44
6 BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinan Pahat yang bergerak relatif terhadap benda kerja akan menghasilkan geramdan sementara itu permukaan benda kerja secara bertahap akan berbentuk menjadi komponen yang dikehendaki. Untuk sementara,dapat diklasifikasikan dua jenis pahat yaitu pahat bermata potong tunggal ( single point cutting tools) dan pahat bermata potong jamak (multiple points cutting tools).Gerak relatif dari pahat terhadap benda kerja dapat dipisahkan menjadi dua macam komponen gerakan yaitu gerak potong (cutting movement) dan gerak makan (feeding movement). Menurut jenis kombinasi dari gerak potong dan gerak makan maka proses pemesinan dikelompokkan menjadi tujuh macam proses berlainan, yaitu: 1. Proses membubut (Turning) 2. Proses menggurdi (Drilling) 3. Proses mengefreis (Milling) 4. Proses menggerinda rata (Surface Grinding) 5. Proses menggerinda silindris (Cylindrical Grinding) 6. Proses menyekrap (Shaping, Planning) 7. Proses menggergaji atau memarut (Sawing, Broaching)

BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

6

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Klasifikasi Proses Pemesinan

Pahat yang bergerak relatif terhadap benda kerja akan menghasilkan

geramdan sementara itu permukaan benda kerja secara bertahap akan berbentuk

menjadi komponen yang dikehendaki. Untuk sementara,dapat diklasifikasikan dua

jenis pahat yaitu pahat bermata potong tunggal (single point cutting tools) dan pahat

bermata potong jamak (multiple points cutting tools).Gerak relatif dari pahat terhadap

benda kerja dapat dipisahkan menjadi dua macam komponen gerakan yaitu gerak

potong (cutting movement) dan gerak makan (feeding movement). Menurut jenis

kombinasi dari gerak potong dan gerak makan maka proses pemesinan

dikelompokkan menjadi tujuh macam proses berlainan, yaitu:

1. Proses membubut (Turning)

2. Proses menggurdi (Drilling)

3. Proses mengefreis (Milling)

4. Proses menggerinda rata (Surface Grinding)

5. Proses menggerinda silindris (Cylindrical Grinding)

6. Proses menyekrap (Shaping, Planning)

7. Proses menggergaji atau memarut (Sawing, Broaching)

Page 2: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

7

Gambar 2.1 Klasifikasi proses pemesinan menurut jenis gerakan relatif

pahat/perkakas

(http://desainmanufaktur.bayuwiro.net/index.php/2015/12/02/klasifikasi-mesin-

perkakas/)

Selain dari kalsifikasi menurut gerak relatif pahat terhadap benda kerja, yang

menghasilkan tujuh macam proses seperti diatas, secara lebih terperinci proses

pemesinan dapat diklasifikasikan menurut tujuan dan cara pengerjaan atau mesin

perkakas yang digunakan sebagaimana yang diperlihatkan pada tabel 2.1.

Page 3: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

8

Jenis Proses Mesin Perkakas yang digunakan

1. Membubut (Turning) Mesin bubut (Lathe)

2. Menggurdi (Drilling) Mesin Gurdi (Drilling Machine)

3. Menyekrap (Shaping, Planing) Mesin Sekrap (Shaping Machine)

dan Mesin Sekrap Meja (Planing

Machine)

4. Mengefreis (Milling) Mesin Freis (Milling Machine)

5. Menggergaji (Sawing) Mesin Gergaji (Sawing Machine)

6. Mengkoter/Melebarkan

lubang (Boring)

Mesin Koter (Boring Machine)

7. Memarut (Broaching) Mesin Parut / Mesin Broc (Broaching

Machine)

8. Menggerinda (Grinding) Mesin Gerinda (Grinding Machine)

9. Mengasah (Honing) Mesin Asah (Honing Machine)

10. Mengasah halus (Lapping) Mesin Asah Halus (Lapping Machine)

11. Mengasah Super Halus

(Super Finishing)

Mesin Asah Super Halus / Mesin Asah

Kaca

(Super/Mirror Finishing)

12. Mengkilapkan (Polishing & Buffer) Mesin Pengkilap (Polisher & Buffer)

Tabel 2.1 Klasifikasi proses pemesinan menurut jenis mesin perkakas yang

digunakan (Rochim, 1985)

Page 4: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

9

Tabel 2.1 tersebut menggambarkan jenis proses pemesinan dan mesin

perkakas yang biasanya digunakan untuk melakukannya. Beberapa jenis proses

mungkin dapat dilakukan pada satu mesin perkakas.

Misalnya, mesin bubut tidak selalu digunakan untuk membubut saja

melainkan dapat pula digunakan untuk menggurdi, memotong dan melebarkan lubang

(mengkoter) dengan cara menggantikan pahat yang sesuai, atau bahkan dapat

digunakan untuk mengefreis, menggerinda, atau mengasah halus pada mesin bubut

yang bersangkutan dapat dipasangkan peralatan tambahan (attaclments) yang khusus.

(Rochim, 1985).

2.2 Elemen Dasar Proses Pemesinan

Berdasarkan gambar teknik, dimana dinyatakan spesifikasi geometris suatu

komponen mesin, salah satu atau beberapa jenis proses pemesinan yang telah

disinggung diatas harus dipilih sebagai suatu proses atau urutan proses yang

digunakan untuk membuatnya. Bagi satu tingkatan proses, ukuran obyektif

ditentukan dan pahat membuang sebagian material benda kerja sampai ukuran

obyektif tersebut dicapai. Hal ini dapat dilaksanakn dengan caara menentukan

penampang geram (sebelum terpotong) dan selain itu setelah berbagai aspek

teknologi ditinjau, kecepatan buangan geram dipilih supaya waktu pemotongan sesuai

dengan yang dikehendaki. Situasi seperti ini timbul pada setiap perencanaan proses

pemesinan dengan demikian dapat dikemukakan lima elemen dasar proses

pemesinan, yaitu:

Page 5: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

10

1. Kecepatan potong (cutting speed) : 𝑣 (𝑚/𝑚𝑖𝑛)

2. Kecepatan makan (feeding speed) : 𝑣𝑓 (𝑚𝑚/𝑚𝑖𝑛)

3. Kedalaman potong (depth of cut) : 𝑎 (𝑚𝑚)

4. Waktu pemotongan (cutting time) : 𝑡𝑐 (𝑚𝑖𝑛)

5. Kecepatan penghasilan geram

(rate of metal removal) : 𝑍 ( 𝑐𝑚3/𝑚𝑖𝑛)

Elemen proses pemesinan tersebut dihitung berdasarkan dimensi benda kerja

dan/atau pahat serta besaran mesin perkakas. Besaran mesin perkakas yang dapat

diatur bermacam-macam tergantung dari jenis mesin perkakas. Oleh karena itu rumus

yang dipakai untuk menghitung setiap elemen proses pemesinan dapat berlainan.

