Upload
vophuc
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan dalam arti umum adalah suatu kemampuan umum yang
membedakan kualitas orang yang satu dengan orang yang lain Joseph (1978).
Kecerdasan intelektual lazim disebut dengan inteligensi. Istilah ini dipopulerkan
kembali pertama kali oleh Francis Galton, seorang ilmuwan dan ahli matematika
yang terkemuka dari Inggris Joseph (1978). Inteligensi adalah kemampuan
kognitif yang dimiliki organisme untuk menyesuaikan diri secara efektif pada
lingkungan yang kompleks dan selalu berubah serta dipengaruhi oleh faktor
genetik Galton dalam Joseph (1978).
Menurut Moustafa dan Miller (2003) dimensi yang membentuk
kamampuan intelektual yaitu meliputi:
1) Kecerdasan numeric yaitu kecerdasan dalam menangkap serta mengeloha
angka dan data
2) Pemahaman verbal yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan kepandaian
membaca, menulis dan berbicara.
3) Kecepatan Persepsi yaitu kemampuan mengidentifikasi kemiripan dan
perbedan visual dengan cepat dan akurat.
4) Penalaran induktif yaitu kemampuan mengidentifikasi urutan logis dalam
sebuah masalah dan memecahkan masalah itu.
5) Penalaran deduktif yaitu kemampuan menggunkan logika dan menilai
implikasi dari sebuah argumen.
13
6) Visualisasi spasial yaitu kemampuan membayangkan bagaimana sebuah objek
akan terlihat bila posisi dalam ruangan diubah.
7) Ingatan yang baik yaitu kemampuan membayangkan bagaimana sebuah objek
akan terlihat bila posisi dalam ruangan diubah.
Spearman mengelompokan inteligensi ke dalam dua kategori. Kategori
yang pertama adalah g faktor atau biasa disebut dengan kemampuan kognitif yang
dimiliki individu secara umum, misalnya kemampuan mengingat dan berpikir.
Kategori yang kedua disebut dengan s faktor yaitu merupakan kemampuan khusus
yang dimiliki individu, Eysenck (1981). G faktor lebih merupakan potensi dasar
yang dimiliki oleh setiap orang unuk belajar dan beradaptasi. Intelligensi ini
dipengaruhi oleh faktor bawaan. Faktor s merupakan intelligensi yang
dipengaruhi oleh lingkungan sehingga faktor s yang dimiliki oleh orang yang satu
akan berbeda dengan orang yang lain. Setiap faktor s pasti mengandung faktor g.
Raven dalam Fabiola (2005), memberikan pengertian yang lain.
Ia mendefinisikan inteligensi sebagai kapasitas umum individu yang nampak
dalam kemampuan individu untuk menghadapi tuntutan kehidupan secara
rasional. Inteligensi lebih difokuskan kepada kemampuannya dalam berpikir,
Wechsler mengemukakan bahwa inteligensi adalah kemampuan global yang
dimiliki oleh individu agar bisa bertindak secara terarah dan berpikir secara
bermakna serta bisa berinteraksi dengan lingkungan secara efisien, Wechsler
dalam Anastasi dan Urbina (1997).
Wiramiharja (2003) mengemukakan indikator-indikator dari kecerdasan
intelektual. Penelitiannya tentang kecerdasan ialah menyangkut upaya untuk
14
mengetahui keeratan besarnya kecerdasan dan kemauaan terhadap prestasi kerja.
Ia meneliti kecerdasan dengan menggunakan alat tes kecerdasan yang diambil dari
tes inteligensi yang dikembangkan oleh Peter Lauster, sedangkan pengukuran
besarnya kemauan dengan menggunakan alat tes Pauli dari Richard Pauli, khusus
menyangkut besarnya penjumlahan. Ia menyebutkan tiga indikator kecerdasan
intelektual yang menyangkut tiga domain kognitif. Ketiga indikator tersebut
adalah:
a. Kemampuan figur yaitu merupakan pemahaman dan nalar dibidang bentuk
b. Kemampuan verbal yaitu merupakan pemahaman dan nalar dibidang bahasa
c. Pemahaman dan nalar dibidang numerik atau yang berkaitan dengan angka
biasa disebut dengan kemampuan numerik.
