Upload
phungmien
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP KEMISKINAN
Kemiskinan adalah suatu masalah besar dan serius yang sedang terjadi ditengah-
tengah kehidupan masyarakat bahkan juga ditengah-tengah dunia. Kemiskinan dalam arti,
bahwa orang tidak menguasai sarana-sarana fisik secukupnya untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dasarnya, untuk mencapai tingkat minimum kehidupan yang masih dapat dinilai
manusiawi.17 Kemiskinan merupakan menjadi tanggungjawab kita, karena kemiskinan untuk
sebagaian besar bukanlah kesalahan orang miskin sendiri melainkan akibat kondisi-kondisi
objektif kehidupan mereka.
Dalam bab ini penulis akan memaparkan lebih mendalam mengenai tanggungjawab
Gereja terhadap kemiskinan. Adapun pembahasan yang akan di paparkan secara berturut-
turut ialah: (1) Keprihatinan Gereja terhadap kemiskinan, (2) Diakonia, (3) Bentuk-Bentuk
Diakonia, (4) Definisi, Sejarah serta Perkembangan Credit Union (CU).
II.1. Keprihatinan Gereja terhadap Realitas Sosial
Gereja merupakan sebuah institusi yang berada di tengah-tengah dunia, sehingga
Gereja tidak dapat terlepas dari tanggungjawabnya terhadap masalah-masalah yang sedang
dihadapi oleh masyarakat yang berada di dunia. Gereja dan masyarakat adalah dua dimensi
dari satu kehidupan Kristiani. Iman, harapan dan cinta kasih Kristiani bukanlah sesuatu yang
abstrak terkotak, yang hanya berlaku di dalam kerangka-intern Gerejawi, melainkan selalu
konkret dan kontekstual di tengah masyarakat.18
Keberadaan Gereja dan orang Kristen yang hidup ditengah-tengah masyarakat dan
sebagai anggota masyarakat tidaklah terlepas dari masalah kemiskinan yang menyebabkan 17 F. Magnis-Suseno dalam buku Banawiratma Kemiskinan dan Pembebasan, (Yogyakarta: Kanisius,1987) 37 18 Eduard R. Dopo, Keprihatinan Sosial Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), ix
13
adanya ketimpangan nilai-nilai atau norma-norma kesejahteraan tersebut. Dalam
keterlibatannya mengatasi masalah kemiskinan, Gereja dan orang Kristen tidaklah cukup
hanya memahami apa arti kemiskinan dan siapa yang miskin (orang miskin) saja, tetapi
Gereja dan orang Kristen harus mampu merangkul mereka dan mengangkat hakekat dan
martabat mereka yang berada dalam kondisi hidup miskin. Dengan kata lain kesadaran etis
Gereja dan orang Kristen terhadap masalah kemiskinan harus disertai dengan tindakan
konkret atau tanggung jawab etis terhadap orang miskin, atau membantu meringankan beban
berat yang membuat mereka menderita.
Istilah Gereja berasal dari kata Portugis igreya yang dalam bahasa Yunani adalah
kyriake, yang berarti menjadi milik Tuhan.19 Adapun yang dimaksud dengan milik Tuhan
adalah: orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juru Selamatnya. Jadi yang
dimaksud dengan Gereja adalah persekutuan para orang beriman. Kata kyriake sebagai
sebutan bagi persekutuan para orang yang menjadi milik Tuhan. Di dalam Perjanjian Baru
kata yang dipakai untuk meyebutkan persekutuan para orang beriman adalah ekklesia, yang
berarti rapat atau perkumpulan yang terdiri dari orang-orang yang dipanggil untuk
berkumpul. Mereka berkumpul karena dipanggil atau dikumpulkan.20
Dengan menggunakan pengertian ini, maka yang tergabung dalam persekutuan ini
adalah orang-orang pilihan yang sudah dipanggil keluar dari lingkungannya yang gelap.21
Tetapi pada saat yang sama, mereka yang sudah dipanggil keluar tersebut kembali diutus ke
dalam dunia, ke dalam lingkungannya untuk menjadi garam dan terang (Mat. 5:13-14).
Pemanggilan Allah atas umat-Nya ini untuk dijadikan garam dan terang bagi kegelapan dan
ketawaran yang masih ada di sekitarnya.
19 Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta:BPK Gunung Mulia,1992), 362 20 Ibid, 362 21 Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang Kristen dalam Masyarakat, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004), 139
14
Gereja yang seutuhnya adalah seutuhnya dalam melakukan tugas panggilan Gereja
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.22 Tugas panggilan Gereja tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Gereja Dipanggil untuk Ibadah/Penyembahan (Lateria)
Ibadah (Yun.lateria) adalah cara yang paling jelas bagi Gereja untuk memenuhi
tujuannya, yakni menghormati Allah serta ibadahpun mempunyai unsur-unsurnya yaitu:
persembahan puji-pujian, Firman Allah, dan sakramen-sakramen.23
2) Gereja Dipanggil untuk Persekutuan (Koinonia)
Persekutuan dalam bahasa Yunani Koinonia yang dipakai bagi persekutuan dengan
Tuhan Yesus Kristus.24 Soedarmo juga menegaskan bahwa Koinonia, bahwa kini kata
“keesaan” sering dipakai untuk menggambarkan koinonia antar Gereja dan antar manusia.
3) Gereja Dipanggil untuk Bersaksi (Marturia)
Kesaksian (Yunani. Marturia) yang berarti kesaksian, pada masa kini marturia biasa
dipakai bagi tugas Gereja dan orang percaya untuk bersaksi atas kasih karunia Kristus kepada
dunia.25 Gereja harusnya bersaksi bagi umatnya yang miskin dan menderita serta membela
mereka agar mereka terlepas dari kemiskinan dan penderitaan.
4) Gereja Dipanggil untuk Pelayanan/Melayani (Diakonia)
Pelayanan (Yunani. Diakonia) menurut Soedarmo dalam bukunya Kamus Istilah
Teologi dikatakan bahwa:
22 http://diakoniatransformatif.blogspot.com/ diunduh pada tanggal 17 Juli 2012 23 Bruce Milne, Mengenali Kebenaran, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 306 24 R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 47 25 Ibid, 54
15
Diakonia pada umumnya dipakai bagi aktivitas Gereja untuk membantu anggota-anggota
Gereja yang lemah ekonominya (Soedarmo: 1986, hal 19).
