Click here to load reader
Upload
dangxuyen
View
225
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Akuaponik
Menurut Diver 2006, akuaponik adalah kombinasi akuakultur dan
hidroponik untuk memelihara ikan dan tanaman dalam satu sistem yang saling
terhubung. Limbah yang dihasilkan oleh ikan digunakan sebagai pupuk untuk
tanaman (Wahap et al. 2010). Interaksi antara ikan dan tanaman menghasilkan
lingkungan yang ideal untuk tumbuh sehingga lebih produktif dari metode
tradisional (Rakocy et al. 2006).
Penelitian tentang akuaponik dimulai oleh Universitas Virgin Island sejak
tahun 1971, penelitian berawal dari sulitnya memelihara ikan air tawar dan
sayuran di pulau Semiarid, Australia. Hasil penelitian tersebut kemudian
digunakan sebagai dasar pada sistem akuaponik untuk tujuan komersil, namun
upaya pengembangan sistem ini masih mengalami banyak kendala, baru pada
tahun 1980-an sistem akuaponik mulai berkembang luas (Rakocy, 1997). Sampai
tahun 1980-an, seluruh usaha dalam menggabungkan akuakultur dan hidroponik
tidak semuanya berhasil, namun beragam inovasi yang dilakukan telah mengubah
teknologi akuaponik menjadi salah satu sistem untuk memproduksi bahan
makanan (Diver 2006). Karena akuaponik hemat energi, mencegah keluarnya
limbah ke lingkungan, menghasilkan pupuk organik untuk tanaman (lebih baik
dari bahan kimia), menggunakan kembali air limbah melalui biofiltrasi dan
menjamin produksi bahan makanan melalui multi-kultur, membuat akuaponik
pantas dikatakan salah satu model panutan untuk green technology (Wahap et al.
2010).
Pada sistem akuaponik, aliran air kaya nutrisi dari media pemeliharan ikan
digunakan untuk menyuburkan tanaman hidroponik. Hal ini baik untuk ikan
karena akar tanaman dan rhizobakter mengambil nutrisi dari air. Nutrisi yang
berasal dari feses, urin dan sisa pakan ikan adalah kontaminan yang menyebabkan
meningkatnya kandungan racun pada media pemeliharaan, tetapi air limbah ini
7
juga menyediakan pupuk cair untuk menumbuhkan tanaman secara hidroponik.
Sebaliknya, media hidroponik berfungsi sebagai biofilter, yang akan menyerap
ammonia, nitrat, nitrit dan posfor sehingga air yang sudah bersih dapat dialirkan
kembali ke media pemeliharaan (Diver 2006). Bakteri nitrifikasi yang terdapat
pada media hidroponik memiliki peran penting dalam siklus nutrisi, tanpa
mikroorganisme ini seluruh sistem tidak akan berjalan. Ammonia dan nitrit
bersifat racun bagi ikan, tetapi nitrat lebih aman dan merupakan bentuk dari
nitrogen yang dianjurkan untuk pertumbuhan tanaman seperti buah-buahan dan
sayuran (Rakocy et al. 2006). Kelebihan akuaponik dari sistem lainnya
(ECOLIFE 2011) :
1. Sistem akuaponik berjalan dengan prinsip zero enviromental impact.
Akuaponik dapat menghasilkan ikan berkualitas baik dan tanaman organik
sehingga tidak tercemar dengan pupuk buatan, pestisida maupun herbisida.
2. Sistem akuaponik memanfaatkan air dengan lebih bijak. Sistem ini
menggunakan 90% lebih sedikit air daripada menanam tanaman dengan cara
konvensional dan menggunakan air 97% lebih sedikit dari sistem akuakultur
biasa.
3. Sistem akuaponik serbaguna dan mudah beradaptasi. Sistem ini dapat
dibangun dengan segala ukuran dan cocok untuk berbagai tempat.
Sebagian besar ikan air tawar, yang tahan terhadap padat tebar tinggi akan
tumbuh dengan baik pada sistem akuaponik (Rackocy et al. 2006). Beberapa jenis
ikan yang telah dibudidayakan menggunkan sistem akuaponik adalah lele
(Catfish), rainbow trout, mas (Common carp), koi, mas koki dan barramundi
(Asian sea bass). Tanaman yang digunakan dalam sistem akuaponik berupa
tanaman sayur (bayam, kemangi, kangkung) dan tanaman buah (tomat, mentimun,
paprika). Media tanam yang digunakan dalam sistem akuaponik sama dengan
cara bertanam hidroponik, yaitu dengan menggunakan batu apung, pasir, sabut
kelapa, batu kerikil dan nutrient film (ECOLIFE 2011).
