22
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Social Loafing 1. Pengertian Social Loafing Social loafing dikenal sebagai fenomena hilangnya produktifitas (George dalam Liden et al., 2004). Karau dan Williams (1993) mendefinisikan social loafing sebagai pengurangan motivasi dan usaha yang terjadi ketika individu bekerja secara kolektif dalam kelompok dibandingkan ketika individu bekerja secara individual sebagai rekan yang independen. Definisi tersebut sejalan dengan pendapat Latane, Williams, dan Harkins (1979) yang menyatakan social loafing sebagai pengurangan kinerja individu selama bekerjasama dengan kelompok dibandingkan dengan bekerja sendiri. Menurut Myers (2012) social loafing adalah kecenderungan bagi individu untuk mengeluarkan usaha yang lebih sedikit ketika individu mengumpulkan usaha individu untuk mencapai suatu tujuan yang sama dibandingkan jika individu secara individual diperhitungkan. Lebih lanjut, Baron dan Byrne (2005) mengungkapkan bahwa social loafing adalah kecenderungan anggota dalam sebuah kelompok untuk tidak bekerja sesuai potensinya. Individu cenderung melakukan usaha seperlunya hanya untuk menunjukkan performance yang baik atau untuk menghindari rasa bersalah karena tidak berbuat apa-apa. Selain itu, social loafing adalah adanya demotivasi di dalam kelompok karena merasa idenya telah diwakili oleh anggota lain (Meinarno dan Sarwono, 2018).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/3636/3/BAB II.pdf · Pengertian Social Loafing ... bekerja secara kolektif dalam kelompok dibandingkan

Embed Size (px)

Citation preview

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Social Loafing

1. Pengertian Social Loafing

Social loafing dikenal sebagai fenomena hilangnya produktifitas (George

dalam Liden et al., 2004). Karau dan Williams (1993) mendefinisikan social

loafing sebagai pengurangan motivasi dan usaha yang terjadi ketika individu

bekerja secara kolektif dalam kelompok dibandingkan ketika individu bekerja

secara individual sebagai rekan yang independen. Definisi tersebut sejalan dengan

pendapat Latane, Williams, dan Harkins (1979) yang menyatakan social loafing

sebagai pengurangan kinerja individu selama bekerjasama dengan kelompok

dibandingkan dengan bekerja sendiri.

Menurut Myers (2012) social loafing adalah kecenderungan bagi individu

untuk mengeluarkan usaha yang lebih sedikit ketika individu mengumpulkan

usaha individu untuk mencapai suatu tujuan yang sama dibandingkan jika

individu secara individual diperhitungkan. Lebih lanjut, Baron dan Byrne (2005)

mengungkapkan bahwa social loafing adalah kecenderungan anggota dalam

sebuah kelompok untuk tidak bekerja sesuai potensinya. Individu cenderung

melakukan usaha seperlunya hanya untuk menunjukkan performance yang baik

atau untuk menghindari rasa bersalah karena tidak berbuat apa-apa. Selain itu,

social loafing adalah adanya demotivasi di dalam kelompok karena merasa idenya

telah diwakili oleh anggota lain (Meinarno dan Sarwono, 2018).

11

Berdasarkan uraian dari beberapa pendapat di atas maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa social loafing merupakan menurunnya motivasi serta usaha

untuk bekerja secara maksimal ketika bekerja di dalam kelompok dibandingkan

ketika bekerja secara individual.

2. Aspek-Aspek Social Loafing

Myers (2012) menyebutkan bahwa social loafing memiliki aspek-aspek,

sebagai berikut :

a. Menurunnya motivasi individu untuk terlibat dalam kegiatan kelompok

Seseorang menjadi kurang termotivasi untuk terlibat atau melakukan suatu

kegiatan tertentu pada saat orang tersebut berada dalam keadaan bersama-

sama dengan orang lain. Individu kurang termotivasi untuk terlibat dalam

diskusi karena berada dalam lingkungan dimana ada orang lain yang

mungkin mau melakukan respon yang kurang lebih sama terhadap stimulus

yang sama.

b. Sikap pasif

Anggota kelompok lebih memilih untuk diam dan ‘memberikan kesempatan’

kepada orang lain untuk melakukan usaha kelompok. Sikap pasif ini

didorong oleh adanya anggapan bahwa tujuan kelompok telah dapat dipenuhi

oleh partisipasi orang lain dalam kelompok tersebut.