Istilah inteligensi digunakan dengan pengertian yang luas dan bervariasi,
tidakhanya oleh masyarakat umum tetapi juga oleh anggota-anggota berbagai
disiplin ilmu, Sternberg dalam Anastasi (1997). Anastasi (1997) mengatakan
bahwa inteligensi bukanlah kemampuan tunggal dan seragam tetapi merupakan
komposit dari berbagai fungsi. Istilah ini umumnya digunakan untuk mencakup
gabungan kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk bertahan dan maju
dalam budaya tertentu.
Sedangkan indikator kecerdasan intelektual yang dikemukakan oleh
Stenberg dalam Arie (2009) yaitu:
1) Kemampuan memecahkan masalah
Yaitu mampu menunjukkan pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi,
mengambil keputusan tepat, menyelesaikan masalah secara optimal,
menunjukkan fikiran jernih.
15
2) Intelegensi verbal
Yaitu kosa kata baik, membaca dengan penuh pemahaman, ingin tahu secara
intelektual, menunjukkan keingintahuan.
3) Intelegensi praktis
Yaitu situasi, tahu cara mencapai tujuan, sadar terhadap dunia sekeliling,
menunjukkan minat terhadap dunia luar.
Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa indikator kecerdasan
intelektual yaitu 1) kemampuan memecahkan masalah, 2) intelegensi verbal, 3)
intelegensi praktis.
2.2 Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang dalam memonitor
perasaan dan emosinya baik pada dirinya maupun orang lain, mampu
membedakan dua hal itu, dan kemudian menggunakan informasi itu untuk
membimbing pikiran dan tindakannya Salovey & Mayer (1990) dalam Lenaghan,
et al (2007), Hal tersebut seperti yang dikemukakan Patton (1998) bahwa
penggunaan emosi yang efektif akan dapat mencapai tujuan dalam membangun
hubungan yang produktif dan meraih keberhasilan kerja.
Istilah kecerdasan emosional mengandung dua suku kata, yakni emosi dan
kecerdasan. Kecerdasan secara harfiah dapat diartikan sebagai tingkat
kecemerlangan seseorang, dan emosi sebagai suatu gejala yang multidimensional
sebagai unjuk dari tingkat perasaan yang subyektif. Emosi juga diartikan respon
biologis dan psikologis yang menggerakkan badan kita pada suatu reaksi tertentu.
Sedangkan menurut Sojka and Deeter (2002), kecerdasan emosi adalah
16
penerimaan, pengintepretasian, pemberian reaksi dari seseorang ke orang lain. Hal
senada diungkapkan Carmichael (2005) yang menyatakan kecerdasan emosi
adalah proses spesifik dari kecerdasan informasiyang meliputi kemampuan untuk
memunculkan dan mengekspresikan emosi diri sendiri kepada orang lain,
pengaturan emosi (controlling), serta penggunaan emosi untuk mencapai tujuan.
Menurut Prati, et al. (2003) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk
membaca dan memahami orang lain, dan kemampuan untuk menggunakan
pengetahuan untuk mempengaruhi orang lain melalui pengaturan dan penggunaan
emosi Jadi kecerdasan emosi dapat diartikan tingkat kecemerlangan seseorang
dalam menggunakan perasaannya untuk merespon keadaan perasaan dari diri
sendiri maupun dalam menghadapi lingkungannya
Sidle (2007), menyebutkan bahwa kecerdasan emosi merupakan
kemampuan untuk membangkitkan atau membangunkan hati. Seseorang dituntut
untuk mampu mengenali serta mengatur perasaan dan emosinya, juga terhadap
orang lain.
Seorang ahli kecerdasan emosi Goleman (2006), mengatakan bahwa
kecerdasan emosi adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan
perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang
lain. Goleman mengemukakan lima kecakapan dalam kecerdasan emosi, yang
terbagi dalam kecakapan pribadi dan kecakapan sosial, yaitu Kesadaran diri (Self
awareness), Pengaturan diri (Self management), Motivasi (Motivation), Empati
(Social awareness), Keterampilan sosial (Relationship management).
17
1) Kesadaran Diri (Self Awarness)
Self Awareness adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang dirasakan
dalam dirinya dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan
diri sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri sendiri
dan kepercayaan diri yang kuat.
