Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stres Akulturatif
2.1.1 Pengertian Stres Akulturatif
Stres secara umum dimengerti sebagai suatu keadaan tertekan,
baik secara fisik maupun psikologis (Chaplin, 2009). Oliver dkk.
(1999, dalam Baron dan Byrne, 2005) mengatakan bahwa stres adalah
suatu peristiwa fisik atau psikologis apapun yang dipersepsikan sebagai
ancaman potensial terhadap kesehatan fisik atau emosional. Baum
(1990, dalam Taylor dkk. 2009) mengatakan bahwa stres adalah
pengalaman emosi negatif yang diiringi dengan perubahan fisiologis,
biokimia, dan behavioral yang dirancang untuk menyesuaikan diri
terhadap stresor dengan cara memanipulasi situasi atau mengubah
stresor atau dengan mengakomodasi efeknya.
Sarafino (1990, dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa stres
merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara
individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara
tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya
sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Sutherland dan
Cooper (1990, dalam Smet, 1994) mengatakan bahwa stres
didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara tuntutan yang
dirasakan dengan kemampuan yang dirasakan dalam memenuhi
tuntutan tersebut.
Herskovits dkk. (1939, dalam Berry dkk. 1999) mengatakan
bahwa akulturasi adalah fenomena yang terjadi ketika kelompok-
16
kelompok individu yang memiliki budaya berbeda terlibat dalam
kontak langsung disertai perubahan terus-menerus, sejalan dengan
pola-pola budaya asal dari kelompok itu atau dari kedua kelompok.
Santrock (2002) memberi definisi mengenai akulturasi sebagai
perubahan kebudayaan akibat dari kontak langsung dan terus-menerus
antara dua kelompok budaya yang berbeda.
Santrock (2002) mengatakan bahwa stres ialah respon individu
terhadap keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa (disebut “stressor”)
yang mengancam individu dan mengurangi kemampuan individu dalam
mengatasi segala bentuk stressor. Stressor tersebut dapat berasal dari
berbagai sumber, salah satunya adalah faktor sosial budaya. Lebih
lanjut Santrock (2002) mengatakan bahwa faktor-faktor sosial budaya
di dalam stres di antaranya adalah stres akulturatif dan stres sosial
ekonomi.
Santrock (2002) mengatakan bahwa stres akulturatif ialah akibat
negatif dari akulturasi. Huang & Gibbs (1989, dalam Santrock, 2002)
mengatakan bahwa anggota-anggota kelompok minoritas etnis secara
historis telah mengalami permusuhan, prasangka buruk, dan kurangnya
dukungan yang efektif selama masa-masa krisis, yang menyumbang
bagi timbulnya rasa alienasi, isolasi sosial, dan stres tinggi.
Berry dkk. (1999) mengatakan bahwa kondisi saat individu
mengalami tekanan akibat akulturasi dengan budaya asing disebut
sebagai stres akulturatif. Konsep stres akulturatif mengacu pada satu
macam stres yang stresornya diketahui bersumber dalam proses-proses
akulturasi. Ada serangkaian perilaku stres khusus selama akulturasi,
seperti penurunan status kesehatan mental terutama kecemasan,
17
depresi, perasaan marjinalitas dan alienasi, aras simtom psikosomatis
meningkat, dan kebingungan identitas diri.
Stres akulturatif didefinisikan oleh Wei et.al. (2007) sebagai
reaksi stres dalam menanggapi peristiwa kehidupan yang berakar pada
pengalaman akulturasi, kesulitan psikologis dalam beradaptasi dengan
budaya baru, atau stresor psikososial akibat dari ketidakbiasan dengan
hal dan norma-norma sosial yang baru. Sumber stres akulturatif sering
meliputi tekanan akademik, kesulitan bahasa, perasaan rendah diri,
kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan makanan baru atau nilai-
nilai budaya, kurangnya dukungan, diskriminasi yang dirasakan, dan
kerinduan (Sandhu & Asrabadi, 1994, dalam Wei dkk., 2007).
Williams & Berry (1991, dalam Crockett et.all. 2007)
mengatakan bahwa stres akulturatif terjadi ketika individu mengalami
masalah yang timbul dari proses akulturasi. Hal ini dapat berasal dari
nilai-nilai budaya yang tidak sama atau sejenis, kesulitan bahasa, dan
diskriminasi. Lebih lanjut, Crockett et.all. (2007) mengatakan bahwa
ketika ada tekanan untuk berasimilasi, kurangnya kompetensi
antarbudaya, atau diskriminasi dianggap melebihi kemampuan
seseorang untuk mengatasi, hal ini akan mengarah pada persepsi
subjektif dari stres sampai pada emosi negatif. Stres akulturatif telah
dikaitkan dengan gejala depresi dan terkadang juga dikaitkan dengan
gejala kecemasan yang lebih dalam.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan para tokoh di atas, dapat
disimpulkan bahwa stres akulturatif adalah suatu keadaan tertekan, baik
secara fisik maupun psikologis terhadap peristiwa yang dipersepsikan
18
sebagai ancaman potensial terhadap kesehatan fisik atau emosional,
yang bersumber dari adanya perbedaan budaya.
