Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Jual Beli secaraAngsuran
1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Jual Beli
1.1 Pengertian tentang Perjanjian Jual Beli
Jual beli adalah perjanjian timbal balik dalam mana pihak
yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas
suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk
membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan
dari perolehan hak milik tersebut.11 Jual beli menurut Pasal 1457
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengatakan “jual beli
adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan
pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.12
Menurut Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, jual beli sudah dianggap terjadi antara kedua belah pihak
seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan
harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya
belum dibayar, sehingga dengan lahirnya “kata sepakat” maka
lahirlah perjanjian itu dan sekalian pada saat itu menyebabkan
timbulnya hak dan kewajiban, oleh karena itu maka perjanjian jual
11 A Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit., hal. 38. 12 Ibid.
19
beli dikatakan juga sebagai perjanjian konsensuil dan sering juga
disebut “perjanjian obligatur”.13
Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian antara pihak
penjual dan pihak pembeli, dimana pihak penjual mengikatkan diri
untuk menyerahkan hak miliknya atas sesuatu barang kepada
pembeli, dan pembeli mengikatkan diri untuk membayar harga
barang itu dengan uang, sesuai dengan yang telahdisepakati dalam
perjanjian mereka.14 Objek dari suatu perjanjian jual beli adalah
hak milik suatu barang, dengan kata lain tujuan pembeli adalah
pemilikan suatu barang.15
1.2. Unsur-unsur Perjanjian Jual Beli
Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual beli adalah
barang dan harga, sesuai dengan asas “konsensualisme” yang
menjiwai hukum perjanjian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
bahwa perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik
tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga yang kemudian
lahirlah perjanjian jual beli yang sah.16
Sifat konsensuil dari jual beli tersebut dapat dilihat dari
Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang isinya jual
beli sudah dianggap terjadi antara kedua belah pihak seketika
setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga,
13 Ibid., hal. 39. 14 Djohari Santoso dan Achmad Ali, Op.Cit., hal. 115. 15 Ibid. 16 Subekti, Op.Cit., hal. 2.
20
meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum
dibayar.17
Abdulkadir Muhammad merincikan unsur-unsur dalam
perjanjian jual-beli ke dalam empat unsur sebagai berikut :18
1. Subyek Jual Beli
Subyek jual beli adalah pihak-pihak dalam perjanjian.
Sekurang-kurangnya ada dua pihak, yaitu penjual yang
menyerahkan hak milik atas benda dan pembeli yang membayar
harga dari benda tersebut. Subyekdari perjanjian jual beli adalah
penjual dan pembeli, yang masing-masing pihak mempunyai
hak dan kewajiban. Subyek yang berupa orang atau manusia ini
telah diatur oleh Undang-Undang yaitu harus memenuhi syarat
umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum antara
lain, ia harus dewasa, sehat pikirannya, dan tidak dilarang atau
dibatasi di dalam melakukan suatu perbuatan hukum yang sah
oleh Undang-undang.
2. Status Pihak-Pihak
Pihak penjual atau pembeli dapat berstatus pengusaha atau
bukan pengusaha. Pengusaha adalah penjual atau pembeli yang
menjalankan perusahaan, sedangkan penjual atau pembeli yang
bukan pengusaha adalah pemilik atau konsumen biasa. Penjual
17 Ibid., hal. 39. 18 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal. 34.
21
atau pembeli dapat juga berstatus kepentingan diri sendiri, atau
kepentingan pihak lain atau kepentingan badan hukum.
3. Peristiwa Jual Beli
Peristiwa jual beli adalah saling mengikatkan diri berupa
penyerahan hak milik dan pembayaran harga. Peristiwa jual beli
di dasari oleh persetujuan dan kesepakatan anatara penjual dan
pembeli. Apa yang dikehendaki oleh penjual, itulah yang
dikehendaki pembeli.
4. Objek Jual Beli
Objek jual beli adalah barang dan harga. Barang adalah
harta kekayaan yang berupa benda materialm benda immaterial,
baik bergerak maupun tidak bergerak. Sedangkan harga ialah
sejumlah uang yangsenilai dengan benda. Objek persetujuan jual
beli adalah barang yang diperjualbelikan tersebut. karena barang
adalah essensial pada perjanjian jual beli, maka tentunya tidak
ada perjanjian jual beli, maka tentunya tidak ada perjanjian jual
beli apabila tidak ada barang yang diperjualbelikan.
