Upload
doandang
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PPK BLUD
2.1.1 Pengertian PPK BLUD
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah yang
dimaksud dengan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) adalah Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di
lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip
efisiensi dan produktivitas. Sedangkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum Daerah (PPK BLUD) adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan
fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat
untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Yang dimaksud dengan praktek
bisnis yang sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-
kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan
berkesinambungan.
2.1.2 Tujuan dan Azas BLUD
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, Pola
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah bertujuan untuk meningkatkan kualitas
7
kepada masyarakat untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah
dan/atau pemerintah daerah dalam memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan azas terbentuknya BLUD adalah sebagai
berikut:
1. BLUD beroperasi sebagai perangkat kerja pemerintah daerah untuk tujuan
pemberian layanan umum secara lebih efektif dan efisien sejalan dengan
praktek bisnis yang sehat, yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan
kewenangan yang didelegasikan oleh kepala daerah
2. BLUD merupakan bagian dari perangkat pemerintah daerah yang dibentuk
untuk membantu pencapaian tujuan pemerintah daerah, dengan status hukum
tidak terpisah dari pemerintah daerah
3. Kepala daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikan kepada BLUD terutama
pada aspek manfaat yang dihasilkan
4. Pejabat pengelola BLUD bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan
pemberian layanan umum yang didelegasikan oleh kepala daerah
5. Dalam pelaksanaan kegiatan, BLUD harus mengutamakan efektivitas dan
efisiensi serta kualitas pelayanan umum kepada masyarakat tanpa
mengutamakan pencarian keuntungan
6. Rencana kerja dari anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLUD disusun
dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan
anggaran serta laporan keuangan dan kinerja pemerintah daerah
7. Dalam menyelenggarakan dan meningkatkan layanan kepada masyarakat,
BLUD diberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangannya.
8
2.1.3 Karakteristik BLUD
BLUD memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dengan instansi
pemerintah lainnya, yaitu:
1. Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dipisahkan dari
kekayaan negara
2. Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat
3. Tidak bertujuan untuk mencari laba
4. Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala
korporasi
5. Rencana kerja, anggaran, dan pertanggungjawabannya dikonsolidasikan pada
instansi induk
6. Penerimaan baik pendapatan maupun sumbangan dapat digunakan secara
langsung
7. Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri sipil
8. BLUD bukan sumber pajak.
Selain itu BLUD mempunyai keistimewaan/privilege atau pengecualian dalam
hal fleksibilitas pengelolaan keuangan diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan operasional dapat digunakan langsung, sesuai Rencana Bisnis dan
Anggaran nya tanpa terlebih dahulu disetorkan ke Rekening Kas Negara.
Namun demikian, seluruh pendapatan tersebut merupakan PNBP, sehingga
wajib dilaporkan dalam laporan Realisasi Anggaran
2. Anggaran belanja BLUD merupakan anggaran fleksibel berdasarkan
kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran, atau
dengan kata lain, belanja dapat bertambah atau berkurang dari yang
9
dianggarkan sepanjang pendapatan terkait bertambah atau berkurang,
setidaknya professional
3. Dalam rangka pengelolaan kas, BLUD menyelenggarakan hal-hal sebagai
berikut: Merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas; Melakukan
pemungutan pendapatan atau tagihan; Menyimpan kas dan mengelola rekening
bank; Melakukan pembayaran; Mendapatkan sumber dana untuk menutup
defisit jangka pendek; Memanfaatkan kas yang menganggur (idle cash) jangka
pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan
4. BLUD dapat mengelola piutang, sepanjang dikelola dan diselesaikan secara
tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab serta memberikan
nilai praktik bisnis yang sehat dan berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan
5. BLUD dapat mengelola utang sepanjang dikelola dan diselesaikan secara
tertib, efisien, eknomis, transparan, dan bertanggung jawab serta memberikan
nilai praktik bisnis yang sehat. Pembayaran kembali utang BLUD merupakan
tanggung jawab BLUD
6. BLUD dapat melakukan investasi jangka pendek maupun jangka panjang.
Khusus investasi jangka panjang, harus mendapat persetujuan Menteri
Keuangan/gubernur
7. Pengadaan barang/jasa BLUD yang sumber dananya berasal dari pendapatan
operasional, hibah tidak terikat, hasil kerjasama dengan pihak lainnya dapat
dilaksanakan berdasarkan ketentuan pengadaan barang/jasa yang ditetapkan.
