Upload
dokiet
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stres Kerja pada Karyawan yang Bekerja dengan Sistem Shift
1. Pengertian Stres Kerja
Umam (2010) mendefinisikan stres kerja yaitu reaksi individu yang berasal
dari segala kondisi pekerjaan yang berdampak pada reaksi fisiologis, psikologis,
dan perilaku. Anoraga (dalam Marchelia, 2014) juga berpendapat bahwa stres kerja
ialah tanggapan seseorang terhadap perubahan lingkungan yang terjadi dan
dirasakan menganggu sehingga mengakibatkan dirinya terancam baik secara fisik
dan mental. Setiap individu memiliki tingkatan toleransi pada tekanan setiap
waktunya, yaitu kemampuan untuk mengatasi atau tidak mengatasinya.
Lebih lanjut, Seyle (dalam Umam, 2010) berpendapat stres kerja ialah reaksi
individu berupa fisiologis, psikologis, dan perilaku terhadap lingkungan pekerjaan
yang berpotensi sebagai stressor kerja yang merupakan kondisi kerja yang dianggap
karyawan sebagai tuntutan atau beban yang menimbulkan stres. Stres kerja
dipandang sebagai dysfunctional bagi organisasi dan anggotanya (Bashir & Ramay
dalam Abdillah, dkk., 2016) karena sebagian besar karyawan yang menderita stres
kerja dapat merugikan diri karyawan sendiri dan perusahaan (Mohsan dalam
Abdillah, dkk., 2016). Pada umumnya, stres kerja lebih banyak
12
merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi
tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustasi,
dan sebagainya (Rice dalam Umam, 2010).
Menurut Kroemer (dalam Marchelia, 2014) shift kerja yaitu hadir pada waktu
dan tempat kerja yang sama secara regular (shift tetap) atau dengan waktu yang
berbeda-beda (shift rotasi). Di katakan shift tetap yaitu individu bekerja secara tetap
pada shift tertentu. Sedangkan shift rotasi yaitu sistem kerja di mana karyawan
bekerja secara shift berputar seperti bekerja pada pagi hari sementara waktu,
kemudian bertukar pada shift siang dan bertukar kembali pada shift malam (Aamodt
dalam Marchelia, 2014). Sistem kerja shift yang berlaku umum biasanya terbagi
menjadi tiga periode dan masing-masing selama delapan jam termasuk istirahat.
Pembagiannya adalah shift pagi, shift siang, dan shift malam yang menggunakan
pembagian dari jam 08.00-16.00, 16.00-24.00, dan 24.00-08.00. Hal tersebut dapat
berdampak negatif pada karyawan sehingga menimbulkan kelelahan mental dan
stres kerja (Winarsunu dalam Marchelia, 2014).
Berdasarkan dari beberapa definisi diatas, peneliti menyimpulkan bahwa stres
kerja ialah reaksi individu yang berasal dari segala kondisi pekerjaan yang
berdampak pada reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku.
13
2. Aspek-Aspek Stres Kerja
Menurut Beehr dan Newman (dalam Umam, 2010) memaparkan tiga aspek
stres kerja, yaitu sebagai berikut:
a. Psikologis
Stres kerja dan gangguan psikologis adalah hubungan yang erat dalam kondisi
kerja. Ditandai dengan adanya kecemasan, ketegangan, kebingungan, kelelahan
mental, dan kebosanan.
b. Fisiologis
Stres kerja sering ditunjukkan pada gejala fisiologis. Fakta dari para ahli
kesehatan dan kedokteran menunjukkan bahwa stres kerja dapat mengubah
metabolisme tubuh. Perubahan fisiologis ditandai dengan adanya gejala seperti
merasa lelah fisik, pusing, gangguan pencernaan, gangguan tidur, kelelahan
secara fisik, meningkatnya denyut jantung dan gangguan pernafasan.
c. Perilaku
Pada aspek ini stres kerja ditunjukkan oleh tingkah laku individu. Ditandai
dengan absensi, menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan individu.
Schultz dan Schultz (dalam Almasitoh, 2011) menjelaskan bahwa terdapat tiga
aspek stres kerja, yaitu:
a. Fisiologis
Orang yang mengalami stres terlihat dari gejala sakit kepala, tidur tidak teratur,
bangun terlalu awal, sakit punggung, pencernaan terganggu, gatal-gatal pada
kulit, tekanan darah tinggi, dan kelelahan.
