Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN TEORETIS
Bab ini akan didahului dengan penelusuran pustaka terhadap hasil-hasil
penelitian dengan topik yang terkait dengan penelitian ini. Penelusuran ini
diperlukan untuk mengetahui pendekatan teori dan metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian-penelitian tersebut. Pengetahuan itu perlu untuk
mendapatkan inspirasi dalam menyusun kerangka teori dan metode penelitian ini
atau memperkuat pilihan teori dan metode yang ditetapkan oleh penulis. Sesudah
penelusuran pustaka, akan disajikan kerangka teori untuk penelitian ini dan
dilanjutkan dengan pengertian dari konsep-konsep yang digunakan.
2.1. Penelusuran Pustaka Tentang Penelitian Yang Terkait
Penelitian dalam perspekti ilmu komunikasi terhadap karya-karya
komunikasi massa yang bertemakan lesbian telah dilakukan oleh banyak sarjana.
Beberapa dari antaranya akan diuraikan dibawah ini.
1) Lesbianisme dalam Novel (Studi Semiotika tentang Makna
Lesbianisme dalam Novel Gerhana Kembar Karya Clara Ng)
Oleh : Ayu Abriyani Kusuma Pertiwi (Pertiwi, 2010)
Novel Gerhana Kembar mengisahkan kisah percintaan lesbianisme
yang berasal dari ketulusan hati. Lewat simbol-simbol, penulis penelitian
ini ingin memaknai bagaimana makna lesbianisme direpresentasikan.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan
kajian semiotika komunikasi dan memberikan pengetahuan bahwa lesbian
juga mempunyai sisi lain yang baik dan tidak selalu identik dengan
kelakuan yang buruk. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yang
bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan,
gejala, atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan
gejala lain dalam masyarakat. Pengumpulan data dilakukan melalui buku-
buku dan studi pustaka. Analisa data dilakukan dengan metode semiotika
6
komunikasi melalui tahap proses pemaknaan Pierce untuk mengetahui apa
saja makna yang terkandung dalam Novel Gerhana Kembar yang terkait
dengan makna lesbianisme berdasarkan kategori percintaannya,
perasaannya, dan perilakunya. Validitas data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik triangulasi sumber.
Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa dalam novel ini
lesbian digambarkan sebagai manusia biasa yang mempunyai impian dan
harapan. Percintaan yang terjadi pada pasangan lesbian terlihat dari rasa
ketertarikan, kekaguman dan ungkapan perasaan cinta pada pasangannya.
Perasaan lesbian sama halnya dengan perasaan orang biasa, dalam novel
ini terlihat dari rasa bahagia, rasa kecewa, dan rasa takut. Terkadang
mereka juga mempunyai perasaan bersalah karena telah menyalahi kodrat
dan mencintai sesama jenis. Perilaku lesbian yang terlihat dalam novel ini
antara lain saling mencium, merangkul, berdekapan, jalan bergandengan,
duduk bersanding, saling membelai, dan saling menghibur.
2) Krisis Identitas Seorang Lesbian (Analisis Semiotika Film Boy’s Don’t
Cry)
Oleh: Miranti Saputri (Saputri, 2011)
Film Boys Don’t Cry merupakan salah satu film yang salah satu
bagian didalamnya menceritakan tentang cinta Lesbian dan konfliknya
serta optimismenya dalam hidupnya. Krisis identitas Lesbian yang
akhirnya digolongkan menjadi Transeksual dalam tokoh utama film ini
serta banyaknya sorotan media dewasa ini tentang Lesbian dan
Transeksual tidak hanya menjadi subjek, namun juga sebagai objek
komoditi atau marjinalisasi Lesbian serta Transeksual dalam film,
membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini. Penelitian ini
berupaya untuk mengetahui krisis identitas seorang Lesbian dimaknai
melalui tanda-tanda dalam film Boys Don’t Cry. Penelitian ini berorientasi
pada komunkasi sebagai produksi dan pembangkitan makna. Pencarian
makna pada film harus menggunakan metode yang tepat, yang nantinya
7
akan membantu peneliti mengungkap makna yang tersembunyi di balik
tanda-tanda dalam sebuah film. Karena film dikonstruksi oleh tandatanda,
maka pemaknaan ini dirasa tepat dengan menggunakan metode semiotik.
Penelitian ini menggunakan metode semiotik Roland Barthes karena peta
tanda Roland Barthes mengenai tanda konotatif dan denotatif juga mitos
sebagai modus pertandaan, dirasa lengkap dan tepat untuk meneliti audio
visual dalam film Boys Don’t Cry. Proses pemaknaan pada tanda melalui
tanda konotatif dan denotatif sebagai proses semiosis. Analisis tanda
nantinya akan mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan
oleh bagaimana subJek dan obJek bisa dimaknai secara bersamaan dan
memberikan kesan atau pesan. Menggunakan metode semiotik dalam
penelitian pada dasarnya adalah sebuah metodologi kualitatif-intrepetatif.
