Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Astenopia
2.1.1 Definisi Astenopia
Astenopia atau sering disebut sebagai kelelahan visual merupakan kelainan yang
ditandai dengan gejala somatik atau persepsi seperti sakit kepala, penglihatan kabur,
mata kering, dan sensasi benda asing disekitar mata(Guo et al., 2018). Terdapat
hubungan antara gejala dengan jenis aktivitas yang dilakukan. Aktivitas jarak dekat
seperti membaca, menggunakan komputer, smartphone, dan menonton televisi adalah
faktor risiko tersering timbulnya keluhan astenopia(Chandra & Kartadinata, 2018).
Kelelahan mata merupakan gangguan yang dialami mata karena otot-otot (siliaris)
mata yang dipaksa bekerja keras, terutama saat harus melihat objek dekat dalam
jangka waktu lama. Kelelahan mata dapat dikategorikan ke dalam dua jenis yaitu
internal daneksternal. Kelelahan mata internal ditandai perasaan tegang dan sakit di
dalam mata yang disebabkan oleh stres akibat gerakan akomodasi dan
konvergensi.Kelelahan mata eksternal ditandai dengan timbulnya gejala mata kering
dan iritasipada permukaan mata yang disebabkan kondisi lingkungan(Chandra &
Kartadinata, 2018).
2.1.2 Gejala Astenopia
Kelelahan pada mata juga ditandai oleh adanya iritasi pada mata atau
konjungtivitis (konjungtiva berwarna merah dapat mengeluarkan air mata),
8
penglihatan ganda, sakit kepala, daya akomodasi dan konvergensi menurun,
ketajaman penglihatan kepekaan kontras dan kecepatan persepsi(Kurnia, 2009).
Persepsi visual yang mengalami stress hebat tanpa disertai efek lokal pada otot
akomodasi atau retina maka keadaan ini akan menimbulkan kelelahan syaraf. Gejala
umum lainnya yang dapat timbul akibat dari mata lelah adalah sakit punggung dan
vertigo. Penglihatan yang kabur pada penggunaan gadget seperti laptop, notebook ini
dapat bermanifestasi menjadi myopia, hipermetropi dan astigmat(Kurnia, 2009).
2.1.3 Faktor Yang Mempengaruhi Astenopia
Kejadian mata lelah ini tentunya terjadi karena dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu faktor internal dan eksternal.
1) Faktor Internal.. Faktor – factor internal merupakan faktor yang muncul dalam
diri seseorang yang mempengaruhi terjadnya mata lelah yaitu :
a. Umur, semakin tua seseorang lensa semakin kehilangan kekenyalan sehingga
daya akomodasi makin berkurang dan otot-otot semakin sulit dalam
menebalkan dan menipiskan mata. Daya akomodasi menurun pada usia 45 –
50 tahun, menurunnya daya akomodasi. Daya akomodasi merupakan
kemampuan lensa untuk menebal atau menipis sesuai dengan jarak benda
yang dilihat agar bayangan jatuh tepat di retina. Daya akomodasi ini
disebabkan oleh penurunan fisiologis mengakibatkan penurunan fungsi organ
mata sehingga terjadi penurunan kemampuan penglihatan yang dapat dilihat
melalui uji visus. Uji visus ini menggambarkan kemampuan penglihatan
dibanding dengan penglihatan orang normal(Susanti, 2016).
9
b. Kelainan refraksi
Kelainan Refraksi, yaitu keadaan bayangan tegas yang tidak dibentuk di retina.
Kelainan refraksi terjadi akibat ketidak seimbangan sistem optic pada mata
sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Kelainan refraksi ini sangat
berpotensi kejadian mata lelah karena daya akomodasi pada mata sudah
menurun(Susanti, 2016).
