32
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Hakim 1. Pengertian Hakim Pasal 1 butir 8 Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP, Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. 1 Sebagaimana dijelaskan oleh KUHAP bahwa yang dimaksud Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim, untuk menerima, memeriksa, memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. 2 Pengertian hakim juga disebutkan bahwa Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. 3 2. Pengertian dan Hakekat Putusan Hakim. Pada dasarnya Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus hukum Meberikan batasan pengertian tentang putusan adalah hasil yang diberikan pada pengadilan, atau dengan kata lain putusan dapat berarti pernyataan hakim di sidang yang berisi pertimbangan menurut kenyataan, pertimbangan hukum. 4 1 Fance. M. Wamtu, Hukum Acara Pidana. 2010. Hlm: 91 2 Pasal 1 ayat (9) KUHAP 3 Pasal 19 UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 4 Fence M. Wantu, Mutia Cherawaty Thalib, Suwitno Y. Imran, cara cepat belajar Hukum Acara Perdata. 2011, Hlm 171.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Hakim 1.eprints.ung.ac.id/731/5/2013-2-74201-271409013-bab2-10012014064533.pdf · itu, diucapkan di persidangan dan bertujauan untuk

Embed Size (px)

Citation preview

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Hakim

1. Pengertian Hakim

Pasal 1 butir 8 Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana selanjutnya

disebut KUHAP, Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi

wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.1

Sebagaimana dijelaskan oleh KUHAP bahwa yang dimaksud Mengadili

adalah serangkaian tindakan hakim, untuk menerima, memeriksa, memutus

perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang

pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.2

Pengertian hakim juga disebutkan bahwa Hakim dan hakim konstitusi

adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur

dalam undang-undang.3

2. Pengertian dan Hakekat Putusan Hakim.

Pada dasarnya Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus hukum

Meberikan batasan pengertian tentang putusan adalah hasil yang diberikan

pada pengadilan, atau dengan kata lain putusan dapat berarti pernyataan hakim

di sidang yang berisi pertimbangan menurut kenyataan, pertimbangan hukum.4

1 Fance. M. Wamtu, Hukum Acara Pidana. 2010. Hlm: 91

2 Pasal 1 ayat (9) KUHAP

3 Pasal 19 UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

4 Fence M. Wantu, Mutia Cherawaty Thalib, Suwitno Y. Imran, cara cepat belajar Hukum

Acara Perdata. 2011, Hlm 171.

7

Rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Acara Perdata menyebutkan

pengertian putusan hakim adalah suatu keputusan oleh hakim, sebagaai

pejaabat Negara yang diberi wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman,

yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan di persidangan

serta bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu gugatan.5

Berkenaan dengan pengertian dan hakekat mengenai putusan, kirannya

perlu kita mengutip beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli.

Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo Putusan Hakim adalah suatu

pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara diberi wewenang untuk

itu, diucapkan di persidangan dan bertujauan untuk mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar pihak.6

Kemudian Syahrani menyatakan Putusan adalah pernyataan hakim yang

diucapkan pada siding pengadilan yang terbuka untuk umum untuk

menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.7

Berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pakar ahli diatas, kiranya

dapat dikatakan bahwa putusan hakim merupakan putusan yang diucapkan oleh

pejabat pengadilan yang berwenang dalam persidangan perkara perdata sesuai

dengan proses dan prosedur yang diatur dalam hukum acara perdata yang

tertulis dengan tujuan utama menyelesaikan atau mengakhiri perkara.

5 Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan

(ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar hlm. 108 6 Sudikno Mertokusumo. 2006. Hukum Acara Perdata. Edisi Ketujuh Cetakan Pertama Liberti

Yogyakarta. 7 Ibid. hlm. 109; Syahrani, 1998, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan. Pustaka

Kartini. Jakarta. Hlm 83.

8

Pendapat berikutnya dari Rubini dan Chaidir Ali yang menyatakan

Putusan hakim merupakan suatu akta penutup dari suatu proses perkara”.8

Putusan hakim ini biasa disebut Vonnis yakni kesimpulan-kesimpulan terakhir

mengenai hukum dan akibat-akibatnya.9

Putusan hakim dianggap penting untuk mewujudkan adanya kepastian

hukum, keadilan dan kemanfaatn dipengadilan. Putusan hakim tidak lain

sebagai salah satu mekanisme pelaksanaan hukum. pelaksanaan hukum harus

sesuai dengan tujuan negara Republik Indonesia sebagai diatur dalam

Pembukaan UUD 1945.

Menurut Joko Soetono menyatakan bahwa Hakim harus berfikir secara

yuridis, sistematis, dan teratur, sehingga setiap persoalan hukum dapat

dipecahkan secara baik dan benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah.10

Dalam praktik dipengadilan putusan tidak hanya didasarkan pada apa yang

diucapkan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan

kemudian diucapakan oleh hakim dipersidangan.11

3. Kedudukan, Tugas dan Tanggung Jawab Hakim

Kensekuensi sebagai pelaku utama badan peradilan, maka peranan hakim

memerlukan tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan hakim yang

diucapkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Wajib

8 Rubini dan Chaidir Ali.1974, Pengantar Hukum Acara Perdata. Penerbit Alumni Bandung.

Hlm. 172 9 Ibid.

