Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum bab II dalam tesis ini berisikan tentang landasan teori dan
penelitian terdahulu yang digunakan peneliti sebagai teori pendukung penelitian yang
dilakukan. Landasan teori terdiri atas penjelasan mengenai teori keagenan,
manajemen laba, discretionary accruals, tingkat pengungkapan laporan keuangan,
kecakapan manajerial, dan kualitas audit.
2.1 Landasan Teori
Untuk mendukung pembuatan tesis ini, maka perlu dikemukakan hal-hal atau
teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan dan ruang lingkup pembahasan
sebagai landasan pembuatan tesis ini.
2.1.1 Teori Keagenan
Jensen & Meckling (1976) menyatakan hubungan keagenan merupakan
hubungan antara dua belah pihak atau lebih, dimana satu atau lebih individu
(principal) mempekerjakan individu lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan
kemudian mendelegasikan kekuasaan kepada agent untuk membuat suatu keputusan
atas nama principal berdasarkan kontrak kerja (nexus of contract). Pemegang saham
sebagai principal dan manajemen sebagai agent tentunya harus memiliki visi dan
misi yang sama. Hubungan keagenan mewajibkan agent untuk
mempertanggungjawabkan upayanya kepada pemegang saham dengan memberikan
13
laporan periodik pada principal tentang usaha yang dijalankan dan principal akan
menilai kinerja agent melalui laporan keuangan yang disampaikan.
Tujuan dari teori keagenan adalah menciptakan kontrak yang efisien antara
pemegang saham dan manajemen. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang
mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return
maupun risiko-risiko yang disetujui oleh principal dan agent. Sukartha (2008)
menjabarkan syarat-syarat kontrak yang efisien, adalah sebagai berikut:
1) Terdapat informasi yang simetris antara agent dan principal, yaitu keadaan
dimana manajemen dan pemegang saham memiliki kualitas dan kuantitas
informasi yang sama sehingga tidak terdapat informasi yang tidak disajikan atau
disembunyikan manajemen yang dapat digunakan untuk kepentingan pribadi.
2) Imbal jasa yang diperoleh manajemen sebagai agent adalah pasti sehingga
menimbulkan risiko yang kecil terkait dengan pembebanan tugas yang diberikan
kepadanya.
Kontrak kerja menjadi optimal bila kontrak mampu menjaga keseimbangkan
antara principal dan agent yang memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal
oleh agent dan pemberian imbalan khusus dari principal ke agent (Endrianto, 2010).
Manajemen dalam kenyataannya sering mempunyai tujuan yang berbeda yang
mungkin bertentangan dengan tujuan utama pihak principal. Masalah akan timbul
apabila manajer tidak menyajikan seluruh informasi yang dimilikinya di dalam
laporan keuangan. Permasalahan yang timbul akibat adanya konflik kepentingan
antara para manajemen dan pemegang saham disebut dengan agency problem.
14
Tanggung jawab yang dimiliki manajemen dalam aktivitas perusahaan sehari-hari
untuk pengambilan keputusan perusahaan mengakibatkan manajemen memiliki
informasi lebih banyak dibandingkan pemegang saham sehingga simetri informasi
tidak terjadi. Kesenjangan informasi ini biasa disebut dengan asimetri informasi.
Menurut (Scott, 2015), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu:
1) Adverse selection, adalah manajer pada dasarnya mengetahui lebih banyak keadaan
dan prospek perusahaan dibandingkan pihak luar. Informasi mengenai perusahaan
yang diperoleh pemilik dari manajer digunakan untuk mengambil keputusan tidak
diberikan secara detail oleh manajer. Dan mungkin terdapat fakta-fakta yang tidak
disampaikan kepada pemilik.
2) Moral hazard, adalah kegiatan yang dilakukan manajer tidak seluruhnya diketahui
oleh oleh investor (pemegang saham, kreditor). Sehingga manajer dapat
melakukan tindakan di luar sepengetahuan pemilik yang melanggar kontrak kerja
dan sebenarnya secara etika mungkin tidak layak dilakukan.
Eisenhardt (1989) menggunakan tiga asumsi untuk guna menjelaskan tentang
teori keagenan yaitu sebagai berikut:
1) Asumsi tentang sifat dasar manusia
Manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), manusia
memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded
rationality), dan manusia selalu menghindari risiko (risk aversion).