2) Faktor External. Faktor eksternal merupakan pengaruh yang berasal dari luar
individu yang dapat membuat mata lelah seperti :
a. Tingkat Pencahayaan (Illumination Levels), pencahayaan yang baik
memungkinkan tenaga kerja melihat obyek-obyek yang dikerjakannya secara
jelas, cepat dan tanpa upaya-upaya yang tidak perlu. Selain itu, penerangan
yang buruk dapat berakibat pada kelelahan mata dengan berkurangnya
kinerja. Pencahayaan lingkungan yang memadai baik yang alami atau buatan
memegang peranan yang cukup penting dalam upaya peningkatan kesehatan,
keselamatan dan produktivitas tenaga kerja(Susanti, 2016).
b. Lama paparan, waktu yang lama menyebabkan mata untuk melihat secara
terus– menerus pada monitor. Berada di depan monitor dengan waktu lebih
dari 2 (dua) jam beresiko mengalami refraksi pada mata. Objek yang terlalu
kecil dan dengan bentuk yang rumit membuat mata berupaya lebih focus,
sehingga mata dipaksa untuk bekerja lebih keras. Berdasarkan penelitian
Permana (2015) berada lama didepan monitor dapat menyebabkan kelelahan
pada mata, serta gejala-gejala lainnya yang timbul. Pengguna gadget merasakn
mata lelah di akibat karena memusatkan pandangan pada monitor di mana
obyek yang dilihat terlalu kecil. Menyebabkan mata berkonsentrasi dan
10
kurang berkedip, sehingga penguapan air mata meningkat dan mata menjadi
kering. Mata lelah harus diputuskan mata rantainya dengan berada
mengurangi waktu di depan monitor atau banyak mengistirahatkan mata.
Lama paparan ini dapat di kategorikan sebagai berikut; Ringan (kurang dari 2
jam), Sedang (2-4 jam) dan berat (lebih dari 4 jam)(Kurmasela, Saerang, &
Rares, 2013).
c. Kualitas tidur yang buruk. Penelitian Han et al (2014) menyebutkan Kualitas
tidur yang buruk dapat meningkatkan resiko seseorang untuk terkena
Astenopia
2.1.4 Cara Mengurangi Gejala Astenopia
Mata lelah akibat stress atau penggunaan mata yang terlalu ekstra ini dapat
dikurangi dengan beberapa cara seperti :
1. Blink (kedipan mata), refleks berkedipnya berkurang 66% yaitu 3-6 kali per
menit saat berada di depan monitor. Menyebabkan mata menjadi kering, selain
itu juga menyebabkan ketegangan pada otot mata. Pada keadaan normal mata
manusia berkedip 15-20 kali per menit. berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Crnovrsanin, Wang dan Liu Ma (2014) dimana mereka meneliti pengaruh
kedipan mata untuk mengurangi mata lelah. Hasil dari penelitian ini
mengungkapkan bahwa dengan mengedipkan mata, berhasil mengurangi gejala
mata lelah seperti mata yang kering dan perih.
2. Eye exercises, melakukan terapi pada mata dapat membantu mata menjadi sehat,
dan mengurangi ketidaknyamanan pada mata. Melatih mata diharapkan mata
dapat menjadi lebih segar karena sirkulasi darah pada mata menjadi
lancar(Bansal & Moudgil, 2014).
11
3. Lubricating eye drops, merupakan intervensi farmakologi dengan meneteskan pada
mata. Mata yang telah ditetesi diharapkan akan mengurangi gejala mata kering
saat berada didepan monitor (Bansal & Moudgil, 2014).
2.1.5 Pengukuran Astenopia
Pengukuran astenopia dapat dilakukan menggunakan kuesioner. Kuesioner
adalah pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan dari responden(Nazir, 2014). Kuesioner yang akan digunakan dalam
penelitian ini diadopsi dari Vardanjani et al (2014)
yang berjudul “Designing and validation a visual fatigue questionnaire for video display
terminals operators”. Instrument berjumlah 15 items, terdiri dari 4 pertanyaan
mengenai mata lelah, 5 pertanyaan mengenai penglihatan buruk, 3 pertanyaan
mengenai gejala pada permukaan mata yang memburuk dan 3 pertanyaan mengenai
gejala yang dirasakan selain pada daerah mata. Kemudian kuesioner akan
dijumlahkan dan di skor untuk mengetahui responden masuk pada kategori
tingkatan mata lelah.