10 Purwoto. S. Gandasubroto, (1994:`7)

11 Rubini dan Chaidir Ali.1974, Pengantar Hukum Acara Perdata. Penerbit Alumni Bandung,

Hlm 173

9

dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada masayarakat, dan secara

vertical dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensi

peranan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang otonom dan

merdeka, diwujudkan dalam tugas dan fungsi serta kewajiban sebagaimana

diatur dalam undang-undang kekuasaan kehakiman. Pada dasarnya tugas

hakim tidak berhenti dengan menjatuhkan putusan saja, akan tetapi juga

menyelesaikan sampai pada pelaksanaannya. Hakim membantu para pencari

keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan

rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya

ringan.12

Secara kongkrit tugas hakim dalam mengadili sesuatu perkara dapat dibagi

dalam 3 (tiga) tahap yakni sebagai berikut:

1. Tahap pertama, mengkonstatasi yaitu mengakui atau membenarkan

telah terjadi peristiwa yang telah diajukan oleh para pihak di muka

persidangan. Syarat yang dibutuhkan terhadap hal ini adalah peristiwa

kongkret harus dibuktikan terlebih dahulu.

2. Tahap kedua, mengkualifikasi yaitu menilai peristiwa yang telah

dianggap terjadi termasuk dalam hubungan hukum atau menentukan

hukumnya terhadap peristiwa yang telah diKonstatasi dengan jalan

menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut.

12

Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan

(Implementasi Dalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

10

3. Tahap ketiga, mengkonstitusi yaitu menetapkan hukumnya atau

mengambil kesimpulan dari peraturan hukumnya (premisse mayor) dan

peristiwanya (premisse minor).13

Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman, hakim mempunyai kewajiban:

1. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi

wajib menjaga kemandirian peradilan”.14

2. Hakim dan Hakim Konstitusi

(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat.

(2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan

kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan

berpengalaman di bidang hukum.

(3) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan

Pedoman Perilaku Hakim.15

3. Pada Pasal Lain Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana,

hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari

terdakwa.16

13

Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan

(Implementasi Dalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar. hlm. 43 14

Pasal 3 ayat (1), UU No. 48 Tahun 2009 15

Pasal 5, UU No. 48 Tahun 2009 16

Pasal 8 ayat (2), UU No. 48 Tahun 2009

11

4. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan

pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang

diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan”.17

5. Dalam Hal kewajiban Hakim dalam persidangan

(3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila

terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat

ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai,

dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau

panitera”.

(4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib

mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan

keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau

hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak

yang di adili atau advokat”.

(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari

persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau

tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas

kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang

berperkara”.18

17

Pasal 14 ayat (2), UU No. 48 Tahun 2009 18

Pasal 17, UU No. 48 Tahun 2009

12

Hakim secara garis besar tugasnya mengadili suatu perkara di pengadilan.

Dalam mengadili suatu perkara di pengadilan tersebut, maka hakim melakukan

hal-hal sebagai berikut:

a. Menerapkan hukum, jika undang-undang tersebut sudah ada dengan

jelas;

b. Melakukan penemuan hukum, jika undang-undang kurang jelas;

c. Menafsirkan hukum, jika undang-undang tersebut kabur;

d. Membuat hukum, jika undang-undang belum ada sama sekali.19

Sementara tugas hakim dalam menyelesaikan sengketa pada umumnya

adalah sebagai berikut:

a. Memulihkan hubungan-hubungan sosial antara pihak-pihak yang

bersengketa, sehingga tercipta kembali hubungan yang damai dan

harmonis;

b. Menyelesaikan pokok sengketa secara adil dan damai, sehingga tidak

ada pihak yang merasa kalah atau menang;

c. Memberikan kepastian hukum kepada padara pihak.20

B. Pengertian, Syarat, dan Jenis-jenis Putusan

Tujuan Suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan

hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Selain itu putusan hakim

harus sesuai dengan nilai-nilai keadilan. Pasal 178 HIR dan Pasal 189 Rbg,

menyebutkan apabila pemeriksaan perkara selesai, majelis hakim karena

19

Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan

(ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 20

Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan

(ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar. hlm. 44

13

jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan

dijatuhkan. Untuk melahirkan putusan hakim yang mencerminkan kepastian

hukum dan keadilan serta kemanfaatan, tidak lah mudah seperti yang

diabayangkan, hal ini tergantung dari sudut penilaian dari yang menilai itu

sendiri.21

Untuk mengimplementasikan putusan hakim suatu perkara yang

mencerminkan kepastian hukum dan keadilan serta kemanfaatan, kiranya

diperlukan pemahaman yang mendalam tentang apa sebenarnya itu putusan

hakim, jenis dan sifat putusan, putusan hakim dalam peradilan perdata dan

bagaimana pelaksanaan putusan hakim itu sendiri.

