Upload
haxuyen
View
235
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Demensia
2.1.1 Definisi Demensia
Demensia adalah sindrom penurunan kognitif dan fungsional, biasanya terjadi di
kemudian hari sebagai akibat neurodegenarif dan proses serebrosvaskuler (Killin, 2016).
Demensia merupakan penyakit degeneratif yang sering menyerang pada orang yang
berusia diatas 60 tahun. Demensia terjadi akibat kerusakan sel-sel otak dimana sistem
saraf tidak lagi bisa membawa informasi ke dalam otak, sehingga membuat kemunduran
pada daya ingat, keterampilan secara progresif, gangguan emosi, dan perubahan perilaku,
penderita demensia sering menunjukkan gangguan perilaku harian (Pieter and Janiwarti,
2011). Demensia adalah kondisi dimana hilangnya kemampuan intelektual yang
menghalangi hubungan sosial dan fungsi dalam kehidupan sehari-hari. Demensia bukan
merupakan bagian dari proses penuaan yang normal dan bukan sesuatu yang pasti akan
terjadi dalam kehidupan mendatang, demensia dapat juga di sebabkan pleh bermacam-
macam kelainan otak. Hampir 55% penderita demensia disebabkan oleh Alzheimer, 25-
35% karena strokedan 10-15% karena penyebab lain, banyak demensia yang diobati
meskipun sangat sedikit darinya yang dapat disembuhkan (Asrori dan putri, 2014).
Menurut Pieter et al (2011). Awalnya demensia bukan sekedar penyakit biasa, melaikan
suatu penyakit yang terdiri dari beberapa gejala dari suatu penyakit sehingga membentuk
perubahan kepribadian dan tingkah laku. Demensia timbul secara perlahan dan
menyerang orang yang usia diatas 60 tahun. Demensia bukan merupakan bagian proses
8
penuaan yang normal. Sejalan dengan bertambahnya umur, maka perubahan dalam otak
menyebabkan hilangnya beberapa ingatan, terutama pada ingatan jangka pendek dan
penurunan kamampuan. Perubahan normal pada lansia tidak akan mempengaruhi fungsi.
Orang yang lanjut usia lupa pada usia bukan merupakan pertanda dari demensia atau
penyakit Alzheimer stadium awal. Pada penuaan normal, seseorang dapat lupa pada hal
detail, kemuadian akan lupa secara keseluruan peristiwa yang baru terjadi.
2.1.2 Gejala-Gejala Demensia
Menurut Pieter et al (2011), menyebutkan ada beberapa gejala antara lain : Gejala
awal yang dialami demensia adalah kemunduran fungsi kognitif ringan, kemudian terjadi
kemunduran dalam mempelajari hal-hal yang baru, menurunya ingatan terhadap
peristiwa jangka pendek, kesulitan menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan.
Pada tahap lanjut, gejala yang diamali demensia antara lain sulit mengenali benda, tidak
dapat bertindak sesuai dengan berancana, tidak bisa mengenakan pakaian sendiri, tidak
bisa memperkirakan jarak dan sulit mengordinasinakan anggota tubuh. Gejala demensia
selanjutnya yang muncul biasanya berupa depresi yang dialami pada lansia, dimana orang
yang mengalami demensia sering kali menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif.
Kondisi seperti ini dapat saja di ikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan
memperparah kondisi lansia. Pada saat ini mungkin saja lansia menjadi sangat ketakutan
bahkan hingga berhalusinasi. Disinilah peran keluarga sangat penting untuk proses
penyembuhan, kerena lansia yang demensia memerlukan perhatian lebih dari
keluarganya.
Pada tahap lanjut demensia menimbulkan perubahan tingkah laku yang semakin
mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali keluarga mengetahui perubahn tingkah laku yang
9
dialami lansia pada demensia. Mengetahui perubahan tingkah laku pada demensia dapat
memuculkan sikap empati yang sangat dibutuhkan anggota keluarga, yakni harus dengan
sabar merawat dan lebih perhatian terdapat anggota keluarga yang demensia. Perubahan
perilaku lyang dialami lansia pada penderita demensia bisa menimbulkan delusi,
halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi, ketidakmampuan
melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara
mandiri, marah, agitasi, apatis, dan kabur dari tempat tinggal.