Ditinjau dari proses pemesinan yang umum dikenal yaitu proses membubut. Dengan

memahami keadaan yang terjadi dalam proses membubut dapatlah hal itu dipakai

sebagai patokan untuk perbandingan dengan keadaan yang terjadi pada proses

pemesinan yang lain. (Rochim, 1985).

Page 6: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

11

2.3 Proses Membubut (Turning)

Gambar 2.2 Mesin bubut (Lathe)

(http://kedepankanpena.blogspot.co.id/2016/02/proses-membubut-turning.html)

Benda kerja dipegang oleh pencekam yang dipasangkan diujung poros utama,

lihat gambar 2.2. Dengan mengatur lengan pengatur yang terdapat pada sisi muka

kepala diam, putaran poros utama (n) dapat dipilih. Harga putaran poros utama

umumnya dibuat bertingkat, dengan aturan yang sudah distandarkan, misalnya: 630,

710, 800, 900, 1000, 1120, 1250, 1400, 1600, 1800, dan 2000 rpm. Untuk mesin

bubut dengan putaran motor variabel, ataupun dengan sistem transmisi variabel,

kecepatan poros utama tidak lagi bertingkat melainkan berkesinambungan (continue).

Pahat dipasangkan pada dudukan pahat dan kedalaman potong (a) diatur dengan

menggeserkan peluncur silang melalui roda pemutar (skala pada pemutar

Page 7: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

12

menunjukkan selisih harga diameter, dengan demikian kedalaman potong adalah

setengah harga tersebut). Pahat bergerak translasi bersama-sama dengan kereta dan

gerak makannya diatur dengan lengan pengatur pada rumah roda gigi. Gerak makan

(f) yang tersedia pada mesin bubut bermacam-macam dan menurut tingkatan yang

telah distandarkan, misalnya : ......, 0.1, 0.112, 0.125, 0.14, 0.16, ...... (mm/r).

Gambar 2.3 Proses Membubut

(http://kedepankanpena.blogspot.co.id/2016/02/proses-membubut-turning.html)

Elemen dasar dari proses membubut dapat diketahui atau dihitung dengan

menggunakan rumus yang dapat diturunkan dengan memperhatikan gambar 2.3.

Kondisi pemotongan ditentukan sebagai berikut:

Benda kerja : 𝑑𝑜 = diameter mula (mm)

𝑑𝑚 = diameter akhir (mm)

ℓ𝑡 = panjang pemesinan (mm)

Page 8: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

13

Pahat : 𝑘𝑟 = sudut potong utama (°)

Ɣ𝑜 = sudut geram (°)

Mesin bubut : a = kedalaman potong (mm)

f = gerak makan (mm/r)

n = putaran poros utama (r/min)

Elemen dasar dapat dihitung dengan rumus - rumus sebagai berikut :

1. Kecepatan potong : 𝑣 = 𝜋 . 𝑑 . 𝑛

1000 (m/min)................. (2.1)

Dimana, d = diameter rata – rata

= (𝑑𝑜 + 𝑑𝑚) / 2 = 𝑑𝑜 (mm)..................... (2.2)

2. Kecepatan makan : 𝑣𝑓 = f . n (mm/min).................... (2.3)

3. Waktu pemotongan : 𝑡𝑐 = ℓ𝑡 / 𝑣𝑓 (min)....................... (2.4)

4. Kecepatan penghasilan geram : 𝑍 = A . 𝑣

Dimana, A = penampang geram sebelum terpotong

A = f . a (𝑚𝑚2)............................................. (2.5)

Maka : 𝑍 = f . a . 𝑣 (𝑐𝑚3/𝑚𝑖𝑛)............... (2.6)

Page 9: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

14

Pada gambar 2.3 diperlihatkan sudut potong utama (𝑘𝑟 principal cutting edge

angle) yaitu merupakan sudut antara mata potong mayor (proyeksinya pada bidang

referensi) dengan kecepatan makan 𝑣𝑓. Besarnya sudut tersebut ditentukan oleh

geometri pahat dan cara pemasangan pahat pada mesin perkakas (orientasi

pemasangannya). Untuk harga a dan b yang tetap maka sudut ini menentukan

besarnya lebar pemotongan (b, width of cut) dan tebal geram sebelum terpotong (h,

underformed chip thickness) sebagai berikut :

1. Lebar pemotongan : b = a / sin 𝑘𝑟 (mm)................................ (2.7)

2. Tebal geram sebelum terpotong : h = f sin 𝑘𝑟 (mm)............. (2.8)

Dengan demikian penampang geram sebelum terpotong dapat dituliskan sebagai

berikut :

A = f . a = b . h

Perlu dicatat bahwa tebal geram sebelum terpotong (h) belum tentu sama

dengan tebal geram (ℎ𝑐 , chip thickness) dan hal ini antara lain dipengaruhi oleh sudut

geram (Ɣ𝑜), kecepatan potong dan material benda kerja. (Rochim, 1985).

Page 10: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

15

2.4 Material Pahat

Proses pembentukan geram dengan cara pemesinan berlangsung dengan cara

mempertemukan dua jenis material. Untuk menjamin kelangsungan proses ini maka

jelas diperlukan material pahat yang lebih unggul daripada material benda kerja.

Keunggulan tersebut dapat dicapai karena pahat dibuat dengan memperhatikan

berbagai segi yaitu :

1. Kekerasan : yang cukup tinggi melebihi kekerasan benda kerja tidak saja pada

temperature ruang melainkan juga pada temperature tinggi pada saat proses

pembentukan geram berlangsung.

2. Keuletan : yang cukup besar untuk menahan beban kejut yang terjadi sewaktu

pemesinan dengan innterupsi maupun sewaktu memotong benda kerja yang

mengandung partikel/bagian yang keras (hard spot).

3. Ketahanan beban kejut termal : diperlukan jika terjadi perubahan temperature

yang cukup besar secara berkala/periodik.

4. Sifat adhesi yang rendah : untuk mengurangi afinitas benda kerja terhadap

pahat, mengurangi laju keausan, serta penurunan gaya pemotongan.

5. Daya larut elemen/komponen material pahat yang rendah : dibutuhkan untuk

memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi.

Page 11: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

16

Kekerasan yang rendah dan daya adhesi yang tinggi tidak diinginkan sebab

mata potong akan terderfomasi, terjadi keausan tepi dan keausan kawah yang besar.

Keuletan yang rendah serta ketahanan beban kejut termal yang kecil mengakibaatkan

rusaknya mata potong maupun retak mikro yang menimbulkan keruskan fatal. Sifat –

sifat unggul seperti diatas memang perlu dipunyai oleh material pahat.

Akan tetapi tidak semua sifat tersebut dapat dipenuhi sepenuhnya secara

bertimbang. Pada umumnya kekerasan dan daya tahan termal yang dipertinggi selalu

diikuti penurunan keuletan. Berbagai penelitian dilakukan untuk mempertinggi

kekerasan dan menjaga supaya keuletan tidak terlalu rendah sehingga pahat tersebut

dapat digunakan pada kecepatan potong yang tinggi. Hal ini bisa dimaklumi karena

peninggian kecepatan potong berarti menaikkan produktifitas.

