Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
34
BAB II
TINJAUAN TENTANG PERIKATAN, KREDIT DAN SURAT ORDER
2.1. Perikatan
2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum Perikatan
Perikatan merupakan terjemahan istilah dalam bahasa Belanda verbintenis.
Perikatan adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat antara dua orang atau lebih
dimana satu pihak mempunyai hak dan pihak yang lain mempunyai kewajiban atas
suatu prestasi. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa:
jual beli, utang-piutang, hibah, kelahiran dan kematian. Peristiwa hukum tersebut
menciptakan suatu hubungan hukum.1 Dalam hubungan hukum tersebut, para pihak
mempunyai hak dan kewajiban. Pihak yang berhak menuntut disebut kreditur,
sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur dan sesuatu yang
dituntut disebut prestasi.2 Dengan demikian perikatan dapat dirumuskan sebagai
hubungan hukum mengenai harta kekayaan yang terjadi antara kreditur dan
debitur.3
Prestasi merupakan sesuatu yang wajib dipenuhi oleh pihak debitur dan
prestasi merupakan objek dari perikatan. Dalam hukum perdata, penyertaan
jaminan merupakan suatu kewajiban dalam memenuhi prestasi. Pasal 1131
KUHPerdata menyatakan bahwa segala barang-barang bergerak dan tak bergerak
milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk
1Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, Cet. I, Citra Adytia Bakti,
Bandung, h. 198.
2Ibid.
3Ibid, h. 199.
34
35
perikatan-perikatan perorangan debitur itu. Jaminan umum ini dapat dibatasi
dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang disepakati dalam perjanjian
para pihak. Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan ada 3 (tiga) wujud prestasi, yaitu:
1. Memberikan sesuatu, misalnya menyerahkan benda, membayar harga
benda, dan memberikan hibah penelitian;
2. Berbuat sesuatu, misalnya membuatkan pagar pekarangan rumah,
mengangkut barang tertentu, dan menyimpan rahasia perusahaan;
3. Tidak berbuat sesuatu, misalnya tidak melakukan persaingan curang,
tidak melakukan dumping, dan tidak menggunakan merek orang lain.
Pasal 1235 KUHPerdata menjelaskan pengertian “Memberikan sesuatu”, yaitu
menyerahkan penguasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur atau
sebaliknya. Dalam perikatan yang objeknya “Berbuat sesuatu”, debitur wajib
melakukan suatu perbuatan yang telah disepakatu dalam perikatan. Dalam
melaksanakan perbuatan tersebut, debitur harus mematuhi semua ketentuan yang
telah disepakatu dalam perikatan. Debitur bertanggung jawab atas perbuatannya
yang tidak sesuai dengan ketentuan perikatan. Dalam perikatan yang objeknya
“Tidak berbuat sesuatu”, debitur tidak melakukan perbuatan yang telah disepakati
dalam perikatan.
Perikatan diatur dalam Buku KUHPerdata. Pasal 1233 KUHPerdata
menyatakan, perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.
Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUHPerdata
menetukan bahwa perikatan dapat terjadi, baik karena perjanjian maupun karena
Undang-Undang. Dengan kata lain, sumber perikatan adalah Undang-Undang dan
36
perjanjian. Pasal 1352 KUHPerdata menjelaskan perikatan yang lahir karena
Undang-Undang dirinci menjadi dua, yaitu perikatan yang terjadi semata-mata
karena ditentukan oleh Undang-Undang dan perikatan yang terjadi karena
perbuatan orang. Perikatan yang terjadi karena perbuatan orang, dalam pasal 1353
KUHPerdata dirinci lagi menjadi perbuatan menurut hukum (rechmatig daad) dan
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Sebagian besar perikatan yang
terjadi di masyarakat lahir karena adanya suatu perjanjian. Pasal 1338 KUHPerdata
menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-
Undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Artinya, jika salah satu pihak tidak
bersedia memenuhi prestasinya, kewajiban berprestasi itu dapat dipaksakan.
Perikatan yang lahir dari suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya
perjanjian. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian itu sah apabila
terpenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:
1. Adanya kata sepakat;
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
3. Adanya suatu hal tertentu;
4. Adanya causa yang halal.
Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suatu
perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif. Syarat ketiga dan
keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian, oleh karena itu
disebut sebagai syarat obyektif. Adapun penjelasan masing-masing adalah sebagai
berikut:
1. Adanya Kata Sepakat
37
Kata sepakat berarti persesuaian terhadap kehendak, maksudnya
memberikan persetujuan atau kesepakatan.4 Menurut Subekti, yang
dimaksud dengan kata sepakat adalah penyesuaian kehendak antara dua
pihak yaitu apa yang dikehendakai oleh pihak pertama juga dikehendaki
oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang
sama secara timbal balik. Jadi sepakat merupakan pertemuan kedua
kehendak dimana kehendak pihak pertama mengisi dengan apa yang
dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu. Dijelaskan
lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya “sepakat” saja tanpa
tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan,
pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa
bilamana sudah tecapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau
mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah sebagai undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya.
J.Satrio, menyatakan kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua
orang dimana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus
dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia
menghendaki timbulnya hubungan hukum.5 Dengan demikian adanya
kehendak saja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut
harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh
pihak lain. Dalam KUHPerdata tidak menjelaskan mengenai kata sepakat,
4R. Subekti, 2004, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Cet. IV, Alumni, Bandung, h. 4. 5J.Satrio, 1993, Hukum Jaminan,Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 129.
38
tetapi di dalam Pasal 1321 KUHPerdata menentukan syarat bahwa tidak ada
sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau
diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa terjadinya kata sepakat antara masing-masing
pihak diberikan secara bebas dan tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan
penipuan. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan paksaan adalah paksaan
rohani atau paksaan jiwa (psikis), jadi bukan paksaan badan (fisik).6
Kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang
pokok dari yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari
barang yang menjadi obyek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus
sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-
hal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan
terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-
keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk
membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan demikian
suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan,
penipuan maka perjanjian itu dikemudian hari dapat dimintakan
pembatalannya oleh salah satu pihak.
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian
Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap
untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang
tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk
6R. Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h. 23.
39
membuat suatu perjanjian. Selanjutnya pasal 1330 KUHPerdata
menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian yaitu:
1) Orang yang belum dewasa.
2) Mereka yang berada dibawah pengampuan/perwalian dan.
3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapka oleh undang-
undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun hal ini
sudah tidak berlaku lagi sejak keluarnya SEMA No.3 Tahun 1963
tanggal 5 September 1963 yang mencabut beberapa pasal KUH
Perdata diantaranya Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata. Maka
status sebagai istri tidak lagi mempunyai pengaruh terhadap
kecakapan bertindak yang dilakukannya. Selain SEMA, UU No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 31 ikut memperkuat
hapusnya Pasal 108 dan pasal 110 KUH Perdata. Dengan demikian
maka istri termasuk kedalam subjek hukum yang cakap dalam
melakukan perbuatan hukum.
3. Adanya suatu hal tertentu
Adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek perjanjian. Objek
perjanjian merupakan prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang
bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan
suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Pasal 1333 ayat (1)
KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu
hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit
40
ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak masalah asalkan
dikemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).
4. Adanya causa yang halal
Adanya causa yang halal disini bukanlah sebab yang mendorong orang
tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau causa suatu perjanjian adalah
tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak7, sedangkan
sebagaimana yang telah dikemukakan Subekti, adanya suatu sebab yang
dimaksud tidak lain daripada isi perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata tidak
dijelaskan pengertian Oorzaak (causa yang halal). Pasal 1337 KUHPerdata
yang berbunyi: “suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum”. Sedangkan pengertian
sebab (causa) disini adalah tujuan daripada perjanjian, apa yang menjadi isi,
kehendak dibuatnya suatu perjanjian.
Syarat yang pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena
menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat yang
ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian.
Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat
dibatalkan. Artinya bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan
untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak dalam
perjanjian itu tidak ada yang berkeberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah.
7Sri Soedewi Masjachan, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, h. 319.
41
Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum.
Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
KUHPerdata menjelaskan unsur-unsur penting yang harus ada dalam suatu
perikatan, yaitu:
1. Hubungan Hukum
Dalam unsur ini menjelaskan tentang hubungan yang timbul dalam
lapangan moral dan kebiasaan, yang menimbulkan adanya suatu kewajiban
untuk dipenuhi. Tetapi, kewajiban tersebut tidak dapat dipaksakan
pemenuhannya melalui sarana bantuan hukum. Pada suatu perikatan,
apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya dengan baik dan
sebagaimana mestinya, maka kreditur dapat melalui jalur hukum agar ada
tekanan kepada debitur untuk memenuhi kewajibannya.
Hubungan hukum merupakan hubungan yang diatur oleh hukum, hubungan
yang di dalamnya memberikan hak di satu pihak dan kewajiban di lain
pihak, dan apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban.
Hubungan hukum dapat terjadi karena:
1) Kehendak pihak-pihak (persetujuan/perjanjian).
2) Sebagai perintah peraturan perundang-undangan.
Dasar hukum darin hubungan hukum adalah Pasal 1233 KUHPerdata yang
menyatakan: “Perikatan lahir karena persetujuan atau karena undang-
undang”. Contoh: A berjanji menjual rumah kepada B. Akibat dari janji, A
wajib menyerahkan rumah miliknya kepada B dan berhak menuntut
harganya. Sedangkan B wajib menyerahkan harga rumah itu dan berhak
42
untuk menuntut penyerahan rumah. Dalam contoh diatas apabila salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya maka hukum “memaksakan” agar
kewajiban-kewajiban tadi dipenuhi. Tidak semua hubungan hukum dapat
disebut perikatan. Contoh kewajiban orang tua untuk mengurus anaknya
bukanlah kewajiban dalam pengertian perikatan. Artinya adalah setiap
hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh terhadap pemenuhan
kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban
tidaklah masuk dalam pengertian dan ruang lingkup batasan hukum
perikatan.