1.3. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli
1. Hak dan Kewajiban Penjual
Menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, hak penjual adalah menuntut harga pembayaran atas
barang-barang yang diserahkannya kepada pembeli, sedangkan
kewajiban penjual adalah menyerahkan barang ke dalam
22
kekuasaan dan kepunyaan si pembeli dan menanggung terhadap
barang yang dijual itu. Mengenai “menanggung”, lebih lanjut
diatur dalam Pasal 1491 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yang mengatakan bahwa kewajiban dari penjual adalah
menjamin bahwa penguasaan benda yang dijual oleh si pembeli
berlangsung secara aman dan menjamin terhadap adanya cacat
tersembunyi.19
Menjamin bahwa penguasaan benda yang dijual oleh si
pembeli berlangsung secara aman termasuk penanggulangan
terhadap hak-hak pihak ketiga, maksudnya setelah terjadi jual
beli itu jangan sampai ada gugatan dari pihak ketiga yang
mengatakan, bahwa dirinya sebagaipemilik dari benda yang
dijual itu, juga benda itu dibebani hyphotek atau kredit verban,
ini semuanya harus dijamin oleh si penjual.20
Mengenai menjamin terhadap adanya cacat tersembunyi,
menurut Pasal 1504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
dimaksudkan adalah cacat yang membuat barang itu tidak
sanggup untuk dipakai sebagai yang dimaksudkan atau yang
demikian mengurangi pemakaian itu sehingga seandainya pihak
pembeli mengetahui cacat itu ia sama sekali tidak akan membeli
barang itu atau membelinya dengan harga yang murah.21
19 A Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit., hal. 38. 20 Ibid., hal. 45. 21 Ibid.
23
2. Hak dan Kewajiban Pembeli
Hak pembeli adalah menuntut penyerahan barang yang
telah dibelinya dari si penjual, sedangkan kewajibannya adalah
membayar harga pembelian pada waktu dan tempat
sebagaimana yang ditetapkan di dalam perjanjian mereka.22
Menurut Pasal 1514 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jika
pada waktu membuat persetujuan tidak ditetapkan tentang itu,
pihak pembeli harus membayar di tempat dan pada waktu di
mana penyerahan harus dilakukan.23
1.4. Berakhirnya Perjanjian Jual Beli
Menurut Abdulkadir Muhammad, berakhirnya jual beli
secara normal adalah setelah penjual dan pembeli memenuhi
kewajiban masing-masing sesuai dengan kesepakatan mereka.
Teteapi secara tidak normal ada beberapa hal yang dapat
mengakibatkan perjanjian jual beli berakhir atau putus. Hal-hal
tersebut adalah :
a. Segala hak dan kewajiban dari masing-masing pihak
terpenuhi sesuai dengan perjanjian.
b. Kedua belah pihak sepakat untuk memutuskan perjanjian
setelah adanya pengiriman atau penerimaan barang di tempat
pembeli.
c. Pemutusan perjanjian secara sepihak
22 Ibid., hal. 46. 23 Ibid .
24
Dalam perjanjian jual beli, umumnya jual beli barang sudah
diserahkan dan diterima oleh si pembeli, di mana pembeli
melakukan pembayaran sesuai dengan perjanjian dan penjual
harus mengirimkan barang sampai di rumah dengan keadaan
yang baik seperti pada sedia kala saat di toko.
2. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Jual Beli secara Angsuran
2.1 Pengertiantentang Perjanjian Jual Beli secara Angsuran
Jual beli secara angsuran atau cicilan, dalam bahasa Inggris
disebut dengan Credit Sale atau dalam bahasa Belanda disebut
Koop en Verkoop of afbetaling. Bentuk jual beli semacam ini tidak
dilakukan seperti jual beli pada umumnya, karena cara
pembayarannya tidak dilakukan secara tunai.
Di negara Belanda yang merupakan dimana sistem hukum
kita berasal, lembaga jual beli secara angsuran ini telah diatur
dalam ketentuan tersendiri. Ketentuan dimaksud terdapat dalam
Pasal 1576 sampai 1576x BW Belanda.24
Pengertian jual beli secara angsuran dinyatakan sebagai berikut :
“Koop en verkoop of Afbetaling is de koop en verkoop, waarbij
partijen overeen komen, dat de kooprijs wordt betaald in termijnen,
waarvan twee of meer verschijnen, nadat de verkochte zaak aan
den koper is over gedragen, al and niet in eigendom”
Terjemahan dalam bahasa Indonesianya adalah sebagai berikut :
24 Suryodiningrat RM., 1980, Perikatan-perikatan yang Bersumber Perjanjian, Penerbit Tarsito,
Bandung, hal. 27
25
“Jual beli secara angsuran ialah jual beli dimana para pihak telah
bersepakat bahwa barang akan dibayar secara angsuran setelah
barang diserahkan oleh penjual kepada pembeli, baik dalam hak
milik maupun tidak”25
Bentuk jual beli dengan pembayaran angsuran tidak dikenal
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, munculnya lembaga
ini disebabkan karena adanya kebutuhan dalam praktek. Oleh
karena itu, dasar hukum dari jual beli secara angsuran adalah
ketentuan-ketentuan hukum perikatan (Verbintenissen Rechts).