1. Pengertian Putusan

Pengertian putusan secara umum, dinyatakan yaitu Putusan pengadilan

adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka

yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum dalam hal serta menuruti cara yang diatur dalam Undang-undang ini”.22

Putusan yang berupa Putusan akhir ada 3 jenis yaitu : (i) memidana, (ii)

membebaskan, (iii) dan melepaskan dari segala tuntutan hukum.

Putusan yang dijatuhkan hakim dimaksudkan untuk mengakhiri atau

menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Untuk memutus suatu

perkara pidana, maka terlebih dahulu Hakim harus memeriksa perkaranya.

Adapun pemeriksaan perkara dipersidangan urutan acara sebagai berikut:

21

Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan

(ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar. hlm. 106. 22

Fence. M. Wantu. Loc. Cit Hlm. 108.

14

1. Pembacaan surat dakwaan;

2. Keberatan dakwaan atau penasehat hukum terhadap surat dakwaan

tersebut;

3. Putusan sela

4. Penetapan;

5. Pemeriksaan alat-alat bukti yang terdiri atas saksi, ahli, surat, dan

Terdakwa;

6. Tuntutan pidana;

7. Pembelaan;

8. Replik;

9. Duplik;

10. Putusan.23

2. Syarat-Syarat Putusan

Adapun Syarat untuk dapat dikatakan Putusan yakni sebagai berikut:

a. Putusan diucapkan oleh pejabat Negara yang diberi kewenangan

oleh peraturan perundang-undangan;

b. Putusan diucapkan dalam persidangan perkara yang terbuka untuk

umum;

c. Putusan yang dijatuhkan sudah melalui proses dan procedural

hukum;

d. Putusan dibuat dalam bentuk yang tertulis;

23

Gatot Supramono, 1998, Surat Dakwaan dan Putusan Hakim, Djambtatan, Jakarta. hlm.84.

15

e. Putusan bertujuan untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu

perkara.24

3. Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan dibedakan atas 2 (dua) macam (Pasal 185 ayat (1)

HIR/Pasal 196 ayat (1) RBg), yaitu putusan sela (tussenvonnis) dan putusan

akhir (eindvonnis).

1. Putusan Sela

Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir

yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah

kelanjutan pemeriksaan perkara. Misalnya, putusan sela Pengadilan Negeri

terhadap eksepsi mengenai tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili

suatu perkara. Dalam Pasal 190 ayat (1) HIR/Pasal 201 ayat (1) RBg

menentukan bahwa :

“Putusan sela hanya dapat dimintakan banding bersama-sama

permintaan banding terhadap putusan akhir”.

2. Putusan Akhir

Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata pada

tingkat pemeriksaan tertentu.25

4. Jenis, Susunan dan Isi, Serta Kekuatan Putusan

Pada dasarnya jenis putusan dapat dibedakan dari segi prosedurnya dan

isinya. Menurut dari segi prosedurnya putusan hakim dapat dibedakan menjadi

24

Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan

(ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar 25

Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan

(ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Hlm 111

16

putusan akhir dan putusan bukan akhir.26

Putusan Akhir adalah putusan yang

mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan

tertentu. Sementara putusan bukan akhir atau biasa disebut juga putusan sela

atau putusan antara adalah putusan yang fungsinya untuk memperlancar proses

pemeriksaan perkara.27

Dilihat dari segi isinya putusan pengadilan dapat dibedakan menjadi

putusan yang mengabulkan gugatan pengugat dana gugatan tidak diterima,

serta gugatan di tolak. Gugatan dikabulkan jika gugatan beralasan atau pun

tidak melawan hak, misalnya gugatan tidak memenuhi syarat formil maupun

materil. Gugatan ditolak jika gugatan tidak mempunyai alasan, misalnya alasan

atau dasar gugatan tidak mendukung materi tuntutannya. Serta gugatan tidak

diterima, jika gugatan melawan hak atau melawan hukum, misalnya gugatan

atas suatu piutang yang didasarkan atas perjudian atau pertaruhan.

Menurut Sudikno Mertokusumo28

jika dilihat menurut sifatnya, putusan

akhir dalam amar atau diktumnya, dapat dibedakan dalam tiga macam, yakni:

Pertama, Putusan Condemnatoir yaitu putusan yang bersifat menghukum

pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Di dalam putusan

Condemnatoir diakui hak penggugat atas prestasi yang dituntutnya. Pada

umumnya putusan ini berisi hukuman untuk membayar sejumlah uang. Kedua,

Putusan Constitutif yaitu putusan yaitu putusan yang meniadakan atau

menciptakan suatu keadaan hukum, misalnya pemutusan perkawinan,

26

Pasal 185 ayat (1) HIR atau Pasal 196 ayat (1) Rbg 27

Fence. M. Wantu. Loc. It. Hlm. 116 28

Sudikno Mertokusumo, 2006. Op. Cit. Hlm 229-230

17

pengangkatan wali. Ketiga, Putusan Declaratoir yaitu putusan yang sifatnya

menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya bahwa anak yang

menjadikan sengketa adalah anak yang dilahurkan dari perkawinan yang sah.29

5. Jenis-jenis Putusan Hakim

a. Putusan Hakim Yang Mencerminkan Kepastian Hukum

Dalam upaya menerapkan kepastian hukum, idealnya putusan hakim

harus sesuai tujuan dasar dari suatu pengadilan. Idealnya putusan hakim

harus mengandung kepastian hukum sebagai berikut:

a. Melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari

masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak (penggugat dan

tergugat).