c. Pelebaran tanggung jawab

Usaha untuk mencapai tujuan kelompok merupakan usaha bersama yang

dilakukan oleh para anggotanya. Setiap anggota kelompok bertanggung

jawab akan keberhasilan pencapaian tujuan tersebut. Keadaan ini

12

mengakibatkan munculnya pelebaran tanggung jawab di mana individu yang

merasa dirinya telah memberikan kontribusi yang memadai bagi kelompok

tidak tergerak untuk memberikan lagi kontribusinya dan akan menunggu

partisipasi anggota lain untuk menyelesaikan tanggung jawab kelompok.

d. Mendompleng pada usaha orang lain (free rider)

Individu yang memahami bahwa masih ada orang lain yang mau melakukan

usaha kelompok cenderung tergoda untuk mendompleng (free rider) begitu

saja pada individu lain dalam melakukan usaha kelompok tersebut. Individu

tadi dapat mengambil keuntungan tanpa perlu bersusah payah melakukan

usaha.

e. Penurunan kesadaran akan evaluasi dari orang lain

Social loafing dapat juga terjadi karena dalam situasi kelompok terjadi

penurunan pada pemahaman atau kesadaran akan evaluasi dari orang lain

(evaluation apprehension) terhadap dirinya.

Menurut teori dampak sosial yang dikemukakan oleh Latane, Chidambaram

dan Tung (2005) mengungkapkan bahwa social loafing dapat dilihat dari dua

aspek, yaitu :

a. Dilution Effect

Individu “tenggelam” dalam kelompok. Individu kurang termotivasi karena

merasa kontribusinya tidak berarti, atau menyadari bahwa penghargaan yang

diberikan kepada tiap individu tidak ada kaitannya dengan besar kontribusi

yang individu keluarkan.

13

b. Immediacy Gap

Individu merasa terasing dari kelompok. Hal ini menandakan semakin jauh

anggota kelompok dari anggotanya maka individu akan semakin jauh dengan

pekerjaan yang dibebankan kepadanya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan aspek-aspek dari social

loafing yaitu menurunnya motivasi individu untuk terlibat dalam kelompok, sikap

pasif, pelebaran tanggung jawab, mendompleng pada usaha orang lain (free rider),

penurunan kesadaran akan evaluasi dari orang lain, dilution effect, dan immediacy

gap. Social loafing dalam penelitian ini akan diungkap menggunakan alat ukur

berupa skala yang mengacu pada aspek-aspek dari Myers (2012) yaitu

menurunnya motivasi individu untuk terlibat dalam kelompok, sikap pasif,

pelebaran tanggung jawab, mendompleng pada usaha orang lain (free rider), dan

penurunan kesadaran akan evaluasi dari orang lain. Peneliti menilai bahwa teori

dari Myers (2012) memiliki aspek-aspek yang sesuai dengan yang ingin diukur

oleh peneliti sehingga diharapkan pengukuran yang dilakukan nantinya akan lebih

akurat.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Social Loafing

Munculnya social loafing disebabkan oleh berbagai faktor. Menurut Liden

et al., (2004) faktor-faktor yang mempengaruhi social loafing dikelompokkan

menjadi dua bagian, yaitu :

a. Individual-Level Antecedents of Social Loafing, terdiri dari empat bagian

yaitu:

14

1) Interdependensi tugas (task interdependence)

Shea dan Guzzo (1987, dalam Liden, Wayne, Jaworski, dan Bennett,

2004) menyatakan bahwa interdependensi tugas adalah tingkat interaksi

berbasis tugas di antara anggota kelompok. Secara operasional,

interdependensi tugas dapat didefinisikan sebagai persepsi masing-

masing anggota kelompok mengenai sejauh mana anggota kelompok

perlu berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya saat mengerjakan

tugas.

Bila persepsi interdependensi tugas tinggi, individu percaya bahwa

usaha yang individu keluarkan tidak dapat dibedakan dari usaha yang

dilakukan oleh orang lain dan hal ini membuat individu merasa tidak

adanya pencapaian secara pribadi sehingga memungkinkan individu

untuk mengurangi usaha yang dikeluarkan. Di sisi lain, ketika

interdependensi tugas rendah, individu percaya bahwa usahanya dapat

diisolasi dari usaha yang dilakukan oleh orang lain dan karena adanya

pengakuan tersebut maka individu merasa layak untuk berusaha.