Gambar 2.4 Sejarah perkembangan material pahat ditinjau dari segi

kecepatan potong (Rochim, 1985).

Page 12: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

17

Gambar 2.5 Kekerasan berbagai jenis bahan pahat pada temperature kerja

yang tinggi (Hot Hardness) dan kekerasannya pada temperature

ruang setelah mengalami temperature kerja yang tinggi selama

beberapa saat (Recovery Hardness) (Rochim, 1985).

Pada mulanya untuk memotong baja digunakan baja karbon tinggi sebagai

bahan perkakas potong dimana kecepatan potong pada waktu itu hanya bisa mencapai

sekitar 10 m/menit. Berkat kemajuan teknologi, kecepatan potong ini dapat dinaikkan

sehingga mencapai sekitar 700 m/menit yaitu dengan menggunkan CBN (Cubic

Boron Nitride), lihat gambar 2.3. kecepatan potong yang tinggi tersebut dapat dicapai

berkat kekerasannya relatif tetap tinggi meskipun temperature kerjanya cukup tinggi.

Gambar 2.4a memperlihatkan “Hot Hardness” atau kekerasan pada temperature kerja

yang tinggi dari berbagai material pahat, sedangkan gambar 2.4b menunjukkan

“Recovery Hardness” yaitu kekerasan pada temperature ruang ssetelah material yang

bersangkutan mengalami temperature kerja yang tinggi selama beberapa saat.

Page 13: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

18

Dari gambar tersebut dapat disimpulkan hanya material dari jenis karbida dan

keramiklah yang tetap berfungsi dengan baik pada kecepatan potong atau temperature

kerja yang tinggi. (Rochim, 1985).

Urutan sifat keuletan pahat yang tinggi dari yang paling lunak tetapi ulet

sampai yang paling keras tetapi getas, yaitu :

1. Baja Karbon (High Carbon Steel ; Carbon Tool Steel (CTS))

2. HSS (High Speed Steels)

3. Paduan Cor Nonferro (Cast Nonferrous Alloys ; Cast Carbides)

4. Karbida (Cemented Carbide ; Hardmetals)

5. Keramik (Ceramics)

6. CBN (Cubic Boron Nitride), dan

7. Intan (Sintered Diamonds & Natural Diamonds).

2.5 HSS (High Speed Steels)

Pada tahun 1898 ditemukan jenis baja paduan tinggi dengan unsur padu krom

(Cr) dan tungsten/wolfram (W). Melalui proses penuangan (Molten Metalurgy)

kemudian diikuti pengerolan ataupun penempaan baja ini dibentuk menjadi batang,

silinder. Pada kondisi lunak (Annealed) bahan tersebut dapat diproses secara

pemesinan menjadi berbagai bentuk pahat potong.

Setelah proses laku panas dilaksanakan kekerasannya akan cukup tinggi

sehingga dapat digunakan untuk kecepatan potong yang tinggi (sampai dengan 3 kali

kecepatan potong untuk pahat CTS yang dikenal pada saat itu sekitar 10m/menit,

Page 14: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

19

sehingga dinamakan dengan “Baja kecepatan tinggi”, High Speed Steels). Apabila

pahat HSS telah aus maka pahat tersebut dapat diasah sehingga mata potongnya

menjadi tajam kembali. Karena sifat keuletan yang relatif baik maka sampai saat ini

berbagai jenis pahat HSS masih tetap digunakan.

Gambar 2.6 Pahat HSS (High Speed Steel)

(https://fjb.kaskus.co.id/product/57ef604432e2e6bd2b8b456d/pahat-bubut-

bohler--hss/)

Hot Hardness dan Recovery Hardness yang cukup tinggi pada HSS dapat

dicapai berkat adanya unsur paduan W, Cr, V, Mo dan Co. Pengaruh unsur – unsur

tersebut pada unsur dasar besi (Fe) dan karbon (C) adalah sebagai berikut :

1. Tungsten/Wolfram (W) :

Tungsten atau Wolfram dapat membentuk karbida yaitu paduan yang

sangat keras (𝐹𝑒4 𝑊2 C) yang menyebabkan kenaikan temperature

untuk hardening dan tempering. Dengan demikian hot hardness

dipertinggi.

Page 15: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

20

2. Chromium (Cr) :

Menaikkan hardenability dan hot hardness. Chrome merupakan

elemen pembentuk karbida, akan tetapi menaikkan sensitivitas

terhadap overheating.

3. Vanadium (V) :

Menurunkan sensitivitas terhadap overheating serta menghaluskan

besar butir. Vanadium juga merupakan elemen pembentuk karbida.

4. Molybdenum (Mo) :

Mempunyai efek yang sama seperti W akan tetapi lebih terasa (2% W

dapat digantikan oleh 1% Mo). Dengan menambah 0.4 – 0,9% Mo

dalam HSS dengan campuran utama W (W-HSS) dapat menghasilkan

HSS yang mampu dikeraskan di udara (Air Hardening Properties).

Selain itu, Mo-HSS lebih liat sehingga mampu menahan beban kejut.

Kejelekannya adalah lebih sensitif terhadap overheating (hangusnya

ujung – ujung yang runcing).

5. Cobalt (Co)

Bukan elemen pembentuk karbida ditambahkan dalam HSS untuk

menaikkan hot hardness dan tahanan keausan. Besar butuir menjadi

lebih halus sehingga ujung – ujung yang runcing tetap terpelihara

selama heat treatment pada temperature tinggi.

Page 16: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

21

HSS dikategorikan sebagai HSS konvensional dan HSS spesial masing – masing

dengan beberapa jenisnya seperti yang dilihatkan pada tabel 2.2 berikut :

Jenis HSS Standar AISI

Conventional Hss

- Molybdenum HSS

- Tungsten HSS

Special HSS

- Cobalt Added HSS

- High Vanadium HSS

- High Hardness Co HSS

- Cast HSS

- Powdered HSS

- Coated HSS

M1 ; M2 ; M7 ; M10

T1 ; T2

M33 ; M36 ; T4 ; T5 ; T6

M3-1 ; M3-2 ; M4 ; T15

M41 ; M42 ; M43 ; M44 ; M45 ; M46

American Iron and Steel Institute

Tabel 2.2 Klasifikasi pahat HSS menurut komposisinya (Rochim,1985)

2.5.1 HSS Konvensional

HSS konvensional jenis T (Paduan utama Tungsten/Wolfram)

terutama digunakan untuk pahat-pahat yang kecil. Jenis ini dapat dipanaskan

pada tungku elektrik.