b. Efisiensi artinya, dalam prosesnya harus cepat, sederhana, biaya

ringan;

c. Sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar dari

putusan hakim tersebut;

d. Mengandung aspek stabilitas yaitu dapat memberikan rasa tertib dan

rasa aman dalam masyarakat;

e. Mengandung equality yaitu memberikan kesempatan yang sama bagi

pihak yang berperkara.30

29

Fence. M. Wantu.. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan

(ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar hlm. 117 30

Fence. M. Wantu. Loc. Cit. hlm. 148

18

b. Putusan Hakim Yang Mencerminkan Keadilan

Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya

dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang

didasarkan pada suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya di

muka humum (equality before the law).31

Dengan demikian harapan untuk

mewujudkan putusan hakim yang adil di peradilan, dapat dilihat melalui

sikap dan tindakan yang digunakan hakim, yakni sebagai berikut:

a. Bertitik tolak pada garis yang dibenarkan dalam hukum acara

perdata yang berlaku dengan tahap berpedoman pada asas-asas

peradilan yang baik;

b. Menjunjung tinggi hak seseorang, artinya setiap orang yang merasa

dirugikan berhak mengajukan gugatan perkara, dan hakim dilarang

untuk menolak mengadili, kecuali ditentukan lain oleh undang-

undang, serta putusan harus dijatuhkan sesuai dengan waktu yang

ditentukan dan dapat dilaksanakan;

c. Para pihak yang berperkara diperlakukan sama, tidak boleh ada sikap

memihak dan bersimpati pada salah satu pihak yang berperkara atau

ada sikap antipasti pada salah satu pihak;

d. Putusan harus objektif tanpa ada kepentingan pribadi dan pihak lain;

31

Fence. M. Wantu. Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan

Kemanfaatan (ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar

Hlm. 147

19

e. Putusan harus memuat alasan dan pertimbangan hukum yang jelas

dan dapat dimengerti serta diterima terutama oleh para pihak dan

masyrakat;

f. Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.32

c. Putusan Hakim Yang Mencerminkan Kemanfaatan

Putusan hakim akan mencerminkan kemanfaatan, manakala hakim tidak

saja menerapkan hukum secara tekstual belaka dan hanya mengejar keadilan

semata, akan tetapi juga mengarah pada kemanfaatan bagi kepentingan

pihak-pihak yang berperkara dan kepentingan masyarakat pada umumnya.

Artinya hakim dalam menerapkan hukum, hendaklah mempertimbangan

hasil akhirnya nanti, apakah putusan hakim tersebut membawa manfaat atau

kegunaan bagi semua pihak. Mengingat putusan hakim merupakan hukum,

maka hakim harus memelihara keseimbangan dalam masyarakat dengan

memulihkan kembali tatanan masyarakat pada keadaan semula (restitution

in integrum), artinya kepada pihak yang bersalah diberi sanksi, sementara

pihak yang dirugikan akan mendapat ganti rugi atau mendapatkan apa yang

menjadi haknya. Dalam situasi demikian hakim harus menemukan untuk

mengisi kelengkapan hukum, penekanan yang lebih cenderung asas

kemanfaatan lebih bernuansa ekonomi dan dasar pemikirannya bahwa

32

Fence. M. Wantu. Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan

Kemanfaatan (ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar

hlm. hlm 165.

20

hukum adalah untuk manusia atau orang banyak, oleh karena itu tujuan

hukum harus berguna untuk manusia.33

6. Jenis Putusan Final Pengadilan Pidana

Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan sangat tergantung dari

hasil musyawarah Majelis Hakim yang berpangkal dari Surat Dakwaan dengan

segala sesuatu pembuktian yang berhasil dikemukakan di depan Pengadilan.34

Untuk itu, ada beberapa jenis putusan Final yang dapat dijatuhkan oleh

Pengadilan diantaranya:

1. Putusan Bebas

Dalam hal ini berarti Terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum.

Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP putusan bebas terjadi bila

Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang Pengadilan

kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan karena tidak terbukti adanya unsur perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh Terdakwa

2. Putusan Lepas

Dalam hal ini berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP Pengadilan

berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti,

namun perbuatan tersebut, dalam pandangan hakim, bukan merupakan suatu

tindak pidana.