2) Asumsi tentang keorganisasian
15
Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi
sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asimetri informasi antara principal dan
agent.
3) Asumsi tentang informasi
Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang
komoditi yang bisa diperjual belikan.
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia, konflik kepentingan antara
manajemen dan pemilik membuat agent menyajikan informasi yang tidak sebenarnya
kepada principal demi untuk kepentingan privat. Dalam hubungan keagenan tersebut,
laporan keuangan merupakan sarana transparansi dan akuntabilitas manajemen
kepada pemegang saham. Agent dapat melakukan tindakan oportunistik dengan
mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan
dengan cara melakukan manajemen laba. Perspektif hubungan keagenan menjadi
dasar yang digunakan untuk memahami manajemen laba.
Inti dari teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk
menyelaraskan kepentingan manajemen dan pemegang saham dalam hal terjadi
konflik kepentingan. Upaya mengatasi atau mengurangi masalah keagenan ini
menimbulkan biaya keagenan (agency cost). Menurut Jensen & Meckling (1976) ,
cara untuk mengurangi agency problem dengan menimbulkan agency cost adalah
sebagai berikut:
1) Monitoring Cost
16
Biaya monitoring ditanggung oleh principal untuk memonitor perilaku agent,
yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku agent.
2) Bonding Cost
The bonding cost merupakan biaya yang dikeluarkan oleh agent untuk
menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan
bertindak untuk kepentingan principal.
3) Residual loss
Residual loss merupakan biaya yang timbul akibat adanya perbedaan antara
keputusan yang diambil oleh agent dengan keputusan yang seharusnya
memberikan manfaat maksimal pada principal.
2.1.2 Manajemen Laba (Earnings Management)
Scott (2015), earnings management adalah pilihan yang dilakukan oleh
manajer dalam pemilihan kebijakan akuntansi atau tindakan yang dapat
mempengaruhi laba, yang bertujuan untuk mencapai beberapa tujuan dalam
pelaporan laba.
Menurut Healy & Wahlen (1999) manajemen laba terjadi ketika manajer
menggunakan keputusannya dalam pelaporan keuangan dan mengubah transaksi
untuk mengubah laporan keuangan yang dapat menyesatkan stakeholders tentang
17
kinerja ekonomi yang diperoleh perusahaan maupun untuk mempengaruhi hasil
kontraktual yang bergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan.
Manajemen laba adalah tindakan oportunistik yang dilakukan dengan cara
memilih kebijakan akuntansi tertentu, sehingga laba perusahaan dapat diatur,
dinaikkan atau diturunkan sehingga menimbulkan perilaku manajemen untuk
mengatur laba sesuai dengan keinginannya (Nuryaman, 2009). Adanya praktik
manajemen laba dalam pengelolaan perusahaan oleh manajer dapat dijelaskan
berdasarkan agency theory (Putri, 2012). Pemisahan antara kepemilikan dan
pengendalian dalam perusahaan bersamaan dengan asimetri informasi di dalam
perusahaan semakin memperluas kemungkinan tindakan oportunistik oleh manajer
yang mempunyai tujuan berbeda dengan stakeholders, dan setiap pihak ingin
memaksimalkan kepentingannya sendiri.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen laba
adalah intervensi manajemen terhadap laporan keuangan, berupa pilihan yang
dilakukan oleh manajemen terhadap kebijakan-kebijakan akuntansi, yang
diperkenankan dalam proses pelaporan keuangan eksternal untuk mencapai tujuan
tertentu, sehinggga dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan dan tidak dapat
dipertanggungjawaban.
2.1.2.1 Motivasi Manajemen Laba
Scott (2015), beberapa motivasi manajemen melakukan manajemen laba
antara lain sebagai berikut:
1) Earning Management for Bonus Purposes
18
Manajer akan meningkatkan net income perusahaan untuk memaksimalkan bonus
yang mereka terima.
2) Contractual Motivation
Manajer menaikkan laba bersih untuk mengurangi kemungkinan perusahaan
mengalami technical default. Hal ini berkaitan dengan utang jangka panjang.
3) Political Motivation
Perusahaan besar yang sebagian besar kegiatan usahanya ditujukan untuk hajat
hidup orang banyak menyentuh pada umumnya cenderung mengurangi laba yang
dilaporkan untuk mengurangi political cost.