14
b. Psikologis
Pada aspek psikologis mencakup depresi, sedih, mudah menangis, mudah
marah, gelisah, cemas, rasa harga diri turun dan merasa tidak aman, kehilangan
semangat hidup, tegang, bingung, mengurung diri dan mengasingkan diri.
c. Perilaku
Pada aspek perilaku mencakup gejala stres kerja dari aspek perilaku yaitu
kehilangan kepercayaan pada orang lain, mudah mempersalahkan orang lain,
meningkatnya kriminalitas dan agresivitas dan mudah membatalkan janji.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek-
aspek stres kerja menurut Menurut Beehr and Newman (dalam Umam, 2010), yaitu:
psikologis, fisiologis, dan perilaku, sedangkan aspek-aspek stres kerja menurut
Schultz dan Schultz (dalam Almasitoh, 2011), yaitu: fisiologis, psikologis dan
perilaku. Penjabaran beberapa ahli terhadap aspek-aspek stres kerja, maka peneliti
akan menggunakan aspek-aspek stres kerja menurut Beehr and Newman sebagai
indikator untuk penyusunan skala, yaitu meliputi: psikologis, fisiologi, dan
perilaku, karena aspek yang dipaparkan oleh Beehr and Newman lebih rinci dan
lengkap yang diduga dapat mengungkap stres kerja dan aspek dari Beehr and
Newman banyak diaplikasikan oleh beberapa penelitian, seperti penelitian yang
dilakukan oleh Butar (2015), Marchelia (2014), dan Septyani (2008).
15
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja
Menurut Munandar (2014), ada tujuh faktor yang mempengaruhi stres kerja,
yaitu:
a. Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, meliputi:
1) Tuntutan Fisik
Kondisi kerja fisik memiliki dampak terhadap kesehatan mental dan
keselamatan kerja. Kondisi fisik juga mempengaruhi kondisi psikologis
diri seorang tenaga kerja sehingga dapat membangkitkan stres (stressor).
Tuntutan fisik mencakup bising, vibrasi dan hygiene. Ivancevich dan
Matteson (dalam Munandar, 2014) berpendapat bahwa bising yang lebih
dari 80 desibel dan berulangkali didengar untuk jangka waktu yang lama
dapat menimbulkan stres. Bising oleh para pekerja pabrik dinilai sebagai
pembangkit stres yang membahayakan. Dalam penelitian Sutherland dan
Cooper (dalam munandar, 2014) menemukan bahwa kondisi kerja yang
tidak menyenangkan karena adanya getaran dinilai sebagai pembangkit
stres oleh 37% dari pekerja. Lingkungan kerja yang kotor dan tidak sehat
merupakan pembangkit stres.
2) Tuntutan tugas
Tuntutan tugas yang mencakup: (1) shift kerja, berpengaruh pada emosional
dan biologikal karena gangguan ritme circadian dari tidur atau daur keadaan
bangun, pola suhu, dan ritme pengeluaran adrenalin; (2) beban kerja,
dimana beban kerja berlebih dan terlalu sedikit merupakan pembangkit
stres; (3) paparan terhadap resiko dan bahaya, makin besar kesadaran akan
16
bahaya dan akibat dari pembuatan kesalahan, makin besar depresi dan
kecemasan pada individu.
b. Peran individu dalam organisasi
Tenaga kerja bekerja sesuai dengan peran dalam organisasi, artinya setiap
tenaga kerja mempunyai tugas yang harus dilakukan sesuai dengan aturan-
aturan yang berlaku. Namun, tenaga kerja tidak selalu berhasil dalam
memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah karena kurang berfungsinya
peran sehingga hal tersebut menjadi salah satu pembangkit stres. Ketidakjelasan
prosedur dan tugas-tugas menyebabkan tenaga kerja merasakan ketaksaan atau
ambigu dalam peran seperti ketidakjelasan dari sasaran-sasaran kerja,
kesamaran tanggung jawab, dan ketidakjelasan tentang prosedur kerja (Everly
dan Girdano dalam Munandar, 2014). Kahn dkk. (dalam Munandar, 2014)
berpendapat bahwa stres yang timbul karena ketidakjelasan sasaran akhirnya
mengarah ketidakpuasan pekerjaan, kurang memiliki kepercayaan diri, rasa diri
tidak berguna, rasa harga diri yang menurun, depresi, motivasi rendah untuk
bekerja, peningkatan tekanan darah dan detak nadi.