2) Visibilitas tugas (task visibility)

Visibilitas tugas adalah kepercayaan individu bahwa ada orang lain yang

menyadari usaha yang individu tersebut keluarkan (Kidwell dan Bennett

dalam Liden, Wayne, Jaworski, dan Bennett, 2004). Ketika visibilitas

tugas tinggi, individu percaya bahwa usaha yang individu keluarkan

dapat dibedakan dari usaha yang dikeluarkan oleh anggota kelompok

lainnya sehingga memungkinkan individu tersebut untuk tidak terlibat

15

dalam social loafing. Sebaliknya, ketika visibilitas tugas rendah,

individu kurang termotivasi untuk mengeluarkan usahanya. Hal ini

dikarenakan tidak ada perhatian terhadap peningkatan atau penurunan

usaha yang individu keluarkan serta tidak adanya imbalan atau sanksi

yang didapatkan sehingga memungkinkan individu tersebut untuk

terlibat dalam social loafing.

3) Keadilan distributif (distributive justice)

Keadilan dalam pembagian penghargaan/kompensasi telah terbukti

berhubungan negatif dengan social loafing pada karyawan di sejumlah

studi dalam literatur ekonomi. Sedangkan dalam literatur perilaku

organisasi, keadilan distributif atau keyakinan bahwa individu akan

dibayar sesuai nilai mereka telah terbukti memotivasi individu tersebut

untuk berusaha keras. Hal tersebut didukung oleh George (1995) yang

menemukan bahwa social loafing paling rendah terjadi dalam kondisi

pemberian hadiah secara berkelanjutan.

4) Keadilan prosedural (procedural justice)

Thibaut dan Walker (dalam Liden, Wayne, Jaworski, dan Bennett, 2004)

menjelaskan bahwa keadilan prosedural melibatkan persepsi keadilan

dalam prosedur atau kebijakan yang digunakan untuk membuat

keputusan kepegawaian, contohnya seperti menentukan sistem untuk

mendistribusikan penghargaan. Karau dan Williams (1993) berpendapat

bahwa persepsi individu tentang keadilan prosedural dapat

mempengaruhi kinerja terhadap harapan terkait hasil akhir sehingga

16

akan berdampak pada tingkat usaha yang dikeluarkan pada perilaku saat

mengerjakan tugas.

b. Group- Level Antecedents of Social Loafing, terdiri dari tiga bagian yaitu:

1) Ukuran kelompok (work group size)

Ketika kelompok mengalami peningkatan dalam jumlah anggotanya

maka anonimitas individual juga mengalami peningkatan. Peningkatan

anonimitas ini menimbulkan kesulitan dalam menilai kontribusi masing-

masing individu (Jones, 1984). Kehadiran orang lain juga dapat

menimbulkan perasaan bahwa individu tersebut tidak diikutsertakan atau

tidak terhitung di dalam kelompok, sehingga sadar atau tidak sadar

individu mungkin menahan usahanya saat merasa bahwa tindakan itu

tidak akan mempengaruhi hasil akhir kelompok (Karau dan Williams,

1993).

2) Kohesivitas kelompok (group cohesiveness)

Mudrack (dalam Liden, Wayne, Jaworski, dan Bennett, 2004)

mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai sejauh mana anggota

kelompok saling tertarik satu sama lain dan memiliki keinginan untuk

"tetap" bersama. Kohesivitas kelompok telah lama dikenal sebagai salah

satu variabel yang berhubungan erat dengan social loafing. Ketika

anggota kelompok tidak saling menyukai dan tidak merasa memiliki

ikatan yang erat maka memungkinkan individu terlibat dalam social

loafing. Di sisi lain, ketika anggota kelompok mengalami rasa

17

kebersamaan maka meminimalisir anggota kelompok untuk terlibat

dalam social loafing.

3) Penerimaan terhadap kemalasan anggota kelompok (perceived co-

worker loafing)

Penerimaan terhadap kemalasan anggota kelompok mengacu pada

sejauh mana anggota kelompok merasakan bahwa anggota kelompok

lainnya terlibat dalam social loafing. Setiap individu memiliki

kecenderungan untuk mengobservasi perilaku orang lain, dan hal ini

cenderung dapat mempengaruhi perilaku individu itu sendiri. Arah dari

perilaku anggota dalam kelompok dapat dipengaruhi oleh persepsi

anggota kelompok mengenai tindakan dari anggota lain dalam kelompok.

Sejalan dengan pendapat tersebut, sebuah studi yang dilakukan oleh

Schnake (1991) menunjukkan bahwa ketika salah satu anggota percaya

bahwa anggota lain dalam kelompoknya melakukan social loafing, maka

anggota kelompok lainnya cenderung ikut serta melakukan social

loafing, terutama ketika anggota tersebut merasa bahwa tugas kelompok

akan tetap terselesaikan.