4) Taxation Motivation
Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan agar pajak penghasilan
yang dibayarkan perusahaan semakin kecil.
5) Changes of Chief Executive Officer (CEO)
CEO yang mengundurkan diri atau pensiun cenderung membuat kondisi
perusahaan terlihat baik dengan meningkatkan pendapatan atau laba. Hal ini
dilakukan agar bonus yang mereka terima pada saat pengunduran diri atau
pensiun dapat meningkat.
6) Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan go public cenderung menampilkan kondisi perusahaan yang sehat
sehingga mendorong manajemen untuk meningkatkan laba perusahaan. Hal
tersebut dilakukan agar saham yang ditawarkan pada publik bernilai tinggi.
2.1.2.2 Pola Manajemen Laba
19
Berbagai pola yang sering dilakukan manajer dalam manajemen laba (Scott,
2015), adalah sebagai berikut:
1) Taking a bath
Terjadinya reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru. Bila perusahaan harus
melaporkan laba yang tinggi, manajer dipaksa untuk melaporkan laba yang tinggi,
konsekuensinya manajer akan menghapus aktiva dengan harapan laba yang akan
datang dapat meningkat.
2) Income minimization
Manajer mendapatkan laba yang tinggi dengan mempercepat penghapusan aktiva
tetap dan aktiva tak berwujud dan mengakui pengeluaran sebagai biaya. Pada saat
profitabilitas perusahaan sangat tinggi dengan maksud agar tidak mendapat
perhatian secara politis, kebijakan yang diambil dapat berupa penghapusan atas
barang modal dan aktiva tak berwujud, biaya iklan dan pengeluaran untuk
penelitian, serta hasil akuntansi untuk biaya eksplorasi.
3) Income maximization
Tujuan dari tindakan ini untuk melaporkan net income yang tinggi demi bonus
yang lebih besar. Perencanaan bonus yang didasarkan pada data akuntansi
mendorong manajer untuk memanipulasi data akuntansi guna menaikkan laba
untuk meningkatkan pembayaran bonus tahunan. Tindakan ini dilakukan pada
saat laba menurun.
4) Income smoothing
20
Manajer meratakan laba yang dilaporkan untuk tujuan pelaporan eksternal,
terutama bagi investor karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang
relatif stabil.
2.1.2.3 Teknik Manajemen Laba
Teknik manajemen laba menurut Setiawati & Na’im (2000) dilakukan
melalui tiga cara, antara lain sebagai berikut:
1) Perubahan metode akuntansi
Manajemen mengubah metode akuntansi yang berbeda dengan metode
sebelumnya sehingga dapat menaikkan atau menurunkan angka laba. Metode
akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk mencatat suatu fakta
tertentu dengan cara yang berbeda, seperti:
a) Mengubah metode depresiasi aktiva tetap dari metode jumlah angka tahun
menjadi metode depresiasi garis lurus.
b) Mengubah periode depresiasi.
2) Memainkan kebijakan perkiraan akuntansi
Manajemen mempengaruhi laporan keuangan dengan cara memainkan kebijakan
perkiraan akuntansi. Hal tersebut memberikan peluang bagi manajemen untuk
melibatkan subjektivitas dalam menyusun estimasi, misalnya:
a) Kebijakan mengenai perkiraan jumlah piutang tidak tertagih
b) Kebijakan mengenai perkiraan biaya garansi
c) Kebijakan mengenai perkiraan terhadap proses pengadilan yang belum
terputuskan.
21
3) Menggeser periode biaya atau pendapatan
Manajemen menggeser periode biaya atau pendapatan atau seringkali disebut
sebagai manipulasi keputusan operasional, misalnya:
a) Mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan
sampai periode akuntansi berikutnya.
b) Mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya.
c) Kerjasama dengan vendor untuk mempercepat atau menunda pengiriman
tagihan sampai periode akuntansi berikutnya.
d) Menjual investasi sekuritas untuk memanipulasi tingkat laba.
e) Mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak terpakai.
