Upload
vodung
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Kajian Teori
1. Teori-teori Belajar
a. Teori belajar Ausubel
Menurut pendapat Ausubel yang dikutip oleh Karen Legge dan Philippe Harari
(2000: 32) pembelajaran bermakna dapat dicapai dengan kemampuan guru yang dapat
menjelaskan, sehingga siswa dapat menghubungkan pengetahuan baru dengan yang telah
diketahui. Inti dari teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna, belajar bermakna
terjadi bila siswa menghubungkan atau mengkaitkan informasi itu pada pengetahuan yang
telah dimilikinya. Berbeda dengan belajar bermakna, Belajar hafalan terjadi bila siswa
hanya menghafalkan informasi baru, tanpa menghubungkannya dengan konsep-konsep
yang telah ada dalam struktur kognitifnya.
Sesuai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketika siswa menemukan makna di
dalam proses pembelajaran, mereka akan belajar dan ingat apa yang mereka pelajari.
Dengan belajar yang bermakna maka akan terjadi pembelajaran yang efektif sehingga
dicapai hasil pembelajaran yang optimal. CTL (Contextual Teaching and Learning)
merupakan pendekatan pembelajaran yang tepat untuk membantu para siswa mengaitkan
makna dalam proses pembelajaran dan sesuai dengan salah satu komponen CTL yakni
konstruktivisme serta salah satu komponen CTL. Menurut Elaine B. Johnson (2009: 25)
yakni membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna.
b. Teori Belajar Bruner
Teori konstruktivis Bruner dalam Radha Mohan (2007: 20), merupakan kerangka
umum untuk petunjuk dasar di dalam pembelajaran kognitif. Pembelajaran Bruner
sebenarnya hanya dibatasi pada pembelajaran matematika dan sains. Teori pembelajaran
Bruner memiliki tiga tahap dalam pengembangan intelektual, yakni:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
1) Enactive (pengalaman langsung)
Tahap seseorang mempelajari tentang dunia melalui informasi-informasi benda-benda
sekitarnya.
2) Iconic (pengalaman piktorial gambar)
Mempelajari sesuatu dengan menggunakan gambar dan model. Informasi yang telah
diterima akan dianalisis, diubah, dan ditransformasi ke dalam bentuk bentuk yang lebih
abstrak, atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas
3) Symbolic (pengalaman abstrak)
Mendeskripsikan sesuatu kapasitas, untuk berpikir abstrak tentang sesuatu yang
dipelajari
Bruner menyatakan bahwa pembelajaran itu menitikberatkan pada cara-cara orang
memilih, mempertahankan, dan mentransformasi informasi secara efektif. Ketiga langkah
tersebut akan berinteraksi untuk memperoleh pengalaman baru berupa pengetahuan,
ketrampilan, atau sikap. Dalam proses belajar dengan ketiga fase di atas selalu ada
masalah pada banyaknya informasi yang diperlukan agar dapat ditransformasi. Lama tiap
fase tidak selalu sama dan tergantung pada hasil yang diharapkan, motivasi belajar, minat,
keinginan untuk mengetahui, dan dorongan untuk menemukan sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teori belajar Bruner adalah
pemrosesan informasi, kejadian-kejadian yang dialami siswa distrukturkan dan diproses
dalam ingatan siswa menjadi suatu konsep melalui tiga fase yaitu fase enactive, fase
iconic, dan fase symbolic. Hal ini sesuai dengan CTL (Contextual Teaching and
Learning) yang salah satu komponen, yakni konstruktivisme. Dengan konstruktivisme,
siswa akan distimulus untuk mengkonstruksi pengetahuan baru secara bermakna melalui
pengalaman nyata, melalui proses penemuan dan mentransformasi informasi ke dalam
situasi lain. Dengan menggunakan media pembelajaran kontekstual yang secara efektif
membangun pemahaman siswa tingkat SMK serta penilaian yang sebenarnya (authentic
assessment) untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar siswa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
c. Teori Belajar Piaget
Teori belajar Piaget sangat berpengaruhi dalam bidang pendidikan kognitif.
Menurut pendapat Piaget yang dikutip oleh Hergenhahn&Olson (2009:125) bahwa setiap
individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan kognitif yaitu:
1) Tahap Sensorimotor (0-2 tahun)
Pada periode ini anak berinteraksi dengan lingkungan menggunakan refleks bawaan,
yakni dengan panca indranya (sensori) dan tindakan-tindakannya.
2) Tahap Pra-Operasional (2-7 tahun)
Pada tahap ini, anak mulai menyusun konsep sederhana berdasakan informasi-
informasi yang telah diterima.
3) Tahap Operasional Konkret (7-11 tahun).
Pada tingkat ini, anak akan mulai melakukan tindakan telah dipikirkan untuk
memecahkan masalah.
4) Tahap Operasional Formal (11 tahun ke atas).
Pada tingkat ini anak dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk
membentuk operasi-operasi yang lebih kompleks. Kemajuan anak pada periode ini
adalah ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda-benda atau peristiwa konkret,
tetapi dengan kemampuan berpikir abstrak. Karakteristik dari berpikir operasional
formal yaitu siswa sudah dapat merumuskan alternatif hipotesis deduktif dan induktif
abstrak dalam menanggapi masalah dan mengecek data terhadap hipotesis untuk
membuat keputusan.
Intinya menurut Piaget teori belajar sesuai dengan tingkatan perkembangan
intelektual dan kemampuan berpikir anak pada usia-usia tertentu. Di berbagai tingkatan
usia inilah manusia seringkali berpikir kritis dan mencoba memperoleh informasi yang
muncul di lingkungannya. Saat tingkat sensori-motor yang mengandalkan alat-alat
indranya, tingkat pra-operasional yang berpikir transduktif, tingkat operasional konkret
yang mengedepankan logika dalam berpikir, dan tingkat operasional formal yang mulai
berpikir lebih kompleks untuk mengambil keputusan.
Pembelajaran materi sifat mekanik bahan pada jenjang SMK, menurut teori belajar
Piaget tergolong pada tingkatan usia operasional formal (11 tahun ke atas). Pada jenjang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
tingkat umur 11 tahun ke atas,siswa akan mencoba menggabungkan pengetahuan yang
mereka dapatkan dengan penggunaannya dalam bidang teknik otomotif, sehingga
pembelajaran yang dilakukan sebaiknya dikemas secara menarik dan mudah dipahami
oleh siswa serta membuat siswa termotivasi untuk menggali informasi yang lebih tentang
materi yang diajarkan (berpikir kritis). Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan, model, dan media pembelajaran yang menarik, sehingga pembelajaran yang
dilakukan menjadi pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Untuk mempelajari fisika
diperlukan kemampuan untuk berpikir kritis dan kreatif. Hal ini sesuai dengan salah satu
komponen CTL (Contextual Teaching and Learning) yakni berpikir kritis dan kreatif.
2. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
Konteks berasal dari kata kerja Latin “contextere” yang berarti “menjalin kerja
sama”. Kata “konteks” merujuk pada “keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan”
yang berhubungan dengan diri, yang terjalin bersamanya. Pendekatan kontekstual
merupakan sebuah strategi pembelajaran yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-
fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan dari
benaknya sendiri. Pembelajaran kontekstual merupakan model pembelajaran yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi yang terdapat di
sekitar siswa, sehingga mendorong siswa dapat membuat hubungan antara pengetahuan
yang telah dimilikinya dengan menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Menurut psikologi dasar manusia, semua orang pada dasarnya memiliki dorongan
dari dalam dirinya untuk menemukan makna dalam kehidupan mereka. Sesuatu akan
bermakna jika sesuatu itu penting dan berarti bagi diri pribadi seseorang. Victor Frankl
(1984) dalam Johnson (2009: 62) menyatakan bahwa “pencarian seseorang akan makna
adalah motivasi utama hidupnya dan hanya dapat dipenuhi oleh dirinya sendiri”.
Dalam ilmu syaraf, otak manusia akan terus berkembang sejalan dengan
informasi-informasi yang diterima oleh otak melalui panca indra. Sama halnya dengan
pandangan Frankl, bahwa dalam mengolah informasi, otak itu berusaha mencari makna.
Dan ketika otak menerima makna, maka otak belajar. Maka sebenarnya otak itu hidup dari
kemampuannya untuk menemukan makna dari lingkungannya. Secara berkelanjutan, otak
menjalin pola-pola yang menyatukan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
dikenalnya, dan menggabungkan ketrampilan-ketrampilan baru dengan yang lama. Pada
saat otak berhasil menghubungkan informasi yang baru dengan pengalaman yang sudah
dikenalnya, otak akan menyimpan, namun ketika otak tidak mampu menghubungkan
informasi tersebut, maka otak akan menghapusnya.
Maka dari itu dibutuhkan suatu pendekatan pembelajaran yang membantu para
siswa untuk mengaitkan makna dalam proses pembelajaran. Sesuai uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa, ketika siswa menemukan makna di dalam proses pembelajaran,
mereka akan belajar dan ingat apa yang mereka pelajari. Berdasarkan penjelasan di atas,
model pembelajaran kontekstual yang tepat untuk digunakan dalam proses penelitian ini.
Menurut Elaine B. Johnson (2009: 19), pengertian pembelajaran kontekstual
sebagai berikut:
“Pembelajaran kontekstual merupakan proses pendidikan yang membantu siswa
untuk memahami materi pembelajaran yang sedang dipelajari dengan
menghubungkan subjek-subjek dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yakni
dengan konteks keadaan pribadi, sosial, budaya. Untuk dapat mencapainya model
pembelajaran ini memiliki delapan komponen yakni: membuat keterkaitan-
keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, pembelajaran
mandiri, kerjasama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan
berkembang, mencapai standar yang tinggi, menggunakan penilaian yang
sebenarnya”.
.
Pernyataan di atas mempunyai arti bahwa pembelajaran kontekstual merupakan
proses pendidikan yang membantu siswa melihat makna dalam materi-materi akademik
yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek dengan konteks
kehidupan mereka sehari-hari, yakni dengan konteks keadaan pribadi, sosial, budaya
mereka. Untuk mencapainya, sistem ini memiliki 8 komponen yakni: 1) membuat
keterkaitan-keterkaitan tersebut bermakna, 2) melakukan pekerjaan yang berarti, 3)
pembelajaran yang mandiri, 4) kerja sama, 5) berpikir kritis dan kreatif, 6) membantu
individu untuk tumbuh dan berkembang, 7) mencapai standar yang tinggi, dan 8)
menggunakan penilaian yang autentik.
Dirangkum dari Nanang Hanafiah & Cucu Suhana (2009: 67) menyatakan bahwa
Komponen-komponen dalam pembelajaran kontekstual yakni:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
1) Konstruktivisme (Constructivism)
Merupakan landasan berpikir pembelajaran kontekstual yaitu pengetahuan dibangun
oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas
(sempit).
2) Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan inti dari kegiatan pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan
ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-
fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.
3) Bertanya (Quetioning)
Bertanya dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai kegiatan guru untuk
mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dengan bertanya
siswa dapat menggali informasi, mengkonfirmasi hal-hal yang telah diketahui, dan
mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
4) Masyarakat belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar ditujukan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama
dengan orang lain.
5) Pemodelan (Modelling)
Guru bukanlah satu-satunya model pada proses pembelajaran kontekstual, model dapat
dirancang dengan melibatkan siswa. Siswa yang terlibat ini, dapat dikatakan sebagai
model.
6) Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir tentang hal-hal yang baru dipelajari atau berpikir hal-
hal yang telah dilakukan. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau
pengetahuan yang baru diterima.
7) Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Pembelajaran yang benar seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar
mampu mempelajari (learning how to learn), bukan ditekankan pada hasil yang
diperoleh diakhir pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses bukan hanya hasil
semata. Penilaian autentik menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Langkah-langkah penerapan pembelajaran kontekstual sebagai berikut:
1) Perlunya pengembangan pemahaman pemikiran bahwa anak akan belajar lebih
bermakna dengan belajar sendiri.
2) Perlu pelaksanaan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
3) Perlunya pengembangan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
4) Perlu diciptakannya masyarakat belajar.
Berdasarkan uraian di atas proses penelitian pengembangan modul akan
menerapkan model pendekatan pembelajaran kontekstual untuk media pembelajaran yang
akan dikembangkan dengan mengakomodir dari Elaine B. Johnson, Nanang Hanafiah, dan
Cucu Suhana dalam penyusunan media ICM. Proses pengembangan media ada beberapa
aspek yang telah digunakan di dalam modul yang dikembangkan, yakni:
1) Membuat Keterkaitan-keterkaitan Tersebut Bermakna
Dalam proses pembelajaran pada materi sifat mekanik bahan, merupakan materi yang
berkaitan dengan bidang keahlian Teknik Sepeda Motor. Karena itu guru berusaha
memancing siswa untuk mengaitkan sub-sub materi diajarkan dengan materi bidang
keahlian yang telah dipelajari siswa pada pelajaran produktif, sehingga pembelajaran
lebih bermakna.
2) Berpikir Kritis dan Kreatif
Guru setiap pertemuan menggunakan model, metode, dan media pembelajaran yang
mendukung proses pembelajaran yang atraktif, interaktif, dan efisien. Dan berusaha
merangsang siswa untuk berpikir kritis terhadap materi yang disampaikan dan kreatif
dalam menghubungkan pengetahuan yang dimiliki siswa, sehingga pembelajaran akan
lebih bermakna dan diperoleh hasil pembelajaran yang optimal.