3. Putusan Pemidanaan

33

Fence. M. Wantu. Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan

Kemanfaatan (ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar

hlm. hlm. 167. 34

Fance. M. Wantu 2010, Hukum Acara Pidana.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

21

Dalam hal ini berarti Terdakwa secara sah dan meyakinkan telah

terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, oleh karena

itu Terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman pasal pidana

yang didakwakan kepada Terdakwa.35

Di dalam sistem hukum acara pidana dikenal dua jenis putusan

pengadilan:

1. Jenis putusan yang bersifat formil adalah yang bukan merupakan

putusan akhir (putusan sela) yaitu:

Putusan yang berisi pernyataan tidak berwenangnya pengadilan untuk

memeriksa suatu perkara (onbevoeglde verklaining).36

Contohnya perkara

yang diajukan oleh penuntut umum akan merupakan kewenangan

pengadilan yang bersangkutan melainkan kewenangan pengadilan lain.

Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan/surat dakwaan penuntut umum

batal (nieting verklaining van de acte verwjzing).37

Contohnya surat

dakwaan jaksa tidak memenuhi, Yaitu tidak dicamtunkan waktu dan tempat

tindak pidana dilakukan di dalam surat dakwaan.38

Putusan yang berisi

pernyataan bahwa dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima (niet

ontvanklijik verklaard).39

contoh perkara yang di ajukan penuntut umum

sudah daluarsa, nebis in idem, perkara yang memerlukan syarat dalam aduan

35

Fance. M. Wantu 2010, Hukum Acara Pidana.Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Hlm. 97 36

Pasal 148 Ayat (1) KUHAP. 37

Pasal 156 ayat (1) KUHAP 38

Pasal 143 ayat (3) KUHAP 39

Pasal 156 KUHAP

22

(klacht delict). Putusan yang berisi penundaan pemeriksaan oleh karena ada

perselisihan prejudilitel ( perselisihan kewenangan ).

2. Jenis putusan yang bersifat materil adalah jenis putusan pengadilan

yang merupakan akhir , (einds vonnis) yaitu;

Putusan yang menyatakan Terdakwa dibebaskan dari dakwaan

(vrijsrpaak) dengan kata lain bebas murni atau Terdakwa/dakwaan tidak

terbukti bersalah atau dakwaan tidak terbukti.40

Putusan yang demikian ini

dijatuhkan oleh pengadilan apabila dia berpendapat bahwa kesalahan atau

perbuatan yang didakwakan terhadap Terdakwa tidak terbukti secara sah

dan meyakinkan dalam pemeriksaan persidangan. Putusan yang menyatakan

bahwa Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslang van alle

rechtevervolging) putusan ini dijatuhkan oleh Hakim jika ia berpendapat

bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi

perbuatan itu merupakan suatu perbuatan pidana, oleh perbuatan terbukti itu

sama sekali tidak di maksudkan dalam salah satu ketentuan Undang-undang

pidana atau karena adanya alasan pembenar.41

Dan Menekankan bahwa

putusan ini ada 3 kemungkinan makna hukumnya yaitu:

1. Perbuatan yang didakwakan terbukti akan tetapi atau fakta itu tidak

melawan hukum.

2. Apa yang didakwakan bukan kejahatan atau bukan pelanggaran

(bukan delik ).

40

Pasal 191 ayat (1) KUHAP 41

Pasal 50 ayat (1) KUHP

23

3. Tidak di atur dalam hukum pidana materil atau tidak ada pasal yang

mengatur sebagai delik.

Putusan yang berisi suatu pemidanaan (veroordeling), putusan ini

dijatuhkan oleh hakim apabila kesalahan Terdakwa terhadap perbuatan yang

didakwakan kepadanya dianggap terbukti dengan sah dan meyakinkan.42

7. Proses Pengambilan Putusan Perkara Pidana oleh Hakim (Vide)

1. Apabila Hakim menyatakan bahwa pemeriksaan telah selesai maka

penuntut umum dipersilahkan mengajukan tuntutan pidana

(requisitoir);

2. Setelah itu, Terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan

pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan

ketentuan bahwa Terdakwa atau penasehat hukum selalu mendapat

giliran terakhir;

3. Tuntutan, pembelaan, dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara

tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada Hakim ketua

sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan;

4. Apabila proses acara peradilan tersebut selesai maka Hakim ketua

sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup.

Selanjutnya, dapat dibuka sekali lagi, baik atas kewenangan Hakim

ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut

umum atau Terdakwa atau penasehat hukum dengan memberikan

alasannya;

42

Pasal 193 ayat (1) KUHAP

24

5. Setelah pemeriksaan ditutup, Hakim mengadakan musyawarah terakhir

untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu

diadakan setelah Terdakwa, saksi, penasehat hukum, penuntut umum,

dan hadirin meninggalkan ruang sidang;

6. Musyawarah harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu

yang terbukti dalam pemeriksaan sidang;

7. Dalam musyawarah tersebut, Hakim ketua majelis mengajukan

pertanyaan dimulai dari Hakim termuda sampai Hakim yang tertua,

sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya Hakim Ketua

Majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta

alasannya;

8. Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil

pemufakatan bulat, kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan

sungguh-sungguh tidak dapat dicapai maka berlaku ketentuan sebagai

berikut ;

a. Putusan diambil dengan suara terbanyak ;

b. Jika suara terbanyak tidak diperoleh, putusan yang dipilih adalah

pendapat Hakim yang paling menguntungkan Terdakwa.