2.1.3 Discretionary Accruals
Manajemen laba dapat terjadi dengan cara penyusunan laporan keuangan
menggunakan dasar akrual. Sistem akuntansi akrual yang terdapat pada prinsip
akuntansi yang berterima umum memberikan peluang bagi manajer untuk membuat
pertimbangan akuntansi yang akan memberi pengaruh kepada pendapatan yang
dilaporkan. Akrual tidak hanya mencerminkan pilihan metode akuntansi tetapi juga
pengaruh waktu pengakuan pendapatan dan beban, penurunan nilai, serta perubahan
estimasi akuntansi (Islam, Ali, & Ahmad, 2011) . Jones (1991) membagi total akrual
menjadi dua yaitu, discretionary accruals dan non discretionary. Lee & Vetter (2015)
non discretionary accruals adalah pengakuan akrual laba yang wajar yang tunduk
pada suatu standar atau prinsip akuntansi yang berlaku umum, contoh: satu fakta
yang sama dapat dilaporkan dengan cara yang berbeda, mesin yang sama dapat
22
didepresiasikan dengan dua metode yang berbeda (metode depresiasi garis lurus atau
saldo menurun) atau dengan dua estimasi umur ekonomis yang berbeda. Perbedaan
umur atau perbedaan estimasi tersebut akan menghasilkan laba) yang sedikit berbeda.
Non discretionary accruals merupakan akrual yang wajar, dan apabila dilanggar akan
mempengaruhi kualitas laporan keuangan (tidak wajar) maka non discretionary
accruals tidak relevan dalam penelitian ini. Chen (2010), menyatakan untuk
mendeteksi indikasi terdapat manajemen laba dalam suatu perusahaan dapat diketahui
dari perhitungan total akrual yang diukur dengan total discretionary accruals.
Menurut Friedlan (1994) discretionary accrual merupakan kebijakan
akuntansi yang memberikan keleluasaan kepada manajemen untuk menentukan
jumlah transaksi akrual secara fleksibel, atau dengan kata lain, metode discretionary
accrual memberikan peluang kepada manajer untuk memperbaiki profit laba sesuai
dengan keinginannya. Contohnya pada akhir tahun buku perusahaaan mengetahui
bahwa suatu piutang tertentu tidak dapat ditagih. Perusahaan dapat melakukan
pencatatan kapan piutang tersebut dihapuskan, pada periode buku sekarang atau pada
tahun buku berikutnya.
Discretionary accruals digunakan sebagai indikator adanya praktik
manajemen laba karena merupakan intervensi manajerial dalam proses pelaporan
keuangan dan lebih menekankan kepada keleluasaan atau kebijakan yang tersedia
dalam memilih dan menerapkan prinsip-prinsip akuntansi untuk mencapai hasil akhir
(Islam et al., 2011). Discretionary accruals diantaranya penilaian piutang, pengakuan
biaya garansi, dan aset modal. Manajer akan melakukan manajemen laba untuk
23
mencapai tingkat pendapatan yang diinginkan dengan manipulasi akrual-akrual
tersebut. Alareeni & Aljuaidi (2014) menyatakan dalam melakukan manajemen laba,
perusahaan yang menaikkan laba cenderung menggunakan untung dari penghentian
aset, sedangkan perusahaan yang menurunkan laba cenderung menggunakan biaya
kerugian piutang. Dengan menggunakan akrual yang menaikkan laba, maka akan
didapatkan harga saham yang relatif tinggi pada waktu penerbitan saham.
Penelitian ini memfokuskan pada discretionary accruals, karena discretionary
accruals memungkinkan manajer memberikan informasi privat dan meningkatkan
kemampuan laba untuk mencerminkan nilai ekonomis perusahaan. Pada saat yang
sama, discretionary accruals memungkinkan manajer untuk terlibat dalam pelaporan
yang oportunistik untuk memaksimalkan kemakmuran manajer.