3) Pembelajaran yang Mandiri
Guru merancang pembelajaran yang memancing siswa menghubungkan pengetahuan
akademik dengan kehidupan siswa sehari-hari, yakni untuk mencapai tujuan yang
bermakna.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
4) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Dengan adanya masyarakat belajar, siswa dapat bekerja sama dengan siswa, guru, dan
lingkungannya, sehingga memungkinkan siswa untuk mendapatkan pengetahuan lebih.
5) Menggunakan Penilaian yang Autentik.
Guru melakukan penilaian untuk mendiskripsikan perkembangan siswa secara afektif,
psikomotor dan kognitif.
3. Modul Pembelajaran Interaktif
Modul adalah bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan bahasa yang
mudah dipahami oleh siswa, agar siswa dapat belajar secara mandiri dengan bantuan atau
bimbingan minimal dari pendidik (Prastowo, 2011: 106). Menurut Purwanto (2007: 9)
“modul adalah bahan belajar yang dirancang sistematis berdasarkan kurikulum tertentu dan
dikemas dalam bentuk satuan pembelajaran terkecil dan memungkinkan dipelajari secara
mandiri dalam satuan waktu tertentu”. Menurut Hamdani (2011: 219) modul dirumuskan
sebagai:
“Sarana pembelajaran dalam bentuk tertulis atau cetak yang disusun secara
sistematis, memuat materi pembelajaran, metode, tujuan pembelajaran, berdasarkan
kompetensi dasar atau indikator pencapaian kompetensi, petunjuk kegiatan belajar
mandiri (self instructional) dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menguji diri sendiri melalui latihan yang disajikan dalam modul tersebut“.
Tujuan penyusunan modul menurut Andi Prastowo (2011: 105)adalah:
a. Agar siswa dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan pendidik.
b. Agar peran guru tidak selalu dominan dan otoriter dalam kegiatan pembelajaran.
c. Melatih kejujuran siswa
d. Mengakomodasi berbagai tingkat dan kecepatan belajar siswa.
e. Agar siswa mampu mengukur sendiri tingkat penguasaan materi yang telah dipelajari.
Andi Prastowo (2011: 330) mengemukakan bahwa: “bahan ajar interaktif adalah
bahan ajar yang mengkombinasikan beberapa media pembelajaran (audio, video, teks, atau
grafik) yang bersifat interaktif untuk mengendalikan suatu perintah atau pelaku alami dari
suatu presentasi”. Karakteristik proses pembelajaran dengan menggunakan media
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
pembelajaran interaktif adalah adanya interaksi siswa dengan media pembelajaran yang
digunakan. Jenis interaksi yang terjadi didefinisika sebagai berikut:
Menurut Susilana (2007: 22), “ada 3 jenis interaksi antara lain: 1) interaksi yang
menunjukkan siswa berinteraksi dengan sebuah program, misalnya siswa diminta
mengisi blanko pada bahan ajar terprogram; 2) siswa berinteraksi dengan mesin,
misalnya mesin pembelajaran, laboratorium bahasa, komputer atau kombinasi
diantaranya; 3) interaksi yang mengatur hubungan antara siswa secara teratur tetapi
tidak terprogram sebagai contoh dapat dilihat pada berbagai permainan pendidikan
simulasi yang melibatkan siswa dalam kegiatan atau masalah yang mengharuskan
mereka untuk membalas serangan lawan atau kerjasama dengan teman seregu dalam
memecahkan masalah”.
Berdasarkan uraian di atas, dengan adanya modul diharapkan siswa dapat belajar
mandiri dan menghindari dominasi guru dalam pembelajaran. Modul dapat mengakomodir
berbagai tingkat dan kemampuan siswa dalam memahami materi. Modul pembelajaran
yang disusun melibatkan interaksi siswa, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih
bermakna.
Allen dalam Aries Suharso (2012) mengemukakan tentang hubungan antara media
dengan tujuan pembelajaran, sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2.1. Hubungan Jenis Media Pembelajaran dengan Tujuan Pembelajaran
Keterangan:
1 = Belajar Informasi faktual
2 = Belajar pengenalan visual
3 = Belajar prinsip, konsep dan aturan
4 = Prosedur belajar
5 = Penyampaian keterampilan persepsi motorik
6 = Mengembangkan sikap, opini dan motivasi
T = Tinggi
S = Sedang
R = Rendah
Jenis Media 1 2 3 4 5 6
Gambar Diam
Gambar Hidup
Televisi
Obyek Tiga Dimensi
Rekaman Audio
Programmed Instruction
Demonstrasi
Buku teks tercetak
S
S
S
R
S
S
R
S
T
T
S
T
R
S
S
R
S
T
T
R
R
S
R
S
S
T
S
R
S
T
T
S
R
S
R
R
R
R
S
R
R
S
S
R
S
S
S
S
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa kriteria yang paling utama dalam
pemilihan dan pengembangan media harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran atau
kompetensi yang ingin dicapai, sebagai contoh: bila tujuan atau kompetensi siswa SMK
bersifat visual dan mengutamakan ketrampilan motorik, maka media pembelajaran visual,
media film, dan video bisa digunakan. Pengembangan media memiliki kriteria lainnya yang
bersifat melengkapi selain berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, seperti: biaya,
ketepatgunaan media, kondisi siswa, serta ketersediaan sarana dan prasarana.
Modul pembelajaran yang akan dikembangkan modul pembelajaran elektronik
yang berbasis kontekstual yang memiliki fungsi yang sama dengan modul cetak. Kelebihan
modul pembelajaran elektronik dibandingkan dengan modul cetak yakni: lebih murah
dalam proses pembuatan, praktis dalam proses penyebaran, menarik dan interaktif. Modul
pembelajaran elektronik lebih interaktif karena melibatkan siswa secara langsung dalam
menggunakan media pembelajaran.
4. Modul Pembelajaran Elektronik
Modul pembelajaran elektronik merupakan salah satu ragam media pembelajaran
mandiri non cetak. Berbeda dengan modul pembelajaran cetak yang hanya dapat memiliki
komponen isi gambar saja, modul elektronik memiliki kelebihan dapat diberikan komponen
isi gambar, animasi, dan video pembelajaran. Modul pembelajaran elektronik dapat disusun
dengan menggunakan beberapa software (perangkat lunak) diantaranya Microsoft Power
Point, Adobe Flash CS6, dan Macromedia Flash 8. Modul elektronik dapat digunakan
dengan bantuan perangkat komputer, laptop, bahkan dapat dibuka dengan perangkat ponsel
pintar (smartphone) yang berbasis Android, sehingga modul pembelajaran elektronik
sangat potensial untuk dikembangkan.