Menurut Asrori dan putri (2014), menyebutkan ada beberapa tanda dan gejala
yang dialami pada Demensia antara lain :
1. Kehilangan memori
Tanda awal yang dialami lansia yang menderita demensia adalah lupa
tentang informasi yang baru di dapat atau di pelajari, itu merupakan hal biasa
yang diamali lansia yang menderita demensia seperti lupa dengan pentujuk yang
diberikan, nama maupun nomer telepon, dan penderita demensia akan sering
lupa dengan benda dan tidak mengingatnya.
2. Kesulitan dalam melakukan rutinitas pekerjaan
Lansia yang menderita Demensia akan sering kesulitan untuk
menyelesaikan rutinitas pekerjaan sehari-hari. Lansia yang mengadalami
Demensia terutama Alzheimer Disease mungkin tidak mengerti tentang langkah-
langkah dari mempersiapkan aktivitas sehari-hari seperti menyiapkan makanan,
menggunkan perlatan rumah tangga dan melakukan hobi.
10
3. Masalah dengan bahasa
Lansia yang mengalami Demensia akan kesulitam dalam mengelolah kata
yang tepat, mengeluarkan kat-kata yang tidak biasa dan sering kali membuat
kalimat yang sulit untuk di mengerti orang lain
4. Disorientasi waktu dan tempat
Mungkin hal biasa ketika orang yang tidak mempunyai penyakit
Demensia lupa dengan hari atau diaman dia berada, namun dengan lansia yang
mengalami Demensia akan lupa dengan jalan, lupa dengan dimana mereka berada
dan baimana mereka bisa sampai ditempat itu, serta tidak mengetahui bagaimana
kebali kerumah.
5. Tidak dapat mengambil keputusan
Lansia yang mengalami Demensia tidak dapat mengambil keputusan yang
sempurna dalam setiap waktu seperti memakai pakaian tanpa melihat cuaca atau
salah memakai pakaian, tidak dapat mengelolah keuangan.
6. Perubahan suasana hati dan kepribadian
Setiap orang dapat mengalami perubahan suasan hati menjadi sedih
maupun senang atau mengalami perubahan perasaann dari waktu ke waktu, tetapi
dengan lansia yang mengalami demensia dapat menunjukan perubahan perasaan
dengan sangat cepat, misalnya menangis dan marah tanpa alasan yang jelas.
Kepribadian seseorang akan berubah sesuai dengan usia, namun dengan yang
dialami lansia dengan demensia dapat mengalami banyak perubahan kepribadian,
misalnya ketakutan, curiga yang berlebihan, menjadi sangat bingung, dan
ketergantungan pada anggota keluarga.
11
2.1.3 Faktor penyebab Demensia
1. Penyakit alzheimer
Penyebab utama penyakit demensia adalah penyakit alzheimer. Demensia
50% di sebabkan oleh penyakit alzheimer, 20% disebabkan gangguan pembulu
otak, dan sekitar 20% gabungan keduannya serta sekitar 10% disebabkan faktor
lain. Penyebab alzheimer tidak diketahui pasti penyebabnya, tetapi diduga
berhubungan dengan faktor genetik, penyakit alzheimer ini ditemukan dalam
beberapa keluarga gen tententu.
2. Serangan Stroke
Penyebab kedua demensia adalah serangan stoke yang terjadi secara
ulang. Stroke ringan dapat mengakibatkan kelemahan dan secara bertahap dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan otak akibat tersumbatkan aliran darah
(infark). Demensia multiinfark serasal dari beberapa stoke ringan, sebagian besar
penderita stoke memliki tekanan darah tinggi (hipertensi) yang menyebabkan
kerusakan pembulu darah pada otak.
3. Serangan lainnya
Serangan lainnya dari demensia adalah demensia yang terjadi akibat
pencederaan pada otak (cardiac arrest), penyakit parkison, AIDS, dan
hidrocefalus.
