Upload
trankhue
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Social Loafing
1. Pengertian Social Loafing
Social loafing dikenal sebagai fenomena hilangnya produktifitas (George
dalam Liden et al., 2004). Karau dan Williams (1993) mendefinisikan social
loafing sebagai pengurangan motivasi dan usaha yang terjadi ketika individu
bekerja secara kolektif dalam kelompok dibandingkan ketika individu bekerja
secara individual sebagai rekan yang independen. Definisi tersebut sejalan dengan
pendapat Latane, Williams, dan Harkins (1979) yang menyatakan social loafing
sebagai pengurangan kinerja individu selama bekerjasama dengan kelompok
dibandingkan dengan bekerja sendiri.
Menurut Myers (2012) social loafing adalah kecenderungan bagi individu
untuk mengeluarkan usaha yang lebih sedikit ketika individu mengumpulkan
usaha individu untuk mencapai suatu tujuan yang sama dibandingkan jika
individu secara individual diperhitungkan. Lebih lanjut, Baron dan Byrne (2005)
mengungkapkan bahwa social loafing adalah kecenderungan anggota dalam
sebuah kelompok untuk tidak bekerja sesuai potensinya. Individu cenderung
melakukan usaha seperlunya hanya untuk menunjukkan performance yang baik
atau untuk menghindari rasa bersalah karena tidak berbuat apa-apa. Selain itu,
social loafing adalah adanya demotivasi di dalam kelompok karena merasa idenya
telah diwakili oleh anggota lain (Meinarno dan Sarwono, 2018).
11
Berdasarkan uraian dari beberapa pendapat di atas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa social loafing merupakan menurunnya motivasi serta usaha
untuk bekerja secara maksimal ketika bekerja di dalam kelompok dibandingkan
ketika bekerja secara individual.
2. Aspek-Aspek Social Loafing
Myers (2012) menyebutkan bahwa social loafing memiliki aspek-aspek,
sebagai berikut :
a. Menurunnya motivasi individu untuk terlibat dalam kegiatan kelompok
Seseorang menjadi kurang termotivasi untuk terlibat atau melakukan suatu
kegiatan tertentu pada saat orang tersebut berada dalam keadaan bersama-
sama dengan orang lain. Individu kurang termotivasi untuk terlibat dalam
diskusi karena berada dalam lingkungan dimana ada orang lain yang
mungkin mau melakukan respon yang kurang lebih sama terhadap stimulus
yang sama.
b. Sikap pasif
Anggota kelompok lebih memilih untuk diam dan ‘memberikan kesempatan’
kepada orang lain untuk melakukan usaha kelompok. Sikap pasif ini
didorong oleh adanya anggapan bahwa tujuan kelompok telah dapat dipenuhi
oleh partisipasi orang lain dalam kelompok tersebut.
c. Pelebaran tanggung jawab
Usaha untuk mencapai tujuan kelompok merupakan usaha bersama yang
dilakukan oleh para anggotanya. Setiap anggota kelompok bertanggung
jawab akan keberhasilan pencapaian tujuan tersebut. Keadaan ini
12
mengakibatkan munculnya pelebaran tanggung jawab di mana individu yang
merasa dirinya telah memberikan kontribusi yang memadai bagi kelompok
tidak tergerak untuk memberikan lagi kontribusinya dan akan menunggu
partisipasi anggota lain untuk menyelesaikan tanggung jawab kelompok.
d. Mendompleng pada usaha orang lain (free rider)
Individu yang memahami bahwa masih ada orang lain yang mau melakukan
usaha kelompok cenderung tergoda untuk mendompleng (free rider) begitu
saja pada individu lain dalam melakukan usaha kelompok tersebut. Individu
tadi dapat mengambil keuntungan tanpa perlu bersusah payah melakukan
usaha.
e. Penurunan kesadaran akan evaluasi dari orang lain
Social loafing dapat juga terjadi karena dalam situasi kelompok terjadi
penurunan pada pemahaman atau kesadaran akan evaluasi dari orang lain
(evaluation apprehension) terhadap dirinya.