8. BLUD dapat mengembangkan Kebijakan, Sistem, dan Prosedur Pengelolaan
Keuangan
9. BLUD dapat memperkerjakan tenaga professional non PNS
10
10. Pejabat pengelola, dewan pengawas, dan pegawai BLUD dapat diberikan
remunerasi berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan profesionalisme
yang diperlukan.
2.1.4 Persyaratan BLUD
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD) atau unit kerja dapat melaksanakan PPK BLUD apabila
telah memenuhi persyaratan subtantif, teknis, dan administratif.
1. Persyaratan substantif terpenuhi apabila tugas dan fungsi SKPD atau unit kerja
bersifat operasional dalam menyelenggarakan pelayanan umum yang
menghasilkan semi barang/jasa publik (quasi-public goods). Pelayanan yang
dimaksud berhubungan dengan:
a. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat;
b. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan
perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau
c. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau
pelayanan kepada masyarakat.
2. Persyaratan teknis terpenuhi apabila:
a. Kinerja pelayanan di bidang tugas dan fungsinya layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaiannya melalui BLUD atas rekomendasi sekretaris
daerah untuk SKPD atau unit kerja;
b. Kinerja keuangan SKPD atau unit kerja yang sehat
11
3. Persyaratan administratif terpenuhi apabila SKPD atau unit kerja membuat dan
menyampaikan dokumen yang meliputi:
a. Surat pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan,
keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;
b. Pola tata kelola;
c. Rencana strategis bisnis;
d. Standar pelayanan minimal;
e. Laporan keuangan pokok/prognosa laporan keuangan; dan
f. Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara
independen
2.2 Evaluasi
2.2.1 Pengertian Evaluasi
Menurut Samsul Hadi dkk (2011) evaluasi merupakan proses mengumpulkan
informasi mengenai suatu objek, menilai suatu objek, dan membandingkannya dengan
kriteria, standar, dan indikator. Menurut United Nations Development Programe
(2009) dalam buku Handbook on Planning, Monitoring, and Evaluating for
Development Results evaluasi adalah suatu pengukuran secara bebas dan teliti baik
terhadap aktivitas yang telah selesai maupun yang masih berjalan untuk menentukan
sejauh mana tujuan aktivitas tersebut telah tercapai dan berkontribusi dalam
pengambilan keputusan. Objek evaluasi dapat berupa kebijakan, program, aktivitas,
proyek, strategi, sektor, maupun organisasi.
Evaluasi merupakan pemeriksaan yang bersifat teknis. Kegiatan ini bertujuan
untuk mengetahui dan mengukur kemajuan atau pencapaian hasil dari suatu kegiatan
atau program yang telah dilakukan dan dibandingkan dengan sasaran yang
12
direncanakan sebelumnya. Dengan melakukan evaluasi manajer atau pimpinan dapat
mengetahui kinerja program, tujuan mana saja yang berhasil dicapai dan tujuan yang
belum tercapai sesuai dengan data-data yang terkumpul. Dengan begitu manajer atau
pimpinan dapat melakukan perbaikan baik terhadap perencanaan maupun pelaksanaan
program. Melalui data dan fakta yang ada evaluasi dapat digunakan oleh manajer
untuk membuat keputusan dan perencanaan strategis demi keberlangsungan program
di masa mendatang (Wholey et al, 2010).
2.2.2 Tujuan Evaluasi
Menurut Subarsono (2009) evaluasi memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Menentukan tingkat kinerja (efektivitas) suatu kebijakan. Melalui evaluasi
dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.
2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Melalui evaluasi dapat diketahui
berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan.
3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan.
4. Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan
untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun
negatif.
5. Untuk mengetahui adanya penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan untuk
mengetahui adanya penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara
membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target.
6. Sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan yang akan datang. Tujuan
akhir dari evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan
ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.
13
2.2.3 Jenis Evaluasi
Menurut Azwar (2010) jenis evaluasi terdiri dari evaluasi formatif, evaluasi
proses, evaluasi sumatif, evaluasi dampak program, dan evaluasi hasil.
1. Evaluasi Formatif, yaitu evaluasi yang dilaksanakan pada tahap pengembangan
program atau sebelum program dimulai supaya lebih sesuai dengan situasi dan
kondisi sasaran program.
2. Evaluasi Proses, yaitu evaluasi yang dilaksanakan pada saat program
berlangsung sehingga dapat memberikan gambaran tentang pelaksanaan
program dan memastikan program berjalan sesuai dengan perencanaan.
3. Evaluasi Sumatif, yaitu evaluasi yang dilaksanakan untuk menilai efektivitas
suatu program dalam kurun waktu tertentu setelah program berjalan.