II.2. Diakonia
II.2.1. Pengertian Diakonia
J. C. Sikkel (1880) pernah mengatakan bahwa Gereja bisa hidup tanpa gedung, tetapi
tidak bisa hidup tanpa diakonia.26 Hal ini menandakan bahwa Diakonia sangatlah penting
dalam kehidupan ber-Gereja. Usia panggilan diakonia setua dengan gerakan Yesus yang lahir
di Palestina lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Gerakan Yesus tidak bisa dipisahkan dari
gerakan solidaritas terhadap orang miskin. Solidaritas itu diwujudnyatakan oleh Gereja
melalui diakonia Gereja. Tanpa diakonia dan perhatian pada orang miskin, sebuah Gereja
tidak bisa disebut sabagai tubuh Kristus. Diakonia, sebagai misi Gereja dikenal dalam istilah
tritugas panggilan Gereja, yaitu Koinonia (persekutuan), marturia (kesaksian), dan diakonia
(pelayanan)
Secara harafiah kata “diakonia” berarti “memberi pertolongan atau pelayanan” atau
pelayan meja. Kata ini berasal dari kata Yunani diakonia (pelayanan), diakonien (melayani),
dan diakonos (pelayan).27
Dalam Perjanjian Baru di samping kata-kata ini terdapat lima kata lain untuk
“melayani”, masing-masing dengan nuansa dan arti tersendiri, yang dalam terjemahan-
terjemahan Alkitab kita pada umumnya diterjemahkan dengan kata “melayani” karena
26 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat Indonesia (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010), 1 27 ibid
16
kosakata bahasa Indonesia yang kurang begitu kaya seperti bahasa Yunani.28 Di samping
diakonien dalam PB ditemukan kata-kata berikut ini:
Douleuein: melayani sebagai budak kata ini terutama menunjukkan arti ketergantungan dari
orang yang melayani. Orang Yunani sangat tidak menyukai kata ini. Orang baru menjadi
manusia jika ia dalam keadaan bebas. PB mula-mula memakai kata ini dalam arti biasa
sesuai dengan keadaan masyarakat pada waktu itu. Di samping itu, kata ini juga mendapat
arti religius.
Latreuein: melayani untuk uang. Kata benda latreia (pelayan yang diupah) juga dipakai
dalam pemujaan dewa-dewa. Dalam terjemahan Yunani dari PL, yaitu Septuaginta (LXX),
kata ini kurang lebih terdapat 90 kali, pada umumnya untuk melayani Tuhan Allah dan
khususnya untuk pelayan persembahan.
Leitourgein: dalam bahasa Yunani digunakan untuk pelayan umum bagi kesejahteraan rakyat
dan negara. Dalam LXX arti sosial-politik ini terutama dipakai di lingkungan kuil-kuil.
Dalam PB (khususnya surat Ibrani) kata ini menunjukkan kepada pekerjaan Imam Besar
Yesus Kristus. Kemudian dalam Roma 15:27 dan 2 Korintus 9:12 kata ini dipakai untuk
kolekte dari orang Kristen asal kafir (suatu perbuatan diakonal) untuk orang miskin di
Yerusalem. Dari kata inilah berasal kata “liturgi”, yaitu suatu tata ibadah dalam pertemuan
jemaat.
Therapeuein: menggarisbawahi kesiapan untuk melakukan pelayanan ini sebaik mungkin dan
memfokuskan diri kedalam pelayanan itu. Therapeuein di tempat lain juga dipakai sebagai
sinonim dari “menyembuhkan”
28 A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 2-3.
17
Hupéretein: menunjukkan suatu hubungan kerja terutama relasi dengan orang untuk siapa
pekerjaan itu dilakukan. Hupéretés berarti sipelaksana memperhatikan instruksi si pemberi
kerja.
II.2.2. Diakonia dalam Alkitab dan Gereja Mula-Mula29
Praktik diakonia (pelayanan) terhadap orang miskin dapat ditemukan dalam Alkitab
yaitu dalam perjanjian lama, perjanjian baru, dan dalam zaman para rasul serta pada Gereja
mula-mula.
II.2.2.1. Diakonia dalam Perjanjian Lama
Dalam perjanjian lama, misalnya perhatian pada orang miskin, perlindungan pada
janda, yatim piatu dan orang asing terdapat dalam hukum taurat. Berdasarkan hukum Musa,
ada beberapa undang-undang yang memberikan perhatian pada orang miskin dan keadilan
sosial, diantaranya sebagai berikut:
- Tahun Yobel
Tahun Yobel tidaklah sekedar ide penataan sosial dalam bentuk pembebasan utang
dan budak serta pengembalian tanah yang digadaikan kepada pemiliknya, tetapi juga
memberikan perhatian pada pelestarian lingkungan hidup.30 Tahun Yobel tidak bisa
dilihat hanya sebagai aktivitas penghapusan utang dan pengembalian tanah pada
pemiliknya, tetapi Tahun Yobel sarana untuk mewujudkan masyarakat lestari dan
sustainable society, yaitu adanya economic and ecological justice atau caring and sharing
economic.
29 Gereja mula-mula yang dimaksud oleh penulis dalam hal ini adalah Gereja pada zaman bapa-bapa Gereja. 30 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis...., 20-21
18
- Tahun Sabat
Tahun sabat merupakan tahun pembebasan yang dirayakan setiap tujuh tahun sekali.31
Tujuannnya adalah untuk menolong orang miskin, tanah, dan binatang dari perlakuan
tidak adil oleh kebijakan ekonomi saat itu. Kata sabat bisa berarti kelegaan, kebebasan,
dan pemulihan.
- Perpuluhan
Hukum perpuluhan dalam perjanjian lama dimaksudkan untuk menyatakan bahwa
tanah Kanaan berserta isinya adalah milik Allah, sehingga tanah tidak boleh dijadikan
barang komuditas sebab tanah itu memiliki nilai spritual yang memberi sumber hidup dan
menajdi barang pusaka.32 Hasil dari tanah Kanaan bukanlah untuk kepentingan penggarap
dan pemilik tanah saja, tetapi untuk menghidupi orang lain seperti orang Lewi yang tidak
memiliki warisan tanah Kanaan karena mereka dikhususkan bekerja di Bait Allah. Selain
untuk orang Lewi hasil tanah Kanaan juga menghidupi orang-orang miskin, yatim-piatu,
janda miskin, dan orang asing. Orang Israel membantu kesejahteraan orang miskin dari
persepuluhan yang dipersembahkan untuk bait Allah yang selanjutnya dikelola oleh orang
Lewi sebagai imam di bait Allah.
- Larangan mengambil bunga dari yang miskin
Banyak orang miskin semakin menjadi miskin karena terjerat oleh bunga dalam
sistem perdagangan. Pada masa itu Israel merupakan bangsa pengembara dan petani,
sehingga kemiskinan mengancam hidup mereka jika praktik bunga dalam pinjam-
meminjam dijalankan.33
31 Ibid, 22 32 Ibid, 22-23 33 Ibid, 24
19
Dari penjelasan-penjelasan diatas, jelas bahwa pada zaman perjanjian lama sudah ada
kepedulian terhadap orang-orang miskin. Kepada orang-orang miskin dikembalikan hak-
haknya, baik hak atas tanah yang sudah sempat dimiliki oleh orang kaya maupun hak untuk
hidup bebas dari perbudakan.