Jadi, para pihak yang melakukan perbuatan hukum jual beli dengan
pembayaran angsuran dapat membuat perjanjian atas dasar
kesepakatan. Tujuan dibuatnya perjanjian tersebut adalah untuk
mengatur hak-hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh
masing-masing pihak, serta guna menghindari kesalahpahaman.
Perjanjian seperti ini dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Tapi,
guna keperluan pembuktian, sebaiknya apa yang diperjanjikan oleh
para pihak ditulis dalam suatu akta perjanjian. Perjanjian jual beli
angsuran ini termasuk dalam perjanjian tidak bernama (In
Nominat) karena perjanjian jual beli angsuran tidak diatur dalam
KUHPerdata, tetapi karena didasari atas adanya asas kebebasan
berkontrak yang mana setiap orang boleh membuat perjanjian
dalam berbagai bentuknya baik yang sudah diatur dalam
25 Ibid.
26
KUHPerdata maupun yang belum ada aturannya dalam
KUHPerdata asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Ketertiban Umum dan Kesusilaan.
2.2 Kedudukan Perjanjian Jual Beli Secara Angsuran dalam
KUHPerdata
Salah satu perbuatan hukum yang sering dilakukan di
dalam kehidupan bermasyarakat adalah jual beli. Interaksi antar
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dapat diperoleh dari
berbagai cara, antara lain melalui transaksi jual beli.
Kedudukan perjanjian jual beli dalam KUHPerdata telah
diatur dalam buku III tentang Perikatan. Buku III tersebut mengatur
tentang perjanjian baik secara umum maupun secara khusus.
“Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak
yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu
kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan”, demikianlah rumusan Pasal 1457 KUHPerdata.26
Berdasarkan pada rumusan yang diberikan, dapat dilihat bahwa
jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan
kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam
hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual
oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.
26 Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi, 2004, Jual Beli, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 7
27
Jual beli tersebut juga ditegaskan dalam pasal 1458
KUHPerdata yang menyatakan: “Jual beli itu dianggap telah terjadi
antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini telah
mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya,
meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya
belum dibayar.” Sehingga perjanjian diangap sah ketika sudah
terjadi kata sepakat, walaupun belum terjadi peralihan uang dan
barang. Hal tersebut mengartikan bahwa jual beli memiliki sifat
konsensualisme.
Di dalam masyarakat, terdapat bentuk jual beli yang
berkembang dengan berbagai variasi, antara lain:
a. Jual beli dengan contoh (sale by sample);
b. Jual beli dengan percobaan (koop op proef);
c. Jual beli dengan hak membeli kembali (recht van wederinkoop);
d. Jual beli dengan syarat tangguh dan lain-lain.27
B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Sewa Beli
1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Sewa Menyewa
1.1 Pengertian tentang Perjanjian Sewa Menyewa
Pengertian sewa menyewa secara normatif dapat kita temui pada
buku ke III dalam rumusan Pasal 1548 KUHPerdata yang berbunyi :
“sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang
27 CST. Kansil dsn Christine S.T Kansil, 2000, Modul Hukum Perdata (Termasuk Asas-asas
Hukum Perdata), cet. ke-III, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 237
28
satu mengikatkan dirinya untuk memberi kepada pihak yang lain
kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dengan
pembayaran suatu harga yang oleh pihak terakhir disanggupi
pembayarannya”.