2.2 Konsep Tidur
2.2.1 Definisi Tidur
Tidur merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin Somnus yang berarti alami
periode pemulihan, keadaan fisiologis dari istirahat untuk tubuh dan pikiran. Tidur
merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi semua orang. Tidur yang cukup
akan membuat tubuh berfungsi secara optimal. Tidur adalah status perubahan
kesadaran ketika persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun.
Hampir sepertiga dari waktu yang dimiliki digunakan untuk tidur. Seseorang
12
dikatakan sedang tidur jika terdapat tanda-tanda, yaitu adanya aktivitas yang minim,
tingkat kesadaran yang bervariasi, terjadi perubahan proses fisiologis tubuh dan
terjadi penurunan respons terhadap rangsangan dari luar. Selama tidur tubuh
mengalami perubahan fisiologis, yaitu penurunan tekanan darah dan denyut nadi,
dilatasi pembuluh darah perifer, relaksasi otot-otot rangka, basal metabolic rate (BMR)
menurun 10-30(Mubarak, 2016).
2.2.2 Fisiologi Tidur
Fisiologis tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya hubungan
mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifkan dan menekan pusat
otak suatu aktifitas yang melibatkan system saraf pusat, saraf perifer, endokrin
kardiovaskular, dan respirasi muskulokeletal. Sistem yang mengatur siklus atau
perubahan dalam tidur adalah reticular activating system (RAS) dan bulbar
synchronizing regional (BSR) yang terletak pada batang otak(Mubarak, 2016).
RAS berlokasi pada batang otak teratas. RAS terdiri dari sel yang
mempertahankan kewaspadaan dan terjaga. RAS menerima stimulus sensori visual,
auditori, nyeri, dan taktil. Aktivitas korteks serebral (missal, proses emosiatau
pikiran) juga menstimulasi RAS. Keadaan terjaga atau siaga yang berkepanjangan
sering dihubungkan dengan gangguan proses berpikir yang progresif dan terkadang
dapat menyebabkan aktivitas perilaku yang abnormal. Para peneliti meyakini bahwa
kenaikan sistem yang mengaktifkan retikular (Reticular Activating Sistem/RAS) yang
terletak di bagian atas batang otak memuat sel-sel khusus yang mempertahankan
kondisi sadar dan terjaga. RAS menerima stimulus indra penglihatan, pendengaran,
nyeri, dan peraba. Aktivitas dari korteks serebral (misal:emosi dan proses berpikir)
juga menstimulasi RAS. Gairah, keadaan terjaga, dan keadaan tetap sadar dihasilkan
13
dari saraf di dalam RAS yang melepaskan katekolamin seperti norepinefrin(Perry &
Potter, 2010).
Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dalam sistem tidur raphe
pada pons dan otak depan bagian tengah. Daerah juga disebut bulbar synchronizing
region (BSR). Ketika individu mencoba tertidur, mereka akan menutup mata dan
berada dalam keadaan rileks. Stimulus ke SAR menurun. Jika ruangan gelap dan
tenang, aktivasi RAS selanjutnya akan menurun. BSR mengambil alih yang
kemudian menyebabkan tidur(Mubarak, 2016).
2.2.3 Fungsi Tidur
Tubuh membutuhkan tidur secara rutin untuk memulihkan proses biologis
tubuh. Selama tidur, gelombang lambat dan dalam (NREM tahap 4), tubuh
melepaskan hormon pertumbuhan manusia untuk perbaikan dan pembaruan sel
epitel dan sel-sel yang khusus seperti sel-sel otak (Perry & Potter, 2010). Pada saat
tidur, tubuh akan meregenerasi sel-sel yang rusak menjadi baru. Tidur juga
membuat produksi hormon pertumbuhan menjadi lancar, meningkatkan kekebalan
tubuh dari serangan penyakit, memlihara fungsi jantung, serta menambah
konsentrasi dan kemampuan fisik(Wahyudi & Wahid, 2016).