II.2.2.2. Diakonia dalam Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru Yesus dengan jelas dan tegas mengajarkan kepada murid-
murid-Nya untuk memberi perhatian kepada orang miskin, bahkan pelayanan Yesus sendiri
memberikan perhatian khusus kepada orang-orang yang miskin, orang-orang yang terasing,
yang lapar, dan sakit dengan cara menyembuhkan dan memberdayakan mereka. Injil yang
disampaikan Yesus merupakan kabar baik untuk orang miskin. Injil memang merupakan
kabar baik dan sukacita untuk semua orang, tetapi fokus Allah melalui sejarah dan Yesus
Kristus adalah memberitakan kabar baik kepada orang miskin yang disebut anawim yaitu
mereka yang tidak berdaya baik secara sosial ekonomi maupun politik.34
Perhatian pada orang miskin dan tersisih dilanjutkan oleh murid-murid Yesus sesudah
Pentakosta.35 Mengurangi kemiskinan dan bersikap solider pada orang-orang miskin dan
tersisih merupakan praktik hidup dari jemaat pertama dengan cara menjual tanah dan harta
milik yang hasilnya diserahkan kepada para Rasul untuk mencukupi kebutuhan orang miskin
diantara mereka.
Dari uraian diatas jelas bahwa ada tradisi dan cara berdiakonia serta memberi
perhatian pada orang miskin baik secara pribadi maupun secara terorganisasi di dalam
Alkitab. Bahkan bisa dikatakan Bait Allah dalam Perjanjian Lama dan Gereja dalam
Perjanjian Baru tidak sekedar tempat untuk upacara keagamaan, tetapi juga sebagai pusat
34 Ibid, 26 35 Ibid, 28
20
pelayanan kesejahteraan sosial yaitu tempat pemberi perhatian kepada orang-orang miskin
dan yang tersisih.
II.2.2.3. Diakonia pada masa Gereja Mula-Mula
Perhatian pada orang miskin atau masalah sosial tidak hanya dilakukan dalam
perjanjian lama, perjanjian baru atau zaman para Rasul bahkan pada zaman Paulus sebagai
arsitek perkembangan Gereja saja, tetapi praktik diakonia juga diteruskan oleh para bapa
Gereja.
Dalam sejarah Gereja terdapat banyak bapa Gereja yang memberikan ajaran sosial.
Diantaranya yang terkenal adalah bapak Gereja dari Kapadokia yaitu dua bersaudara: Basil
dari Kaesarea dan Gregorius dari Nyssa.36 Basil dari Kaesarea terkenal karena dialah yang
membangun pusat pelayanan sosial.
Dalam sejarah Gereja tercatat bahwa pada tahun 368 telah terjadi bencana kelaparan
yang diakibatkan oleh musim kering di Kapadokia.37 Situasi sulit seperti ini bayak digunakan
oleh penguasa Romawi dan orang-orang kaya untuk memeras petani miskin dengan cara
mereka harus menjual tanahnya atau terpaksa meminjam uang dari orang kaya dengan bunga
tinggi.
Menanggapi situasi seperti ini, Gereja yang dipimpin oleh Basilius tidak sekedar
mengorganisasikan bantuan pangan kepada mereka yang lapar tetapi juga mengecam
kekejaman dan kejahatan struktural para penguasa dan orang kaya. Kecaman Gregorius
terutama ditujukan pada praktik lintah darat yang mencapai 12 persen. Praktik diakonia yang
dilakukan Basilius tidak terbatas pemberian bantuan pangan kepada orang miskin, tetapi juga
36 Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 92 37 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis...., 61-63
21
mendirikan pusat pelayanan sosial yang melayani orang yang berada dalam perjalanan dan
pelayanan kesehatan.
II.2.3. Hakekat Diakonia
Melakukan diakonia (pelayanan) secara baik dapat diumpamakan sebagai
“membangun rumah di atas batu karang yang teguh”.38 Melalui perumpamaan inilah Yesus
menegur kita sebagai pendengar firmanNya yang hanya mendengar tetapi tidak melakukan
dalam kehidupan kita, maka kita bagaikan seorang yang membangun rumah di atas pasir dan
kemudian rumah itu akan roboh terkena hujan dan angin. Bila kita melakukan diakonia, maka
kita ikut serta membangun fondasi yang kuat bagi Gereja sebagai Tubuh Kristus. Tanpa
diakonia, Pekabaran Injil oleh Gereja menjadi abstrak. Ada hubungan yang erat antara
diakonia dan misi; tanpa diakonia, maka misi tidak mempunyai perspektif.
Diakonia bukanlah sekedar persoalan memberi uang, tetapi diakonia merupakan
panggilan untuk berbagi solidaritas dengan yang miskin dan tertindas. Tujuan diakonia
adalah mewujudkan the sharing and community, bukan untuk menciptakan hubungan antara
pemberi dan penerima.39 Diakonia harus dijalankan dalam rangka Missio Dei, yaitu kehadiran
kerajaan Allah di dunia. Wilayah yang di dalamnya Gereja berdiakonia adalah dunia yang
penuh kontrakdiksi dan kompleks. Lingkup Gereja tidak dibatasi oleh tembok dinding Gereja
tetapi mencakup setiap sudut kehidupan, baik sosial ekonomi maupun politik.
II.2.4. Motif Dasar Diakonia
Motif dasar yang menjadi titik tolak pelaksanaan pelayanan bukanlah moralisme
walaupun dalam pelayanan menampakkan moral yang luhur. Bukan pada filanthropis,
walaupun ada keharusan mengasihi sesama manusia seperti perintah Tuhan. Juga bukan
38 Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 40-43 39 ibid
22
humanisme meskipun harus memakai cara-cara manusia. Motif dasar yang paling hakiki
sebagai Theou dalam mengemban akta Tuhan untuk mengasihi ciptaanNya. Respon terhadap
panggilan Tuhan tersebut adalah suatu dedikasi, yaitu pengabdian, penyerahan diri atau
pengurbanan tenaga dan waktu untuk melaksanakan perintah Tuhan.
II.2.5. Tujuan Diakonia
Berdasarkan pengertian, hakekat dan motif dasar diakonia, serta praktik Diakonia
dalam Alkitab dan zaman Gereja mula-mula, maka tujuan utama pelayanan dapat
disimpulkan sebagai berikut:
(1) Memberitakan kepada umat manusia, bahwa Allah mempunyai rencana mengasihi
dan menyelamatkan manusia, dan sebagai kawan sekerja Allah (bnd I Kor 3 : 9)
dengan segala usaha untuk menunjukkan kemuliaan dan kebesaran Allah.
(2) Membantu menyadarkan dan mengembangkan derajat dan potensi diri atau
kemampuan manusiawi sebagai makhluk yang diciptakan menurut peta dan gambar
Allah.