Dari ketentuan di atas, menjelaskan bahwa pemilik barang
hanya memberikan kenikmatan atas barang tersebut atau hanya
dipakai dalam jangka waktu tertentu atau dengan kata lain, pemilik
hanya menyerahkan kekuasaan atas barang kepada pihak penyewa
dan bukan untuk memilikinya. Dalam perjanjian sewa menyewa
barang yangdiserahkan bukannya hak milik dari barang tersebut,
seperti jual beli pada umumnya melainkan hanya penguasaan belaka
atas pemakaian dan pemungutan hasil dari barang selama jangka
waktu tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Jadi dengan
demikian hak milik dari barang tersebut tetap berada pada pihak
yang menyewakan. Lebih lanjut Wirjono Prodjodikoro mengatakan
“Justru oleh karena hak milik atas barang tetap berada ditangan
pihak yang menyewakan, maka pada hakekatnya keadaan sewa
menyewa ini sudah selayaknya tidak dimaksudkan untuk
berlangsung terus menerus melainkan terbayang dikemudian hari,
pamakaian dan pemungutan hasil dari barang itu pasti akan kembali
lagi pada pemilik barang”.28
28 Wirjono Prodjodikoro, “Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu”, Cet- 7
penerbit sumur bandung, 1981. Hal.49
29
Perjanjian sewa menyewa merupakan perjanjian nominat
yaitu perjanjian bernama yang dalam bahasa belandanya disebut
Benoemde. Dimana didalam KUHPerdata perjanjian ini diatur dalam
rumusan Pasal 1319 KUHPerdata yang berbunyi : “semua perjanjian
baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak
dikenal dengan suatu nama tertentu yang termuat didalam bab ini
dan bab yang lalu”. Dari rumusan sewa menyewa seperti di tentukan
oleh Pasal 1548 KUHPerdata, dapat dikatakan bahwa perjanjian
sewa menyewa adalah suatu perjanjian konsensuil yang artinya
perjanjian tersebut telah sah dan mengikat pada saat tercapainya kata
sepakat, yaitu mengenai barang yang disewa dan harga sewanya.
1.2. Unsur-unsur Perjanjian Sewa Menyewa
1. Adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa (subjek).
2. Adanya konsensus antara kedua belah pihak (perjanjian).
3. Adanya objek sewa menyewa yaitu berupa barang, baik barang
bergerak maupun barang tidak bergerak.
4. Adanya kewajiban dari pihak yang menyewakan untuk
menyerahkan kenikmatan kepada para pihak penyewa atas suatu
benda.
5. Adanya kewajiban dari penyewa untuk menyerahkan uang
pembayaran kepada pihak yang menyewakan.29
29 Salim H.S, “Hukum Kontrakan”, cet ke-3, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Hal.59
30
1.3 Subjek dan Obyek Perjanjian Sewa Menyewa
Pihak-pihak yang terlibat dalam Perjanjian Sewa Menyewa adalah :
a. Pihak yang menyewakan
Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum
yang menyewakan barang atau benda kepada pihak lainnya untuk
dapat menikmati kegunaan benda tersebut. Pihak yang
menyewakan barang atau benda tidak harus pemilik benda sendiri
tetapi semua orang yang atas dasar hak penguasaan untuk
memindahkan pemakaian barang ke tangan orang lain. Hal
tersebut dikarenakan didalam sewa menyewa yang diserahkan
kepada pihak penyewa bukanlah hak milik atas suatu barang
melainkan hanya pemakaian atau pemungutan atas hasil dari
barang yang disewakan.
b. Pihak Penyewa
Pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang
menyewa barang atau benda dari pihak yang menyewakan. Objek
barang yang dapat disewakan menurut Hofmann dan De Burger,
yang dapat di sewa adalah barang bertubuh saja, namun ada
pendapat lain yaitu dari Asser dan Van Brekel serta Vollmar
berpendapat bahwa tidak hanya barang-barang yang bertubuh saja
yang dapat menjadi objek sewa melainkan hak-hak juga dapat
disewa,pendapat ini juga diperkuat dengan adanya Hoge Raad
31
tanggal 8 Desember 1922 yang menganggap kemungkinan ada
persewaan suatu hak untuk memburu hewan (Jachtrecht).30
Tujuan dari diadakannya perjanjian sewa menyewa adalah
untuk memberikan hak pemakaian kepada pihak penyewa
sehingga benda yang bukan berstatus hak milik dapat disewakan
oleh pihak yang mempunyai hak atas benda tersebut. Jadi benda
yang disewakan oleh pihak yang menyewakan dapat berupa hak
milik, hak guna usaha, hak pakai, hak menggunakan hasil, hak
sewa dan hak guna bangunan. Perjanjian sewa menyewa menurut
Van Brekel, bahwa harga sewa dapat berwujud barang-barang
lain selain uang, namun barang-barang tersebut harus merupakan
barang-barang bertubuh, karena sifat dari perjanjian sewa
menyewa akan hilang jika harga harga sewa dibayardengan suatu
jasa. Pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat dari Prof.