Pengembangan modul elektronik dengan menggunakan software Adobe Flash CS6
Animasi pembelajaran yang dapat dimasukkan sebagai komponen isi media dapat disusun
dengan software Adobe Flash CS6, diantaranya adalah animasi peristiwa atau fenomena
fisika dan simulasi percobaan. Komponen isi yang dapat disertakan pada modul elektronik,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
diharapkan modul elektronik dapat menjadi media yang menarik, efektif, efisien, serta
interaktif bagi siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Modul elektronik dapat menampilkan teks, gambar, animasi, dan video melalui
piranti elektronik berupa komputer. Modul elektronik dapat mengurangi penggunaan kertas
dalam proses pembelajarannya. Selain itu modul elektronik ini diharapkan dapat digunakan
sebagai alternatif pembelajaran yang efisien dan efektif, serta interaktif, sehingga minat dan
hasil belajar siswa meningkat. Pengembangan modul elektronik menggunakan program
Adobe Flash CS6. Program komputer Adobe Flash CS6 memiliki kelebihan dapat
mengontrol akses halaman pembelajaran (jika pembelajaran berisi lebih dari satu materi
atau evaluasi yang sifatnya berjenjang), menentukan rangking, menyimpan dan memanggil
pesan, dan memberikan saran atau solusi dalam belajar (Nurtantio dan Syarif, 2013).
Modul pembelajaran elektronik memiliki kelebihan yakni: 1) praktis, karena
mudah digunakan kapan dan dimana saja, 2) menarik, karena modul dapat diberi komponen
isi gambar statis, animasi, dan video pembelajaran, dan 3) interaktif, karena melibatkan
siswa secara langsung. Modul pembelajaran elektronik ini dapat disusun dengan
menggunakan software Microsoft Powerpoint, Adobe Flash CS6, dan Macromedia Flash8.
Modul pembelajaran elektronik yang terintegrasi dengan gambar, animasi, dan video
pembelajaran diharapkan dapat menghadirkan pengalaman nyata siswa, sehingga siswa
dapat terstimulus menggabungkan pengetahuan yang dimiliki siswa dengan materi fisika.
Menurut Edgar Dale dalam Arcadius (2010) menggambarkan pentingnya
visualisasi dan verbalistis pengalaman dalam menanamkan suatu konsep dan
memklasifikasikan pengalaman dalam kerucut pengalaman (cone of experience) sesuai
gambar 2.1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Gambar 2.1. Kerucut pengalaman Edgar Dale
Gambar 2.1 menunjukkan bahwa menurut pemikiran Edgar Dale tentang Kerucut
Pengalaman (Cone of Experience) ini merupakan upaya awal untuk memberikan alasan atau
dasar tentang keterkaitan antara teori belajar dengan komunikasi audiovisual. Pengetahuan
dapat diterima dengan optimal dengan kemampuan verbal, kemampuan visual, dan
melibatkan siswa. Berdasarkan kerucut pengalaman Edgar Dale menunjukkan bahwa 90%
pengalaman belajar diperoleh dengan bermain peran, melakukan simulasi, dan melakukan
hal yang nyata. Untuk memaksimalkan pengalaman belajar siswa, maka perlu
dikembangkan media pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman yang nyata
dengan melampirkan komponen isi gambar, animasi, video pembelajaran, dan simulasi
percobaan, sehingga dapat mengoptimalkan hasil pembelajaran.
Media yang dikembangkan didalam media ini adalah modul pembelajaran
elektronik interaktif yang menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual, memiliki
komponen isi gambar, animasi, dan video pembelajaran. Media pembelajaran ini disebut
dengan media ICM (Integrated Contextual Module). Media ICM merupakan modul
pembelajaran elektronik yang disusun menggunakan software Adobe Flash CS6 dengan
produk yang berformat swf (shockwave flash) atau exe (aplikasi).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
5. Kreativitas Belajar
Kata kreativitas berasal dari “create” yang berarti pandai mencipta. Dalam
pengertian yang lebih luas, keativitas berarti suatu proses yang tercermin dalam kelancaran,
kelenturan (fleksibilitas) dan originalitas berpikir. Menurut Elizabeth B. Hurlock (2005: 4),
“Kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan komposisi, produk, atau gagasan apa
saja yang pada dasarnya baru dan sebelumnya tidak dikenal pembuatnya”.
Menurut Joyce Wycoff (2002: 49) beberapa ciri orang kreatif yaitu: 1) berani
menghadapi tantangan baru dan bersedia menghadap risiko kegagalan, 2) tidak takut
menyatakan pemikiran dan perasaannya, 3) humor berkaitan dengan kreativitas
menggabungkan hal-hal sedemikian rupa sehingga menjadi berbeda, tidak terduga dan tidak
lazim, 4) menerima intuisi sebagai aspek wajar dalam kepribadiannya.
Menurut James J. Gallagher dalam Yeni & Euis (2010: 13) mengatakan bahwa
kreativitas merupakan suatu proses mental yang dilakukan individu berupa gagasan, produk
baru, atau perpaduan antara gagasan dan produk baru yang akhirnya melekat pada dirinya.
Menurut Utami Munandar (2004: 37) menyatakan bahwa “Beberapa ciri pribadi
yang kreatif yaitu: imajinatif, mempunyai prakarsa, mempunyai minat luas, mandiri dalam
berpikir, senang berpetualang, penuh energi, percaya diri, bersedia mengambil risiko, dan
berani dalam berpendirian dan berkeyakinan”. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa ciri-ciri kreativitas antara lain:
a. Bebas dalam berpikir dan bertindak
b. Adanya inisiatif menumbuhkan rasa ingin tahu
c. Percaya pada diri sendiri
d. Mempunyai daya imajinasi yang baik
Kreativitas belajar sangat penting dalam pembelajaran fisika berbasis kontekstual,
karena siswa dituntut menghubungkan pembelajaran yang telah diberikan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa dari pengalaman sehari-hari. Media ICM digunakan
untuk membangkitkan kreativitas siswa dalam mempelajari fisika.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
6. Kemampuan Berpikir Kritis
Salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan
berpikir pada umumnya dan mengembangkan ketrampilan berpikir kritis pada khususnya.
Berpikir kritis dapat diartikan kemampuan yang sangat mendasar untuk kehidupan dan
kegiatan manusia bermanfaat bagi aspek kehidupan lainnya. Menurut Hassoubah (2007)
berpikir kritis adalah kemampuan memberi alasan secara terorganisasi dan mengevaluasi
kualitas suatualasan secara sistemastis. Menurut Elaine B. Johnson (2009: 183) berpikir
kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan
mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis
asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah dan menurut Elika Dwi Murwani (2006) berpikir
kritis merupakan salah satu ciri manusia yang cerdas. Akan tetapi berpikir kritis akan terjadi
apabila didahului dengan kesadaran kritis yang diharapkan dapat ditumbuhkembangkan
melalui pendidikan.