2.1.2 Teori Stres Akulturatif
Para teoretikus sosiokultural telah memperingatkan kita tentang
pentingnya memperhitungkan stresor dalam menjelaskan tingkah laku
abnormal. Salah satu sumber stres utama adalah kebutuhan atau
tuntutan untuk beradaptasi dengan kultur baru, hal ini terjadi dalam
kelompok imigran atau kelompok penduduk asli yang hidup dalam
kultur mayoritas kelompok pendatang. Istilah akulturasi (acculturation)
menunjukkan pada suatu proses adaptasi terhadap kultur baru melalui
perubahan sikap dan tingkah laku, yang harus dilakukan oleh kelompok
imigran dan penduduk asli (Rogler dkk. 1991, dalam Nevid dkk. 2005).
Ada dua teori umum tentang hubungan akulturasi dengan
penyesuaian diri (Griffith, 1983, dalam Nevid dkk., 2005):
a. Teori pertama disebut teori peleburan (melting pot theory),
menyatakan bahwa akulturasi membantu orang menyesuaikan diri
dengan kultur setempat. Dari sudut pandang ini, Hispanik-Amerika
dapat lebih mudah menyesuaikan diri dengan mengganti bahasa
Spanyolnya dengan bahasa Inggris dan mengambil atau memakai
nilai-nilai dan adat istiadat kultur mayoritas orang Amerika.
b. Teori yang ke dua, teori bikultural (bicultural theory),
mengemukakan bahwa penyesuaian psikososial dilakukan dengan
mengidentifikasi diri ke dalam kedua kultur, kultur tradisional
tempat asal dengan kultur setempat. Dimaksudkan di sini,
kemampuan adaptasi terhadap kebiasaan-kebiasaan masyarakat
19
yang baru, dipadukan dengan tradisi kultural yang mendukung dan
perasaan memiliki identitas etnik, akan menghasilkan penyesuaian
yang baik. Dari sudut pandang teori bikultural, para imigran
mempertahankan identitas etnik dan nilai-nilai tradisi mereka
sambil mempelajari dan beradaptasi dengan bahasa dan adat istiadat
kultur setempat.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa terdapat dua
teori tentang stres akulturatif, yaitu teori peleburan (melting pot theory)
dan teori bikultural (bicultural theory).
2.1.3 Aspek-aspek Stres Akulturatif
Berry dkk. (1999) mengatakan bahwa stres akulturatif
merupakan suatu fenomena yang mungkin mendasari suatu reduksi
dalam status kesehatan individu (aspek fisik, psikologis, dan sosial).
Mena et.al. (1987, dalam Crockett et.al.., 2007) mengatakan bahwa
aspek-aspek dari stres akulturatif yang menonjol pada mahasiswa dapat
berhubungan dengan kurang mahirnya bahasa atau ketidakbiasaan
dengan praktek-praktek budaya yang berlaku dan pengalaman sistem
nilai yang bertentangan.
Berbagai pengukuran terhadap stres akulturatif telah dilakukan
sebelumnya, seperti Cornell Medical Index (Broadman dkk., 1952,
dalam Berry dkk., 1999). Aspek stres akulturatif yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu keberfungsian somatis dan kehidupan psikologis.
Penelitian Wei dkk. (2007) mengukur stres akulturatif
menggunakan Acculturative Stress Scales for International Student
(ASSIS) dari Sandhu & Asrabadi (1994). ASSIS merupakan alat ukur
yang menilai stres akulturatif siswa internasional, terdiri dari 36 aitem
20
yang meliputi tujuh aspek atau faktor yaitu persepsi diskriminasi,
kerinduan, menerima kebencian, takut , stres karena perubahan/ culture
shock/ kekagetan budaya, rasa bersalah, dan kekhawatiran nonspesifik.
Mena et.al. (1987, dalam Crockett et.al., 2007) melakukan
penelitian tentang stres akulturatif dengan menggunakan empat domain
yaitu : domain keluarga, sikap, sosial, dan domain lingkungan.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat beberapa aspek dan domain stres akulturatif. Pada
penelitian ini, pengukuran mengenai stres akulturatif mendasarkan pada
skala Acculturative Stress Scales for International Student (ASSIS; dari
Sandhu & Asrabadi, 1994), karena memiliki aspek atau domain yang
lebih lengkap yaitu persepsi diskriminasi, kerinduan, menerima
kebencian, takut, stres karena perubahan/ culture shock/ kekagetan
budaya, rasa bersalah, dan kekhawatiran nonspesifik.
2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Akulturatif
Nevid dkk. (2005) merangkum berbagai pendapat tokoh dan
mengatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi stres akulturatif
sebagai berikut:
a. Coping stress
Pada umumnya coping stres terdiri dari coping yang
berfokus pada emosi (emotion-focused coping) dan coping yang
berfokus pada masalah (problem-focused coping). Pada coping
yang berfokus pada emosi, individu berusaha segera mengurangi
dampak stressor, dengan menolak adanya stressor atau menarik diri
dari situasi. Coping yang berfokus pada emosi tidak menghilangkan
21
stressor atau tidak juga membantu individu dalam mengembangkan
cara yang lebih baik untuk mengatur stressor, sebaliknya, pada
coping yang berfokus pada masalah, individu menilai stressor yang
dihadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah stressor atau
memodifikasi reaksinya untuk meringankan efek dari stressor
tersebut.
b. Harapan akan self-efficacy
Harapan akan self-efficacy berkenaan dengan harapan
individu terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantangan yang
dihadapi, harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat
menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan terhadap
kemampuan diri untuk dapat menghasilkan perubahan hidup yang
positif (Bandura, 1982, 1986, dalam Nevid dkk. 2005). Individu
mungkin dapat mengelola stres dengan lebih baik, termasuk stres
karena penyakit, jika percaya diri dan yakin bahwa dirinya mampu
mengatasi stres dan memiliki harapan yang tinggi.
