Upload
vonhan
View
221
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
25
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam sebuah penelitian akademik atau ilmiah, tinjuan
pustaka merupakan hal yang sangat penting untuk diuraikan
sebagai dasar dalam membangun hubungan antar variabel dan
juga kerangka pikir yang pada akhirnya akan menjadi sumber
dalam penyusunan hipotesis. Dalam kaitannya dengan hal
tersebut, maka dalam bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori
yang mendasari masing-masing variabel, aspek-aspek dan faktor
pengaruh dari masing-masing variabel. Selain itu dijelaskan juga
tentang hasil-hasil penelitian sebelumnya, model penelitian, serta
hipotesis penelitian.
2.1 COMMUNICATION APPREHENSION
2.1.1 Pengertian Communication Apprehension
Communication Apprehension merupakan kecemasan
yang muncul dalam diri individu dalam kaitannya dengan
kemampuan berkomunikasi.Communication Apprehension yang
biasa dikenal dengan istilah CA dapat terjadi karena kurangnya
pengalaman individu atau keterbatasan informasi yang dimiliki.
Menurut Beatty (1998) dalam Blume (2013), CA merupakan
kombinasi dari dimensi kepribadian yang tertutup dan
neuroticism dalam interaksi sosial yang ditandai dengan adanya
sikap yang menghindari interaksi atau munculnya berbagai
perasaan cemas saat berkomunikasi. Burgoon & Ruffner (1978)
dalam Indi (2009) menyatakan bahwa CA merupakan suatu reaksi
26
negatif yang muncul dalam diri individu yang biasanya berupa
rasa yang dialami individu saat berkomunikasi, baik dalam
komunikasi antar pribadi, komunikasi di depan umum, atau
komunikasi masa. Rogers (2004) juga menyatakan bahwa
kecemasan dan ketakutan berbicara di depan umum ditandai
dengan perasaan gelisah dan tertekan. Selain itu, Daradjat (1969)
menjelaskan bahwa kecemasan merupakan manifestasi dari
berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika
individu mengalami tekanan perasaan dan pertentangan batin.
Spielberger (1972) menambahkan bahwa kecemasan merupakan
reaksi emosional yang disertai dengan perubahan sistem syaraf
otonom dan pengalaman subjektif sebagai tekanan, ketakutan,
dan kegelisahan. Selanjutnya, ada ungkapan yang menyatakan
bahwa CA adalah elemen utama yang berkaitan erat dengan
keterbatasan kemampuan individu dalam berkomunikasi. Secara
tegas, ungkapan tersebut dijelaskan oleh McCroskey (1977, h.75)
sebagai berikut:
---“Communication Apprehension is an individual’s level
of fear or anxiety associated with either real or anticipated
communication with another person or persons”.---
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di
atas, dapat disimpulkan bahwa CA merupakan tingkat kecemasan
dan ketakutan yang dimiliki oleh individu dalam kaitannya
dengan komunikasi antar individu, dalam konteks berbicara di
depan umum atau dalam melakukan presentasi di depan kelas,
terutama dengan menggunakan Bahasa Inggris.
27
2.1.2 Teori Communication Apprehension
Kecemasan komunikasi merupakan suatu gejala yang
mempunyai banyak istilah. Horwits (2001) menyatakan bahwa
kecemasan komunikasi sebagai demam panggung (stage fright),
kecemasan komunikasi (communication anxiety), kecemasan
tampil di depan umum (performance anxiety), kemudian
berkembang dengan istilah Communication Apprehension (CA).
CA didefinisikan sebagai kecemasan atau ketakutan yang diderita
oleh individu secara nyata atau antisipasi komunikasi, baik dalam
suatu kelompok atau individu dengan individu, sehingga
kecemasan komunikasi akan sangat memengaruhi komunikasi
verbal mereka. Kecemasan berbicara didepan umum (CA) terbagi
menjadi beberapa komponen. Menurut Rogers (2004) dalam Indi
(2009), kecemasan berbicara di depan umum terbagi menjadi 3
komponen, yaitu komponen fisik, komponen proses mental, dan
komponen emosional. Komponen fisik biasanya dirasakan jauh
sebelum individu memulai pembicaraan, dan gejala-gejala fisik
yang ditimbulkan oleh tiap-tiap individu berbeda-beda. Dalam
komponen proses mental, individu biasanya mengulang kata atau
kalimat, kehilangan ide secara tiba-tiba sehingga sulit mengingat
fakta secara tepat dan melupakan hal penting. Sedangkan,
komponen emosional adalah munculnya rasa tidak mampu, takut,
dan rasa kehilangan kendali.
Horwitz (2001) juga mengemukakan bahwa kecemasan
komunikasi merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai
dengan adanya suatu pemikiran bahwa dirinya akan dikritik atau
28
dinilai jelek oleh orang lain. Hal ini tampak pada diri seseorang
terutama saat diminta untuk melakukan presentasi dalam bahasa
asing. Seperti yang dikemukan Rakhmat (2007) bahwa orang
yang mengalami kecemasan komunikasi akan sedapat mungkin
menghindari situasi komunikasi, hal ini karena ia takut orang lain
akan mengejeknya atau menyalahkannya.
Selain Horwitz (2001), Berrios (1999) menyatakan bahwa
kecemasan merupakan sesuatu yang berkaitan dengan
ketidakmudahan, ketakutan dan kegugupan yang dirasakan oleh
individu yang memiliki ketakutan untuk gagal dalam
mengerjakan suatu tugas. Selain itu, MacIntyre & Gardner (1991)
menyatakan bahwa kecemasan berbicara merupakan masalah
yang paling rumit dan mengerikan yang sering muncul ketika
individu mencoba berkomunikasi dengan individu-individu
lainnya. Menurut Spielberger (1972), kecemasan berkomunikasi
dibedakan menjadi dua, yaitu state anxiety dan trait anxiety. State
anxiety merupakan kecemasan yang bersifat sementara,
sedangkan trait anxiety lebih mengarahkan pada kestabilan
perbedaan personality dalam kecenderungan untuk merasa
cemas. Dalam hal ini trait anxiety tidak dapat terlihat langsung
pada perilaku individu, tetapi dapat dilihat dari frekuensi state
anxiety yang muncul dalam diri individu.