2. Lapangan Harta Kekayaan
Hubungan hukum dimana satu pihak mempunyai hak dan pihak lain
mempunyai kewajiban merupakan perikatan. Hukum perikatan merupakan
bagian dari Hukum Harta Kekayaan (vermogensrecht) dan bagian lain dari
Hukum Harta Kekayaan adalah Hukum Benda. Suatu hubungan dapat
dianggap sebagai perikatan, pada mulanya para sarjana menggunakan
ukuran dapat dinilai dengan uang. Suatu hubungan dianggap dapat dinilai
dengan uang, jika kerugian yang diderita seseorang dapat dinilai dengan
uang. Akan tetapi dalam prakteknya ukuran tersebut tidak dapat
memberikan pembatasan, karena dalam kehidupan bermasyarakat sering
kali terdapat hubungan-hubungan yang sulit untuk dinilai dengan uang.
Kriteria dapat dinilai dengan uang tidak lagi dipergunakan sebagi suatu
kriteria untuk menentukan adanya suatu perikatan. Namun, walaupun
ukuran tersebut sudah ditinggalkan, bukan berarti bahwa dapat dinilai
43
dengan uang adalah tidak relevan, karena setiap perbuatan hukum yang
dapat dinilai dengan uang selalu merupakan perikatan. Harta kekayaan
sebagai kriteria dari adanya sebuah perikatan. Tentang harta kekayaan
sebagai ukurannya (kriteria) ada dua pandangan yaitu:
1) Pandangan klasik: Suatu hubungan dapat dikategorikan sebagai
perikatan jika hubungan tersebut dapat dinilai dengan sejumlah
uang.
2) Pandangan baru: Sekalipun suatu hubungan tidak dapat dinilai
dengan sejumlah uang, tetapi jika masyarakat atau rasa keadilan
menghendaki hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum akan
meletakkan akibat hukum pada hubungan tersebut sebagai suatu
perikatan.
3. Pihak-pihak (kreditur dan debitur).
Dalam suatu perikatan terdapat dua pihak yang berhubungan atau terikat.
Disatu pihak disebut kreditur dan pihak lain disebut debitur. Perikatan
adalah suatu hubungan hukum antara orang-orang tertentu yaitu kreditur
dan debitur. Para pihak pada suatu perikatan disebut subyek perikatan, yaitu
kreditur yang mempunyai hak dan debitur yang mempunyai kewajiban atas
suatu prestasi. Kreditur disebut sebagai pihak yang aktif sedangkan debitur
biasanya pihak yang pasif. Sebagai pihak yang aktif, kreditur dapat
melakukan tindakan-tindakan tertentu terhadap debitur yang pasif ketika
tidak bisa memenuhi kewajibannya. Tindakan-tindakan kreditur dapat
44
berupa memberi peringatan-peringatan menggugat dimuka pengadilan dan
sebagainya.
Kreditur harus mengenal dan mengetahui debitur, hal ini penting karena
berkaitan dalam hal untuk menuntut pemenuhan prestasi. Pada setiap
perikatan sekurang-kurangnya harus ada satu orang kreditur dan sekurang-
kurangnya satu orang debitur. Hal ini tidak menutup kemungkinan dalam
suatu perikatan itu terdapat beberapa orang kreditur dan beberapa orang
debitur. Pihak kreditur dan debitur tidak harus “orang” tapi juga dapat
berbentuk “badan”, sepanjang pihak tersebut cakap melakukan perbuatan
hukum. Para pihak dalam perikatan dapat digantikan. Dalam hal
penggantian debitur harus sepengatahuan dan persetujuan kreditur, untuk
itu debitur harus dikenal oleh kreditur agar mempermudah untuk menagih
prestasinya, misalnya pengambil alihan hutang (schuldoverneming)
sedangkan penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak.
Seorang kreditur mungkin pula mengalihkan haknya atas prestasi kepada
kreditur baru, hak yang dapat dialihkan merupakan hak-hak pribadi yang
kwalitatif (kwalitatiev persoonlijke recht), misalnya A menjual sebuah
sepeda motor kepada B, sepeda motor tersebut telah diasuransikan kepada
perusahaan asuransi. Dengan terjadinya peralihan hak milik dari A kepada
B, maka B sekaligus pada saat bersamaan B mengambil alih juga hak
asuransi yang telah melekat pada sepeda motor tersebut. Perikatan yang
demikian dinamakan perikatan kwalitatif dan hak yang terjadi dari perikatan
demikian dinamakan hak kwalitatif. Selanjutnya seorang debitur dapat
45
terjadi karena perikatan kwalitatif sehingga kewajiban memenuhi prestasi
dari debitur dinamakan kewajiban kwalitatif.
4. Isi Perikatan (prestasi)
Prestasi merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Prestasi
merupakan objek dalam suatu perikatan. Dalam ilmu hukum kewajiban
adalah suatu beban yang ditanggung oleh seseorang yang bersifat
kontraktual atau perjanjian (perikatan). Hak dan kewajiban dapat timbul
apabila terjadi hubungan antara 2 pihak yang berdasarkan pada suatu
kontrak atau perjanjian (perikatan). Jadi, ketika hubungan hukum yang lahir
dari perjanjian itu belum berakhir, maka salah satu pihak memiliki beban
kontraktual dan mempunyai keharusan atau kewajiban untuk memenuhinya
(prestasi).
Kewajiban tidak selalu tercipta sebagai akibat adanya kontrak, melainkan
dapat pula muncul dari peraturan hukum yang berlaku pada lembaga yang
berwenang. Kewajiban disini merupakan keharusan untuk mentaati hukum
yang disebut wajib hukum (rechtsplicht), misalnya mempunyai mobil wajib
membayar pajak mobil. Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan bentuk-
bentuk dari prestasi yaitu:
1) Memberikan sesuatu;
2) Berbuat sesuatu;
3) Tidak berbuat sesuatu
Ketiga prestasi tersebut diatas mengandung 2 dua unsur penting:
46
1) Berhubungan dengan persoalan tanggungjawab hukum atas
pelaksanaan prestasi tersebut oleh pihak yang berkewajiban (schuld).
2) Berhubungan dengan pertanggungjawaban pemenuhan tanpa
memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban untuk memenuhi
kewajiban tersebut (Haftung).
Schuld merupakan suatu kewajiban debitur untuk membayar utang, sedangkan
haftung adalah suatu kewajiban debitur membiarkan harta kekayaannya
diambil oleh kreditur sebanyak hutang debitur, untuk melunasi hutangnya
ketika debitur tidak sanggup untuk memenuhi prestasinya.
Dalam ilmu hukum perdata, disamping hak menagih hutang (vorderingsrecht),
ketika debitur tidak sanggup untuk memenuhi kewajiban membayar hutangnya
maka kreditur mempunyai hak untuk menagih kekayaan debitur sebesar
piutang dari debitur itu (verhaalsrecht). Dalam terminologi hukum perikatan
salah satunya adalah hukum perjanjian. Perkembangan dari doktrin ilmu
hukum dikenal dengan adanya tiga unsur dalam perjajian, yaitu:
1) Unsur Esensialia Perjanjian adalah yang dalam perjanjian mewakili
ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh
salah satu pihak, mencerminkan sifat perjanjian tersebut, yang
membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur
esensialia ini pada umumnya digunakan dalam hal memberikan
rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian.
2) Unsur Naturalia Perjanjian yaitu unsur yang pasti ada dalam suatu
perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti.
47
Misalnya, dalam perjanjian yang mengandung unsur esensialia jual
beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual
untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat
tersembunyi. Ketentuan ini tidak dapat disimpangkan oleh para pihak,
karena sifat dari jual beli menghendaki hal yang demikian.
3) Unsur Aksidentalia Perjanjian yaitu unsur pelengkap dalam suatu
perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur
secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para
pihak, merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-
sama oleh para pihak.
Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya
bersifat timbal balik, hal ini dikatakan dalam mengkritisi pasal 1313 KUHPerdata
yang menjelaskan bahwa “perjanjian tentang perjanjian adalah perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih”. KUHPerdata membedakan dengan jelas antara
perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang.
Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh
para pihak, akan tetapi hubungan dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-
undang. Pada umumnya semua perjanjian akan berakhir ketika semua prestasi telah
dilaksanakan sesuai dengan yang disepakati. Pemenuhan perjanjian atau hal-hal
yang harus dilaksanakan disebut prestasi dengan terlaksana prestasi kewajiban-
kewajiban para pihak berakhir, sebaliknya apabila debitur tidak melaksanakannya,
hal tersebut disebut wanprestasi. Ada 4 macam bentuk dari wanprestasi, yaitu:
48
1) Tidak berprestasi sama sekali atau berprestasi tapi tidak bermanfaat bagi
atau tidak dapat diperbaiki.
2) Terlambat memenuhi prestasi.
3) Memenuhi prestasi secara tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya.
4) Melakukan sesuatu namun menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.8
Mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dalam suatu perjanjian adalah dikarenakan
dua hal, yaitu:
1) Kesalahan debitur karena: disengaja dan/atau lalai.
2) Keadaan memaksa 9
Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu
diperhatikan apakah dalam perikatan yang telah disepakati menentukan tenggang
waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu
pelaksanaan pemenuhan prestasi “tidak ditentukan”, maka kreditur perlu untuk
memperingati debitur untuk memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan
tanggang waktunya, menurut ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan:
“debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau
berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan
debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”, maka debitur
dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam
perikatan. Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah
sebagai berikut:
8Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Cet. I, Penerbit Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, h. 80.
9 Ibid.
49
1) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau biasa dinamakan ganti
rugi.
2) Pembatalan perjanjian atau dinamakan pemecahan perjanjian.
3) Peralihan risiko, membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan
didepan hakim.10
1.1.2. Asas-Asas dalam Perikatan
Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan
latar belakang peraturan konkrit terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum
positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum
dalam peraturan yang konkrit tersebut. Dengan demikian, asas hukum merupakan
pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau
keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim yang
merupakan ciri-ciri dari peraturan konkrit tersebut. Pasal 1233 KUHPerdata
menetukan bahwa perikatan dapat terjadi, baik karena perjanjian maupun karena
Undang-Undang. Dengan kata lain, sumber perikatan adalah Undang-Undang dan
perjanjian. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perikatan, yaitu asas
kebebasan berkontrak, asas konsensualisme dan asas pacta sunt-servanda. Di
samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.