(3) Menyatakan dan menyajikan kasih Allah kepada sesama orang yang menanggung
beban derita atau menjadi korban dalam medan percaturan kehidupan bersama.
(4) Memberikan topangan kepada sesama orang untuk berprestasi atau mengembangkan
perlengkapan hidup (cipta, rasa dan karsa) yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap
orang.
(5) Meringankan beban orang yang mengalami kesulitan hidup dan membantu orang
yang kekurangan dalam mencukupi kebutuhan hidup.
23
II.3. Bentuk-Bentuk Diakonia
Diakonia sebagai pelayanan kasih tidak lagi hanya dimonopoli kegiatan institusi
Gereja melainkan telah dilakukan oleh Lembaga Pelayanan Kristen (LPK) dan juga Lembaga
Sosial Masyarakat (LSM) di luar Gereja.40 Bentuk-bentuk dan cara diakonia yang dilakukan
oleh organisasi sosial Kristen dan dan LSM ini telah berkembang lebih cepat daripada yang
dilakukan oleh institusi Gereja. Pada umumnya cara berdiakonia dapat dibagi menjadi tiga
bentuk, yaitu diakonia karikatif, diakonia reformatif dan diakonia transformatif
(pembebasan).
II.3.1. Diakonia Karitatif
Diakonia Karitatif berasal dari kata Charity (Inggris) yang berarti belas kasihan.
Diakonia ini merupakan bentuk yang paling tua yang dipraktekkan oleh Gereja dan pekerja
sosial.41 Diakonia Karitatif sering diwujudkan dalam bentuk pemberian makanan dan pakaian
kepada orang miskin, menghibur orang sakit, dan perbuatan amal kebajikan. Diakonia ini
didukung dan dipraktekkan oleh institusi Gereja karena: dapat memberikan manfaat langsung
yang segera dapat dilihat, memberikan penampilan yang baik terhadap diri si pemberi,
memusatkan perhatian pada hubungan pribadi, bisa digunakan untuk menarik seseorang yang
dibantu menjadi anggota agama mereka, menciptakan hubungan subjek-objek
(ketergantungan) dan status quo.
Diakonia karitatif merupakan produk dan perkembangan dari industrialisasi di Eropa
dan Amerika Utara pada abad ke 19. Diakonia Karitatif ini sangat digemari oleh bangsawan
dan wanita kelas menengah di Inggris pada zaman Victoria karena dapat mengembangkan
hubungan prbadi yang hangat dengan pihak yang dibantu (Philpot 1986:14).42 Hubungan yng
40 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat Indonesia, 31 41 Ibid, 31-36 42 Ibid, 32
24
dibangun dalam diakonia karitatif menggambarkan hubungan antara pemberi/penyalur
bantuan dan pihak yang menerima bantuan.
Diakonia karitatif disebarkan ke seluruh dunia oleh misi dan zending selama masa
penjajahan. Diakonia ini sangat didukung oleh pemerintah penjajah tetapi sangat dikecam
oleh golongan kritis dan kelompok agama lainnya di negeri jajahan. Menurut Woodward
diakonia karitatif cenderung mempertahankan ideologi dan teologi status quo, karena:
kemiskinan tidak terhindarkan yang disebabkan situasi dan ketidakmampuan yang
bersangkutan, percaya bahwa melalui kerja keras seseorang dapat memperbaiki
kesejahtraannya bukan melalui perubahan sosial, mendesak perlunya tanggungjawab moral
dari yang kaya untuk melakukan amal demi mengurangi kemiskinan.43
Pendekatan diakonia karitatif sebagai warisan zaman kolonial mendapat kritik tajam
dari orang di luar Gereja dan kalangan oikumenis. Bagi kalangan di luar Gereja, diakonia
karitatif sering kali dikecam karena dituduh sebagai alat untuk menarik seseorang untuk
masuk kedalam Gereja. Sebaliknya, bagi kelompok oikumenis diakonia ini dikecam karena
diakonia karitatif menghasilkan ketergantungan dan status quo.
Bentuk diakonia karitatif yang sering dilakukan oleh Gereja adalah mengunjungi
orang dalam penjara dengan membawa makanan dan memimpin renungan, menyedikan beras
untuk membantu keluarga miskin, serta mendirikan poliklinik gratis atau murah untuk orang
miskin. Walaupun diakonia karitatif digambarkan dengan memberikan ikan dan roti kepada
yang lapar tanpa memberdayakan mereka, diakonia karitatif tetap masih diperlukan terutama
dalam keadaan darurat seperti musibah, bencana alam, dll.
Tidak dapat disangkal bahwa diakonia karikatif memiliki kelemahan dan
keterbatasan. Tetapi di dalam kehidupan sehari-hari, diakonia karitatif tidak dapat dihindari.
43 Ibid, 32
25
Sebab, masalah sosial yang membutuhkan tanggap-darurat sebelum menangani akar
masalahnya yang lebih bersifat memberdayakan.
II.3.2. Diakonia Reformatif/ Pembangunan
Untuk mengurangi ketegangan Perang Dingin antara Blok Timur dan Barat, anggota
PBB sepakat atas perlunya memberikan perhatian pembangunan di negara-negara yang baru
merdeka.44 Dengan pembangunan, kemiskinan dan kelaparan di dunia diharapkan dapat
diatasi melalui pertumbuhan ekonomi. Ideologi pembangunan merupakan ideologi yang
muncul di tengah Perang Dingin ketika terjadi persaingan antara kapitalisme dan komunisme.
Ideologi pembangunan dapat dianggap sebagai ideologi untuk menghindari dan menjinakkan
semangat revolusi melawan kapitalisme dan kolonialisme di negara yang sedang
berkembang. Ideologi pembangunan ditawarkan sebagai ideologi alternatif untuk mengurangi
kemiskinan di Dunia Ketiga.
Setelah berjalan kurang lebih dua dekade, pembanguan tidak menghasilkan
kesejahtraan dan keadilan, tetapi justru yang sebaliknya yang terjadi. Jurang pemisah antara
kaya dan miskin dirasakan di kota dan di desa. Pembanguan sering diartikan sebagai
modenisasi dan westerniasi, di mana kesempatan kerja bagi rakyat kecil semakin sempit.
Hasil pembangunan selama dua dekade justru menghilangkan kesempatan pekerja tradisional.
Dalam suasana pembangunan inilah Gereja-Gereja juga ikut berpartisipasi dalam
pembangunan.