Sejalan dengan hal tersebut, McCroskey (1977)
menyebutkan bahwa CA merupakan kecemasan dasar yang
sangat berkaitan dengan oral communication. McCroskey juga
menggolongkan CA menjadi 4 tipe atau dimensi, yaitu CA as a
trait, CA in generalized context, CA with generalized people, dan
29
juga CA as a state. Communication Apprehension merupakan
kecemasan yang terdapat atau dapat dilihat dalam kelompok, di
dalam kelas, dalam komunikasi interpersonal, dan juga di
lingkungan publik. McCroskey (1977) juga menyatakan bahwa
tidak dalam semua kondisi individu mengalami kecemasan
karena beberapa individu hanya mengalami kecemasan pada
kondisi tertentu, sebagai contohnya adalah berbicara di depan
umum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori
Communication Apprehension yang dikemukakan McCroskey
tersebut yang sesuai dengan tujuan penelitian penulis.
2.1.3 Aspek-Aspek Communication Apprehension
Kecemasan dalam berkomunikasi atau yang lebih dikenal
sebagai CA merupakan suatu jenis fobia sosial, yang ditandai
dengan adanya suatu pemikiran bahwa dirinya akan dikritik atau
dinilai jelek oleh orang lain. Menurut Horwits (2001) CA
memiliki empat aspek sebagai berikut:
a. Aspek kognitif
Dalam hal ini individu memberikan perhatian
yang berlebihan terhadap diri sendiri dan juga
pandangan atau penilaian orang lain.
b. Aspek motorik
Timbulnya perasaan malu, gelisah dan bingung
jika harus berbicara di depan umum.
30
c. Perubahan fisiologis
Ditandai dengan meningkatnya detak jantung dan
nadi, keringat berlebihan, tangan dan kaki dingin
serta perut yang mulas atau sakit.
d. Perilaku motorik
Ditandai dengan berbicara yang terpatah-patah,
lebih memilih untuk tidak berbicara, gemetaran,
selalu merunduk atau berusaha untuk menghindari
tatap mata dengan lawan bicara.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Semiun (2006),
bahwa ada empat aspek yang memengaruhi kecemasan berbicara
di depan umum yaitu:
a. Aspek suasana hati.
Aspek-aspek suasana hati dalam gangguan kecemasan
adalah kecemasan, tegang, panik dan kekhawatiran,
individu yang mengalami kecemasan memiliki
perasaan akan adanya hukuman atau bencana yang
akan mengancam dari sumber tententu yang tidak
diketahui. Aspek-aspek suasana hati yang lainnya
adalah depresi dan sifat mudah marah.
b. Aspek kognitif.
Aspek-aspek kognitif dalam gangguan kecemasan
menujukan kekhawatiran dan keprihatinan mengenai
bencana yang diantisipasi oleh individu misalnya
seseorang individu yang takut berada ditengah
khalayak ramai.
31
c. Aspek somatik.
Aspek-aspek somatik dari kecemasan dapat dibagi
menjadi dua kelompok yaitu pertama aspek langsung
dan aspek tambah. Aspek-aspek langsung terdiri dari
keringat, mulut kering, bernapas pendek, denyut nadi
cepat, tekanan darah meningkat, kepala terasa
berdenyut-denyut, dan otot terasa tegang. Kedua
apabila kecemasan berkepanjangan aspek-aspek
tambah seperti tekanan darah meningkat secara kronis,
sakit kepala, dan gangguan usus (kesulitan dalam
pencernaan, dan rasa nyeri pada perut) dapat terjadi.
d. Aspek motor.
Orang-orang yang cemas sering merasa tidak tenang,
gugup, kegiatan motorik menjadi tanpa arti dan
tujuan, misalnya jari-jari kaki mengetuk-mengetuk,
dan sangat kaget terhadap suara yang terjadi secara
tiba-tiba. Aspek-aspek motor ini merupakan gambaran
rancangan kognitif dan somatik yang tinggi pada
individu dan merupakan usaha untuk melindungi diri
dari apa saja yang dirasanya mengancam.
Selain Horwitz dan Semiun, McCroskey (1984, p.282-283)
juga membagi Communication Apprehension kedalam 4 aspek.
Berikut adalah 4 aspek CA yang dikemukakan oleh McCroskey:
a. Traitlike CA dilihat sebagai “a relatively enduring,
personality type orientation toward a given made of
communication across a wide variety of context”.
32
Traitlike CA ini berkaitan dengan kesusastraan atau
secara specifik berkaitan dengan CA dalam oral
communication, CA about writing, dan CA about singing
dengan alat ukur WAT dan TOSA untuk masing-masing
kategori.
b. Generalized-Context CA merupakan gambaran
komunikasi dengan konteks yang disamaratakan.
McCroskey (1977) melihat Generalized-context CA
sebagai “relatively enduring, personality type
orientation toward communication in a given type of
context”. Hal ini berarti kecemasan dalam
berkomunikasi muncul karena individu harus berbicara
sesuai dengan konteks yang diberikan. Dalam jenis ini,
terdapat 4 varian CA yaitu CA dalam public speaking,
CA dalam speaking in a meeting/classroom, CA dalam
speaking dikelompok kecil, dan CA dalam interaksi
diadik.
Alat ukur yang digunakan oleh penulis adalah PRCA
(Personal Report of Communication Apprehension)
Scale. Hal ini dikarenakan PRCA lebih menjawab
kebutuhan penulis dalam penelitiannya karena terdapat
banyak aspek yang ditemui, seperti dalam diskusi
kelompok, menyampaikan ide atau gagasan dalam kelas,
dan lain sebagainya.
c. Person-Group CA (CA with generalized people)
menggambarkan reaksi dari individu dalam
berkomunikasi dengan individu atau grup dalam waktu
33
tertentu. McCroskey (1977) memandang hal ini sebagai,
“a relatively enduring orientation toward communication
with a given person or group of people”. Dalam tipe atau
jenis ini, CA muncul karena ketidakfamiliaran dengan
orang yang diajak berkomunikasi atau berinteraksi.
d. Situational CA / CA as a State menggambarkan reaksi
yang akan ditimbulkan atau dimunculkan oleh individu
dalam berkomunikasi dengan individu atau kelompok
tertentu dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
McCroskey (1977) memandang CA tipe ini sebagai,
“transitory orientation toward communication with a
given person or group of people”. Ini berarti komunikasi
tidak terjadi dalam situasi seperti kehidupan sehari-hari,
tetapi lebih dalam situasi yang khusus.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh beberapa
peneliti diatas, penulis menggunakan aspek CA yang
dikemukakan oleh McCroskey (1984). Hal ini dikarenakan aspek-
aspek CA yang dikemukakan oleh McCroskey tersebut, sesuai
dengan kebutuhan penulis. Selain itu, aspek-aspek yang
dikemukakan oleh McCroskey (1984) jauh lebih mudah untuk
dijumpai di dalam kehidupan nyata seperti halnya di kelas Public
Speaking.