2) Pengaturan Diri (Self Management)
Self Management adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan
menangani emosinya sendiri sedemikian rupa sehingga berdampak positif
pada pelaksanaan tugas, memiliki kepekaan pada kata hati, serta sanggup
menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran dan mampu pulih
kembali dari tekanan emosi.
3) Motivasi Diri (Self Motivation)
Self Motivation merupakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan
menuntun diri menuju sasaran, membantu pengambilan inisiatif serta
bertindak sangat efektif, dan mampu untuk bertahan dan bangkit dari
kegagalan dan frustasi.
4) Empati (Emphaty)
Empathy merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakakan orang lain,
mampu memahami perspektif orang lain dan menumbuhkan hubungan saling
percaya, serta mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe hubungan.
5) Keterampilan Sosial (Relationship Management)
Relationship Management adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan
baik ketika berhubungan sosial dengan orang lain, mampu membaca situasi
18
dan jaringan sosial secara cermat, berinteraksi dengan lancar, menggunakan
ketrampilan ini untuk mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah,
menyelesaikan perselisihan, serta bekerja sama dalam tim.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa indikator
kecerdasan emosional adalah 1) kemampuan untuk mengetahui perasaan sendiri
sehingga mengetahui kelebihan dan kekurangannya, 2) kemampuan menangani
emosi sendiri, 3) kemampuan memotivasi diri untuk terus maju, 4) kemampuan
merasakan emosi dan kepribadian orang lain, dan 5) kemampuan menjalin
hubungan dengan orang lain.
2.3 Kecerdasan Spiritual
Zohar dan Marshal (2002) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai
rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang dibarengi dengan pemahaman
dan cinta, kecerdasan yang menempatkan perilaku hidup kita dalam konteks
makna yang lebih luas dan kaya, serta kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan
atau jalan hidup seseorang lebih bernilai dan bermakna.
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu menempatkan perilaku dan hidup
manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, serta menilai bahwa
tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan orang
lain.
Peran kecerdasan spiritual adalah sebagai landasan yang diperlukan untuk
memfungsikan kecerdasan intelektual dan emosional secara efektif. Saat ini dunia
kerja membawa lebih banyak konsentrasi pada masalah spiritual. Para pekerja
19
mendapatkan nilai-nilai hidup bukan hanya dirumah saja, tetapi mereka juga
mencari setiap makna hidup yang berasal dari lingkungan kerja mereka. Mereka
yang dapat memberi makna pada hidup mereka dan membawa spritualitas
kedalam lingkungan kerja mereka akan membuat mereka menjadi orang yang
lebih baik, sehingga kinerja yang dihasilkan juga lebih baik dibanding mereka
yang bekerja tanpa memiliki kederdasan spiritual, Hoffman (2002).
Istilah kecerdasan spiritual mulai muncul karena banyak orang yang
memperdebatkan tentang Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional yang
dipandang hanya menyumbang sebagian dari penentu kesuksesan seseorang
dalam kehidupan. Faktor lain yang juga ikut berperan adalah kecerdasan spiritual
yang lebih menekankan pada makna hidup dan bukan hanya terbatas pada
penekanan agama saja Hoffman (2002).
Zohar dan Marshall (2002) memberikan Sembilan dimensi dari
Kecerdasan Spiritual yang telah berkembang dengan baik, yaitu :
1) Kemampuan untuk bersikap fleksibel
2) Tingkat kesadaran diri yang tinggi
3) Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
4) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
5) Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
6) Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
7) Kecenderungan untuk berpandangan holistik
8) Kecenderungan untuk bertanya “mengapa” atau “bagaimana” dan berupaya
untuk mencari jawaban-jawaban mendasar
9) Memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi
20
Kecerdasan spiritual memungkinkan seseorang untuk menyatukan hal-hal
yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan
antara diri dan orang lain. Zohar & Marshall (2002).