c. Pengembangan karier, meliputi:
1) Ketidakamanan Kerja
Perubahan lingkungan kerja menimbulkan masalah baru yang berdampak
pada perusahaan. Reorganisasi dirasa perlu untuk menghadapi perubahan
lingkungan yang lebih baik. Sebagai akibatnya adanya pekerjaan lama yang
hilang dan adanya pekerjaan yang baru sehingga individu akan mengalami
ketakutan kehilangan pekerjaan, ancaman bahwa pekerjaan yang individu
17
lakukan tidak diperlukan lagi. Setiap reorganisasi menimbulkan
ketidakpastian pekerjaan, yang merupakan sumber stres yang potensial.
2) Over dan Under-Promotion
Munandar (2014) mengatakan bahwa peluang dan kecepatan promosi tidak
sama setiap saat. Dalam pertumbuhan organisasi yang cepat, banyak
kedudukan pimpinan memerlukan tenaga, dalam keadaan sebaliknya,
organisasi terpaksa harus memperkecil diri, tidak ada peluang untuk
mendapatkan promosi, akan tetapi yang timbul ialah kecemasan akan
kehilangan pekerjaan. Brook (dalam munandar, 2014) mengajukan kajian-
kajian kasus tenaga kerja yang menunjukkan gangguan perilaku yang
merentang dari gejala-gejala psikologikal minor dan keluhan-keluhan
psikosomatik sampai ke gangguan-gangguan mental yang lebih parah
sebagai hasil dari over dan under-promotion.
d. Hubungan dalam pekerjaan
Hubungan yang baik antar anggota dalam satu kelompok dianggap sebagai
faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi (Argyris & Cooper dalam
Munandar, 2014). Hubungan kerja yang tidak baik ditunjukkan dengan gejala-
gejala adanya kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah,
dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi (Kahn, dkk.
dalam Munandar, 2014). Perilaku yang kurang menenggang rasa dari atasan
tampaknya menimbulkan rasa tekanan dari pekerjaan yang ketat dan
pemantauan untuk kerja yang kaku dapat dirasakan sebagai penuh stres.
18
e. Struktur dan iklim organisasi
Bagaimana para tenaga kerja mempersepsikan kebudayaan, kebiasaan dan iklim
dari organisasi merupakan hal penting dalam memahami sumber-sumber stres
potensial sebagai hasil dari beradanya mereka dalam organisasi. Bekerja dalam
iklim organisasi yang positif akan membawa emosi dan perasaan yang positif
sehingga dapat memberikan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan
harmonis. Sebaliknya iklim organisasi negatif akan membawa emosi negatif
yang menyebabkan individu mengalami tekanan psikologis, ketidakpuasan
kerja, melalaikan pekerjaan, dan akhirnya menyebabkan karyawan menghindari
pekerjaan dan menimbulkan stres (Ahghar dalam Abdillah, dkk., 2016)
f. Tuntutan dari luar organisasi/pekerjaan
Kehidupan individu yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa
kehidupan dan kerja di dalam satu organisasi meliputi isu-isu tentang keluarga,
krisis kehidupan, keyakinan-keyakinan pribadi dan organisasi yang
bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan dapat
menyebabkan tekanan pada individu.
g. Ciri-ciri individu
Stres juga ditentukan oleh individu, sejauh mana individu melihat situasinya
sebagai penuh stres. Reaksi-reaksi psikologis, fisiologis dan dalam perilaku
adalah hasil dari interaksi situasi dengan individunya, mencakup ciri-ciri
kepribadian yang khusus dan pola-pola perilaku yang didasarkan pada sikap,
kebutuhan, nilai-nilai, pengalaman lalu, keadaan kehidupan dan kecakapan.