c. Ketahanan psikologis
Ketahanan psikologis (psychological hardiness) atau
sekumpulan trait individu yang dapat membantu dalam mengelola
stres yang dialami.
d. Optimisme
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang
mempunyai nilai optimisme lebih tinggi melaporkan dapat lebih
menekan gejala fisik seperti kelelahan, pusing, pegal-pegal, dan
penglihatan yang kabur. Gejala pada subjek penelitian di awal
penelitian diperhitungkan secara statistik sehingga dapat dikatakan
22
bahwa studi tersebut semata-mata menunjukkan bahwa individu
yang sehat akan cenderung lebih optimis.
e. Dukungan sosial
Para peneliti percaya bahwa memiliki kontak sosial yang
luas membantu melindungi sistem kekebalan tubuh terhadap stres.
Berry & Kim (1988, dalam Berry dkk., 1999) menemukan
faktor budaya dan psikologis yang menentukan hubungan akulturasi
dan kesehatan mental. Faktor-faktor yang memperantarai hubungan
antara akulturasi dan stres tersebut yaitu:
a. Modus akulturasi: integrasi, asimilasi, separasi, dan marjinalisasi
Modus akulturasi merupakan satu faktor penting: mereka
yang merasa termarjinalisasi (”terpinggirkan”) cenderung
mengalami stres lebih tinggi, mereka yang mengutamakan suatu
tujuan separasi (pemisahan) juga cenderung stres. Sebaliknya, yang
berupaya melakukan integrasi (mempererat) mengalami stres secara
minimal, sementara asimilasi membawa ke derajat-derajat
menengah.
b. Fase akulturasi: kontak, konflik, krisis, adaptasi
Dalam banyak kajian, ada upaya untuk mengaitkan gejala-
gejala stres akulturatif dengan suatu fase tertentu dari akulturasi.
Mereka yang dalam kontak pertama dan telah mencapai sementara
adaptasi yang stabil cenderung mengalami stres minimal,
sebaliknya mereka yang mengalami konflik dan krisis akan
memperlihatkan stres.
c. Keberadaan masyarakat yang lebih luas: multikultural lawan
asimilasionis
23
Keberadaan masyarakat majemuk secara budaya memiliki
toleransi yang cukup tinggi terhadap perbedaan budaya, serta
memungkinkan untuk memberikan dukungan terhadap proses
akulturasi. Pada dasarnya masyarakat tersebut memiliki toleransi
yang lebih besar atau penerimaan keberagaman budaya. Berbeda
dengan masyarakat yang monokultural (tidak majemuk),
menekankan kepada budaya asing sebagai pendatang untuk dapat
menyesuaikan diri dengan budaya monokultural tersebut. Pada
dasarnya masyarakat tersebut memberlakukan suatu paksaan atau
kurang memiliki toleransi atau penerimaan terhadap keberagaman
budaya.
d. Prasangka dan diskriminasi
Beberapa kelompok lebih diterima berdasarkan latar
belakang etnisitas, ras atau keagamaan ketimbang yang lain.
Mereka yang kurang diterima akan menghadapi hambatan
(prasangka dan diskriminasi) yang akan membawa mereka ke
marjinalisasi kelompok (kelompok yang ”terpinggirkan”) dan
mungkin mengakibatkan stres lebih tinggi.
e. Ciri-ciri kelompok yang berakulturasi: usia, status, dukungan sosial
Status juga menjadi suatu faktor, bahkan ketika keberasalan
orang berada dalam suatu masyarakat yang relative terstratifikasi.
Contoh, “status masuk” seseorang ke suatu masyarakat baru sering
lebih rendah dibandingkan “status pergi” dari masyarakat sendiri.
Kehilangan status relatif ini mungkin mengakibatkan stres dan
kesehatan mental memburuk. Faktor lain, mobilitas status seseorang
dalam masyarakat yang lebih besar, apakah untuk mendapatkan
24
kembali status asal seseorang atau tetap bertahan di tengah
kelompok lain. Sebagai tambahan, beberapa ciri khas status (seperti
pendidikan dan pekerjaan) menyediakan orang sumber-sumber
untuk berhadapan dengan masyarakat yang lebih luas dan ciri-ciri
ini mungkin mengakibatkan kemampuan orang untuk berfungsi
secara efektif dalam lingkungan baru.
Usia dan kelompok jenis kelamin seesorang, boleh jadi
memainkan peran. Misalnya orang yang relatif lebih tua dan kadang
wanita, sering dicatat mengalami stres yang lebih tinggi
sebagaimana mereka yang hidup tanpa pasangan perkawinan
(karena pengalaman kehilangan atau karena memang tidak
dimungkinkan).
Ubahan paling komprehensif dalam literatur adalah ubahan
dukungan sosial. Ubahan ini menunjuk pada kehadiran lembaga
sosial dan budaya yang mampu memberi dukungan kepada individu
yang berakulturasi. Tercakup disini ialah faktor seperti asosiasi
etnik (nasional maupun lokal), ikatan-ikatan etnik daerah, keluarga
somah, ketersediaan kelompok asal individu (melalui kunjungan,
penghidupan kelompok, atau alienasi dari budaya) dan lembaga
lebih formal sebagai agen dan klinik-klinik yang siap memberi
dukungan.
f. Ciri-ciri individu yang berakulturasi: penilaian, pengatasan, sikap,
kontak
Secara khusus, penilaian orang mengenai pengalaman
akulturasi dan keterampilan pengatasannya dalam berhadapan
dengan stresor dapat mempengaruhi tingkat stres akulturatif.