Menurut teori dampak sosial yang dikemukakan oleh Latane, Chidambaram
dan Tung (2005) mengungkapkan bahwa social loafing dapat dilihat dari dua
aspek, yaitu :
a. Dilution Effect
Individu “tenggelam” dalam kelompok. Individu kurang termotivasi karena
merasa kontribusinya tidak berarti, atau menyadari bahwa penghargaan yang
diberikan kepada tiap individu tidak ada kaitannya dengan besar kontribusi
yang individu keluarkan.
13
b. Immediacy Gap
Individu merasa terasing dari kelompok. Hal ini menandakan semakin jauh
anggota kelompok dari anggotanya maka individu akan semakin jauh dengan
pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan aspek-aspek dari social
loafing yaitu menurunnya motivasi individu untuk terlibat dalam kelompok, sikap
pasif, pelebaran tanggung jawab, mendompleng pada usaha orang lain (free rider),
penurunan kesadaran akan evaluasi dari orang lain, dilution effect, dan immediacy
gap. Social loafing dalam penelitian ini akan diungkap menggunakan alat ukur
berupa skala yang mengacu pada aspek-aspek dari Myers (2012) yaitu
menurunnya motivasi individu untuk terlibat dalam kelompok, sikap pasif,
pelebaran tanggung jawab, mendompleng pada usaha orang lain (free rider), dan
penurunan kesadaran akan evaluasi dari orang lain. Peneliti menilai bahwa teori
dari Myers (2012) memiliki aspek-aspek yang sesuai dengan yang ingin diukur
oleh peneliti sehingga diharapkan pengukuran yang dilakukan nantinya akan lebih
akurat.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Social Loafing
Munculnya social loafing disebabkan oleh berbagai faktor. Menurut Liden
et al., (2004) faktor-faktor yang mempengaruhi social loafing dikelompokkan
menjadi dua bagian, yaitu :
a. Individual-Level Antecedents of Social Loafing, terdiri dari empat bagian
yaitu:
14
1) Interdependensi tugas (task interdependence)
Shea dan Guzzo (1987, dalam Liden, Wayne, Jaworski, dan Bennett,
2004) menyatakan bahwa interdependensi tugas adalah tingkat interaksi
berbasis tugas di antara anggota kelompok. Secara operasional,
interdependensi tugas dapat didefinisikan sebagai persepsi masing-
masing anggota kelompok mengenai sejauh mana anggota kelompok
perlu berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya saat mengerjakan
tugas.
Bila persepsi interdependensi tugas tinggi, individu percaya bahwa
usaha yang individu keluarkan tidak dapat dibedakan dari usaha yang
dilakukan oleh orang lain dan hal ini membuat individu merasa tidak
adanya pencapaian secara pribadi sehingga memungkinkan individu
untuk mengurangi usaha yang dikeluarkan. Di sisi lain, ketika
interdependensi tugas rendah, individu percaya bahwa usahanya dapat
diisolasi dari usaha yang dilakukan oleh orang lain dan karena adanya
pengakuan tersebut maka individu merasa layak untuk berusaha.
2) Visibilitas tugas (task visibility)
Visibilitas tugas adalah kepercayaan individu bahwa ada orang lain yang
menyadari usaha yang individu tersebut keluarkan (Kidwell dan Bennett
dalam Liden, Wayne, Jaworski, dan Bennett, 2004). Ketika visibilitas
tugas tinggi, individu percaya bahwa usaha yang individu keluarkan
dapat dibedakan dari usaha yang dikeluarkan oleh anggota kelompok
lainnya sehingga memungkinkan individu tersebut untuk tidak terlibat
15
dalam social loafing. Sebaliknya, ketika visibilitas tugas rendah,
individu kurang termotivasi untuk mengeluarkan usahanya. Hal ini
dikarenakan tidak ada perhatian terhadap peningkatan atau penurunan
usaha yang individu keluarkan serta tidak adanya imbalan atau sanksi
yang didapatkan sehingga memungkinkan individu tersebut untuk
terlibat dalam social loafing.
3) Keadilan distributif (distributive justice)
Keadilan dalam pembagian penghargaan/kompensasi telah terbukti
berhubungan negatif dengan social loafing pada karyawan di sejumlah
studi dalam literatur ekonomi. Sedangkan dalam literatur perilaku
organisasi, keadilan distributif atau keyakinan bahwa individu akan
dibayar sesuai nilai mereka telah terbukti memotivasi individu tersebut
untuk berusaha keras. Hal tersebut didukung oleh George (1995) yang
menemukan bahwa social loafing paling rendah terjadi dalam kondisi
pemberian hadiah secara berkelanjutan.