8
2.2 Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus)
2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi
Lele Sangkuriang merupakan ikan hasil perbaikan genetik melalui cara
silang balik antara induk betina generasi kedua (F2) dengan induk jantan generasi
keenam (F6) lele Dumbo, dimana Induk betina F2 merupakan koleksi yang ada di
Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi yang berasal dari keturunan kedua lele
Dumbo yang diintroduksi ke Indonesia tahun 1985, sedangkan induk jantan F6
merupakan sediaan induk yang ada di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi
(Sunarma 2004). Menurut Hasanuddin Saanin dalam Djatmika et al. (1986),
Klasifikasi Ikan lele Sangkuriang :
Kingdom : Animalia
Sub-kingdom : Metazoa
Phyllum : Chordata
Sub-phyllum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub-kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub-ordo : Siluroidea
Famalia : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias gariepinus
Secara umum morfologi ikan lele sangkuriang tidak memiliki banyak
perbedaan dengan lele dumbo yang selama ini banyak dibudidayakan. Hal
tersebut dikarenakan lele sangkuriang sendiri merupakan hasil silang dari induk
lele dumbo. Gambar morfologi benih lele sangkuriang dapat dilihat pada Gambar
1.
Gambar 1. Benih Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus)
9
Tubuh ikan lele sangkuriang mempunyai bentuk tubuh memanjang, berkulit
licin, berlendir, dan tidak bersisik. Bentuk kepala menggepeng (depress), dengan
mulut yang relatif lebar, mempunyai empat pasang sungut. Lele Sangkuriang
memiliki tiga sirip tunggal, yakni sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur. Sirip
yang berpasangan pada ikan ini, ada dua yakni sirip dada dan sirip perut. Pada
sirip dada (pina thoracalis) dijumpai sepasang patil atau duri keras yang dapat
digunakan untuk mempertahankan diri dan kadang-kadang dapat dipakai untuk
berjalan dipermukaan tanah atau pematang (Najiyati 1992).
Lele sangkuriang harus dikembangkan karena memiliki fekunditas yang
tinggi, tingkat pertumbuhan yang tinggi, serta tingkat konversi pakan yang lebih
rendah dibandingkan dengan lele dumbo. Di bawah ini merupakan perbedaan
secara morfologi antara lele sangkuriang, lele dumbo, dan lele lokal.
Tabel 1. Perbedaan Morfologi Lele Sangkuriang, Lele Dumbo, dan
Lele Lokal
Lele Sangkuriang Lele Dumbo Lele Lokal
Warna agak terang Warna lebih terang Warna Gelap
Patil tajam tapi tidak
beracun
Patil tidak tajam, dan
tidak beracun
Patil tajam dan beracun
Sirip ekor membulat Sirip ekor membulat Sirip ekor membulat
Gerakan agresif Gerakan lebih Agresif Gerakan Biasa
Panjang standar rata-rata
benih (umur 26 hari)
3-5 cm
Panjang standar rata-rata
benih (umur 26 hari)
2-3 cm
Panjang standar rata-rata
benih (umur 26 hari)
2-3 cm
Pertumbuhan Cepat Pertumbuhan Sedang Pertumbuhan Lambat
Sifat tidak merusak
pematang
Sifat tidak merusak
pematang
Sifat merusak pematang
(Sunarma, 2004)
Selain itu secara morfologi dari ikan lele, pada bagian atas ruangan rongga
insang terdapat alat pernapasan tambahan (organ arborescent), bentuknya seperti
batang pohon yang penuh dengan kapiler-kapiler darah. Fungsi Arborescent
10
adalah untuk pernapasan udara, karena itu ikan lele sering mengambil udara di
atas permukaan air (Gambar 2).
Gambar 2. Organ Arborescent pada ikan lele (Clarias spp.)
(Affandi et al. 1992)
2.2.2 Habitat dan Tingkah Laku
Lele Sangkuriang dapat hidup di lingkungan yang kualitas airnya sangat
jelek. Budidaya ikan lele Sangkuriang dapat dilakukan pada areal dengan
ketinggian 800 meter di atas permukaan laut (dpl). Kualitas air yang baik untuk
pertumbuhan lele sangkuriang terdapat pada Tabel 2 (Sunarma, 2004).