25
Berdasarkan pendapat para tokoh di atas, dapat disimpulkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi stres akulturatif meliputi
coping stres, harapan akan self-efficacy, ketahanan psikologis
(hardiness), optimisme, dukungan sosial, modus akulturasi (integrasi,
asimilasi, separasi, dan marjinalisasi), fase akulturasi (kontak, konflik,
krisis, adaptasi), keberadaan masyarakat yang lebih luas (multikultural
lawan asimilasionis), prasangka dan diskriminasi, ciri-ciri kelompok
yang berakulturasi (usia, status, dukungan sosial), ciri-ciri individu
yang berakulturasi (penilaian, pengatasan, sikap, kontak).
2.2 Hardiness
2.2.1 Pengertian Hardiness
Konsep hardiness pertama kali dikemukakan oleh Kobasa,
1984, yaitu sebagai tipe kepribadian yang penting sekali dalam
perlawanan terhadap masalah. Kobasa memulai dengan adanya
perbedaan-perbedaan interpersonal dalam kontrol pribadi dan
mengkombinasikan peubah ini dengan yang lain, agar dapat dihasilkan
tipe kepribadian yang lebih komprehensif (Smet, 1994).
Kobasa dkk. (1982, dalam Daneshamooz & Alamolhodaei,
2012) mengemukakan bahwa hardiness menyediakan kerangka kerja
yang berguna untuk memahami mengapa siswa lebih bersedia untuk
terlibat dalam kursus akademis yang lebih menantang daripada yang
lain. Teori hardiness berpendapat bahwa tiga proses penilaian kognitif
(komitmen, tantangan, dan kontrol) berfungsi untuk penyaring efek
buruk dari situasi kehidupan yang penuh tekanan.
26
Hardiness adalah suatu ciri kepribadian yang dapat
mempertahankan respons individu terhadap stres. Individu yang
memiliki hardiness mengasumsikan bahwa dirinya berada dalam
kendali, sangat berkomitmen terhadap aktivitas dalam hidup, dan
memperlakukan perubahan sebagai suatu tantangan (Ivancevich dkk.
2006). Nevid dkk. (2005) memberi definisi hardiness sebagai suatu
kelompok trait penahan stres yang ditandai dengan adanya komitmen,
tantangan, dan pengendalian.
Hardjana (1994) memberi definisi hardiness atau ketangguhan
pribadi merupakan keadaan diri orang yang membuat orang itu
memiliki ketabahan dan daya tahan. Orang yang tangguh mampu
menghadapi dan menerima kesukaran, kesulitan, masalah dengan
tabah. Dia tidak mudah goyah, bimbang, takut dan kehilangan nyali.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hardiness
adalah ciri kepribadian yang menunjukkan bahwa individu memiliki
daya tahan yang ditandai dengan adanya komiten, tantangan, dan
pengendalian.
2.2.2 Aspek-aspek Hardiness
Kobasa dkk. (1982, dalam Daneshamooz & Alamolhodaei,
2012) mengemukakan komponen hardiness yang terdiri dari:
a. Komitmen, yaitu memahami aktivitas kehidupan seseorang sebagai
sesuatu yang berharga untuk diri dan orang lain.
b. Tantangan, yaitu memahami perubahan dari pada stabilitas sebagai
bagian yang diharapkan dan normal dari kehidupan, serta melihat
perubahan sebagai bermanfaat bagi pengembangan pribadi.
27
c. Kontrol, yaitu memahami diri sendiri sebagai memiliki kontrol
pribadi atas peristiwa kehidupan yang penting.
Ivancevich dkk. (2006) mengatakan bahwa orang yang memiliki
hardiness ditunjukkan dengan adanya aspek sebagai berikut:
a. Yakin bahwa dapat mengendalikan peristiwa yang daitemui.
b. Sangat berkomitmen terhadap aktivitas dalam kehidupannya.
c. Memperlakukan perubahan dalam kehidupan sebagai sebuah
tantangan.
Kobasa dkk. (1982, dalam Nevid dkk., 2005) mengatakan
bahwa tiga aspek dari hardiness adalah:
a. Komitmen yang tinggi. Individu yang memiliki hardiness ini yakin
sekali pada apa yang dilakukannya dan melibatkan diri sepenuhnya
terhadap pekerjaan dan tanggung jawabnya. Individu tersebut tidak
pernah mencoba untuk menjauhkan diri dari situasi dan pekerjaan
mereka.
b. Tantangan yang tinggi. Individu yang memiliki hardiness percaya
perubahan merupakan suatu hal yang normal, dirinya tidak terpaku
pada kondisi stabil saja, tetapi tertantang untuk mengatasi atau
melakukan perubahan.
c. Pengendalian yang kuat terhadap hidup. Individu yang memiliki
hardiness percaya dan bertindak dengan keyakinan bahwa dirinya
yang menentukan reward dan hukuman (ganjaran positif dan
negatif) yang diterima dalam hidup ini.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat
tiga aspek hardiness, yaitu aspek pengendalian, keterlibatan, dan
tantangan. Aspek ini dikemukakan oleh Kobasa, dkk., dan akan
28
menjadi dasar teori dalam penyusunan alat ukur hardiness pada
penelitian ini karena Kobasa dkk., merupakan pencetus utama dari teori
hardiness.
