Upload
others
View
28
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Malaria
Malaria adalah suatu penyakit infeksi dengan demam berkala yang
disebabkan oleh parasit Plasmodium (termasuk genus Protozoa) dan ditularkan
oleh nyamuk Anopheles betina (Zulkoni, 2010).
Parasit malaria pada manusia disebabkan oleh empat jenis Plasmodium,
yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae, dan
Plasmodium ovale. Jenis malaria yang ditimbulkan oleh empat jenis
plasmodium tersebut menimbulkan malaria yang berbeda pola demam maupun
gejala-gejala klinik yang ditimbulkannya (Soedarto, 2009).
Penyakit malaria dapat menyerang setiap orang. Perbedaan prevalensi
menurut umur dan jenis kelamin sebenarnya berkaitan dengan perbedaan
derajat kekebalan karena variasi keterpaparan terhadap gigitan nyamuk
(Harijanto, 2000).
Parasite Formula adalah proporsi dari tiap parasit di suatu daerah yang
memiliki spesies yang dominan (Harijanto, 2000). Sedangkan persentase
penderita malaria adalah persentase sediaan darah yang positif.
2. Klasifikasi
Phyllum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoa
Subkelas : Coccidiida
Ordo : Eucoccidides
Sub-ordo : Haemosporidiidea
Famili : Plasmodiidae
Genus : Plasmodium
Spesies : Plasmodium falciparum
Plasmodium vivax
Plasmodium ovale
Plasmodium malariae (Harijanto, 2000).
7
3. Morfologi
1) Plasmodium falciparum
Parasit ini merupakan spesies yang paling berbahaya, sebab penyakit
yang ditimbulkannya dapat menjadi berat yang berakibat kematian dan
komplikasi yang berat. Perkembangan aseksual di hati hanya berupa stadium
preeritrosit dan tidak ada stadium eksoeritrosit yang menyebabkan relaps
jangka panjang (rekurens) seperti pada infeksi oleh P. vivax dan P. ovale yang
mempunyai hipnozoit di hati. Bentuk skizon di hati dapat dilihat pada hari
keempat sesudah infeksi yang ukurannya kira-kira 30µ dan skizon matang
mengandung kira-kira 40.000 merozoit (Safar, 2010).
Stadium trofozoit muda dalam darah bentuk cincin sangat kecil dan
halus dengan diameter kira-kira 1/6 diameter eritrosit. Stadium cincin ini dapat
dilihat dua butir kromatin, bentuk pinggir (marginal) dan bentuk accole.
Beberapa bentuk cincin dapat ditemukan dalam satu eritrosit (infeksi multiple).
Temuan ini merupakan temuan penting untuk menegakkan diagnosis P.
falcifarum. Perkembangan selanjutnya yaitu stadium skizon muda dan skizon
tua sering tidak ditemukan dalam darah tepi, kecuali pada infeksi berat
(pernisiosa) karena stadium ini berada pada kapiler alat-alat dalam. Adanya
stadium ini pada kapiler darah tepi merupakan indikasi untuk pemberian
pengobatan cepat. Bentuk skizon muda mudah dikenal bila telah ditemukan
satu atau dua pigmen yang menggumpal. Skizon yang lebih tua spesies parasit
ini pada manusia akan didapat 20 butir pigmen atau lebih. Bila skizon sudah
matang akan mengisi 2/3 eritrosit dan membentuk 8-24 buah merozoit dengan
jumlah rata-rata 16 buah merozoit. Skizon matang P. falcifarum lebih kecil dari
skizon matang plasmodium lain (Safar, 2010).
Gametosit muda berbentuk agak lonjong yang kemudian menjadi lebih
panjang atau elips yang akhirnya membentuk seperti sabit atau pisang.