19
Sheridan dan Radmacher (dalam Almasitoh, 2011) menjelaskan tiga faktor
penyebab stres, yaitu:
a. Faktor lingkungan
Lingkungan yang memiliki ketidakpastian menjadi salah satu menyebab stres
kerja, seperti ketidakpastian ekonomi, politik dan perubahan teknologi. Kondisi
organisasi tersebut dapat mempengaruhi individu yang terlibat dalam
organisasi.
b. Faktor organisasional
Kondisi organisasi yang dapat mempengaruhi kinerja individu. Kondisi-kondisi
tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:
1) Karakteristik intrinsik dalam pekerjaan
Karakteristik intrinsik tersebut antara lain: a) tuntutan kerja, otonomi,
keragaman tugas, tingkat otomatisasi, dan desain kerja; b) beban kerja, tugas
yang berlebihan dapat menyebabkan stres kerja dan sebaliknya, beban kerja
yang terlalu ringan akan dapat menyebabkan stres kerja yang sama besarnya
(Gibson, dkk. dalam Almasitoh, 2011)
2) Karakteristik peran individu
Karakteristik yang berhubungan dengan peran individu, yaitu: a) konflik
peran, muncul ketika terjadi ketidakseimbangan antara tugas dan standar,
nilai-nilai pada diri individu atau keluarga individu (Schultz, Luthans,
dalam Almasitoh, 2011); b) ketidak jelasan peran, muncul ketika individu
tidak memahami ruang lingkup, tanggung jawab dan apa yang diharapkan
dalam melaksanakan tugas; c) beban peran, berhubungan dengan tuntutan
20
yang terlalu tinggi atau terlalu rendah bagi pemegang jabatan (Anaroga,
dalam Almasitoh, 2011); d) ketiadaan kontrol, terjadi ketika individu
merasa tidak mempunyai kontrol atas lingkungan kerja atau sikap dalam
bekerja (Riggio dalam Almasitoh, 2011).
3) Karakteristik lingkungan sosial
Kondisi sosial yang menjadi sumber stres terdapat pada pola hubungan antar
rekan kerja, atasan dengan bawahan, dan dengan klien atau konsumen.
Hubungan yang kurang baik antar kelompok kerja akan mempengaruhi
kesejahteraan individu dan organisasi (Gibson dalam Almasitoh, 2011).
4) Iklim organisasi
Karakteristik khas yang bersifat relatif tetap dari lingkungan suatu
organisasi yang membedakan dengan organisasi lainnya. Iklim organisasi
meliputi sistem penggajian, disiplin kerja dan proses pengambilan
keputusan.
5) Karakteristik fisik lingkungan kerja
Kondisi fisik yang dapat menyebabkan stres kerja, seperti polusi bahan
kimia, penggunaan asbes, polusi asap rokok, batu bara dan kebisingan
(Napoli, dkk. dalam Almasitoh, 2011)
c. Faktor individual
Terdapat dalam kehidupan pribadi individu diluar pekerjaan, seperti masalah
keluarga dan ekonomi.
21
Berdasarkan pendapat-pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan faktor-faktor
yang mempengaruhi stres kerja menurut munandar (2014), yaitu: a) faktor-faktor
intrinsik dalam pekerjaan yang meliputi tuntutan fisik dan tuntutan tugas; b) peran
individu dalam organisasi meliputi konflik peran dan ketaksaan peran; c)
pengembangan karier; d) hubungan dalam pekerjaan; e) struktur dan iklim
organisasi; f) tuntutan dari luar organisasi atau pekerjaan; g) ciri-ciri individu,
sedangkan menurut Sheridan dan Radmacher (dalam almasitoh, 2011), faktor yang
mempengaruhi stres, yaitu: a) faktor lingkungan; b) faktor organisasional, meliputi
karakteristik intrinsik dalam pekerjaan, karakteristik peran individu, karakteristik
lingkungan sosial, iklim organisasi dan karakteristik fisik lingkungan kerja; c)
faktor individual.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka faktor yang dipilih dalam penelitian ini
adalah iklim organisasi sehingga iklim organisasi dijadikan sebagai variabel
prediktor. Peneliti menjadikan iklim organisasi sebagai variabel prediktor karena
iklim organisasi yang positif dapat menciptakan lingkungan kerja yang kondusif,
sehingga menciptakan lingkungan kerja yang harmonis. Bekerja dalam iklim
organisasi yang positif akan membawa emosi dan perasaan positif pada karyawan
sehingga dapat mengurangi stres kerja (Ahghar dalam Abdillah, dkk., 2016). Hal
ini sejalan dengan penelitian Angelina dan Ratnasari (2016) yang menemukan
bahwa iklim organisasi berpengaruh negatif terhadap stres kerja karyawan. Hal
tersebut ditunjukkan dengan semakin positif iklim organisasi maka semakin rendah
stres kerja karyawan, dan sebaliknya semakin negatif iklim organisasi maka
semakin tinggi stres kerja karyawan.