1. Asas kebebasan berkontrak
10R. Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Cet. XII, Intermasa, Jakarta, h. 67.
50
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang sangat penting bagi
hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum
biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang mebuatnya. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan
kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang
berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmad Miru,
yaitu:11
1) Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
2) Bebas menetukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
3) Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
4) Bebas menentukan bentuk perjanjian; dan
5) Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak menjadi dasar untuk menjamin kebebasan orang
dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III
KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para
pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap
pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.
2. Asas konsensualisme
11Ahmad Miru, 2001, Hukum Kontrak Perancangan kontrak, Rasi Grafindo Persada,
Jakarta , h. 4.
51
Asas konsensualisme dalam hukum perjanjian ini memandang bahwa
sebuah perjanjian disebut sah apabila ada kesepakatan, yakni persesuaian
antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Menurut asas ini lahirnya suatu perjanjian ketika para pihak mencapai kata
sepakat mengenai pokok-pokok perjanjian. Walaupun terkadang undang-
undang menetapkan bahwa sahnya suatu perjanjian harus dilakukan secara
tertulis atau harus dibuat dengan akta oleh pejabat yang berwenang. Bentuk
konsensualisme adalah suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, salah
satunya dengan adanya pembubuhan tanda tangan dari para pihak yang
melakukan perjanjian tersebut. Tanda tangan berfungsi sebagai bentuk
kesepakatan dan bentuk persetujuan atas tempat, waktu, dan isi perjanjian
yang dibuat. Tanda tangan juga berkaitan dengan kesengajaan para pihak
untuk membuat suatu perjanjian sebagai bukti atas suatu peristiwa.
3. Asas Pacta Sunt-Servanda
Asas ini berkaitan dengan kekuatan mengikatnya perjanjian. Mengikat
sebagai undang-undang memiliki makna bahwa, para pihak yang mebuat
perjanjian wajib menaati perjanjian sebagaimana mereka menaati undang-
undang. Dan pihak ketiga termasuk hakim, wajib menghormati perjanjian
tersebut, juga tidak mencampuri isi perjanjian yang telah ditetapkan oleh
para pihak. Tidak mencampuri isi hukum perjanjian artinya pihak ketiga
tidak boleh menambah atau mengurangi isi perjanjian dan tidak boleh
menghilangkan kewajiban-kewajiban kontraktual yang timbul dari
perjanjian tersebut. Karena para pihak wajib mentaati isi perjanjian yang
52
mereka buat, akibatnya perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara
sepihak. Jika akan ditarik kembali, harus dengan kesepakatan para pihak
atau dengan alas an undang-undang yang menyatakan cukup untuk itu. Asas
kepastian hukum akan dapat dipertahankan sepenuhnya, jika para pihak
dalam perjanjian, kedudukannya seimbang dan para pihak sama-sama cakap
melakukan perbuatan hukum.
4. Asas itikad baik
Asas itikad baik terkandung dalam pasal 1338 KUHPerdata yang meyatakan
bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini
berkenaan dengan pelaksana perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun
kreditur. Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam
hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian
seperti yang diatur dalam pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).12
5. Asas kepribadian
Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang
terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan 1340
KUHPerdata. Pada pasal 1315 dinyatakan bahwa pada umumnya tak
seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya, Pasal 1340
dinyatakan bahwa perjanjianperjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak
yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat
kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317. Oleh
12R. Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 42.
53
karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan
tidak dapat mengikat pihak lain. Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.
1.1.3. Jenis-Jenis Perikatan
Di Indonesia, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan teori-teori
dalam ilmu hukum, terdapat beberapa jenis perikatan yaitu:
1. Perikatan Murni (Perikatan Bersahaja):
Perikatan apabila masing-masing pihak hanya satu orang dan sesuatu yang
dapat dituntut hanya berupa satu hal prestasi. Perikatan ini dapat dilakukan
seketika, misalnya: ketika di pasar terjadi perikatan.
2. Perikatan Bersyarat (Pasal 1253 – 1267 BW)
Perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya digantungkan kepada suatu
peristiwa yang belum dan tidak tentu akan terjadi. Dibedakan menjadi:
1) Syarat Tangguh
Perikatan yang lahirnya digantungkan kepada terjadinya peristiwa
itu.Artinya apabila syarat tersebut dipenuhi, maka perikatannya
menjadi berlaku. Contoh: A janji ke B kalau dia lulus akan
memberikan mobilnya.
2) Syarat Batal
Suatu perikatan yang sudah ada, yang berakhirnya digantungkan
kepada peristiwa itu. Artinya apabila syarat tersebut dipenuhi, maka
perikatannya menjadi putus atau batal. Contoh: A akan menyewakan
rumahnya ke B asal tidak dipakai untuk gudang. Jika B
menggunakan rumah tersebut untuk gudang, maka syarat itu telah
54
terpenuhi dan perikatan menjadi putus atau batal dan pemulihan
dalam keadaan semula seperti tidak pernah terjadi perikatan.
3. Perikatan dengan Ketetapan Waktu (Pasal 1268 – 1271 BW)
Perikatan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai pada suatu waktu
yang ditentukan yang pasti akan tiba. Contoh: A berjanji memberikan
motornya kepada B pada tanggal 1 Januari tahun depan. Perbedaan
perikatan dengan ketetapan waktu dengan perikatan bersyarat adalahadanya
kepastian waktu itu akan datang.
4. Perikatan Alternatif/Mana Suka (Pasal 1272 – 1277 BW)
Perikatan dimana debitur dibebaskan untuk memenuhi satu dari dua atau
lebih prestasi yang disebutkan dalam perjanjian.
5. Perikatan Tanggung Menanggung (Tanggung Renteng) (Pasal 1278 – 1295
BW)
Perikatan dimana debitur dan/atau kreditur terdiri dari beberapa orang.
Dengan dipenuhinya seluruh prestasi oleh salah seorang debitur kepada
kreditur, maka perikatannya menjadi hapus. Contoh:Jika A dan B bersama-
sama mempunyai piutang Rp.1000 kepada X. Artinya, A dan B masing-
masing dapat menuntut kepada X Rp.500,00.Sebaliknya, X dan Y hutang
kepada A, sehingga A dapat menuntut kepada X dan Y masing-masing
setengah bagian dari hutang itu.
6. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi (Pasal 1296 – 1303 BW)
Perikatan yang Dapat Dibagi adalah perikatan yang prestasinya dapat
dibagi, pembagian mana tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi
55
tersebut. Sedangkan Perikatan yang Tidak Dapat Dibagi adalah Perikatan
yang prestasinya tidak dapat dibagi. Dapat atau tidak dapat dibagi
ditentukan oleh sifat barangnya dapat dibagi atau tidak, misal: yang dapat
dibagi: beras, dan yang tidak dapat dibagi: kuda.
7. Perikatan dengan ancaman Hukuman (Pasal 1304 – 1312 BW)
Perikatan dimana ditentukan bahwa debitur akan dikenakan suatu hukuman
apabila ia tidak melaksanakan perikatan (terdapat sanksi/denda). Tujuan
adanya sanksi/denda:
1) Menjadi pendorong bagi si berutang supaya memenuhi
kewajibannya.
2) Untuk memberikan pembuktian tentang jumlahnya atau besarnya
kerugian yang dideritanya.
8. Perikatan Generik dan Perikatan Spesifik
Perikatan Generik merupakan Perikatan dimana obyeknya hanya ditentukan
jenis dan jumlah barang yang harus diserahkan debitur kepada kreditur.
Misalnya: penyerahan beras sebanyak 10 kg. Perikatan Spesifik adalah
Perikatan dimana obyeknya ditentukan secara terinci, sehingga tampak ciri-
ciri khususnya. Misalnya: debitur diwajibkan menyerahkan beras sebanyak
10 kg dari Cianjur dengan kualitas nomor 1.
9. Perikatan Perdata dan Perikatan Alami
Perikatan Perdata adalah Perikatan dimana pemenuhan hutangnya dapat
dituntut pelaksanaannya dimuka pengadilan. Perikatan Alami merupakan
Perikatan dimana pemenuhan hutangnya tidak dapat dituntut
56
pelaksanaannya dimuka pengadilan. Contoh: utang yang timbul dari
perjudian atau pembayaran bunga yang tidak diperjanjikan.13
2.2. Kredit
2.2.1. Pengertian dan Prinsip Pemberian Kredit
Istilah kredit bukan hal yang asing lagi dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat. Kata “kredit” berasal dari bahasa Romawi yaitu “Credere” yang
artinya adalah “percaya”. Jika dikaitkan dengan tugas bank, maka terkandung
pengertian bahwa bank selaku kreditur mempunyai kepercayaan untuk
meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah (debitur) karena debitur dapat
dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka
waktu yang ditentukan.14 Pasal 1 angka 11 UU Perbankan menyatakan: “Kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Beberapa ahli mempunyai pendapat yang berbeda mengenai pengertian
kredit, antara lain:
1. Menurut Raymond P.Kent mengatakan bahwa: Kredit adalah hak untuk
menerima pembayaran kewajiban untuk melakukan pembayaran pada
waktu diminta, atau pada waktu yang akan datang, karena penyerahan
barang-barang sekarang.15
13Titik Triwulan Tutik. 2006. Pengantar Hukum Perdata. Prestasi Pustaka: Jakarta.
14Gatot Supramono, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit, Jakarta, Rineka Cipta, h. 152. 15Ibid., h..163.
57
2. Menurut Achmad Anwari dalam bukunya Praktek Perbankan di Indonesia
memberikan pengertian kredit yakni “suatu pemberian prestasi oleh suatu
pihak kepada pihak lain dan prestasi (jasa) itu akan dikembalikan lagi pada
waktu tertentu yang akan datang dengan disertai suatu kontra prestasi (balas
jasa) yang berupa bunga”.16
Berdasarkan pengertian kredit diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kredit atau
pembiayaan dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang.
Kemudian hal yang penting dalam pemberian kredit yaitu adanya kesepakatan
antara kreditur dengan debitur, bahwa mereka sepakat sesuai dengan perjanjian
yang telah dibuat. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka unsur-unsur yang
terdapat dalam pemberian kredit adalah:
1. Kepercayaan, yaitu keyakinan si pemberi kredit (bank) bahwa prestasi
(uang) yang diberikan akan benar-benar diterima kembali dari si penerima
kredit pada suatu masa yang akan datang.