Makrogametosit lebih langsing dan panjang dari mikrogametosit,
sitoplasmanya lebih biru dengan inti yang kecil dan padat berwarna merah tua
dengan butir-butir pigmen tersebar di sekitar inti. Mikrogametosit lebih besar
seperti sosis, sitoplasmanya biru pucat atau agak kemerah-merahan dan intinya
berwarna merah muda, besar dan difus, butir-butir pigmen tersebar di
8
sitoplasma sekitar inti. Jumlah gametosit pada infeksi P. falciparum berbeda-
beda, kadang-kadang sampai 50.000–150.000/mm3 darah
(Safar, 2010).
Sumber: Harijanto, 2000
Gambar 2.1 Gambaran stadium Plasmodium falciparum pada sediaan darah tipis dan tebal
yang diwarnai Giemsa.
2) Plasmodium vivax
Setelah nyamuk Anopheles betina menusuk kulit manusia kira-kira 1/2 jam,
sporozoit yang masuk ke peredaran darah akan masuk ke dalam sel hati, lalu
tumbuh menjadi skizon hati. Skizon hati berukuran 45µ membentuk kira-kira
10.000 sporozoit. Skizon ini berada dalam siklus preritrositer atau siklus
9
eksoeritrositer primer yang berkembang biak secara aseksual yang
disebut skizogoni hati (Safar, 2010).
Hipnozoit tetap istirahat dalam sel hati sampai beberapa waktu (kira-
kira 3 bulan) lalu aktif kembali dan mulai dengan siklus eksoeritrositer
sekunder. Merozoit dari skizon hati masuk ke peredaran darah dan
menghinggapi sel eritrosit dan mulai dengan siklus eritrositer untuk pembiakan
secara aseksual (skizogoni darah) (Safar, 2010).
Sumber: Harijanto, 2000
Gambar 2.2 Gambaran stadium Plasmodium vivax pada sediaan darah tipis dan tebal yang
diwarnai Giemsa.
Merozoit skizon eritrosit tumbuh menjadi trofozoid muda berbentuk
cincin yang besarnya kira-kira 1/3 eritrosit, dengan pewarnaan Giemsa
10
sitoplasmanya berwarna biru inti merah mempunyai vakuola besar. Eritrosit
yang terinfeksi menjadi besar berwarna pucat dan tampak titik-titik halus
berwarna merah, sama besar yang disebut titik Schuffner, kemudian trofozoit
muda menjadi trofozoit tua yang sangat aktif, sehingga sitoplasmanya tampak
membentuk ameboit. Pigmen dari parasit ini makin nyata dan berwarna kuning
tengguli. Skizon matang dari siklus eritrosit ini mengandung 12-18 buah
merozoit, yang mengisi seluruh eritrosit dengan pigmen berkumpul di bagian
tengah atau di pinggir. Siklus eritrosit ini berlangsung selama 48 jam dan
terjadi secara sinkron. Meskipun demikian, dalam darah tepi dapat ditemukan
semua stadium dari parasit dalam siklus eritrositer sehingga gambaran sediaan
darah tidak uniform, kecuali pada hari-hari permulaan serangan pertama.
Makrogametosit mempunyai sitoplasma biru dengan inti kecil, padat dan
berwarna merah. Mikrogametosit biasanya bulat, sitoplasmanya berwarna
pucat, biru kelabu dengan inti yang besar, pucat dan difus. Inti biasanya
terletak di tengah. Butir-butir pigmen, baik pada mikrogametosit maupun
makrogametosit jelas tersebar pada sitoplasma (Safar, 2010).
3) Plasmodium malariae
Stadium trofozoit muda dalam darah tepi mirip dengan P. vivax, tapi
eritrosit yang dihinggapi tidak membesar. Pada pewarnaan Giemsa
sitoplasmanya lebih tebal dan lebih gelap dan dalam sel eritrosit terdapat titik-
titik yang disebut titik Zieman. Trofozoit tua bila membulat, besarnya kira-kira
setengah eritrosit. Pada sediaan darah tipis, stadium trofozoit dapat melintang
sepanjang sel darah merah, membentuk seperti pita merupakan bentuk yang
khas pada P. malariae. Skizon muda membagi intinya dan akhirnya terbentuk
skizon matang yang mengandung rata-rata 8 buah merozoit. Skizon matang ini
mengisi hampir seluruh eritrosit dan merozoit, biasanya mempunyai susunan
yang teratur sehingga membentuk bunga serunai atau bunga “(daisy)” yang
disebut juga dengan “roset”. Stadium gametosit mungkin dibentuk dalam alat-
alat dalam dan tampak dalam darah tepi bila telah tumbuh sempurna.