Menurut Black dan Robert Ennis (dalam Sidharta, 2007: 27) menyatakan bahwa
berpikir kritis adalah kemampuan menggunakan logika. Logika merupakan cara berpikir
untuk mendapatkan pengetahuan yang disertai pengkajian kebenarannya yang efektif
berdasarkan pola penalaran tertentu. Menurut Paul & Elder (2005: 4), berpikir kritis
merupakan cara bagi seseorang untuk meningkatkan kualitas dari hasil pemikiran
menggunakan teknik sistemasi cara berpikir dan menghasilkan daya pikir intelektual dalam
ide-ide yang digagas.
Beberapa kriteria yang dapat kita jadikan standar dalam proses berpikir kritis ini
adalah kejelasan (clarity), tingkat akurasi (accuracy), tingkat kepresisian (precision)
relevansi (relevance), logika berpikir yang digunakan (logic), keluasan sudut pandang
(breadth), kedalaman berpikir (depth), kejujuran (honesty), kelengkapan informasi
(information) dan implikasi dari solusi yang kita kemukakan (implication).
Liliasari mengutip Facione menyatakan bahwa inti berpikir kritis adalah deskripsi
yang lebih rinci dari sejumlah karakteristik yang berhubungan, yang meliputi analisis,
inferensi, eksplanasi, evaluasi, pengeturan diri dan interpretasi. Oleh sebab itu berpikir
kritis sangatlah dalam pendidikan, karena berpikir kritis mencakup seluruh proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
mendapatkan, membandingkan, menganalisis, mengevaluasi, internalisasi, dan bertindak
melampaui ilmu pengetahuan.
Menurut Wingkel (2007: 400), “ kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan
untuk mengidentifikasikan dan merumuskan suatu problem, yang mencakup
menentukan intinya, menemukan kesamaan dan perbedaan, menggali informasi
serta data yang relevan, kemampuan untuk mempertimbangkan dan menilai, yang
meliputi membedakan antara fakta dan pendapat, menemukan asumsi atau
pengandaian, memisahkan prasangka dan pengaruh sosial, menimbang konsistensi
dalam berpikir, dan menarik kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan
berdasarkan data yang relevan, serta memperkirakan akibat yang dapat timbul.”
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan
membiasakan siswa berpikir kritis, dapat melatih siswa untuk menemukan keterkaitan yang
baru antara pengetahuan yang telah diketahui dengan materi pembelajaran fisika. Siswa
dapat menggunakan dan mengaitkan pengetahuan yang dimiliki untuk menyelesaikan suatu
masalah (problem solver).
7. Materi
Pokok bahasan sifat mekanik bahan menurut silabus kurikulum 2013 mata
pelajaran fisika SMK bidang keahlian Teknik Sepeda Motor, diajarkan kepada siswa kelas
X semester genap. Pada pokok bahasan ini terdiri dari tiga kompetensi dasar yakni:
a)bertambah keimanannya dengan menyadari hubungan keteraturan dan kompleksitas alam
dan jagad raya terhadap kebesaran Tuhan yang menciptakannya, b)mendiskripsikan konsep
elastisitas bahan dalam kehidupan sehari-hari, dan c)menguasai konsep hukum Hooke dan
rangkaian pegas yang disusun secara seri-paralel.
Pada materi sifat mekanik bahan, akan dipelajari tentang efek gaya terhadap
perubahan bentuk benda yang dikenai gaya. Jika gaya yang diberikan terlalu besar, benda
akan hancur atau patah. Pernahkah kalian bertanya mengapa sepeda motor (standar pabrik)
kalian begitu nyaman saat melewati jalan yang bergelombang? Hal ini dikarenakan pada
sepeda motor terdapat peredam kejut (shock breaker) di depan dan belakang. Peredam kejut
harus terbuat dari bahan (material) yang dapat kembali ke bentuk semula, sehingga ketika
mendapatkan tekanan dari luar, akan dapat dengan baik meredamnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
a. Sifat Benda Elastis dan Plastis
Dalam materi sifat mekanik bahan, akan kita pelajari tentang sifat ketahanan bahan
terhadap gaya yang berperan dan penggunaan sifat ketahanan ini dalam kehidupan kita
sehari-hari. Sifat mekanik dari bahan adalah sifat elastis dan sifat plastis. Benda akan
menjadi sifat plastis setelah benda melewati batas elastisitasnya. Materi merupakan
bagian dari alam semesta yang memiliki sifat khusus dan dapat dimanfaatkan dalam
produk dan peralatan sehari-hari, seperti: mesin, komponen elektronika, bahan bangunan,
dll. Bahan di alam dapat mencakup bahan logam, non logam, dan bahan campuran.
Materi-materi tersebut memiliki batas elastisitas yang beragam. Sifat mekanik bahan
bahan itu dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
1) Sifat Benda Elastis
Merupakan sifat benda yang dapat kembali ke bentuk semula setelah gaya yang
berperan pada benda tersebut dihilangkan. Contoh: karet gelang yang ditarik dan
setelah dilepas karet gelang kembali kebentuk semula serta pegas yang ditekan dan
setelah tekanan dihilangkan, maka pegas akan kembali kebentuk semula. Peristiwa ini
menunjukkan sifat elastis pada benda pegas dan karet gelang.
2) Sifat Benda Plastis
Merupakan sifat benda yang tidak dapat kembali kebentuk semula setelah dikenai gaya.
Contoh: Plastisin yang setelah disentuh tidak dapat kembali kebentuk semula, hal
tersebut menunjukkan sifat plastis pada plastisin.
b. Elastisitas
Elastisitas bahan merupakan tingkat ketahanan bahan terhadap pengaruh gaya,
sehingga mengalami deformasi (perubahan bentuk). Bahan yang diberikan gaya akan
mengalami deformasi. Deformasi pada benda padat berkaitan erat dengan tegangan
(stress) dan regangan (strain) tegangan merupakan perbandingan antara gaya yang
menyebabkan deformasi dengan luas penampang benda tegak lurus gaya. Hasil dari
tegangan adalah regangan, yang merupakan derajat deformasi. Pada saat benda ditarik
dengan gaya tertentu, fase elastis akan ditunjukkan dengan perubahan panjang yang linear
terhadap besar gaya yang diberikan benda. Fase elastis akan berakhir dengan mulai tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
linearnya perbandingan antara gaya yang diberikan dengan perubahan panjang benda.
Fase peralihan antara fase elastis dan fase plastis disebut dengan batas elastisitas.
Batas elastisitas suatu bahan terjadi setelah melewati sifat elastis dan memasuki sifat
plastis. Batas elastisitas akan tampak jika perbandingan antara perubahan panjang benda
dengan gaya mulai tidak sebanding seperti ilustrasi grafik pada gambar 2.1. Gaya yang
diberikan melampaui batas sifat plastis, akan diakhiri dengan patahnya objek. Batas
elastisitas pada setiap bahan memiliki perbedaan.