9. Pelaksanaan pengambilan putusan dicatat dalam buku himpunan

putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku

tersebut sifatnya rahasia;

25

10. Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari

itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan

kepada penuntut umum, Terdakwa, atau penasehat hukumnya.43

C. Tindak Pidana dan Pemidanaan

1. Pengertian Tindak Pidana.

Tindak pidana, peristiwa pidana dan perbuatan pidana merupakan

beberapa istilah dari penerjemahan istilah “strafbaar feit” kedalam bahasa

Indonesia. Dari segi harfiah, istilah strafbaar feit terdiri dari straf berarti

hukuman (pidana), baar berarti dapat (boleh), dan feit berarti peristiwa

(perbuatan). Jadi, istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana

atau perbuatan yang dapat dipidana. Hal ini sedah barang tentu tidak tepat, oleh

karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dipidana itu sebenarnya

manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, peristiwa atau perbuatannya.44

Berikut ini adalah beberapa pengertian strafbaar feit dari para ahli:

Menurut Hazewinkel Suringa Menyatakan strafbaar feit adalah suatu

perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam suatu

pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan

oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa

yang terdapat di dalam Undang-Undang”.45

Pompe memberikan batasan pengertian strafbaar feit adalah suatu

pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja

43

Pasal 182 KUHAP 44

P.A.P. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Di Indonesia. Hlm. 181 45

Hazewinkel-surianga, Inleiding, Hlm. 25.

26

ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku. Dimana penjatuhan

hukum terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum

dan terjaminnya kepentingan umum”.46

Simons menyatakan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum

yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh

seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh

Undang-Undang telah dinyatakan dengan suatu tindakan yang dapat

dihukum”.47

Sedangkan Vos Mengartikan strafbaar feit yaitu suatu kelakuan

(gedraging) manusia yang dilarang oleh Undang-Undang diancam dengan

pidana”.48

R. Tresna menjelaskan serta memberikan batasan bahwa Pengertian

peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia

yang bertentangan dengan Undang-Undang atau perundang-undangan lainnya

terhadap perbuatan mana diadakan tindakan pemidanaan”.49

Rusli Effendy dalam memberi batasan dengan mempergunakan istilah

peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dapat dikenakan pidana oleh

hukum pidana, memakai kata hukum pidana tertulis dan ada hukum pidana

yang tidak tertulis (hukum pidana adat)”.50

Kemudian A. Zainal Abidin Farid menyatakan dengan mendasari

pendapatnya dari para ahli hukum pidana Belanda yang memberi pengertian

46

P.A.P. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Di Indonesia, Loc. It. 47

Simons, Leerboek I; Ibid, Loc. It. Hlm. 186 48

P.A.P. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Di Indonesia. Hlm. 182 49

Zainal Abidin. Hukum Pidana 1. Hlm. 5 50

Effendy, Rusli. 1986. Azas-azas Hukum Pidana. Makassar : LEPPEN-UMI.

27

strafbaar feit, yakni Bahwa strafbaar feit terjemahan peristiwa pidana adalah

perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld)

seseorang yang mampu bertanggungjawab”.51

Sedangkan istilah tindak pidana itu sendiri adalah pelanggaran norma-

norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum

ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintahan yang oleh pembentuk

Undang-Undang ditanggapi sebagai hukum pidana.52

Lain halnya dengan strafbaar feit yang mencakup pengertian perbuatan

dan kesalahan. Pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya

perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan, atau

sikap batin yang dapat dicela dan ada pula asas hukum yang tidak tertulis

”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.

2. Teori-teori Pemidanaan

Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun

yang banyak itu dapat dikelompokkan kedalam tiga golongan besar yaitu:

a. Teori Absolut

Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan. Inilah dasar pembenar

dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Penjatuhan

pidana yang pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena

penjahat telah membuat penderitaan pada orang lain.

51

Zainal Abidin. Hukum Pidana 1; Lamintang, 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana

Indonesia. Bandung. 52

Wirjono Prodjodikoro, 1989. Asas-asas Hukum Pidana: Bandung

28

Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi

pembuatnnya tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari

penjatuhan pidana itu tidak memperhatikan masa depan baik pidana tidak

dimaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.

Tindakan pembalasan didalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah,

yaitu:

1) Ditujuhkan pada penjatuhannya (sudut subjektif dari pembalasan).

2) Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam

dikalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan.

Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa

pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.

Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk memberi tekanan atau

pengaruh kejiwaan bagi setiap orang untuk takut melakukan kejahatan.

Ancaman pidana menimbulkan suatu kontra motif yang menahan setiap

orang untuk melakukan.

c. Teori Gabungan.

Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas

pertahanan tata tertib masyarakat dengan kata lain dua alasan ini menjadi

dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabunhgan ini dapat dibedakan menjadi

dua golongan besar, yaitu sebagai berikut.