Makrogametosit sitoplasmanya berwarna biru tua berinti kecil dan padat.
Mikrogametosit sitoplasmanya berwarna biru pucat dengan inti difus dan lebih
besar. Pigmen tersebar dalam sitoplasma (Safar, 2010).
11
Sumber: Harijanto, 2000
Gambar 2.3 Gambaran stadium Plasmodium malariae pada sediaan darah tipis dan tebal
yang diwarnai Giemsa.
4) Plasmodium ovale
Trofozoit muda berukuran kira-kira 2μ (1/3 eritrosit). Titik schuffner
disini disebut titik James yang terbentuk sangat dini dan tampak jelas. Stadium
trofozoit berbentuk bulat dan kompak dengan granula pigmen yang lebih kasar,
tetapi tidak sekasar pigmen P.malariae. Stadium ini eritrosit agak membesar
dan sebagian besar berbentuk oval (lonjong) dan pinggir eritrosit pada salah
satu ujungnya bergerigi dengan titik-titik James yang menjadi lebih banyak
(Safar, 2010).
12
Stadium skizon berbentuk bulat dan bila matang mengandung 8-10
merozoit, yang letaknya teratur di tepi mengelilingi granula pigmen yang
berkelompok di tengah. Stadium gametosit yaitu makrogametosit berbentuk
bulat dengan inti kecil kompak dan sitoplasma berwarna biru. Mikrogametosit
mempunyai inti difus sitoplasma berwarna pucat kemerahan berbentuk bulat
(Safar, 2010).
Sumber: Harijanto, 2000
Gambar 2.4 Gambaran stadium Plasmodium ovale pada sediaan darah tipis dan tebal yang
diwarnai Giemsa.
4. Siklus Hidup
13
Siklus hidup dari keempat Plasmodium berlangsung secara seksual
(sporogoni) di dalam tubuh nyamuk Anopheles betina dan secara aseksual
(schizogoni) di dalam tubuh manusia (Safar, 2010).
a. Aseksual (Skizogoni)
Di dalam hospes perantara, terjadi pembiakan aseksual disebut juga fase
intrinsik. Siklus aseksual terdiri dari fase eritrosit (skizogoni eritrositik) dan
fase yang berlangsung di dalam parenkim sel hepar (skizogoni eksoeritrositik)
(Harijanto, 2000).
1) Stadium Hati
Stadium ini dimulai ketika nyamuk anopheles betina menggigit
manusia dan memasukkan sporozoit yang terdapat pada air liurnya ke dalam
darah manusia sewaktu menghisap darah. Melalui aliran darah dalam beberapa
menit kemudian (±1/2-1 jam) sporozoit sudah tiba di hati dan segera
menginfeksi sel hati (Harijanto, 2000).
Selama 5-16 hari sporozoit mengalami reproduksi aseksual disebut
sebagai proses skizogoni atau proses pemisahan, yang akan menghasilkan
±10.000-30.000 parasit anak yaitu merozoit, yang kemudian akan dikeluarkan
dari sel hati dan selanjutnya menginfeksi eritrosit (Harijanto, 2000).
Untuk Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, terdapat stadium
istirahat atau eksoeritrositik skizozoit (hipnozoit). Hipnozoit dan skizon tetap
ditemukan sampai lebih 105 hari. Eksoeritrositik skizogoni yang terlambat
tidak terjadi pada Plasmodium falciparum dan pada Plasmodium malariae
(Natadisastra, 2014).
2) Stadium Darah
Siklus di darah dimulai dengan keluarnya merozoit dari skizon matang
di hati ke dalam sirkulasi. Waktu minimum mulai dari infeksi oleh nyamuk
sampai dengan tampak pertama kalinya merozoit di dalam eritrosit disebut
periode prepaten, periode ini konstan dan khas untuk masing-masing spesies.