4. Evaluasi Dampak Program, yaitu evaluasi yang dilaksanakan untu menilai
secara keseluruhan efektivitas program dalam mencapai sasaran.
5. Evaluasi Hasil, yaitu evaluasi yang dilaksanakan untuk menilai perubahan-
perubahan yang dihasilkan oleh suatu program atau pengaruh program
terhadap sasaran.
Berdasarkan ruang lingkupnya evaluasi dibedakan menjadi empat kelompok
(Azwar, 2010), yaitu:
1. Evaluasi terhadap masukan (input), yaitu mencakup pemanfaatan sumber daya
baik dana, tenaga, sarana prasarana, dan sumber daya lainnya.
2. Evaluasi terhadap proses (process), yaitu mencakup pelaksanaan program
mulai dari perencanaan, pengorganisasian, dan implementasi.
3. Evaluasi terhadap keluaran (output), yaitu mencakup hasil yang dicapai
program.
14
4. Evaluasi terhadap dampak (impact), yaitu mencakup pengaruh yang timbul
akibat adanya program.
2.2.4 Program Logic Model
Program logic model adalah cara sistematis dan visual yang menggambarkan
dan memberikan pengertian terhadap hubungan antara sumber daya yang digunakan
dalam program, aktivitas yang direncanakan, dan perubahan-perubahan atau hasil
yang ingin dicapai (W.K. Kellogg Foundation, 2004). Logic model merupakan alat
yang berfungsi untuk perencanaan, manajemen, dan evaluasi suatu program.
Gambar 2.1 Logic Model Dasar (W.K. Kellogg Foundation)
Yang termasuk dalam input pada logic model tersebut adalah SDM, keuangan,
organisasi, sumber daya lain yang diperlukan untuk mengimplementasikan program.
Yang dimaksud dengan proses atau aktivitas program adalah hal-hal yang dilakukan
terhadap input. Hasil yang diharapkan suatu program terbagi menjadi tiga yaitu output,
outcome, dan impact. Output adalah hasil langsung dari aktivitas program. Outcome
adalah perubahan spesifik terhadap sasaran program. Outcome sendiri dibedakan
menjadi jangka pendek dan jangka panjang. Outcome jangka pendek dicapai dalam
jangka waktu 1-3 tahun, sedangkan outcome jangka panjang dicapai dalam jangka
waktu 4-6 tahun. Impact adalah perubahan fundamental pada organisasi, komunitas
15
maupun sistem sebagai hasil dari aktivitas program selama 7-10 tahun (W.K. Kellogg
Foundation, 2004).
Dalam evaluasi logic model dapat digunakan sebagai framework perencanaan
evaluasi. Logic model yang baik dan jelas dapat mengilustrasikan tujuan dan isi dari
suatu program dan memudahkan evaluator untuk mengembangkan pertanyaan-
pertanyaan evaluasi sehingga didapatkan hasil evaluasi yang efektif (W.K. Kellogg
Foundation, 2004). Dalam evaluasi logic model dasar terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu konteks, implementasi, dan hasil (termasuk output, outcome, dan impact). Yang
termasuk konteks adalah hal-hal yang berpengaruh terhadap implementasi program
yaitu input. Evaluasi pada bagian ini dapat menjawab kelebihan dan kekurangan
program serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan atau
ketidakberhasilan program. Evaluasi pada bagian implementasi dapat menjawab
proses atau aktivitas mana yang telah atau belum dilaksanakan sesuai dengan
perencanaan serta menjawab hal apa saja yang terjadi dan bagaimana hal tersebut
terjadi saat program berlangsung. Sedangkan evaluasi pada bagian hasil menjawab
perubahan yang terjadi pada sasaran sebagai hasil implementasi program. Biasanya
hasil evaluasi pada bagian hasil tersebut menjawab efektivitas aktivitas program dalam
mencapai ukuran atau kepuasan tertentu sesuai target program (W.K. Kellogg
Foundation, 2004).
2.3 Penilaian Kinerja Rumah Sakit BLUD
Menurut Mahsun (dalam Gusnardi & Azizah, 2013) kinerja merupakan
gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan
dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam
strategic planning suatu organisasi. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam
16
Negeri Nomor 13 Tahun 2006, kinerja adalah keluaran atau hasil dari
kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubung dengan penggunaan
anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Kinerja menekankan pada
sesuatu yang dihasilkan dari fungsi-fungsi suatu pekerjaan.