4) Keadilan prosedural (procedural justice)
Thibaut dan Walker (dalam Liden, Wayne, Jaworski, dan Bennett, 2004)
menjelaskan bahwa keadilan prosedural melibatkan persepsi keadilan
dalam prosedur atau kebijakan yang digunakan untuk membuat
keputusan kepegawaian, contohnya seperti menentukan sistem untuk
mendistribusikan penghargaan. Karau dan Williams (1993) berpendapat
bahwa persepsi individu tentang keadilan prosedural dapat
mempengaruhi kinerja terhadap harapan terkait hasil akhir sehingga
16
akan berdampak pada tingkat usaha yang dikeluarkan pada perilaku saat
mengerjakan tugas.
b. Group- Level Antecedents of Social Loafing, terdiri dari tiga bagian yaitu:
1) Ukuran kelompok (work group size)
Ketika kelompok mengalami peningkatan dalam jumlah anggotanya
maka anonimitas individual juga mengalami peningkatan. Peningkatan
anonimitas ini menimbulkan kesulitan dalam menilai kontribusi masing-
masing individu (Jones, 1984). Kehadiran orang lain juga dapat
menimbulkan perasaan bahwa individu tersebut tidak diikutsertakan atau
tidak terhitung di dalam kelompok, sehingga sadar atau tidak sadar
individu mungkin menahan usahanya saat merasa bahwa tindakan itu
tidak akan mempengaruhi hasil akhir kelompok (Karau dan Williams,
1993).
2) Kohesivitas kelompok (group cohesiveness)
Mudrack (dalam Liden, Wayne, Jaworski, dan Bennett, 2004)
mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai sejauh mana anggota
kelompok saling tertarik satu sama lain dan memiliki keinginan untuk
"tetap" bersama. Kohesivitas kelompok telah lama dikenal sebagai salah
satu variabel yang berhubungan erat dengan social loafing. Ketika
anggota kelompok tidak saling menyukai dan tidak merasa memiliki
ikatan yang erat maka memungkinkan individu terlibat dalam social
loafing. Di sisi lain, ketika anggota kelompok mengalami rasa
17
kebersamaan maka meminimalisir anggota kelompok untuk terlibat
dalam social loafing.
3) Penerimaan terhadap kemalasan anggota kelompok (perceived co-
worker loafing)
Penerimaan terhadap kemalasan anggota kelompok mengacu pada
sejauh mana anggota kelompok merasakan bahwa anggota kelompok
lainnya terlibat dalam social loafing. Setiap individu memiliki
kecenderungan untuk mengobservasi perilaku orang lain, dan hal ini
cenderung dapat mempengaruhi perilaku individu itu sendiri. Arah dari
perilaku anggota dalam kelompok dapat dipengaruhi oleh persepsi
anggota kelompok mengenai tindakan dari anggota lain dalam kelompok.
Sejalan dengan pendapat tersebut, sebuah studi yang dilakukan oleh
Schnake (1991) menunjukkan bahwa ketika salah satu anggota percaya
bahwa anggota lain dalam kelompoknya melakukan social loafing, maka
anggota kelompok lainnya cenderung ikut serta melakukan social
loafing, terutama ketika anggota tersebut merasa bahwa tugas kelompok
akan tetap terselesaikan.
Penelitian yang dilakukan Simms dan Nichols (2014) menyebutkan
beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan social loafing, antara
lain :
18
a. Kemudahan Tugas
Ketika sebuah kelompok mendapatkan tugas yang sulit untuk diselesaikan,
maka akan sedikit kemungkinan anggota di dalam kelompok melakukan
social loafing (Harkins dan Petty, 1982).
b. Tidak Adanya Evaluasi
Individu akan cenderung melakukan social loafing apabila kinerjanya di
dalam kelompok tidak dievaluasi, baik itu dari pemberi tugas atau dari rekan
kerjanya (Harkins dan Szymanski, 1989).
c. Ketidakjelasan Tugas
Social loafing dipengaruhi oleh ketidakjelasan tugas. Tugas yang tidak jelas
pembagiannya atau arahnya akan cenderung memberikan kemalasan bagi
individu yang mengerjakannya. Individu tersebut kurang termotivasi dalam
memberikan upaya saat menyelesaikan tugas (George, 1992).
d. Kelekatan Kelompok
Ketidaklekatan antar anggota kelompok atau noncohesiveness group juga
dapat mempengaruhi social loafing (Karau dan Williams, 1997). Hal ini
dapat didefinisikan sebagai sejauh mana anggota kelompok yang satu dengan
yang lainnya tertarik dan memiliki keinginan untuk bersama-sama (Mudrack,
1989).
e. Gender
Gender seseorang merupakan salah satu faktor penyebab social loafing.