Untuk P. falciparum lama periode ini 9 hari, untuk P. vivax 11 hari, P. ovale 10
hari dan P. malariae 15 hari. Peroide inkubasi adalah masa mulai infeksi
sampai tampak gejala-gejala dan tanda-tanda infeksi yaitu sampai parasitemia
14
mencapai kepadatan tertentu untuk dapat menimbulkan gejala klinis, biasanya
2 hari setelah periode prepaten (Harijanto, 2000).
Parasit menginvasi eritrosit melalui 4 tahap yaitu: perlekatan merozoit
dengan eritrosit, perubahan bentuk mendadak eritrosit terinfeksi, invaginasi
membran eritrosit dimana parasit melekat dan selanjutnya pembentukan
kantong merozoit, dan terkahir penutupan kembali membran eritrosit
disekeliling parasit (Harijanto, 2000).
Merozoit membentuk vakuola, berbentuk cincin, kadang-kadang
ameboid dan berinti tunggal disebut tripozoit sampai inti mulai membelah di
dalam eritrosit. Tropozoit tumbuh sampai intinya membelah dengan cara
mitosis, vakuloa berisi, ameboid motiliti akan terhenti dan akan berubah
menjadi skizon matang. Skizon matang ini menjalani skizogoni eritrositer,
eritrosit pecah keluar merozoit eritrositer, merozoit masuk ke dalam aliran
darah. Beberapa merozoit intraselular tidak membentuk skizon akan tetapi
berkembang menjadi bakal kelamin betina (makrogametosit) atau bakal
kelamin jantan (mikrogametosit) (Natadisastra, 2014).
Setelah proses skizogoni selesai, eritrosit pecah dan merozoit
dilepaskan dalam aliran darah. Merozoit memasuki eritrosit baru dan generasi
lain dibentuk dengan cara yang sama. Skizogoni berlangsung secara berulang-
ulang selama infeksi dan menimbulkan parasitemia yang meningkat dengan
cepat sampai proses dihambat oleh respon imun hospes (Gandahusada,dkk.
2006).
Nyamuk yang menggigit manusia yang terinfeksi maka gametosit yang
ada pada darah manusia akan terhisap oleh nyamuk. Dengan demikian, siklus
seksual pada nyamuk dimulai (Widoyono, 2008).
b. Seksual (Sporogoni)
Nyamuk Anopheles sp. betina (bertindak sebagai vektor) di dalam
hospes definitif, terjadi pembiakan seksual (sporogoni), disebut juga fase
ekstrinsik. Pada waktu nyamuk mengisap darah penderita penyakit malaria,
semua stadium yang ada di dalam darah akan terisap masuk ke dalam lambung
nyamuk. Hanya bentuk gametosit (makrogametosit dan mikrogametosit) yang
dapat bertahan dan melanjutkan siklusnya. Kemudian terjadi pematangan
15
gametosit menjadi gamet (makro dan mikrogamet). Mikrogametosit mengalami
pembelahan inti menjadi inti multiple yang matang dengan exflagellasi, yaitu
suatu proses dalam 10-12 menit menjadi mikrogamet, keluar dari eritrosit dan
motil. Makrogametosit berkembang menjadi makrogamet yang intinya
bergeser ke permukaan yang merupakan tempat masuknya mikrogamet ke
dalam makrogamet pada waktu fertilisasi. Makrogamet yang telah mengalami
fertilisasi disebut zigot. Kurang lebih 20 menit setelah fertilisasi terbentuk
semacam pseudopodi dan terjadi perubahan bentuk menjadi lebih langsing,
bentuk motil ini disebut ookinet. Ookinet akan bergerak dan menembus
dinding usus untuk menempel pada permukaan luar dinding usus tersebut
(Natadisastra, 2014).
Sumber: Widoyono, 2008
Gambar 2.5 Siklus hidup Plasmodium.