Penelitian yang dilakukan Simms dan Nichols (2014) menyebutkan

beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan social loafing, antara

lain :

18

a. Kemudahan Tugas

Ketika sebuah kelompok mendapatkan tugas yang sulit untuk diselesaikan,

maka akan sedikit kemungkinan anggota di dalam kelompok melakukan

social loafing (Harkins dan Petty, 1982).

b. Tidak Adanya Evaluasi

Individu akan cenderung melakukan social loafing apabila kinerjanya di

dalam kelompok tidak dievaluasi, baik itu dari pemberi tugas atau dari rekan

kerjanya (Harkins dan Szymanski, 1989).

c. Ketidakjelasan Tugas

Social loafing dipengaruhi oleh ketidakjelasan tugas. Tugas yang tidak jelas

pembagiannya atau arahnya akan cenderung memberikan kemalasan bagi

individu yang mengerjakannya. Individu tersebut kurang termotivasi dalam

memberikan upaya saat menyelesaikan tugas (George, 1992).

d. Kelekatan Kelompok

Ketidaklekatan antar anggota kelompok atau noncohesiveness group juga

dapat mempengaruhi social loafing (Karau dan Williams, 1997). Hal ini

dapat didefinisikan sebagai sejauh mana anggota kelompok yang satu dengan

yang lainnya tertarik dan memiliki keinginan untuk bersama-sama (Mudrack,

1989).

e. Gender

Gender seseorang merupakan salah satu faktor penyebab social loafing.

Seorang perempuan lebih mungkin untuk tidak melakukan social loafing

19

dibandingkan dengan seorang laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita umumnya

berorientasi pada pemeliharaan koordinasi kelompok (Kugihara, 1999).

f. Tugas yang dirasa harus dikerjakan secara berkelompok

Individu yang mendapatkan tugas secara berkelompok tidak merasakan

hasilnya secara pribadi. Individu ini akan memandang tugas yang dikerjakan

sebagai sebuah tugas yang harus diselesaikan dengan saling bergantung

antara satu dengan yang lain. Hal ini menyebabkan individu tersebut kurang

senang dengan hasil yang harus individu bagi dengan anggota yang lainnya

(Manz dan Angle, 1986).

g. Menumpang Kesuksesan

Individu ingin menumpang pada kesuksesan atau pekerjaan orang lain tanpa

ikut serta dalam pengerjaannya. Hal ini juga terkadang dilakukan karena

keyakinan individu tersebut bahwa orang yang memberikan tugas tidak akan

menyadari pengurangan usaha yang dilakukannya (Kidwell dan Benner,

1993).

h. Faktor Budaya

Social loafing lebih sering terjadi pada budaya individualis daripada

kolektivis. Performa individualis yang bekerja dalam sebuah kelompok lebih

rendah dibandingkan ketika bekerja sendiri. Sebaliknya, individu yang

memiliki budaya kolektivis akan memiliki performa yang lebih baik dalam

kelompok daripada bekerja sendiri. Individu yang memiliki budaya kolektivis

akan menempatkan tujuan kelompok dan pekerjaan kelompok sebagai hal

yang utama. Selain itu, individu yang memiliki budaya kolektivis

20

menmpercayai bahwa kontribusi individu sangat penting bagi keberhasilan

kelompok (Early, 1989).

i. Besarnya Kelompok

Semakin banyak anggota dalam sebuah kelompok, maka social loafing

seorang individu akan semakin meningkat. Hal ini juga semakin membuat

sulit untuk menilai kontribusi masing-masing individu. Kemungkinan

seseorang melakukan social loafing dikarenakan merasa banyak anggota

yang mampu mengerjakan tugas kelompok tersebut (Latane, Williams, dan

Harkins, 1979).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa social loafing dipengaruhi

oleh beberapa faktor, yaitu : interdependensi tugas, visibilitas tugas, keadilan

distributif, keadilan prosedural, ukuran kelompok, kohesivitas kelompok, dan

penerimaan terhadap kemalasan anggota kelompok. Dalam penelitian ini, peneliti

akan memfokuskan kohesivitas kelompok sebagai variabel bebas karena

kohesivitas kelompok merupakan hal yang signifikan dalam pencapaian kerja

kelompok (Michaelsen, dkk., dalam Goo, 2011).

Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Krisnasari dan Purnomo

(2017) menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara

kohesivitas dengan kemalasan sosial pada mahasiswa. Aulia dan Saloom (2013)

menemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan kohesivitas kelompok

terhadap social loafing. Selain didasarkan oleh penelitian sebelumnya, pemilihan

kohesivitas kelompok sebagai variabel bebas juga didukung oleh hasil wawancara

pada mahasiswa yang mengatakan bahwa alasan mahasiswa cenderung

21

mengurangi usaha ketika mengerjakan tugas kelompok adalah rendahnya

kohesivitas kelompok.

B. Kohesivitas Kelompok

1. Pengertian Kohesivitas Kelompok

Kohesivitas didefinisikan sebagai ketertarikan yang dirasakan oleh individu

terhadap suatu kelompok yang diikuti (Baron dan Byrne, 2005). Menurut Myers

(2012) kohesivitas adalah suatu perasaan, tingkat di mana anggota dari suatu

kelompok terikat satu sama lain. Taylor, Peplau, dan Sears (2009) mendefinisikan

kohesivitas sebagai daya tarik baik positif maupun negatif yang menyebabkan

anggota tetap bertahan dalam kelompok.

Kohesivitas kelompok dapat didefinisikan sebagai proses dinamis yang

tercemin dalam kecenderungan kelompok untuk tetap bersama dan menjaga

kebersamaan dalam mengejar tujuan dasar kelompok dan/atau untuk pemenuhan

kebutuhan afektif anggota kelompok (Carron dan Brawley, 2012). Lebih lanjut,

Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai tingkat

dimana para anggotanya saling tertarik dan termotivasi untuk tinggal dalam

kelompok tersebut. Forsyth (2006) mengatakan bahwa kohesivitas kelompok

merupakan rasa ketertarikan untuk bersatu dengan kelompok dalam jangka waktu

yang lama karena anggota kelompok menikmati interaksi satu sama lain dan di

dalamnya terdapat semangat yang tinggi.

Mudrack (dalam Liden et al., 2004) menjelaskan kohesivitas kelompok

sebagai sejauhmana anggota saling tertarik satu sama lain dan berkeinginan untuk

22

"tetap" bersama. Menurut Mcshane dan Glinow (2003), kohesivitas kelompok

merupakan daya tarik individu terhadap kelompok dan motivasi individu untuk

tetap bersama kelompok dikarenakan hal tersebut menjadi faktor penting dalam

menunjang keberhasilan kelompok. Definisi tersebut senada dengan pendapat

Collins dan Raven (dalam Rakhmat, 2012) yang mendefinisikan kohesivitas

kelompok sebagai kekuatan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap

tinggal dalam kelompok dan mencegahnya meninggalkan kelompok.

Berdasarkan uraian dari beberapa pendapat di atas maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa kohesivitas kelompok adalah daya tarik individu pada sebuah

kelompok yang memotivasi individu tersebut untuk bersatu dan menetap dalam

kelompok untuk jangka waktu yang lama serta menangkal pengaruh yang dapat

membuat anggota keluar dari kelompok.

2. Aspek-Aspek Kohesivitas Kelompok

Kohesivitas kelompok memiliki beberapa aspek menurut Carron dan

Brawley (2012), yaitu:

a. Integrasi kelompok dalam tugas (group integration-task), yaitu persepsi

anggota kelompok dari masing-masing individu mengenai kesamaan dan

kedekatan dalam mencapai tugas.

b. Integrasi kelompok secara sosial (group integration-social), yaitu persepsi

yang dapat mencerminkan anggota kelompok mengenai adanya kedekatan dan

ikatan yang dilakukan bersama dalam kegiatan sosial.

23

c. Ketertarikan individu pada kelompok terkait tugas (individual attraction to

group-task), yaitu perasaan anggota kelompok tentang keterlibatan pribadi

dalam penyelesaian tugas kelompok.

d. Ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attraction to

group-social), yaitu perasaan anggota kelompok tentang keterlibatan pribadi

dalam interaksi sosial kelompok.

Forsyth (2006) mengemukakan bahwa kohesivitas kelompok memiliki

empat aspek, yaitu :

a. Kekuatan sosial

Keseluruhan dari dorongan yang dilakukan oleh individu dalam kelompok

untuk tetap berada dalam kelompoknya. Dorongan yang menjadikan anggota

kelompok selalu berhubungan dan kumpulan dari dorongan tersebut membuat

anggota kelompok bersatu.

b. Kesatuan dalam kelompok

Perasaan saling memiliki terhadap kelompoknya dan memiliki perasaan moral

yang saling berhubungan dengan keanggotaanya dalam kelompok. Setiap

individu dalam kelompok merasa kelompok adalah sebuah keluarga, tim dan

komunitasnya sehingga memiliki kebersamaan bersama.

c. Daya tarik

Individu akan lebih tertarik melihat dari segi kelompok kerjanya sendiri

daripada melihat dari anggotanya secara spesifik.