Dengan tujuan untuk mengetahui representasi krisis identitas Lesbian,
maka plot-plot yang dipilih adalah yang memunculkan tandatanda yang
mengandung krisis identitas Lesbian. Pemaknaan dua elemen penting
dalam film, yaitu audio (meliputi dialog/monolog/voice over, ilustrasi
musik,sound effect) dan visual (meliputi teknik pengambilan
gambar,lighting, visualisasi, warna) akan dijadikan sebagai unit analisis
data.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa krisis identitas
Lesbian yang dikonstruksikan dalam film Boys Don’t Cry ditampilkan
melalui representasi tokoh utama yaitu Teena Brandon. Kriris identitas
lesbian dalam film Boys Don’t Cry dikonstruksikan secara dinamis
melalui dua struktur yang membentuk film yaitu audio dan visual.
Sedangkan makna krisis identitas lesbian, diidentifikasikan menjadi tiga,
yaitu merujuk pada identifikasi melalui elemen konsep diri yaitu proses
pengembangan kesadaran diri. Proses pengembangan kesadaran diri
diperoleh melalui tiga cara, yaitu cermin diri, pribadi sosial dan
perwujudan diri. Tokoh Brandon mempressentasikan cermin diri sebagai
sikap optimis tentang krisis identitasnya. Dimana ia menjadi subyek dan
objek dimana ia merupakan subyek sebagai pelaku utama dan obyek
8
pengembangan dirinya. Pribadi sosial ditampilkan melalui penolakan,
hinaan, permaluan, pemerkosaan, pukulan serta pembunuhan yang di
alami Brandon oleh Tom dan John. Yaitu juga diperlihatkan relasinya
kepada Lana yang mencintainya apa adanya serta Candance, ibu Lana.
Perwujudan diri Brandon ditampilkan dari keseharian yang dilakukan
Brandon. Perwujudan diri ini bukan terjadi secara drastis, namun karena
kebiasaan seseorang.
3) Representasi Lesbianisme dalam Film Detik Terakhir
Oleh: Vony Maria (Maria, 2008)
Film ini menawarkan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan
manusia dan merupakanrepresentatif dari realitas yang terjadi di
masyarakat. Hal yang tabu untuk dipertontonkan, kini sudah bebas
diperlihatkan di depan umum, mulai dari menggunakan obat-obatan
terlarang di tempat umum sampai memperlihatkan adegan mesra dengan
sesama jenis. Dunia lesbian dalam film “Detik Terakhir” merupakan
realitas yangfenomenal, bahkan tak dipungkiri menimbulkan p r o d an
k o n t ra . F i lm i n i sangat menarik untuk diangkat karena merupakan hal
yang tabu dan bertolak belakang dengan budaya timur masyarakat
Indonesia. Para kaum lesbian yang tertutup, kini sudah berani lebih
terbuka memperkenalkan identitas dirinyasebagai lesbian kepada
masyarakat umum. Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah
penulis adalah untuk melihat realitas mengenai kaum lesbian dan untuk
mengetahui gejala pada kaum lesbian.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa seserang dapat menjadi
seorang lesbian adalah kaena pengaruh lingkungan, dalam film ini
digambarkan melalui kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, lesbian
dalam film ini juga diceritakan sebagai pintu yang membawa pelakunya
untuk lebih dekat dengan kehidupan malam, narkoba, dan minum-
minuman keras.
9
Dari penelitian-penelitian yang telah dipaparkan diatas dapat dilihat bahwa
penelitian-penelitian tersebut lebih menekankan kepada representasi realitas sosial
mengenai kaum lesbian yang ada dalam masyarakat. Dalam penelitian yang
pertama menggambarkan sisi humanisme dimana kaum lesbian menjalani kisah
cintanya sama seperti kaum heteroseksual meskipun ada konflik batin dalam diri
pelaku. Penelitian kedua lebih menekankan dari aspek psikologis tokoh utama
yang mengalami krisis identitas dan bagaimana diskriminasi yang didapat oleh
tokoh utama sebagai seorang transgender. Penelitian ketiga lebih melihat realitas
kehidupan kaum lesbian yang digambarkan dalam film tersebut dekat dengan
kehidupan malam, minuman keras, dan narkoba. Dengan demikian, maka dapat
ditarik kesimpulan sementara bahwa tujuan dari penelitian yang akan penulis
lakukan adalah lebih mengarah kepada analisis konstruksi pesan melalui tanda-
tanda verbal dan non verbal yang diwakili oleh judul film, tokoh-tokoh utama dan
pembantu utama, setting dan isi cerita, serta soundtrack film, untuk melihat
bagaimana film yang mengangkat tema yang tabu dalam masyarakat ini dapat
diterima oleh masyarakat, tidak hanya di Thailand, tapi juga di negara lain seperti
Taiwan, Filipina, China, Hongkong, dan bahkan di Indonesia sendiri.