Tabel 2. Kualitas Air yang Baik untuk Pertumbuhan Lele Sangkuriang
Parameter
Kualitas Air
Satuan Nilai
Kisaran
Suhu oC
24-26
Nilai pH 6-7
Kandungan O2 ppm >6
NH3 ppm <1
CO2 ppm <12
11
Dengan menggunakan sistem akuaponik dalam pemeliharaan lele sangkuriang
diharapkan kualitas air menjadi lebih baik sehingga berpengaruh terhadap
pertumbuhan. Menurut Direktorat Pembenihan KKP tahun 2013, salah satu sentra
produksi Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) untuk wilayah Jawa Barat adalah
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi (BBPBAT)
Sukabumi.
Ikan lele dikenal aktif bergerak dan mencari makan pada malam hari
(nokturnal). Pada siang hari, ikan lele lebih suka berdiam di dalam lubang atau
tempat yang tenang dan aliran air tidak terlalu deras. Ikan lele mempunyai
kebiasaan mengaduk-aduk lumpur dasar untuk mencari binatang-binatang kecil
(bentos) yang terletak di dasar perairan (Simanjutak 1989 dalam sunarma 2004).
2.3 Padat Penebaran
Padat penebaran yaitu jumlah individu yang ditebarkan per satuan luas
tertentu (Hicking 1971). Kepadatan ikan merupakan salah satu faktor pembatas
utama yang mempengaruhi pertumbuhan ikan (Bennet 1970). Hal ini disebabkan
ikan tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lain yaitu terjadi persaingan
dalam memperebutkan makanan dan ruang gerak (Prowse 1969). Ikan akan
mengeluarkan bahan-bahan kotoran atau bahan buangan ke dalam air dan ini tidak
hanya akan mempengaruhi pertumbuhan tetapi juga menjadi bahan yang beracun.
Padat penebaran yang terlalu tinggi akan akan menyebabkan berkurangnya
oksigen terlarut di dalam air dan secara tidak langsung akan mempengaruhi nafsu
makan ikan (Stickney 1970).
Spotte 1970 menyatakan bahwa daya dukung adalah banyaknya hewan yang
dapat didukung oleh suatu sistem. Hickling 1971 menjelaskan bahwa daya
dukung suatu kolam adalah batas suatu wadah atau kolam dapat menampung
jumlah ikan yang dipelihara dimana ikan tersebut dapat melangsungkan
kehidupannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bila kepadatan ikan melebihi daya
tampung suatu wadah atau kolam, maka ikan akan kehilangan bobot. Sebaliknya
bila kurang dari batas daya tampung wadah atau kolam, maka ikan akan segera
berkembang sampai bobotnya yang maksimal.
12
Chakroff 1976 membedakan antara “stocking density” dan “stocking rate”.
Stocking density adalah istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan jumlah
ikan dari suatu spesies yang dipelihara di kolam, sedangkan stocking rate
digunakan untuk menunjukkan jumlah ikan dari beberapa spesies. Stocking
density yang benar pada suatu kolam akan menghasilkan pertumbuhan yang baik
bagi ikan. Bila terlalu padat, ikan akan menunjukkan pertumbuhan yang tidak
baik.
Proses produksi benih ikan lele dumbo pada ukuran 5-8 cm sampai ke
tingkat benih ukuran 8-12 cm (Pendederan 4) padat penebarannya adalah
20 ekor/m2
(SNI:01-6484.4–2000). Hal ini perlu ditingkatkan melalui intensifikasi
budidaya yaitu peningkatan padat tebar benih lele sehingga bisa lebih
menguntungkan. Standar proses produksi benih lele dumbo pada setiap tingkatan
pemeliharaan (Tabel 1).