Ookinet membentuk dinding tipis dan tumbuh menjadi ookista yang
berukuran ±50 m. Terjadi pematangan ookista dengan pembelahan inti dan
transformasi sitoplasma membentuk beribu-ribu sporozoit yang berada di
dalam ookista. Ookista matang dalam 4-15 hari (tergantung suhu) setelah
nyamuk menghisap gametosit. Ookista matang akan pecah, sporozoit
16
(berukuran 10-14 m) berhamburan ke dalam rongga tubuh nyamuk,
diantaranya ada yang sampai ke kelenjar liur nyamuk. Nyamuk infektif, yaitu
nyamuk yang sudah siap mengeluarkan sporozoit bersama air liurnya
(Natadisastra, 2014).
5. Cara Infeksi
Waktu antara nyamuk mengisap darah yang mengandung gametosit
sampai mengandung sporozoit dalam kelenjar liurnya disebut masa tunas
ekstrinsik. Sporozoit merupakan stadium infektif.
Cara infeksi dari malaria adalah dengan 2 cara, yaitu:
a. Penularan secara alamiah (natural infection), melalui gigitan nyamuk
anopheles.
b. Penularan bukan alamiah, dapat dibagi menurut cara penularannya, yaitu:
1) Malaria bawaan (kongenital), disebabkan adanya kelainan pada sawar
plasenta sehingga tidak ada penghalang infeksi dari ibu kepada bayi yang
dikandungnya. Selain melalui plasenta, penularan terjadi melalui tali pusat.
2) Penularan secara mekanik terjadi melalui transfusi darah atau jarum suntik.
Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para pecandu obat bius
yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril. Infeksi malaria melalui
transfusi hanya menghasilkan siklus eritrositer karena tidak melalui
sporozoit yang memerlukan siklus hati sehingga dapat diobati dengan
mudah.
3) Penularan secar oral, pernah dibuktikan pada ayam (Plasmodium
gallinasium), burung dara (Plasmodium relection) dan monyet
(Plasmodium knowlesi) yang akhir-akhir ini dilaporkan menginfeksi
manusia.
Pada umumnya sumber infeksi malaria pada manusia adalah manusia
lain yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis
(Harijanto, 2012).
6. Gejala Klinis
Perjalanan penyakit malaria terdiri dari demam yang disertai gejala lain
yang diselingi periode bebas demam. Gejala klinik terpenting pada malaria
terdiri dari:
17
a. Demam
Serangan malaria biasanya dimulai dengan gejala prodromal, yaitu lesu,
sakit kepala, hilangnya nafsu makan, kadang-kadang disertai gejala mual dan
muntah (Safar, 2010).
Serangan demam yang khas terdiri dari 3 stadium, yaitu:
1) Stadium menggigil, dimulai dengan perasaan dingin yang amat sangat, sampai
menggigil sehingga penderita berusaha memanaskan badan dengan selimut
tebal. Nadi lemah tapi cepat, bibir dan jari tangan menjadi biru, kulit kering
dan pucat, kadang-kadang disertai muntah. Pada anak-anak sering disertai
kejang-kejang. Stadium ini dapat berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.
2) Stadium acme = stadium puncak demam, dari perasaan dingin berubah menjadi
panas sekali. Muka merah, kulit kering dan panas serasa terbakar, sakit kepala
hebat, ada rasa mual dan muntah, nadi penuh dan berdenyut keras. Suhu naik
sampai 41°C, penderita merasa sangat kehausan. Stadium ini berlangsung 2
sampai 6 jam.
3) Stadium sudoris = stadium berkeringat, dimulai dengan penderita berkeringat
banyak, hingga pakaina dan tempat tidur basah oleh keringat. Suhu badan turun
dengan cepat, hingga kadang-kadang sampai di bawah ambang normal.
Penderita biasanya dapat tertidur nyenyak, dan waktu bangun merasa badan
lemah tetapi sehat. Stadium ini berlangsung 2 sampai 4 jam (Safar, 2010).