2.2. Kerangka Teori
1) Teori Penyimpangan Sosial
Teori ini digunakan untuk melihat mengapa homoseksualitas,
khususnya lesbian, masih dianggap sebagai salah satu bentuk
penyimpangan sosial dan menjadi hal yang tabu untuk diperbincangkan.
Teori ini juga melihat bagaimana sang komunikator berusaha mengubah
pandangan masyarakat dengan cara memperbesar rasa toleransi melalui
film Yes Or No ini.
Penyimpangan (deviation) adalah segala macam pola perilaku yang
tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak
masyarakat. Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai
dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam
masyarakat. Penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang, sejauh mana
10
penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit
tentu akan berakibat terganggunya keseimbangan kehidupan dalam
masyarakat.
Pengertian Penyimpangan Sosial menurut James W. Van Der
Zanden merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap
sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi. Sedangkan Robert M.
Z. Lawang berpendapat bahwa perilaku menyimpang adalah semua
tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial
dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu
untuk memperbaiki perilaku menyimpang (Kusnarto, 2010).
Terdapat dua bentuk penyimpangan sosial, yaitu penyimpangan
primer, yaitu penyimpangan yang bersifat sementara dan tidak dilakukan
secara berulang, dan penyimpangan sekunder, yaitu penyimpangan yang
secara umum sering dilakukan atau sering disebut perbuatan
menyimpang dan dilakukan secara berulang. Penyimpangan sosial juga
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu penyimpangan individual, yaitu suatu
perilaku pada seseorang dengan melakukan pelanggaran terhadap suatu
norma pada kebudayaan yang telah mapan akibat sikap perilaku yang jahat
atau terjadinya gangguan jiwa pada seseorang, dan penyimpangan kolektif,
yaitu suatu perilaku yang menyimpang yang dilakukan oleh kelompok
orang secara bersama-sama dengan melanggar norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat sehingga menimbulkan keresahan, ketidakamanan,
ketidaknyamanan serta tindak kriminalitas lainnya. Bentuk penyimpangan
sosial tersebut dapat dihasilkan dari adanya pergaulan atau pertemanan
sekelompok orang yang menimbulkan solidaritas antar anggotanya (in-
group) yang seringkali menimbulkan konflik dengan kelompok lain (out-
group). Selain itu, dalam suatu masyarakat juga dapat ditemukan bentuk-
bentuk penyimpangan budaya, yaitu suatu bentuk ketidakmampuan
seseorang menyerap budaya yang berlaku sehingga bertentangan dengan
budaya yang ada di masyarakat.
11
2) Teori Norma Budaya
Teori ini digunakan untuk melihat bagaimana film ini digunakan
sebagai sarana untuk mengukuhkan keberadaan kaum lesbian di dalam
masyarakat Thailand serta sebagai sarana untuk menumbuhkan norma baru
dalam masyarakat yang tidak homophobic dan mau menerima keberadaan
kaum lesbian di tengah-tengah masyarakat.
Dalam teori yang di perkenalkan oleh Melvin DeFleur ini
disebutkan bahwa media massa melalui kontennya, dapat menguatkan
budaya atau bahkan sebaliknya media massa menciptakan budaya baru
dengan caranya sendiri. Teori norma budaya menurut Melvin DeFleur
hakikatnya adalah bahwa media massa melalui penyajiannya yang selektif
dan penekanan-penekanannya pada tema tertentu dapat menciptakan
kesan-kesan pada khalayak dimana norma-norma budaya umum mengenai
topik yang diberi bobot itu, dan dibentuk dengan cara-cara tertentu. Oleh
karena itu perilaku individual biasanya dipandu oleh norma-norma budaya
mengenai suatu hal tertentu, maka media komunikasi secara tidak
langsung akan mempengaruhi perilaku. Media massa melalui informasi
yang disampaikannya dengan cara-cara tertentu dapat menimbulkan kesan
yang oleh khalayak disesuaikan dengan norma-norma dan nilai-nilai
budayanya.