2.1.4 Jenis- Jenis Demensia
1. Demensia tipe alzheimer
Demensia alzheimer adalah salah satu bentuk demensia akibat degerasi
otak yang sering ditemukan dan paling ditakuti. Demensia alzheimer, biasanya
12
diderita oleh pasien usia lanjut dan merupakan penyakit yang tidak hanya
menggerogoti daya pikir dan kemampuan aktivitas penderita, namun juga
menimbulkan beban bagi keluarga yang merawatnya. Demensia alzheimer
merupakan keadaan klinis seseorang yang mengalami kemunduran fungsi
intelektual dan emosional secara progresif sehingga mengganggu kegiatan sosial
sehari-hari. Gejalanya dimulai dengan gangguan memori yang mempengaruhi
keterampilan pekerjaan, sulit berfikir abstrak, salah meletakkan barang,
perubahan inisiatif, tingkah laku, dan kepribadian.
2. Demensia vaskuler
Demensia vaskuler merupakan jenis demensia terbanyak kedua setelah
demensia Alzheimer. Angka kejadian pada demensia vaskuler tidak beda jauh
dengan kejadian demensia alzheimer sekitar 47% dari populasi demensia
keseluruhan. Demensia alzheimer 48% dan demensia oleh penyebab lain 5%.
Kejadian vaskuler pada populasi usia <65 tahun sekitar 1,2-4,2%, dan pada
kelompok usia >65 tahun menunjukkan angkat kejadian 0,7%, dan 8,1% pada
kelompok usia diatas 90 tahun.
2.1.5 Stadium Demensia
1. Stadium I (stadium amnestik)
Berlangsung selama 2-4 tahun dengan gejala yang timbul antara lain
gangguan pada memori, berhitung, dan aktivitas spontan menurun. Fungsi
memori yang terganggu bisa menyebabkan lupa akan hal baru yang dialami,
kondisi seperti ini tidak mengganggu aktivitas rutin dalam keluarga.
13
2. Stadium II( stadium Demensia)
Berlansung selama 2-10 tahun dengan gejala yang dialami seperti
disorintasi, gangguan bahasa, mudah bingung, dan penurunan fungsi memori
lebih berat sehingga penderita pada stadium ini tidak dapat melakukan kegiatan
sampai selesai, mengalami gangguan visuospasial, tidak mengenali anggota
keluarganya, tidak ingat sudah melakukan tindakan sehingga mengulanginya lagi,
mengalami depresi berat sekitar 15-20%.
3. Stadium III
Pada stadium ini berlangsung sekitar 6-12 tahun dengan gejala yang
ditimbulkan penderita menjadi vegetatif, kegiatan sehari-hari membutuhkan
bantuan orang lain, membisu, daya ingat intelektual srta memori memburuk
sehingga tidak mengenal keluarganya sendiri, tidak bisa mengendalikan buang air
besar maupun kecil. Menyebabkan trauma kematian atau akibat infeksi.
2.1.6 Tahapan Demensia
1. EarlyStage
Lansia yang mengalami Demensia dimulai secara bertahap sehingga akan
sulit mengenali persis kapan gejala dimulai. Beberapa perubahan yang sering
dialami sebagai bagian dari proses penuaan yang normal. Dalam tahap ini
penderita mengalami kehilanganmemori jangka pendek, menjadi depresi dan
sering agresif, menjadi disorientasi pada waktu, menjadi kehilangan keakraban
dengan sekitarnya, menunjukan kesulitan dalam berbahasa, kurangnya inisiatif
dan motivasi, hilangnya minat dan hobi serta aktifitas.
14
2. MiddleStage
Dalam tahap ini, gajala yang cukup jelas terlihat dan mengganggu
pekerjaan, sosialisasi serta kegiatan sehari-hari adalah menjadi sangan pelupa
terutama kejadian baru yang dialami, kesulitan melakukan pekerjaan rumah
tangga, kesulitan menemukan kata yang tepat untuk diungkapkan, mudah
berpergian dan tidak dapat kembali ketmpat asal, mendengar dan melihat sesuatu
yang tidak ada, tidak bisa mengatur dirinya sendiri dan bergantung pada orang
lain.
3. LateStage
Pada tahan ini tahap akhir, pasien akan kehilangan fungsi serta lebih
ketergantungan pada orang lain seprtisusah untuk makan, sulit untuk berbicara,
tidak dapat mengenali orang atau obyek, berada di kursi roda ataupun tempat
tidur, kesulitan berjalan, memiliki inkontenesia bowel dan urinary, kesulitan
mengerti dan mengiterpretasikan kejadian.