34
2.1.4 Faktor – faktor yang memengaruhi Communication
Apprehension
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi CA, antara
lain faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal CA dapat
dilihat dari faktor-faktor yang dinyatakan oleh Miller (2002).
Miller (2002) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi CA adalah sebagai berikut:
a. Lack of preparation
Dalam hal ini, tingkat kecemasan yang muncul dalam diri
individu dipengaruhi oleh kesiapan individu dalam
mempersiapkan ataupun melakukan presentasi. Semakin
sering individu mempersiapkan diri, maka tingkat CA
yang dimilikinya menurun.
b. Lack of speaking skills
Kemampuan berbicara merupakan modal utama yang
harus dimiliki individu dalam berkomunikasi dan
berinteraksi. Salah satu contohnya adalah presentasi.
Apabila individu tidak memiliki skill dalam
berkomunikasi
c. Negative reinforcement from previous communication
efforts
Pengalaman individu yang gagal menjalankan suatu tugas
sebelumnya akan menentukan sikap individu dalam
melakukan tugas berikutnya.
35
d. Poor role models from which communication was learned
Tidak adanya individu yang berkompeten untuk dijadikan
contoh atau untuk ditiru, membuat individu dapat dengan
mudah mengalami kecemasan dalam berkomunikasi.
Sedangkan faktor internal CA, terdapat dalam faktor yang
dikemukakan oleh McCroskey (1977). McCroskey (1977)
menunjukkan bahwa terdapat dua faktor psikologi dalam CA
yaitu emosi dan motivasi.
Mengacu pada faktor-faktor CA yang dikemukakan oleh
McCroskey, Thaher (2005) melakukan penelitian tentang CA dan
menggolongkan faktor-faktor CA tersebut menjadi 3 kategori atau
golongan sebagai berikut:
a. Psychological factors
Yang termasuk di dalam psychological factors adalah
emotion, self efficay, attitude, fear, dan motivation
b. Instructional factors
Yang termasuk di dalam instructional factors adalah
goals, teacher, method, text, time, intensity, dan means of
evaluation.
c. Sosiocultural factors
Sedangkan yang termasuk di dalam sosiocultural factors
adalah acculturation, sosial distance, second versus
foreign language learning dan culturally accepted
thought.
Selanjutnya, Khajavy & Khodadady (2013)
menambahkan bahwa faktor afeksi merupakan bagian dari emosi.
36
Salah satu faktor afeksi yang berperan penting dalam CA adalah
Self Efficacy. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Self
Efficacy merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan
kecemasan berpresentasi di depan banyak orang atau yang biasa
disebut dengan CA. Hal tersebut dipertegas oleh Bandura (1997)
yang menyatakan bahwa ketika individu menghadapi tugas yang
menekan, dalam hal ini berbicara di depan umum, keyakinan
individu terhadap kemampuan mereka (Self-Efficacy) akan
memengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang
menekan.
Disisi lain, untuk dapat melakukan presentasi secara
maksimal, individu perlu menyeimbangkan aspek afektif dan
kognitif yang ada dalam dirinya. Seperti yang disampaikan oleh
Tsagarakis (1992), yang menyatakan bahwa Self Efficacy
merupakan bagian dari variabel kognitif, sehingga Self Efficacy
memiliki kaitan dengan Communication Apprehension. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa individu dengan Self Efficacy
tinggi akan memiliki tingkat CA yang rendah, demikian juga
sebaliknya.
Sesuai dengan faktor-faktor yang telah diuraikan, penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan landasan faktor-
faktor eksternal internal yang memengaruhi CA. Dengan
demikian, sesuai dengan faktor-faktor yang telah diuraikan, maka
penulis menggunakan faktor-faktor yang dikemukakan oleh
McCroskey (1977) dan Thaher (2005).
Pada akhirnya, Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi
dipilih sebagai variabel dalam penelitian ini. Motivasi yang
37
digunakan dalam penelitian ini adalah Motivasi Berprestasi
karena yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah
mahasiswa yang mengambil matakuliah Speaking. Didalam
matakuliah Speaking, berhasil atau tidaknya mahasiswa di dalam
matakuliah tersebut dapat dilihat dari performansi mereka. Itulah
sebabnya, motivasi yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah Motivasi Berprestasi. Demikian pula dengan Self Efficacy,
karena yang menjadi subyek penelitian ini adalah mahasiswa
FBS, yang mana Bahasa Inggris merupakan bahasa asing bagi
mereka maka penulis menggunakan istilah Foreign Language
Learner (FLL) Self Efficacy.
2.2 Foreign Language Learner (FLL) Self Efficacy
2.2.1 Pengertian
Menurut Schultz (1994), Self Efficacy adalah perasaan
individu terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan individu
dalam mengatasi kehidupan. Selanjutnya, Lahey (2004)
mendefinisikan Self Efficacy sebagai persepsi bahwa seseorang
mampu melakukan sesuatu yang penting untuk mencapai
tujuannya. Hal ini mencakup perasaan mengetahui apa yang
harus dilakukan dan juga secara emosional mampu untuk
melakukannya. Woolfolk (2004) menambahkan bahwa Self
Efficacy adalah penilaian spesifik yang berkaitan dengan
kompetensi untuk mengerjakan sebuah tugas yang spesifik,
sedangkan Bandura (1997) menyatakan bahwa Self Efficacy
adalah keyakinan individu terhadap kemampuan akan
memengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi dan
38
kondisi tertentu. Sedangkan FLL Self Efficacy merupakan bagian
dari Academic Self Efficacy, yang mana Academic Self Efficacy
merupakan penilaian pribadi mengenai kemampuan yang dimiliki
individu untuk mengolah dan melaksanakan suatu tindakan dalam
serangkaian pelajaran atau mata pelajaran untuk mencapai
berbagai macam performance dalam pendidikan sebagaimana
yang diungkapkan oleh Zimmerman (1991) dalam Akomolafe
(2013). Selain itu yang menjadi subjek penelitian ini adalah
mahasiswa, yang apabila dilihat dari segi pembelajaran Bahasa
Inggris, mereka merupakan Foreign Language Learners.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
Self Efficacy adalah kemampuan dan keyakinan individu dalam
mencapai keberhasilan dalam segala bidang, termasuk dalam
dunia akademik. Demikian pula dengan FLL Self Efficacy, dari
berbagai uraian yang telah disajikan, dapat disimpulkan bahwa
FLL Self Efficacy adalah kemampuan dan keyakinan individu
untuk berhasil dalam melakukan presentasi dengan demikian
akan mendapatkan nilai yang bagus di dalam kelas Speaking.