Tabel 3. Proses Produksi Benih Ikan Lele Dumbo pada Setiap Tingkatan
Pemeliharaan (SNI : 01-6484.4-2000)
Kriteria Satuan P1 P2 P3 P4
Pupuk organik g/m2 500 200 200 150
Kapur tohor g/m2 50 50 50 50
Ukuran benih cm 0,75-1,00 1-3 3-5 5-8
Padat tebar ekor/m2 100 50 25 20
Pakan
- Tingkat
pemberian
- Frekuensi
pemberian
% bobot
biomassa
kali/hari
20
2
10
3
5
3
3-4
3
Waktu
pemeliharaan
hari 20 40 54 75
Sintasan % 60 70 80 80
Ukuran panen cm 1-3 3-5 5-8 8-12
Keterangan P : Pendederan
13
2.4 Pertumbuhan
Pengertian pertumbuhan berdasarkan istilah sederhana dapat dirumuskan
sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu, tetapi jika
dipelajari lebih lanjut, pertumbuhan adalah proses biologis yang kompleks.
Pertumbuhan suatu individu adalah pertambahan jaringan akibat dari adanya
pembelahan sel secara mitosis (Effendie 1997).
Asupan nutrisi dari makanan atau dari lingkungan (air, mineral) yang akan
digunakan sebagai sumber energi sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan ikan
(Bureau et al. 2000). Energi yang diperoleh dari makanan akan digunakan oleh
tubuh untuk metabolisme, pergerakan, reproduksi, perawatan bagian-bagian tubuh
atau mengganti sel-sel yang sudah tidak terpakai. Bahan-bahan yang tidak
berguna akan dikeluarkan dari tubuh. Apabila terdapat bahan berlebih, akan
dimanfaatkan untuk produksi sel baru sebagai penambahan unit.
Menurut Effendie 1997, pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang
sulit dikendalikan, diantaranya ialah keturunan, sex, umur, dan penyakit. Faktor
luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan ialah makanan, suhu perairan dan
kimia perairan (oksigen, keasaman dan ammonia). Pertambahan ukuran baik
dalam panjang atau dalam berat umumnya diukur dalam waktu tertentu.
Menurut Effendie 1997, pengaruh keturunan terhadap pertumbuhan ikan
berhubungan dengan pewarisan sifat yang diturunkan oleh induk sebelumnya,
apabila induk tersebut mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi maka
keturunannya akan mewarisi sifat tersebut. Jenis kelamin dan umur ikan
menentukan pertumbuhan, oleh sebab itu di dalam sistem budidaya ikan
polikultur harus dipisahkan antara ikan jantan dan ikan betina. Hal ini untuk
menghindari adanya gejala pematangan kelamin secara dini, sehingga ikan yang
masih muda sudah menghasilkan telur sehingga pertumbuhan badannya
terhambat.
Umur mempengaruhi tingkat pertumbuhan ikan, dimana ikan yang masih
muda mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi dibandingkan ikan yang sudah
tua. Pada ikan tua, pertumbuhan masih terus berlangsung akan tetapi laju
14
pertumbuhannya lambat. Hal ini disebabkan karena kurangnya makanan berlebih
untuk pertumbuhan, karena sebagian besar makanan digunakan untuk
pemeliharaan tubuh dan pergerakan ikan (Effendie, 1997).
Faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah makanan.
Ketersediaan pakan dengan kualitas dan kuantitas yang baik akan menyebabkan
pertumbuhan dan perkembangan ikan yang baik. Kualitas pakan yang baik adalah
pakan yang mempunyai gizi yang seimbang baik protein, karbohidrat, maupun
lemak serta vitamin dan mineral (Mujiman, 1984).
Menurut Blaxter 1998 dalam Ardimas 2012, suhu dalam media budidaya
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan, hal ini berkaitan dengan laju
proses metabolisme ikan. Aktivitas metabolisme yang tinggi menyebabkan ikan
aktif mencari makan, sehingga laju pertumbuhan bobot mutlak menjadi lebih
cepat, sedangkan pada suhu yang lebih rendah aktivitas metabolisme berjalan
lebih lambat. Selain itu faktor kimia perairan lain seperti kandungan oksigen
terlarut, pH, dan ammonia sangat memengaruhi proses pertumbuhan ikan.
2.5 Kangkung air (Ipomoea aquatic)
Klasifikasi kangkung air adalah sebagai berikut (Rukmana 1994) :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisio : Spermatophyta
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub-kelas : Asteridae
Ordo : Solanales
Familia : Convolvulaceae
Genus : Ipomea
Spesies : Ipomea aquatic Forsk.
Kangkung air merupakan tanaman sayur yang cukup banyak digemari
masyarakat. Kangkung air, juga dikenal sebagai kang kong merupakan tanaman
yang cepat memberikan hasil dalam 4-6 minggu sejak dari benih. Tanaman ini
merupakan salah satu jenis tanaman sayuran daun yang hidup di air seperti
tempat becek, danau, dan selokan (Williams et al. 1991 dalam Arifianto 2002).