Gejala infeksi yang timbul kembali setelah serangan pertama disebut
relaps, yang dapat bersifat:
a) Relaps jangka pendek (rekrudesensi), yang disebabkan parasit dalam daur
eritrosit menjadi banyak. Demam akan timbul kembali dalam waktu 8 minggu
sesudah hilang serangan pertama.
b) Relaps jangka panjang (rekruens), yang disebabkan parasit dalam siklus
eksoeritrositer dari hati masuk ke dalam darah dan menjadi banyak, hingga
demam timbul lagi setelah 24 minggu atau lebih setelah serangan pertama
hilang (Safar, 2010).
b. Splenomegali
Pada keadaan akut limpa membesar dan tegang, penderita merasa nyeri
di perut kiri atas. Pada perabaan konsistensinya lunak (Sutanto, dkk. 2010).
18
c. Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies parasit yang menyebabkannya.
Pada serangan akut kadar hemoglobin turun secara mendadak. Anemia
disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini:
1) Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung
parasit terjadi di dalam limpa.
2) Reduced survival time (eritrosit normal yang tidak mengandung parasit tidak
dapat hidup lama).
3) Diseritropoesis (gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis
dalam sumsum tulang, retikulosis tidak dilepas dalam peredaran perifer)
(Sutanto, dkk. 2010).
7. Epidemiologi
Malaria merupakan penyakit endemis atau hiperendemis di daerah
tropis dan subtropis serta menyerang negara dengan penduduk padat. Malaria
banyak dijumpai di Meksiko, sebagian Karibia, Amerika Tengah dan Selatan,
Afrika Sub-Sahara, Timur Tengah, India, Asia Selatan, Asia Tenggara, Indo
Cina, dan pulau-pulau di Pasifik Selatan (Harijanto, 2012).
Malaria ditemukan pada 60º Lintang Utara sampai 32º Lintang Selatan,
dari daerah ketinggian 2.666 m (Bolivia 2.591 m) sampai daerah 433 m di
bawah permukaan laut (Dead Sea). Penyakit malaria dikatakan endemi jika
secara konstan angka kejadian penyakit dapat diketahui serta penularan secara
alami berlangsung sepanjang tahun. Dikatakan epidemi jika angka kejadian
kasus malaria pada suatu daerah naik dengan cepat dan tercatat di atas level
biasa atau jika penyakit secara tiba-tiba terjadi pada suatu daerah yang
sebelumnya bebas malaria. Jika suatu epidemi tersebar pada daerah luas di luar
daerah yang biasa disebut pandemi (Natadisastra, 2014).
Malaria yang ditemukan di Indonesia tersebar luas pada semua pulau
dengan derajat infeksi yang bervariasi. Malaria di suatu daerah dapat
ditemukan secara autokton, impor, induksi dan introinduksi. Di daerah
autokton, siklus hidup malaria dapat berlangsung karena adanya manusia yang
rentan (suseptibel), nyamuk yang dapat menjadi vektor dan parasitnya.
Keadaan malaria di daerah endemi tidak sama. Derajat endemisitas dapat
19
diukur dengan berbagai cara seperti: angka limpa (soleen rate), angka parasit
(parasite rate), dan angka sporozoit (sporozoite rate), yang disebut
malariometri (Safar, 2010).
Plasmodium vivax mempunyai distribusi geografis yang paling luas,
mulai dari daerah yang beriklim dingin, subtropis sampai ke daerah tropis,
terkadang dijumpai di Pasifik Barat. Plasmodium falciparum terutama
menyebabkan malaria di Afrika, Asia dan daerah-daerah tropis lainnya. Spesies
yang banyak dijumpai di Indonesia adalah Palsmodium falciparum dan
Plasmodium vivax. Plasmodium malariae dijumpai di Indonesia bagian Timur,
Plasmodium ovale pernah ditemukan di Irian Jaya dan Nusa Tenggara Timur
(Harijanto, 2012).