Perbandingan konstan antara tegangan dan regangan disebut dengan modulus
elastisitas. Gambar 2.2 menunjukkan grafik hubungan gaya yang menarik pada sebuah
benda pertambahan panjang suatu benda. Pada grafik linear menunjukkan pertambahan
gaya yang linear terhadap pertambahan panjang (elastic region). Grafik yang sudah tidak
linear menunjukkan batas elastisitas (elastic limit) yang membuat benda tidak akan
kembali ke panjang semula jika gaya dihilangkan. Jika benda diberikan gaya melebihi
ambang elastisitasnya, maka benda akan patah.
Gambar 2.2. Grafik hubungan antara gaya (𝐹) dan pertambahan panjang (∆𝐿)
1) Modulus Elastisitas Panjang (Modulus Young)
Pada sebuah benda dengan panjang mula-mula 𝑙0 ditarik dengan gaya 𝐹 dengan arah
yang tegak lurus terhadap penampang bidang 𝐴.
Gambar 2.3. Benda yang mengalami perpanjangan karena ditarik oleh gaya luar F
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Maka tegangan tarik merupakan perbandingan antara gaya tarik 𝐹 terhadap luas
penampang 𝐴. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
τ=F
A
(2.1)
Keterangan
τ = tegangan (N/m2 atau Pa)
F = gaya (Newton)
A = luas penampang benda (m2)
Regangan merupakan perbandingan antar perubahan panjang (∆𝑙) dengan panjang
mula-mula (𝑙0), sehingga regangan dapat dituliskan:
e=∆l
lo
(2.2)
dengan perubahan panjang (∆𝑙):
∆l=l-l0 (2.3)
Keterangan:
e = regangan
l0 = panjang mula-mula benda (m)
l = panjang akhir (m)
∆l = perubahan panjang (m)
Modulus elastisitas atau modulus Young merupakan perbandingan antara tegangan dan
regangan, sehingga dapat dituliskan sebagai berikut:
Y=F.l0
A.∆l
(2.4)
2) Modulus Elastisitas Geser (Modulus Shear)
Deformasi geser merupakan jenis perubahan bentuk benda yang disebabkan oleh gaya
yang diberikan saling berlawanan pada kedua permukaannya. Deformasi ini
disebabkan oleh tegangan geser atau tegangan shear. Tegangan geser merupakan
perbandingan antara gaya geser yang diberikan dengan luas permukaan yang dikenai
gaya geser.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Gambar 2.4. a) Gambar balok yang tidak dipengaruhi gaya, b) Gambar balok yang
dikenai gaya pada permukaan atas dan bawah secara berlawanan
Tegangan geser=F
A
(2.5)
Regangan geser merupakan perbandingan antara jarak horisontal pergeseran objek
terhadap posisi awalnya dengan tinggi benda.
Regangan geser=∆x
h
(2.6)
Nilai modulus elastisitas geser atau modulus shear,
Modulus Shear=Tegangan Geser
Regangan Geser=
FA
∆xh
=F.h
∆x.A
(2.7)
3) Modulus Elastisitas Volume (Modulus Bulk)
Elastisitas volume atau elastisitas Bulk merupakan deformasi suatu objek yang
disebabkan oleh gaya yang seragam diberikan pada seluruh permukaan benda.
Deformasi ini merupakan perubahan volume bujan perubahan bentuk. Tegangan
volume atau tegangan Bulk merupakan perbandingan antara gaya seragam yang
berperan pada seluruh permukaan benda terhadap luas penampang permukaan.
Tegangan bulk pada deformasi ini juga disebut sebagai tekanan.
Tegangan Bulk=F
A
(2.8)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Untuk regangan volume atau regangan Bulk merupakan perbandingan antara
perubahan volume yang terjadi terhadap volume awal.
Regangan Bulk=∆V
V
(2.9)
Modulus elastisitas volume didefinisikan sebagai:
𝑀odulus Bulk=Tegangan Bulk
Regangan Bulk=
FA
∆VV
=F.V
∆V.A
(2.10)
c. Hukum Hooke
Gaya (F) yang diberikan pada sebuah benda, seperti gaya yang secara vertikal
diberikan pada objek, sehingga panjang benda akan berubah. Gaya yang berperan dapat
dirumuskan sebagai berikut:
F=k.∆L (2.11)
Gambar 2.5. Pegas yang Memanjang Karena Pengaruh Berat Beban
Konstanta pada persamaan 2.11 merupakan perbandingan antara gaya (𝐹) dan perubahan
panjang (∆𝐿) yang disebut sebagai konstanta Hooke.
1) Rangkaian Pegas Seri
Pegas yang dirangkai secara seri akan mengalami total pertambahan panjang masing-
masing pegas yang dirangkai seri, pegas akan menanggung gaya berat yang
Perubahan panjang
benda (∆𝐿)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
tergantung pada rangkaian seri. Maka dapat dituliskan persamaannya sebagai
berikut:
Gambar 2.6. Rangkaian Pegas secara Seri
Berdasarkan persamaan 2.4 dan 2.11, sehingga menjadi persamaan konstanta pegas
sebagai berikut:
k=Y.A
l0
(2.12)
Sistem memiliki luas penampang (A) yang sama dan panjang awal total pegas sama
dengan penjumlahan panjang awal pada masing-masing pegas.
l0total=l01
+l02 (2.13)
Dengan menggabungkan persamaan persamaan 2.12 ke dalam persamaan 2.13,
maka persamaan konstanta pegas total adalah sebagai berikut:
Y.A
ktotal=
Y.A
k1+
Y.A
k2
1
ktotal=
1
k1+
1
k2
Untuk sejumlah n pegas yang dirangkai seri, maka konstanta pegas total dapat
dinyatakan sebagai berikut:
1
ktotal=
1
k1+
1
k2+ ⋯ +
1
kn
(2.14)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
2) Rangkaian Pegas Paralel
Pegas yang dirangkai secara paralel akan mengalami pertambahan panjang yang
sama, akan tetapi gaya berat yang tergantung pada rangkaian seri ditanggung oleh
sejumlah pegas yang dirangkai. Maka dapat dituliskan persamaannya sebagai
berikut:
Gambar 2.7. Rangkaian pegas secara paralel
Gaya berat yang menarik kedua pegas terdistribusi pada kedua pegas, sehingga
menyebabkan persamaan perubahan panjang. Kedua pegas memiliki panjang awal
yang sama.