2.1.7 Tingkatan Demensia
1) Demensia Buruk
Demensia yang dikatakan buruk yang memiliki skor pemeriksaan MMSE
dibawah 17 seperti disorintasi, gangguan bahasa, mudah bingung, dan penurunan
fungsi memori lebih berat sehingga penderita pada kondisi ini tidak dapat
melakukan kegiatan sampai selesai, mengalami gangguan visuospasial, tidak
mengenali anggota keluarganya (Gluhm et all,2013).
2) Demensia Sedang
15
Demensia yang dikatakan demensia sedang yaitu yang memiliki skor MMSE 18-
23 yang artinya fungsi memori yang terganggu bisa menyebabkan lupa akan hal
baru yang dialami (Gluhm et all,2013).
3) Demensia dengan kondisi Baik
Demensia yang dikatakan demensia sedang yaitu yang memiliki skor MMSE lebih
34 yang artinya lansia dalam kondisi ini masih mempunyai daya ingat yang tinggi
(Gluhm et all,2013).
2.1.8 Faktor Resiko Demensia
1 Udara
Faktor resiko lingkungan di udara menyebabkan terjadinya demensia,
disebabkan tingginya kadar nitrogen oksidan, asap tembakau terbukti terkait
dengan resiko demensia akibat paparan lingkungan, asap tembakau dirumah,
kantor dan di tempat kerja dan tempat lainnya. Durasi paparan serta
memperkirakan kumulatif eksposur ( Killin et all, 2016).
2 Alumunium
Tingkat konsumsi aluminium dalam air minum lebih dari 0,1 mg per hari
dikaitkan dengan resiko demensia ( Killin et all, 2016).
3 Pekerjaan
Orang dengan pekerjaan yang terlalu sering terkena kebisingan atau
radiasi resiko terjadinya demensia ( Killin et all, 2016).
16
4 Vitamin D
Orang yang kekurangan vitamin D dikaitkan dengan peningkatan resiko
dan pengembangan penyakit demensia ( Killin et all, 2016).
2.2 Konsep Vitamin D
2.2.1 Pengertian Vitamin D
Vitamin D adalah vitamin yang larut dalam lemak, artinya vitamin D dapat di
simpan dan di ambil kembali dari lemak tubuh. Vitamin D merupakan vitamin berbahan
dasar steroid, sehingga vitamin D berkerja dengan suatu reseptor yang berada di dalam
inti sel. (Hermawan,2016). Vitamin D adalah sekelompok senyawa sekosteroid yang larut
dalam lemak. Vitamin D berguna meningkatkan penyerapan beberapa mineral dalam
usus seperti mineral kalsium, besi, magnesium fosfar dan seng (Sumbono, 2016). Vitamin
D adalah hormon steroid yang melintasi darah otak dan mengikat reseptor yang ada di
neuro dan sel glial bagian saraf pusat seperti hippocampus, korteks yang mengendalikan
kalsium intra neuronal hemostasis sehingga mencegah nekrosis neuro (Gangwar,2015).
Menurut Coates (2018) Vitamin D adalah vitamin yang larut dalam lemak syang
secara alami terdapat pada makanan yang sangat sedikit, yang di jadikan suplemen
makanan. Penghasil vitamin D yang terbesar dalam tubuh adalah kulit sekitar (80-100%)
setelah terpapar sinar matahrari. Proses hidroksilasi vitamin D memalui Hati dan ginjal
supaya menjadi aktif secara biologis (Vera, 2013). Vitamin D juga di produksi secara
edogen ketika sinar ultraviolet dari sinar matahari yang menyerang kulit dan memicu
sintesis vitamin D. Vitamin D yang di dapat dari paparan sinar matahari, makanan, dan
suplemen bersifat biologis dan harus menjalani dua hydroxylations di dalam tubuh untuk
17
aktivasi. Yang pertama terjadi di hati dan mengubah vitamin D menjadi 26-
hydroxyvitamin D, yang juga dikenal sebagai calcidol. Yang kedua terjadi terutama di
ginjal dan membentuk 1,25 dihydroxyvitamin fisiologis, juga dikenal sebagai calciriol.