Page 17: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

22

Bagi jenis M (paduan utama Molybdenum) memerlukan proses laku

panas dengan tungku kolam garam (salt bath furnance), untuk menghindari

terjadinya dekarburasi. Tungku tersebut terdiri atas 3 bagian yaitu :

1. Preheat salt (berisi KCL dan NaCl, pada temperature 740 −

875𝑂𝐶)

2. High heat salt (berisi 𝐵𝑎 𝐶𝑙2, pada temperature 1150 − 1200𝑂𝐶)

3. Quenching salt (berisi 𝐶𝑎 𝐶𝑙2, KCL, NaCl, pada temperature

550 − 660𝑂𝐶).

Treatment M-1 M-2 M-7 M-10 T-1 T-2

Forging

temperature

(℃)

1050-1150 1050-1150 1050-1150 1050-1150 1070-1170 1070-1170

Annealing

temperature

(℃)

820-870 870-900 820-870 820-870 870-900 820-870

Anneal

cooling

(℃/ℎ𝑜𝑢𝑟)

25 25 25 25 25 25

Anneal

hardness

(HB)

207-235 212-241 217-255 207-235 217-255 223-255

Page 18: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

23

Hardening

preheat

temperature

(℃)

730-840 730-840 730-840 730-840 820-870 820-870

High heat

temperature

(℃)

1170-1230 1180-1240 1170-1230 1170-1230 1260-1300 1260-1300

Quenching

temperature

(℃)

550-630 550-630 550-630 550-630 550-630 550-630

Tempering

temperature

(℃)

550-600 550-600 550-600 550-600 550-600 550-600

Temper

hardness

(Rc)

60-65 60-65 61-66 60-65 60-65 60-65

Tabel 2.3 Proses laku panas bagi HSS konvensional (Rochim, 1985)

Dalam high heat salt bath furnance 𝐵𝑎 𝐶𝑙2 teroksidir menjadi Ba O

yang dihilangkan secara periodik (untuk mencegah terjadinya dekarburasi

pahat HSS) dengan menambahkan silika (menjadi Ba silicate yang terapung)

atau menambahkan methychlorida (menjadi 𝐵𝑎 𝐶𝑙2, melepaskan 𝐻2 dan CO).

Page 19: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

24

HSS konvensional biasanya memerlukan dua kali tempering, bila

diperlukan setelah pengasahan dapat dilakukan tempering yang ketigauntuk

menghilangkan tegangan sisa (stress releiving) ataupun sebagai proses

penghitaman (black oxide) untuk mencegah korosi.

HSS memerlukan proses heat treatment yang cermat untuk

memperoleh pahat dengan kekerasan dan ketelitian yang dikehendaki. Hasil

proses laku panas tersebut adalah suatu mikrostruktur martensit dengan

partikel karbida – karbida yang tersebar (dispersed). Pada temperature tinggi

karbida cenderung larut bercampur dengan besi dan mencegah pertumbuhan

butir. Semakin tinggi temperature tempering terjadi penurunan kekerasan

sampai pada suatu temperature tertentu (560𝑂𝐶) akan timbul pengerasan.

Pengerasan kembali ini terjadi karena terbentuknya partikel-partikel

kecil karbida dalam martensit. Jika temperature tempering dinaikkan maka

terjadi pembesaran butir sehingga kekerasannya menurun. Bila hal ini terjadi

prosedur heat treatment perlu diulang. (Rochim, 1985).

Page 20: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

25

2.6 Geometri Pahat

Ketiga sudut pahat yaitu, sudut utama (K), sudut geram (ɣ), dan sudut miring

(λ) memegang peranan dalam proses pemesinan. Selain itu masi ada beberapa sudut

pahat yang mempunyai fungsi tertentu untuk menjamin kelancaran proses pemesinan.

Gerak potong dan gerak makan dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan

jenis mesin perkakas yang digunakan., maka bentuk/rupa pahat potong dapat

berlainan. Karena fungsinya sama, yaitu sebagai alat unutk mengahasilkan geram,

maka karakteristik geometris setiap paat akan sama.

Mata potong pahat tebentuk karena perpotongan dua bidang pahat. Orientasi

kedua bidang yang berpotongan tersebut ditentukan oleh sudut yang terbentuk yang

dapat diukur pada bidang ketiga. Karena orientasi/posisi dari bidang ketiga relatif

terhadap kedua biidang pahat yang saling berpotongan dapat ditentukan sembarang,

maka arga sudut pahat akan bermacam-macam pula. Lihat gambar 2.6 orientasi dari

bidang 𝐴ɣ terahadap bidang 𝑃r dapat ditentukan dengan pasti melalui sudut ɣg yang

diukur pada bidang ketiga yang tegak lurus garis perpotongan 𝑃r, dengan 𝐴ɣ yaitu

bidang 𝑃g. Jika tidak melalui bidang 𝑃g ini, maka paling sedikit diperlukan 2 bidang

ketiga yang tidak saling berimpit dengan 2 harga sudut (misalnya ɣf dan ɣp) untuk

menetapkan orientasi 𝐴ɣ terhadap 𝑃r.

Page 21: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

26

Gambar 2.7 Orientasi pada bidang pahat (Rochim, 1985).

Pahat dibuat menurut desain tertentu yang menurutu rencana pahat tersebut

nantinya akan dipasang pada mesin perkakas dengan orientasi yang tertentu

sedemikian rupa seingga sumbu-sumbu referensi arah pemakaman berimpit dengan

sumbu-sumbu referensi mesin perkakas. Orientasi/posisi pahat pada mesin perkakas

yang sedemikian ini disebut dengan posisi paling lazim (Most Natural Position) atau

posisi nol (zero position). Dalam prakteknya, operator mesin perkakas dapat

memasang pahat menurut kehendaknya (dengan tujuan tertentu) yang menyebabkan

sumbu-sumbu referensi arah pemakanan tidak lagi berimpit dengan sumbu-sumbu

referensi mesin.

Akibatnya sudut aktif yang didefinisikan pada sistem referensi arah

pemakanan dapat berubah sehingga mempengaruhi kondisi pemotongan

(memperbaiki, atau mungkin memperburuk bila sala menempatkan pahat).

Meskipun pahat dipasang pada posisi paling lazim (posisi nol) ada

kemungkinan sudut efektif (sudut pahat yang aktif memotong) akan berbeda dengan

harga sudut yang telah didefinisikan dalam sistem referensi yang digunakan untuk

Page 22: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

27

mengukur/atau membuat geometri pahat (sistem referensi pahat atau sistem arah

pemakanan). Hal ini dipengarui oleh kondisi pemotongan yang dipilih dimana vektor

kecepatan makan mungkin menjadi relatif besar sehingga dalam praktek vektor

kecepatan potong (primary motion) tidak lagi dianggap berimpit dengan vektor

kecepatan resultan. (Rochim, 1985).

2.7 Elemen, Bidang, dan Mata Potong Pahat

Untuk mengenal bentuk geometrinya, pahat harus diamati secara sistematis.