22
B. Iklim Organisasi
1. Pengertian iklim organisasi
Iklim organisasi adalah persepsi anggota organisasi (individu atau kelompok)
dan secara tetap berhubungan dengan organisasi mengenai apa yang ada atau yang
terjadi dilingkungan internal organisasi secara rutin, yang mempengaruhi sikap dan
perilaku individu dan organisasi (Wirawan, 2007). Schanke (dalam Abdillah, dkk.,
2016) mendefinisikan iklim organisasi ialah deskripsi karyawan tentang kebijakan,
praktik dan kondisi yang ada dilingkungan kerja. Firmansyah dan santi (dalam
Putra, 2016) berpendapat bahwa iklim organisasi ialah aspek eksternal pekerjaan
yang mempengaruhi pekerja dalam menyesuaikan tugas yang mencakup
lingkungan pekerjaan, hubungan atasan dan rekan kerja dalam organisasi.
Lebih lanjut, Tagiuri dan Litwin (dalam Wirawan, 2007) berpendapat bahwa
iklim organisasi merupakan kualitas lingkungan internal organisasi yang secara
relatif terus berlangsung, dialami oleh anggota organisasi dan mempengaruhi
perilaku mereka dan dapat dilukiskan dalam pengertian satu set karakteristik atau
sifat perilaku. Iklim organisasi yang baik sangat penting untuk diciptakan karena
hal itu merupakan persepsi seorang karyawan tentang apa yang diberikan oleh
organisasi dan kemudian menjadi dasar penentuan tingkah laku bagi karyawan
(Sari, 2009). Susanty (2012) menyebutkan iklim organisasi setiap organisasi
dengan organisasi yang lain tentunya berbeda-beda, iklim organisasi yang berbeda-
beda tersebut dapat mempengaruhi perilaku Sumber Daya Manusia (SDM) yang
berada dalam organisasi. Karyawan akan merasakan bahwa iklim yang ada didalam
23
perusahaannya baik dan menyenangkan apabila karyawan dapat melakukan sesuatu
yang bermanfaat bagi perusahaan dan menimbulkan perasaan berharga.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti menyimpulkan iklim organisasi
ialah persepsi anggota organisasi yang berhubungan dengan lingkungan internal
organisasi yang secara relatif terus berlangsung yang mempengaruhi karyawan
dalam bekerja dan hubungan antara atasan dan rekan kerja dalam organisasi.
2. Aspek-aspek Iklim Organisasi
Menurut Stringer (2002) menyatakan iklim organisasi dapat dilihat dari
enam dimensi, yaitu:
a. Struktur
Struktur organisasi yang baik ditunjukkan dengan karyawan diorganisasi
dengan baik dan mempunyai peran dan tanggung jawab yang jelas dalam
lingkungan organisasi (Stringer, 2002). Hal tersebut membuat karyawan dapat
merealisasikan harapan-harapan dari peran yang dimiliki karyawan (Munandar,
2014)
b. Standar-standar
Standar-standar dalam organisasi mengukur perasaan tekanan untuk
meningkatkan kinerja dan tingkat kebanggan yang dimiliki karyawan dalam
melakukan pekerjaan dengan baik.Standar-standar tinggi artinya karyawan
selalu berupaya mencari jalan untuk meningkatkan kinerja.Sebaliknya standar
rendah merefleksikan harapan yang lebih rendah untuk kinerja.
24
c. Tanggung Jawab
Tanggung jawab merujuk bahwa karyawan seperti menjadi bos diri sendiri atas
pekerjaan karyawan tersebut dan tidak memerlukan keputusan dari atasan atau
anggota organisasi. Persepsi karyawan tinggi menunjukkan bahwa karyawan
organisasi merasa didorong untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dan
memecahkan masalah sendiri.
d. Penghargaan
Rewards atau penghargaan ialah sesuatu yang diterima oleh karyawan sebagai
pengganti kontribusi jasa karyawan pada perusahaan. Penghargaan
mengindikasikan bahwa anggota organisasi merasa dihargai secara konsisten
jika karyawan dapat menyelesaikan tugas sesuai dengan yang diharapkan.