Perhitungan discretionary accruals dalam penelitian ini menggunakan
Modified Jones Model yang merupakan modifikasi dari Model Jones (1991). Dechow
et al. (1995) memodifikasi model Jones untuk menghilangkan dugaan kesalahan
pengukuran discretionary accruals ketika kebijaksanaan diterapkan terhadap
pendapatan. Perubahan pendapatan disesuaikan dengan perubahan piutang pada
periode tersebut. Mereka menyimpulkan bahwa mengelola laba dengan menerapkan
kebijaksanaan atas pengakuan pendapatan pada credit sales lebih mudah daripada
mengelola pendapatan dengan menerapkan kebijaksanaan pengakuan pendapatan atas
cash sales (Roodposhti, Banimahd, Rezaei, & Salehi, 2012). Modified Jones Model
mengasumsikan bahwa semua perubahan dalam credit sales pada periode tersebut
hasil dari manajemen laba (Bhuiyan, Roudaki, & Clark, 2013). Modified Jones Model
24
digunakan karena model ini dianggap paling baik untuk mengukur manajemen laba
dibandingkan metode lain (T. Chen, 2010). Model ini merupakan model pendeteksi
manajemen laba yang umum digunakan dalam riset-riset empiris mengenai
manajemen laba di Indonesia (Erawan & Ulupui, 2013).
2.1.4 Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan
(Wolk 2008) mengemukakan tingkat pengungkapan adalah informasi yang
ada di dalam laporan keuangan maupun komunikasi pelengkap yang mencakup
catatan kaki, peristiwa setelah pelaporan, analisis manajemen tentang operasi yang
akan datang, peramalan keuangan dan operasi, serta laporan keuangan tambahan.
Tujuan pengungkapan adalah untuk menyediakan informasi yang signifikan dan
relevan kepada pemakai laporan keuangan untuk pengambilan keputusan yang tepat.
Jenis pengungkapan dalam hubungannya dengan persyaratan yang ditetapkan standar
ada dua, antara lain:
1) Pengungkapan wajib (mandatory disclosure): pengungkapan informasi yang
diharuskan oleh peraturan yang berlaku, dalam hal ini adalah peraturan yang
dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Peraturan
mengenai pengungkapan laporan keuangan di Indonesia yang dikeluarkan oleh
pemerintah melalui keputusan ketua BAPEPAM No.Kep-134/BL/2006. Item
pengungkapan wajib yang diwajibkan oleh BAPEPAM terdiri dari 85 item.
2) Pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) merupakan pilihan bebas
manajemen perusahaan untuk memberikan informasi akuntansi dan informasi
25
lainnya yang dipandang relevan sebagai dasar untuk membuat keputusan oleh
para pemakai laporan tahunan. Melalui pengungkapan sukarela diharapkan para
pemakai laporan akan semakin lengkap informasinya dalam memahami kegiatan
operasional perusahaan publik, serta semakin menunjukkan ketransparan keadaan
perusahaan (Kirana & Hasan, 2016). Item pengungkapan sukarela terdiri dari 33
item.
Tingkat pengungkapan laporan keuangan dalam penelitian ini didasarkan atas
indeks pengungkapan yang dideskripsikan oleh (Benardi et al., 2008). Indeks
pengungkapan yang digunakan didasarkan atas informasi yang tersedia dalam laporan
tahunan (annual report). Di Indonesia, pengungkapan dalam laporan keuangan baik
yang bersifat wajib maupun sukarela telah diatur dalam PSAK No.1. Pemerintah
melalui BAPEPAM juga mengatur mengenai pengungkapan informasi dalam laporan
tahunan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Menurut Purwanti & Rahardjo (2012)
terdapat tiga tingkatan pengungkapan yaitu sebagai berikut:
1) Pengungkapan Penuh (Full Disclosure)
Pengungkapan penuh mengacu pada seluruh informasi yang diberikan oleh
perusahaan, baik informasi keuangan maupun non keuangan. Pengungkapan
penuh mencakup informasi-informasi lainnya yang diberikan oleh manajemen
yang menyiratkan penyajian seluruh informasi yang relevan, dan tidak ada
informasi atas substansi atau kepentingan bagi kebanyakan investor yang akan
dihilangkan atau disembunyikan.
2) Pengungkapan Wajar (Fair Disclosure)
26
Pengungkapan wajar adalah pengungkapan cukup ditambah dengan informasi
yang dapat berpengaruh pada kewajaran laporan keuangan. Pengungkapan wajar
menyiratkan suatu tujuan etika, yaitu memberikan perlakuan yang sama pada
semua calon pembaca. Menurut PSAK (IAI: 2012), pengungkapan wajar adalah
catatan atas laporan keuangan yang disajikan secara sistematis. Setiap pos dalam
neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas harus berkaitan dengan informasi
yang terdapat dalam catatan atas laporan keuangan.