2. Waktu, yaitu jangka waktu antara saat pemberian prestasi dengan saat
pengembaliannya. Dalam unsur waktu ini terkandung pengertian tentang
nilai agio uang yaitu nilai uang sekarang lebih berharga daripada uang di
masa yang datang.
3. Resiko, yaitu risiko sebagai akibat yang akan dapat timbul pada pemberian
kredit. Guna menghindari risiko, maka sebelum kredit diberikan harus
dilakukan penilaian secara cermat dan dilindungi dengan agunan/jaminan
kredit sebagai benteng terakhir dalam pengamanan kredit.
16Achmad Anwari, 1983, Praktek Perbankan di Indonesia, Balai Aksara, Jakarta, h. 14.
58
4. Prestasi, dalam hubungannya dengan pemberian kredit. Yang dimaksud
dengan prestasi adalah uang.17
Tanpa mengkesampingkan unsur-unsur yang lain, unsur yang terpenting dalam
suatu pemberian kredit adalah kepercayaan. Untuk memperoleh kepercayaan
tersebut haruslah sampai pada suatu keyakinan sejauh mana konsep penilaian kredit
dapat terpenuhi dengan baik.
Bank dalam memberikan pinjaman kepada pihak debitur, bank tersebut
membutuhkan penilaian kredit dalam bentuk analisis kredit untuk membantu
menentukan resiko yang ada atau yang mungkin terjadi dari pinjaman yang
diberikan. Untuk itu analisis kredit sangat penting dan berguna untuk:
1. Menentukan berbagai resiko yang akan dihadapi oleh bank dalam
memberikan kredit kepada seseorang atau badan usaha.
2. Mengantisipasi kemungkinan pelunasan kredit tersebut karena bank telah
mengetahui kemampuan pelunasan melalui analisis cashflow usaha debitur.
3. Mengetahui jenis kredit, jumlah kredit dan jangka waktu kredit yang
dibutuhkan oleh usaha debitur, sehingga bank dapat melakukan
penyesuaian dengan struktur dana yang dipersiapkan untuk digunakan.
4. Mengetahui kemampuan dan kemauan debitur untuk melunasi kreditnya,
baik dari sumber pelunasan primer maupun sekunder.
17Mohammad Djohan, 1990, Perbankan di Indonesia, Gramedia, Jakarta, h. 5.
59
Dalam melakukan setiap usahanya, bank wajib memperhatikan prinsip kehati-
hatian (prudent principle).18 Hal tersebut tidak terkecuali dalam usaha penyaluran
kredit. Bank Indonesia menerbitkan ketentuan-ketentuan yang harus ditaati oleh
bank sebagai upaya untuk meminimalisasi risiko akibat kredit dan berkenaan
dengan prinsip kehati-hatian bank. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain
penentuan Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK), Rasio kredit terhadap
simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR), Rasio kecukupan modal (Capital
Adequacy Ratio/CAR), alokasi jumlah kredit untuk golongan usaha tertentu dan
batas minimum perolehan bank.19
Disadari bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko,
sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan
yang sehat. Bank harus memperoleh keyakinan bahwa kredit yang disalurkannya
tersebut dapat dikembalikan kembali oleh debitur tepat pada waktunya. Untuk
memperoleh keyakinan tersebut, bagi calon debitur harus memenuhi lima syarat
yang biasa dikenal dengan istilah 5C, yaitu sebagai berikut:
1. Watak (Character), yaitu sifat atau watak pribadi debitur untuk memperoleh
kredit, misalnya kejujuran, sikap motivasi usaha, dan lain sebagainya.
2. Modal (Capital), adalah kemampuan modal yang dimiliki dalam rangka
untuk memenuhi kewajiban tepat pada waktunya, terutama dalam hal
likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan soliditasnya.
18Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva
Produktif, SK No.30/267/KEP/DIR/1998, ps. 2.
19Rachmat Firdaus dan Maya Ariyani, 2004, Manajemen Perkreditan Bank Umum,
Alfabeta, Bandung, h. 44.
60
3. Kemampuan (Capacity), adalah kemampuan debitur untuk melaksanakan
kegiatan usaha atau menggunakan dana/kredit dan mengembalikannya.
4. Agunan (Collateral), adalah jaminan yang harus disediakan sebagai
pertanggungjawaban bila debitur tidak dapat melunasi utangnya.
5. Prospek Usaha (Condition of economic), adalah keadaan ekonomi suatu
Negara secara keseluruhan yang memengaruhi kebijakan pemerintah di
bidang moneter, khususnya berhubungan dengan kredit perbankan.
Character atau karakter adalah faktor yang sangat penting untuk
dipertimbangkan ketika kreditur ingin memberikan kredit. Apabila debitur tidak
jujur, curang, ataupun incompetence, maka kredit tidak akan diberikan tanpa harus
memperhatikan faktor-faktor lainnya. Debitur yang tidak jujur ataupun curang akan
selalu mencari jalan untuk mengambil keuntungan. Seorang debitur yang
incompetence menjalankan bisnis tidak diragukan lagi akan menjalankan bisnisnya
dengan buruk, dan hasilnya kreditur yang memberikan kredit akan mempunyai
resiko tinggi. Jika debitur tidak ingin membayar kembali kreditnya, kemungkinan
ia akan mencari jalan untuk menghindari membayar kembali. Untuk itu, penilaian
karakter debitur harus ditentukan sejak ia memulai langkah pertama untuk
mendapatkan pinjaman.20
Capital berhubungan dengan kekuatan keuangan dari calon debitur. Melalui
laporan aset dan pasiva yang akurat dapat digunakan sebagai cara untuk
menentukan apakah modal seseorang itu memuaskan. Beberapa lembaga pinjaman
20Zulkarnain Sitompul, 2004, Kendala dan Masalah Perbankan, Makalah yang
disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi Staf PT Bank NISP Tbk, Jakarta, h.
.2.
61
mempunyai aturan-aturan pinjaman yang memuat batas rasio maksimal aset dan
pasiva.21
Conditions, dapat dilihat melalui dua kategori, yaitu kondisi internal dan
kondisi eksternal yang akan mempengaruhi kemampuan debitur untuk
mengembalikan. Bank maupun debitur menyusun kontrak yang memuat hal-hal
yang berkaitan dengan kredit, biaya dan bunga dan bank memiliki hak untuk
mengetahui tujuan dari pinjaman. Hal ini membantu bank menilai resiko dari
pinjaman, tipe dari produk pinjaman dan keamanan apa yang diperlukan.
Pemberian kredit untuk tujuan yang membahayakan lingkungan tidak akan lolos
dari pemberian kredit oleh bank karena termasuk dalam kegiatan kredit untuk
tujuan yang illegal.22
Collateral atau agunan diperlukan oleh pihak kreditur untuk menanggung
apabila terjadi kemacetan pembayaran. Pada umumnya calon debitur diminta untuk
menyediakan jaminan berupa agunan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit
atau pembiayaan yang diterimanya. Fungsi agunan adalah sebagai jaminan
tambahan.
Apabila menemukan kesulitan dengan melakukan penilaian calon debitur
menggunakan prinsip 5 C dapat diatasi dengan adanya skim penjaminan atau skim
asuransi kredit. Adanya skim tersebut membuat bank atau kredit lebih mudah
menilai risiko yang mungkin diterima atas pemberian kredit yang diberikan.23
21Ibid., h.2.
22P.M. Weaver dan C.D. Kingsley, 2001, Banking & Lending Practice, Cet. I, Lawbook
Co., Sydney, h. 97. 23Ibid.
62
Kredit dari sudut pandang pihak bank merupakan sumber pendapatan dan
memberikan kontribusi bagi pendapatan bank secara keseluruhan. Akan tetapi, dari
sisi debitur, kredit dapat bersifat penyembuh bahkan dapat juga mematikan. Alasan
yang dapat diberikan atas pernyataan tersebut dikarenakan bila kredit yang
diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan debitur, maka kredit tersebut tidak
bermanfaat karena tidak cukup untuk membiayai usaha debitur, sehingga usaha
debitur juga tidak jalan. Pada akhirnya mengakibatkan jangka waktu berakhirnya
kredit tidak dapat diselesaikan sebagaiman seharusnya. Demikian juga apabila
berlebih diberikan akan mematikan debitur, karena keuntungan atas obyek yang
dibiayai tidak mencukupi untuk membayar kewajibannya kepada bank sehingga
memberi peluang dana yang diberikan tidak digunakan sebagaimana seharusnya.24
Kegiatan kredit merupakan bagian pembentukan aset bank. Kredit
merupakan dasar aset yang beresiko bagi bank karena aset-aset tersebut dikuasai
oleh pihak eksternal yaitu debitur. Setiap bank menginginkan kualitas aset yang
berisiko tersebut sehat, produktif, dan collectable. Namun setiap kredit yang
dikeluarkan oleh bank selalu ada resiko berupaka kredit macet atau kredit
bermasalah atau Non Performing Loan (NPL). Bank tidak dapat menghindari
adanya kredit macet akan tetapi bank hanya bisa menekan seminimal mungkin
adanya kredit macet tersebut agar tidak melebihi ketentuan Bank Indonesia sebagai
Pengawas Perbankan.25
2.2.2. Pedoman Kebijakan Pemberian Kredit oleh Bank
24 Ibid. 25Sutarno, 2004, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Cet. II, Alfabeta, Bandung
, h. 263.