Seorang perempuan lebih mungkin untuk tidak melakukan social loafing
19
dibandingkan dengan seorang laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita umumnya
berorientasi pada pemeliharaan koordinasi kelompok (Kugihara, 1999).
f. Tugas yang dirasa harus dikerjakan secara berkelompok
Individu yang mendapatkan tugas secara berkelompok tidak merasakan
hasilnya secara pribadi. Individu ini akan memandang tugas yang dikerjakan
sebagai sebuah tugas yang harus diselesaikan dengan saling bergantung
antara satu dengan yang lain. Hal ini menyebabkan individu tersebut kurang
senang dengan hasil yang harus individu bagi dengan anggota yang lainnya
(Manz dan Angle, 1986).
g. Menumpang Kesuksesan
Individu ingin menumpang pada kesuksesan atau pekerjaan orang lain tanpa
ikut serta dalam pengerjaannya. Hal ini juga terkadang dilakukan karena
keyakinan individu tersebut bahwa orang yang memberikan tugas tidak akan
menyadari pengurangan usaha yang dilakukannya (Kidwell dan Benner,
1993).
h. Faktor Budaya
Social loafing lebih sering terjadi pada budaya individualis daripada
kolektivis. Performa individualis yang bekerja dalam sebuah kelompok lebih
rendah dibandingkan ketika bekerja sendiri. Sebaliknya, individu yang
memiliki budaya kolektivis akan memiliki performa yang lebih baik dalam
kelompok daripada bekerja sendiri. Individu yang memiliki budaya kolektivis
akan menempatkan tujuan kelompok dan pekerjaan kelompok sebagai hal
yang utama. Selain itu, individu yang memiliki budaya kolektivis
20
menmpercayai bahwa kontribusi individu sangat penting bagi keberhasilan
kelompok (Early, 1989).
i. Besarnya Kelompok
Semakin banyak anggota dalam sebuah kelompok, maka social loafing
seorang individu akan semakin meningkat. Hal ini juga semakin membuat
sulit untuk menilai kontribusi masing-masing individu. Kemungkinan
seseorang melakukan social loafing dikarenakan merasa banyak anggota
yang mampu mengerjakan tugas kelompok tersebut (Latane, Williams, dan
Harkins, 1979).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa social loafing dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu : interdependensi tugas, visibilitas tugas, keadilan
distributif, keadilan prosedural, ukuran kelompok, kohesivitas kelompok, dan
penerimaan terhadap kemalasan anggota kelompok. Dalam penelitian ini, peneliti
akan memfokuskan kohesivitas kelompok sebagai variabel bebas karena
kohesivitas kelompok merupakan hal yang signifikan dalam pencapaian kerja
kelompok (Michaelsen, dkk., dalam Goo, 2011).
Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Krisnasari dan Purnomo
(2017) menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara
kohesivitas dengan kemalasan sosial pada mahasiswa. Aulia dan Saloom (2013)
menemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan kohesivitas kelompok
terhadap social loafing. Selain didasarkan oleh penelitian sebelumnya, pemilihan
kohesivitas kelompok sebagai variabel bebas juga didukung oleh hasil wawancara
pada mahasiswa yang mengatakan bahwa alasan mahasiswa cenderung
21
mengurangi usaha ketika mengerjakan tugas kelompok adalah rendahnya
kohesivitas kelompok.
B. Kohesivitas Kelompok
1. Pengertian Kohesivitas Kelompok
Kohesivitas didefinisikan sebagai ketertarikan yang dirasakan oleh individu
terhadap suatu kelompok yang diikuti (Baron dan Byrne, 2005). Menurut Myers
(2012) kohesivitas adalah suatu perasaan, tingkat di mana anggota dari suatu
kelompok terikat satu sama lain. Taylor, Peplau, dan Sears (2009) mendefinisikan
kohesivitas sebagai daya tarik baik positif maupun negatif yang menyebabkan
anggota tetap bertahan dalam kelompok.