Subekti, S.H yang berpendapat bahwa dalam perjanjian sewa
menyewa tidaklah menjadi keberatan apabila harga sewa tersebut
berupa uang, barang ataupun jasa.31Jadi objek dari perjanjian
sewa menyewa adalah segala jenis benda, baik benda bergerak
maupun benda tidak bergerak, benda berwujud maupun benda
tidak berwujud.
30 Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, Hal.50. 31 Subekti, Op.cit, Hal.50.
32
1.4. Hak dan Kewajiban Para Penyewa dalam Sewa Menyewa
Yang menjadi hak dan kewajiban dari para pihak yaitu pihak yang
menyewakan dan pihak yang menyewa, menurut KUHPerdata,
adalah sebagai berikut :
1. Hak dan Kewajiban Pihak Yang Menyewakan
Adapun yang menjadi hak dari pihak yang menyewakan adalah
menerima harga sewa yang telah ditentukan sedangkan yang
menjadi kewajiban bagi pihak yang menyewakan dalam
perjanjian sewa menyewa tersebut, yaitu:
a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa
(Pasal 1550 ayat (1) KUHPerdata).
b. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga
dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan (Pasal 1550
ayat (2) KUHPerdata).
c. Memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati barang
yang disewakan (Pasal 1550 ayat (3) KUHPerdata).
d. Melakukan pembetulan pada waktu yang sama (Pasal 1551
KUHPerdata).
e. Menanggung cacat dari barang yang disewakan (Pasal
1552KUHPerdata).
2. Hak dan Kewajiban Pihak Penyewa
Adapun yang menjadi hak bagi pihak penyewa adalah
menerima barang yang disewakan dalam keadaan baik sedangkan
33
yang menjadi kewajiban dari pihak penyewa dalam perjanjian
sewa menyewa tersebut, yaitu:
a. Memakai barang sewa sebagai seorang kepala rumah tangga
yang baik artinya kewajiban memakainya seakan-akan barang
tersebut itu kepunyaan sendiri
b. Membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan (Pasal
1560 KUHPerdata) Dari ketentuan di atas cukuplah jelas
bahwa kedua belah pihak mempunyai hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi
2. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Sewa Beli
2.1 Pengertian tentang Perjanjian Sewa Beli
Perjanjian sewa beli merupakan perjanjian yang tidak
bernama (contract innominat). Sehingga selain Hukum kontrak
innominaat diatur dalam Buku III KUH Perdata. Di dalam Buku III
KUH Perdata, hanya ada satu pasal yang mengatur tentang kontrak
innominaat, yaitu Pasal 1319 KUH Perdata berbunyi32 : “Semua
perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak
dikenal dengan nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang
termuat dalam bab yang lalu”33. Selain itu secara umum Pasal 1338
memberikan dasar yang sangat penting dalam mana para pihak
membuat kontrak diluar yang tertulis dalam KUHPerdata. Pasal
32 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia , Sinar grafika Jakarta
2008, hal 5 33 Pasal 1319 KUH Perdata
34
1338 KUHPerdata menegaskan bahwa “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Artinya, semua perjanjian mengikat bagi mereka
yang membuatnya, mempunyai hak yang oleh perjanjian itu
diberikan kepadanya dan berkewajiban melakukan hal-hal yang
ditentukan dalam perjanjian. Setiap orang dapat mengadakan
perjanjian, asalkan memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Pasal
1320 KUHPerdata.
2.2 Undang-undang yang Mengatur tentang Perjanjian Sewa Beli
Sewa beli atau beli sewa belum ada undang-undang yang
mengaturnya, tetapi perjanjian ini masih diberlakukan di masyarakat,
asalkan masih berpegang pada asas kebebasan berkontrak dengan
tidak mengabaikan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Sewa beli yang menampakkan jati diri bukanlah sebagai perjanjian
jual beli atau perjanjian sewa menyewa, walaupun mencerminkan
cirri-ciri dari keduanya. Perjanjian sewa beli adalah sebagai jual beli
benda tertentu, penjual melaksanakan penjualan benda dengan cara
memperhatikan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli
dengan pelunasan atas harga benda yang telah disepakati bersama dan
diktat dalam suatu perjanjian. Selanjutnya ditentukan bahwa hak milik
atas benda tersebut, baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah
harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.Latar belakang
timbulnya sewa beli pertama kali adalah untuk menampung persoalan,
35
yang dikarenakan kebanyakan para calon pembeli tidak mampu
membayar jumlah uang yang ditentukan secara tunai. Kesimpulan dari
uraian ini bahwa penyebab lahirnya kontrak sewa beli adalah pasaran
barang industry semakin menyempit, dan daya beli masyarakat
kurang.34 Selain itu yang menjadi latar belakang lahirnya kontrak
sewa beli adalah karena adanya asas kebebasan berkontrak.