Menurut Tindall 1983 kangkung air dapat tumbuh ditanah yang banyak
15
mengandung air dan lumpur, tetapi biasanya tumbuh di kolam yang dangkal atau
di aliran yang kecepatan alirannya lambat. Dibawah ini merupakan gambar
kangkung air yang ditanam pada media keranjang plastik.
Gambar 3. Kangkung Air
Kangkung air dapat tumbuh secara optimal didaerah tropika dataran rendah
dengan kondisi suhu yang tinggi dan tetap serta penyinaran matahari yang rendah
(Tindall 1983 dalam Arifianto 2002). Rata-rata suhu pertumbuhan optimal untuk
tanaman kangkung adalah 26oC – 28
oC dengan kelembaban lebih besar dari 60%
(Nazaruddin 1995 dalam Arifianto 2002).
Kangkung air umumnya diperbanyak dengan stek. Pemanenan yang pertama
dapat dilakukan pada saat tanaman berumur 20-30 hari. Pemanenan selanjutnya
dilakukan setelah 12 hari kemudian dari jangka waktu panen yang pertama.
Setelah tanaman berumur satu atau dua tahun, kangkung air mulai rusak sebab
banyak tumbuh gulma, sehingga perlu diganti tanaman baru (Hukum et al. 1990).
Kangkung air banyak mengandung provitamin A (karoten) dan C, serta
mineral yang berguna untuk pertumbuhan. Secara terinci nilai kandungan zat gizi
kangkung air dalam 100 gram bahan disajikan dalam Tabel 4.
16
Tabel 4. Komposisi Zat Gizi Kangkung Air (dalam 100 gram bahan kering)
Kandungan gizi Jumlah
Energi 29 kal
Protein 3 gram
Fulasin 120 mg
Lemak 0,3 gram
Karoten 2,5 mg
Karbohidrat 5,4 gram
Pro Vitaman A 6300 SI
Vitamin B 0,07 mg
Vitamin C 32 mg
Kalsium 23 mg
Posfor 50 mg
Askorbat 2,9 mg
Besi 2,2 mg
Air 89,7 mg
Serat 2,7 mg
Sumber : (Hukum, Kuntarsih, dan Simanjuntak 1990)
Berdasarkan Hidayat 1993, kangkung air dapat mengurangi pencemaran
limbah pabrik roti, tekstil, dan industri obat-obatan. Kangkung air tersebut dapat
meningkatkan kualitas oksigen terlarut dan menurunkan kandungan CO2 bebas di
perairan tercemar, sehingga tanaman ini dapat pula digunakan sebagai alternatif
untuk mengurangi pencemaran (Kartikasari 2001). Menurut Schmidt et al. 1971
pada tanaman kangkung air terkandung nitrat (NO3) sebesar 0,39 % berat kering
tanaman. Menurut Setijaningsih 2009 dalam Ratananda 2011 penggunaan
kangkung dalam sistem akauponik mampu mereduksi limbah nitrogen dalam
budidaya ikan hingga 58 %.
Kangkung mempunyai daya adaptasi cukup luas terhadap kondisi iklim di
daerah tropis, sehingga dapat ditanam (dikembangkan) diberbagai daerah atau
wilayah di Indonesia. Prasyarat tumbuh yang harus diperhatikan dalam
perencanaan budidaya kangkung antaralain jumlah curah hujan dan temperatur
17
udara. Jumlah curah hujan yang baik untuk pertumbuhan tanaman kangkung
berkisar antara 500-5.000 mm per tahun, sedangkan temperatur udara dipengaruhi
oleh ketinggian tempat. Setiap naik 100 meter tinggi tempat, maka temperatur
udara turun 1oC. Pada permukaan laut temperatur rata-rata sekitar 28
oC dan
didataran tinggi (pegunungan) ± 2.000 meter dari permukaan laut (dpl) sekitar
18oC (Rukmana 1994).
Tabel 5. Kebutuhan Unsur Hara Tanaman Sayuran
Unsur Hara Karakteristik Dampak Kekurangan
Nitrogen (N) Mudah Hilang, Mudah
Berubah bentuk, Mudah
diserap
Pertumbuhan terhambat
dan kerdil, Daun kuning,
Mempengaruhi
Penyerapan P dan K.