Menurut Hansen & Mowen (2006) penilaian kinerja organisasi tidak hanya
menilai suatu keluaran aktivitas dari sisi keuangan saja namun juga dari sisi non
keuangan. Penilaian ini dirancang untuk menilai seberapa baik aktivitas yang
dikerjakan dan hasil yang dicapai. Penilaian juga dirancang untuk mengetahui apakah
terjadi perbaikan yang konstan. Begitu juga dengan penilaian kinerja rumah sakit
BLUD. Ukuran kinerja yang digunakan tidak hanya dari aspek keuangan melainkan
juga dari aspek non keuangan yang terdiri dari perspektif pelanggan, perspektif proses
internal pelayanan, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (Permendagri
Nomor 61 Tahun 2007).
Beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Purnamanita dkk (2012) dan
Wijayanti (2012) dalam analisis kinerja, pengukuran kinerja rumah sakit dilakukan
dengan mengukur empat perspektif yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan,
perspektif proses internal pelayanan, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
2.3.1 Perspektif Keuangan
Kinerja perspektif keuangan diukur berdasarkan laporan keuangan. Sebelum
berstatus Badan Layanan Umum Daerah, laporan keuangan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) dibuat berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). SAP dibuat
berdasarkan cash basis. Sistem cash basis mengakui pendapatan ketika uangnya sudah
benar-benar diterima atau dikeluarkan. Setelah mendapatkan status BLUD laporan
dibuat berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) sesuai dengan Peraturan
17
Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan. Berbeda dengan SAP, SAK dibuat berdasarkan sistem accrual basis yang
mengakui pendapatan ketika transaksi terjadi, meskipun uang belum diterima atau
dikeluarkan (Armen & Azwar, 2013). Laporan berdasarkan SAP terdiri dari neraca
dan laporan realisasi anggaran. Sedangkan laporan berdasarkan SAK terdiri dari
neraca, laporan aktivitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan.
Penilaian kinerja keuangan rumah sakit BLU diatur dalam Peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaan Nomor 36/PB/2012 tentang Pedoman Penilaian Kinerja
Keuangan Satuan Kerja Badan Layanan Umum. Penilaian kinerja keuangan satuan
kerja BLU terdiri dari dua aspek yaitu aspek keuangan dan aspek kepatuhan
pengelolaan keuangan BLU. Aspek keuangan dihitung dengan menggunakan dua rasio
yaitu rasio keuangan dan rasio pendapatan PNBP terhadap biaya operasional. Rasio
keuangan yang digunakan dalam penilaian kinerja keuangan satuan kerja BLU adalah
rasio kas (cash ratio), rasio lancar (current ratio), periode penagihan piutang
(collection period), perputaran asset tetap (fixed asset turnover), imbalan atas aktiva
tetap (return on asset), dan imbalan ekuitas (return on equity) (Peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaan Nomor 36/PB/2012).
Rasio keuangan menurut James C Van Horne (dalam Kasmir, 2011)
merupakan indeks yang menghubungkan dua angka akuntansi dengan
membandingkan angka yang satu dengan yang lainnya. Analisis rasio keuangan
merupakan kegiatan membandingkan angka-angka yang ada dalam laporan keuangan
atau antar laporan keuangan. Dengan melakukan analisis rasio keuangan maka dapat
disimpulkan posisi keuangan pada periode tertentu sehingga dapat diketahui apakah
kinerja manajemen dalam suatu periode telah mencapai target yang ditetapkan
(Kasmir, 2011).
18
Rasio keuangan yang biasa digunakan antara lain rasio likuiditas, rasio
solvabilitas, rasio aktivitas, dan rasio rentabilitas.
1. Rasio Likuiditas
Menurut Fred Weston (dalam Kasmir, 2011) rasio likuiditas menggambarkan
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Rasio ini
dihitung dengan membandingkan total aktiva lancar dengan total pasiva lancar (utang
jangka pendek). Pada umumnya standar likuiditas yang baik adalah 200% atau 2:1.
Dengan kata lain jika rumah sakit mempunyai kewajiban jangka pendek sebesar Rp
100.000,00 maka total aktiva lancar yang harus dimiliki rumah sakit adalah Rp
200.000,00 (Kasmir, 2011). Jenis rasio likuiditas yang biasa digunakan adalah rasio
kas (cash ratio) dan rasio lancar (current ratio) yang dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑘𝑎𝑠 = 𝐾𝑎𝑠 𝑑𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑡𝑎𝑟𝑎 𝑘𝑎𝑠
𝑘𝑒𝑤𝑎𝑗𝑖𝑏𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑒𝑘 𝑥 100%
Perhitungan rasio kas digunakan untuk mengetahui seberapa besar uang yang
benar-benar siap untuk memenuhi kewajiban jangka pendek, sehingga digunakan kas
dan setara kas sebagai nemurator karena kas dan setara kas dapat diambil setiap saat.