3) Pengungkapan Cukup (Adequate Disclosure)
Pengungkapan cukup adalah pengungkapan yang diwajibkan oleh standar
akuntansi yang berlaku, yang merupakan informasi minimum yang harus
disajikan dalam tingkat yang memadai yang harus dipenuhi secara menyeluruh,
agar tidak menyesatkan jika digunakan untuk pengambilan keputusan.
2.1.5 Kecakapan Manajerial
Kecakapan manajerial merupakan kemampuan manajer untuk mengambil dan
menerapkan keputusan-keputusan yang dapat membawa perusahaan kepada efisiensi
yang lebih baik (P. Demerjian, Lev, & McVay, 2012). Manajer yang cakap dan
professional memiliki pengetahuan yang lebih banyak dan luas terkait dengan
perusahaan, sehingga memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang lebih
baik dan menunjukkan pemahaman serta penerapan standar akuntansi yang lebih
fleksibel (W. Chen & Tai, 2015). Kemampuan manajerial adalah salah satu faktor
yang mendorong efisiensi operasional perusahaan. Li (2015), kecakapan manajerial
27
dapat diukur melalui seberapa efisien manajer dalam menggunakan sumber daya
perusahaan untuk menghasilkan keluaran yang optimal dan menciptakan dampak
positif pada kualitas pelaporan keuangan yang mempengaruhi masa depan
perusahaan. Perusahaan memiliki sumber daya berupa modal, tenaga kerja, dan aset
untuk menghasilkan keluaran berupa pendapatan dan laba.
Demerjian, Lewis, & Mcvay (2012b) mengungkapkan manajer yang cakap
akan mampu mengambil keputusan-keputusan ekonomi yang tepat dan mampu
mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dalam mengelola sumber daya perusahaan
karena mereka memiliki pengalaman, tingkat intelegensia, dan tingkat pendidikan
yang cukup tinggi. Manajer memiliki kewajiban untuk memberikan informasi
perusahaan kepada stakeholders untuk mengkomunikasikan kinerja perusahaan.
Wadah yang tepat bagi manajer untuk mengkomunikasikan kinerja tersebut adalah
laporan keuangan yang disusun pada setiap periode pelaporan. Isnugrahadi &
Kusuma (2009) mengatakan ada dua hal prasyarat yang harus ada agar manajemen
selalu jujur dalam melaksanakan tugasnya. Pertama, kultur organisasional harus
mendukung pengambilan keputusan yang etis. Kedua, manajemen harus memiliki
pemotivator untuk selalu bertindak jujur.
Manajer menggunakan judgment untuk membuat laporan keuangan.
(Kirana & Hasan, 2016), dalam penerapan akuntansi akrual, prinsip akuntansi
berterima umum memperbolehkan manajer memilih metode akuntansi yang
diperbolehkan seperti penggunaan metode garis lurus atau akselerasi, ataupun
memilih FIFO atau LIFO dalam menilai persediaan. Manajer juga harus memilih
28
untuk membebankan atau menangguhkan pengeluaran. Agar semua kebijakan
tersebut dapat dilakukan dengan baik, maka manajer dituntut untuk memiliki
kemampuan dan keahlian atau kecakapan yang cukup, dan keahlian tersebut
biasanya dimilik oleh manajer yang memiliki tingkat intelegensi dan pendidikan
yang cukup tinggi serta pengalaman yang dimiliki oleh seorang manajer.
P. R. Demerjian, Lev, Lewis, & McVay (2013), memperkenalkan perhitungan
kecakapan manajerial dengan menggunakan data-data laporan keuangan melalui Data
Envelopment Analysis (DEA). DEA merupakan alat yang
digunakan untuk mengukur efisiensi relatif suatu organisasi. DEA biasanya
dinyatakan dalam Decision Making Unit atau Unit Kegiatan Ekonomi (UKE).
Efisiensi UKE dapat diketahui dengan membandingkan efisiensi UKE suatu
perusahaan dengan UKE dari perusahaan lainnya dalam suatu satuan populasi atau
sampel dengan syarat bahwa jenis input dan outputnya sama.