Kohesivitas kelompok dapat didefinisikan sebagai proses dinamis yang
tercemin dalam kecenderungan kelompok untuk tetap bersama dan menjaga
kebersamaan dalam mengejar tujuan dasar kelompok dan/atau untuk pemenuhan
kebutuhan afektif anggota kelompok (Carron dan Brawley, 2012). Lebih lanjut,
Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai tingkat
dimana para anggotanya saling tertarik dan termotivasi untuk tinggal dalam
kelompok tersebut. Forsyth (2006) mengatakan bahwa kohesivitas kelompok
merupakan rasa ketertarikan untuk bersatu dengan kelompok dalam jangka waktu
yang lama karena anggota kelompok menikmati interaksi satu sama lain dan di
dalamnya terdapat semangat yang tinggi.
Mudrack (dalam Liden et al., 2004) menjelaskan kohesivitas kelompok
sebagai sejauhmana anggota saling tertarik satu sama lain dan berkeinginan untuk
22
"tetap" bersama. Menurut Mcshane dan Glinow (2003), kohesivitas kelompok
merupakan daya tarik individu terhadap kelompok dan motivasi individu untuk
tetap bersama kelompok dikarenakan hal tersebut menjadi faktor penting dalam
menunjang keberhasilan kelompok. Definisi tersebut senada dengan pendapat
Collins dan Raven (dalam Rakhmat, 2012) yang mendefinisikan kohesivitas
kelompok sebagai kekuatan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap
tinggal dalam kelompok dan mencegahnya meninggalkan kelompok.
Berdasarkan uraian dari beberapa pendapat di atas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa kohesivitas kelompok adalah daya tarik individu pada sebuah
kelompok yang memotivasi individu tersebut untuk bersatu dan menetap dalam
kelompok untuk jangka waktu yang lama serta menangkal pengaruh yang dapat
membuat anggota keluar dari kelompok.
2. Aspek-Aspek Kohesivitas Kelompok
Kohesivitas kelompok memiliki beberapa aspek menurut Carron dan
Brawley (2012), yaitu:
a. Integrasi kelompok dalam tugas (group integration-task), yaitu persepsi
anggota kelompok dari masing-masing individu mengenai kesamaan dan
kedekatan dalam mencapai tugas.
b. Integrasi kelompok secara sosial (group integration-social), yaitu persepsi
yang dapat mencerminkan anggota kelompok mengenai adanya kedekatan dan
ikatan yang dilakukan bersama dalam kegiatan sosial.
23
c. Ketertarikan individu pada kelompok terkait tugas (individual attraction to
group-task), yaitu perasaan anggota kelompok tentang keterlibatan pribadi
dalam penyelesaian tugas kelompok.
d. Ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attraction to
group-social), yaitu perasaan anggota kelompok tentang keterlibatan pribadi
dalam interaksi sosial kelompok.
Forsyth (2006) mengemukakan bahwa kohesivitas kelompok memiliki
empat aspek, yaitu :
a. Kekuatan sosial
Keseluruhan dari dorongan yang dilakukan oleh individu dalam kelompok
untuk tetap berada dalam kelompoknya. Dorongan yang menjadikan anggota
kelompok selalu berhubungan dan kumpulan dari dorongan tersebut membuat
anggota kelompok bersatu.
b. Kesatuan dalam kelompok
Perasaan saling memiliki terhadap kelompoknya dan memiliki perasaan moral
yang saling berhubungan dengan keanggotaanya dalam kelompok. Setiap
individu dalam kelompok merasa kelompok adalah sebuah keluarga, tim dan
komunitasnya sehingga memiliki kebersamaan bersama.
c. Daya tarik
Individu akan lebih tertarik melihat dari segi kelompok kerjanya sendiri
daripada melihat dari anggotanya secara spesifik.
24
d. Kerja sama kelompok
Individu memiliki keinginan yang lebih besar untuk bekerja sama sehingga
dapat mencapai tujuan kelompok bersama.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kohesivitas kelompok
terdiri atas beberapa aspek, yaitu integrasi kelompok dalam tugas, integrasi
kelompok secara sosial, ketertarikan individu pada kelompok terkait tugas, dan
ketertarikan individu pada kelompok secara sosial. Ditambahkan pula aspek
kekuatan sosial, kesatuan dalam kelompok, daya tarik, dan kerja sama kelompok.