2.3 Dukungan Sosial Teman
2.3.1 Pengertian Dukungan Sosial Teman
Dukungan sosial adalah suatu keadaan yang dapat dipercaya,
dari interaksi itu individu akan menjadi tahu bahwa orang lain
memperhatikan, menghargai dan mencintai dirinya (Smet, 1994). Cobb
(1983, dalam Smet, 1994) menekankan masalah dukungan sosial ini
melalui orientasi subjektifnya yang memerlihatkan bahwa dukungan
sosial tersebut terdiri atas informasi yang menuntun seseorang untuk
meyakini bahwa ternyata dirinya masih diurus dan disayangi. Sarafino
(1990, dalam Smet, 1994) mendeskripsikan dukungan sosial sebagai
suatu kesenangan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang dirasakan
dari orang lain atau kelompok.
Sarason dkk. (1994, dalam Baron dan Byrne, 2005) mengatakan
bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan secara fisik dan psikologis
yang diberikan oleh orang lain (teman atau anggota keluarga). Buunk
dkk. (1993, dalam Taylor dkk., 2009) mengatakan bahwa dukungan
sosial dapat berasal dari pasangan atau partner, anggota keluarga,
kawan, kontak sosial dan masyarakat, teman sekelompok, jemaah
gereja atau masjid, dan teman kerja atau atasan di tempat kerja.
Sarafino (1990, dalam Smet, 1994) membedakan sumber-
sumber stres yaitu dalam diri individu, keluarga, komunitas, dan
masyarakat. Baron & Byrne (2005) mengatakan bahwa teman-teman
dan keluarga mungkin dapat membantu memecahkan masalah.
29
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan
sosial teman adalah hubungan atau transaksi interpersonal yang dapat
dipercaya (berupa pemberian bantuan dalam bentuk informasi,
instrumental, dukungan emosional, dan dukungan penghargaan) yang
berarti bagi individu sehingga individu merasa diperhatikan oleh
temannya.
2.3.2 Jenis-jenis Dukungan Sosial
House (1990, dalam Smet, 1994) membedakan empat jenis atau
dimensi dukungan sosial yaitu:
a. Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian dan
perhatian terhadap orang yang bersangkutan (misal; umpan balik,
penegasan).
b. Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan hormat
(penghargaan) positif untuk orang itu, dorongan maju atau
persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan
perbandingan positif orang itu dengan orang-orang lain, seperti
misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk
keadaannya (menambah penghargaan diri).
c. Dukungan instrumental, mencakup bantuan langsung, seperti kalau
orang-orang memberikan pinjaman uang kepada orang itu atau
menolong dengan pekerjaan pada waktu mengalami stres.
d. Dukungan informatif, mencakup memberi nasihat, petunjuk-
petunjuk, saran-saran atau umpan balik. Dukungan informatif akan
lebih bermanfaat kalau terdapat kekurangan pengetahuan, dan
ketrampilan, dan dalam hal yang amat tidak pasti tentang
kekurangan pengetahuan dan keterampilan.
30
Menurut Buunk dkk. (1993 dalam Taylor dkk., 2009), dukungan
sosial bisa diberikan melalui beberapa cara yang dapat dikelompokkan
menjadi empat jenis yaitu:
a. Dukungan emosional. Perhatian emosional yang diekspresikan
melalui rasa suka, cinta atau empati.
b. Dukungan instrumental, seperti penyediaan jasa atau barang selama
masa stres.
c. Dukungan informatif, seperti pemberian informasi tentang situasi
yang menekan.
d. Dukungan penghargaan, dukungan yang berupa persetujuan dari
orang lain akan gagasan atau perilaku.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat
empat jenis dukungan sosial, yaitu dukungan emosional, dukungan
penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informatif.
2.4 Hubungan antara Hardiness dan Dukungan Sosial Teman
dengan Stres Akulturatif
Mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah perlu melakukan
adaptasi terhadap kondisi setempat di mana mahasiswa tersebut
menimba ilmu, karena adanya perbedaan karakteristik sosial budaya.
Proses adaptasi dengan keadaan masyarakat dan budaya setempat tidak
selamanya berlangsung mulus (Hidajat dan Sodjakusumah, 2000).
Kekurangmampuan dalam melakukan penyesuaian diri atau adaptasi
dengan situasi dan tuntutan yang ada dapat menimbulkan tekanan-
tekanan bagi mahasiswa yang bersangkutan, dan bila dibiarkan tanpa
penyelesaian akan mempengaruhi kesehatan mental (Siswanto, 2007).
31
Tekanan atau stres yang diakibatkan dari penyesuaian budaya
bisa saja terjadi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Santrock
(2002b) bahwa stresor atau sumber stres dapat berasal dari berbagai
sumber, salah satunya adalah faktor sosial budaya. Menurut Kim (1995,
dalam Samovar dkk., 2010), ketika individu memasuki budaya baru,
individu mengalami stres sebagai akibat dari hilangnya kemampuan
untuk berfungsi secara normal. Individu tersebut menjadi stres ketika
berhadapan dengan cara baru dan berbeda dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi stres dengan
mengembangkan dan menggabungkan norma baru yang dibutuhkan
untuk dapat berfungsi secara normal, sehingga mulai beradaptasi
dengan budaya baru. Melalui pengalaman yang berkelanjutan dari
adaptasi stres, perspektif seseorang semakin luas, sehingga
menghasilkan pertumbuhan pribadi.