2.2.2 Dimensi Self Efficacy
Corsini (1994) menyatakan bahwa Self-Efficacy terdiri dari
empat dimensi sebagai berikut:
a. Kognitif, merupakan kemampuan seseorang dalam
memikirkan cara-cara yang digunakan dan merancang
tindakan yang akan diambil untuk mencapai tujuan
yang diharapkan.
39
b. Motivasi, merupakan kemampuan seseorang untuk
memotivasi diri melalui pikirannya dalam melakukan
suatu tindakan dan keputusan untuk mencapai tujuan
yang diharapkan.
c. Afeksi, merupakan kemampuan dalam mengatasi
emosi yang mungkin timbul pada diri individu dalam
mencapai tujuan yang diharapkan.
d. Seleksi, merupakan kemampuan seseorang untuk
menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat
sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Sedangkan menurut Bandura (1997), Self-Efficacy individu
dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu:
a. Tingkat (level)
Self-efficacy individu dalam mengerjakan suatu tugas
berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki
Self-Efficacy yang tinggi pada tugas yang mudah dan
sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan
membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang
memiliki Self-Efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas
yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.
b. Keluasan (generality)
Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu
terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu dapat
menyatakan dirinya memiliki Self-Efficacy pada aktivitas
yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja.
Individu dengan Self-Efficacy yang tinggi akan mampu
menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan
40
suatu tugas. Individu yang memiliki Self Efficacy yang
rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan
dalam menyelesaikan suatu tugas.
c. Kekuatan (strength)
Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat
kekuatan atau kemantapan individu terhadap keyakinannya.
Self Efficacy menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan
individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang
diharapkan individu. Self Efficacy menjadi dasar dirinya
melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui
hambatan sekalipun.
Berdasarkan dimensi-dimensi Self Efficacy yang
dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut, penulis memilih untuk
menggunakan dimensi Self Efficacy yang dikemukakan oleh
Bandura (1997), karena lebih sesuai dengan kebutuhan penulis.
Selain itu, salah satu dimensi Self Efficacy yang dikemukakan
oleh Corsini adalah motivasi, yang mana motivasi merupakan
variabel bebas didalam penelitian yang dilakukan penulis.
2.2.3 Peran Self Efficacy
Menurut Bandura (1997), Self Efficacy atau efikasi diri
akan memengaruhi bagaimana individu merasakan, berpikir,
memotivasi diri sendiri, dan bertingkah laku. Berikut ini
merupakan peran efikasi diri bagi tiap-tiap individu:
a. Tindakan individu
Efikasi diri menentukan kesiapan individu dalam
merencanakan apa yang harus dilakukanya.
41
b. Usaha
Efikasi diri mencerminkan seberapa besar upaya yang
dikeluarkan individu untuk mencapai tujuanya.
c. Daya tahan individu dalam menghadapi rintangan atau
kegagalan
Individu dengan efikasi diri tinggi mempunyai daya tahan
yang kuat dalam menghadapi rintangan atau kegagalan serta
dengan mudah dapat mengembalikan rasa percaya diri
setelah mengalami kegagalan.
d. Ketahanan individu dalam keadaan tidak nyaman
Individu dengan efikasi diri menganggap keaadaan tidak
nyaman sebagai suatu tantangan, dan bukan sebagai sesuatu
yang harus dihindari.
e. Pola pikir
Pola pikir individu dengan efikasi diri tinggi tidak akan
mudah terpengaruh dengan situasi lingkungan.
f. Stress dan Depresi
Individu dengan efikasi diri tinggi tidak akan mudah
mengalami stress atau depresi.
g. Tingkat pencapaian yang akan terealisasi
Individu dengan efikasi diri tinggi dapat membuat tujuan
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
2.3 Motivasi Berprestasi
2.3.1 Pengertian
Beberapa ahli melihat istilah motivasi dari berbagai sudut
pandang, namun mereka memiliki konsep yang sama yaitu bahwa
42
motivasi berkaitan dengan tujuan. Motivasi berasal dari kata
“motif” yang dalam Bahasa Inggris adalah motive. Motive berasal
dari kata motion yang mempunyai arti gerak atau sesuatu yang
bergerak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi
merupakan suatu dorongan atau penggerak untuk menjadi aktif.
Perspektif yang pertama adalah dari Schunk, Pintrich, and Meece
(2010) yang melihat bahwa motivasi berkaitan erat dengan
keinginan dan tujuan seseorang. Mereka menyatakan bahwa
keinginan dan tujuan mengarahkan dan memotivasi seseorang
untuk mencapai hasil yang maksimal. Asnawi (2002)
menambahkan bahwa motivasi adalah kondisi yang berpengaruh
dalam membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku
tiap-tiap individu terhadap suatu aktivitas.
Menurut Putra (2010) motivasi merupakan satu penggerak
dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai
sesuatu tujuan dengan kata lain sebagai rencana atau keinginan
untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan hidup.