Penghargaan rendah artinya penyelesaian pekerjaan dengan baik diberi imbalan
secara tidak konsisten.
e. Dukungan
Dukungan merefleksikan rasa percaya dan saling mendukung yang terus
berlangsung diantara karyawan dalam kelompok kerja. Dukungan tinggi jika
karyawan merasa bagian dalam tim yang berfungsi dengan baik dan merasa
memperoleh bantuan dari atasan jika mengalami kesulitan dalam tugas.
f. Komitmen
Merujuk pada rasa bangga karyawan terhadap organisasinya dan derajat
keloyalan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Perasaan komitmen yang kuat
berasosiasi dengan loyalitas personal. Jika komitmen rendah artinya karyawan
merasa apatis terhadap organisasi dan tujuan organisasi.
25
Schanke (dalam Abdillah, dkk., 2016) membagi menjadi lima dimensi pada
iklim organisasi, yaitu:
a. Partisipasi dan penghargaan
Dimensi yang terdiri dari item yang berhubungan dengan tingkat partisipasi
diperbolehkan dalam menetapkan tujuan dan standar kinerja, juga yang
berkaitan dengan hubungan antara kinerja yang dirasakan dan manfaat serta
penghargaan atas kinerja yang diperoleh.
b. Struktur
Dimensi yang berkaitan dengan kejelasan kebijakan dan prosedur organisasi,
dan kejelasan tujuan dan tugas-tugas.
c. Kehangatan dan dukungan
Terdiri dari hubungan interpersonal antara bawahan dan orang lain dalam
organisasi termasuk manajemen.
d. Standar-standar
Dimensi yang berkaitan dengan standar kinerja, kesulitan tujuan dan tekanan
untuk kinerja.
e. Tanggung Jawab
Dimensi yang mengacu pada tanggung jawab individu dan otonomi
Berdasarkan uraian-uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dimensi iklim
organisasi menurut Stringer (2002) dimensi iklim organisasi meliputi: a) struktur;
b) standar-standar; c) tanggung jawab; d) penghargaan; e) dukungan; f) komitmen,
sedangkan menurut schanke (dalam Abdillah, 2016), yaitu: a) pastisipasi dan
penghargaan; b) struktur; c) kehangatan dan dukungan; d) standar-standar; e)
26
tanggung jawab. Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas, maka peneliti akan
menggunakan dimensi iklim organisasi menurut Stringer (2002) dimensi iklim
organisasi meliputi: a) struktur; b) standar-standar; c) tanggung jawab; d)
penghargaan; e) dukungan; f) komitmen karena aspek yang dipaparkan oleh
Stringer lebih jelas dan lebih rinci untuk di jadikan alat ukur daripada dimensi
menurut Schanke.
C. Hubungan antara Iklim Organisasi dengan Stres Kerja pada
karyawan yang bekerja dengan sistem shift
Perusahaan yang memiliki taget produktivitas yang cukup tinggi harus
membuat suatu sistem kerja yang beroperasi 24 jam dengan membentuk kerja
sistem shift. Selain itu juga dapat mengoptimalkan daya kerja mesin-mesin
sehingga dapat meningkatkan keuntungan perusahaan (Winarsunu dalam
Marchelia, 2014). Bekerja dengan iklim organisasi tertutup akan membawa emosi
dan perasaan negatif bagi karyawan. hal tersebut dapat menimbulkan
ketidakpuasan, tekanan psikologis, melalaikan, ketidakpedulian sehingga
mengarah kepada stres kerja (Ahghar dalam Abdillah, dkk., 2016).
Iklim organisasi yang positif dapat menciptakan lingkungan kerja yang
kondusif dan kerja sama yang harmonis pada setiap anggota dalam organisasi.
Sebaliknya iklim organisasi yang negatif dapat menyebabkan karyawan mengalami
stres kerja sehingga berdampak buruk pada lingkungan kerja dan karyawan itu
sendiri (Moos & Insel dalam Wijono, 2006). Iklim organisasi ialah persepsi anggota
organisasi (individu atau kelompok) dan secara tetap berhubungan dengan
27
organisasi mengenai apa yang ada atau yang terjadi dilingkungan internal
organisasi secara rutin, yang mempengaruhi sikap dan perilaku individu dan
organisasi (Wirawan, 2007). Menurut Stringer (2002) dimensi iklim organisasi
meliputi: a) struktur; b) standar-standar; c) tanggung jawab; d) penghargaan; e)
dukungan; f) komitmen.