Fungsi media massa dalam kaitannya dengan norma budaya dalam
masyarakat adalah sebagai berikut; pesan-pesan yang disampaikan media
massa memperkuat budaya yang ada, media massa telah menciptakan pola
baru tetapi tidak bertentangan bahkan menyempurnakan budaya lama, dan
media massa mengubah budaya lama dengan budaya baru yang berbeda
dengan budaya lama (Sutaryo, 2005: 106). Menurut teori ini komunikasi
massa memiliki efek yang tidak langsung atas perilaku melalui
kemampuannya dalam membentuk norma-norma baru. Norma-norma ini
berpengaruh terhadap pola sikap untuk pada akhirnya akan mempengaruhi
pola-pola perilakunya. Media massa melalui penyajiannya yang selektif
dan menekankan pada tema-tema tertentu mampu menciptakan kesan yang
12
mendalam pada khalayaknya, ketika norma-norma budaya yang mengenai
topik-topik yang ditekankan itu disusun dan diidentifikasikan dengan cara-
cara tertentu. Oleh karena perilaku individu biasanya terbina melalui
norma-norma budaya dengan cara memperhatikan topik atau situasi yang
diberikan, maka media massa akan bertindak secara tidak langsung dalam
mempengaruhi perilaku (Al-gifary, 2010).
3) Teori Perubahan Sosial
Teori ini digunakan untuk melihat upaya-upaya melalui simbol apa
sajakah yang digunakan oleh sang komunikator untuk mengubah norma
dan nilai yang sudah ada dalam masyarakat, terkait dengan lesbianisme.
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Perubahan-perubahan itu dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma norma
sosial, pola-pola perilaku, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan,
lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi
sosial, dan lain sebagainya. Perubahan dalam suatu masyarakat adalah
salah satu gejala yang umum dan salah satu pendorong terjadinya
perubahan tersebut adalah media.
Definisi dari perubahan sosial menurut Selo Soemardjan adalah
segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu
masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya
nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perilaku diantara kelompok-
kelompok dalam masyarakat. (Soekanto, 2007: 218) Kingsley Davis
berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan
kebudayaan maupun perubahan dalam bentuk aturan-aturan sosial.
Terdapat tiga bentuk perubahan sosial, yaitu:
1. Perubahan yang terjadi secara lambat dan perubahan yang terjadi secara
cepat
Perubahan yang lambat atau evolusi dibagi menjadi beberapa kategori
yaitu, Unilinear theories of evolution yang mengatakan bahwa manusia
berkembang dari bentuk sederhana ke bentuk yang lebih kompleks dan
13
akhirnya pada bentuk yang sempurna. Universal theory of evolution yang
mengatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak melalui tahap-tahap
yang tetap dimana masyarakat homogen berkembang menjadi masyarakat
heterogen. Multilinear theories of evolution yang mengatakan bahwa
perkembangan masyarakat melalui tahap-tahap tertentu dalam evolusi
masyarakat. Sedangkan perubahan yang cepat atau revolusi mencakup
perubahan-perubahan mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dari
kehidupan masyarakat. Revolusi dapat terjadi apabila terdapat keinginan
dalam masyarakat yang dapat ditampung oleh seorang pemimpin serta
memiliki tujuan yang jelas dan momentum yang tepat.
2. Perubahan yang berpengaruh besar dan yang berpengaruh kecil
Perubahan berpengaruh kecil adalah perubahan sosial yang tidak
membawa pengaruh secara langsung atau pengaruh yang berarti dalam
masyarakat, contohnya perubahan mode pakaian. Sebaliknya, perubahan
berpengaruh besar memiliki dampak yang cukup besar dalam masyarakat,
contohnya adalah sistem ekonomi dari masyarakat agraris menjadi
masyarakat industri.
3. Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan dan perubahan yang tidak
dikehendaki atau tidak direncanakan
Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan adlaah perubahan yang
diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang
hendak mengadakan perubahan dalam masyarakat (agent of change).
Sedangkan perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau tidak
direncanakan adalah perubahan yang tidak diperkirakan sehingga dapat
menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan oleh
masyarakat.
Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sosial dalam
masyarakat di antaranya adalah fluktuasi jumlah penduduk, penemuan-
penemuan baru, pertentangan atau konflik dalam masyarakat baik antar
individu maupun antar kelompok, terjadinya revolusi atau pemberontakan
dalam tubuh masyarakat itu sendiri yang dapat disebabkan oleh faktor
14
lingkungan, peperangan, atau kebudayaan masyarakat lain. Perubahan
juga didorong oleh beberapa hal diantaranya adalah kontak dengan
kebudayaan lain, difusi antar masyarakat, sistem pendidikan yang maju,
toleransi terhadap perilaku menyimpang, keterbukaan sistem dalam
masyarakat, penduduk yang heterogen, dan ketidakpuasan masyarakat
terhadap bidang-bidang tertentu. Sedangkan faktor yang menghambat
terjadinya perubahan adalah kurangnya hubungan dengan masyarakat
lain, perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat, sikap masyarakat
yang tradisional, adanya kepentingan yang tertanam kuat dalam
masyarakat, rasa takut akan terjadi kegoyahan integrasi kebudayaan,
prasangka terhadap hal baru, ideologi dalam masyarakat, dan adt atau
kebiasaan.