Pertama-tama perlu dibedakan 3 hal pokok yaitu elemen, bidang aktif, dan mata

potong pahat, sehingga secara lebih terperinci bagian-bagiannya dapat didefinisikan.

Dengan mengetahui definisinya maka berbagai jenis pahat yang digunakan dalam

proses pemesinan dapat dikenal lebih baik. Cara pengenalan melalui definisi ini harus

dianut karena cara tersebut juga akan digunakan lebih jauh dalam menganalisa

geometri pahat. (Rochim, 1985).

Bagian-bagian pahat yang dapat didefiniskan adalah (lihat gambar 2.7 untuk

memperjelah lokasi sesungguhnya dari bagian yang dimaksud pada pahat bubut):

2.7.1 Elemen Pahat

1. Badan (Body) : bagian pahat yang dibentuk menjadi mata potong atau

tempat untuk sisipan pahat (dari karbida atau keramik).

Page 23: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

28

2. Pemegang (Shank) : bagian pahat untuk dipasangkan pada mesin

perkakas. Bila bagian ini tidak ada maka fungsinya diganti oleh lubang

pahat.

3. Lubang pahat (Tool Bore) : lubang pada pahat melalui mana pahat

dpaat dipasang pada poros utama atau poros pemegang dari mesin

perkakas.

4. Sumbu pahat (Tool Axis) : garis maya yang digunakan untuk

mendefinisikan geometri pahat. Umumnya merupakan garis tengah

dari pemegang atau ubang pahat.

5. Dasar (Base) : bidang rata pada pemegang untuk meletakkan pahat

sehingga mempermudah proses pembuatan, penguuran ataupun

pengasahan pahat. (Rochim, 1985).

2.7.2 Bidang Pahat

Merupakan permukaan aktif pahat. Setiap pahat mempunyai bidang

aktif ini sesuai dengan jumlah mata potongnya (tunggal atau jamak). Tiga

bidang aktif dari pahat adalah:

1. Bidang Geram (𝐴ɣ , Face) : bidang diatas dimana geram mengalir.

2. Bidang utama/Mayor (𝐴α , Principal/Mayor Flank) : bidang yang

menghadap permukaan transien dari benda kerja. Permukaan

transien benda kerja akan terpotong akibat gerakan pahat relatif

terhadap benda kerja.

Page 24: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

29

Karena adanya gaya pemotongan sebagian bidang utama akan

terdeformasi seingga bergesekan dengan permukaan transien

benda kerja.

3. Bidang bantu/Minor (𝐴α′ , Auxiliary/Minor Flank) : bagian yang

menghadap permukaan terpotong dari benda kerja. Karena adanya

pemotongan sebagian kecil bidang bantu akan terdeformasi dan

menggesek permukaan benda kerja yang tela dipotong/dikerjakan.

Dalam beberapa hal disesuaikan dengan kondisi pemotongan yang

khusus, pahat dibuat dengan bidang aktif yang bertingkat. Misalnya ada dua

bidang utama, maka bidang tersebut disebut sebagai bidang utama pertama

(𝐴α1) dan bidang utama kedua (𝐴α2) sesuai urutan lokasinya terhadap mata

potong dengan lebar yang tertentu (𝑏α1 , 𝑏α2 : mm). Demikian pula halnya

dengan bidang yang lain. (Rochim, 1985).

2.7.3 Mata Potong

Tepi dari bidang geram yang aktif memotong, ada 2 jenis mata potong

yaitu:

1. Mata Potong Utama/Mayor (S, εPrincipal/Mayor Cutting Edge) :

garis perpotongan antara bidang geram (𝐴ɣ) dengan bidang bantu

(𝐴α).

Page 25: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

30

2. Mata Potong Bantu/Minor (S’, Auxiliary/Minor Cutting Edge) :

garis pepotongan antara bidang geram (𝐴ɣ) dengan bidang bantu

(𝐴α′).

Mata potong utama bertemu dengan mata potong bantu pada pojok

pahat (Tool Corner). Untuk memperkuat pahat maka pojok pahat dibuat

melingkar dengan jari-jari tertentu, yaitu:

1. 𝑟𝜀 = radius pojok (corner radius/nose radius) : mm

Atau dipenggal sehingga pojok pahat berupa garis dengan panjang

tertentu, yaitu :

2. 𝑏𝜀 = panjang pemnggalan pojok (chamfered corner length) : mm

Radius pojok maupun panjang pemenggalan pojok selain memperkuat

pahat bersama-sama dengan kondisi pemotongan yang dipilih akan

menentukan kehalusan permukaan asil proses pemesinan.

Beberapa jenis pahat dapat dibedakan dua jenis yaitu pahat kanan

(Right hand) dan pahat kiri (Left hand). Perbedaan antara kedua jenis pahat

tersebut adalah terletak pada lokasi mata potong utama. Pahat kanan

mempunyai mata potong utama yang sesuai dengan lokasi ibu jari tangan

kanan bila tapak tangan kanan ditelungkupkan diatas pahat yang dimaksud

dengan sumbu pahat dan sumbu tapak tangan sejajar.

Page 26: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

31

Demikian pula halnya dengan pahat kiri, maka lokasi mata potong utamanya

sesuai dengan lokasi ibu jari tangan kiri. (Rochim, 1985).

Gambar 2.8 Bagian-bagian dari pahat bubut (Rochim, 1985).

2.8 Sistem Referensi Pahat

Untuk menganalisa geometri pahat diperlukan suatu sistem bidang referensi

pada mana sudut-sudut pahat dapat ditentukan harganya. Sistem referensi pahat

menggunakan 3 macam bidang yang saling berpotongan pada suatu titik pada mata

potong utama S. Titik tersebut dinamakan titik terpilih (O, Selected point on the

cutting edge) melalui nama orientasi bidang-bidang tersebut ditentukan, yaitu:

Page 27: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

32

1. Bidang Referensi (𝑃r, Tool Reference Plane) : bidang yang melalui titik

terpilih dan ditentukan tegak lurus terhadap vektor kecepatan potong

(primary motion).

2. Bidang Mata Potong (𝑃s, Tool Cutting Edge Plane): bidang yang

ditentukan berimpit atau menyinggung mata potong utama pada titik

terpilih dan tegak lurus bidang referensi 𝑃r.

3. a. Bidang Ortogonal (𝑃o, Tool Orthogonal Plane): bidang yang melalui

titik terpilih dan ditentukan tegak lurus dengan kedua bidang yang lain

yaitu bidang referensi 𝑃r dan bidang mata potong 𝑃s.

b. Bidang Normal (𝑃n, Cutting Edge Normal Plane): bidang yang

ditentukan tegak lurus terhadap mata potong utama atau garis

singgungnya pada titik terpilih.