UKE dinilai efisien apabila rasio perbandingan input/output sama dengan
1 atau 100%, yang artinya UKE tersebut mampu memanfaatkan inputnya secara
maksimal untuk menghasilkan output tertentu dan tidak lagi melakukan
pemborosan. Sedangkan UKE yang tidak efisien apabila rasio perbandingan antara
input/output adalah antara 0 ≤ input/output < 1 atau nilainya kurang dari 100%
berarti perusahaan belum mampu mengelola input-input yang dimilikinya untuk
menghasilkan output yang optimal atau masih melakukan pemborosan.
2.1.6 Kualitas Audit
29
De Angelo (1981) mendefinisikan kualitas audit sebagai probabilitas dimana
seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam
sistem akuntansi kliennya dan kemungkinan untuk menyampaikan atau melaporkan
temuan tersebut kepada pihak manajemen. Kualitas audit dapat dilihat dari
kemampuan auditor mendeteksi kesalahan material dan independensi auditor dalam
melaporkan kesalahan material. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa KAP yang
besar akan berusaha untuk menyajikan kualitas audit yang lebih besar dibandingkan
dengan KAP yang kecil. Gerayli, Yanesari, & Ma’atoofi (2011), kualitas auditor
merupakan salah satu faktor efektif untuk mengendalikan perilaku oportunis
manajemen perusahaan. Auditor yang berkualitas harus memberikan informasi yang
tepat, tidak hanya mengenakan fee yang lebih tinggi agar pilihan itu benar-benar
mencerminkan informasi yang ada pada perusahaan (Kirana & Hasan, 2016).
Ching, Teh, San, & Hoe, (2015), menegaskan bahwa auditor yang berkualitas
tinggi cenderung lebih mudah untuk menemukan praktik akuntansi yang
dipertanyakan oleh klien dan melaporkan penyimpangan material serta salah saji
dibandingkan dengan auditor berkualitas rendah, sehingga audit yang berkualitas
lebih tinggi lebih mampu menghambat manajemen laba dan meningkatkan kualitas
laporan keuangan. Laporan keuangan audit dengan kualitas tinggi akan menarik para
investor untuk menanamkan investasinya di perusahaan. Penelitian-penelitian empiris
berkaitan dengan kualitas audit telah banyak dilakukan di luar negeri maupun
Indonesia. Yaşar (2013) menyatakan big four dipercaya memberikan audit kualitas
yang lebih tinggi daripada auditor non-big four, karena auditor big four memiliki
30
kemampuan lebih besar untuk membatasi praktik manajemen laba. Daftar KAP yang
termasuk ke dalam kelompok KAP Big Four di Indonesia adalah sebagai berikut:
1) KAP Tanudiredja, Wibisana, dan Rekan yang berafiliasi dengan Price
Waterhouse Coopers (PWC).
2) KAP Purwantono, Suherman, Surja yang berafiliasi dengan Ernst & Young
(EY).
3) KAP Osman Bing Satrio dan Rekan yang berafiliasi dengan Deloitte.
4) KAP Siddharta dan Widjaja yang berafiliasi dengan KPMG.
2.2 Penelitian Sebelumnya
Di luar negeri penelitian tentang manajemen laba sudah banyak dilakukan.
Uwuigbe (2017) meneliti 11 bank di Nigeria untuk periode 6 tahun yaitu tahun 2009-
2014. Modified Jones Model digunakan untuk mengukur discretionary accruals yang
merupakan proxy untuk manajemen laba sedangkan indeks pengungkapan digunakan
untuk mengukur kualitas pengungkapan. Temuan dari penelitian ini memberikan
dukungan untuk teori legitimasi bahwa kualitas pengungkapan berhubungan negatif
pada manajemen laba.
Penelitian Riahi dan Arab (2011) dilakukan pada 19 perusahaan yang terdaftar
di bursa saham Tunis selama periode 1999-2008. Hasilnya mengkonfirmasi adanya
hubungan negatif dan signifikan antara pengungkapan oleh perusahaan dan
manajemen laba. Survei penelitian ini menunjukkan bahwa pengungkapan informasi
31
yang berkaitan dengan keputusan dan kinerja keuangan merupakan kendala bagi
berkembangnya manajemen laba.
Consoni et al., (2017) melakukan penelitian pada 66 perusahaan non-finansial
di Brazil, yang menemukan bahwa pengungkapan sukarela tidak berpengaruh pada
manajemen laba, sehingga hasil penelitiannya bertentangan dengan asumsi bahwa
pengungkapan sukarela dapat mengurangi manajemen laba.