4) Teori Fungsional Struktural
Teori ini digunakan sebagai teori pendukung untuk melihat
mengapa lesbianisme masih sulit untuk diterima dalam masyarakat serta
melihat bagaimana upaya komunikator mencoba mengubah sistem yang
sudah ada dalam masyarakat melalui simbol-simbol verbal dan non verbal
yang ada dalam film ini.
Menurut Talcott Parsons, teori fungsional dimulai dengan empat
fungsi penting untuk semua sistem tindakan, yang terkenal dengan
skema AGIL. Suatu fungsi (function) adalah kumpulan kegiatan yang
ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem.
Dengan menggunakan definisi ini, Parsons yakin bahwa ada empat
fungsi penting diperlukan semua sistem. Pertama, adaptation (A), dimana
sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem
harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan
lingkungan itu dengan kebutuhannya. Kedua, goal attainment (G), dimana
sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
Ketiga, integration (I), dimana sebuah sistem harus mengatur
antarhubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Keempat,
15
latensi (L) atau pemeliharaan pola dimana sebuah sistem harus
memperlengkapi memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual
maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi
(Nurwahid, 2011: 3).
Menurut Robert K. Merton, teori ini lebih menekankan pada
keteraturan (order), mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam
masyarakat dimana konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi
laten, fungsi manifest, dan keseimbangan. Masyarakat merupakan suatu
sistem sosial, yang terdiri atas bagian atau elemen yang saling berkaitan
dan saling menyatu dalam keseimbangan. Dengan demikian perubahan
yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap
bagian lainnya. Setiap struktur dalam sistem sosial berfungsi terhadap
sistem yang lainnya (fungsional). Sebaliknya kalau struktur itu tidak
fungsional maka akan hilang atau tidak ada dengan sendirinya (Nurwahid,
2011: 4).
16
1.3. Kerangka Berpikir
2.4. Konsep yang Digunakan
1) Film
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka (KBBI,
1990 : 242), film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat
gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif
(yang akan dimainkan di bioskop). Film juga diartikan sebagai lakon (cerita)
gambar hidup. Pengertian lebih lengkap dan mendalam tercantum jelas dalam
pasal 1 ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman di mana
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan
budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang
dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita
video, piringan video dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam
segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronika,
atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan
Konstruksi Pesan sehingga dapat
diterima oleh masyarakat
Tahap denotatif Tahap konotatif
Film Yes Or No
Pengukuhan eksistensi kaum lesbian
dalam masyarakat Thailand
(Teori Norma Budaya)
Usaha menumbuhkan nilai dan norma baru dalam
masyarakat
(Teori Norma budaya + Teori Perubahan sosial)
Semiologi Roland Barthes
17
dan/atau ditayangkan dengan sistem mekanik, elektronik dan/atau
lainnya. Film atau gambar bergerak merupakan suatu proses perekaman
gambar fotografi dengan kamera atau menciptakan gambar dengan
menggunakan teknik animasi atau efek visual. Film terbentuk sebagai artefak
budaya karena diciptakan oleh budaya, menggambarkan budaya, serta
mempengaruhi budaya itu sendiri. Film adalah sebuah proses sejarah atau
proses budaya suatu masyarakat yang disajikan dalam bentuk gambar hidup.
Sebagai sebuah proses, banyak aspek yang tercakup dalam sebuah film.
Mulai dari pemain atau artisnya, produksi, bioskop, penonton, dan
sebagainya. Film juga identik sebagai hasil karya seni kolektif yang
melibatkan sejumlah orang, modal, dan manajemen. Dalam proses
pembuatannya, pada dasarnya film merupakan komoditi jasa kreatif untuk
dinikmati masyarakat luas. Dinilai dari sudut mana pun, film adalah acuan
otentik tentang berbagai hal, termasuk perkembangan sejarah suatu bangsa.
Film merupakan karya cipta manusia yang berkaitan erat dengan berbagai
aspek kehidupan (Naibaho, 2008).
Fungsi film diantaranya adalah sebagai media informasi dan merupakan
media sosial karena melalui film masyarakat dapat melihat secara nyata apa
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tertentu pada masa tertentu. Selain
itu, film juga dapat berfungsi sebagai alat penghibur, pendidik, serta dapat
mendoktrinasi pemikiran orang yang menyaksikannya. Film juga merupakan
dokumen sosial, karena melalui film masyarakat dapat melihat secara nyata
apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tertentu pada masa tertentu.