Dari definisi ketiga bidang diatas maka sistem referensi pahat sebetulnya

dapat dipecah menjadi 2 macam yaitu: Sistem Orthogonal dengan ketiga bidang

saling tegak lurus (𝑃r, 𝑃s, dan 𝑃o) dan Sistem Normal dengan kedua bidang saling

tegak lurus (𝑃s dengan 𝑃r dan 𝑃ndengan 𝑃s) tetapi 𝑃n belum tentu tegak lurus dengan

𝑃r. Orientasi 𝑃n terhadap 𝑃r ditentukan oleh sudut miring (𝜆s, inclination angle). Bila

𝜆s = 0, maka 𝑃n ┴ 𝑃r dan sistem normal akan sama dengan sistem orthogonal.

Page 28: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

33

Gambar 2.9 Sistem Referensi Pahat (Rochim, 1985).

Ketiga bidang dalam sistem referensi pahat saling berpotongan sehingga

terbentuk sumbu-sumbu yang merupakan sistem koordinat tangan kanan (Right Hand

Coordinate System) yaitu:

1. Sumbu 𝑋o, perpotongan antara 𝑃s dengan 𝑃r,

2. Sumbu 𝑌o, perpotongan antara 𝑃s dengan 𝑃o, dan

3. Sumbu 𝑍o, perpotongan antara 𝑃r dengan 𝑃o, atau 𝑃n

Sumbu 𝑌o positif dalam arah berlawanan dengan arah kecepatan potong pahat relatif

terhadap benda kerja (atau searah dengan arah gaya potong pada pahat). Kedua

sumbu yang lain, 𝑋o dan 𝑍o berharga positif sesuai dengan kaidah tangan kanan (ibu

jari X, telunjuk Y, dan jari tengah Z). (Rochim, 1985).

Page 29: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

34

2.9 Optimisasi Geometri Pahat

Proses pemesinan enggunakan pahat sebagai perkakas potongnya dan

geometri dari pahat tersebut akan merupakan salah satu faktor terpenting yang

menentukan keberhasilan proses pemesinan. Geometri pahat harus dipilih dengan

tepat disesuaikan dengan kenis material benda kerja, material pahat, dan kondisi

pemotongan sehingga salah satu atau beberapa obyektif dapat tercapai. Berbagai

obyektif atau tujuan itu antara lain ialah, tingginya umur pahat, rendahnya gaya atau

daya pemotongan, halusnya permukaan dan ketelitian geometri produk. Seseorang

perencana proses haus mampu memilih pahat atau menentukan sudut-sudut pahat

yang cocok bagi suatu pekerjaan yang spesifik sehingga proses pemesinan dapat

dioptimumkan. (Rochim, 1985).

2.9.1 Sudut Bebas Orthogonal

Fungsi sudut bebas adalah untuk mengurangi gesekan antara bidang

utama 𝐴α dengan bidang transien dari benda kerja. Dengan demikian

temperature yang tinggi akibat gesekan akan dihindari supaya keausan tepi

(flank wear) tidak cepat terjadi, pemilihan harga sudut bebas ditentukan oleh

jenis benda kerja dan kondisi pemotongan. Gerak makan f akan menetukan

harga sudut bebas. Semakin besar harga gerak makan maka gaya pemotongan

akan semakin besar sehingga untuk memperkuat pahat diperlukan sudut

penampang 𝑆o yang benar, oleh sebab itu tepaksa sudut bebas αo diperkecil

(bila sudut geram Ɣ𝑜 tak boleh diubah).

Page 30: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

35

Umumnya untuk suatu harga gerak makan tertentu ada suatu harga

optimum bagi sudut bebas yang memberikan umur pahat tertinggi.

Gambar 2.9a menunjukkan umur pahat sebagai fungsi dari sudut bebas

αo. Dimulai dari harga yang kecil, umur pahat akan naik bila αo diperbesar

(karena gesekan diperkecil). Akan tetapi setelah mencapai harga tertentu

(optimum) umur pahat menurun kembali karena kecilnya sudut penampang

yang menghalangi proses perambatan panas. Gambar 2.9a juga menunjukkan

bahwa suatu harga sudut bebas, umur pahat akan menurun bila gerak makan f

diperbesar. Hal ini sesuai dengan menaiknya sudut gerak putar T yang akan

menurunkan sudut bebas kerja αoe. Sebagai petunjuk umum dalam pemesinan

benda kerja pahat, harga sudut bebas αo dipilih sesuai dengan gerak makan,

yaitu: Bila : f < 0,2 mm/putaran, maka αo = 12𝑜

Bila : f > 0,2 mm/putaran, maka αo = 8𝑜

Karena pengaruh deformasi akibat gaya makan yang tinggi, maka

harga sudut bebas tersebut dapat diperkecil sedikit bila material benda kerja

sangat keras, atau diperbesar bila benda kerja relatif lunak. (Rochim, 1985).

Page 31: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

36

Gambar 2.10 Umur pahat T sebagai fungsi dari sudut bebas orthogonal

𝛂𝐨 (Rochim, 1985).

2.9.2 Sudut Potong Utama, (𝑲𝐫)

Sudut potong utama mempunyai peran antara lain:

1. Menentukan lebar dan tebal geram sebelum terpotong ( b

dan h),

2. Menentukan panjang mata potong yang aktif atau panjang

kontak antara geram dengan bidang geram pahat, dan

3. Menentukan besarnya gaya radial 𝐹x.

Untuk kedalaman potong a dan gerak makan f yang tetap. Maka

dengan meperkecil sudut potong utama akan menentukan tebal geram

sebelum terpotong h dan menaikkan lebar geram b sebagai berikut:

h = f sin 𝐾r, dan b = a/ sin 𝐾r.

Page 32: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

37

Tebal geram h yang kecil secara langsung akan menurunkan

temperature pemotongan, sedangkan lebar geram b yang besar akan

mempercepat proses perambatan panas pada pahat sehingga temperature pahat

akan relatif rendah.

Dengan demikian umur pahat akan lebih tinggi atau dengan kata lain

kecepatan potong dapat lebih dipertinggi untuk menaikkan kecepatan

produksi. Akan tetapi pemaaian sudut potong utama yang kecil tidak selalu

menguntungkan sebab akan menaikkan gaya radial 𝐹x. Gaya radial yang besar

mungkin menyebabkan lenturan yang terlalu besar ataupun getaran (Chatter)

sehingga menurunkan ketelitian geometris produk dan hasil pemotongan

terlalu kasar.

Tergantung pada kekakuan (Stiffness) benda kerja dan pahat serta

metoda pencekaman benda kerja serta sudut akhir/geometri benda kerja, maka

operator mesin dapat memilih pahat dengan sudut 𝐾r yang cocok atau dengan

mengubah sudut penempatan datar G sehingga sudut kerja 𝐾re dapat diubah

sampai mendapat harga yang optimum. (Rochim, 1985).

Page 33: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

38

Gambar 2.11 Pengaruh sudut 𝑲𝐫 terhadap gaya radial 𝑭𝐱 (Rochim,

1985).