Eckersley memberikan pengertian yang lain mengenai kecerdasan
spiritual. Kecerdasan spiritual didefinisikan sebagai perasaan intuisi yang dalam
terhadap keterhubungan dengan dunia luas didalam hidup manusia, Eckersley
(2000) dalam Fabiola (2005). Konsep mengenai kecerdasan spiritual dalam
hubungannya dengan dunia kerja memiliki tiga komponen yaitu kecerdasaan
spiritual sebagai nilai kehidupan dari dalam diri, sebagai kerja yang memiliki arti
dalam komunitas, kerja Ashmos dan Duchon (2000).
Indikator kecerdasan spiritual menurut Idrus (2002) dalam Fabiola (2005)
1) Mutlak jujur
Kata kunci pertama untuk sukses di dunia bisnis adalah mutlak jujur, yaitu
berkata benar dan konsisten akan kebenaran. Ini merupakan hukum spiritual
dalam dunia usaha.
2) Keterbukaan
Keterbukaan merupakan sebuah hukum alam di dunia bisnis, maka logikanya
apabila seseorang bersikap fair atau terbuka maka ia telah berpartisipasi di
jalan menuju dunia yang baik.
3) Pengetahuan diri
Pengetahuan diri menjadi elemen utama dan sangat dibutuhkan dalam
kesuksesan sebuah usaha karena dunia usaha sangat memperhatikan dalam
lingkungan belajar yang baik.
21
4) Fokus pada kontribusi
Dalam dunia usaha terdapat hukum yang lebih mengutamakan memberi
daripada menerima. Hal ini penting berhadapan dengan kecenderungan
manusia untuk menuntut hak ketimbang memenuhi kewajiban. Untuk itulah
orang harus pandai membangun kesadaran diri untuk lebih terfokuas pada
kontribusi.
5) Spiritual non-dogmatis
Komponen ini merupakan nilai kecerdasan spiritual dimana di dalamnya
terdapat kemampuan untuk bersikap fleksibel, memiliki tingkat kesadaran
yang tinggi, serta kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan
penderitaan, kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa indikator kecerdasan
spiritual adalah 1) kejujuran, 2) keterbukaan, 3) pengetahuan diri, 4) fokus pada
kontribusi, dan 5) spiritual non dogmatis.
2.4 Kepemimpinan
Kepemimpinan (leadership) merupakan suatu usaha untuk menggunakan
pengaruh untuk memotivasi individu untuk mencapai tujuan tertentu Gibson et al
(2009). Dalam Handbook of Leadership, kepemimpinan diartikan sebagai
interaksi antar anggota kelompok dalam sebuah kelompok. Pemimpin merupakan
agen perubahan, yaitu orang yang bertindak mempengaruhi orang lain lebih
daripada orang lain mempengaruhinya. Kepemimpinan terjadi saat anggota
sebuah kelompok mengubah motivasi atau kompetensi orang lain dalam
kelompok. Keefektifan pemimpin diukur dengan pencapaian satu atau beberapa
22
tujuan. Individu dalam kelompok melihat keefektifan pemimpin berdasarkan pada
kepuasan yang mereka rasakan/dapatkan dari pengalaman kerja.
Menurut Terry dalam Kartono (1998) Kepemimpinan adalah aktivitas
mempengaruhi orang-orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan-tujuan
kelompok. Menurut Ordway Teod dalam bukunya ”The Art Of Leadership”
Kartono (1998). Kepemimpinan merupakan kegiatan mempengaruhi orang-orang
bekerja sama untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Kepemimpinan dapat
terjadi dimana saja, asalkan seseorang menunjukkan kemampuannya
mempengaruhi perilaku orang lain ke arah tercapainya suatu tujuan tertentu.
Sedangkan Young dalam Kartono (1998) mendefinisikan bahwa kepemimpinan
adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup
mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu, berdasarkan
akseptasi atau penerimaan oleh kelompoknya dan memiliki keahlian khusus yang
tepat bagi situasi khusus.
2.5 Kepemimpinan Transformasional
Seperti telah dikemukakan, konsep awal tentang kepemimpinan
transformasional telah diformulasi oleh Burns (1978) dari penelitian deskriptif
mengenai pemimpin politik. Kepemimpinan transformasional sebagai proses
“para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan
motivasi yang lebih tinggi”, seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, dan
bukan di dasarkan atas emosi, seperti keserakahan, kecemburuan sosial, atau
kebencian (James McGregor Burns, 1978).