29

a) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalsan

itu tidak boleh melampaui dari apa yang perlu dan cukup untuknya

dapat dipertahankannya dalam tata tertib masyarakat.

b) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib

masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhi pidana tidak boleh lebih

berat daripada perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.53

3. Syarat Pemidanaan Tindak Pidana

a. Unsur Perbuatan (Feit)

Unsur perbuatan merupakan unsur pembentuk dari tindak pidana. Pada

dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang

padanya diletakkan sanksi pidana. Perbuatan atau feit tidak menunjuk pada

hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan tidak

termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nalaten). Pengertian

yang sebenarnnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif

maupun pasif tersebut. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang

untuk mewujudkannya diperlukan/disyaratkan adanya suatu gerakan atau

gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya

mengambil (Pasal 362 KUHP) atau merusak (Pasal 406 KUHP). Sementara

itu, perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk

perbuatan fisik apa pun yang oleh karenanya seseorang tersebut telah

mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong

(Pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (Pasal 304 KUHP).

53

Moeljatno, 2002. Perbuatan pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana.

Jakarta : Hlm.121

30

Dengan demikian aturan, mengenai tindak pidana mestinya sebatas

menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan

hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan

yang terlarang dalam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar

kategori tersebut. Adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali

perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan.

Aturan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh

dilakukan.

b. Unsur Pembuat (Dader)

Unsur pembuat (dader) adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku

atau yang berhubungan dengan diri si pelaku tindak pidana, dan termasuk

didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya.54

Unsur

pembuat merupakan salah satu syarat pemidanaan bagi pelaku tindak pidana

yang melakukan kesalahan baik itu kesengajaan (dolus) atau kealpaan

(culpa).

Telah dikatakan bahwa pertanggungjawaban tindak pidana tidaklah

mungkin terjadi tanpa sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana.

Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu tertuju pada pembuat

tindak pidana tersebut. Dalam hal ini pembuat tidak dapat dipersamakan

dengan pelaku materil (pleger) tetapi pembuat (dader). Oleh karena itu,

apakah pertanggungjawaban pidana itu ditujukan terhadap orang yang

melakukan tindak pidana (pelaku), atau orang-orang lain yang ada kaitan

54

Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta. Hlm 23

31

dengannya (pembuat selain pelaku), merupakan persoalan penetapan tindak

pidana (kriminalisasi) dan bukan persoalan pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya subjek

hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. Tidaklah mungkin orang

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana tanpa sebelumnya yang

bersangkutan melakukan tindak pidana. Sebaliknya, sangat mungkin

memasukkkan dalam larangan yang disertai ancaman pidana (merumuskan

sebagai tindak pidana) “hubungan tertentu” seseorang dengan orang lain

yang melakukan tindak pidana.

Dipidananya menyuruh melakukan (doenpleger) dan penganjur

(uitlokker) tindak pidana, sebagaimana dimaksud, Cuma karena mempunyai

“hubungan tertentu” dengan pelaku materil (pleger).55

Pemidanaan terhadap

mereka yang menyuruh melakukan ataupun mereka yang menganjurkan

hanya dapat terjadi melalui penetapan undang-undang. Baik

penyuruhlakukan maupun penganjur, keduanya tidak melakukan tindak

pidana yang dilakukan pelaku, tetapi dipandang melakukan tindak pidana

jika karena suruhan dan anjurannya seseorang melakukan tindak pidana.

Mereka semua dipandang sebagai melakukan tindak pidana, dan

pertanggungjawaban pidananya ditujukan terhadap perbuatannya itu.56

55

Pasal 55 KUHP 56

Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta. Hlm. 24

32

4. Jenis-Jenis Pidana.

Kitab Undang Hukum pidana (KUHP) telah menetapkan jenis-jenis pidana

yang termasuk dalam Pasal 10 KUHP. Diatur dua pidana yaitu pidana pokok

dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas empat jenis pidana, dan pidana

tambahan terdiri atas tiga jenis pidana. Pidana pokok terdiri dari :

a) Pidana mati

b) Pidana penjara

c) Pidana kurungan

d) Pidana denda.

Pidana tambahan terdiri dari :

a) pidana pencabutan hak-hak tertentu;

b) pidana perampasan barang-barang tertentu;

c) Pengumuman Putusan Hakim.57

Hukum pidana Indonesia berdasarkan KUHP mengelompokkan jenis-jenis

pidana kedalam pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun perbedaan antara

jenis-jenis pidana pokok dengan jenis-jenis pidana tambahan adalah sebagai

berikut :

1) Penjatuhan salah satu pidana pokok bersifat keharusan (imperatif),

sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif.