2.10 Kerusakan dan Keausan Pahat

Dalam prakteknya umur pahat tidak hanya dipengaruhi oleh geometri pahat

saja melainkan juga oleh semua faktor yang berkaitan dengan proses pemesinan yaitu

antara lain jenis material benda kerja dan pahat, kondisi pemotongan (kecepatan

potong, kedalaman potong, dan gerak makan), cairan pendingin dan jenis proses

pemesinan.

Page 34: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

39

Dalam berbagai situasi seperti ini proses pemesinan tidak akan berlangsung

terus sebagaimana yang dikehendaki karena makin lama pahat akan menunjukkan

tanda-tanda yang menjurus pada kegagalan proses pemesinan.

Kerusakan atau keausan pahat akan terjadi dan penyebabnya harus diketahui

untuk menentukan tindakan koreksi seingga dalam proses pemesinan selanjutnya

umur pahat akan relatif lebih tinggi. (Rochim, 1985).

Pahat

Benda kerja

VB (mm)

HSS Baja dan besi tuang 0.3 – 0.8

Karbida Baja 0.2 – 0.6

Karbida Besi tuang dan non ferrous 0.4 – 0.6

Keramik Baja dan besi tuang 0.3

Tabel 2.4: Batas keausan tepi kritis pada pahat (Rochim, 1985)

2.10.1 Bidang aktif pahat yang mengalami kerusakan/keausan

Selama proses pembentukan geram berlangsung, pahat dapat

mengalami kegagalan dari fungsinya yang normal karena berbagai sebab

antara lain :

1. Keausan yang secara bertahap membesar (tumbuh) pada bidang

aktif.

Page 35: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

40

2. Retak yang menjalar sehingga menimbulkan patahan pada mata

potong pahat.

3. Deformasi plastis yang akan mengubah bentuk/geometri pahat.

Jenis kerusakan yang terakhir diatas jelas disebabkan ole tekanan dan

temperature yang tinggi pada bidang aktif pahat dimana kekerasan dan

kekuatan material pahat akan turun bersama dengan naiknya temperature.

Keretakan dan terutama keausan disebabkan oleh berbagai faktor.

Keausan dapat terjadi pada bidang geram (𝐴ɣ) dan atau pada bidang utama

(𝐴α) dari pahat. Karena bentuk dan letaknya yang spesifik, keausan pada

bidang geram disebut dengan keausan kawah (reater wear) dan keausan pada

bidang utama/mayor dinamakan sebagai keausan tepi (flank wear).

Gambar 2.12 Keausan kawah dan keausan tepi

(http://wesunarkd.blogspot.co.id/2015/12/keausan-dan-umur-pahat.html)

Page 36: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

41

Kerusakan tepi dapat ddiukur dengan menggunakan mikroskop,

dimana bidang mata potong Ps diatur sehingga tegak lurus dengan sumbu

optis. Dalam hal ini besarnya keausan tepi dapat diketahui dengan mengukur

panjang VB (mm), yaitu jarak antara mata potong sebelum terjadi keausan

(mata potong didekatnya dipakai sebagai referensi) sampai kegaris rata-rata

bekas keausan pada bidang utama. Sedangkan keausan kawah hanya dapat

diukur dengan mudah dengan memakai alat ukur kekasaran permukaan.

Untuk itu jarum/sensor alat ukur digeserkan pada bidang geram

dengan sumbu penggeseran diatur sehingga sejajar bidang geram. Dari grafik

profil permukaan yang diperoleh dapat diukur jarak/kedalaman yang paling

besar yang menyatakan harga KT (mm). (Rochim, 1985).

Gambar 2.13 Keausan tepi berdasarkan standar ISO 3685 : 1993

(http://ejournal.undip.ac.id/index.php/rotasi)

Page 37: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

42

kedalaman maksimum itulah kedalaman keausan kawah yang

dinyatakan dengan KT (mm).

Keausan tepi menurut ISO 3685 terdapat 3 daerah penting, antara lain:

1. Daerah N: merupakan kedalaman potong dibagi empat.

2. Daerah C: merupakan daerah nose radius

3. Daerah B: merupakan kedalaman potong dikurangi daerah C dan

daerah N.

Penyebab keausan dapat merupakan satu faktor ataupun gabungan dari

beberapa faktor. Faktor-faktor penyebab keausan antara lain proses: abrasive,

kimiawi, adhesi, difusi, oksidasi, deformasi plastik, keretakan, dan kelelahan.

(Nugroho, dkk, 2010).

2.10.2 Mekanisme Keausan Tepi Pahat

Umur pahat dipengaruhi oleh beberapa faktor: geometri pahat,

material pahat, benda kerja, kondisi pemotongan dan cairan pendingin.

Dengan kondisi seperti ini proses permesinan tidak akan berlangsung terus-

menerus seperti yang dikehendaki karena pahat makin lama akan menjurus

kepada kegagalan proses permesinan. (Nugroho, dkk, 2010).

Page 38: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

43

Berdasarkan hasil-hasil penelitian mengenai keausan kerusakan pahat

dapat disimpulkan bahwa penyebab keausan dan kerusakan pahat dapat

merupakan suatu faktor yang dominan atau gabungan dari beberapa faktor

yang tertentu. Faktor-faktor penyebab tersebut antara lain adalah:

1. Proses Abrasif

2. Proses Kimiawi

3. Proses Adhesi

4. Proses Difusi

5. Proses Oksidasi

6. Proses Deformasi Plastis

7. Proses Keretakan dan Kelelahan

2.11 Umur Pahat

Umur pahat merupakan seluruh waktu pemotongan (tc) sehingga dicapai batas

keausan yang telah ditetapkan (VB maks = 0,8 mm). Pertumbuhan keausan pahat

pada kecepatan potong yang berbeda sampai batas kritis keausan pahat HSS. Bahwa

dengan meningkatnya kecepatan potong (Vc) maka keausan pahat akan meningkat

juga dan umur pahat akan menurun. Keausan pahat akan tumbuh dan membesar

dengan bertambahnya waktu pemotongan sampai pada suatu saat pahat yang

bersangkutan dianggap tidak dapat dipergunakan lagi karena telah ada tanda-tanda

tertentu yang menunjukkan bahwa umur pahat telah habis.

Page 39: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

44

Pada dasarnya dimensi keausan menentukan batas umur pahat, dengan

demikian kecepatan pertumbuhan keausan menentukan laju saat berakhirnya masa

guna pahat. Pertumbuhan keausan tepi pada umumnya mengetahui bentuk

sebagaimana gambar hubungan waktu dengan panjang keausan tepi, yaitu dengan

mulai pertumbuhan yang relatif cepat sesaat setelah pahat digunakan, diikuti

pertumbuhan yang linier setaraf dengan bertambahnya waktu pemotongan, dan

setelah batas tertentu pertumbuhan akan kembali cepat kembali.