2.2.2 Sumber Vitamin D
1. Sinar Matahari
Vitamin D dapat di peroleh tubuh melalui sinar matahari. Vitamin D
ada dalam dua bentuk, vitamin D2 diperoleh dari penyinaran sinar UV pada
sterol ergosterol dan di temukan secara alami dibawah sinar matahari berupa
sinar UVB ( Nair and Maseeh, 2012). Menurut Sumbono (2016), Pembentukan
Vitamin D dari paparan sinar matahari di kulit yakni terjadinya pembentukan
kolekalsiferol tanpa peran enzim di kulit dengan adanya radiasi UV dari 7-
dehidrokskolesterol. 7-dehidrokskolesterol merupakan senyawa intermediate
dalam sintesis kolesterol yang terakumulasi di kulit. Akibat paparan sinar UV
maka 7-dehidrokskolesterol mengalami fotolisis, dengan pembelahan diri cincin
B dan intersi cintin-A menghasilkan prekalsiferol. Panjang gelombang puncak
untuk fotolisi 296,5 nm, hasil dari precalciferol mengalami isomerisasi termal
menjadi kolekalsiferol. Sinar matahari tidak sepenuhnya penting untuk sintesis
kolekalsiferol dari kulit, karena awan mengurangi intesitas UV-B sekitar 50%.
Intemsitas UV-B yang rendah bersifat iradiasindan tidak mengakibatkan fotolisis
signifikan dari 7-dehidrokskolesterol menjadi previtamin D seluruh tubuh.
Kebutuhan vitamin D terpapar sinar matahari yang sehat yaitu antara
pukul 07.00 sampai dengan pukul 09.00 tidak perlu lama-lama berada di sinar
matahari, cukup antara 10-15 menit ketika berjemur dan kulit sudah mulai
18
mengeluarkan keringat, dapat digunakan sebagai tanda bahwa berjemur sudah
cukup. Berjemur bisa dilakukan tiga kali dalam seminggu untuk menjaga kadar
vitamin D dalam darah stabil (Hermawan,2016).
2. Makanan
Sumber vitamin D paling utama bagi tubuh adalah sinar matahari, namun
demikian tubuh tetap memerlukan vitamin D yang berasal dari makanan, karena
tanpa makanan yang mengandung provitmin D, maka proses pembentukan
vitamin D oleh bantuan sinar UV matahari tidak akan terjadi (Hermawan,2016).
Sumber makanan yang mengandung vitamin D antara lain seperti : Minyak ikan,
telur, hati, berbagai jenis ikan, susu, mentega. Sementara vitamin D yang berasal
dari makanan nabati, biasanya terdapat pada minyak sayur, ubi, dan kentang.
Kandungan vitamin D pada makanan nabati sangat rendah. Oleh karena itu,
orang yang vegetarian memerlukan tambahan suplemen vitamin D untuk
melengkapi kadar vitamin dalam tubuhya (Sumbono, 2016).
2.2.3 Tanda dan Gejala Kekurangan Vitamin D
Menurut Hermawan (2016), tanda gejala kekurangan vitamin D sebagai berikut :
1. Sering mengalami gangguan mood atau stres
Dalam darah adanya korelasi positif antara serotonin dan kadar vitamin
D, serotinin adalah hormon yang berkaitan dengan rasa bahagia di otak. Orang
yang kadar vitamin D dalam darah rendah, juga kadar derotoninnya rendah pula,
sehingga mereka cenderung mengalami rasa tidak bahagia dan cenderung depresi.
2. Nyeri/ sakit tulang dan mudah lelah
19
Orang yang mengalami kekurangan vitamin D di dalam darah cenderung
melaporkan mengalami nyeri atau sakit pada tulang. Dalam kondisi tertentu juga
disertai dengan rasa lelah yang berlebihan dan mudah mengantuk. Hal ini terjadi
akibat tulang kekurangan kalsium atau mengalami demineralisasi tulang, sehingga
tulang mengalami kerapuhan dan timbul nyeri saat beraktivitas.
Rasa lelah da cepat mengantuk, dikaitkan dengan fungsi vitamin D yang
mempermudah penyerapan kalsium di dalam usus, ketika vitamin D rendah,
maka kemungkinan besar tubuh mengalami kekurangan kalsium di dalam tubuh.
Padahal kalsium sangat diperlukan untuk kontraksi otot dan untuk menimbulkan
sinyal pada sel syaraf. Akibatnya tubuh akan mudah lelah dan mudah mengantuk,
saat tubuh kekurangan vitamin D serta kekurangan kalsium di dalam darah.