23
Menurut Bass dalam Swandari (2003) mendefinisikan bahwa
kepemimpinan transformasional sebagai pemimpin yang mempunyai kekuatan
untuk mempengaruhi bawahan dengan cara-cara tertentu. Dengan penerapan
kepemimpinan transformasional bawahan akan merasa dipercaya, dihargai, loyal
dan respek kepada pimpinannya. Pada akhirnya bawahan akan termotivasi untuk
melakukan lebih dari yang diharapkan. Sedangkan menurut O’Leary (2001)
kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan yang digunakan oleh
seseorang manajer bila ia ingin suatu kelompok melebarkan batas dan memiliki
kinerja melampaui status quo atau mencapai serangkaian sasaran organisasi yang
sepenuhnya baru. kepemimpinan transformasional pada prinsipnya memotivasi
bawahan untuk berbuat lebih baik dari apa yang bisa dilakukan, dengan kata lain
dapat meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri bawahan yang akan
berpengaruh terhadap peningkatan kinerja.
Kepemimpinan transformasional adalah pemimpin yang memotivasi
bawahan untuk bekerja demi tercapai sasaran organisasi dan memuaskan
kebutuhan mereka pada tingkat lebih tinggi Burn (1978). Kepemimpinan
transformasional (transformational leadership) berdasarkan prinsip pengembangan
bawahan (follower development). Pemimpin transformasional mengevaluasi
kemampuan dan potensi masing-masing bawahan untuk menjalankan suatu
tugas/pekerjaan, sekaligus melihat kemungkinan untuk memperluas tanggung
jawab dan kewenangan bawahan di masa mendatang Nugroho (2006). Hal
seanada juga dikemukakan oleh Dvir yaitu kepemimpinan tranformasional
mendasarkan diri pada prinsip pengembangan bawahan (follower development).
24
Pemimpin mengembangkan dan mengarahkan potensi dan kemampuan bawahan
untuk mencapai bahkan melampaui tujuan organisasi (Dvir, 2002).
Burns dalam Heru (2004) mendefinisikan kepemimpinan transformasional
sebagai a process in which leaders and followers raise one another to higher
levels of morality and motivation. Kepemimpinan transformasional adalah suatu
proses, yaitu pemimpin dan pengikutnya saling merangsang diri satu sama lain
untuk penciptaan level yang tinggi dari moralitas dan motivasi yang dikaitkan
dengan tugas pokok dan fungsi mereka.
Berkaitan dengan kepemimpinan transformasional, Bass dalam Howell
dan Hall-Merenda (1999) mengemukakan adanya empat karakteristik
kepemimpinan transformasional, yaitu:
1) karisma,
2) inspirasional,
3) stimulasi intelektual, dan
4) perhatian individual
Sedangkan indikator gaya kepemimpinan transformasional (Stephen P.Robbins,
2007) yaitu;
(1) visi dan misi, menanamkan kebanggaan, meraih penghormatan dan
kepercayaan;
(2) mengkomunikasikan harapan tinggi, menggunakan symbol untuk
memfokuskan pada usaha; menggambarkan maksud penting secara sederhana
(3) mendorong intelegensi, rasionalitas dan pemecahan masalah secara hati-hati;
25
(4) memberikan perhatian pribadi, melayani secara pribadi, melatih dan
menasehati.
2.6 Kinerja
2.6.1 Pengertian kinerja
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kinerja berarti “kemampuan
kerja“. Kata kinerja dalam bahasa Inggris sering diartikan “performance“ yang
berarti pelaksanaan. Irianto (2001), mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
kinerja karyawan adalah hasil dari banyak tugas atau pekerjaan individual yang
dibuat secara terus menerus oleh karyawan dalam satu periode. Selanjutnya
kinerja dapat dikatakan suatu hasil yang ditunjukkan karyawan kepada organisasi
tentang prestasi atau kemunduran yang telah dicapai oleh karyawan. Ukuran
prestasi yang dipakai dapat dikaitkan dengan standar pelaksanaan tugas yang telah
ditetapkan perusahaan, dapat juga dikaitkan dengan pencapaian prestasi pada
periode sebelumnya. Aspek-aspek yang terkait dalam kinerja karyawan meliputi
jumlah pekerjaan yang dapat terselesaikan, ketelitian dalam melaksanakan suatu
pekerjaan/tugasnya dan ketepatan dalam melaksanakan suatu tugasnya sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan.