l01=l02
(2.15)
Beban yang tergantung ditahan oleh pegas dengan luas penampang tertentu (A)
sesuai dengan persamaan berikut:
Atotal=A1+A2 (2.16)
Gaya berat yang tergantung ditanggung oleh pegas yang dirangkai paralel, jika
persamaan 2.12 dimasukkan ke dalam persamaan 2.16 maka persamaan akan menjadi
sebagai berikut:
𝑘𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 . 𝑙0
𝑌=
𝑘1. 𝑙0
𝑌+
𝑘2. 𝑙0
𝑌
ktotal=k1+k2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Untuk sejumlah n pegas yang dirangkai paralel, maka konstanta pegas total dapat
dinyatakan sebagai berikut:
ktotal=k1+k2 + … +kn (2.17)
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian pengembangan dengan menggunakan media ICM merupakan penelitian
yang dapat membantu dalam proses pembelajaran. Berikut merupakan beberapa
penelitian yang terkait dengan pengembangan modul interaktif berbasis kontekstual yang
dapat menjadi rujukan antara lain:
1. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sudji Munadi et al (2007) berdasarkan data yang
diperoleh dapat disimpulkan bahwa modul pembelajaran konstruktivistik kontekstual
berbantuan komputer dalam memiliki kualitas media dari aspek materi dan kualitas
tampilan tergolong baik. Penelitian Sudji menunjukkan bahwa modul yang dipadukan
dengan komputer memiliki aspek materi dan media yang baik. Hal ini mendasari
penelitian ini untuk mengembangkan media pembelajaran berbasis komputer.
2. Menurut Penelitian Meta Kuswandari et al (2013) yang mengembangkan bahan ajar
fisika berupa modul pembelajaran kontekstual pada materi pengukuran besaran fisika
untuk SMA kelas X telah memenuhi kriteria baik. Penelitian menggunakan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan model pengembangan Borg dan Gall.
Penelitian Meta memiliki kesamaan dengan penelitian Sudji, sehingga media
pembelajaran kontekstual memang berpotensi untuk dikembangkan.
3. Penelitian Mark W Otter et al (2000) merupakan penelitian pengembangan modul
pembelajaran kontekstual sebagai pendekatan pada pendidikan Bioengineering.
Penelitian ini memiliki kesamaan dengan modul hasil penelitian Meta, oleh karena itu
penelitian ini mencoba mengembangkan media pembelajaran kontekstual.
4. Penelitian dan pegembangan oleh Norlidah Alias (2012) tentang modul fisika berbasis
gaya belajar sesuai dan kesesuaian teknologi dengan menggunakan model desain
instruksional Isman. Modul yang dihasilkan efektif bagi siswa dengan kemampuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
visual, aktif, dan pemikir. Walaupun kurang efektif untuk siswa berkemampuan
verbal, ini menunjukkan bahwa model instruksional Isman telah berhasil
diimplementasikan dalam penelitian dan pengembangan pada modul fisika ini.
Berdasarkan penelitian Norlidah, pengembangan modul menantang untuk dilakukan,
meskipun ada beberapa kelemahan.
5. Menurut hasil penelitian Sang Putu Sri Wijaya (2008) yang mengembangkan modul
fisika kontekstual untuk meningkatkan hasil belajar fisika. Menurut ahli isi, ahli
media, ahli desain, dan siswa memberikan tanggapan bahwa modul fisika kontekstual
ini sudah sesuai dan layak untuk digunakan dalam pembelajaran. Penelitian ini hasil
penilaian dari aspek isi, media, desain, dan penilaian siswa menunjukkan nilainya
baik. Penelitian ini menunjukkan bahwa modul fisika kontekstual memiliki potensi
yang baik untuk dikembangkan.
6. Penelitian yang telah dilakukan Muhammad Ali (2009) tentang pengembangan media
pembelajaran interaktif untuk mata kuliah medan elektromagnetik dengan objek
penelitian mahasiswa Teknik Elektro UNY (Universitas Negeri Yogyakarta).
Kesimpulan dari penilaian ahli media pembelajaran yang diukur berdasarkan dimensi
kualitas yang meliputi aspek operasional, tampilan, dan interaksi dinilai layak untuk
digunakan dalam proses pembelajaran. Sedangkan umtuk respon mahasiswa
mendapat penilaian yang sangat baik. Penelitian ini menunjukan bahwa media
pembelajaran interaktif juga memiliki potensi untuk dikembangkan, jika modul yang
disusun pada penelitian Sang Putu dikembangkan menjadi modul interaktif mungkin
akan lebih menarik. Media ICM merupakan modul elektronik dengan pendekatan
pembelajaran kontekstual ini yang akan dikembangkan dalam penelitian ini.
7. Penelitian yang dilakukan oleh Dhimas Ardhiansyah dan Lusia Rakhmawati (2013)
tentang pengembangan media pembelajaran e-book interaktif pada mata kuliah elektro
digital menggunakan metode penelitian 4 D (define, design, develope, and
disseminate). Validasi media dilakukan oleh ahli media, ahli materi, ahli bahasa, dan
lembar angket mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa e-book interaktif
dinyatakan valid dan layak digunakan untuk proses pembelajaran. Media ICM yang
dikembangkan di dalam penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian Sang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Putu, Ali, dan Sudji menarik untuk dikembangkan menjadi modul kontekstual
elektronik yang interaktif.
8. Penelitian yang telah dilakukan oleh Sabar Nurohman (2011) yang mengembangkan
modul elektronik berbahasa Inggris dengan model pengembangan ADDIE (Analysis,
Design, Development, Implementation, and Evaluation). Modul elektronik ini
dikembangkan dengan menggunakan software Microsoft Office Power Point 2007,
modul ini layak digunakan untuk pembelajaran. Model pengembangan yang
digunakan di dalam penelitian Sabar, memiliki kelebihan. Model ADDIE memiliki
kesederhanaan dalam proses pengembangannya dan akan digunakan di dalam
penelitian dan pengembangan media ICM.
9. Juergen Kirstein dan Volkhard Nordmeier (2006) melakukan penelitian dengan
mengembangkan eksperimen virtual yang melibatkan siswa secara interaktif dengan
menggunakan layar eksperimen interaktif (Interactive Screen Experiment). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa media layar eksperimen interaktif dapat membantu
pembelajaran dengan metode praktikum dengan mengurangi risiko masalah dan
kesalahan dibanding dengan melakukan eksperimen yang sebenarnya. Komponen isi
penelitian Juergen pada sangat menarik, karena mengembangkan eksperimen virtual.
Berdasarkan penelitian Juergen, penelitian ini mengembangkan modul elektronik
yang dilengkapi dengan simulasi percobaan hukum hooke.
10. Penelitian yang dilakukan oleh Jorge Fonseca e Trindade (2005) mengembangkan
media pembelajaran 3 dimensi secara virtual pada materi fase air (gas, cair, dan padat)
untuk pembelajaran SMA tingkat akhir. Media dikembangkan dengan software
Mathcad dan 3-D Max untuk menciptakan skenario virtual dari perubahan wujud air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa media ini telah berhasil meningkatkan
pemahaman siswa tentang perubahan wujud air dan mengatasi miskonsepsinya. Hasil
terpenting lainnya adalah terbentuknya karakteristik siswa tentang pemahaman secara
konseptual dengan media pembelajaran tiga dimensi yang interaktif. Penelitian Jorge
mengatasi miskonsepsi dengan menggunakan media interaktif virtual tiga dimensi.