Motivasi juga bisa dikatakan sebagai sebuah proses untuk
tercapainya suatu tujuan. Seseorang yang mempunyai motivasi
berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh
kesuksesan dalam kehidupan. Motivasi dapat berupa motivasi
intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi yang bersifat intinsik adalah
dorongan yang berasal dari dalam diri pribadi tersebut, sehingga
orang yang mempunyai jenis motivasi ini melakukan sesuatu
untuk kepuasan mereka sendiri tanpa ada rangsangan atau faktor
lain seperti status ataupun imbalan Sedangkan motivasi ekstrinsik
adalah hal – hal yang berasal dari luar diri individu yang
43
mendorong tiap individu untuk lebih termotivasi dalam
melakukan suatu kegiatan atau aktivitas seperti hadiah atau
peringatan. Dari berbagai pengertian yang telah diuraikan dapat
disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu tenaga atau daya
yang berasal dari dalam diri individu, dan yang mendorong
munculnya suatu tindakan dalam mencapai sebuah tujuan.
Banyak teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli
yang dimaksudkan untuk memberikan uraian yang menuju pada
apa sebenarnya manusia dan manusia akan dapat menjadi seperti
apa, termasuk motivasi berprestasi. Motivasi Berprestasi
merupakan teori yang dikembangkan oleh David McClelland
(1985). Teori ini didasarkan pada teori kebutuhan Maslow,
namun ia memiliki konsep tersendiri yang dirangkumnya menjadi
tiga kebutuhan dan salah satunya adalah kebutuhan untuk
berprestasi, yaitu need for achievement (nAch). McClelland
(1985) berpendapat bahwa Motivasi Berprestasi adalah
kecenderungan individu berupaya untuk mengarahkan tingkah
laku dalam pencapaian prestasi. Robert (2009) menyatakan
bahwa
“---need for Achievement (N-Ach) refers to an
individual’s desire for significant accomplishment, mastering of
skills, control, or high standards.”---
Lebih lanjut, Robert (2009) menyatakan bahwa need for
achievement is the desire to accomplish difficult tasks and to
meet standards of excellence. Sedangkan menurut Handoko
(2003), Motivasi Berprestasi adalah dorongan yang muncul dari
44
dalam diri individu untuk berupaya guna mencapai prestasi kerja
yang tinggi.
McClelland (1985) dalam penelitiannya menunjukkan
bahwa kebutuhan yang kuat untuk berprestasi, dorongan untuk
berhasil atau unggul berkaitan dengan sejauh mana individu
termotivasi untuk melakukan tugasnya. Individu dengan
kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi suka bertanggung jawab
untuk memecahkan masalah, mereka cenderung untuk
menetapkan sasaran yang cukup sulit untuk mereka sendiri dan
mengambil resiko yang sudah diperhitungkan untuk mencapai
sasaran ini dan mereka sangat menghargai umpan balik tentang
seberapa baik mereka bekerja. Dengan demikian mereka yang
mempunyai kebutuhan berprestasi (nAch) yang tinggi cenderung
termotivasi dengan situasi kerja yang penuh tantangan dan
persaingan sedangkan individu dengan kebutuhan berprestasi
rendah cenderung berprestasi jelek dalam situasi kerja yang sama
(Stoner dkk, 1996).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
Motivasi Berprestasi adalah kebutuhan yang mendorong individu
melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan yaitu
menghasilkan prestasi yang lebih baik sesuai dengan standar
keunggulan. Motivasi Berprestasi ini didasarkan atas
kecenderungan untuk meraih sukses dan kecenderungan untuk
menghindari kegagalan. Untuk mencapai prestasi yang lebih baik,
individu barusaha untuk mengatur lingkungan serta mengatasi
berbagai rintangan yang ada agar dapat menyelesaikan tugas
dengan baik. Selanjutnya, berusaha untuk lebih baik dari pada
45
prestasi yang berhasil diraih sebelumnya dan mengungguli
prestasi orang lain.
Motivasi Berprestasi (achievement motivation) merupakan
teori yang dikenalkan oleh David McClelland (1985). Dasar
teorinya tetap berakar pada teori kebutuhan Maslow, namun
McClelland mencoba mengkristalisasikannya menjadi tiga
kebutuhan. Tiga kebutuhan yang dipelajari adalah (Ivancevich
dkk, 2006):
a. Kebutuhan akan pencapaian (need for achievement, n
Ach),
b. Kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation, n Aff), dan
c. Kebutuhan akan kekuasaan (need for power, n Pow).
Dalam membangun teorinya, McClelland (1985)
mengajukan teori kebutuhan motivasi yang dipelajari erat
hubunganya dengan konsep belajar. Menurutnya, banyak
kebutuhan yang didapatkan dari kebudayaan suatu masyarakat.
Untuk melihat Motivasi Berprestasi, digunakan metode
pengetesan dengan tes TAT (Thematic Apperception Test). Tes
ini merupakan tes proyektif yang menggunakan analisa terhadap
seseorang dari gambar-gambar untuk mengetahui perbedaan
individual. Zarkasyi (2006) menyatakan bahwa dari penelitian
yang dilakukan, kemudian dihasilkan profil individu yang
memiliki kebutuhan berprestasi (nAch):
a. Individu dengan nAch tinggi memilih untuk menghindari
tujuan prestasi yang mudah dan sulit. Mereka sebenarnya
46
memilih tujuan yang moderat yang mereka pikir akan
mampu mereka raih.
b. Individu dengan nAch tinggi memilih umpan balik
lansung dan dapat diandalkan mengenai bagaimana
mereka berprestasi.
c. Individu dengan nAch tinggi menyukai tanggung jawab
pemecahan masalah.
McClelland (1985) menyatakan bahwa ketika muncul
suatu kebutuhan yang kuat di dalam diri individu, kebutuhan
tersebut memotivasi diri untuk menggunakan perilaku yang dapat
mendatangkan kepuasan. Penelitian McClelland (1985)
menunjukkan bahwa motif yang kuat untuk berprestasi,
keinginan untuk berhasil atau unggul dalam situasi persaingan,
berhubungan dengan sejauh mana individu dimotivasi untuk
menjalankan tugas-tugasnya. Dengan kata lain, Motivasi
Berprestasi adalah usaha untuk mencapai sukses dan bertujuan
untuk berhasil dalam kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan.
Dengan demikian, disimpulkan bahwa Motivasi
Berprestasi merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh
McClelland (1985) dengan mengemukakan tiga kebutuhan
manusia yakni kebutuhan akan pencapaian, afiliasi, dan
kekuasaan. Demikian juga dalam kaitanya dalam presentasi yang
dilakukan didalam kelas Speaking. Individu yang memiliki
kebutuhan berprestasi tinggi akan berupaya semaksimal mungkin
untuk melakukan pencapaian prestasi yang maksimal.