Prawirosentono (1985), bahwa kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai
oleh seseorang atau sekelompok dalam suatu organisasi dalam kurun waktu
tertentu, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam
rang ka upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak
melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Berdasarkan pengertian
ini sebenarnya terdapat hubungan yang erat antara kinerja perorangan (individual
26
performance) dengan kinerja lembaga (institusional performance). Selain itu,
kinerja karyawan adalah tingkat pencapaian persyaratan kerja.
Kinerja diartikan sebagai hasil dari usaha seseorang yang telah dicapainya
dengan kemampuan yang telah dimilikinya pada kondisi tertentu. Dengan
demikian kinerja merupakan hasil keterkaitan antara usaha, kemampuan, dan
persepsi tugas yang telah dibebankan (Timpe, 2002).
2.6.2 Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja adalah suatu usaha untuk mengevaluasi kinerja karyawan
pada masa kini, maupun pada masa yang lalu berdasarkan standar yang ditetapkan
untuknya. Proses penilaian terdiri dari, penentuan standar kerja, penilaian kinerja
aktual dibandingkan dengan standar dan memberikan umpan balik kepada
karyawan untuk memotivasi peningkatan kinerjanya Dessler (2003). Penilaian
kinerja dimaksudkan untuk mengukur efektivitas pemanfaatan sumber daya yang
dimiliki oleh organisasi yang bersangkutan. Dalam penilaian kinerja, dinilai
kontribusi karyawan terhadap organisasi selama periode waktu tertentu. Umpan
balik kinerja memungkinkan karyawan mengetahui seberapa baik mereka bekerja
jika dibandingkan dengan standar-standar organisasi. Seiring dengan itu
karyawan-karyawan membutuhkan umpan balik atas kinerja mereka sebagai
pedoman perilakunya dimasa depan. Penilaian kinerja pada prinsipnya mencakup
baik aspek kualitatif maupun kuantitatif dari pelaksanaan pekerjaan adalah proses
dimana organisasi mengevaluasi pelaksanaan kerja individu.
Dharma (2000) menyebutkan banyak pengukuran yang dapat digunakan
dalam pengukuran kinerja, ada tiga pengukuran yang digunakan.
27
1) Kuantitas yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran
kuantitas melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan
kegiatan ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan.
2) Kualitas yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik atau tidak). Pengukuran
kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran tingkat kepuasan yaitu
seberapa baik penyelesaiannya berkaitan dengan bentuk keluaran.
3) Ketepatan waktu yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan.
Pengukuran ketepatan waktu merupakan jenis khusus dari pengukuran
kuantitatif yang menentukan ketepatan waktu penyelesaian suatu kegiatan.
Penerapan standar diperlukan untuk mengetahui apakah kinerja karyawan
telah sesuai dengan sasaran yang diharapkan, sekaligus melihat besarnya
penyimpangan dengan cara membandingkan antara hasil pekerjaan secara aktual
dengan hasil yang diharapkan atau standar tertentu. Dalam penelitian ini penilaian
terhadap kinerja karyawan di PT Pos Indonesia Cabang Denpasar diukur dengan
tiga kreteria yaitu (1) jumlah pekerjaan yang diselesaikan, (2) kualitas pekerjaan
dan (3) ketepatan waktu.
2.6.3 Metode-metode penilaian kinerja
Aspek penting dari suatu sistem penilaian kinerja adalah standar yang
jelas. Sasaran utama dari adanya standar tersebut ialah teridentifikasinya unsur-
unsur kritikal suatu pekerjaan. Standar itulah yang merupakan tolok ukur
seseorang melaksanakan pekerjaannya. Standar yang telah ditetapkan tersebut
harus mempunyai nilai komparatif yang dalam penerapannya harus dapat
28
berfungsi sebagai alat pembanding antara prestasi kerja seorang karyawan dengan
karyawan lain yang melakukan pekerjaan sejenis.