14
2.2.4 Tahapan Tidur
Tidur terdiri dari 2 tahap, yaitu REM (Rapid Eye Movement)dan NREM (Non
Rapid Eye Movement)(Wahyudi & Wahid, 2016).
Gambar 2. 1Tahapan tidur
1. NREM (Non Rapid Eye Movement)
Pola tidur biasa atau biasa disebut NREM(Non Rapid Eye Movement= gerakan
mata tidak cepat). Pola tidur NREM merupakan tidur yang nyaman dan dalam
tidur gelombang pendek karena gelombang otak selama NREM lebih lambat
daripada gelombang alpha dan beta pada orang yang sadar atau tidak tidur.
Tanda – tanda tidur NREM yaitu mimpi berkurang, otot mulai relaksasi,
tekanan darah turun, kecepatan pernafasan turun, metabolisme turun, gerakan
mata lambat. Fase NREM ini berlangsung sekitar 1 jam. Pada fase ini biasanya
orang masih bisa mendengarkan suara disekitarnya sehingga akan mudah
terbangun. Tidur Nrem mempunyai 4 tahap yang masing-masing ditandai
dengan pola gelombang otak(Wahyudi & Wahid, 2016).
Tahap Tidur
NREM/tidur
biasa
REM/tidur
paradoksal/tidur
nyenyak
Tahap 1 Tahap 2
2
Tahap 3 Tahap 4
15
a. Tahap I
Merupakan saat dimana seseorang baru memasuki tidur. Berlangsung selama 5
menit. Penurunan aktivitas fisiologis yang diawali dengan bertahapnya
penurunan tanda vital dan metabolisme, seluruh otot menjadi lemas, kelopak
mata menutupi mata, dan kedua bola matabergerak bolak-balik ke kedua sisi.
Seseorang yang tidur pada tahap I dapat dibangunkan dengan mudah, ketika
bangun seseorang merasa seperti melamun.
b. Tahap II
Merupakan tahap tidur ringan dan proses tubuh semakin menurun. Mata masih
bergerak-gerak, mudah terjaga, serta fungsi tubuh yang terus melambat. Tahap
berlangsung selama 10-15menit.
c. Tahap III
Merupakan tahap awal tidur nyenyak. Gelombang otak menjadi lebih teratur.
Seseorang sulit untukdibangunkan dan digerakkan, ditandai dengan keadaan
otot yang menjadi relaks, tanda-tanda vital mengalami penurunan tetapitetap
teratur. Tahap ini berlangsung selama 15-30 menit.
d. Tahap IV
Merupakan tahap terdalam dari tidur. Sangat sulit untuk dibangunkan. Jika
sudah tertidur seseorang akan menghabiskan sebagian besar dari malam dalam
tahap ini. Tanda-tanda vital secara signifikan lebih rendah daripada jam
bangun. Tahap ini berlangsung sekitar 15-30 menit. Kadang bisa terjadi tidur
sambil berjalan danenuresis atau mengompol.
16
2. REM (Rapid Eye Movement ) atau Pola Tidur Paradoksial
REM ditandai dengan gerakan mata yang cepat dan tiba-tiba peningkatan aktivitas
saraf otonom serta munculnya mimpi. Pada tidur REM terdapat fluktuasi luas dari
tekanan darah, denyut nadi dan frekuensi nafas. Keadaan ini disertai dengan
penurunan tonus otot, peningkatan aktivitas otot involunter (gerakan bola mata
yang cepat atau rapid eye movement), dan lebih sulit dibangunkan. REM disebut juga
aktivitas otak yang tinggi dalam tubuh yang lumpuh atau tidur paradox.
2.2.5 Kebutuhan Tidur Berdasarkan Usia
Berbeda usia maka berbeda pula kebutuhan akan waktu tidur. Semakin tua usia,
maka semakin sedikit waktu tidur yang dibutuhkakan(Mubarak, 2016).
1. Bayi baru lahir/masa neonatus (0-1bulan)
Tidur 14-18 jam sehari, pernafasan teratur, gerak tubuh sedikit, 50% tidur
NREM, banyak waktu tidurnya dilewatkan pada tahap III dan IV tidur NREM.