(Shellp 1987; Mattason
dan Schjoerring 2002;
Abdolzadeh et al. 2008).
Posfor (P) Tidak mudah bergerak,
bersifat dinamis, bergantung
pada reaksi tanah,
Pertumbuhan terhambat,
terganggunya
perkembangan sel dan
akar (Marshner 1986;
Delvian 2006).
Kalium (K) Mudah bergerak, terikat
oleh permukaan koloid
tanah,
mempengaruhi sistem
perakaran, tunas,
pembentukan pati, dan
translokasi gula (Wien
1997; Barker dan Pilbean
2006).
Ca Ketersediaannya sedikit,
unsur makro sekunder yang
sering terlupakan.
terhambatnya
pertumbuhan pucuk (titik
tumbuh), pertumbuhan
kerdil dan mati
(Marshner 1986; Baker
dan Pilbean 2006).
Mg Ketersediaan berkurang
akibat intensifnya
pengelolaan lahan,
unsur makro sekunder yang
sering terlupakan
mengganggu unsur
penyusun klorofil daun,
warna kuning diantara
tulang-tulang daun yang
menua (Tisdale et al.
1985;Tandon dan Kimmo
1993).
Sumber : (Suwandi 2009)
18
2.6 Kualitas Air
Parameter kualitas air seperti faktor fisik, kimia dan biologi mempengaruhi
organisme yang hidup dalam perairan. Perairan dengan kualitas air yang baik akan
menghasilkan ikan yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
Kualitas air dalam perairan akan berubah tergantung kondisi. Parameter kualitas
air yang diukur pada penelitian ini meliputi ammonia, oksigen terlarut, suhu,
derajat keasaman (pH), nitrat, dan posfat.
2.6.1 Ammonia
Ammonia pada kolam budidaya berasal dari proses dekomposisi bahan
organik seperti, tumbuhan, hewan dan pakan yang membusuk. Ammonia juga
berasal dari produk ekskresi ikan (urin dan feses). Ammonia dalam air terdiri dari
dua bentuk, NH3 yang berbentuk gas atau ion ammonium (NH4+
). Ammonia
dalam bentuk yang bersifat racun pada kegiatan budidaya dapat menyebabkan
iritasi insang dan gangguan pernapasan. Molleda 2007, ikan air tawar masih
toleran terhadap total ammonia sampai 1,0 mg/L.
Kadar ammonia dipengaruhi oleh suhu dan pH kolam budidaya. Pada suhu
dan pH yang tinggi, NH4+
akan diubah menjadi NH3 yang menyebabkan kadarnya
meningkat dalam kolam budidaya. Upaya dapat dilakukan untuk menggurangi
tingginya kadar ammonia pada kolam budidaya adalah mengurangi atau
menghentikan pemberian pakan, menambah air baru pada kolam, mengurangi
padat tebar, dan memberi aerasi pada kolam (Primary Industries Resources /PIR
2003).
2.6.2 Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan jumlah oksigen yang berada dalam air.
Oksigen terlarut merupa kan faktor yang paling penting dalam kolam budidaya air
tawar. Jumlah okigen dipengaruhi oleh suhu air, padat tebar, dan jumlah vegetasi
akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut akan bervariasi sepanjang hari. Oksigen
terlarut dalam air berasal dar proses difusi dari udara ke air, aerasi mekanik
melalui sistem aerasi maupun angin dan melalui proses fotosintesis tumbuhan air.
19
Penurunan jumlah oksigen disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu blooming
fitoplankton dan zooplankton, padat tebar tinggi, kekeruhan air yang tinggi
sehingga mengganggu proses fotosintesis dan suhu air yang tinggi. Konsentrasi
okigen terlarut yang rendah dapat mematikan organisme akuakultur
(Mc Caffrey 2009). Adapun nilai optimum kandungan oksigen terlarut dalam
budidaya lele sangkuriang adalah lebih besar dari 4 mg/l (SNI 2000).