47
2.3.2 Ciri-ciri Motivasi Berprestasi
Dalam kaitannya dengan belajar, motivasi sangat erat
hubungannya dengan kebutuhan aktualisasi diri sehingga
motivasi paling besar pengaruhnya pada kegiatan belajar siswa
yang bertujuan untuk mencapai prestasi tinggi. Apabila tidak ada
Motivasi Berprestasi dalam diri siswa, maka akan menimbulkan
rasa malas dalam mengikuti proses belajar mengajar maupun
mengerjakan tugas-tugas individu dari guru. Individu dengan
Motivasi Berprestasi tinggi dalam belajar akan memunculkan
minat yang besar dalam mengerjakan tugas, membangun sikap
dan kebiasaan belajar yang sehat melalui penyusunan jadual
belajar dan melaksanakannya dengan tekun.
Menurut McClelland (1985) ciri-ciri individu yang memiliki
Motivasi Berprestasi tinggi yaitu:
a. Pengambilan resiko sedang. Individu memilih pencapaian
prestasi dengan resiko sedang sehingga dalam
pengambilan tugas individu memiliki keyakinan dapat
meraih sukses dan menghindari kegagalan, serta sukses
dicapai dengan cara yang inovatif.
b. Menginginkan umpan balik. Individu menyukai aktivitas
yang dapat memberikan umpan balik berharga dan cepat
mengenai kemajuan dalam mencapai tujuan. Dengan
demikian, individu perlu memanfaatkan waktu secara
efektif, baik dalam belajar maupun dalam mengerjakan
tugas-tugas.
c. Puas dengan prestasi. Individu yang tingkat prestasinya
tinggi menganggap bahwa menyelesaikan tugas
48
merupakan hal yang menyenangkan secara pribadi,
mereka tidak mengharapkan penghargaan material, namun
memiliki pemikiran yang berorientasi pada pengharapan
akan penghargaan di masa depan.
d. Totalitas terhadap tugas. Individu yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi cenderung total dan gigih dengan
mengerjakan tugas, hingga dapat menyelesaikannya
dengan sukses.
Menurut Ivancevich, dkk (2006), ciri-ciri individu yang
memiliki Motivasi Berprestasi tinggi adalah:
a. Suka menerima tanggung jawab untuk memecahkan
masalah.
b. Cenderung menetapkan pencapaian yang moderat dan
cenderung mengambil resiko yang telah diperhitungkan.
c. Menginginkan umpan balik atas kinerja.
Sedangkan menurut Martaniah dalam Noya (2011), individu
dengan Motivasi Berprestasi tinggi memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Mempunyai aspirasi yang tingkatnya sedang, karena
menurut beberapa penelitian individu yang mempunyai
motif berprestasi tinggi memiliki resiko yang sedang
sedangkan individu yang memiliki motif berprestasi
rendah memilih tugas-tugas yang terlalu sukar dan terlalu
mudah.
b. Perspektif waktunya berorientasi ke depan. Hal ini
didasarkan pada penemuan bahwa individu yang
mempunyai motif berprestasi tinggi mempunyai sifat
49
dinamis yang lebih tinggi dari pada individu yang
mempunyai motif berprestasi rendah. Hal ini menjadikan
individu tersebut berorientasi ke depan.
c. Adanya suatu dorongan untuk menyelesaikan tugas yang
belum selesai.
d. Cenderung bertindak secara inovatif dan kreatif.
e. Menyukai hal-hal baru yang penuh tantangan.
Ciri yang dikemukakan di atas merupakan hal yang sangat
penting untuk dimiliki oleh setiap individu yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi. Hal ini disebabkan karena tanpa
memiliki ciri tersebut maka individu tidak dapat dikatakan
memiliki Motivasi Berprestasi yang tinggi. Oleh sebab itu ciri
yang dikemukakan di atas dapat menunjukkan bahwa individu
yang memiliki Motivasi Berprestasi yang tinggi cenderung
memiliki tingkat prestasi belajar yang tinggi jika dibandingkan
dengan individu yang memiliki Motivasi Berprestasi yang
rendah.
Berdasarkan berbagai uraian tersebut, penulis
menggunakan ciri-ciri Motivasi Berprestasi yang dikemukakan
oleh McClelland (1985), dikarenakan ciri-ciri tersebut lebih
sesuai dengan kebutuhan penulis.
2.3.3. Peran Motivasi Berprestasi
Motivasi Berprestasi merupakan salah satu faktor
psikologis dalam belajar yang memiliki peran penting sebagai
penggerak atau pendorong jiwa individu untuk melakukan
kegiatan belajar.Meskipun demikian, Motivasi Berprestasi dapat
50
berubah ataupun hilang seketika dan muncul dengan tiba-tiba.
Hal ini terjadi karena adanya fungsi atau peran yang dimiliki.
Menurut Dimyati, dkk (2002) peranan Motivasi Berprestasi
adalah sebagai berikut:
a) Cita-cita atau aspirasi mahasiswa. Cita-cita akan
memperkuat motivasi baik intrinsik maupun ekstrinsik.
Sebab tercapainya suatu cita-cita akan mewujudkan
aktualisasi diri.
b) Kemampuan mahasiswa. Kemampuan akan memperkuat
motivasi mahasiswa untuk melaksanakan tugas-tugas
perkembangan. Keinginan seorang mahasiswa perlu
diikuti dengan perkembangan atau kecakapan dalam
mencapainya.
c) Kondisi mahasiswa. Kondisi mahasiswa yang meliputi
kondisi jasmani dan rohani mempengaruhi motivasi.
Seorang mahasiswa yang sedang sakit, lapar atau marah-
marah akan mengganggu perhatian belajar, dan
sebaliknya.
d) Kondisi Lingkungan. Lingkungan mahasiswa dapat
berupa keadaan alam, lingkungan tempat tinggal,
pergaulan sebaya dan kehidupan kemasyarakatan. Oleh
karena itu kondisi lingkungan sekolah yang sehat,
kerukunan hidup, serta ketertiban pergaulan perlu
dipertinggi mutunya. Dengan lingkungan yang aman,
tenteram, tertib dan indah, maka motivasi berprestasi
mudah diperkuat.
51
e) Unsur-unsur dinamis dalam belajar dan pembelajaran.