Kohesivitas kelompok dalam penelitian ini akan diungkap menggunakan alat ukur
berupa skala yang mengacu pada aspek-aspek dari Carron dan Brawley (2012)
yaitu integrasi kelompok dalam tugas, integrasi kelompok secara sosial,
ketertarikan individu pada kelompok terkait tugas, dan ketertarikan individu pada
kelompok secara sosial. Peneliti menilai bahwa teori dari Carron dan Brawley
(2012) memiliki aspek-aspek yang sesuai dengan yang ingin diukur oleh peneliti
sehingga diharapkan pengukuran yang dilakukan nantinya akan lebih akurat.
C. Hubungan Antara Kohesivitas Kelompok Dengan Social Loafing Pada
Mahasiswa
Kehidupan mahasiswa dengan begitu banyak tugas yang menumpuk baik itu
tugas individu maupun tugas kelompok memiliki dinamika tersendiri. Sebagai
seorang mahasiswa, mengerjakan tugas merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari proses pembelajaran dalam menjalani perkuliahan. Dosen
seringkali memberikan tugas dalam bentuk kelompok. Hal ini disebabkan karena
25
adanya rasa percaya bahwa hasil dari mengerjakan tugas secara berkelompok
lebih baik jika dibandingkan dengan hasil bekerja sendirian (Hall dan Buzwell,
2012).
Namun pada praktiknya, dalam mengerjakan tugas secara berkelompok ada
individu yang sungguh-sungguh memberikan kontribusinya dan ada individu yang
enggan memberikan kontribusinya. Pengurangan kinerja individu saat berkerja
dalam kelompok disebut sebagai social loafing. Social loafing memberikan
dampak negatif dan merugikan terutama dalam pencapaian hasil akhir dari tugas
kelompok itu sendiri. Social loafing yang dilakukan mahasiswa disebabkan oleh
berbagai hal, salah satunya adalah rendahnya kohesivitas kelompok (Liden et al.,
2004).
Kohesivitas kelompok mengacu pada sejauhmana anggota saling tertarik
satu sama lain dan berkeinginan untuk "tetap" bersama (Mudrack, dalam Liden et
al., 2004). Kohesivitas merupakan hal yang penting bagi kelompok karena
kohesivitas dapat menjadi sebuah alat pemersatu anggota kelompok agar dapat
terbentuk sebuah kelompok yang efektif. Semakin kuat kebersamaan dan
ketertarikan antar sesama anggota, maka semakin kohesif pula individu terhadap
kelompok tersebut. Kelompok yang terdiri atas anggota yang memiliki
kohesivitas tinggi maka anggotanya memiliki tanggung jawab, ketertarikan yang
kuat pada kelompok, dan biasanya akan tampil kompak sebagai kelompok (Shin
& Park, dalam Anggraeni dan Alfian, 2015).
Choiriyati, Windarsih, Dewi dan Inketria (2008) juga berpendapat bahwa
kohesivitas di dalam kelompok menciptakan sebuah kekuatan pemersatu yang
26
menghubungkan anggota kelompok secara individual dengan anggota yang lain
dalam satu kelompok secara keseluruhan. Tujuan dari kelompok akan tercapai
jika anggota di dalam kelompok saling menyukai satu dengan lainnya, maka akan
terbentuk suatu kekuatan yang membuat ikatan antara anggota semakin erat.
Kohesivitas yang tinggi di dalam kelompok akan membuat para anggota di
dalam kelompok tidak akan melakukan social loafing yang dapat merugikan
kelompoknya. Maka dari itu, diperlukan kesatuan dari anggota kelompok untuk
membentuk kekuatan yang dapat mempererat hubungan antaranggota sehingga
anggota kelompok tetap bertahan dalam kelompok. Menurut Taylor, Peplau dan
Sears (2009) kohesivitas yang tinggi bermanfaat bagi pelaksanaan fungsi
kelompok karena kohesivitas kelompok sebagai kekuatan yang membuat anggota
tetap bertahan dalam kelompok. Menurut Wulansari, dkk (2013) bahwa fungsi
kelompok akan tercapai secara maksimal pada kelompok yang kohesif karena
eksistensi kelompok kohesif tetap terjaga seiring dengan anggota yang juga eksis
di dalam kelompok.