3. Kepala berkeringat
Salah satu tanda kekurangan vitamin D di dalam darah yang mudah
diamati adalah kulit kepala cenderung berkeringat terutama saat tidur. Oleh sebab
itu, kepala berkeringat berlebihan pada bayi pada saat tidur merupakan salah satu
indikator bayi kurang vitamin D, sehingga perlu di jemur di sinar matahari pagi.
4. Adanya penigkatan berat badan / obesitas
Adanya korelasi antara rendahnya kadar vitamin D dalam darah dengan
peningkatan kadar kolesterol dan juga peningktan berat bafan. Oleh karena itu,
peningktan berat badan yang berlebihan atau obesitas dapat dijadikan indikator
adanya kekurangan vitamin D dalam darah.
20
Pada penderita yang di dalam darahnya kekurangan vitamin D sering
dijumpai kasus mudah lapar dan sering mengalami peningkatan gula darah akibat
turunya kemampuan tubuh memasukkan gula di dalam sel.
5. Kulit berubah menjadi lebih gelap
Pigmen kulit yang bertanggung jawab atas warna kulit, semakin banyak
pigmen kulit, maka kulit akan semakin berwarna gelap. Bahwa semakin gelap
kulit, maka diperlukan waktu yang lebih lama terpapar matahari agar tubuh
mampu mensintesis provitamin D menjadi vitamin D. Pigmen kulit berfungsi
sebagai sun block alami, sehingga semakin banyak pigmen kulit, semakin gelap
kulit dan semakin tubuh beresiko kekurangan vitamin D dalam tubuh.
6. Gangguan neurologis
Vitamin D berperan seperti hormon Neurosteroid di daerah
neurotransmisi dan neuro imunomodulasi hipovitaminosis yang di kaitkan
dengan gangguan neuromuskular, demensia dan penyakit parkinson. Dengan
demikian vitamin D bersifatproteksi terhadap gangguan neurologis (Gangwar,
2015).
2.2.4 Dampak Kekurangan Vitamin D
Menurut Coates (2018), yang beresiko kekurangan vitamin D sebagai berikut :
1. Orang tua
Orang dewasa yang lebih tua beresiko tinggi mengalami kekurangan
vitamin D karena, seiring bertambahnya usia, kulit tidak dapat mensintesis
21
vitamin D secara efisien, mereka cenderung menghabiskan lebih banyak waktu di
dalam rumah, dan mereka kekurangan asupan makanan.
2. Orang dengan paparan sinar matahari terbatas
Orang dengan pekerjaan yang membatasi paparan sinar matahari tidak
mendapatkan vitamin D yang memadai dari sinar matahari. Karena luas frekuensi
penggunaan tabir surya tidak diketahui, pentingnya peranan tabir surya dalam
mengurangi sintesis vitamin D tidak jelas.
3. Orang dengan kulit gelap
Sebesar jumlah pigmen melanin di lapisan epidermis menghasilkan kulit
yang lebih gelap dan mengurangi kemampuan kulit untuk menghasilkan vitamin
D dari sinar matahari.tingkat serum yang lebih rendah pada orang yang
teridentifikasi hitam dibandingkan dengan yang diidentifikasi sebagai putih.
2.2.5 Beresiko Kekurangan Vitamin D
1. Bayi yang disusui
Kebutuhan vitamin D tidak di dapat di sinar matahari saja, namun
vitamin D juga bisa di dapatkan di asupan makanan terutama susu atau ASI.
Hampir semua bayi di Amerika serikat yang rakhitis diberi ASI, sementara
Matahari juga penting karena matahari merupakan sumber utama vitamin D dan
untuk bayi disarankan tetap keluar atau langsung terpapar sinar matahari dan
diberi ASI.
2. Orang tua
Orang dewasa yang lebih tua atau lansia berisiko tinggi mengalami
kekurangan vitamin D kerena, seiringnya bertambahnya usia kulit tidak dapat
22
mengsintesis vitamin D secara efisien mereka cenderung menghabiskan lebih
bnyak waktu di dalam rumag dan lansia juga kekurangan asupan makanan.
3. Orang dengan kulit gelap
Jumlah pigmen melanin di lapisan epidermis menghasilkan kulit yang
lebih gelap dan mengurangi kemampuan kulit untuk menghasilkan vitamin D
dari sinar matahari.