Hal ini yang mendasari penelitian ini untuk mengembangkan media yang interaktif,
walaupun bukan media pembelajaran tiga dimensi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
11. Penelitian pembelajaran berbasis kontekstual oleh Agnaldo Arroio (2010) tentang
peranan film pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, menjelaskan tampilan
audiovisual, sehingga membangun pengetahuan tentang fenomena yang terjadi di
alam sekitar siswa. Siswa secara kontekstual mampu menghubungkan film yang telah
dilihat dengan fenomena alam dan memotivasi belajar sains lebih dalam. Penelitian
Agnaldo sangat cocok dengan media yang dikembangkan dalam penelitian ini, karena
membangun pengetahuan siswa dengan menghadirkan fenomena yang ada di sekitar
siswa. Penelitian Agnaldo dapat dijadikan referensi untuk mengembangkan media
ICM karena memiliki pendekatan kontekstual.
12. Penelitian Shelley Yeo et al (2004) tentang kegiatan yang dilakukan siswa saat belajar
dengan menggunakan media pembelajaran interaktif. Hasil penelitian Yeo
menunjukkan bahwa bahwa media pembelajaran interaktif tidak menumbuhkan
keinginan siswa dalam memahami konsep fisika. Hal ini terjadi karena media
pembelajaran dilakukan tanpa pengawasan langsung oleh guru, akan tetapi
menggunakan kamera pengawas. Berdasarkan penelitian Yeo, penelitian ini akan
mengembangkan media interaktif ICM yang dapat menumbuhkan keinginan siswa
untuk memahami konsep fisika dengan pengawasan guru.
13. Penelitian David Carr et al (2007) tentang pengembangan perrmainan komputer untuk
mengajarkan teori relativitas Einstein. Hasil penelitian menunjukkan media permainan
dapat membantu siswa dalam memahami konsep teori relativitas Einstein. Permainan
menuntut keterlibatan siswa yang tinggi, hal ini sesuai dengan penelitian ini yang
mengembangkan media ICM yang membangun pemahaman siswa tentang teori yang
diajarkan dengan melibatkan siswa secara aktif.
14. Penelitian P.A. Hatherly et al (2009) tentang layar eksperimen interaktif pada
laboratorium virtual inovatif untuk siswa jarak jauh. Penelitian ini menjawab
penelitian Yeo yang membahas kekurangan pengembangan media pembelajaran
interaktif. Penelitian Hatherly menggunakan koneksi internet untuk menjalankan
medianya dengan menggunakan webcam untuk mengawasi setiap kegiatan siswa
secara online. Penelitian Hatherly dapat dijadikan referensi untuk mengembangkan
media ICM.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Berdasarkan jurnal-jurnal yang relevan di atas, dalam penelitian akan dikembangkan
media ICM (Integrated Contextual Module) yang merupakan modul pembelajaran
elektronik yang berbasis kontekstual yang memiliki komponen isi gambar, animasi, dan
video pembelajaran. Modul ini diharapkan layak untuk digunakan, efektif meningkatkan
kreativitas belajar, dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, sehingga siswa
dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan berpikir kritis terhadap
informasi-informasi yang didapat dan kreatif dalam menggunakan pengetahuan-
pengetahuan yang dimiliki oleh siswa supaya dapat membangun keterkaitan-keterkaitan
yang bermakna.
Keberhasilan penerapan ICM (Integrated Contextual Module)dapat dilihat dari
adanya : 1) validasi ahli media, 2 )validasi ahli materi, 3) validasi ahli bahasa, 4)
validasi oleh guru fisika SMK, 5) validasi oleh teman sejawat, dan 6) peningkatan aspek
kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa.
Penelitian ini berhasil melakukan menambah ragam media pembelajaran yang
dihasilkan dari penelitian dan pengembangan. Pengembangan media ini sangat
menjanjikan, karena seiring perkembangan teknologi informasi. Media ICM perlu
diteruskan pengembangannya oleh para guru dan diimplementasikan ke mata pelajaran
yang lainnya.
C. Kerangka Berpikir
Media pembelajaran yang tepat dalam proses belajar mengajar akan
membangkitkan rasa ingin tahu siswa tentang materi lebih jauh dan dalam. Hal ini dapat
memotivasi siswa untuk mendalami materi, siswa aktif menggali informasi dengan cara
bertanya, berpikir kritis, kreatif dalam memecahkan masalah, mencari referensi yang lain,
dan kesadaran belajar akan timbul.
Pengembangan media ICM sangat penting, karena dengan adanya media ini siswa
harus dapat menemukan keterkaitan-keterkaitan antara pengetahuan fisika dengan
pengalaman siswa sehari-hari dan pengetahuan di bidang keahlian Teknik Sepeda Motor,
sedangkan guru hanya sebagai pendamping dan mengawasi pembelajaran menggunakan
media ICM. Media ICM menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual, siswa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
mencoba menemukan konsep dengan cara menggabungkan pengetahuan fisika dengan
pengelaman sehari-hari dan bidang keahlian siswa, sehingga akan terjadi keterkaitan-
keterkaitan yang bermakna. Skema kerangka berpikir penelitian pengembangan
ditunjukkan pada gambar 2.8. Media ICM mengkonstruksikan pengetahuan dengan
konteks kehidupan mereka sehari-hari dan membangkitkan siswa untuk berpikir kritis dan
kreatif, sehingga pembelajaran berlangsung lebih bermakna.
Gambar 2.8. Kerangka berpikir penelitian
Penelitian dan pengembangan media ICM pada pokok bahasan sifat mekanik bahan
bertujuan untuk menganalisis kelayakan dan efektivitas penggunaan media ICM pada
pokok bahasan sifat mekanik bahan terhadap kreativitas serta kemampuan berpikir kritis
siswa SMK kelas X bidang keahlian Teknik Sepeda Motor. Kelayakan media ICM yang
akan dikembangkan, akan ditinjau berdasarkan hasil validasi yang dilakukan oleh ahli
media, ahli materi, ahli bahasa, guru fisika SMK, teman sejawat, dan respon siswa pada
ujicoba kecil. Kelayakan media ICM pada pokok bahasan sifat mekanik bahan yang akan
dikembangkan akan ditinjau dari hasil validasi ahli media dan ahli materi serta efektifitas
media ICM dalam meningkatkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa
dianalisis dengan merujuk pada Eko Putro Widyoko (2009), sedangkan validasi oleh ahli
bahasa, guru fisika SMK, dan teman sejawat analisis validasi akan menggunakan model
Gregory. Efektivitas penggunaan media ICM dalam meningkatkan kreativitas dan
kemampuan berpikir kritis siswa diukur dengan menentukan gain factor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user