Pembangunan yang terjadi selama lebih dari dua dekade tidak menghasilkan
perdamaian, kesejahteraan, dan keadilan, melainkan permusuhan, kemiskinan dan
ketidakadilan. Pembangunan telah menjadi suatu ideologi untuk menekan hak asasi dan
martabat manusia pada saat itu. Demi pembangunan harus ada stabilitas. Demi satbilitas
44 Ibid, 36
26
segala bentuk kritik sosial harus ditiadakan. Demi pembangunan tanah petani harus
dikorbankan untuk proyek industri dan perumahan mewah. Demi pembangunan dan stabilitas
tuntutan gaji dan pemogokan harus ditiadakan. Demi stabilitas, perlu iadakan hukum darurat
militer dan penahanan tanpa proses pengadilan melalui undang-undang keamanan dalam
negeri.
Diakonia reformatif yang lebih dikenal sebagai dikonia pembangunan muncul dalam
era pembangunan. Kesadaran baru dari Gereja-Gereja untuk melakukan diakonia reformatif
muncul seiring dengan kesadaran untuk berpartisipasi dalam pembangunan yaitu pada saat
Sidang Raya Dewan Gereja se Dunia (DGD) IV di Upsalla, Swedia pada tahun 1967. Sidang
Raya Upsalla mendesak agar negara-negara kaya di Utara bersedia memberikan bantuan
ekonomi dan teknologi bagi negara-negara miskin di Selatan.
Sejak Sidang Raya di Upsalla diakonia Gereja mulai bergeser dari diakonia karitatif
ke diakonia reformatf/pembangunan. Diakonia karikatif sering digambarkan sebagai tindakan
belas kasihan pada orang yang lapar dengan memberi sepotong ikan, sedangkan diakonia
reformatif sering digambarkan dengan menolong orang lapar dengan memberi alat pancing
(bantuan modal) dan mengajar memancing (bantuan teknologi). Dari desa hingga ibu kota,
bahkan mancanegara, para pemimpin Gereja mulai berbicara tentang pembangunan. Sejak
tahun 1967, tidak ada kata yang lebih indah dari kata pembangunan.
Diakonia reformatif/pembangunan bisa dikatakan tidak mampu menyelesaikan
kemiskinan rakyat, sebab ia hanya memberi perhatian pada pertumbuhan ekonomi, bantuan
modal dan teknik, tetapi mengabaikan sumber kemiskinan yaitu ketidakadilan dan
pemerataan.
Seiring dengan perkembangan teologi dan ideologi pembangunan, diakonia Gereja
bergeser dari diakonia karitatif menjadi diakonia reformatif/pembangunan. Diakonia tidak
27
lagi sekedar memberikan bantuan pangan dan pakaian tetapi mulai memberikan perhatian
pada penyelenggaraan kursus keterampilan, pemberian atau pinjaman moda pada kelomok
masyarakat. Mengatasi kemiskinan dengan asumsi kurang teknologi (keterampilan) dan
modal menjadi alasan dan dasar diakonia reformatif/pembangunan. Sumber kemisikinan
hanya dilihat sebagai akibat kebodohan, kemalasan, keterampilan/ modal yang kurang, dan
alam yang tidak subur. Kemiskinan tidak dilihat sebagai akibat tatanan sosial yang tidak adil.
II.3.3. Diakonia Transformatif
Di beberapa negara, pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi hanya
menciptakan kemiskinan baru dan memperluas gap antara kelompok orang yang kaya dan
yang miskin, bahkan merusak lingkungan ekologis bumi untuk kebutuhan jangka panjang,
sehingga muncul alternatif ke tiga untuk menjawab permasalahan kemiskinan dan
ketidakadilan struktural yang muncul di permukaan.45
Pada pembahasan sebelumnya diakonia karikatif digambarkan sebagai pelayanan
memberikan ikan pada orang yang lapar, sedangkan diakonia reformatif atau pembangunan
adalah pelayanan memberikan pancing dan mengajarkan memancing, maka diakonia
transformatif atau pembebasan digambarkan sebagai pelayanan mencelikkan mata yang buta
dan memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan sendiri. Pemberian pancing dan
keterampilan memancing tidaklah berguna bila sungai-sungai dan laut sudah dikuasaii oleh
orang-orang yang serakah. Rakyat kecil yang buta hukum serta mengalami kelumpuhan
semangat berjuang perlu dilayani, yaitu dengan menyadarkan hak-hak mereka dan
45Bakti Situmorang, Diakonia: Tugas Gereja Untuk Membebaskan, http://baktijsitumorang.files.wordpress.com/2008/03/diakonia-Gereja-sebagai-tugas-pembebasan.pdf diunduh tanggal 17 Juli 2012, pukul 15:48
28
menyadarkan mereka. Mereka juga butuh dorongan dan semangat untuk percaya pada diri
sendiri.46
Kata transform berarti Their apperance and function is totally change.47 Artinya
diakonia transformatif bertujuan terjadinya perubahan total dalam fungsi dan penampilan
dalam kehidupan bermasyarakat baik perubahan sosial, budaya, ekonomi, serta politik.
Sejarah lahirnya dipelopori oleh Gereja Amerika Latin mencari jawaban atas
kemiskinan yang sangat parah di sana. Asumsi yang mendasari pelayanan ini adalah kalau
ada orang lapar, tidak cukup diberi roti, sebab besok ia akan datang kembali untuk meminta
roti (menghapus mental ketergantungan); juga tidak cukup, hanya diberi pancing atau pacul,
karena masalahnya terletak pada pertanyaan, di mana mereka dapat mengail dan mengolah
tanah? Bila tanah dan laut dikuasai kaum pemilik modal yang mempunyai kapital? Karena itu
berilah dia hak hidup melalui pendampingan dan pemberdayaan bagi mereka.
Peran Gereja selama ini dalam mentransformasikan dunia dirasakan belum optimal.48
Maka teolog pembebasan merumuskan "ekklesiologi baru" (ilmu tentang Gereja) dan
merefleksikan Gereja secara kontekstual. Tokoh yang berperanan di antaranya adalah
Gustavo Gutierrez dengan pendekatan ortopraksis. Digunakannya analisis sosial budaya
masyarakat, analisis SWOT dan perencanaan partisipatif dan melakukan jejaring dengan
institusi sosial yang ada, dan melakukan monitoring dan evaluasi partisipatif. Diakonia
transformatif bukan mau menciptakan oposisi bagi pemerintah dan penguasa, tetapi
menjadikan kelompok yang diberdayakan sebagai mitra dalam membangun kualitas
kehidupan yang lebih baik. Pengalaman Gereja di Amerika Latin mulai meredifinisi kembali
peran Gereja dan tugasnya di dunia saat ini. Gereja tidak lagi diartikan sebagai gedung yang
statis, melainkan sebagai suatu "gerakan" yang terbuka bagi pembaharuan (agent of change) 46 Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi, 114-115 47 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis Diakonia...., 44 48 http://baktijsitumorang.files.wordpress.com/2008/03/diakonia-Gereja-sebagai-tugas-pembebasan.pdf diunduh tanggal 17 Juli 2012, pukul 15:48
29
dan aktif menjalankan visi misi kerajaan Allah. Karena itu Gereja tidak harus menjadi besar
dan megah fisiknya, melainkan nilai Injil Kerajaan Allah harus hadir dan meresap dalam
seluruh sendi kehidupan manusia.