8. Faktor yang Mempengaruhi Infeksi Malaria
Penularan penyakit malaria dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Parasit
Dari 4 Plasmodium, strain Plasmodium dapat berbeda dengan strain
Plasmodium lainnya. Pola relaps dari strain P. vivax dapat berbeda dari satu
wilayah dengan wilayah lainnya, begitu pula lamanya inkubasi strain P. vivax
pada suatu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Sifat parasit dapat
berbeda dari satu daerah ke daerah lain, terutama sensitivitas terhadap berbagai
obat anti malaria. Sekarang telah banyak ditemukan P. falciparum yang
resisten terhadap klorokuin. Di Indonesia resistensi ini makin lama makin
tersebar di banyak daerah (Sutanto, dkk. 2010).
b. Manusia
Keadaan manusia dapat menjadi pengandung gametosit yang dapat
meneruskan daur hidupnya dalam nyamuk, adalah penting sekali. Manusia ada
yang rentan, yang dapat ditulari malaria, tapi ada pula yang lebih kebal dan
tidak mudah ditulari malaria. Berbagai bangsa (ras) mempunyai kerentanan
yang berbeda-beda (faktor rasial). Pada umumnya pendatang baru ke suatu
daerah endemi, lebih rentan terhadap malaria daripada penduduk aslinya
(Sutanto, dkk. 2010).
20
c. Vektor
Nyamuk Anopheles di seluruh dunia meliputi 2000 spesies, sedangkan
yang menularkan malaria kira-kira 60 spesies. Menurut pengamatan terakhir di
Indonesia ditemukan kembali 80 spesies Anopheles, yang berperan sebagai
vektor malaria 16 spesies dengan perindukan yang berbeda-beda (Safar, 2010).
d. Lingkungan
Keadaan lingkungan seperti iklim berpengaruh penting terhadap ada
tidaknya malaria. Di daerah yang beriklim dingin, transmisi malaria hanya
mungkin terjadi pada musim panas juga masa inkubasinya juga dapat
terpengaruh oleh iklim. Di daerah yang kurang baik untuk biologi vektor,
seperti di daerah pegunungan dingin umumnya bebas malaria. Perubahan
lingkungan yang dapat mengubah perindukan vektor, dapat berpengaruh positif
atau negatif terhadap keadaan malaria di daerah itu. Suhu udara, curah hujan,
merupakan faktor penting untuk transmisi penyakit malaria (Safar, 2010).
Faktor lingkungan dibagi menjadi beberapa faktor, yaitu:
1) Lingkungan fisik
Faktor geografi dan meteorologi di Indonesia sangat menguntungkan
transmisi malaria di Indonesia. Pengaruh suhu ini berbeda pada setiap spesies.
Pada suhu 26,7ºC masa inkubasi ekstrinsik adalah 10-12 hari untuk P.
falciparum dan 8-11 hari untuk P. vivax, 14-15 hari untuk P. malariae dan P.
ovale.
a) Suhu
Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang
optimum berkisar antara 20 dan 30ºC. Makin tinggi suhu (sampai batas
tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya
makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik.
b) Kelembaban
Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun
tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas
paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang
lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga
meningkatkan penularan malaria.
21
c) Hujan
Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan
terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan
deras hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi
panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk
Anopheles.
d) Ketinggian
Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin
bertambah. Hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata. Ketinggian di
atas 2000 m jarang ada transmisi malaria. Hal ini bisa berubah bila terjadi
pemanasan bumi dan pengaruh dari El-Nino. Malaria di pegunungan Irian Jaya
yang dulu jarang ditemukan kini lebih sering ditemukan malaria. Ketinggian
paling tinggi masih memungkinkan transmisi malaria ialah 2500 m di atas
permukaan laut (di Bolivia).
e) Angin
Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk
dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia.
f) Sinar matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-
beda. An. Sundaicus lebih suka tempat yang teduh. An. Hyrcanus sp. dan An.
Pinctulatus spp lebih menyukai tempat yang terbuka. An. barbirostris dapat
hidup baik di tempat yang teduh maupun yang terang.
g) Arus air
An. barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis/mengalir
lambat, sedangkan An. minimus menyukai aliran air yang deras dan An. letifer
menyukai air yang tergenang.
h) Kadar garam
An. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya
12-18% dan tidak berkembang pada kadar garam 40% ke atas. Namun di
Sumatera Utara ditemukan pula perindukan An. sundaicus dalam air tawar.