2.2.6 Manfaat vitamin D
Menurut Sumbono (2016), peran utama vitamin D dalam memelihara konsentrasi
plasma calsium, sebab vitamin D merupakan pengatur utama dari penyerapan calsium
dalam tubuhdan vitamin D juga digunakan untuk penyerapan fosfor untuk kekuatan
tulang dan gigi, mengatur Kadar kalsium dalam darah, dan mengatur prokduksi hormon.
Vitamin D dalam peningkatan konsentrasi kalsium dan fosfat dalam darah melalui
pengangkutan zat kapur dan ion fosfat ke epihelium mucosa yang berhubungan dengan
usus kecil pada penyerapannya, mengatur penyerapan calsium dari bagian dalam jaringan,
penyerapan kembali calsium dan fosfat di dalam tubulus ginjal.
2.3 Hubungan Vitamin D dengan kejadian Demensia
Ketika jumlah vitamin D di dalam tubuh berkurang menyebabkan berbagai
masalah kesehatan salah satunya fungsi kognitif, kerena seiring bertambahnya usia kulit
tidak dapat mengsintesis vitamin D secara efisien kerena pembentukan Vitamin D dari
paparan sinar matahari di kulit yakni terjadinya pembentukan kolekalsiferol tanpa peran
enzim di kulit dengan adanya radiasi UV, sebab vitamin D merupakan hormon steroid
yang melewati darah menuju otak dan berikatan dengan reseptor yang ada di neuro
seperti hippocampus. Mengendalihkan kalsium intra neural hemeostasis dengan
23
mengatur ketegangan calsium sehingga mencegah nekrosis neuro. Hormon neuro juga
memiliki sifat antioksidan yang berfungsi mengurangi oksidatif stres yang disebabkan
oleh glutamatdan dopaminergik neuro karena sifat anti oksidan yang mengatur
hemeostatis kalsium intraneural dan bahwa vitamin D memiliki peran untuk mencegah
penurunan kognitif terkait usia (Gangwar, 2015 ). Menurut Hermawan (2016), terpapar
sinar matahari pagi sekitara jam 07.00 sampai 09.00 selama 10-15 menit, berjemur bisa
dilakukan tiga kali dalam seminggu untuk menjaga kadar vitamin D dalam darah stabil
dan juga tubuh tetap memerlukan vitamin D yang berasal dari makanan, karena tanpa
makanan yang mengandung provitmin D, maka proses pembentukan vitamin D oleh
bantuan sinar UV matahari tidak akan terjadi.
2.3.1 Penelitian Terkait
1. Penelitian yang dilakukan oleh Anil Kumar Gangwar, Anita Rawat, Sunita
Tiwari,S. C. Tiwari, Jagdish Narayan and Sanchit Tiwari (2015), yang berjudul
“Role of Vitamin-D in the prevention and treatment of Alzheimer’s disease”. Dalam
penelitian tersebut bertujuan untuk melihat efek dari vitamin D untuk fungsi
kognitif pada lansia. Peran Mikronutrien (vitamin dan Mineral) dalam fungsi
normal dan pertumbuhan jaringan saraf jika fungsi sel hilang karena disebbkan
oleh kekurangan vitamin D, karena vitamin D bertindak seperti Neurosteroid
hormon untuk Neurotransmission dan Neuro-imunomodulasi, Hypovitaminosis
D memiliki katerkaitan dengan gangguan Neuromuskular, demensia dan penyakit
parkinson ( Gangwar et all, 2015).
24
2. Penelitian yang dilakukan oleh Anindita banerjee, vineet Kumar Khemka, Aniban
ganguly, Debashree Roy, Upasana Ganguly, and Sasanka Chakrabarti (2015, yang
berjudul “Vitamin D and Alzheimer’s disease: Neurocognition to Therapeutics”. Dalam
jurnal tersebut untuk mengertahui pengaruh lingkungan dalam jangka panjang
terhadap kekurangan vitamin D sebagai faktor resiko, dan dalam jurnal ini
diperlukan pengembangan untuk mengetahui lebih lanjut dan menetapkan peran
vitamin yang berpotensi melindungi saraf dan mencegah atau menghentikan
proses neurodegenerasi pada pasien (Banerjee et all, 2015).