Titik berangkat teologi pembebasan Gutierrez adalah Gereja dan hubungannya
dengan dunia di Amerika Latin.49 Guna memindahkannya ke dunianya, Gereja memerlukan
sebuah pemahaman baru dalam sifat dasar dan misinya. Dan dengan pemahaman ini pula
fungsi pembebasan Gereja tampak dalam tiga tingkatan: pembebasan politik yang
mengakomodasi golongan miskin dan tertindas; pembebasan sebagai sebuah pemahaman
akan sejarah, dengan orang menyadari dan dapat melihat masa depannya secara
bertanggungjawab; dan pembebasan oleh Kristus dari dosa, akar dari segala kebobrokan
hubungan manusia, ketidakadilan dan penindasan.
Maksud dari diakonia pembebasan adalah diakonia yang bertujuan untuk
membebaskan rakyat kecil yang terbelenggu struktur yang tidak adil, bukan sekedar diakonia
yang berfungsi sebagai palang merah yang menolong korban tanpa usaha mencegah dan
mengurangi sebab-sebab terjadinya korban dari masalah-masalah sosial.
Dengan kata lain, diakonia tranformatif adalah pelayanan Gereja bagi dan bersama
orang miskin yang lebih bersifat pendampingan dan mendorong mereka untuk
memperjuangkan hak-hak mereka guna mengatasi kemiskinan mereka.50 Hal ini
menunjukkan bahwa kemiskinan hanya dapat diatasi oleh simiskin itu sendiri. Perjuangan
mereka untuk mengatasi kemiskinan tersebut tidak hanya membutuhkan bantuan uang dan
keterampilan, tetapi juga suatu kekuatan bersama dalam kelompok mereka sendiri.
Diakonia tranformatif juga mempunyai arti menolong masyarakat untuk
memperjuangkan hak-haknya sehingga bisa hidup dengan layak sebagai manusia dengan
49 ibid 50 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia, 223
30
harkat dan martabatnya.51 Hak-hak yang dimaksudkan dalam hal ini adalah hak untuk hidup,
hak memperoleh keadilan, dan lain-lain. Hak-hak tersebut dapat diperoleh oleh
pemberdayaan yang dilakukan bagi orang-orang miskin.
Proses penyadaran dan memberikan kekuatan pada rakyat untuk percaya pada dirnya
(empowering people) melalui pendekatan Community Organization (CO), dengan pendekatan
pengorganisasian komunitas/ masyarakat diharapkan untuk dapat merancang dan
merencanakan hidup mereka sendiri.52
Dengan mengunakan pengorganisasian masyarakat dalam melayani orang miskin dan
tersisih, maka fokus dari diakonia transformatif adalah:53
- Pertama, rakyat sebagai subjek dari sejarah, bukan objek;
- Kedua, tidak karitatif, tetapi preventif;
- Ketiga, tidak didorong oleh belas kasihan, tetapi keadilan;
- Keempat, mendorong partisipasi rakyat;
- Kelima, memakai alat analisis sosial dalam memahami sebab-sebab kemiskinan;
- Keenam, melakukan penyadaran pada rakyat, dan;
- Ketujuh, mengorganisasikan rakyat.
Memberi kekuatan pada rakyat untuk menegakkan keadilan merupakan gerakan
pelayanan yang saat itu berkembang di Dunia Ketiga. Keadilan tidaklah mungkin jatuh
sebagai hadiah dari atas, tetapi keadilan merupakan perjuangan dari bawah, dari mereka yang
diperlakukan tidak adil.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa diakonia transformatif lebih kepada
pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat dapat membantu diri mereka sendiri untuk
keluar dari lingkaran kemiskinan. Diakonia transformatif berusaha memampukan manusia
51 E. Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan “Berteologi dalam Konteks Awal Milenium III”, 63 52 Josep P. Widiatmadja, Yesus & Wong Cilik: Praksis Diakonia...., 44 53 Ibid, 45
31
untuk dapat menentukan hidupnya sendiri terlepas dari ketergantungan kepada orang lain.
Diakonia jenis ini berusaha melakukan perubahan yang mutlak, bukan sekedar
mengusahakan peningkatan pada yang dilayani.
II.4. Definisi, Sejarah serta Perkembangan Credit Union (CU)
II.4.1. Definisi Credit Union (CU)
Bentuk diakonia yang dilakukan oleh GBKP pada saat ini adalah berupa program
Credit Union (CU). Credit Union Sendiri mempunyai banyak definisi. Menurut literatur, ada
beberapa definisi Credit Union (CU) yang dalam penyampaiannya memiliki perbedaan,
namun sesungguhnya mempunyai arti yang sama.54
Pertama, Credit Union adalah koperasi keuangan yang dijalankan secara demokratis
dan bagi hasil (profit sharing), menawarkan berbagai produk simpanan dan pinjaman
berbunga rendah kepada para anggotanya.
Kedua, Credit Union (CU) adalah lembaga keuangan koperasi yang dimiliki dan
diawasi oleh para anggotanya dan dioperasikan untuk tujuan mendorong pola hidup hemat,
menyediakan pinjaman dengan suku bunga bersaing, dan menyediakan berbagai pelayanan
keuangan lain kepada anggotanya.
Ketiga, World Council of Credit Union (WOCCU) mendefinisikan Credit Union (CU)
sebagai “not-for-profit cooperative institutions” yang artinya lembaga koperasi yang bukan
untuk tujuan mencari keuntungan.
Keempat, Credit Union (CU) adalah koperasi keuangan yang didirikan dari, oleh, dan
untuk anggota di mana para anggota adalah penabung, peminjam, dan sekaligus pemegang
saham. Credit Union (CU) beroperasi dengan basis tidak untuk mencari keuntungan. Credit
54 Munaldus, dkk, Credit Union “Kendaraan Menuju Kemakmuran, Praktik Bisnis Sosial Model Indonesia” Elex Media (Jakarta:2012),
32
Union (CU) menawarkan banyak pelayanan perbankan, seperti pinjaman konsumtif dan
pinjaman komersial (bunga pinjaman biasnya lebih rendah dari suku bunga pasar), simpanan
sukarela berjangka (suku bunga biasanya lebih tinggi dari suku bunga pasar), kartu kredit,
dan asuransi. Credit Union (CU) pada umumnya dikenakan pajak lebih rendah bahkan ada
yang bebas pajak dari pada pajak yang dikenakan pada bank komersial atau lembaga
keuangan lain. Para anggota diikat dalam satu ikatan pemersatu (common-bond) seperti
pekerjaan, tempat tingal, dan lain-lain.