Pada aspek struktur, Struktur merupakan cara selaras dalam menempatkan
manusia sebagai bagian organisasi pada suatu hubungan yang relative tetap, yang
sangat menentukan pola-pola interaksi, koordinasi, dan tingkah laku yang
berorientasi pada tugas (Steers dalam Gammahendra, dkk., 2014). Karyawan yang
diorganisasi dengan baik dan mempunyai peran yang jelas dalam lingkungan
organisasi, maka karyawan dapat merealisasikan harapan-harapan dari peran yang
dimiliki sehingga karyawan tidak mengalami kebingungan dan depresi (Munandar,
2014). Sebaliknya informasi yang tidak jelas mengenai harapan yang harus
dipenuhi membuat karyawan harus menjalankan peran yang beragam dan ambigu
sehingga menyebabkan karyawan mengalami kebingungan. Menurut survey yang
dilakukan oleh Kahn dkk. (dalam Hubbard, 1998) menunjukkan bahwa 35%
pekerja merasa bahwa peran yang diberikan tidak jelas sehingga karyawan tidak
mengetahui apa yang seharusnya dilakukan. Ketidakjelasan dan ketidaksesuaian
peran dalam struktur organisasi yang diperoleh karyawan akan menimbulkan
gangguan psikis meliputi kelelahan mental, bingung, depresi dan akhirnya
mengarah ke stres kerja (Hubbard, 1998). Hal tersebut menunjukkan bahwa iklim
organisasi secara struktur mempengaruhi aspek psikologis karyawan yang
merupakan aspek stres kerja.
28
Stringer (2002) mengemukakan bahwa Standar-standar dalam organisasi
mengukur perasaan tekanan untuk meningkatkan kinerja dan tingkat kebanggan
yang dimiliki karyawan dalam melakukan pekerjaan dengan baik. Menurut Atmoko
(dalam Faiz, dkk., 2014) standar kerja adalah pedoman atau acuan untuk
melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja
perusahaan berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif dan prosedural
sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja, dan sistem kerja pada unit kerja yang
bersangkutan. Adanya standar yang tinggi dalam organisasi, maka karyawan akan
bekerja dengan nyaman dan terhindar dari stres kerja sehingga karyawan
berupayauntuk meningkatkan kinerja dan produktivitas kerja karyawan. Sebaliknya
standar yang rendah dalam organisasi menyebabkan karyawan merasa cemas dan
stres sehingga memiliki harapan yang rendah untuk meningkatkan kinerja dan
menurunnya produktivitas kerja karyawan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
standar-standar mempengaruhi aspek psikologis dan aspek perilaku yang
merupakan aspek stres kerja (Stringer,2002).
Pada aspek tanggung jawab, karyawan seperti menjadi bos diri sendiri atas
pekerjaan karyawan tersebut dan tidak memerlukan keputusan dari atasan atau
anggota organisasi dalam menyelesaikan pekerjaan. Persepsi positif karyawan
tersebut di atas menunjukkan bahwa karyawan dalam organisasi merasa
bertanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan dan memecahkan masalah
sendiri sehingga karyawan dapat meningkatkan produktivitas kerja dan mengurangi
tingkat stres kerja karyawan (Stringer,2002). Sebaliknya apabila persepsi karyawan
tersebut di atas negatif dan ketidakcakapan untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan
29
pekerjaan yang diberikan atasan menyebabkan karyawan mengalami kecemasan
dan meningkatnya denyut jantung yang disebabkan oleh ketegangan (Munandar,
2014). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa karyawan yang memiliki
tanggung jawab yang rendah dapat mempengaruhi dua aspek stres kerja yaitu
adanya gangguan psikologis yang ditandai dengan kecemasan dan ketegangan serta
gangguan fisiologis yaitu adanya peningkatan denyut jantung.
Aspek penghargaan, menurut Stringer (2002) penghargaan ialah sesuatu yang
diterima oleh karyawan sebagai pengganti kontribusi jasa karyawan pada
perusahaan. Lebih lanjut Stringer (2002) mengemukakan penghargaan merujuk
bahwa karyawan dihargai dan mendapatkan imbalan jika karyawan menyelesaikan
pekerjaan sesuai yang diharapkan sehingga dapat meningkatkan kepuasan kerja
karyawan yang berdampak pada menurunnya tingkat stres kerja. Hal tersebut
didukung oleh penelitian Fhadilah (2010) semakin tinggi kepuasan kerja karyawan
maka semakin rendah stres kerja dan sebaliknya semakin rendah kepuasan kerja
karyawan maka semakin tinggi stres kerja. Sebaliknya, beberapa penelitian yang
dilakukan oleh para ahli perilaku membuktikan bahwa faktor utama penyebab
ketidakpuasan karyawan adalah sistem penghargaan yang tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan sehingga menimbulkan perilaku negatif terhadap perusahaan yang
dilihat dari menurunnya tingkat kehadiran, kinerja dan produktivitas kerja
(Yudhaningsih dkk., 2016). Hal tersebut menunjukkan penghargaan mempengaruhi
aspek perilaku yang merupakan aspek dari stres kerja.