Melalui film kita tidak hanya dapat melihat gaya bahasa atau mode pakaian
masyarakat, tapi juga dapat menyimak bagaimana pola pikir dan tatanan
sosial masyarakat pada era tertentu.
2) Budaya Penyimpangan Orientasi Seksual
Kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan
bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan
diartikan
18
sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. (Soekanto, 2007:
150). Budaya mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan,
dan bertindak. Budaya merupakan proses belajar. Oleh karena itu,
Koentjaraningrat berpendapat bahwa hampir semua tindakan manusia itu
adalah budaya karena diperoleh dari hasil belajar. Budaya adalah seperangkat
nilai, gagasan, artefak, dan simbol bermakna lain yang membantu individu
berkomunikasi, membuat tafsiran, dan melakukan evaluasi sebagai anggota
masyarakat. (Engel, 1994: 69).
Pada umumnya, masyarakat cenderung mengikuti budaya mayoritas, yang
dalam penelitian ini adalah heteroseksual. Dengan mindset masyarakat yang
demikian, maka kelompok homoseksual yang relatif minoritas dianggap
sebagai suatu penyimpangan sosial.
Penyimpangan orientasi seksual ditandai dengan kesukaan seseorang
dengan orang lain mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas
gender yang sama dimana perilaku seksualnya melingkupi aktivitas untuk
menemukan dan menarik perhatian pasangan, interaksi antar individu,
kedekatan fisik atau emosional, dan hubungan seksual dengan gender yang
sama tidak peduli orientasi seksual atau identitas gender, identitas seksual
atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu kepada perilaku
homoseksual atau orientasi homoseksual. Aspek ini mengarah pada identitas
seksual sebagai gay atau lesbian.
Pada sebuah penelitian pada orang-orang kembar di tahun 2008, ternyata
35 persen perilaku homoseksual pada pria dipengaruhi oleh gen, sementara
65 persen merupakan pengaruh lingkungan dan pendidikan orang tua.
Sedangkan pengaruh gen pada penyimpangan orientasi seksual pada
perempuan (lesbian), hanya 18 persen. Dominasi hormon prestogen dan
testosteron juga turut memengaruhi. Contohnya, bila seorang laki-laki
memiliki hormon presetogen lebih dari batas normal, maka akan
menyebabkan penampilannya kewanita-wanitaan. Dari tinjuan psikologis,
minimal ada 3 hal yang dapat merubah orientasi seksual seseorang menjadi
seorang homoseksual. Pertama, kehilangan figur ayah atau ibu, sehingga ia
19
tidak mendapatkan kasih sayang. Kedua, pengalaman. Ketiga, dari kecil
merasa berbeda.
Para pakar masih berpendapat bahwa homoseksual bersifat multifaktorial.
Terjadinya homoseksual termasuk lesbian dapat terjadi karena berbagai
faktor, yaitu, faktor biologi berupa terganggunya struktur otak kanan dan kiri
serta adanya ketidakseimbangan hormonal; faktor psikologis, pada suatu
penelitian yang membandingkan antara 100 lesbian dan perempuan
heteroseksual menunjukkan hasil adanya penolakan terhadap ibu dan tidak
adanya peran seorang ayah. Selain itu, pengkondisian psikologis dihubungkan
dengan reinforcement atau punishment pada awal perilaku seksual, termasuk
juga pikiran dan perasaan menyangkut seksualitas yang mengontrol proses
terbentuknya orientasi seksual.
3) Penerimaan Masyarakat
Penerimaan masyarakat adalah cara masyarakat untuk menciptakan
keseimbangan sehingga sistem masyarakat dalam saling mengisi dan
berfungsi dengan baik. Dengan demikian, individu dalam kelompok dapat
merasakan suatu ketentraman karena tidak adanya pertentangan dalam
norma-norma dan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat. Ketika terdapat
gangguan terhadap ketidakseimbangan itu,, maka masyarakat dapat menolak
atau mengubah sistem dalam masyarakat dengan maksud menerima unsur
yang baru. Apabila unsur baru dan unsur lama bertentangan, maka seringkali
mempengaruhi norma dan nilai yang kemudian juga berpengaruh pada
masyarakat itu sendiri. (Soekanto, 2007: 239)
Dalam upaya mendorong perubahan sosial, maka diperlukan saluran
perubahan sosial yang harus dilalui oleh suatu proses perubahan dalam
masyarakat. Saluran-saluran ini antara lain adalah lembaga-lembaga
kemasyarakatan seperti pemerintah, ekonomi, pendidikan, agama, dan media.