Persentase rasio kas yang baik adalah antara 300% - 360% (Perdirjen Perbendaharaan
36/PB/2012). Semakin kecil rasio kas maka kinerja keuangan rumah sakit dapat
dikatakan tidak baik karena akan kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek.
Namun semakin besar rasio kas juga menunjukkan kinerja keuangan yang tidak baik.
Jika terlalu banyak menyimpan dana dalam bentuk kas rumah sakit dinilai tidak
produktif karena dengan dana tersebut rumah sakit mempunyai kesempatan untuk
memperoleh pendapatan lebih dengan melakukan investasi. Sehingga jika terlalu
banyak menyimpan dana dalam kas maka rumah sakit dapat dikatakan telah
19
kehilangan kesempatan untuk mempunyai pendapatan lebih atau tidak produktif dalam
mengelola keuangan (Armen & Azwar, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Wildana dkk (2012) menunjukkan bahwa RS
Dr Tadjuddin Chalid Makassar menganggap investasi sangat penting dilakukan demi
meningkatkan pendapatan rumah sakit. RS Dr Tadjuddin Chalid telah melaksanakan
kegiatan investasi setiap tahunnya baik dalam bentuk jangka pendek maupun jangka
panjang. Disisi lain penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Stroke Nasional
Bukittinggi menunjukkan bahwa rumah sakit masih ragu untuk menjalankan
fleksibilitasnya sehingga belum melaksanakan investasi (Meidyawati, 2011).
2. Rasio Solvabilitas
Rasio solvabilitas adalah rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan
dalam memenuhi seluruh kewajibannya baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Rasio ini merupakan perbandingan sejauh mana aktiva (harta) didanai oleh utang atau
kewajiban. Dalam memenuhi kebutuhan operasionalnya, rumah sakit membutuhkan
dana baik dari modal sendiri maupun dari utang atau pinjaman. Untuk menghitung
perbandingan seberapa besar rumah sakit menggunakan dana pinjaman dalam
memenuhi kebutuhannya maka dilakukanlah analisis rasio solvabilitas (Kasmir,
2011). Salah satu rasio solvabilitas yang sering digunakan adalah perbandingan antara
utang terhadap modal sendiri (ekuitas) yang dimiliki. Rasio ini disebut Debt to Equity
Ratio, yang dapat diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
𝐷𝑒𝑏𝑡 𝑡𝑜 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑤𝑎𝑗𝑖𝑏𝑎𝑛
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑘𝑢𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑥 100%
Perhitungan rasio tersebut akan menunjukkan seberapa besar pengaruh utang
dalam pengelolaan rumah sakit. Semakin besar rasio utang terhadap ekuitas maka
pendanaan dengan utang semakin besar (Kasmir, 2011). Penelitian yang dilakukan
20
oleh Wijayanti (2012) di RSUD Dr Iskak Tulungagung menyebutkan bahwa
pendanaan oleh utang adalah sebesar 9%. Sedangkan pendanaan oleh utang di RSUD
Moewardi Surakarta adalah sebesar 3% (Hartati, 2012). Menurut kedua penelitian
tersebut pendanaan oleh utang maksimal adalah 40%-50%.
3. Rasio Aktivitas
Rasio aktivitas adalah rasio yang mengukur tingkat efisiensi penggunaan
sumber daya atau menilai kemampuan organisasi dalam melaksanakan aktivitas
sehari-hari. Rasio ini diukur untuk mengetahui apakah rumah sakit dapat mengelola
asset yang dimiliki secara efisien (Kasmir, 2011). Salah satu rasio aktivitas yang paling
umum dan yang digunakan dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan adalah
perputaran asset tetap (fixed assets turnover) yang dihitung dengan rumus berikut:
𝑃𝑒𝑟𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑎𝑠𝑒𝑡 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 = 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑜𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
𝑎𝑠𝑒𝑡 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑥 100%
Yang dimaksud dengan pendapatan operasional adalah pendapatan yang
diperoleh sebagai imbalan atas pelayanan rumah sakit yang diberikan kepada pasien,
hasil kerja sama dengan pihak lain, sewa, jasa lembaga keuangan, dan pendapatan lain
yang tidak berhubungan dengan pelayanan BLUD, dan tidak termasuk pendapatan
APBD dan hibah (Perdirjen Perbendaharaan Nomor 36/PB/2012). Rasio ini akan
menunjukkan berapa kali dana yang ditanamkan dalam aktiva tetap berputar dalam
satu periode. Rasio paling baik menurut Perdirjen Perbendaharaan Nomor 36/PB/2012
adalah 25% atau lebih. Perhitungan rasio perputaran aset tetap di RSUD Moewardi
Surakarta adalah sebesar 0,54 kali atau 54% dalam setahun (Hartati, 2012).