Saat dimana pertumbuhan cepat pada keausan tepi pahat timbul kedua kalinya

itu dianggap sebagai batas umur pahat, dan dalam hal ini terjadi pada harga keausan

tepi (VB) yang relatife sama untuk kecepatan potong yang berbeda. Sampai batas ini

keausan tepi dapat dianggap sebagai fungsi pangkat (power function) dari waktu

pemotongan (tc) dan bila digambarkan pada skala dobel logaritma mereka

mempunyai hubungan linier.

Gambar 2.14 Pertumbuhan keausan tepi untuk gerak makan tertentu

dan kecepatan potong yang berbeda

(http://ejournal.undip.ac.id/index.php/rotasi)

Page 40: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

45

Gambar tersebut menentukan pertumbuhan keausan yang moderat yang akan

dialami oleh suatu jenis pahat pada kondisi pemotongan yang dianggap moderat bagi

pahat yang bersangkutan. (Nugroho, dkk, 2010).

2.12 Baja

Baja merupakan salah satu jenis logam yang banyak digunakan dengan unsur

karbon sebagai salah satu dasar campurannya. Di samping itu baja juga mengandung

unsur-unsur lain seperti sulfur (S), fosfor (P), silikon (Si), mangan (Mn), dan

sebagainya yang jumlahnya dibatasi. Sifat baja pada umumnya sangat dipengaruhi

oleh prosentase karbon dan struktur mikro. Struktur mikro pada baja karbon

dipengaruhi oleh perlakuan panas dan komposisi baja. Karbon dengan unsur

campuran lain dalam baja membentuk karbid yang dapat menambah kekerasan, tahan

gores dan tahan suhu baja. Perbedaan prosentase karbon dalam campuran logam baja

karbon menjadi salah satu cara mengklasifikasikan baja. Berdasarkan kandungan

karbon, baja dibagi menjadi tiga macam, yaitu :

1. Baja karbon rendah

Baja kabon rendah (low carbon steel) mengandung karbon dalam

campuran baja karbon kurang dari 0,3%. Baja ini bukan baja yang keras

karena kandungan karbonnya yang rendah kurang dari 0,3%C. Baja karbon

rendah tidak dapat dikeraskan karena kandungan karbonnya tidak cukup untuk

membentuk struktur martensit.

Page 41: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

46

Gambar 2.15 Baja karbon rendah

(http://an-tika.blogspot.co.id/2012/04/baja-karbon-pengetahuan-bahan-4.html)

2. Baja karbon menengah

Baja karbon sedang (medium carbon steel) mengandung karbon

0,3%C – 0,6%C dan dengan kandungan karbonnya memungkinkan baja untuk

dikeraskan sebagian dengan perlakuan panas (heat treatment) yang sesuai.

Baja karbon sedang lebih keras serta lebih lebih kuat dibandingkan dengan

baja karbon rendah.

Gambar 2.16 Baja karbon menengah

(http://an-tika.blogspot.co.id/2012/04/baja-karbon-pengetahuan-bahan-4.html)

Page 42: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

47

3. Baja karbon tinggi

Baja karbon tinggi (High Carbon Steel) mengandung 0,6%C – 1,5%C

dan memiliki kekerasan tinggi namun keuletannya lebih rendah, hampir tidak

dapat diketahui jarak tegangan lumernya terhadap tegangan proporsional pada

grafik tegangan regangan. Berkebalikan dengan baja karbon rendah,

pengerasan dengan perlakuan panas pada baja karbon tinggi tidak

memberikan hasil yang optimal dikarenakan terlalu banyaknya martensit

sehingga membuat baja menjadi getas.

Gambar 2.17 Baja karbon tinggi

(https://ardonblog.wordpress.com/2016/09/27/jenis-jenis-baja/)

2.13 Baja ST42

Merupakan baja karbon rendah, kadar karbon sampai 0,25%, sangat luas

pemakaiannya, sebagai baja konstruksi umum, untuk baja profil rangka bangunan,

baja tulangan beton, rangka kendaraan, mur, baut, pelat, pipa, dll. Strukturnya terdiri

dari ferrit dan sedikit perlite, sehingga baja ini kekuatannya relatif rendah, lunak

namun keuletannya tinggi, mudah dibentuk dan dimachining.

Page 43: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

48

Baja ini dapat dikeraskan (kecuali dengan pengerasan permukaan). Ada juga

yang membagi kelompok ini, yang kadar karbonnya sangat rendah, kurang dari

0,15% sebagai dead mild steel, yang biasanya digunakan untuk baja lembaran, besi

beton, besi strip, dll. (www.scribd.com/doc/94530623/Lapres-Metalurgi-Bismillah-

Bener).

Menurut kekuatannya: St37, St42, St50, dst. (Standar DIN Jerman).

St XX

Kekuatan dalam kg/𝑚𝑚2

Baja (Steel)

Contoh: ST37 = Baja dengan kekuatan 37 kg/𝑚𝑚2.

(https://www.slideshare.net/adikrisnawan/blower?from_action=save)

Dalam banyak standar nasional, baja untuk keperluan struktur umum

ditentukan berdasarkan kekuatan tarik minimum yang dibutuhkan. Tabel 2.4

menunjukkan spesifikasi standar baja untuk keperluan struktur umum, menurut empat

standar nasional. Misalnya, material dengan sebutan DIN 17000 St 42 ini setara

dengan BS 4360 Grade 43A.

Page 44: BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Klasifikasi Proses Pemesinaneprints.umm.ac.id/41921/3/BAB II.pdf · dengan tebal geram ℎ ... memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi. 16 Kekerasan

49

Kedua bahan tersebut diharapkan memiliki kekuatan tarik minimum

maksimal 410-490 (Average of 420-430) Mpa. Gambar 42 atau 43 dalam penunjukan

St 42 dan 43A oleh karena itu mewakili 1/10 dari kekuatan tarik minimum yang

diijinkan. (Nyangasi, Materials for Machine Part)

DIN 1700

BS3 4360

Grade

ASTM4

A283-78

Grade

JIS

G3101-

G3125

Tensile

Strength

Mpa

C % P% S%

St 34 - A283 B SS 34 330-410 <= 0.17 <= 0.06 <= 0.05

St 37 - A283 B - 360-440 <= 0.17 <= 0.05 <= 0.05

St 42 43A A283 B SM 41 410-490 <= 0.25 <= 0.05 <= 0.05

St 50 50C A573Gr70 SM 50 490-590 0.25 <= 0.08 <= 0.05

St 50-3 - A633GrE SS 33 510-610 <= 0.22 <= 0.45 <= 0.45

St 60 - - - 590-700 0.4 <= 0.05 <= 0.05

St 70 - - - 685-830 0.5 <= 0.05 <= 0.05

1. DIN (German Industrial Standards)

2. BS (British Standards)

3. ASTM (American Standard for the Testing of Materials)

4. JIS (Japanese Industrial Standards)

Tabel 2.5 Standar Nasional Baja untuk keperluan struktural umum (Nyangasi,

Materials for Machine Part)