Huang & Gibbs (1993,dalam Santrock, 2002b) mengatakan
bahwa anggota-anggota kelompok minoritas etnis secara historis telah
mengalami permusuhan, prasangka buruk, dan kurangnya dukungan
yang efektif selama masa-masa krisis, yang menyumbang bagi
timbulnya rasa alienasi, isolasi sosial, dan stres tinggi.
Tekanan atau stres yang diakibatkan dari penyesuaian budaya
disebut juga sebagai stres akulturatif (Berry dkk., 1999). Stres
akulturatif dapat ditekan jika individu memiliki hardiness dan
mendapat dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Cohen & Wills (1985, dalam Eschleman dkk.,
2010), bahwa dukungan sosial sering dianggap sebagai sumber daya
yang dapat melindungi salah satu dari efek stres. Hasil penelitian
32
Viswesvaran dkk. (1999, dalam Eschleman, dkk., 2010) menunjukkan
bahwa dukungan sosial umumnya memiliki efek utama pada stres dan
ketegangan. Ada beberapa alasan bahwa sifat hardiness akan
berhubungan positif dengan dukungan sosial. Pertama, hardiness
melibatkan komitmen dan keterlibatan yang mendalam dalam beberapa
domain kehidupan, seperti keluarga, teman, pekerjaan, dan kegiatan
sosial. Sangat mungkin bahwa keterlibatan dalam domain ini
memungkinkan seseorang untuk mengembangkan jaringan hubungan
sosial yang kaya yang dapat ditarik pada saat seseorang membutuhkan
dukungan. Kemungkinan lain adalah bahwa individu yang tangguh
umumnya lebih menarik secara sosial dan bahwa ini membuat mereka
lebih mudah untuk memperoleh dukungan.
Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh gambaran bahwa
individu yang memiliki hardiness memungkinkan mendapat dukungan
sosial dari temannya yang lebih besar. Adanya hardiness dan dukungan
sosial tersebut dapat digunakan individu dalam menahan atau
meminimalisir efek stres. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh
Eschleman dkk. (2010), bahwa hardiness dan komponen hardiness
berhubungan positif dengan dukungan sosial. Selain mencari dukungan
sumber daya, hubungan positif dapat terjadi karena dukungan diberikan
kepada orang-orang yang berkomitmen dalam banyak domain
kehidupan dan dengan demikian memiliki lingkaran sosial yang besar
atau mungkin merupakan hasil dari individu yang tangguh (hardy) di
mana secara sosial lebih menarik. Individu yang tangguh (hardy) juga
cenderung memiliki strategi coping yang lebih proaktif daripada
regresif. Artinya, rasa yang lebih besar dari kontrol dan komitmen
33
untuk lingkungan, cenderung mempengaruhi individu untuk mengatasi
stres daripada terlibat dalam perilaku penarikan.
2.5 Hubungan antara Hardiness dengan Stres Akulturatif
Masalah stres yang dialami mahasiswa sebenarnya dapat
diminimalisir jika mahasiswa memiliki hardiness. Sebagaimana hasil
penelitian yang dilakukan Kobasa dkk. (1979 dalam Nevid dkk., 2005)
bahwa hardiness yang dimiliki ini yang kemudian menyebabkan
individu tidak mudah merasakan stres. Nevid dkk. (2005) memberi
definisi hardiness sebagai suatu kelompok trait penahan stres yang
ditandai dengan adanya komitmen, tantangan, dan pengendalian.
Berbeda dengan hasil penelitian Florian dkk. (1995, dalam
Eschleman dkk. 2010), meskipun hardiness diyakini menjadi prediktor
berharga beberapa kriteria penting, konseptualisasi hardiness masih
diperdebatkan. Secara khusus, para peneliti telah menyarankan bahwa
komponen tantangan dari hardiness dapat dijatuhkan dari
konseptualisasi hardiness karena tidak berkontribusi pada prediksi hasil
kesehatan. Pendapat Florian dkk. ini mengandung arti pula bahwa tidak
selamanya hardiness dapat menahan efek stres.
Maddi (1999, dalam Cole dkk., 2004) mengatakan bahwa
hardiness memiliki tiga komponen yang saling berhubungan, dan
diperkirakan akan mempengaruhi dua mekanisme dasar yang
meningkatkan kesehatan dan kinerja seseorang ketika mengalami
kondisi stres. Secara khusus, sikap tangguh diyakini mempengaruhi
bagaimana individu mengalami dan mengatasi situasi kehidupan yang
penuh stres.
34
Dalam persepsi dan evaluasi peristiwa kehidupan yang penuh
stres, Bartone dkk. (1989, Rhonewalt & Zone, 1989 dalam Cole dkk.,
2004) mengibaratkan individu yang memiliki karakter hardiness
sebagai seorang yang optimis yang cenderung untuk melihat tantangan
dalam sudut pandang yang positif. Orang yang memiliki karakter
hardiness merasakan pengalaman kegiatan sebagai hal menarik dan
menyenangkan (yaitu, komitmen), sebagai masalah pilihan pribadi
(yaitu, kontrol), dan sebagai stimulus penting untuk belajar (misalnya,
tantangan). Individu yang memiliki karakter hardiness yang rendah
telah daitemukan menampilkan peningkatan tanda-tanda depresi serta
kecemasan tinggi dan tekanan psikologis.