4. Cost Recovery Rate
Rasio ini digunakan untuk mengetahui kemampuan rumah sakit dalam
membiayai seluruh biaya operasional dengan pendapatan BLUD yang diperoleh dari
21
pelayanan yang diberikan. Pada Perdirjen Perbendaharaan Nomor 36/PB/2012 skor
tertinggi terhadap rasio ini diberikan pada rumah sakit yang memiliki rasio sebesar
75% atau lebih. Hasil penelitian di RS Dr Tadjuddin Chalid terhadap kemampuan
rumah sakit dalam membiayai biaya operasional menunjukkan bahwa rumah sakit
tersebut telah mampu membiayai seluruh kebutuhan dan pengeluaran dengan
pendapatan BLU (Wildana dkk, 2012). Penelitian lain yang dilakukan di Balai
Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Makassar menunjukkan bahwa CRR telah
mencapai 153%. Disisi lain penelitian yang dilakukan di RSUD Saiful Anwar
menunjukkan CRR yang fluktuatif dan cenderung tidak mengalami peningkatan
(Sandiwara, 2014). CRR dapat dihitung dengan rumus berikut:
𝐶𝑅𝑅 = 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐵𝐿𝑈
𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑜𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 𝑥 100%
Yang dimaksud dengan pendapatan BLUD adalah pendapatan yang diperoleh
sebagai imbalan atas barang atau jasa yang diserahkan kepada masyarakat termasuk
pendapatan yang diterima dari hibah, hasil kerjasama dengan pihak lain, sewa, jasa
lembaga keuangan, dan lain-lain pendapatan yang tidak berhubungan secara langsung
dengan pelayanan BLUD, tidak termasuk pendapatan yang berasal dari APBD.
Sedangkan biaya operasional adalah seluruh biaya langsung yang terkait dengan
pelayanan kepada masyarakat meliputi biaya pegawai, biaya bahan, biaya jasa
layanan, biaya pemeliharaan, biaya daya dan jasa, dan biaya langsung lainnya yang
berkaitan langsung dengan pelayanan yang diberikan oleh satker BLUD.
2.3.2 Perspektif Pelanggan
Penilaian kinerja dari perspektif pelanggan menurut konsep Balanced
Scorecard dapat dilihat beberapa tolak ukur diantaranya akuisisi pelanggan, retensi
22
pelanggan, kepuasan pelanggan, serta pangsa pasar. Akuisisi pelanggan berkaitan
dengan upaya organisasi dalam menarik pelanggan baru. Retensi pelanggan berkaitan
dengan upaya organisasi dalam mempertahankan pelanggan lama. Tingkat kepuasan
pelanggan menunjukkan seberapa jauh pelanggan puas terhadap pelayanan yang
diberikan. Sedangkan pangsa pasar menggambarkan besar penjualan yang dapat
dilihat dari jumlah pelanggan, jumlah pelayanan, dan unit pelayanan (Kaplan &
Norton, 2000).
Dalam perspektif ini rumah sakit harus memberikan perhatian terhadap
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Pelayanan yang diberikan harus bernilai
bagi masyarakat artinya memberikan manfaat yang sesuai dengan harapan dan
kebutuhan masyarakat. Perspektif pelanggan ini akan berpengaruh terhadap kinerja
keuangan rumah sakit (Kaplan & Norton, 2000). Dalam organisasi pelayanan publik
seperti rumah sakit kepuasan pelanggan diukur dengan Indeks Kepuasan Masyarakat
(IKM) yang dilakukan dengan metode survei.
Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 38 Tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan
Publik, Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) adalah data atau informasi tentang tingkat
kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan
kualitatif atas pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari aparatur
penyelenggara pelayanan publik dengan membandingkan antara harapan dan
kebutuhannya.
Hasil survei IKM yang dilaksanakan di RSUD Nganjuk menunjukkan hasil
pada kategori baik (Puspadewi & Rosidi, 2014). Pengukuran kepuasan pelanggan
dilakukan dengan variabel yang berbeda-beda pada beberapa penelitian. Pada
penelitian yang dilakukan di RSUD Sragen kepuasan pelanggan diukur berdasarkan
23
jumlah keluhan yang masuk ke kotak saran dan jumlah keluhan yang ditangani
(Wijaya, 2012). Pengukuran kepuasan pelanggan menggunakan jumlah keluhan juga
dilakukan di RSUD Tugurejo Semarang dan menunjukkan adanya penurunan jumlah
keluhan setiap tahunnya (Aurora, 2010). Namun pengukuran ini dinilai kurang efektif
karena hanya sebagian kecil saja pasien yang mengisi kotak saran.