22
2) Lingkungan biologik
Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat
mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari
atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis
ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah (Panchax spp), gambusia, nila,
mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah.
3) Lingkungan sosial-budaya
Kebiasan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana
vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk.
Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi
kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria antara lain dengan
menyehatkan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada
rumah dan menggunakan obat nyamuk. Berbagai kegiatan manusia seperti
pembuatan bendungan, pembuatan jalan, pertambangan dan pembangunan
pemukiman baru/transmigrasi sering mengakibatkan perubahan lingkungan
yang menguntungkan penularan malaria („man-made malaria”). Peperangan
dan perpindahan penduduk dapat menjadi faktor penting untuk meningkatkan
malaria. Meningkatnya parawisata dan perjalanan dari daerah endemik
mengakibatkan meningkatnya kasus malaria yang di-impor (Harijanto, 2000).
9. Diagnosis malaria
Diagnosis malaria sebagaimana penyakit pada umumnya didasarkan
pada manifestasi klinis, uji imunoserologis dan ditemukannya parasit
(Plasmodium) di dalam darah penderita. Manifestasi klinis demam malaria
seringkali tidak khas dan menyerupai penyakit infeksi lain sehingga
menyulitkan para klinisi untuk mendiagnosa malaria dengan mengandalkan
pengamatan manifestasi klinis saja, untuk itu diperlukan pemeriksaan
laboratoris untuk menunjang diagnosis malaria sedini mungkin. Hal ini penting
mengingat infeksi oleh parasit Plasmodium dapat berkembang dengan cepat
dan menimbulkan penyulit-penyulit yang berat (Harijanto, 2000).
Secara garis besar diagnosis laboratoris demam malaria digolongkan
menjadi dua kelompok yaitu pemeriksaan mikroskopis dan uji imunoserologis
untuk mendeteksi adanya antigen spesifik antibodi spesifik terhadap
23
Plasmodium. Sebagai standar emas (Gold Standar) pemeriksaan laboratoris
demam malaria pada penderita individual atau servei epidemiologi adalah
mikroskopis untuk menemukan parasit Plasmodium didalam darah tepi
(Harijanto, 2000).
10. Penilaian Situasi Malaria
Cara untuk menilai situasi malaria di suatu daerah adalah pengamatan
rutin dengan mengetahui persentase penderita malaria dan Parasit formula
(PF). Persentase penderita malaria adalah persentase sediaan darah yang
positif.
Parasite Formula (PF) adalah proporsi dari tiap parasite di suatu
daerah. Spesies yang mempunyai Parasite Formula (PF) tertinggi disebut
spesies yang dominan.
Interpretasi dari masing-masing dominasi adalah:
1) Plasmodium falciparum dominan:
a) Penularan masih baru/belum lama
b) Pengobatan kurang sempurna
2) Plasmodium vivax dominan:
a) Transmisi dini yang tinggi dengan vektor yang paten (gametosit
Plasmodium vivax timbul pada hari 2-3 parasitemia, sedangkan
Plasmodium falciparum baru pada hari ke-8)
b) Pengobatan radikal kurang sempurna sehingga timbul rekurens.
3) Plasmodium malariae dominan:
Berhadapan dengan vector yang berumur panjang Plasmodium
malariae mempunyai siklus sporogoni yang paling panjang dibandingkan
spesies lain (Harijanto, 2000).
Data malaria positif diolah untuk mendapatkan Annual Parasite
Insidence=API (%), dicari dengan rumus sebagai berikut:
API
(Kemenkes RI, 2007)
24
B. Kerangka Konsep
1. Persentase
penderita
malaria
2. Parasite
formula
3. Usia
4. Jenis kelamin
1. Persentase
penderita
malaria
2. Parasite
formula
3. Usia
4. Jenis kelamin
Suspect