Carron dan Brawley (2012) menyatakan bahwa tingginya kohesivitas
kelompok ini muncul dalam aspek yaitu yang pertama integrasi kelompok dalam
tugas yang berarti persepsi masing-masing anggota kelompok mengenai
kedekatan dan kesamaan dalam mencapai tugas bersama. Kelompok yang kohesif
terdiri atas anggota kelompok yang memiliki pandangan positif mengenai rasa
kebersamaan terhadap kelompoknya sehingga mendorong anggota untuk
mengambil lebih banyak tanggung jawab individual terhadap hasil kerja
kelompok. Selain itu, anggota tersebut juga rela berkorban untuk kelompok dan
27
dengan senang hati akan menginvestasikan usahanya pada kelompok karena
adanya sense of bonding and belonging pada kelompok yang besar (Anggraeni
dan Alfian, 2015).
Kekuatan ikatan ini membawa masing-masing anggota kepada saling
pengertian dan berusaha untuk memenuhi harapan-harapan kelompok yang dapat
berupa meningkatkan usaha yang individu keluarkan saat mengerjakan tugas
secara berkelompok (Hoigaard, dkk., 2006). Dengan demikian, individu akan
meminimalisir kemalasan sehingga social loafing tidak akan muncul. Sebaliknya,
kelompok yang kurang kohesif terdiri dari anggota kelompok yang kurang
memiliki rasa kebersamaan terhadap kelompoknya sehingga menimbulkan
kekecewaan pada anggota saat mengerjakan tugas kelompok yang berdampak
pada menurunnya atau hilangnya motivasi yang dapat mendorong anggota untuk
mengambil lebih sedikit bagian dari tugas yang seharusnya dikerjakan (Teng dan
Luo dalam Krisnasari dan Purnomo, 2017). Hal ini dapat mendasari terjadinya
social loafing.
Aspek kedua kohesivitas kelompok adalah integrasi kelompok secara sosial,
yaitu persepsi yang dapat mencerminkan anggota kelompok mengenai adanya
kedekatan dan ikatan yang dilakukan bersama dalam kegiatan sosial. Lebih lanjut,
Carless dan De Paola (2000) menggambarkan aspek ini sebagai persepsi masing-
masing individu mengenai kegiatan sosial yang dilakukan bersama anggota lain
agar lebih lekat sehingga memiliki ikatan dalam kelompok. Penelitian yang
dilakukan Hoigaard, dkk., (2006) menemukan bahwa tingginya integrasi
kelompok secara sosial ditunjukkan dengan pandangan setiap anggota kelompok
28
yang melihat kelompok sebagai sarana interaksi yang menumbuhkan kenyamanan
dan lebih dari sekedar tempat untuk mencapai tujuan kelompok sehingga hal ini
mendasari rendahnya perilaku social loafing. Sebaliknya, rendahnya integrasi
kelompok secara sosial terlihat dari anggota kelompok yang enggan untuk
berkumpul dan menghabiskan waktu bersama. Hal ini dikarenakan anggota
kelompok memandang kelompoknya hanya sekedar tempat untuk mencapai
tujuan kelompok sehingga hal ini dapat memicu terjadinya perilaku social loafing
(Aulia dan Saloom, 2013).
Hal lain yang dibutuhkan untuk meningkatkan kohesivitas kelompok adalah
ketertarikan individu pada kelompok terkait tugas. Carless dan De Paola (2000)
berpendapat bahwa ketertarikan individu pada kelompok terkait tugas merupakan
perasaan individu dalam keterlibatannya menyelesaikan tugas kelompok secara
bersama. Anggota kelompok yang memiliki ketertarikan secara individu terhadap
kelompoknya akan lebih giat dalam rangka mencapai tujuan kelompok. Hal ini
menunjukkan bahwa kelompok dengan tingkat kohesif lebih tinggi akan lebih
produktif daripada kelompok yang kurang kohesif (Penner dalam Walgito, 2003).