Disisi lain penelitian yang dilakukan di Balai Kesehatan Mata Masyarakat
(BKMM) Makassar menggunakan dimensi kepuasan yaitu wujud fisik (tangibles),
keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance), empati
(emphaty). Hasilnya yang menjadi dimensi kepuasan tertinggi adalah dimensi daya
tanggap dan pelayanan administrasi/kasir jika berdasarkan pelayanan. Sedangkan yang
menjadi dimensi kepuasan terendah adalah dimensi wujud fisik dan pelayanan dokter
(Purnamanita dkk, 2012). Penelitian lain yang menggunakan dimensi kepuasan adalah
penelitian yang dilakukan di RSUD Dr Iskak Tulungagung (Wijayanti, 2012) dan di
RSUD Moewardi Surakarta (Hartati, 2012). Keduanya menunjukkan hasil survei
kepuasan pelanggan yang cukup baik.
2.3.3 Perspektif Proses Internal Layanan
Perspektif ini menggambarkan bagaimana upaya rumah sakit dalam
memberikan pelayanan yang dapat memberikan kepuasan tertentu bagi masyarakat.
Salah satu fokus pengukuran kinerja dari perspektif ini adalah proses operasi.
Pengukuran kinerja ini lebih menitikberatkan pada efisiensi proses, konsistensi, dan
ketepatan waktu pemberian pelayanan kepada pelanggan (Kaplan & Norton, 2000).
Efisiensi proses, konsistensi, dan ketepatan waktu pemberian pelayanan tersebut dapat
dilihat dari Standar Pelayanan Minimal (SPM) rumah sakit (Rondonuwu &
Trisnantoro, 2013). SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar
24
yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara
minimal, juga merupakan spesifikasi teknis tentang tolak ukur pelayanan minimum
yang diberikan oleh Badan Layanan Umum kepada masyarakat (Kemenkes Nomor
129/Menkes/SK/II/2008).
Disisi lain beberapa penelitian terkait pengukuran kinerja perspektif proses
internal layanan rumah sakit melakukan pengukuran menggunakan standar
pengukuran jasa pelayanan kesehatan nasional, yaitu diantaranya Bed Occupancy Rate
(BOR), Length of Stay (LOS), Turn Over Interval (TOI), Bed Turn Over Ratio (BTO),
Gross Death Rate (GDR), dan Net Death Rate (NDR). Namun karena Rumah Sakit
Indera merupakan rumah sakit khusus yang hanya menerapkan rawat inap one day
care maka indikator tersebut tidak dapat menggambarkan kinerja pelayanan Rumah
Sakit Indera. Sehingga pada penelitian ini kinerja perspektif proses internal layanan
hanya dilihat dari pencapaian SPM.
Salah satu penelitian yang juga menggunakan SPM sebagai indikator penilaian
perspektif proses internal layanan adalah penelitian yang dilakukan di Balai Kesehatan
Mata Masyarakat (BKMM) Makassar. Dalam penelitian tersebut didapatkan hasil
bahwa salah satu indikator yang kurang baik adalah response time (Purnamanita dkk,
2012). Khasanah (2010) melakukan pengukuran terhadap waktu tunggu pasien poli
mata di RSU Kabupaten Gresik. Hasilnya waktu tunggu pasien paling ideal adalah 28-
51 menit.
Dalam evaluasi kinerja BLUD yang dilakukan di RSUD Taman Husada Kota
Bontang kinerja layanan diukur dengan menggunakan hasil survei Indeks Kepuasan
Masyarakat (IKM). Selain itu penilaian kinerja layanan juga didukung dengan ada atau
tidaknya pengakuan dari lembaga penjamin mutu terhadap mutu layanan rumah sakit
tersebut (Katuwo, 2014).
25
Pada penelitian yang dilakukan oleh Surianto dan Trisnantoro (2013) mengenai
implementasi BLUD di RSUD Undata Provinsi Sulawesi Tengah, setelah dua tahun
mengimplementasikan kebijakan BLUD ternyata SPM belum dilaksanakan sesuai
dengan standar. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain SPM belum
dilaksanakan berdasarkan indikator, SPM belum disosialisasikan ke setiap instalasi,
dan belum adanya komitmen bersama dalam melaksanakan SPM. Padahal setiap
instansi pemerintah yang menerapkan kebijakan BLUD harus menerapkan SPM
sebagai indikator pelayanan minimal yang harus diberikan kepada masyarakat
(Permendagri Nomor 61 Tahun 2007).