Metode penilaian prestasi kerja pada umumnya dikelompokkan menjadi 3
macam, yakni : (1) Result-based performace evaluation, (2) Behavior-based
performance evaluation, (3) Judgment-based performance evaluation.
1) Penilaian Performance Berdasarkan Hasil (Result-based performance
evaluation)
Tipe kriteria performance ini merumuskan performansi pekerjaan
berdasarkan pencapaian tujuan organisasi, atau mengukur hasil-hasil akhir
(end results). Sasaran performansi bisa ditetapkan oleh manajemen atau oleh
kelompok kerja. Tetapi jika menginginkan agar para pekerja meningkatkan
produktivitas mereka, maka penetapan sasaran secara partisipatif, dengan
melibatkan para pekerja, akan jauh berdampak positif terhadap peningkatan
produktivitas organisasi. Praktek penetapan tujuan secara partisipatif, yang
biasanya dikenal dengan istilah manajemen by objective (MBO), dianggap
sebagai sarana motivasi yang sangat strategis karena para pekerja langsung
terlibat dalam keputusan-keputusan perihal tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Para pekerja akan cenderung menerima tujuan-tujuan itu sebagai
tujuan mereka sendiri, dan merasa lebih bertanggung jawab untuk dan selama
pelaksanaan pencapaian tujuan-tujuan itu.
29
2) Penilaian Performansi Berdasarkan Perilaku (Behavior Based Performance
Evaluation)
Tipe kriteria performansi ini mengukur sarana (means) pencapaian
sasaran (goals) dan bukannya hasil akhir (end result). Dalam praktek,
kebanyakan pekerjaan tidak memungkinkan diberlakukannya ukuran-ukuran
performansi yang berdasarkan pada obyektivitas, karena melibatkan aspek-
aspek kualitatif. Jenis kriteria ini biasanya dikenal dengan BARS
(behaviorally anchored rating scales) dibuat dari critical incidents yang
terkait dengan berbagai dimensi performansi. BARS menganggap bahwa para
pekerja bisa memberikan uraian yang tepat mengenai perilaku atau
performansi yang efektif dan yang tidak efektif. Standar-standar dimunculkan
dari diskusi-diskusi kelompok mengenai kejadian-kejadian kritis di tempat
kerja. Sesudah serangkaian sesion diskusi, skala dibangun bagi setiap dimensi
pekerjaan. Jika tercapai tingkat persetujuan yang tinggi diantara para penilai
maka BARS diharapkan mampu mengukur secara tepat mengenai apa yang
akan diukur. BARS merupakan instrumen yang paling bagus untuk pelatihan
dan personil produksi dari berbagai departemen. Sifatnya kolaboratif,
memakan waktu yang banyak, dan biasa pada jenis pekerjaan tertentu, adalah
job specific, tidak dapat ditransferkan dari satu organisasi ke organisasi lain.
3) Penilaian Performansi Berdasarkan Judgement (Judgement-Based
Performance Evaluation)
Ini merupakan tipe kriteria performansi yang menilai dan/atau
mengevaluasi performansi kerja pekerja berdasarkan deskripsi perilaku yang
30
spesifik, quantity of work, quality of work, job knowledge, cooperation,
initiative, dependability, personal qualities dan yang sejenis lainnya. Dimensi-
dimensi ini biasanya menjadi perhatian dari tipe kriteria yang satu ini.
(1) Quantity of work, jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu
yang ditentukan;
(2) Quality of work, kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat
kesesuaian dan kesiapannya;
(3) Job knowledge, luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan
keterampilannya;
(4) Cooperation, kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain (sesama
anggota organisasi).
(5) Initiative, semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam
memperbesar tanggung jawabnya;
(6) Dependability, kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan
penyelesaian kerja;
(7) Personal qualities, menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah-
tamahan dan integritas pribadi (Gomes, 2001).
2.6.4 Hambatan Penilaian Kinerja
Penilaian yang dilakukan dengan baik sesuai fungsinya akan sangat
menguntungkan organisasi, yaitu akan dapat meningkatkan kinerja. Akan tetapi,
dalam proses melakukan penilaian kinerja yang baik terdapat beberapa tantangan
yaitu.