63
Bank juga mempunyai Pedoman Kebijakan Perkreditan Bank sebagaimana
yang diamanatkan oleh Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
27/162/KEP/Dir.31 Maret 1995 tentang Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan
Perkreditan Bank (PPKPB). PPKPB tersebut mengatur mengenai bagaimana cara
memberikan kredit (prosedur), bagaimana cara memonitori kredit dan bagaimana
menyelematkan kredit bermasalah. Suatu kebijakan perkreditan bank minimal
memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:26
1. Portofolio kredit yang sehat.
2. Organisasi dan manajemen perkreditan.
3. Kebijakan persetujuan kredit.
4. Administrasi dan dokumentasi kredit.
5. Monitoring dan pengawasan kredit.
6. Penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah.
Untuk menghindari dampak dari risiko kredit maka diperlukan berbagai
kebijakan, risiko yang mungkin terjadi antara lain risiko usaha, risiko geografis,
risiko keramaian/keamanan/tawuran/perkelahian, risiko politik/kebijakan
pemerintah, risiko ketidakpastian dan risiko lainnya.27
Tiap bank memiliki kebebasan dalam mekanisme penyaluran kredit dengan
tetap memperhatikan prinsip dan pedoman kebijakan dalam perkreditan bank,
seperti yang dijabarkan di atas. Mekanisme pemberian kredit merupakan tahap yang
harus dilalui sebelum suatu kredit diputuskan untuk diberikan.28 Mekanisme
26Rachmat Firdaus dan Maya Ariyani, 2001, Manajemen Perkreditan Bank Umum,
Alfabeta, Bandung, h. 41. 27Ibid., h. 36.
64
pemberian kredit meliputi persiapan kredit, analisis atau penilaian kredit, keputusan
kredit, pelaksanaan dan administrasi kredit, supervisi kredit dan pembinaan
debitur.29 Tahap –tahap pemberian kredit yang harus diajukan sebagai permohonan
kredit sampai dengan luasnya kredit yang diberikan oleh bank tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Permohonan Kredit
Nasabah yang menginginkan fasilitas kredit harus melampirkan berkas
permohonan kredit yang terdiri dari surat permohonan yang ditandatangani
secara lengkap dan sah, daftar isian yang disediakan oleh bank dan diisi
dengan benar dan lengkap oleh nasabah serta daftar lampiran lainnya. Surat
permohonan yang diterima harus dalam register khusus yang disediakan dan
dinyatakan lengkap jika telah memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Berkas permohonan harus dipelihara dalam selama dalam proses dan bank
biasanya menggunakan Daftar Isian Permohonan Kredit untuk
memudahkan bank memperoleh data yang diperlukan.
2. Analisis Kredit
Analisis kredit meliputi wawancara dengan pemohon, pengumpulan data
yang berhubungan dengan kredit, pemeriksaan atau penyidikan atas
kebenaran dan kewajaran hal-hal yang dikemukakan nasabah dan
penyusunan laporan mengenai hasil penyelidikan. Kegiatan analisis yang
harus dilakukan dalam pemberian kredit antara lain:
28Ibid., h. 35.
29Ibid., h. 91.
65
1) Mempersiapkan pekerjaan dari segala aspek untuk
mempertimbangkan apakah permohonan kredit.
2) Menyusun laporan analisis yang diperlukan, berisi penguraian dan
kesimpulan serta penyajian alternatif sebagai bahan pertimbangan
untuk pengambilan keputusan dari permohonan kredit nasabah.
Setelah memperoleh data pokoknya maka yang harus dikerjakan adalah:
1) Penelitian data debitur;
2) Penelitian atas realisasi-realisasi usaha debitur;
3) Penelitian atas rencana-rencana usaha debitur;
4) Penelitian dan penilaian barang jaminan tambahan debitur;
5) Penelitian pendahuluan atas laporan keuangan (financial statement)
debitur;
6) Analisis kebutuhan modal kerja debitur;
7) Analisis kebutuhan investasi debitur.
3. Keputusan atas Permohonan Kredit
Kepala Bagian Kredit/ Cabang adalah pihak yang berhak mengambil
keputusan untuk menyetujui permohonan kredit tanpa mengusulkan terlebih
dahulu kepada kantor pusat karena sudah sesuai dengan jenis yang telah
dilakukan, tapi jika permohonan diluar batas wewenangnya maka harus
diusulkan terlebih dahulu kepada kantor pusat melalui surat dan Bank
Indonesia juga dapat memberikan keputusan sesuai dengan wewenang yang
ditentukan. Keputusan permohonan kredit harus memperhatikan penilaian
66
atas syarat-syarat umum dan tercantum dalam laporan pemeriksaan kredit
dan analisi kredit serta bahan pertimbangan yang harus dibubuhkan secara
tertulis (disposisi).
4. Penolakan Permohonan Kredit
Permohonan kredit dapat ditolak oleh bagian Kredit/Cabang yang secara
jelas dianggap tidak memenuhi persyaratan dan harus disampaikan kepada
nasabah secara tertulis dengan disertai alasan penolakannya atau setelah
mendapat keputusan penolakan dari Direksi.
5. Persetujuan Permohonan Kredit
Bank dapat memberikan persetujuan baik sebagian maupun seluruhnya
permohonan kredit dari calon nasabah debitur tetapi akan ditegaskan lebih
dulu mengenai syarat-syarat fasilitas kredit dan prosedur yang harus
ditempuh oleh nasabah dalam rangka melindungi kepentingan bank.
Adapun langkah-langkah yang harus dijalani adalah:
1) Surat penegasan persetujuan permohonan kredit kepada pemohon
dibuat secara tertulis dan dalam lima rangkap. Surat ini merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari surat perjanjian kredit
karena dengan tegas telah disebutkan nomor dan tanggalnya.
2) Pengikatan jaminan.
3) Penandatanganan perjanjian kredit.
4) Penandatanganan surat aksep.
5) Membuat informasi untuk bagian lain, misalnya bagian kas dan
bagian ekspor/impor.
67
6) Pembayaran bea materai kredit.
7) Pembayaran provisi kredit atau commitment fee.
8) Mengasuransikan barang jaminan.
9) Membuat asuransi kredit.
6. Pencairan Fasilitas Kredit
Bank hanya menyetujui pencairan kredit oleh nasabah bila syarat-syarat
yang harus dipenuhi nasabah telah dilaksanakan. Pengikatan jaminan secara
sempurna dan penandatanganan warkat-warkat kredit (perjanjian kredit atau
surat aksep borgtocht) mutlak harus mendahului pencairan kredit. Dalam
prakteknya, pencairan kredit berupa pembayaran dan/atau pemindahbukuan
atas beban rekening pinjaman atau fasilitas lainnya, dengan cara antara lain
menarik cek atau giro bilyet, kuitansi maupun dengan dokumen lainnya.
Setelah itu harus dilakukan verifikasi yang meliputi pencocokan dan
keabsahan pencairan, jumlah dan syarat lainnya.
7. Pelunasan Fasilitas Kredit
Dengan dipenuhinya semua kewajiban nasabah terhadap bank berarti kredit
tersebut telah lunas dan berakibat hapusnya ikatan perjanjian kredit.
2.2.3. Kreditur dan Debitur
Penggunaan istilah kreditur dan debitur dapat menimbulkan kebingungan
dan perdebatan. Berdasarkan penelusuran terhadap berbagai peraturan perundang-
undangan di Indonesia, literatur maupun kamus terkait penggunaan istilah pihak
yang berutang atau yang memberi utang. Berikut di bawah ini antara lain
penggunaan istilah-istilah tersebut dari beberapa sumber:
68
1. Istilah Debitor dan/ atau Kreditor, terdapat dalam:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan;
3) Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer Drs Peter Salim MA &
Yenny Salim;
4) Pasal 1 angka 2 dan 3 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 4
tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;
5) Pasal 1 angka 2 dan 3 Undang-Undang Republik Indonesia nomor
37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
2. Istilah Debitur dan/ atau Kreditur, terdapat di dalam Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Sistem hukum Indonesia yang merupakan peninggalan hukum Belanda,
banyak menyerap istilah-istilah dari Bahasa Belanda langsung ke dalam Bahasa
Indonesia. Seperti halnya istilah debitor dalam Bahasa Belanda yang
dituliskan debiteur dapat diartikan sebagai debitor/debitur (Kamus Hukum
Belanda-Indonesia).
Istilah yang tepat digunakan sesuai dengan kacamata hukum adalah istilah
yang mendasarkan pada peraturan perundang-undangan terkait (dalam hal ini
terkait penggunaan istilah pihak yang berutang (debitur) dan pihak yang berpiutang
(kreditur). Namun, secara prinsip perbedaan penggunaan istilah tersebut tidak
69
memberikan pengaruh secara hukum karena keduanya memiliki arti yang sama
yakni, debitur/debitor adalah pihak yang memiliki utang, sedangkan
kreditur/kreditor adalah pihak yang memiliki piutang.
Dalam penyebutan pihak yang berutang atau yang memberi utang dalam
bidang perbankan dikenal istilah Debitur atau Kreditur. Pasal 1 angka 2 dan 3
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan:
1. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.
2. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”.
Pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam hukum perjanjian dijamin
oleh undang-undang. Pengaturan tentang hak dan kewajiban kreditur dan debitur
dalam perjanjian mencerminkan sejumlah asas yang menjadi prinsip-prinsip atau
asas-asas perjanjian. Dalam terminologi hukum, hak dan kewajiban merupakan
sesuatu yang seharusnya diterima atau dilaksanakan atas suatu objek yang
diperjanjikan. Objek perjanjian dalam hukum perikatan merupakan sesuatu yang
menjadi tujuan para pihak. Pelaksanaan hak dan kewajiban dalam hukum perikatan
disebut prestasi. Melihat pentingnya hak maupun kewajiban dari debitur dan
kreditur, adapun hak kewajiban debitur dan kreditur dalam suatu perjanjian kredit
atau dalam meminjam kredit di bank meliputi:
1. Debitur
1) Hak-hak yang dimiliki seorang debitur:
70
a. Menerima sejumlah dana yang dipinjam dari pihak kreditur.
b. Memakai dana sesuai dengan peruntukannya.
2) Kewajiban-kewajiban yang dimiliki seorang debitur:
a. Melakukan pembayaran kredit sesuai dengan tanggal yang
disepakati
b. Membayar denda dan biaya administrasi lainnya apabila
terlambat dalam membayar kredit.
c. Menyerahkan hak kebendaan dari benda jaminan hutang.
2. Kreditur:
1) Hak-hak yang dimiliki seorang kreditur:
a. Menerima pembayaran hutang debitur.
b. Menetapkan sejumlah biaya dari proses hutang piutang
debitur.
c. Menetapkan denda atas keterlambatan pembayaran debitur.
d. Menguasai objek jaminan hutang.