Kobasa dkk. (1982, dalam Daneshamooz & Alamolhodaei,
2012) mengemukakan bahwa hardiness menyediakan kerangka kerja
yang berguna untuk memahami mengapa siswa lebih bersedia untuk
terlibat dalam kursus akademis yang lebih menantang daripada yang
lain. Teori hardiness berpendapat bahwa tiga proses penilaian kognitif
(komitmen, tantangan, dan kontrol) berfungsi untuk penyaring efek
buruk dari situasi kehidupan yang penuh stres.
Berdasarkan uraian para tokoh di atas, dapat dikatakan bahwa
mahasiswa yang memiliki hardiness ditandai dengan adanya
komitmen, yaitu memiliki kesediaan untuk melibatkan diri dalam
kegiatan yang dilaluinya. Komitmen tersebut membuat mahasiswa
memiliki ketahanan dalam menghadapi berbagai kesulitan yang ada.
Mahasiswa Papua yang memiliki komitmen membuat dirinya tidak
mudah menyerah dan memiliki daya tahan dalam menghadapi tuntutan
termasuk tuntutan dalam hal penyesuaian dengan lingkungan atau
35
budaya baru, dengan kata lain mahasiswa Papua dapat menekan stres
akulturatif yang dialami. Berbeda dengan mahasiswa Papua yang
kurang memiliki komitmen, dirinya cenderung mudah menyerah karena
kurang memiliki antusias dalam menghadapi kesulitan. Pada saat
mengalami kesulitan penyesuaian dengan lingkungan yang baru,
mahasiswa Papua dengan komitmen yang rendah enggan untuk terlibat
lebih jauh dalam usaha adaptasinya. Mahasiswa yang kurang memiliki
komitmen tersebut mudah rentan mengalami stres akulturatif saat
menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.
Mahasiswa Papua yang memiliki hardiness juga ditandai
dengan adanya aspek tantangan, yaitu melihat kendala yang ada dalam
hal penyesuaian diri sebagai sesuatu yang harus dipecahkan (merasa
tertantang dan tidak mudah menyerah). Mahasiswa yang memiliki
aspek tantangan bersedia mengerahkan energinya guna mengatasi
kesulitan sehingga tidak mudah mengalami stres saat menyesuaikan
diri. Berbeda dengan mahasiswa Papua yang kurang tertantang dengan
kesulitan akan mudah mengalami stres karena dirinya mudah merasa
kewalahan dengan kendala yang dihadapi.
Mahasiswa Papua yang memiliki hardiness juga ditandai
dengan adanya aspek kontrol, yaitu merasa mampu mengendalikan dan
mengatur diri, hidup, dan lingkungannya. Mahasiswa tersebut meyakini
bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan suatu masalah termasuk
dalam hal kesulitan beradaptasi dengan lingkungan barunya, ditentukan
oleh kemampuan diri. Kontrol tersebut mengakibatkan mahasiswa
menjadi lebih bertanggung jawab terhadap masalah yang dialami,
sehingga mahasiswa Papua dapat mengelelola stres akulturatif atau
36
stres yang berkaitan dengan proses adaptasi dengan lingkungan
barunya di Salatiga. Berbeda dengan mahasiswa Papua yang kurang
memiliki aspek kontrol, dirinya menganggap keberhasilannya dalam
menyesuaikan diri lebih ditentukan oleh faktor di luar dirinya atau
ditentukan oleh keburuntungan semata, sehingga merasa tidak memiliki
kendali dalam mengatasi kesulitan tersebut. Perasaan tidak memiliki
kendali inilah yang mengakibatkan mahasiswa Papua cenderung mudah
menyerah dan pasrah terhadap keadaan, dan pada akhirnya lebih rentan
mengalami stres dalam beradaptasi dengan lingkungan barunya di
Salatiga.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa individu
termasuk mahasiswa dengan hardiness yang tinggi memiliki
ketangguhan dalam menghadapi permasalahan hidup. Adanya
hardiness ini mengakibatkan mahasiswa dapat menekan stres
akulturatif ketika harus beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Hal
ini berarti bahwa adanya hardiness maka stres akulturatif dapat ditekan.
2.6 Hubungan antara Dukungan Sosial Teman dengan Stres
Akulturatif
Dukungan sosial merupakan peubah lingkungan yang
mempunyai hubungan yang positif dengan kesehatan. Dalam
menghadapi peristiwa-peristiwa yang menekan, individu yang memiliki
dukungan sosial yang tinggi tidak hanya mengalami stres yang rendah,
tetapi juga dapat mengatasi stres secara lebih berhasil bila
dibandingkan dengan mereka yang kurang memperoleh dukungan
sosial (Taylor 1999, dalam Pramudiani dkk. 2001).
37
Berbeda dengan pendapat Baron & Byrne (2005), meskipun
seseorang yang menghadapi masalah seperti stres, sangat
membutuhkan dukungan, upaya yang canggung untuk memberikan rasa
nyaman justru dapat membuat situasi menjadi semakin buruk. Pendapat
Baron dan Byrne di atas menunjukkan bahwa adanya dukungan sosial
belum tentu dapat meminimalisir stres, atau bahkan dukungan sosial
yang diberikan secara canggung justru dapat menimbulkan stres. Hal
ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Solber
dkk. (1994, Alva dkk. 1996; Rodriguez dkk. 2003, dalam Crocke dkk.