31
1) Kesalahan penilai
Proses penilaian tentu saja dilakukan oleh manusia yang tidak luput dari
kesalahan-kesalahan, yang dapat diakibatkan keterbatasan manusia dalam
melihat sesuatu. Ada beberapa kecenderungan kesalahan penilaian yang harus
diperhatikan yaitu,
(1) Hallo effect, penyimpangan yang terjadi karena pendapat pribadi/subyektif
penilai mempengaruhi penilaian kinerja, umumnya dipengaruhi oleh ciri-
ciri pegawai yang mengesankan seseorang sangat disukai atau tidak
disukai oleh penilai.
(2) The error of central tendency, penilai tidak senang memberikan penilaian
jelek atau baik kepada pegawai, sehingga cenderung menilai secara rata-
rata.
(3) The liniency and strictness biases, penilai terlalu lunak atau terlalu keras.
Terlalu lunak mengakibatkan penilai cenderung memberikan nilai terlalu
tinggi, dan terlalu keras mengakibatkan penilai memberikan nilai terlalu
rendah sehingga tidak mencerminkan pelaksanaan kinerja yang
sesungguhnya.
(4) Personal prejudice, penilaian didasarkan atau dipengaruhi oleh prasangka-
prasangka yang tidak baik terhadap suatu kelompok masyarakat, misalnya
suku atau jenis kelamin.
(5) The recency effect, penilai mendasarkan penilaiannya pada perilaku-
perilaku kerja yang paling akhir terjadi.
32
2) Ketidaksiapan penilai
Penilai mungkin tidak disiapkan untuk melakukan penilain sehingga
mengakibatkan penilai kurang percaya diri, keterbatasan pengetahuan
mengenai pekerjaan dan kurangnya waktu untuk melakukan penilaian.
3) Ketidakefektifan praktek dan kebijakan organisasi
Dalam hal ini terjadi tidak adanya reward penilai, kebiasaan yang terjadi
bahwa penilaian yang jelek terhadap bawahan berarti menunjukan kelemahan
atasan dalam membina bawahan. Kurangnya rasa tanggung jawab dari atasan
terhadap organisasi mengakibatkan munculnya ketidakpedulian akan kinerja
pegawai, yang mengakibatkan penilaian tidak dilakukan dengan baik.
4) Formulir penilaian yang tidak baik
Metode-metode penilaian biasanya menggunakan formulir penilaian, dan
sering kali formulir penilaian tersebut tidak jelas, tidak mencakup aspek utama
dari kinerja dan formulir yang kompleks atau rumit (Hariandja, 2002).
2.6.5 Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Kinerja
Mahmudi (2005) menyatakan variabel-variabel yang mempengaruhi
kinerja diantaranya adalah :
1). Faktor personal / Individu, meliputi: pengetahuan, keterampilan,
kemampuan, kepercayaan diri, motivasi dan komitmen yang dimiliki setiap
individu.
2). Faktor kepemimpinan, meliputi : kualitas di dalam memberikan dorongan,
semangat, arahan dan dukungan yang memberikan manajer dan team leader.
33
3). Faktor tim, meliputi kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh
rekan dalam sati tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kelompok
dan keeratan anggota tim.
4). Faktor sistem meliputi : sistem kerja, fasilitas kerja yang diberikan oleh
organisasi, proses organisasi dan kultur kinerja di dalam organisasi.
5). Faktor kontekstual (situasional), meliputi tekanan dan perubahan lingkungan
kerja eksternal dan internal.
Sutemeister dalam Srimulyo (1999) mengemukakan pendapatnya, bahwa
kinerja dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu :
1 ) Faktor kemampuan meliputi :
a. pengetahuan : pendidikan, pengalaman, latihan dan minat
b. keterampilan ; kecakapan dan kepribadian
2 ) Faktor motivasi meliputi :
a. kondisi sosial : organisasi formal dan informal, kepemimpinan
b. serikat kerja kebutuhan individu : fisiologis, sosial dan egoistik
c. kondisi fisik : lingkungan kerja.
Jadi dapat di simpulkan bahwa dimensi dimensi yang di pergunakan untuk
mengukur suatu kinerja yaitu: quantity of work, quality of work, job knowledge,
cooperation, initiative, dependability, personal qualities.