditetapkan oleh pemerintah. Berbagai peraturan juga dikeluarkan pada tahun-tahun

berikutnya hingga tahun 1933, akan tetapi tetap saja tidak membawa perubahan yang berarti.

Page 26: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

37

Pada masa pemerintahan Jepang, cara kerja dan ruang gerak koperasi semakin jauh

bertentangan dengan prinsip-prinsip koperasi yang sebenarnya. Koperasi-koperasi yang ada

kemudian dirubah bentuknya menjadi “kumiai” yang berfungsi sebagai alat ekonomi perang

atau sebagai sarana pengumpulan dan pendistribusian bahan makanan untuk keperluan

perang. Akibatnya kepercayaan rakyat terhadap koperasi sebagai lembaga yang dapat

memperbaiki kesejahteraan menjadi lenyap.

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mendirikan semacam “jawatan koperasi” pada

tahun 1946. Sejak saat itu mulai timbul gagasan-gagasan untuk membentuk koperasi desa

yang melaksanakan berbagai kegiatan produksi serta pemasaran hasil-hasil pertanian.

Akhirnya pada tanggal 11-14 Juli 1947 diselenggarkanlah “Kongres Gerakan Koperasi

Indonesia” yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut dianjurkan agar diadakan

pendidikan di kalangan pengurus, pegawai, dan anggota-anggotanya. Namun belum sempat

hasil keputusan itu dilaksanakan, berkobar pula Agresi Militer Belanda dan pemberontakan

PKI di Madiun, yang menyebabkan terjadinya krisis dan banyak koperasi yang mengalami

kerugian dan gulung tikar.

Memasuki Tahun 1950 hingga pertengahan 1960, diawali dengan pembubaran Negara

Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada tanggal 17 agustus

1950 keadaan koperasi jauh lebih baik jika dibandingkan pada masa sebelumnya. Lahirnya

Orde Baru kemudian menandai penataan dan penertiban kembali struktur perekonomian di

Indonesia secara umum, termasuk mengaktifkan peran dan fungsi koperasi secara lebih

maksimal. Pada masa ini pula, Koperasi Credit Union (CU) di Indonesia mengawali

perjalanannya.

Gereja memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mengawali perkembangan

Koperasi Credit Union (CU) di Indonesia. Pada tahun 1967, World Council of Credit Union

Page 27: BAB II TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6880/2/T1_712008043_BAB II.pdf · manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita,

38

(WOCCU) atau Dewan Koperasi Kredit Dunia diundang ke Indonesia yang diwakili oleh Mr.

A.A. Baily untuk memperkenalkan gagasan Koperasi Credit Union (CU). Pada tahun 1970,

dibentuklah Credit Union Concelling Office (CUCO) di Jakarta yang dipelopori oleh seorang

misionaris bernama Pastor Karl Albrecth Karim Arbie S.J.. Namun demikian, ia kemudian

meninggal dunia pada tanggal 11 September 1999 akibat terbunuh dalam peristiwa Dili

(Timor-Timur).

Peran pemerintah juga menjadi sarana yang penting bagi perkembangan Koperasi

Credit Union (CU) di Indonesia. Pada tahun 1975, BK3I (Badan Koordinasi Koperasi Kredit

Indonesia) menyelenggarakan kursus dasar Koperasi Credit Union (CU) pertama di

Nyarumkop dan Sangau (Kalimantan). Dan pada tahun 1976, diadakan pula Konferensi

Nasional Credit Union (CU) di Ambarawa (Jawa Tengah), yang dihadiri oleh Ir. Ibnu

Soejono selaku Dirjen Koperasi saat itu. Tahun 1981 kembali diadakan Konferensi Nasional

Kopdit yang melahirkan Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I) dengan Robby

Tulus sebagai ketuanya. Adapun fungsi dari BK3I diantaranya, yaitu:

1. Memberikan konsultasi

2. Menyediakan bahan dan program pelatihan

3. Menyelenggarakan kursus-kursus dan pelatihan

4. Menyebarkan informasi tentang gerakan Koperasi Credit Union (CU)

5. Merintis pembentukan Badan Koordinasi Kopdit Daerah.