Berbagai kontrak sewa beli tidak ditentukan secara tegas tentang
saat terjadinya kontrak sewa beli. Namun, apabila kita mengkaji pasal
1320 KUHPerdata, maka momentum terjadinya kontrak sewa beli
adalah pada saat terjadinya persesuaian kehendak antara penjual sewa
dan pembeli sewa.35 Pada dasarnya tidak ada suatu peraturan yang
mengharuskan perjanjian sewa beli dibuat dalam bentuk tertulis.
Perjanjian termasuk perjanjian sewa beli adalah bebas bentuk, sehingga
dapat berbentuk lisan maupun berbentuk tulisan (akta). Apabila bentuk
perjanjian itu tertulis, maka perjajian sewa beli tersebut terjadi saat
ditandatanganinya kontrak tersebut. Namun untuk mencegah terjadinya
kemungkinan terburuk melakukan perbuatan melawan hukum atau
wanprestasi, sebaiknya dibuat secara tertulis. Namun agar para pihak
yang terlibat dalam perjanjian sewa beli itu merasa aman dari
penyelewengan atau penipuan, maka perjanjian sewa beli harus
dituangkan dalam bentuk tertulis, baik itu dengan akta notaris maupun
akta dibawah tangan.
34 Salim M. S, Op-Cit. hal 131 35 Ibid., 136
36
Semua perjanjian sewa beli, diterangkan bahwa peralihan hak
kepemilikan barang baru terjadi pada hari pembayaran sewa bulan
terakhir atau apabila dilakukan pelunasan harga barang sebelum waktu
yang ditentukan berakhir. Selama harga barang belum dibayar lunas,
maka barang yang menjadi obyek perjanjian, misalnya kendaraan
bermotor, tetap berstatus barang sewa yang hak kepemilikannya
dipegang oleh si penjual, walaupun semua surat-surat dan Bukti
Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) adalah atas nama pembeli,
sehingga status pembeli adalah penyewa, agar pembeli tidak dapat
menjual atau memindahtangankan barang tersebut dalam bentuk apapun
kepada pihak lain, tetapi dalam perjanjian juga di sebutkan hal yang
dapat dikatakan berlawanan,yaitu pada saat bersamaan dengan lunasnya
pembayaran angsuran sewa beli seluruhnya, maka pembeli akan
menjadi pemilik. Klausula tersebut menunjukan adanya sikap
pengamanan (security) yang berlebihan dari penjual terhadap
kemungkinan terjadinya peralihan hak dari barang otomotif yang
merupakan barang sewa beli. Dengan ditandatanganinya surat
perjanjian oleh kedua pihak, maka terjadilah perjanjian sewa beli. Jadi
tidak memerlukan beberapa saksi, pada umumnya surat perjanjian sewa
beli tersebut cukup ditempeli dengan materai minimal Rp.6000,- (enam
ribu rupiah) agar kekuatan hukum lebih kuat.
37
2.3 Penerapan Perjanjian Sewa Beli
Pada dasarnya penerapan perjanjian sewa beli di Indonesia
dilakukan seperti perjanian-perjanjian lain pada umumnya. Perjanjian
sewa beli bukan seperti perjanjian jual beli ataupun sewa menyewa,
namun perjanjian sewa beli merupakan gabungan dari keduanya yang
diaplikasikan dengan cara para pihak melakukan hak dan kewajiaban
dalam perjanjian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Biasanya
penerapan perjajian sewa beli di Indonesia contohnya misalnyaA ingin
membeli sewa sebuah rumah kepada B, yaitu dengan cara membayar
uang muka terlebih dahulu, kemudian membayar angsuran/cicilan
samapai lunas. Dengan membayar uang muka hak milik atas rumah
tersebut belum beralih, namun rumah tersebut sudah dikuasai atau
ditempati dan pembeli sewa wajib merawat memelihara rumah tersebut.