Setiap siklus sekitar 45 – 60 menit.
2. Masa bayi (1-8 bulan)
Tidur 12-14 jam sehari, 20-30% tidur REM, tidur lebih lama pada malam hari
dan punya pola terbangun sebentar.
3. Toodler/masa anak (18 bulan sampai 3 tahun)
Tidur sekitar 10-11 jam sehari. Ada teori yang menyatakan 11-12 jam sehari,
25% tidur REM, banyak tidur pada malam hari, terbangun dini hari berkurang,
siklus bangun tidur normal sudah menetap pada umur 2-3 tahun.
17
4. Prasekolah (3-6 tahun)
Tidur sekitar 11 jam sehari, 20% tidur REM, periode terbangun kedua hilang
pada umur 3 tahun. Pada umur 5 tahun tidur siang tidak ada, kecuali kebiasaan
tidur sore hari.
5. Usia sekolah (6-12 tahun)
Tidur sekitar 10 jam sehari, 18,5% tidur REM. Sisa waktu tidur relatif konstan.
6. Remaja (12-18 tahun)
Tidur sekitar 8,5 jam sehari, 20% tidur REM.
7. Dewasa muda (18-40 tahun)
Tidur sekitar 7-9 jam sehari, 20-25% tidur REM, 5-10 % tidur tahap 1, 50%
tidur tahap II, dan 10-20% tidur tahap III dan IV.
8. Dewasa pertengahan (40-60 tahun)
Tidur sekitar tujuh jam sehari, 20% tidur REM, Mungkin mengalami insomnia
dan sulit untuk tidur.
9. Dewasa tua (60 tahun)
Tidur sekitar 6 jam sehari, 20-25 % tidur REM, tidur tahap IV nyata berkurang
kadang-kadang tidak ada. Mungkin mengalami insomnia dan sering terbangun
sewaktu tidur di malam hari.
2.2.6 Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah suatu keadaan tidur yang dijalani seorang individu
menghasilkan kesegaran dan kebugaran saat terbangun. Kualitas tidur mencakup
aspek kuantitatif dari tidur, seperti durasi tidur, latensi tidur serta aspek subjektif
dari tidur. Kualitas tidur adalah kemampuan setiap orang untuk mempertahankan
keadaan tidur dan untuk mendapatkan tahap tidur REM dan NREM yang pantas.
18
Indikator atau ciri-ciri untuk mengetahui tidur yang berkualitas adalah dengan
merasakan apakah badan merasa segar dan fresh setelah terbangun dan tidur merasa
lelap(Hidayat & Uliyah, 2015).
2.2.7 Faktor yang Mempengaruhi Kuantitas dan Kualitas Tidur
Pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur berbeda-beda tiap orang. Ada yang
kebutuhannya terpenuhi dengan baik, ada yang mengalami gangguan. Kualitas dan
kuantitas tidur seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor(Mubarak, 2016).
1. Status kesehatan/penyakit. Seseorang dengan kondisi tubuh yang sehat akan
dapat tidur dengan nyanyak. Penyakit dapat menyebabkan nyeri atau distress
fisik yang akan menyebabkan gangguan tidur. Disamping itu, siklus bangun-
tidur selama sakit juga dapat mengalami gangguan. Misalnya pada klien yang
menderita gangguan pada sistem pernafasan. Dalam kondisinya yang sesak
nafas, maka seseorang tidak dapat istirahat dean tidur.
2. Lingkungan. Faktor lingkungan dapat membantu sekaligus menghambat proses
tidur. Pada lingkungan yang tenang memungkinkan seseorang dapat tidur
dengan nyenyak dan sebaliknya. Sebagai contoh, temperatur yang tidak nyaman
(ramai, ribut, bisisng, dll) atau ventilasi yang buruk akan menyebabkan
seseorang sulit untuk tidur. Namun sebaliknya jika lingkungan nyaman, akan
membuat dan mempercepat tidur seseorang, meskipun seiring waktu, individu
bisa beradaptasi dan tidak lagi terpengaruh dengan kondisi tersebut.