Setiap mahasiswa memiliki perasaan, perhatian, kemauan,
ingatan dan pikiran yang mengalami perubahan berkat
pengalaman hidupnya. Dengan demikian maka unsur-
unsur yang bersifat labil tersebut sangat mudah untuk
dipengaruhi.
f) Upaya pengajar dalam mengajar. Pengajar adalah
pendidik profesional yang selalu bergaul dengan
mahasiswa. Intensitas pergaulan dan bimbingan pengajar
tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
jiwa mahasiswa. Sehingga sebagai seorang yang
profesional, pengajar harus mampu membelajarkan
mahasiswa secara bijaksana.
Berdasarkan uraian di atas, Motivasi Berprestasi tidak
selamanya stabil. Hal ini disebabkan banyaknya faktor-faktor
yang memengaruhi Motivasi Berprestasi tersebut seperti
kemampuan mahasiswa, kondisi mahasiswa, lingkungan
mahasiswa dan lain-lain.
2.4 Hasil Penelitian Sebelumnya
Communication Apprehension mahasiswa di kelas Public
Speaking dapat menjadi suatu penentu mengenai tinggi rendahnya
nilai yang akan diperoleh. Semakin tinggi tingkat CA yang dimiliki
mahasiswa, pada umumnya akan semakin rendah nilai yang
diperoleh. Namun, semakin rendah tingkat CA yang dimiliki maka
semakin tinggi nilai yang akan mereka peroleh. Dengan demikian,
untuk menurunkan CA mahasiswa di kelas Public Speaking, maka
52
perlu ditelusuri faktor-faktor apa saja yang memiliki hubungan
dengan dengan penurunan tingkat CA mahasiswa. Oleh sebab itu,
berbagai penelitian sebelumnya telah menemukan hasil analisa
bahwa, FLL Self Efficacy, Motivasi Berprestasi, dan karakteristik
personal (jenis kelamin) menjadi faktor yang memiliki keterkaitan
dengan Communication Apprehension.
a. Hubungan FLL Self Efficacy dengan Communication
Apprehension
Untuk dapat menurunkan tingkat Communication
Apprehension, maka mahasiswa perlu berupaya untuk memiliki
FLL Self Efficacy yang tinggi dalam mengikuti matakuliah Public
Speaking. Artinya, FLL Self Efficacy merupakan salah satu faktor
penting yang memiliki keterkaitan terhadap penurunan tingkat
CA.
Ada berbagai temuan penelitian yang telah dilakukan oleh
para ahli dalam kaitan dengan hubungan antara Self Efficacy dan
Communication Apprehension diantaranya; penelitian Indi (2009)
mengenai hubungan antara Self Efficacy dengan CA pada 184
mahasiswa Fakultas Psikologi USU. Indi menggunakan Skala
Self Efficacy dan Skala Kecemasan berbicara di depan umum
yang disusun dalam bentuk Skala Likert berdasarkan aspek-aspek
Self Efficacy dan komponen kecemasan berbicara di depan
umum. Analisis dalam penelitian tersebut menggunakan korelasi
Pearson Product Moment dengan hasil terdapat hubungan negatif
signifikan antara Self Efficacy dengan kecemasan berbicara di
depan umum (r = -.670 dengan p=0,01). Dengan kata lain,
53
semakin tinggi Self Efficacy yang dimiliki mahasiswa, maka
semakin rendah tingkat kecemasan berbicara di depan umum dan
begitu juga sebaliknya.
Penelitian yang dilakukan oleh Indi sejalan dengan
penelian yang dilakukan oleh Putra (2010), yang meneliti
mengenai hubungan Self Efficacy dan konsep diri dengan CA.
Subyek dalam penelitian ini adalah 58 mahasiswa yang berumur
18-22 tahun. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan
negatif antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di muka
umum (rx1y = 0,520, p < 0,001) dan sumbangan efektif sebesar
27,0%. Penelitian Indi (2009) dan Putra (2013) juga didukung
dengan penelitian yang dilakukan oleh Respati dkk., (2008),
dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0.518 dengan signifikansi
nilai (p) = 0,000. Yusuf (2011) dan Azar (2013) yang juga
meneliti mengenai hubungan Self Efficacy dengan CA dengan
hasil yang negatif signifikan.
Sebaliknya, ada hasil penelitian yang ditemukan berbeda
oleh para peneliti sebelumnya. Cubukcu (2008) juga melakukan
penelitian yang sama terhadap 100 mahasiswa disalah satu
universitas di Turki. Namun hasil dari penelitian yang dilakukan
oleh Cubukcu (2008) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara Self Efficacy terhadap CA yang ditunjukkan dengan nilai
koefisien korelasi sebesar 0.003, dengan kata lain memiliki
koefisien korelasi antar variabel yang termasuk dalam kategori
sangat rendah. Dengan kata lain, tinggi rendahnya Self Efficacy
yang dimiliki oleh individu tidak ada kaitanya dengan CA yang
dimiliki oleh tiap – tiap individu.
54
b. Motivasi Berprestasi dan Communication Apprehension
Selain Self Efficacy, penelitian mengenai motivasi dengan
CA juga telah dilakukan oleh beberapa penulis. Putra (2010)
menemukan bahwa ada hubungan signifikan antara motivasi
dengan performance mahasiswa di STIE AMA Salatiga yang
ditunjukkan dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0.05). Budiawan
(2008) juga menemukan hubungan yang signifikan antara
Motivasi Belajar Bahasa Inggris dengan Prestasi dalam
mempelajari Bahasa Inggris. Penelitian serupa juga dilakukan
oleh Yusuf (2011) dan Azar (2013) yang meneliti mengenai Self
Efficacy, Motivasi Berprestasi dan prokrastinasi dalam kaitanya
dengan achievement dan juga performance dengan nilai
signifikan 0,04 (p< 0,05). Temuan peneliti sebelumnya tersebut
menunjukkan bahwa Motivasi cenderung memiliki hubungan
yang positif dan signifikan dengan performance.