Dan ketika angsuran/cicilan lunas, maka barulah hak milik berali
kepada Pembeli sewa dengan penjual sewa menyerahkan bukti
kepemilikan atas rumah tersebut. Untuk itu sewa beli adalah suatu
perjanjian campuran dimana terkandung unsur jual beli dan perjanjian
sewa menyewa. Dalam perjanjian sewa beli selama harga belum
dibayar lunas maka hak milik atas barang tetap berada pada si penjual
sewa meski barang sudah berada ditangan pembeli sewa. Hak milik
baru beralih dari penjual sewa kepada pembeli sewa, setelah pembeli
38
sewa setelah membayar angsuran terakhir untuk melunasi harga
barang.36
C. Tinjauan Umum tentang Wanprestasi
1. Pengertian Wanprestasi
Dalam hukum perdata adanya atau kealpaan si berhutang yang
wajib melakukan sesuatu atau tidak memenuhi menepati kewajibannya
yang telah diperjanjikan lazim dikatakan sebagai wanprestasi. Dewasa
ini wanprestasi lebih dikenal dengan istilah ingkar janji. Wanprestasi
berasal dari bahasa Belanda (wanprestatie) yang artinya tidak dipenuhi
prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan pihak-pihak tertentu di
dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu
perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.
Dalam ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata, Debitur dinyatakan lalai
dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan
kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan
debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Wanprestasi adalah suatu tindakan tidak memenuhi atau lalai
melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam
perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.37
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa
empat macam :
36 Suharnoko, op-cit, hal 65 37 Pengertian wanprestasi, diakses dari https://sciencebooth.com/2013/05/27/pengertian-prestasi-
dan-wanprestasi-dalam-hukum-kontrak/, pada tanggal 4 april 2019
39
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
2. Jenis-jenis Wanprestasi
Dalam wanprestasi dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
2.1 Wanprestasi total (total breachts) artinya pelaksanaan kontrak tidak
mungkin dilaksanakan. Yang dimaksud dengan kontrak yang tidak
mungkin dilaksanakan adalah pihak debitur sama sekali tidak bisa
atau tidak mampu melakukan prestasinya yang sudah di tanda
tangani pada saat awal perjanjian yang dibuat dengan pihak
kreditur karena terjadi masalah financial yang terjadi pada pihak
debitur, sehingga pihak debitur tidak bisa melakukan prestasinya
sama sekali, dikarenakan meninggal dunia, cacat fisik total
sehingga tidak bisa bekerja lagi seperti halnya buta, lumpuh total,
gangguan jiwa.
2.2 Wanprestasi partial (partial breachts) artinya pelaksanaan
perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan. Yang dimaksud
dengan pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk dilakukan
adalah berhentinya kewajiban debitur bersifat sementara
dikarenakan debitur berhenti bekerja karena sesuatu hal tapi tidak
40
dalam kondisi cacat fisik total maka pihak kreditur bisa
memberikan tenggang waktu kepada debitur untuk memenuhi
prestasinya pada saat debitur sudah memiliki uang atau bekerja
kembali dengan perjanjian tenggang waktu yang sudah disepakati
kedua belah pihak dengan perjanjian baru yang tidak terlepas
dengan perjanjian lama yang mengakibatkan terjadinya kewajiban
prestasi pada pihak debitur. Isi dari perjanjian baru yang
menyebutkan pihak debitur wajib memenuhi kewajiban denda
yang timbul akibat prestasi yang tidak bisa dilakukan sesuai
dengan perjanjian awal yang telah disepakati. Apabila dalam
tenggang waktu yang sudah diperjanjikan pihak debitur masih
belum bisa memenuhi prestasinya maka debitur awalnya dikatakan
sebagai wanprestasi partical breachts bisa berubah menjadi
wanprestasi total breachts dan pihak kreditur memiliki hak untuk
menyita objek perjanjian.38
3. Akibat Hukum Wanprestasi dalam Perjanjian Jual Beli
Akibat wanprestasi ini akan menimbulkan akibat hukum
bagi debitur dan kerugian bagi kreditur (pihak yang berpiutang),
sehingga dapat ditagih atau digugat melalui Pengadilan. Oleh karena
itu undang-undang menganggap perlu mengadakan penetapan
bilamana debitur itu dalam keadaan wanprestasi. Dalam kaitan
38 Salim H.S. op.cit., hal 98
41
dengan penetapan wanprestasi ini, pasal 1238 KUH Perdata
menentukan sebagai berikut:
“Si berhutang adalah lalai berdasarkan kekuatan dari perikatan
sendiri yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus
dianggap lalai karena lewatnya waktu yang ditentukan.”