2007). Ketiga penelitian tersebut menemukan hasil yaitu tidak
daitemukan bukti bahwa dukungan sosial berhubungan dengan stres
psikologis ataupun penyesuaian diri pada mahasiswa Latin.
Dukungan sosial seperti perasaan memperoleh bantuan,
perasaan dicintai, dihargai atau dinilai tinggi, dapat merupakan penahan
(buffer) dari akibat-akibat stres yang merusak. Dukungan sosial yang
tinggi mempercepat kesembuhan seseorang dari penyakit yang diderita,
sehingga diasumsikan pula akan dapat mempercepat meningkatnya
kualitas hidup yang sebelumnya menurun (Pramudiani dkk., 2001).
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ross dkk. (1999 dalam
Taylor dkk. 2009) yang mengatakan bahwa poin yang jelas dan penting
di sini adalah hubungan sosial dapat membantu penyesuaian psikologis,
memperkuat praktik hidup sehat, dan membantu pemulihan dari sakit
hanya ketika hubungan itu bersifat suportif. Hasan (2008) mengatakan
bahwa hubungan suportif tersebut adalah individu merasa memiliki
seseorang yang memberi keyakinan dan tempat berbagi pikiran dan
38
perasaan, akan memiliki fungsi kekebalan yang lebih baik dari pada
yang tidak memiliki.
Dukungan sosial dapat menjadi penahan untuk melawan stres
dengan memberikan pencegahan dari situasi yang menyebabkan stres
ataupun memberikan solusi mengatasi stres. Selanjutnya menurut
Mallinckrodt dan Leong (1992, dalam Koyama, 2005), banyaknya
dukungan sosial akan mempengaruhi seseorang dalam mengatasi stres
sehubungan dengan penyesuaian diri dalam lingkungan dengan
kebudayaan yang berbeda. Penelitian ini menegaskan bahwa dukungan
sosial dapat meningkatkan penyesuaian psikologis dengan memberikan
ketahanan terhadap dampak dari hidup yang penuh stres.
Hasil penelitian Rodriguez (2003, dalam Crockett dkk., 2007)
menyebutkan bahwa dukungan sosial sangat penting bagi proses
penyesuaian individu tersebut dengan budaya asing. Seperti orang tua,
teman dapat memberikan dukungan emosi, instrumen dan informasi.
Mereka (teman) selalu ada di dalam lingkungan kampus dan
mempunyai informasi yang lebih relevan mengenai lingkungan
sekitarnya daripada orang tua. Selanjutnya, pada penelitian ini juga
ditemukan bahwa dukungan emosi dari teman berhubungan dengan
penyesuaian sosial yang baik dan dukungan dari teman dapat
mengurangi stres mahasiswa akibat interaksi mereka dengan budaya
asing.
2.7 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Stres Akulturatif
Salah satu sumber stres utama adalah kebutuhan atau tuntutan
untuk beradaptasi dengan kultur baru. Slavin dan Rainer (1990, dalam
39
Crockett et.al., 2007) menemukan hubungan signifikan yang berbeda
antara penyesuaian diri dan stres akulturatif pada wanita dan laki-laki
Latin Meksiko di Amerika.
Dalam suatu penelitian pada imigran Hispanik, terdapat
hubungan yang kuat antara stres yang terjadi dalam upaya untuk
adaptasi terhadap kultur dan lingkungan baru dengan kondisi distres
psikologis. Imigran wanita menunjukkan tingkat depresi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan imigran pria (Salgado dkk,, 1990, dalam
Nevid dkk., 2005). Uppaluri et.at (2001, dalam Il Livingston et.al,
2007) mengatakan bahwa wanita imigran Karibia yang datang ke
Amerika lebih banyak menderita gejala depresi dan keluhan somatik
ketika melakukan adaptasi dengan kultur yang baru dibandingkan
dengan imigran laki-laki.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Caetano (1987, dalam
Nevid dkk., 2005) ditemukan bahwa wanita Hispanik-Amerika yang
tingkat akulturasinya tinggi menjadi peminum berat lebih besar
dibandingkan wanita Hispanik-Amerika yang tingkat akulturasinya
rendah. Dalam kultur Amerika latin, laki-laki cenderung minum
alkohol lebih banyak daripada wanita, hal ini disebabkan oleh adanya
larangan kultural berkaitan dengan jenis kelamin tentang pembatasan
penggunaan alkohol sebagai minuman pada wanita. Ketidak-leluasaan
ini melemah pada wanita Hispanik-Amerika yang mengadopsi nilai-
nilai dan sikap orang Amerika.
40
2.8 Model Penelitian
Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu di atas, maka
penulis menyusun sebuah model atau kerangka berpikir sebagai
berikut:
2.9 Hipotesis
Berdasarkan analisis teori yang telah dikemukakan di atas, maka
dapat disusun hipotesis dalam penelitian ini, yaitu:
1. Ada pengaruh simultan antara hardiness dan dukungan sosial teman
terhadap stres akulturatif pada mahasiswa Papua laki-laki di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
2. Ada pengaruh simultan antara hardiness dan dukungan sosial teman
dengan stres akulturatif pada mahasiswa Papua perempuan di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
3. Ada perbedaan stres akulturatif ditinjau dari jenis kelamin.
Hardiness
Dukungan
Sosial
Teman
Stres
Akulturatif
Laki-laki Perempuan