2) Kewajiban-kewajiban yang dimiliki seorang kreditur:
a. Menyerahkan sejumlah dana yang dipinjam oleh debitur.
b. Mengelola penguasaan hak kebendaan secara baik.
2.2.4. Jaminan Dalam Pemberian Kredit oleh Bank
Memberikan jaminan kredit pada dasarnya adalah suatu kegiatan pemberian
jaminan kepada kreditur atas kredit atau pembiayaan yang disalurkan akibat tidak
71
dipenuhinya syarat angunan yang ditetapkan pihak kreditur.30 Jaminan merupakan
terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie
mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya,
disamping pertanggungan jawab umum debitur terhadap barang-barangnya.
Sehingga dalam kesimpulanya bahwa pengertian jaminan adalah menjamin
dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu
perikatan hukum. Oleh karena itu, hukum jaminan erat sekali dengan hukum
benda.31
Jaminan menurut Hadisoeprepto Hartono yakni sesuatu yang diberikan
kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.32
Pengertian jaminan yang juga dikemukakan oleh M. Bahsan yaitu jaminan adalah
segala sesuatu yang diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu
hutang piutang dalam masyarakat.33 Jaminan sangat penting kedudukannya
didalam pemberian suatu kredit terhadap debitur atapun calon peminjam dana pada
suatu bank, sehingga didalam pemberian kredit tersebut tidak terlepas untuk
memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat termasuk resiko yang harus
dihadapi atas pengembalian kredit. Oleh karena itu jaminan disini memberikan
30Nasroen Yasabari dan Nina Kurnia Dewi, 2007, Penjaminan Kredit, Alumni, Bandung,
h. 13.
31Mariam Darus Badrulzaman, 1987, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan
Fidusia, Alumni, Bandung, h. 227.
32Hadisoeprapto Hartono, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan,
Liberty, Yogyakarta, h. 70.
33M. Bahsan, 2002, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rejeki Agung,
Jakarta, h. 148.
72
keyakinan terhadap kreditur karena jaminan merupakan suatu unsur di dalam
jaminan kredit atas kemampuan debitur untuk mengembalikan utangnya.
Hukum Perdata materiil mengenal dan mengatur tentang lembaga-lembaga
jaminan utang. Lembaga-lembaga jaminan ini memang disediakan untuk dapat
dijadikan jaminan oleh setiap calon debitur ketika dalam hal debitur memperoleh
kredit dari kreditur. Pengertian jaminan dalam hal ini sendiri menurut Hartono
Hadisoeprapto adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan
berapa keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.34 Suatu perikatan berdasarkan
perjanjian pinjam meminjam sebaiknya disertai dengan salah satu bentuk lembaga
jaminan penyelesaian utang. KUHPerdata membedakan 2 (dua) jenis jaminan, yaitu
jaminan yang bersifat perorangan dan jaminan yang bersifat kebendaan.
Perikatan dengan jaminan perorangan dikenal sebagai penanggungan
(borgthocht), pemberian jaminan kebendaan kepada seorang kreditur tertentu,
memberikan suatu kedudukan (privelege) istimewa bagi kreditur tertentu terhadap
kreditur lainnya. Fungsi jaminan seperti ini adalah memberikan hak dan kekuasaan
kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan barang-barang
jaminan bila mana debitur tidak melunasi hutangnya pada waktu yang telah
ditentukan.35 Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa semua
kekayaan debitur baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian
hari semua menjadi jaminan atas segala hutangnya, sehingga jika debitur tidak
34Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata Indonesia, Prestasi Pustaka,
Jakarta, h. 192. 35Ibid,h. 193.
73
memenuhi kewajibannya atau ingkar janji maka semua kekayaan debitur dapat
disita dan dilelang, dari hasil tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan besar
kecilnya piutang para kreditur.
Perikatan dengan jaminan kebendaan dapat diadakan melalui pemakaian
lembaga jaminan seperti gadai, hipotik, hak tanggungan ataupun fidusia.36
Pemberian jaminan dalam suatu perikatan seperti pemberian kredit perbankan yaitu
untuk memberikan kepastian kepada kreditur bahwa debitur akan dapat melunasi
kewajibannya dari hasil penjualan barang jaminan di mana kewajiban tersebut
harus dapat dinilai dengan uang. Adanya pemberian jaminan untuk suatu perjanjian
harus diperjanjikan terlebih dahulu secara tegas, oleh karena memberikan suatu
barang sebagai jaminan berarti melepaskan sebagian dari kekuasaan barang
tersebut.
Mengacu pada jenis pinjaman yang terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu jaminan
perorangan dan jaminan kebendaan, maka agunan dapat dikelompokkan sebagai
jaminan kebendaan. Adanya UUHT terhadap peraturan mengenai pengikatan
agunan telah mengalami perubahan yang signifikan. Jaminan yang dimaksud dalam
pemberian kredit perbankan yaitu keyakinan pihak kreditur (bank) atas
kesanggupan pihak debitur untuk melunasi hutang kreditnya sesuai dengan yang
diperjanjikan, dan untuk memperoleh jaminan dalam setiap pemberian atau
pelepasan kredit, maka bank melakukan penilaian secara seksama terhadap watak,
modal, kemampuan agunan dan prospek usaha debitur (The Five of Credit
36Hadisoeprapto Hartono, op.cit. h. 134.
74
Analysis), sehingga kreditur memperoleh keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan debitur untuk melunasi kredit yang diberikan.
Pada dasarnya pihak pemberi pinjaman yaitu kreditur memberikan syarat
adanya suatu jaminan hutang yang diterima oleh debitur itu sendiri. Keharusan
dalam penyerahan jaminan tersebut sering pula terdapat pada aturan-aturan dan
syarat-syarat oleh peraturan intern pihak pemberi jaminan atau oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Fungsi Jaminan secara yuridis adalah kepastian
hukum pelunasan hutang di dalam perjanjian hutang-piutang atau kepastian
realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian, dengan mengadakan perjanjian
penjaminan melalui lembaga-lembaga jaminan yang dikenal dalam hukum
Indonesia. Fungsi jaminan itu sendiri dapat pula disimpulkan gambaran secara
umum seperti:
1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan
dengan barang-barang jaminan (agunan) tersebut, bilamana nasabah
melakukan cidera janji yaitu tidak membayar kembali hutangnya pada
waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
2. Menjamin agar nasabah berperan serta di dalam transaksi untuk membiayai
usaha atau proyeknya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha
atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat
dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk dapat berbuat
demikian diperkecil terjadinya.
3. Memberi dorongan kepada debitur (tertagih) untuk memenuhi perjanjian
kredit, khususnya mengenai pembayaran kembali (pelunasan) sesuai
75
dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar ia tidak kehilangan kekayaan
yang telah dijaminkan kepada bank.37
Hukum jaminan yang diatur dalam buku ke II KUHPerdata yang tercantum
tentang benda, hak kebendaan, warisan, tentang piutang yang diistimewakan, gadai
dan hipotik. Benda dan hak kebendaan merupakan asas dari buku ke II
KUHPerdata. Waris yang dimasukan kedalam buku ke II KUHPerdata oleh karena
pengaruh dari hukum Romawi. Piutang yang diistimewakan mempunyai hubungan
yang erat mengenai gadai dan hipotik. Buku KUHPerdata memliki sistem yang
tertutup dimana artinya adalah hak-hak kebendaan diluar dari buku ke II tidak
diperkenankan dan para pihak yang membuat perjanjian tidak bebas dalam
memperjanjikan hak kebendaan yang baru.
2.3. Surat Order
2.3.1. Pengertian dan Fungsi Surat Order
Surat adalah media komunikasi dalam bentuk tulisan yang dilakukan oleh
seseorang atau lembaga ke seseorang atau lembaga lainnya. Orang menganggap
surat sebagai utusan atau “duta” organisasi / instansi pengirim surat. Surat
dipandang sebagai citra, cermin mentalitas, jiwa, serta petunjuk kondisi intern
organisasi yang bersangkutan. Oleh sebab itu pengonsep surat dan para penata
administrasi kantor harus berhati-hati dan bersungguh-sungguh dalam menulis
surat, agar tidak menimbulkan kesan buruk atas organisasinya. Bagi masyarakat
awam, istilah surat bukanlah sesuatu yang asing. Surat digunakan oleh seseorang
37Thomas Suyatno, 2012, Fungsi Jaminan Kredit,
http://www.psychologymania.com/2012/1, Diakses pada tanggal 14 November 2016.
76
sebagai sarana penyampaian pesan tertulis untuk berbagai kepentingan , baik
pribadi, bisnis, maupun kedinasan. Dalam menulis surat, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan, diantaranya adalah: bahasa yang digunakan mudah dipahami,
menggunakan kalimat yang sederhana, isi pesannya jelas-tegas-dan tidak bertele
tele. Disamping itu, yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah jangan
lupa untuk mengunakan kertas yang masih bersih serta ukurannya sesuai dengan
maksud dan tujuan pengiriman surat. Ada banyak pengertian tentang surat tapi
semua pengertian tersebut merujuk pada inti yang sama; surat adalah sarana
telekomunikasi.
Surat merupakan alat komunikasi yang disampaikan secara tertulis, berisi
bahan informasi berupa berita, laporan, pemberitahuan, perintah, pesanan,
keputusan, undangan dan permohonan, yang lazimnya harus dikirimkan atau
disampaikan kepada pihak lain. Ada juga yang mengatakan bahwa surat adalah
sarana komunikasi untuk menyampaikan informasi tertulis oleh suatu pihak kepada
pihak lain. Ada juga yang berpendapat mengenai pengertian surat sebagai suatu
sarana untuk menyampaikan informasi secara tertulis dari pihak satu ke pihak yang
lain. Informasi dalam surat tersebut bisa berupa pemberitahuan, pernyataan,
permintaan, laporan, pemikiran, sanggahan, dan sebagainya. Sedangkan menurut
Seojito dan Solchen mendefinisikan surat sebagai berikut:
1. Ditinjau dari isinya, surat merupakan jenis karangan (komposisi) paparan-
pengarang mengemukakan maksud dan tujuannya, menjelaskan apa yang
dipikirkan dan dirasakannya.