24

d. Kerja sama kelompok

Individu memiliki keinginan yang lebih besar untuk bekerja sama sehingga

dapat mencapai tujuan kelompok bersama.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kohesivitas kelompok

terdiri atas beberapa aspek, yaitu integrasi kelompok dalam tugas, integrasi

kelompok secara sosial, ketertarikan individu pada kelompok terkait tugas, dan

ketertarikan individu pada kelompok secara sosial. Ditambahkan pula aspek

kekuatan sosial, kesatuan dalam kelompok, daya tarik, dan kerja sama kelompok.

Kohesivitas kelompok dalam penelitian ini akan diungkap menggunakan alat ukur

berupa skala yang mengacu pada aspek-aspek dari Carron dan Brawley (2012)

yaitu integrasi kelompok dalam tugas, integrasi kelompok secara sosial,

ketertarikan individu pada kelompok terkait tugas, dan ketertarikan individu pada

kelompok secara sosial. Peneliti menilai bahwa teori dari Carron dan Brawley

(2012) memiliki aspek-aspek yang sesuai dengan yang ingin diukur oleh peneliti

sehingga diharapkan pengukuran yang dilakukan nantinya akan lebih akurat.

C. Hubungan Antara Kohesivitas Kelompok Dengan Social Loafing Pada

Mahasiswa

Kehidupan mahasiswa dengan begitu banyak tugas yang menumpuk baik itu

tugas individu maupun tugas kelompok memiliki dinamika tersendiri. Sebagai

seorang mahasiswa, mengerjakan tugas merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari proses pembelajaran dalam menjalani perkuliahan. Dosen

seringkali memberikan tugas dalam bentuk kelompok. Hal ini disebabkan karena

25

adanya rasa percaya bahwa hasil dari mengerjakan tugas secara berkelompok

lebih baik jika dibandingkan dengan hasil bekerja sendirian (Hall dan Buzwell,

2012).

Namun pada praktiknya, dalam mengerjakan tugas secara berkelompok ada

individu yang sungguh-sungguh memberikan kontribusinya dan ada individu yang

enggan memberikan kontribusinya. Pengurangan kinerja individu saat berkerja

dalam kelompok disebut sebagai social loafing. Social loafing memberikan

dampak negatif dan merugikan terutama dalam pencapaian hasil akhir dari tugas

kelompok itu sendiri. Social loafing yang dilakukan mahasiswa disebabkan oleh

berbagai hal, salah satunya adalah rendahnya kohesivitas kelompok (Liden et al.,

2004).

Kohesivitas kelompok mengacu pada sejauhmana anggota saling tertarik

satu sama lain dan berkeinginan untuk "tetap" bersama (Mudrack, dalam Liden et

al., 2004). Kohesivitas merupakan hal yang penting bagi kelompok karena

kohesivitas dapat menjadi sebuah alat pemersatu anggota kelompok agar dapat

terbentuk sebuah kelompok yang efektif. Semakin kuat kebersamaan dan

ketertarikan antar sesama anggota, maka semakin kohesif pula individu terhadap

kelompok tersebut. Kelompok yang terdiri atas anggota yang memiliki

kohesivitas tinggi maka anggotanya memiliki tanggung jawab, ketertarikan yang

kuat pada kelompok, dan biasanya akan tampil kompak sebagai kelompok (Shin

& Park, dalam Anggraeni dan Alfian, 2015).

Choiriyati, Windarsih, Dewi dan Inketria (2008) juga berpendapat bahwa

kohesivitas di dalam kelompok menciptakan sebuah kekuatan pemersatu yang

26

menghubungkan anggota kelompok secara individual dengan anggota yang lain

dalam satu kelompok secara keseluruhan. Tujuan dari kelompok akan tercapai

jika anggota di dalam kelompok saling menyukai satu dengan lainnya, maka akan

terbentuk suatu kekuatan yang membuat ikatan antara anggota semakin erat.