Kelima, Credit Union (CU) adalah koperasi keuangan yang tidak mencari keuntungan
(not-for-profit), yang kehadirannya bertujuan melayani anggota yang berada dalam satu
ikatan pemersatu (common-bond) seperti wilayah tempat tinggal, profesi, tempat kerja, dan
lain-lain. Credit Union (CU) dioperasikan secara demokratis oleh para anggota dan diurus
oleh para pengurus dan pengawas yang melayani secara sukarela (voluntarily). Para pengurus
dan pengawas yang melayani anggota secara sukarela ini dipilih dari dan oleh anggota pada
suatu Rapat Anggota. Tujuan utama Credit Union (CU) adalah melayani para anggota agar
permasalahan dan kebutuhan keuangan mereka teratasi.
Keenam, sebuah lembaga keuangan koperasi yang dimiliki dan dikendalikan oleh
anggotanya. Credit Union (CU) tidak untuk keuntungan (not-for-profit) dan hadir untuk
memberikan tempat yang aman, nyaman bagi anggota untuk menyimpan uang dan
memperoleh pinjaman dan pelayanan keuangan lainnya dengan harga yang bersaing.
Dari semua definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa Credit Union (CU) adalah
lembaga keuangan yang lebih memperhatikan kesejahteraan anggota yang ada di dalamnya
dan yang tidak mencari keuntungan lembaga.
33
Secara harafiah “kredit” (credit) berasal dari bahasa latin Credere atau Credo yang
artinya percaya, sedangkan kata “Union” berarti perkumpulan.55 Jadi, Credit Union (CU)
berarti perkumpulan orang-orang yang saling percaya. Di Indonesia, “Credit Union (CU)”
diterjemahkan sebagai Koperasi Kedit.
II.4.2. Sejarah serta Perkembangan Credit Union (CU)
Koperasi Credit Union (CU) muncul pertama kalinya di Eropa tepatnya di Jerman.56
Gagasan ini dipelopori pertama kali oleh Walikota Flammersfield yang bernama Frederich
Wilhelm Raiffeisen. Hal ini dilatarbelakangi oleh terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan
di Eropa dan pengurangan fungsi sumber daya manusia akibat revolusi industri, sehingga
buruh-buruh pabrik di PHK dan dengan terpaksa berusaha menciptakan pekerjaan yang baru
sebagai petani. Tingkat pengangguran yang tinggi ini memaksa penduduk miskin untuk
berhutang dan menjadi korban lintah darat agar mempunyai modal usaha.
Langkah-langkah awal yang ditempuh oleh Frederich Wilhelm Raiffeisen untuk
menanggulangi masalah ini, antara lain ialah menghimpun dana (uang) dari para dermawan
dan mengumpulkan bahan makanan untuk selanjutnya dibagikan kepada penduduk miskin.
Namun upaya ini tidak berhasil karena penduduk miskin menjadi terlalu bergantung dan
bencana kelaparan tetap saja terjadi. Ketidakberhasilan itu mengantarkan sang walikota pada
suatu kesimpulan, bahwa kesulitan kaum miskin hanya dapat diatasi dengan cara
mengumpulkan uang dari mereka dan dipinjamkan kembali kepada mereka.
Sumbangan tidak menolong diri sendiri tetapi sebaliknya merendahkan martabat
manusia yang menerimanya. Prinsip ini pula yang kemudian dikenal dengan tiga prinsip
utama Koperasi Credit Union (CU), yaitu :
55 Ibid, 56 Agustinus Pengarapenta Purba, Menuju Kemandirian Dana GBKP, Abdi Karya (Kabanjahe:2010), 57
34
1. Tabungan (modal) diperoleh hanya dari anggota.
2. Pinjaman diberikan hanya kepada anggota.
3. Jaminan terbaik bagi peminjam adalah “watak.
Gagasan Credit Union (CU) oleh Friedric Wilhelm Raiffeisen berhasil menghapuskan
usaha-usaha lintah darat (rentenir, ijon) yang pada masa itu sudah merajalela melakukan
pemerasan terhadap petani. Credit Union (CU) menjadi salah satu gerakan pemberdayaan
masyarakat dengan mengembangkan swadaya kemampuan/potensi yang ada.
Filosofi yang harus dipahami oleh seluruh anggota adalah bahwa Credit Union (CU)
bukan mencari keuntungan semata (not for profit), bukan untuk tujuan derma/amal (not for
charity), tetapi adalah untuk pelayanan (service). Secara rinci prinsip dan filosofi Credit
Union (CU) dapat digambarkan sebgai berikut:57
a. Credit Union (CU) bukan tempat penanaman modal atau tempat memberikan
pinjaman dengan bunga tinggi.
b. Credit Union (CU) bukan organisasi keuangan, melainkan organisasi manusia yang
mengadakan kerja sama dengan swadaya (self-help) untuk kemajuan bersama.
c. Credit Union (CU) bukan organisasi pemberi derma/ amal yang menciptakan sikap
ketergantungan.
d. Credit Union (CU) merupakan organisasi manusia yang saling memberikan pelayanan
kepada sesama anggotanya secara swadaya melalui usaha bersama (self-help through
mutual help)
57 Ibid, 58
35
e. Credit Union (CU) adalah organisasi manusia yang melakukan pendidikan terus
menerus untuk mengatasi segala permasalahan yang menggangu kehidupan dan usaha
anggotanya.
Pada tahun 1898 Alphonso Desyading, seorang jurnalis Kanada merasa tertarik dan
menaruh perhatiannya terhadap Koperasi Credit Union (CU).58 Ia juga mengadakan
korespondensi dengan Hennry A. Walff, seorang yang ahli di bidang koperasi di Eropa. Pada
tanggal 1 Desember 1900 ia berhasil mendirikan Koperasi Credit Union (CU) pertama,
dengan anggota lebih dari 80 orang. Koperasi Credit Union (CU) itu diberi nama Caisse
Populaire de Levis. Koperasi Credit Union (CU) ini berhasil meningkatkan taraf hidup
masyarakat di Kanada dan menjadi badan koperasi yang paling berkembang di seluruh dunia.
Kerberhasilan dan pengaruh yang sangat positif dari pembentukan Koperasi Credit
Union (CU) di Kanada memicu kemunculan organisasi yang sama di seluruh dunia. Di
Amerika Serikat, Koperasi Credit Union (CU) didirikan oleh seorang saudagar kaya yang
bernama Edward A. Fillene pada tahun 1907.
Sementara itu, di Filipina Koperasi Credit Union (CU) didirikan oleh 2 orang
Misionaris Protestan dari Amerika Serikat yaitu Rew Allan dan R. Huller sejak tahun 1937.