Aspek dukungan, dukungan ialah informasi dan umpan balik dari orang lain
yang menunjukkan bahwa seseorang diperhatikan, dihargai, dihormati, dan
30
dilibatkan dalam jaringan komunikasi dan kewajiban yang timbal balik (King,
2010). Dukungan merefleksikan rasa percaya dan saling mendukung yang terus
berlangsung diantara karyawan dalam kelompok kerja. Dukungan tinggi jika
karyawan merasa bagian dalam tim yang berfungsi dengan baik (Stringer,2002)
seperti adanya perhatian dari pimpinan, rekan kerja, keluarga serta motivasi akan
menurunkan efek dari stres kerja (Robbins, 2017). Menurut Tellenback, Breuner
dan Lofgren (dalam Almasitoh, 2011) mengemukakan bahwa adanya dukungan
sosial di lingkungan kerja akan mencegah terjadinya tekanan psikologis. Hal
tersebut didukung oleh penelitian Adinda (2011) yang menyebutkan dukungan
sosial dapat menimbulkan pengaruh positif bagi karyawan guna mengurangi stres
kerja. Sebaliknya, dukungan sosial yang rendah di lingkungan kerja akan
berdampak pada tekanan psikologis yang meliputi depresi, ketegangan dan
kecemasan. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan
mempengaruhi psikologis karyawan yang merupakan aspek dari stres kerja.
Pada aspek komitmen, Luthans (dalam Hidayat, 2014) mendefinisikan
komitmen sebagai sikap yang menunjukkan loyalitas karyawan dan merupakan
proses berkelanjutan bagaimana seorang anggota organisasi mengekspresikan
perhatian karyawan kepada kesuksesan dan kebaikan organisasinya. Perasaan
komitmen yang kuat berasosiasi dengan loyalitas personal. Menurut Buchanan dan
Steers (dalam Umam, 2010) komitmen yang kuat menyebabkan terjadinya perilaku
karyawan sesuai dengan yang diharapkan, seperti kurangnya absensi karyawan,
perpindahan ke organisasi lain lebih rendah, dan produktivitas meningkat. Hal
tersebut didukung oleh hasil penelitian Iresa, dkk. (2015) bahwa stres kerja
31
memiliki pengaruh negatif terhadap komitmen, artinya semakin tinggi stres kerja
maka akan semakin rendah komitmen. Sebaliknya komitmen yang rendah artinya
karyawan merasa apatis terhadap organisasi dan tujuan organisasi. Karyawan
dengan komitmen yang rendah tidak akan memberikan yang terbaik kepada
organisasi dan dengan mudah keluar dari organisasi dan komitmen yang rendah
dapat menciptakan suasana tegang dan memicu konflik sehingga menyebabkan
hubungan interpersonal antar karyawan menurun (Trinydia dalam Febrianto dan
Wijayati, 2014). Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan komitmen
mempengaruhi perilaku karyawan yang merupakan aspek dari stres kerja.
Kesimpulan dari penjabaran di atas ialah iklim organisasi meliputi struktur,
standar-standar, tanggung jawab, penghargaan, dukungan, dan komitmen
mempengaruhi tingkat stres kerja. Semakin positif iklim organisasi yang dirasakan
karyawan, maka semakin rendah stres kerja karyawan. Hal ini sejalan dengan
penelitian Abdillah, dkk.(2016) dan Angelina & Ratnaningsih (2016) bahwa
semakin positif iklim organisasi maka semakin rendah tingkat stres kerja.
Sebaliknya, semakin negatif iklim organisasi maka semakin tinggi stres kerja.
D. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini ialah ada hubungan negatif antara iklim
organisasi dengan stres kerja pada karyawan yang bekerja dengan sistem shift.
Semakin positif iklim organisasi yang dirasakan oleh karyawan maka semakin
rendah stres kerja. Sebaliknya, semakin negatif iklim organisasi yang dirasakan
karyawan maka semakin tinggi stres kerja.