2. Ditinjau dari wujud peraturannya, surat merupakan percakapan tertulis
77
3. Ditinjau dari fungsinya, surat adalah alat sarana komunikasi tulis.
Memang banyak pengertian surat tapi yang kita bisa menarik kesimpulan sendiri
mengenai pengertian surat itu sendiri sebagai suatu alat komunikasi tertulis yang
ditujukan menyampaikan informasi dari pihak pengirim ke pihak penerima surat.
Surat secara umum digolongkan menjadi tiga yaitu surat pribadi, surat dinas,
dan surat niaga apabila ditinjau dari segi bentuk, isi, dan bahasanya. Sedangkan
apabila digolongkan berdasarkan berdasarkan pemakaiannya dapat dibagi menjadi
tiga yaitu:
1. Surat pribadi
Surat pribadi adalah surat yang digunakan untuk kepentingan pribadi. Surat
dapat berupa korespondensi antara sesama teman atau keluarga. Ciri-ciri
surat pribadi yaitu:
1) Tidak menggunakan kop surat
2) Tidak ada nomor surat
3) Salam pembuka dan penutup bervariasi
4) Penggunaan bahasa bebas, sesuai keinginan penulis
5) Format surat bebas
2. Surat Resmi
Surat resmi adalah surat yang digunakan untuk kepentingan resmi, baik
perseorangan, instansi, maupun organisasi; misalnya undangan, surat
edaran, dan surat pemberitahuan. Ciri-ciri surat resmi:
78
1) Menggunakan kop surat apabila dikeluarkan organisasi
2) Ada nomor surat, lampiran, dan perihal
3) Menggunakan salam pembuka dan penutup yang lazim
4) Penggunaan ragam bahasa resmi
5) Menyertakan cap atau stempel dari lembaga resmi
Bagian-bagian surat resmi:
1) Kepala/kop surat yang terdiri dari:
a. Nama instansi/lembaga, ditulis dengan huruf kapital/huruf
besar.
b. Alamat instansi/lembaga, ditulis dengan variasi huruf besar
dan kecil.
c. Logo instansi/lembaga
d. Nomor surat, yakni urutan surat yang dikirimkan
e. Lampiran, berisi lembaran lain yang disertakan selain surat
f. Hal, berupa garis besar isi surat
g. Tanggal surat (penulisan di sebelah kanan sejajar dengan
nomor surat)
h. Alamat yang dituju (jangan gunakan kata kepada)
i. Pembuka/salam pembuka (diakhiri tanda koma)
j. Isi surat
k. Penutup surat
2) Penutup surat, berisi:
a. Salam penutup
79
b. Jabatan di dalam instansi terkait
c. Tanda tangan pembuat surat
d. Nama (biasanya disertai nomor induk pegawai atau NIP)
3) Tembusan surat, berupa penyertaan/pemberitahuan kepada atasan
tentang adanya suatu kegiatan
3. Surat Niaga
Surat niaga digunakan bagi badan yang menyelenggarakan kegiatan usaha
niaga seperti industri dan usaha jasa. Surat ini sangat berguna dalam
membangun hubungan dengan pihak luar sehingga harus disusun dengan
baik. Surat niaga terdiri atas surat jual beli, kwintansi, dan perdagangan; dan
dapat dibagi atas surat niaga internal dan surat niaga eksternal. Salah satu
contoh dari surat niaga adalan surat penawaran dan surat penagihan.
4. Surat Dinas
Surat dinas digunakan untuk kepentingan pekerjaan formal seperti instansi
dinas dan tugas kantor. Surat ini penting dalam pengelolaan administrasi
dalam suatu instansi. Fungsi dari surat dinas yaitu sebagai dokumen bukti
tertulis, alat pengingat berkaitan fungsinya dengan arsip, bukti sejarah atas
perkembangan instansi, dan pedoman kerja dalam bentuk surat keputusan
dan surat instruksi. Ciri-ciri surat dinas:
1) Menggunakan kop surat dan instansi atau lembaga yang
bersangkutan
2) Menggunakan nomor surat, lampiran, dan perihal
3) Menggunakan salam pembuka dan penutup yang baku
80
4) Menggunakan bahasa baku atau ragam resmi
5) Menggunakan cap atau stempel instansi atau kantor pembuat surat
6) Format surat tertentu
5. Surat Lamaran Pekerjaan
Surat lamaran pekerjaan adalah surat yang dibuat dan dikirimkan oleh
seseorang yang ingin bekerja di sebuah kantor, perusahaan ataupun instansi
tertentu. Surat lamaran pekerjaan termasuk surat dinas atau resmi. Oleh
karena itu, terdapat aturan-aturan tertentu yang harus diperhatikan dalam
penulisannya. Secara umum surat memiliki bagian-bagian seperti berikut
ini:
1) Kepala surat
2) Tempat dan tanggal pembuatan surat
3) Nomor surat
4) Lampiran
5) Hal atau perihal
6) Alamat tujuan
7) Salam pembuka
8) Isi surat yang terbagi lagi menjadi tiga bagian pokok yaitu:
a. paragraf pembuka
b. isi surat
c. paragraf penutup
d. Salam penutup
e. Tanda tangan dan nama terang
81
6. Surat Elektronik
Dengan berkembang pesatnya teknologi, jenis surat pun semakin
mengalami pembaharuan, misalnya dengan adanya surat elektronik. Surat
elektronik atau surel merupakan surat yang pengirimannya berbasis pada
penggunaan internet. Untuk mengakses surat elektronik, kita bisa memilih
ssalah satu cara. Pertama dengan menggunakan browser seperti Internet
Explorer atau Mozilla Firefox. Surel dengan basis browser biasanya
menyediakan layanan tersebut secara gratis. Kedua dengan program
pengakses surat elektronik seperti Microsoft Outlook. Keuntungannya kita
tidak harus selalu membuka internet untuk membuka surel yang ada.
Ditinjau dari fungsinya, surat adalah suatu alat atau sarana komunikasi
tertulis. Surat dipandang sebagai alat komunikasi tulis yang paling efisien, efektif,
ekonomis, dan praktis. Dibanding dengan alat komunikasi lisan, surat mempunyai
kelebihan-kelebihan. Apa yang dipublikasikan kepada pihak lain secara tertulis,
misalnya berupa pengunguman, pemberitahuan, keterangan dan sebagainya, akan
sampai pada alamat yang dituju sesuai dengan sumber aslinya. Tidak demikian
halnya jika disampaikan secara lisan. Dengan cara tersebut, sering dialami
perubahan-perubahan terutama tentang isinya, mungkin ditambah atau dikurangi,
meskipun mungkin tidak disadari.
Peranan surat lebih jelas lagi, terutama bagi surat resmi, misalnya surat
perjanjian, surat sewa menyewa rumah, surat jual beli, surat wasiat, dan surat-surat
lainya. Surat tersebut selain resmi sifatnya, juga mempunyai kekuatan hukum yang
82
dapat digunakan sebagai alat bukti tertulis, suatu bukti yang sah, ‘hitam di atas
putih’.
Surat-surat dalam arsip lama dapat dipakai sebagai bahan penelitian untuk
mengetahui bagaimana kegiatan atau keadaan pada masa yang lalu. Dalam hal ini,
surat berfungsi sebagai alat bukti historis. Surat-surat yang telah diarsipkan itu
dipakai sebagai alat pengingat.
Surat dapat juga mencerminkan corak, dala keadaam, mentalitas, jiwa, dan
nilai pejabat/jawatan/kantor yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dalam menyusun
surat hendaklah selalu berhati-hati dan berpikir secara cermat agar tidak
menimbulkan kesan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini surat sebagai data
informasi. Surat-surat resmi yang berisi ketentuan-ketentuan tentang cara-cara
melaksanakan peraturan-peraturan, misalnya surat keputusan atau intruksi, dapat
dipakai sebagai pedoman kerja oleh lembaga/pejabat yang bersangkutan. Tapi
bukan itu saja fungsi surat, ada beberapa fungsi surat diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Surat sebagai sarana komunikasi.
2. Surat sebagai alat menyampaikan pemberitahuan, permintaan, permohonan,
buah pikiran ataupun gagasan.
3. Surat sebagai alat bukti tertulis, misalkan surat perjanjian.
4. Surat sebagai alat untuk mengingat, misalkan surat yang diarsipkan.
5. Surat sebagai pedoman kerja, misalkan surat keputusan dan surat perintah.
6. Surat sebagai historis.
83
Arti order dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perintah
atau pesanan. Order yang dimaksud dalam surat order yang dikeluarkan oleh bank
adalah sebuah pesanan dalam hal meminta jasa Notaris/PPAT untuk dibuatkannya
APHT. Surat order termasuk dalam jenis surat resmi, karena ciri-ciri dan bagian
dari surat order sudah memenuhi syarat dari surat resmi. Surat order merupakan
surat yang diberikan oleh Bank kepada Notaris/PPAT untuk memberi order atau
perintah bank dalam proses pemasangan hak tanggungann terhadap jaminan yang
diberikan oleh debitur. Surat order akan sangat dibutuhkan ketika bank dan
Notaris/PPAT tidak bertemu secara langsung untuk menjamin validitas terhadap
data-data debitur serta jaminan yang akan dipasangkan hak tanggungan. Namun
ketika bank dan Notaris/PPAT sudah berhadapan secara langsung, maka perlu
dibuatkan suatu berita acara tentang adanya order dari bank untuk melakukan
pemasangan hak tanggungan. Fungsi dari surat order sama halnya dengan fungsi
surat yang sudah penulis jelaskan di atas.
2.3.2. Tinjauan Mengenai Validitas
Validitas sering diartikan dengan kebenaran atau kesasihan. Validitas yang
mempunyai kata dasar valid mempunyai arti sesuai dengan seharusnya dan diakui
kebenarannya tanpa perlu diragukan. Suatu alat ukur disebut memiliki validitas
bilamana alat ukur tersebut isinya lanyak mengukur obyek yang seharusnya diukur
dan sesuai dengan kriteria tertentu.38 Artinya ada kesesuaian antara alat ukur dengan
fungsi pengukuran dan sasaran pengukuran.