Apabila dalam persidangan, tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa

penuntut umum menurut hakim telah terbukti secara sah dan menyakinkan,

hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok sesuai dengan jenis dan

57

Ibid. Hlm. 27-28

33

batas maksimum khusus yang diancamkan pada tindak pidana yang

diancamkan (imperatif). Sifat imperatif ini sesungguhnya sudah terdapat

dalam setiap rumusan tindak pidana, di mana didalam rumusan kejahatan

maupun pelanggaran hanya ada dua kemungkinan, yaitu: (a) diancamkan

satu jenis pidana pokok saja (artinya hakim tidak bisa menjatuhkan jenis

pidana pokok yang lain), dan (b) tindak pidana yang diancamkan dengan

dua atau lebih jenis pidana pokok, di mana sifatnya alternatif. Artinya hakim

harus memilih salah satu saja. Sementara untuk menjatuhkan jenis pidana

tambahan bukanlah suatu keharusan (fakultatif).

2) Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian

menjatuhkan jenis pidana tambahan (berdiri sendiri), tetapi

menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan

menjatuhkan pidana pokok.

Sesuai dengan namanya pidana tambahan penjatuhan jenis pidana

tambahan tidak dapat berdiri sendiri, lepas dari pidana pokok. Melainkan

hanya dapat dijatuhkan oleh hakim apabila dalam suatu putusannya itu telah

menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan

pada tindak pidana yang bersangkutan. Artinya jenis pidana tambahan tidak

dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana pokok,

melainkan harus bersama dengan jenis pidana pokok. Sementara jenis

34

pidana pokok dapat berdiri sendiri tanpa harus dengan menjatuhkan jenis

pidana tambahan.58

D. Tinjauan Umum Tentang Anak

1. Pengertian Anak

Pengertian anak masih merupakan masalah yang aktual dan sering

menimbulkan berbedaan pendapat antara para ahli hukum, salah satu

diantaranya adalah berapakah maksimal batas umur yang ditentukan bagi

seorang anak.

Mengenai umur anak para ahli hukum tidak memiliki kata sepakat tentang

batas umur yang jelas dan dapat disetujui bersama.Tetapi, umumnya yang

dimaksud dengan anak adalah orang yang belum dewasa atau yang masih

muda umurnya dan belum menikah.

Sistem hukum kita terdapat pluralisme mengenai kriteria anak.Hal ini

diakibatkan karena tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara

tersendiri kriteria tentang anak dan merupakan pembatasan untuk suatu

perbuatan tertentu dan tujuan tertentu sehingga perumusan dalam berbagai

peraturan perundang-undangan tentang pengertian anak tidak memberikan

konsepsi yang jelas tentang anak.

Adapun perbedaan tentang pengertian anak dalam peraturan perundang-

undangan adalah sebagai berikut:

1. Anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak

Tentang Perlindungan Anak, mendefinisikan anak sebagai berikut:

58

P.A.P. Lamintang, 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung. Hlm. 47

35

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan”.59

1) Anak menurut Hukum Perdata Dalam hukum perdata, semua

manusia tanpa pengecualian merupakan subjek hokum yaitu

pendukung hak dan kewajiban. Bahkan dimulai sejak ia dalam

kandungan ketika ada kepentingan yang menghendaki. Ketentuan

yang mengatur mengenai batasan umur dapat kita temui dalam

beberapa Pasal baik buku I tentang orang maupun buku III tentang

perikatan. Dimana batasan umur seseorang yang dianggap masih

anak-anak atau belum dewasa yang tidak cakap melakukan

perbuatan hukum tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yaitu: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai

umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak terlebih dahulu

kawin.Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka 21

tahun, maka mereka tidak kembali dalam kedudukan belum

dewasa.60

2) Anak menurut Hukum Pidana. Anak dalam penjelasan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimaksud dengan

“belum dewasa” adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan

belum kawin.61

59

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 60

Pasal 330 KUHPerdata 61

Pasal 45. R. Soesilo, 1991. K.U.H.P. serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi

Pasal:Bogor.

36

2. Anak menurut Hukum Ketenagakerjaan mendefinisikan: “Anak adalah

setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun”.62

3. Anak menurut Undang-Undang Perkawinan mengatakan: “seorang pria

hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (Sembilan belas)

tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.63

4. Anak menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia mendefinisikan:

“Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas)

tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan

apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.64

5. Anak menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak mendefinisikan:

“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh

satu) tahun dan belum pernah kawin”.65

6. Anak menurut Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Right of

the Child). Bahwa anak adalah mereka yang belum berumur 18

(delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku

bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Dalam

konvensi ini tidak disebutkan pernah kawin sebagai persyaratan

kedewasaan sehingga hal ini menimbulkan kesimpangsiuran.Namun

pembatasan criteria mengenai anak tidak berlaku mutlak bagi Negara-

negara yang telah meratifikasi hasil konvensi tersebut.Negara diberi

62

Pasal 1 angka 26, UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 63

Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 64

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 65

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

37

kebebasan untuk membatasi criteria seseorang berdasarkan undang-

undang yang berlaku di Negara masing-masing.

7. Anak menurut hukum Islam Menurut hukum Islam, anak adalah

seseorang yang belum baliq atau berakal, dimana mereka belum

dianggap cakap untuk berbuat dan bertindak.66

66

Zakariya Ahmad Al Barry.__. Hukum Anak Dalam Islam. Jakarta. Hlm. 89