Kohesivitas yang tinggi di dalam kelompok akan membuat para anggota di

dalam kelompok tidak akan melakukan social loafing yang dapat merugikan

kelompoknya. Maka dari itu, diperlukan kesatuan dari anggota kelompok untuk

membentuk kekuatan yang dapat mempererat hubungan antaranggota sehingga

anggota kelompok tetap bertahan dalam kelompok. Menurut Taylor, Peplau dan

Sears (2009) kohesivitas yang tinggi bermanfaat bagi pelaksanaan fungsi

kelompok karena kohesivitas kelompok sebagai kekuatan yang membuat anggota

tetap bertahan dalam kelompok. Menurut Wulansari, dkk (2013) bahwa fungsi

kelompok akan tercapai secara maksimal pada kelompok yang kohesif karena

eksistensi kelompok kohesif tetap terjaga seiring dengan anggota yang juga eksis

di dalam kelompok.

Carron dan Brawley (2012) menyatakan bahwa tingginya kohesivitas

kelompok ini muncul dalam aspek yaitu yang pertama integrasi kelompok dalam

tugas yang berarti persepsi masing-masing anggota kelompok mengenai

kedekatan dan kesamaan dalam mencapai tugas bersama. Kelompok yang kohesif

terdiri atas anggota kelompok yang memiliki pandangan positif mengenai rasa

kebersamaan terhadap kelompoknya sehingga mendorong anggota untuk

mengambil lebih banyak tanggung jawab individual terhadap hasil kerja

kelompok. Selain itu, anggota tersebut juga rela berkorban untuk kelompok dan

27

dengan senang hati akan menginvestasikan usahanya pada kelompok karena

adanya sense of bonding and belonging pada kelompok yang besar (Anggraeni

dan Alfian, 2015).

Kekuatan ikatan ini membawa masing-masing anggota kepada saling

pengertian dan berusaha untuk memenuhi harapan-harapan kelompok yang dapat

berupa meningkatkan usaha yang individu keluarkan saat mengerjakan tugas

secara berkelompok (Hoigaard, dkk., 2006). Dengan demikian, individu akan

meminimalisir kemalasan sehingga social loafing tidak akan muncul. Sebaliknya,

kelompok yang kurang kohesif terdiri dari anggota kelompok yang kurang

memiliki rasa kebersamaan terhadap kelompoknya sehingga menimbulkan

kekecewaan pada anggota saat mengerjakan tugas kelompok yang berdampak

pada menurunnya atau hilangnya motivasi yang dapat mendorong anggota untuk

mengambil lebih sedikit bagian dari tugas yang seharusnya dikerjakan (Teng dan

Luo dalam Krisnasari dan Purnomo, 2017). Hal ini dapat mendasari terjadinya

social loafing.

Aspek kedua kohesivitas kelompok adalah integrasi kelompok secara sosial,

yaitu persepsi yang dapat mencerminkan anggota kelompok mengenai adanya

kedekatan dan ikatan yang dilakukan bersama dalam kegiatan sosial. Lebih lanjut,

Carless dan De Paola (2000) menggambarkan aspek ini sebagai persepsi masing-

masing individu mengenai kegiatan sosial yang dilakukan bersama anggota lain

agar lebih lekat sehingga memiliki ikatan dalam kelompok. Penelitian yang

dilakukan Hoigaard, dkk., (2006) menemukan bahwa tingginya integrasi

kelompok secara sosial ditunjukkan dengan pandangan setiap anggota kelompok

28

yang melihat kelompok sebagai sarana interaksi yang menumbuhkan kenyamanan

dan lebih dari sekedar tempat untuk mencapai tujuan kelompok sehingga hal ini

mendasari rendahnya perilaku social loafing. Sebaliknya, rendahnya integrasi

kelompok secara sosial terlihat dari anggota kelompok yang enggan untuk

berkumpul dan menghabiskan waktu bersama. Hal ini dikarenakan anggota

kelompok memandang kelompoknya hanya sekedar tempat untuk mencapai

tujuan kelompok sehingga hal ini dapat memicu terjadinya perilaku social loafing

(Aulia dan Saloom, 2013).

Hal lain yang dibutuhkan untuk meningkatkan kohesivitas kelompok adalah

ketertarikan individu pada kelompok terkait tugas. Carless dan De Paola (2000)

berpendapat bahwa ketertarikan individu pada kelompok terkait tugas merupakan

perasaan individu dalam keterlibatannya menyelesaikan tugas kelompok secara

bersama. Anggota kelompok yang memiliki ketertarikan secara individu terhadap

kelompoknya akan lebih giat dalam rangka mencapai tujuan kelompok. Hal ini

menunjukkan bahwa kelompok dengan tingkat kohesif lebih tinggi akan lebih

produktif daripada kelompok yang kurang kohesif (Penner dalam Walgito, 2003).