Dalam penelitian ini, Film Yes Or No dianggap sebagai suatu bentuk lembaga
media yang berperan sebagai saluran perubahan sosial yang berupaya untuk
mengubah norma dan nilai dalam masyarakat pada umumnya, sehingga dapat
20
menerima kaum lesbian yang memang ada dalam masyarakat. Untuk itu,
konsep penerimaan masyarakat dalam penelitian ini akan menjadi batasan
penulis dalam meneliti dan menganalisis data-data yang dipilih sehingga
penelitian ini dapat lebih fokus dan terarah sehingga tujuan dari penelitian ini
dapat tercapai.
4) Pesan dalam Komunikasi
Pesan dalam komunikasi dapat dituangkan dalam bentuk tanda, simbol,
bahasa, serta bentuk-bentuk non verbal. Bentuk-bentuk tersebut dapat
dikatakan pesan selama komunikan sebagai penerima pesan dapat memaknai
pesan tersebut. Tanda merupakan stimulus yang menandai keadaan atau
sesuatu hal, sedangkan simbol lebih kompleks yaitu instrumen pemikiran
manusia dan menandai sesuatu bukan dari sesuatu yang ada atau nampak.
Simbol dapat mengkomunikasikan gagasan, pengetahuan, pola ataupun
bentuk-bentuk tertentu. Makna merupakan relasi antara simbol, objek dan
manusia dimana makna dibagi menjadi dua yaitu makna denotatif (makna
logis) dan konotatif (makna psikologis, bersifat subjektif). Orang cenderung
melakukan abstraksi terhadap simbol yaitu suatu proses membentuk gagasan
umum yang didasarkan atas berbagai pengalaman dan dibangun atas makna
denotasi dan konotasi dari simbol
Muatan pesan dalam komunikasi yaitu isi pesan itu sendiri (spesific
domain knowledge) dan cara menyampaian pesan agar mengarah pada tujuan
(general domain knowledge). Setiap orang memiliki cara komunikasi dan isi
pesan yang berbeda serta logika berpikir yang berbeda dalam menyampaikan
suatu pesan terhadap seseorang dalam situasi tertentu. Pesan dalam
komunikasi juga memiliki tiga desain logis, yaitu The expressive logic yang
melihat komunikasi sebagai cara seseorang mengekspresikan perasaan dan
pemikirannya, The conventional logic yang melihat komunikasi sebagai hal
yang harus “dimainkan” dengan mengikuti aturan-aturan tertentu, The
rhetorical logic yang memandang komunikasi sebagai cara yang fleksibel,
21
memiliki perspektif terhadap pihak yang diajak berkomunikasi (person
centered) (Littlejohn, 2005).
Pesan yang terkandung dalam sebuah film sebagai salah satu media
komunikasi tentu saja memiliki fungsi-fungsi komunikasi. Fungsi-fungsi
komunikasi tersebut menurut Wiliam I. Gorden di antaranya adalah sebagai
komunikasi sosial dimana komunikasi penting untuk membangun konsep-
konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh
kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan. (Mulyana, 2006: 5).
Konsep diri adalah pandangan individu mengenai siapa dirinya dan itu dapat
diperoleh melalui informasi yang diberikan orang lain. Komunikasi juga
berfungsi untuk menunjukan bahwa diri individu eksis. Dengan
berkomunikasi, orang lain akan menyadari keberadaan kita. Fungsi kedua
adalah komunikasi ekspresif yaitu komunikasi sebagai alat untuk
menyampaikan perasaan individu. Fungsi komunikasi yang berikutnya adalah
sebagai komunikasi ritual yang biasa dilakukan dalam suatu komunitas yang
erat kaitannya dengan budaya dan adat istiadat serta komunikasi instrumental
yang bertujuan untuk menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah
sikap dan keyakinan, dan mngubah perilaku atau menggerakan tindakan serta
menghibur.
5) Konstruksi Pesan
1. Tanda
Tanda adalah sesuatu yang berdiri pada sesuatu yang lain atau
menambahkan dimensi yang berbeda pada sesuatu dengan memakai segala
apapun yang dapat dipakai untuk mengartikan sesuatu hal lainnya.