38 M. Chobib Thoha, 1990, Evaluasi Pembelajaran Kelas, Bandung, Rajawali Pers, h. 40.
84
Menurut Grondlund (Ibrahim & Wahyuni, 2012) validitas mengarah kepada
ketepatan interpretasi hasil penggunan suatu prosedur evaluasi sesuai dengan tujuan
pengukurannya. Validitas merupakan suatu keadaan apabila suatu instrument
evaluasi dapat mengukur apa yang sebenarnya harus diukur secara tepat. Suatu alat
ukur hasil belajar matematika dikatakan valid apabila alat ukur tersebut benar-benar
mengukur hasil belajar matematika.Validitas alat ukur tidak semata-mata berkaitan
dengan kedudukan alat ukur sebagai alat, tetapi terutama pada kesesuaian hasilny,
sesuai dengan tujuan penyelanggaraan alat ukur (Surapranata, 2004).
Validitas tes perlu ditentukan untuk mengetahui kualitas tes dalam
kaitannya dengan mengukur hal yang seharusnya diukur. Nunnaly (Surapranata,
2004) menyatakan bahwa pengertian validitas senantiasa dikaitkan dengan
penelitian empiris dan pembuktian-pembuktiannya bergantung kepada macam
validitas yang digunakannya. Anastasi (Surapranata, 2004) mengemukakan bahwa
validitas adalah suatu tingkatan yang menyatakan bahwa suatu alat ukur telah sesuai
dengan apa yang diukur. Para pengembang tes memiliki tanggung jawab dalam
memuat tes yang benar-benar valid dan reliabel. Oleh karena itu validitas dapat
digunakan dalam memeriksa secara langsung seberapa jauh suatu alat telah
berfungsi.
Validitas sering diartikan dengan kebenaran atau kesasihan, oleh karena itu
maka dalam membahas mengenai validitas, perlu juga untuk dibahas mengenai
keabsahan atau kata sah itu sendiri.
Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep
kesahihan data (validitas atau validity) dan keandalan (realibilitas atau reability)
85
menurut aliran “postivisme”. Dalam pandangan aliran naturalistic tidak
menggunakan istilah tersebut akan tetapi Lincon dan Guba menyatakan bahwa
dasar kepercayaan yang berbeda mengarah tuntutan pengetahuan (knowledge) dan
kriteria-kriteria yang berbeda.
Dengan kata lain dapat diistilahkan bahwa kita tidak dapat mengukur baju
dengan liter. Berdasarkan hal-hal tersebut maka paradigma keabsahan harus
menggunakan kriteria tertentu yang tentunya disesuaikan dengan tuntutan
inkuirinya sehingga pendevinisian kembali kriteria-kriteria tersebut merupakan
tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Pendefinisian kembali itu mengarah pada
teknik kontrol atau pengawasan terhadap keabsahan data yang perlu pula
direformulasikan. Untuk menentukan atau menetapkan keabsahan suatu data
(trustworthiness), diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik
pemeriksaaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Adapun empat kriteria
yang digunakan yaitu:
1. Derajat kepercayaan (credibility).
Kriterium ini berfungsi adalah untuk melaksanakan inkuiri sedemikian rupa
sehingga nantinya tingkat kepercayaan.
2. Keteralihan (Transferability),
Keteralihan sebagai persoalan bergantung pada kesamaan antara konteks
pengirim dan penerima. Untuk melakukan pengalihan tersebut seorang
peneliti mencari dan menggumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan
konteks. Dengan demikian pihak-pihak harus bertanggung jawab untuk
86
menyediakan data deskriptif secukupnya jika ingin membuat keputusan
tentang pengalihan tersebut.
3. Kebergantungan
Konsep kebergantungan lebih luas dari pada realibilitas. Hal tersebut
disebabkan peninjauan yang dari segi bahwa konsep itu diperthitungkan
segala-galanya yaitu yang ada pada realibilitas itu sendiri ditambah faktor-
faktor lainya yang terkait.
4. Kriteria Kepastian (confirmability),
Objektivitas atau subjektivitasnya sesuatu hal bergantung pada orang
seorang. Selain itu masih ada unsur kualitas yang melekat erat pada konsep
objektivitas itu. Hal itu digali dari pengertian bahwa jika sesuatu itu objek,
berarti dapat dipercaya, faktual, dan dapat dipastikan. Penilaian subjektif
berarti tidak dapat dipercaya, atau menceng. Pengertian terakhir inilah yang
dijadikan tumpuan pengalihan pengertian dari objektivitas-subjektivitas
menjadi kepastian atau keabsahan data.
2.3.3. Mekanisme Penggunaan Surat Order oleh Bank kepada Notaris/PPAT
Tahapan dalam prosedur pemberian kredit pada setiap bank, pada umumnya
tidaklah jauh berbeda, dimana setiap permohonan kredit dari calon debitur haruslah
wajib dilakukan analisisnya untuk mendapat persetujuan kreditnya. Menurut
Hasibuan bahwa prosedur penyaluran kredit antara lain dengan skema sebagai
berikut:
1. Calon debitur menulis nama, alamat, agunan, dan jumlah kredit yang
diinginkan pada formulir aplikasi permohonan kredit.
87
2. Calon debitur mengajukan jenis kredit yang diinginkan
3. Analisis kredit dengan cara mengikuti asas 5C, 7P, dan 3R dari permohonan
kredit tersebut.
4. Karyawan analisis kredit menetapkan besarnya plafond kredit atau Legal
Lending Limit (L3) atau BMPK-nya. Jika BMPK disetujui nasabah,
perjanjian kredit ditandatangani oleh kedua belah pihak.39
Sedangkan menurut Firdaus dan Ariyanti tahapan proses pemberian kredit yaitu:
1. Persiapan kredit (credit preparation) adalah kegiatan tahap permulaan
dengan maksud untuk saling mengetahui informasi dasar antara calon
debitur dengan bank, terutama calon debitur baru, baiasanya dilakukan
melalui wawancara atau cara-cara lain.
2. Analisis atau penilaian kredit (credit analysis / credit appraisal), yang
dalam tahap ini diadakan penilaian yang mendalam tentang keadaan usaha
atau proyek pemohon kredit.
3. Keputusan Kredit (Credit Desicion) yang dibuat berdasarkan laporan hasil
analisi kredit, maka pihak bank melalui pemutus kredit, dapat memutuskan
permohonan kredit tersebut layak untuk diberi kredit atau tidak. Jika tidak
dapat diberikan, maka permohonan tersebut harus ditolak melalui surat
penolakan, bila permohonan layak untuk diberikan, maka dituangkan dalam
surat keputusan kredit yang memuat beberapa persyaratan tertentu.
39 Malayu S. P. Hasibuan, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2008,
hal.91.
88
4. Pelaksanaan dan administrasi kredit (credit realization dan credit
administration), yang pada tahap ini kedua belah pihak (bank dan calon
debitur) menandatangani perjanjian kredit beserta lampiran-lampirannya.
5. Supervisi kredit dan pembinaan debitur (credit supervision dan follow up)
Supervisi/pengawasan/pengendalian kredit dan pembinaan debitur pada
dasarnya ialah upaya pengamanan kredit yang telah diberikan oleh bank
dengan jalan terus memantau/memonitor dan mengikuti jalannya
perusahaan (secara langsung atau tidak langsung), serta memberikan
saran/nasihat dan konsultasi agar perusahaan/debitur berjalan baik sesuai
dengan rencana, sehingga pengembalian kredit akan berjalan dengan baik
pula.40
Dari uraian prosedur di atas menjelaskan bagaimana tata cara suatu
bank dalam memberikan kredit kepada nasabah, bank yang sudah menjalankan
kegiatan operasinya dengan baik pasti akan mengikuti setiap prosedur
pemberian kredit yang telah di tetapkan oleh perusahaan.
Surat order dikeluarkan oleh bank ketika akan memasangkan hak
tanggungan terhadap jaminan yang diberikan oleh debitur dimana dalam
pemasangan hak tanggungan dilaksanakan oleh Notaris/PPAT. Surat order
dikeluarkan ketika bank dan Notaris/PPAT tidak bertemu secara langsung.
Biasanya, surat order diberikan sebelum dilakukan penandatanganan perjanjian
kredit dilaksanakan.
40Firdaus, Rachmat dan Maya Ariyanti, 2009, Manajemen Perkreditan Bank Umum: Teori,
Masalah, Kebijakan dan Aplikasi Lengkap dengan Analisis Kredit, Alfabeta, Bandung, h, 133.
89
Berdasarkan paparan mengenai proses pemberian kredit oleh bank tersebut
kepada debitur, Surat Order terletak pada bagian pelaksanaan dan administrasi
kredit (credit realization dan credit administration), yang pada tahap ini kedua
belah pihak (bank dan calon debitur) menandatangani perjanjian kredit beserta
lampiran-lampirannya. Surat Order adalah instrumen hukum yang nantinya akan
mengikatkan antara pihak bank sebagai kreditur atas debiturnya dengan pihak
notaris/PPAT dalam mengikatkan agunan kredit. Hal tersebut juga dapat dilihat
berdasarkan bunyi Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyebutkan bahwa: “Pemberian
Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan
sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan
atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.”
Berdasarkan bunyi pasal tersebut terdapat kata-kata yang mengisyaratkan
“perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut”. Seperti sebagaimana yang
telah diajabarkan sebelumnya bahwa Surat Order digunakan untuk mengikat pihak
bank dengan Notaris/PPAT, berbeda halnya dengan Perjanjian Kredit yang
mengikat antara pihak kreditur (bank) dengan pihak debitur. Lebih lanjut lagi telah
diketahui juga bahwa Surat Order banyak digunakan oleh bank-bank besar di
Indonesia, diataranya yaitu PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.; PT. Bank Central
Asia (Persero) Tbk.; PT. Bank Rakyat Indonesia; dan lainnya. Alangkah baiknya
dengan digunakannya Surat Order akan memebrikan suasana yang lebih kondusif
pada pengikatan agunan dalam proses pemberian kredit oleh bank; memberikan
perlindungan kepada para pihak yaitu bank dengan notaris/PPAT; memberikan
90
kepastian hukum terhadap keabsahan data-data yang nantinya tertuang di dalam
Akta; dan juga dapat menciptakan tertib administrasi.
91