Penelitian yang dilakukan Aulia dan Saloom (2013) menemukan bahwa

ketertarikan individu pada tugas kelompok berpengaruh secara signifikan terhadap

social loafing, artinya semakin tinggi persepsi anggota kelompok terhadap

dampak keterlibatan dirinya pada tugas kelompok membuat anggota kelompok

tidak mudah untuk melakukan social loafing. Sejalan dengan itu, Hoigaard,

Safvenbom, dan Tonnessen (2006) juga berpendapat bahwa ketertarikan individu

pada tugas kelompok merupakan variabel yang secara signifikan mempengaruhi

29

social loafing. Tingginya persepsi anggota kelompok terhadap dampak

keterlibatan dirinya dalam penyelesaian tugas kelompok dapat meningkatkan

motivasi intrinsik yang membangun kesadaran untuk mengeluarkan usaha

maksimal dalam menyelesaikan tugas kelompok secara bersama-sama sehingga

mengurangi anggapan bahwa anggota kelompok lainnya akan melakukan social

loafing. Sebaliknya, rendahnya persepsi anggota kelompok terhadap dampak

keterlibatan dirinya pada tugas kelompok akan menurunkan atau bahkan

menghilangkan motivasi sehingga individu merasa hanya perlu mengeluarkan

usaha secukupnya dalam menyelesaikan tugas secara bersama-sama. Hal ini dapat

memicu anggota kelompok untuk melakukan social loafing.

Aspek terakhir ialah ketertarikan individu pada kelompok secara sosial,

yaitu perasaan individu tentang keterlibatannya dalam interaksi sosial kelompok

secara bersama-sama (Carron dan Brawley, 2012). Penelitian yang dilakukan

Aulia dan Saloom (2013) menemukan bahwa ketertarikan individu pada

kelompok secara sosial berpengaruh secara signifikan terhadap social loafing,

artinya semakin tinggi persepsi anggota kelompok terhadap keterlibatannya

berinteraksi sosial dalam kelompok berdampak pada tidak mudahnya individu

untuk melakukan social loafing.

Menurut Hoegl dan Proserpio (dalam Harun dan Mahmood, 2012), dampak

kedekatan anggota/interaksi sosial yang terjalin dengan baik menjadi kekuatan

untuk mendapatkan hasil kerja yang lebih baik. Hal ini tidak hanya memberi

dorongan untuk peningkatan kemampuan anggota tetapi juga memahami

karakteristik kelompok. Tingginya persepsi anggota kelompok mengenai dampak

30

keterlibatan dirinya akan memperkuat rasa kebersamaan, meningkatkan tanggung

jawab kolektif, dan membentuk kesadaran serta daya tangkap individu terhadap

lingkungan kelompoknya sehingga anggota dan kelompok tidak akan mudah

terjebak dalam perangkap social loafing. Sebaliknya, rendahnya persepsi anggota

kelompok mengenai dampak keterlibatan dirinya dalam kelompok menimbulkan

respon negatif yang mengurangi rasa kebersamaan dan menurunkan tanggung

jawab kolektif sehingga menyebabkan rendahnya pemahaman individu terhadap

karakteristik kelompok yang membuat anggota dan kelompok dengan mudah

melakukan social loafing (Walgito, 2003).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kohesivitas kelompok dapat

mempengaruhi social loafing. Hal ini berarti semakin tinggi kohesivitas kelompok

maka cenderung semakin rendah terjadinya social loafing pada mahasiswa.

Sebaliknya semakin rendah kohesivitas kelompok maka cenderung semakin tinggi

terjadinya social loafing. Adanya hubungan antara kohesivitas kelompok dengan

social loafing. Mahasiswa harus memiliki persepsi yang positif mengenai

kebersamaan baik dalam penyelesaian tugas maupun dalam interaksi sosialnya

dengan anggota lain dalam kelompok serta memiliki daya tarik antar sesama

anggota kelompok sehingga terjalin rasa suka satu sama lain dan memotivasi

setiap anggota untuk tetap tinggal di dalam kelompok.

31

D. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

adalah ada hubungan negatif antara kohesivitas kelompok dengan social loafing

pada mahasiswa yang menggambarkan semakin tinggi kohesivitas kelompok

maka cenderung semakin rendah terjadinya social loafing. Sebaliknya, semakin

rendah kohesivitas kelompok maka cenderung semakin tinggi terjadinya social

loafing pada mahasiswa ketika mengerjakan tugas kelompok.