Dampak negatif kekurangan oksigen dalam air adalah stress, rentan terhadap
serangan penyakit, efisiensi pakan menjadi rendah, pertumbuhan lambat dan
menyebabkan kematian organisme perairan (PIR 2003). Lebih lanjut
dikemukakan bahwa oksigen sangat essensial bagi fungsi metabolisme termasuk
pencernaan dan asimilasi makanan serta pertumbuhan. Ikan membutuhkan
oksigen sesuai dengan spesies, umur, tingkat kematangan, dan ukurannya. Pada
kegiatan budiadaya, kandungan oksigen terlarut harus optimal karena secara
langsung dapat meningkatkan produksi dan efisiensi pakan.
2.6.3 Suhu Air
Hewan air menerima suhu dari lingkungan dan tidak toleran terhadap
perubahan suhu yang cepat (Thermo Fisher Scientific /TFS 2008). Inilah yang
menyebabkan suhu tubuh ikan biasanya sama dengan suhu air. Suhu akan
mempengaruhi seluruh proses kimiawi dan biologis. Suhu air memiliki pengaruh
langsung kepada ikan, seperti mempengaruhi pertumbuhan, oksigen terlarut,
kebutuhan makanan dan efisiensi konversi pakan. Semakin tinggi suhu air,
semakin besar kebutuhan oksigen dan pakan sehingga mendorong pertumbuhan
yang lebih cepat (PIR 2003).
Suhu yang optimum akan berbeda sesuai dengan jenis ikan yang di
budidaya. Setiap spesies ikan mempunyai limit toleransi minimum dan maksimum
sehingga suhu yang optimum dibutuhkan untuk menjamin pertumbuhan yang
optimal dan suksesnya reproduksi. Suhu air diukur dengan menggunakan
termometer suhu. Adapun kisaran suhu untuk parameter kualitas air pada
pemeliharaan benih lele sangkuriang adalah 24-30oC (Sunarma 2004).
20
2.6.4 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) merupakan ukuran dari tingkat asam atau basa air.
Derajata keasaman dapat diukur menggunakan uji colorimetric, kertas litmus yang
digunakan akan berubah warna sesuai dengan meningkatnya asam atau basa.
Terlalu tinggi maupun rendah pH (9,6 atau 4,5), menyebabkan air tidak cocok
digunakan. Ikan muda sangat sensitif dengan perubahan pH. Nilai pH yang
optimal untuk budidaya ikan air tawar sekitar 6,5 – 8 (McCaffrey 2009).
Derajat keasaman yang tidak optimal akan memberikan pengaruh buruk
diantaranya menyebabkan ikan stress, mudah terserang penyakit, reproduksi yang
rendah dan pertumbuhan terganggu. Hal tersebut dapat dilihat dari bertambahnya
lendir pada permukaan insang, kerusakan pada lensa mata, cara berenang menjadi
tidak normal, kerusakan sirip, pertumbuhan fitoplankton dan zooplankton yang
buruk pada kolam dan bahkan menyebabkan kematian. Tidak optimalnya pH air
disebabkan oleh air yang memiliki kadar asam tinggi, air yang digunakan
berkualitas buruk dan meningkatnya produksi CO2 pada kolam (PIR 2003).
2.6.5 Nitrat (NO3-N)
Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan dan merupakan nutrien
utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat sangat mudah larut dalam air
dan bersifat stabil (Bahri 2006). Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi
sempurna senyawa nitrogen di perairan memalui proses nitrifikasi. Nitrifikasi
merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat dengan bantuan
mikroorganisme adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen (Effendi 2003).
Pada konsentrasi sekitar 90 mg/L nitrat tidak akan merugikan ikan, tetapi akan
berbahaya ketika nitrat tersebut berkurang sehingga berubah menjadi nitrit
(EPA 1986).
2.7.6 Posfat
Posfat adalah bentuk posfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan dan
merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga sehingga dapat
mempengaruhi tingkat produktivitas perairan (Bahari 2006). Posfor merupakan
21
salah satu senyawa nutrien yang penting karena akan diabsorbsi oleh fitoplankton
dan masuk ke dalam rantai makanan (Hutagalung dan Rozak 1997). Ortoposfat
merupakan bentuk posfor yang dapat langsung dimanfaatkan oleh tumbuhan
akuatik, sedangkan polifosfat harus direduksi dulu menjadi ortofosfat sebelum
dimanfaatkan. Posfor dalam bentuk fosfat merupakan mikronutrien yang
diperlukan dalam jumlah kecil namun sangat esensial bagi organisme akuatik.
Kekurangan posfat juga dapat menghambat pertumbuhan fitoplankton
(Zulfitria 2003 dalam Bahari 2006).