Koperasi Credit Union (CU) ini berkembang pesat di Filipina dan kebanyakan dikelola lewat
pelayanan Gereja, dan tidak terbatas hanya di kota-kota tetapi juga hingga di pedesaan.
Di Indonesia pembentukan koperasi telah dimulai sebelum adanya peraturan-
peraturan tentang perkoperasian.59 Pada tahun 1895 di Purwokerto misalnya, Raden
Wiriatmadja mendirikan semacam koperasi simpan-pinjam (koperasi kredit) yang sama
58 Kosmas Lawa Bagho, Sejarah Koperasi Kredit/Credit Union.htm di unduh tanggal 27 Septembe 2012 59 Munaldus, dkk, Credit Union “Kendaraan Menuju Kemakmuran, Praktik Bisnis Sosial Model Indonesia”, Elex Media (Jakarta:2012),
36
seperti dibentuk oleh Raiffesien dan dinamakan ”bank pertolongan dan simpanan.” Pada
awalnya pembentukan koperasi kredit ini adalah untuk menolong kaum pegawai (priyayi)
agar mereka terlepas dari ikatan hutang oleh para pelepas uang atau “rentenir.” Dengan
bantuan E. Seibrugh dan de Wolf van Westerode, maka pada tahun 1898 usaha Patih
Wiriatmadja dikembangkan menjadi “Bank Penolong Tabungan dan Kredit Pertanian” untuk
selanjutnya memperluas jangkauan keanggotaannya di kalangan kaum petani. Selain itu,
terdapat pula rintisan usaha yang sama diberbagai daerah pada saat itu.
Di Mojowarno muncul semacam bank simpan-pinjam yang dikhususkan bagi kaum
bumi putera pada tahun 1895. Berikutnya mulai bermunculan pula usaha-usaha serupa di
Garut, Probolinggo dan Lamongan. Namun demikian, bentuk usaha yang dijalankan itu
masih belum menetapkan cara kerja koperasi yang sesungguhnya.
Di awal kebangkitan nasional pada tahun 1908, para perintis kemerdekaan mulai
mengembangkan koperasi yang memiliki nilai-nilai demokrasi. Pada saat itu Boedi Oetomo
mulai mengembangkan pendirian koperasi kredit. Koperasi juga dimaksudkan sebagai upaya
penyebarluasan semangat kebangsaan dan alat perjuangan rakyat di masa pergerakan
nasional. Walaupun demikian, pada akhirnya hal ini dipandang sebagai ancaman yang dapat
membahayakan kedudukan pemerintah kolonial.
Dalam mengantisipasi berdirinya badan koperasi yang dapat membahayakan
kedudukan pemerintah kolonial, maka dikeluarkanlah peraturan koperasi yang pertama di
Hindia Belanda (Indonesia) pada tahun 1915. Keputusan tersebut selajutnya sangat
membatasi pertumbuhan dan perkembangan koperasi di kalangan masyarakat bumiputera,
bahkan banyak koperasi yang ditutup karena tidak memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Berbagai peraturan juga dikeluarkan pada tahun-tahun
berikutnya hingga tahun 1933, akan tetapi tetap saja tidak membawa perubahan yang berarti.
37
Pada masa pemerintahan Jepang, cara kerja dan ruang gerak koperasi semakin jauh
bertentangan dengan prinsip-prinsip koperasi yang sebenarnya. Koperasi-koperasi yang ada
kemudian dirubah bentuknya menjadi “kumiai” yang berfungsi sebagai alat ekonomi perang
atau sebagai sarana pengumpulan dan pendistribusian bahan makanan untuk keperluan
perang. Akibatnya kepercayaan rakyat terhadap koperasi sebagai lembaga yang dapat
memperbaiki kesejahteraan menjadi lenyap.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mendirikan semacam “jawatan koperasi” pada
tahun 1946. Sejak saat itu mulai timbul gagasan-gagasan untuk membentuk koperasi desa
yang melaksanakan berbagai kegiatan produksi serta pemasaran hasil-hasil pertanian.
Akhirnya pada tanggal 11-14 Juli 1947 diselenggarkanlah “Kongres Gerakan Koperasi
Indonesia” yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut dianjurkan agar diadakan
pendidikan di kalangan pengurus, pegawai, dan anggota-anggotanya. Namun belum sempat
hasil keputusan itu dilaksanakan, berkobar pula Agresi Militer Belanda dan pemberontakan
PKI di Madiun, yang menyebabkan terjadinya krisis dan banyak koperasi yang mengalami
kerugian dan gulung tikar.
Memasuki Tahun 1950 hingga pertengahan 1960, diawali dengan pembubaran Negara
Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada tanggal 17 agustus
1950 keadaan koperasi jauh lebih baik jika dibandingkan pada masa sebelumnya. Lahirnya
Orde Baru kemudian menandai penataan dan penertiban kembali struktur perekonomian di
Indonesia secara umum, termasuk mengaktifkan peran dan fungsi koperasi secara lebih
maksimal. Pada masa ini pula, Koperasi Credit Union (CU) di Indonesia mengawali
perjalanannya.
Gereja memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mengawali perkembangan
Koperasi Credit Union (CU) di Indonesia. Pada tahun 1967, World Council of Credit Union
38
(WOCCU) atau Dewan Koperasi Kredit Dunia diundang ke Indonesia yang diwakili oleh Mr.
A.A. Baily untuk memperkenalkan gagasan Koperasi Credit Union (CU). Pada tahun 1970,
dibentuklah Credit Union Concelling Office (CUCO) di Jakarta yang dipelopori oleh seorang
misionaris bernama Pastor Karl Albrecth Karim Arbie S.J.. Namun demikian, ia kemudian
meninggal dunia pada tanggal 11 September 1999 akibat terbunuh dalam peristiwa Dili
(Timor-Timur).
Peran pemerintah juga menjadi sarana yang penting bagi perkembangan Koperasi
Credit Union (CU) di Indonesia. Pada tahun 1975, BK3I (Badan Koordinasi Koperasi Kredit
Indonesia) menyelenggarakan kursus dasar Koperasi Credit Union (CU) pertama di
Nyarumkop dan Sangau (Kalimantan). Dan pada tahun 1976, diadakan pula Konferensi
Nasional Credit Union (CU) di Ambarawa (Jawa Tengah), yang dihadiri oleh Ir. Ibnu
Soejono selaku Dirjen Koperasi saat itu. Tahun 1981 kembali diadakan Konferensi Nasional
Kopdit yang melahirkan Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I) dengan Robby
Tulus sebagai ketuanya. Adapun fungsi dari BK3I diantaranya, yaitu:
1. Memberikan konsultasi
2. Menyediakan bahan dan program pelatihan
3. Menyelenggarakan kursus-kursus dan pelatihan
4. Menyebarkan informasi tentang gerakan Koperasi Credit Union (CU)
5. Merintis pembentukan Badan Koordinasi Kopdit Daerah.