3. Aktifitas Fisik. Kondisi tubuh yang lelah dapat mempengaruhi pola tidur
seseorang. Semakin lelah seseorang, semakin pendek siklus tidur REM yang
dilaluinya. Setelah beristirahat biasanya siklus REM akan kembali memanjang.
19
4. Gaya Hidup. Kelelahan dapat mempengaruhi pola tidur seseorang. Kelelahan
tingtkat menengah orang dapat tidur dengan nyenyak. Sementara pada
kelelahan yang berlebihan akan menyebabkan periode tidur REM lebih pendek.
Individu yang sering berganti jam kerja harus mengatur aktivitasnya agar dapat
tidur pada waktu yang tepat.
5. Stres emosional. Ansietas dan depresi seringkali mengganggu tidur seseorang.
Kondisi ansietas dapat meningkatkan kadar Norepinefrin darah melalui
stimulasi sistem saraf simpatis. Kondisi ini meyebabkan berkurangnya siklus
tidur NREM tahap IV dan tidur REM serta seringnya terjaga saat tidur.
6. Stimulan dan alkohol. Kafein yang terkandung dalam beberapa minuman dapat
merangsang SSP sehingga dapat mengganggu pola tidur. Sementara konsumsi
alkohol yang berlebihan dapat mengganggu siklus tidur REM. Alkohol
menekan REM secara normal, sesorang yang tahan minum alkohol dapat
meyebabkan insomnia dan lekas marah, ketika pengaruh alkohol telah hilang,
individu seringkali mengalami mimpi buruk.
7. Diet atau nutrisi. Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat
mempercepat proses tidur. Protein yang tinggi seperti pada keju, susu, daging,
dan ikan tuna dapat mempercepat proses tidur, karena adanya L-Triptofan yang
merupakan asam amino dari protein yang dicerna. Sebaliknya, minuman yang
mengandung kafein atau alkohol akan menggangu tidur. Penurunan berat
badan dikaitkan dengan penurunan waktu tidur dan seringnya tejaga di malam
hari. Sebaliknya, penambahan berat badan dikaitkan dengan peningkatan total
tidur dan sedikitnya periode terjaga dimalam hari.
20
8. Merokok. Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki efek stimulasi pada
tubuh. Akibatnya, perokok seringkali kesulitan untuk tidur dan mudah
terbangun dimalam hari.
9. Medikasi. Oabt-obatan tertentu dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang.
Hipnotik dapat menganggu tahap III dan IV NREM, beta-bloker dapat
meyebabkan insomnia dan mimpi buruk, sedangkan narkotik (misalnya,
meperidin hidroklorida dan morfin) diketahui dapat menekan tidur REM dan
menyebabkan seringnya terjaga dimalam hari.
10. Motivasi. Motivasi dapat mempengaruhi dan dapat menimbulkan keinginin
untuk tetap bangun dan menahan tidak tidur sehingga dapat menimbulkan
gangguan proses tidur, sebab keinginan untuk tetap terjaga terkadang dapat
menutupi perasaan lelah seseorang. Sebaliknya, perasaan bosan atau tidak
adanya motivasi untuk terjaga seringkali dapat mendatangkan kantuk.
2.2.8 Pengukuran Kualitas Tidur
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) adalah instrument efektif yang digunakan
untuk mengukur kualitas tidur dan pola tidur orang dewasa. PSQI dikembangkan
untuk mengukur dan membedakan individu dengan kualitas tidur yang baik dan
kualitas tidur yang buruk. Kualitas tidur merupakan fenomena yang kompleks dan
melibatkan beberapa dimensi yang seluruhnya dapat tercakup dalam PSQI. Dimensi
tersebut antara lain kualitas tidur subjektif, sleep latensi, durasi tidur, gangguan
tidur, efesiensi kebiasaan tidur, penggunaan obat tidur , dan disfungsi tidur pada
siang hari. Dimensi tersebut dinilai dalam bentuk pertanyaan dan memiliki bobot
penialaian masing-masing sesuai dengan standar baku(Mirghani, Mohammed,
Almurtadha, & Ahmed, 2015).
21