Oleh karena wanprestasi ini mempunyai akibat hukum yang
penting bagi debitur, perlu diperhatikan apakah dalam perjanjian
ditentukan tenggang pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak.
Apabila tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi ditentukan
berlaku ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata. “Debitur dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Dan jika tidak ditentukan
tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi, maka diperlukan
peringatan tertulis baik dalam bentuk surat perintah atau akta sejenis
itu. Surat perintah atau akta ini adalah sebagai somatie (peringatan)
dan dapat dipergunakan sebagai alat bukti wanprestasi debiturapabila
kemudian timbul gugatan dimuka pengadilan dari pihak kreditur.39
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah
hukuman atau sanksi hukum berikut ini:
(1) Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah
diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUHPerdata).
39 Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut
Abdulkadir Muhammad I), hal 23
42
(2) Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut
pemutusan/pembatalan perikatan melalui Hakim (pasal
1266 KUHPerdata).
(3) Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih
kepada debitur sejak terjadi wanprestasi (pasal 1237 ayat
2).
(4) Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat
dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti
kerugian (pasal 1267 KUHPerdata).
(5) Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan
di muka Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan
bersalah.
D. Metode Penyelesaian Konflik
1. Metode Penyelesaian Konfik melalui Jalur Litigasi
Proses penyelesaian sengketa yang dilaksanakan melalui
pengadilan atau yang sering disebut dengan istilah “litigasi”, yaitu suatu
penyelesaian sengketa yang dilaksanakan dengan proses beracara di
pengadilan di mana kewenangan untuk mengatur dan memutuskannya
dilaksanakan oleh hakim. Litigasi merupakan proses penyelesaian
sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang bersengketa saling
berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka
pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi
adalah putusan yang menyatakan win-lose solution. Prosedur dalam
43
jalur litigasi ini sifatnya lebih formal dan teknis, menghasilkan
kesepakatan yang bersifat menang kalah, cenderungmenimbulkan
masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang
mahal, tidak responsif dan menimbulkan permusuhan diantara para
pihak yang bersengketa. Kondisi ini menyebabkan masyarakat mencari
alternatif lain yaitu penyelesaian sengketa di luar proses peradilan
formal. Penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal ini lah
yangdisebut dengan “Alternative Dispute Resolution” atau ADR.
2. Metode Penyelesaian Konfik melalui Jalur Non Litigasi
Dalam penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah
mengenal adanya penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative
Dispute Resolution (ADR), yang dalam perspektif Undang-Undang
Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Alternative Dispute Resolution adalah suatu pranata
penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para
pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi
di pengadilan. Akhir-akhir ini pembahasan mengenai alternatif dalam
penyelesaian sengketa semakin ramai dibicarakan, bahkan perlu
dikembangkan untuk mengatasi kemacetan dan penumpukan perkara di
pengadilan maupun di Mahkamah Agung. Alternatif dalam
penyelesaian sengketa jumlahnya banyak diantaranya :
a. Arbitrase
44
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa
arbitrase (wasit) adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di
luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan yang
mungkin terjadimaupun yang sedang mengalami perselisihan yang
tidak dapat diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun melalui
pihak ketiga serta untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui
Badan Peradilan yang selama ini dirasakan memerlukan waktu yang
lama.
b. Negosiasi
Negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk
mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki
berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Negosiasi
dapat juga dikatakan proses tawar menawar untuk mencapai
kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi
yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau
jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh kedua
belah pihak.
c. Mediasi
Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak
ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang
45
efektif, dapat membantu dalam situasi konflik untuk
mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga dapat lebih efektif
dalam proses tawar menawar. Mediasi juga dapat diartikan sebagai
upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan
bersama melalui mediator yang bersikapnetral, dan tidak membuat
keputusan atau kesimpulan bagi para pihaktetapi menunjang
fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihakdengan suasana
keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuktercapainya
mufakat.
d. Konsiliasi
Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Mediator berubah
fungsi menjadi konsiliator. Dalam hal ini konsiliator menjalankan
fungsi yang lebih aktif dalam mencari bentuk-bentuk penyelesaian
sengketa dan menawarkannya kepada para pihak. Jika para pihak
dapat menyetujui, solusi yang dibuat konsiliator akan menjadi
resolution. Kesepakatan yang terjadi bersifat final dan mengikat para
pihak. Apabila pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan
suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan
keluardari sengketa, proses ini disebut konsiliasi.