Penelitian yang dilakukan Aulia dan Saloom (2013) menemukan bahwa
ketertarikan individu pada tugas kelompok berpengaruh secara signifikan terhadap
social loafing, artinya semakin tinggi persepsi anggota kelompok terhadap
dampak keterlibatan dirinya pada tugas kelompok membuat anggota kelompok
tidak mudah untuk melakukan social loafing. Sejalan dengan itu, Hoigaard,
Safvenbom, dan Tonnessen (2006) juga berpendapat bahwa ketertarikan individu
pada tugas kelompok merupakan variabel yang secara signifikan mempengaruhi
29
social loafing. Tingginya persepsi anggota kelompok terhadap dampak
keterlibatan dirinya dalam penyelesaian tugas kelompok dapat meningkatkan
motivasi intrinsik yang membangun kesadaran untuk mengeluarkan usaha
maksimal dalam menyelesaikan tugas kelompok secara bersama-sama sehingga
mengurangi anggapan bahwa anggota kelompok lainnya akan melakukan social
loafing. Sebaliknya, rendahnya persepsi anggota kelompok terhadap dampak
keterlibatan dirinya pada tugas kelompok akan menurunkan atau bahkan
menghilangkan motivasi sehingga individu merasa hanya perlu mengeluarkan
usaha secukupnya dalam menyelesaikan tugas secara bersama-sama. Hal ini dapat
memicu anggota kelompok untuk melakukan social loafing.
Aspek terakhir ialah ketertarikan individu pada kelompok secara sosial,
yaitu perasaan individu tentang keterlibatannya dalam interaksi sosial kelompok
secara bersama-sama (Carron dan Brawley, 2012). Penelitian yang dilakukan
Aulia dan Saloom (2013) menemukan bahwa ketertarikan individu pada
kelompok secara sosial berpengaruh secara signifikan terhadap social loafing,
artinya semakin tinggi persepsi anggota kelompok terhadap keterlibatannya
berinteraksi sosial dalam kelompok berdampak pada tidak mudahnya individu
untuk melakukan social loafing.
Menurut Hoegl dan Proserpio (dalam Harun dan Mahmood, 2012), dampak
kedekatan anggota/interaksi sosial yang terjalin dengan baik menjadi kekuatan
untuk mendapatkan hasil kerja yang lebih baik. Hal ini tidak hanya memberi
dorongan untuk peningkatan kemampuan anggota tetapi juga memahami
karakteristik kelompok. Tingginya persepsi anggota kelompok mengenai dampak
30
keterlibatan dirinya akan memperkuat rasa kebersamaan, meningkatkan tanggung
jawab kolektif, dan membentuk kesadaran serta daya tangkap individu terhadap
lingkungan kelompoknya sehingga anggota dan kelompok tidak akan mudah
terjebak dalam perangkap social loafing. Sebaliknya, rendahnya persepsi anggota
kelompok mengenai dampak keterlibatan dirinya dalam kelompok menimbulkan
respon negatif yang mengurangi rasa kebersamaan dan menurunkan tanggung
jawab kolektif sehingga menyebabkan rendahnya pemahaman individu terhadap
karakteristik kelompok yang membuat anggota dan kelompok dengan mudah
melakukan social loafing (Walgito, 2003).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kohesivitas kelompok dapat
mempengaruhi social loafing. Hal ini berarti semakin tinggi kohesivitas kelompok
maka cenderung semakin rendah terjadinya social loafing pada mahasiswa.
Sebaliknya semakin rendah kohesivitas kelompok maka cenderung semakin tinggi
terjadinya social loafing. Adanya hubungan antara kohesivitas kelompok dengan
social loafing. Mahasiswa harus memiliki persepsi yang positif mengenai
kebersamaan baik dalam penyelesaian tugas maupun dalam interaksi sosialnya
dengan anggota lain dalam kelompok serta memiliki daya tarik antar sesama
anggota kelompok sehingga terjalin rasa suka satu sama lain dan memotivasi
setiap anggota untuk tetap tinggal di dalam kelompok.
31
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah ada hubungan negatif antara kohesivitas kelompok dengan social loafing
pada mahasiswa yang menggambarkan semakin tinggi kohesivitas kelompok
maka cenderung semakin rendah terjadinya social loafing. Sebaliknya, semakin
rendah kohesivitas kelompok maka cenderung semakin tinggi terjadinya social
loafing pada mahasiswa ketika mengerjakan tugas kelompok.