Di Indonesia penelitian mengenai manajemen laba sudah banyak dan
berkembang tetapi hasil dari penelitian masih memberikan hasil yang berbeda-beda,
diantaranya penelitian dari Kurniawati (2011) yang meneliti perusahaan manufaktur
yang tercatat di Bursa Efek Indonesia tahun 2008 sampai 2009 sebanyak 135
perusahaan. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa tingkat pengungkapan laporan
keuangan berpengaruh negatif pada manajemen laba. Semakin tinggi tingkat
pengungkapan laporan keuangan maka semakin menekan tindakan manajemen laba.
Hasil lain dari penelitian ini mengungkapkan bahwa interaksi antara tingkat
pengungkapan laporan keuangan dengan kualitas audit tidak berpengaruh pada
manajemen laba. Hal ini berarti kualitas audit tidak dapat berfungsi sebagai variabel
yang memoderasi pengaruh tingkat pengungkapan laporan keuangan pada
manajemen laba.
Kirana dan Hasan (2016) menemukan bahwa tingkat pengungkapan laporan
keuangan dan kecakapan manajerial berpengaruh pada manajemen laba. Semakin
banyak tingkat pengungkapan laporan keuangan yang dilakukan perusahaan maka
akan semakin kecil manajemen laba yang dilakukan perusahaan. Semakin cakap
32
seorang manajer dalam melaporkan keuangan perusahaan maka akan semakin kecil
manajemen laba yang dilakukan perusahaan. Hasil penelitiannya juga menyatakan
bahwa tingkat pengungkapan laporan keuangan dengan kualitas audit berpengaruh
pada manajemen laba. Selain itu kecakapan manajerial dengan kualitas audit tidak
berpengaruh pada manajemen laba.
Hasil berbeda dikemukakan oleh Fitri (2012) yang menemukan bahwa
manajemen laba tidak berpengaruh signifikan pada tingkat pengungkapan laporan
keuangan tahunan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia. Hal ini berarti bahwa walaupun perusahaan melakukan tindakan
manajemen laba tapi tidak akan mempengaruhi tingkat pengungkapan yang akan
dilakukan oleh perusahaan.
Isnugrahadi dan Kusuma (2009), menyatakan kecakapan managerial
berpengaruh positif dan signifikan pada manajemen Laba. Kecakapan managerial
yang dimoderasi oleh kualitas audit tidak berpengaruh secara signifikan pada
intensitas manajemen laba. Penetian Utami dan Syafruddin (2013), menemukan
bahwa kecakapan manajer memiliki pengaruh yang signifikan pada manajemen laba
dengan arah positif. Interaksi kecakapan manajerial dan kualitas auditor tidak
memiliki pengaruh yang signifikan pada manajemen laba, sehingga kualitas auditor
bukan merupakan variabel pemoderasi. Wicaksono dan Yuyetta (2013), menyatakan
semakin cakap dan efisien manajemen dalam mengelola perusahaan akan semakin
meningkatkan praktik manajemen laba. Demerjian, et al., (2012) meneliti tentang
kecakapan manajerial di bidang keuangan, yaitu seberapa efisien sebuah
33
perusahaan dalam bidang keuangan secara relatif terhadap perusahaan lain
dalam industri yang sama. Manajer yang memiliki tingkat kecakapan yang tinggi
akan lebih terampil mengolah informasi. Terdapat dua hal yang menjadi pendorong
manajer melakukan manajemen laba, yang pertama kompensasi bonus dan yang
kedua asimetri informasi antara manajemen dan pemilik.
Benardi et al., (2008), menemukan bahwa secara teoritis dan empiris
perusahaan yang diaudit oleh KAP berukuran besar akan menyajikan laporan
keuangan yang berkualitas berdasarkan regulasi yang telah ditentukan. Rahmadika
(2011) melakukan penelitian pada perusahaan manufaktur di Indonesia selama
periode 2008-2009. Hasil penelitian menunjukkan kualitas auditor tidak berpengaruh
pada manajemen laba. Didukung oleh penelitian Christiani dan Nugrahanti (2014)
yang menemukan bahwa kualitas audit yang diproksikan dengan ukuran KAP (KAP
big four dan KAP non-big four) tidak berpengaruh pada manajemen laba.