2.3.4 Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Menurut Kaplan & Norton (2000) untuk mendorong organisasi menghasilkan
kinerja yang baik dalam ketiga perspektif diatas, pimpinan organisasi harus terus
memperhatikan stafnya dengan cara memantau kesejahteraan staf dan meningkatkan
pengetahuan staf. Hal ini dikarenakan staf merupakan faktor pendorong yang
mendukung tercapainya kinerja yang baik dalam perspektif diatas. Selain itu, rumah
sakit juga perlu mengembangkan sistem dan prosedur memadai untuk mendukung
kinerja staf dalam mencapai tujuan organisasi. Menurut Kaplan & Norton (2000)
organisasi yang memiliki tingkat kepuasan staf yang tinggi cenderung memiliki
tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi pula. Hal ini menunjukkan bahwa perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan merupakan dasar untuk mencapai tujuan perspektif
lain diatas.
Untuk mengukur perspektif pembelajaran dan pertumbuhan terdapat tiga
indikator yang terdiri dari kepuasan staf, retensi staf, dan kapabilitas staf. Kepuasan
staf diukur melalui survei dengan unsur-unsur yang meliputi keterlibatan dalam
26
pengambilan keputusan, penghargaan terhadap kinerja, akses informasi memadai
untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik, dorongan untuk bekerja kreatif, tingkat
dukungan dari fungsi staf, dan kepuasan keseluruhan terhadap organisasi. Tujuan dari
retensi pekerja adalah untuk mempertahankan pekerja selama mungkin. Retensi
pekerja diukur dengan persentase pekerja yang keluar. Untuk mempertahankan
pekerja organisasi dapat meningkatkan kapabilitas pekerja melalui pelatihan.
Pengukuran terhadap tingkat kepuasan staf yang dilakukan di RSUD
Moewardi Surakarta menunjukkan bahwa tingkat kepuasan staf adalah cukup baik
(Hartati, 2012). Pengukuran ini dilakukan dengan variabel kemampuan dan motivasi.
Tingkat kepuasan staf di RSUD Dr Iskak Tulungagung juga menunjukkan hasil yang
cukup baik (Wijayanti, 2012). Variabel yang digunakan untuk mengukur kepuasan staf
tersebut adalah kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap promosi, kepuasan terhadap
atasan, kepuasan teman sekerja, dan kepuasan terhadap pekerjaan sendiri. Hasil yang
sama juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan di RSUD Mojosari yang
menunjukkan bahwa sebagian besar staf sudah merasa puas terhadap organisasi
(Utama & Hariadi, 2012).
Pengukuran kapabilitas staf yang dilakukan di RSUD Tugurejo Semarang
dilakukan dengan membandingkan jumlah pelatihan dengan jumlah staf. Hasil
pengukuran tersebut menunjukkan bahwa rasio kapabilitas tersebut menurun setiap
tahunnya dan menunjukkan hasil yang kurang baik (Aurora, 2010). Hasil yang kurang
baik juga didapatkan pada pengukuran yang dilakukan di RSUD Sragen. Hal ini karena
belum semua staf mengikuti pelatihan (Wijaya, 2012).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Katuwo dkk (2014) yang berjudul
“Evaluasi Kinerja BLUD RSUD Taman Husada Kota Bontang” menunjukkan hasil
bahwa secara umum produktivitas pegawai telah sesuai dengan beban kerja. Namun
27
masih ada beberapa permasalahan terkait pegawai diantaranya kekurangan pegawai,
penempatan yang belum sesuai dengan kompetensi pegawai, serta komunikasi dan
koordinasi yang belum optimal.
Pegawai sebagai bagian dari organisasi memegang peranan yang penting
dalam pelaksanaan PPK BLUD. Pegawai yang tidak cukup baik dari kuantitas maupun
kualitas akan mengakibatkan pelaksanaan PPK BLUD tidak optimal. Hal ini dapat
dilihat pada penelitian yang dilakukan Putra & Farida (2014) di RSUD Rokan Hulu.
Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa RSUD Rokan Hulu belum melaksanakan
PPK BLUD sesuai dengan Permendagri Nomor 61 Tahun 2007. Salah satu faktor yang
mempengaruhinya adalah kuantitas dan kualifikasi pegawai yang belum memadai.