Menurut Umberto Eco, sebuah tanda adalah segala sesuatu yang dapat
dilekati (dimaknai) sebagai pergantian yang signifikan untuk sesuatu yang
lainnya dimana sesuatu tersebut tidak begitu mengharuskan akan adanya
atau untuk mengaktualisasikan adanya tempat entah dimanapun pada saat
suatu tanda memaknainya. (Berger, 2005: 4) Saussure mengatakan bahwa
tanda dibentuk dari penanda dan petanda yang bersifat arbitrer yang tidak
22
bermotif, yakni arbitrer dalam pengertian penanda tidak mempunyai
hubungan alamiah dengan petanda.(Berger, 2005: 11)
Dalam tatanan pertandaan terdapat dua makna yang menggambarkan
relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, yaitu makna denotatif
yang bersifat langsung menggambarkan petanda dan makna konotatif yang
menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya.(Fiske, 2006,
118-119). Tanda-tanda juga memiliki dua arti dan fungsi, yaitu yang
tersembunyi (latent) dimana tanda ini memiliki arti yang terpendam dan
dalam ketidaksadaran pembuat tanda sendiri ataupun bagi yang
menyaksikan tanda tersebut dan yang tampak (manifest) dimana tanda ini
akan dipertimbangkan sebagai salah satu dari arti yang bersifat umum dan
hasil yang ditentukan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pembuat
tanda tersebut. (Berger, 2005:165)
2. Semiologi
Semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan
memaknai hal-hal yang berarti objek tanda tidak hanya membawa
informasi tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda
(Kurniawan, 2001: 53). Tanda adalah basis dari seluruh komunikasi.
Kajian semiologi terbagi dalam dua jenis, yaitu semiologi komunikasi dan
semiologi signifikasi. Semiologi komunikasi memberikan tekanan pada
teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan
adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima tanda,
pean, saluran komunikasi, dan acyan, sedangkan semiologi signifikansi
memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya pada konteks
tertentu (Sobur, 2009: 15). Semiologi komunikasi lebih melihat pada
tujuan dan proses komunikasi. Sebaliknya semiologi signifikansi lebih
mengutamakan segi pemahaman suatu tanda dan proses kognisi pada
penerima tanda. Salah satu aspek kajian semiologi komunikasi adalah film
23
dimana film dibangun dengan tanda-tanda yang bekerja sama dengan baik
untuk mencapai efek yang diharapkan (Sobur, 2009: 128).
3. Semiologi Roland Barthes
Semiologi yang dikembangkan oleh Roland Barthes berangkat dari
linguistik yang dibangun Ferdinand de Saussure. Dalam tradisi linguistik
Saussurean dikenal konsep-konsep dikotomis seperti langue, parole,
penanda/petanda, sintagmatik, dan paradigmatik. Roland Barthes
mengembangkan semiotika altematif yang bertumpu pada parole, tindak
wicara (the act of speaking) yaitu apa yang disebut sebagai wacana.
Dalam pengembangan tersebut, Barthes melakukan peninjauan terhadap
lima kode, yaitu kode hermeneutik yang berkisar pada harapan khalayak
untuk mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang muncul dalam
wacana, kode semik yang menekankan pada kode-kode konotatif, kode
simbolik yang merupakan aspek penhkodean fiksi yang paling khas dan
bersifat struktural, kode proaretik yang adalah kode tindakan sebagai
perlengkapan utama teks yang dibaca, dan kode gnomik atau kode kultural
(Sobur, 2009: 65-66)
Pendekatan semiotika Roland Barthes terhadap wacana terarah secara
khusus kepada apa yang disebut dengan mitos (myth). Pengertian mitos di
sini adalah sebagai tipe tuturan (a type of speech). Mitos secara etimologis
berarti suatu jenis tuturan, merupakan suatu sistem komunikasi atau
sesuatu yang memberikan pesan (message). Penuturan, pesan tersebut
bukan sebagai objek pesan, tetapi bentuk wacana. Sebagai sistem
semiologi, mitos menghadirkan tanda (sign) untuk menghubungkan secara
asosiatif antara petanda (signified) dan penanda (signifier). Barthes
mengatakan apa yang disebutnya sebagai wacana adalah parole dalam
pengertian yang seluas-luasnya. Barthes menegaskan bahwa cara
penuturan mitos tidak hanya berbentuk penuturan oral, tetapi bisa
berbentuk segala sesuatu yang mempunyai modus representasi, antara lain:
tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, dan seni pertunjukan,
24
iklan, dan berbagai bentuk karya seni lainnya. Setiap tuturan mitos
rnempunyai arti (meaning) bagi penerima pesan. Agar tuturan tersebut
dapat dipahami dan mudah diterima akal, maka diperlukan interpretasi
melalui proses signifikasi.
Dalam menafsirkan mitos, Roland Barthes lebih cenderung mengacu
pada konsep-konsep yang diterima secara khas dalam kebudayaan atau
berdasarkan konsepsi yang dibuat anggota masyarakat dari pengalaman
sosial dalam suatu kebudayaan. Proses pemaknaannya dilakukan secara
bertahap. Pertama, unsur penanda dalam tahapan pertama dapat menjadi
suatu penanda dalarn sistem tanda tahapan kedua (makna denotatif).
Kedua, penanda ini dapat mempunyai penanda lain yang bersifat lebih
mendalam (makna konotatif).