Namun, hasil dari penelitian-penelitian di atas berbeda
dengan penelian yang dilakukan oleh Baharudin (2013) terhadap
siswa kelas XI di Pejagoan Kebumen. Baharudin (2013)
menemukan bahwa motivasi tidak memiliki hubungan yang
positif dan signifikan dengan performance mahasiswa dalam
menggunakan Bahasa Inggris dengan koefisien determinasi (R
Square) sebesar 0,019, yang menggambarkan bahwa sumbangan
motivasi terhadap performance sangat kecil yaitu 1,9 % atau
hampir tidak memberikan pengaruh. Ray (1990) menganalisa
mengenai hubungan Motivasi Berprestasi dengan (CA) dari
berbagai macam sudut pandang budaya. Hasil analisis dan
penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
55
Motivasi Berprestasi dengan kecemasan berbahasa asing (CA).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan Motivasi
Berprestasi dengan Communication Apprehension masih dalam
perdebatan. Oleh sebab itu penulis ingin menguji kembali
hubungan Motivasi Berprestasi dengan Communication
Apprehension.
c. Self Efficacy, Motivasi Berprestasi, dan Communication
Apprehension
Penelitian mengenai Self Efficacy, Motivasi Berprestasi,
dan Communication Apprehension sudah pernah dilakukan oleh
Mettasari (2013). Mettasari (2013) melakukan penelitian terhadap
130 mahasiswa semester 1 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di
Universitas Pendidikan Ganesha. Penelitiannya menemukan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Self Efficacy dan
Communication Apprehension, dan juga terdapat hubungan yang
signifikan antara Motivasi Berprestasi dengan Communication
Apprehension. Selain itu, Yusuf (2011) dan Azar (2013) juga
meneliti mengenai Self Efficacy, Motivasi Berprestasi dan
prokrastinasi dalam kaitannya dengan achievement dan juga
performance dengan hasil temuan bahwa Self Efficacy dan
Motivasi Berprestasi memiliki hubungan yang positif dengan
Communication Apprehension.
Atas dasar inilah, penulis menuliskan hipotesa: ada
korelasi antara FLL Self Efficacy dan Motivasi Berprestasi
dengan Communication Apprehension.
56
d. Interaksi Self Efficacy dan Jenis Kelamin terhadap
Communication Apprehension
Dalam kaitan dengan pengaruh interaksi Self Efficacy dan
jenis kelamin terhadap Communication Apprehension, beberapa
peneliti menemukan hasil yang berbeda. Penelitian Azar (2013)
menghasilkan temuan bahwa ada interaksi yang signifikan antara
FLL Self Efficacy dan jenis kelamin terhadap CA dengan nilai
signifikansi 0.001 (p<0,05). Namun, temuan Azar (2013) berbeda
dengan temuan Cubukcu (2008), yang menemukan bahwa tidak
ada interaksi antara FLL Self Efficacy dan jenis kelamin terhadap
Communication Apprehension.
Atas dasar hasil penelitian Azar (2013), penulis merumuskan
hipotesa: ada interaksi antara FLL Self Efficacy dan jenis kelamin
terhadap Communication Apprehension.
e. Interaksi Motivasi Berprestasi dan Jenis Kelamin dengan
Communication Aprrehension
Dalam kaitannya dengan interaksi Motivasi Berprestasi
dan jenis kelamin terhadap Communication Apprehension,
beberapa peneliti menemukan hasil yang berbeda. Azar (2013)
melakukan penelitian dengan temuan bahwa terdapat interaksi
antara Motivasi Berprestasi dan jenis kelamin terhadap
Communication Apprehension dengan nilai signifikansi 0.04
(p<0,05). Hasil temuan Azar (2013) berbeda dengan hasil temuan
Ray (1990), yang menganalisa mengenai hubungan Motivasi
Berprestasi dengan kecemasan berbahasa (CA) dari berbagai
macam sudut pandang budaya. Hasil analisis dan penelitiannya
57
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara Motivasi
Berprestasi dengan kecemasan berbahasa asing (CA)
Berdasarkan temuan Azar (2013), maka penulis menulis
hipotesa; ada interaksi antara Motivasi Berprestasi dan jenis
kelamin terhadap Communication Apprehension.
f. Perbedaan Communication Apprehension ditinjau dari
Jenis Kelamin
Salah satu faktor demografi yang diteliti oleh beberapa
penelitian sebelumnya dalam kaitannya dengan Communication
Apprehension adalah jenis kelamin. Selain jenis kelamin dapat
berpengaruh pada Communication Apprehension mahasiswa,
perbedaan jenis kelamin juga menarik untuk diteliti sehubungan
dengan Communication Apprehension.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Thaher (2005)
ditemukan bahwa tidak ada perbedaan cukup berarti antara laki-
laki dan perempuan dalam kaitannya dengan tingkatan
Communication Apprehension [(0,731 > 0,05), t-hitung < t-tabel
(0,344 < 1,96)]. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh
Cubukcu (2008) menemukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat
Communication Apprehension antara responden laki-laki dan
perempuan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Thaher (2005) dan
Cubukcu (2008) berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Johnson & Faunce (1973). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa mahasiswa perempuan memiliki tingkat Communication
Apprehension yang lebih tinggi dari pada mahasiswa laki-laki
(Johnson & Faunce, 1973). Hasil ini menunjukkan bahwa ada
58
Communicaction Apprehension (Y)
Motivasi Berprestasi(X2)
FLL Self efficacy (X1)
Jenis Kelamin
perbedaan tingkat Communication Apprehension ditinjau dari
jenis kelamin.
Atas dasar inilah penulis menuliskan hipotesa: ada
perbedaan tingkat CA ditinjau dari jenis kelamin.
2.5 Model Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, landasan teori, kerangka
berpikir dan juga hasil penelitian sebelumnya, maka kaitan atau
hubungan antar variabel dapat digambarkan melalui model
penelitian berikut ini:
2.6 Hipotesis
Berdasarkan uraian, teori dan hasil penelitian sebelumnya,
maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah:
H1: Ada hubungan antara FLL Self Efficacy dan
motivasi berprestasi secara simultan dengan CA pada
mahasiswa di FBS UKSW
59
H2: Ada interaksi antara FLL self efficacy dan jenis
kelamin terhadap Communication Apprehension
mahasiswa di FBS UKSW
H3: Ada interaksi antara motivasi berprestasi dan jenis
kelamin terhadap CA mahasiswa di FBS UKSW.
H4: Ada perbedaan bermakna Communication
Apprehension ditinjau dari jenis kelamin mahasiswa FBS
UKSW.
60