25
49 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai toereken-baareid,” criminal rensposibility,” criminal liability”. Pertanggungjawaban pidana di sini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang dilakukanya itu. 1 Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan “tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat. 2 Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delik, dilihat dari segi masyarakat patut dicela. 3 Dengan demikian, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu pertama harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan 1 S.R Sianturi,Op.Cit, Hal.245 2 Djoko Prakoso, Op.Cit, Hal.75 3 Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Hal. 31

BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Pertanggungjawaban Pidana DESSY... · mereka dan pada dasarnya ... Keanggotaan di dalam koperasi ... bahwa Perekonomian sebagai usaha bersama dengan berdasar

  • Upload
    vucong

  • View
    219

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

49

BAB II

TINJAUAN UMUM

1.1 Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai

“toereken-baareid,” “criminal rensposibility,” “criminal liability”.

Pertanggungjawaban pidana di sini di maksudkan untuk menentukan apakah

seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak

terhadap tindakan yang dilakukanya itu.1

Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak

termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh

mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai

kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak

tertulis mengatakan “tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar

dari pada di pidananya si pembuat.2

Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada

waktu melakukan delik, dilihat dari segi masyarakat patut dicela.3 Dengan

demikian, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal,

yaitu pertama harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan

1 S.R Sianturi,Op.Cit, Hal.245 2 Djoko Prakoso, Op.Cit, Hal.75 3Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana, PT Pradnya

Paramita, Jakarta, Hal. 31

50

kata lain, harus ada unsur melawan hukum. Kedua, terhadap pelakunya ada unsur

kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang

melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.

Unsur melawan hukum merupakan salah satu unsur perbuatan pidana.

Bilamana suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum?

Sesorang dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila

perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebgaimana dirumuskan dalam undang-

undang.

Sifat melawan hukum menurut para ahli hukum pada umumya dibagi

menjadi dua macam, yaitu:

a. Sifat melawan hukum formil; dan

b. Sifat melawan hukum materiil.

Menurut ajaran sifat melawan hukum formil, yang disebut melawan

hukum adalah apabila suatu perbuatan telah sesuai dengan semua unsur yang

terdapat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan

tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Jadi menurut

ajaran sifat melawan hukum formil, melawan hukum sama dengan melawan

undang-undang atau hukum tertulis. Sedangkan menurut ajaran sifat melawan

hukum materiil, di samping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu sesuai dengan

semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik dan perbuatan tersebut harus

benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau

51

tercela. Ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang.

Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak

tertulis.

Kedua ajaran ini dapat disimpulkan bahwa, apabila suatu perbuatan itu

memenuhi rumusan delik, maka perbuatan itu dapat diindikasikan bersifat

melawan hukum. Namun sifat melawan hukum tersebut dapat pula dihapus

dengan adanya alasan pembenar. Seperti halnya tidak disengaja menghilangkan

nyawa orang lain dikarenakan berusaha melindungi diri. Hal ini dapat dijadikan

alasan pembenar karena apabila pelaku tidak melindungi diri maka pelakulah

yang akan kehilangan nyawanya. Tindakan ini dapat terjadi apabila pelaku

memang dalam posisi melindungi diri dari ancaman sesorang sehingga pelaku

terpaksa untuk melawan.

Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun

perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak

dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana. Seseorang

baru dikatakan memenuhi syarat untuk dipidana apabila mempunyai kesalahan

atau bersalah. Asas yang berlaku dalam hal ini adalah asas keine strafe ohne

schuld atau geen straf zonder schuld atau Tiada Pidana Tanpa Kesalahan. Asas ini

memang tidak tercantum dalam KUHP Indonesia, namun berlakunya asas ini

adalah berdasarkan tujuan dari pemidanaan yaitu untuk keadilan. Untuk itu harus

52

diingat bahwa untuk adanya kesalahann dalam arti yang seluas-luasnya

(pertanggungjawaban pidana), orang yang bersangkutan harus dinyatakan lebih

dulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.

Selain sifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana juga dapat

dilihat dari unsur kesengajaan dan karena kealpaan. Apabila dicermati dalam

rumusan pasal-pasal yang ada dalam KUHP, terutama buku kedua, tampak

dengan jelas disebutkan istilah kesengajaan atau kealpaan. Adapun pasal-pasal

tersebut adalah:

1. Dengan sengaja. Misalnya, Pasal 338 KUHP yang

berbunyi:“barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang

lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling

lama lima belas tahun.”

2. Karena kealpaan. Misalnya, Pasal 359 KUHP yang

berbunyi:“barang siapa karena kesalahannya (kealpaanya)

menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara

paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.”

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek) Tahun

1809 dicantumkan: “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak

melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-

undang.” Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan

unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.

53

Secara teoritis bentuk kesalahan berupa kesengajaan dibedakan menjadi

tiga corak, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan dengan sadar

kepastian, dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).4

Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud

melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia

dianggal lalai melakukan perbuatan tersebut jadi dalam kealpaan terdakwa kurang

berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan sehingga menimbulkan keadaan

yang dilarang.

Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat bahwa pertumbuhan dari hukum

pidana menitik beratkan kepada perbuatan orang berserta akibatnya. Apabila

perbuatannya tersebut mengakibatkan kerugian baik kerugian materiil dan

kerugian moril, maka orang tersebut dapat dikatakan melakukan suatu tindak

pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Untuk adanya

pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu

bertanggungjawab. Mengenai kemampuan seseorang untuk bertanggungjawab,

menurut KUHP diatur dalam Pasal 44 KUHP. Dalam penjabaran Pasal 44 KUHP

tidak dijelaskan langsung mengenai kemampuan seseorang untuk dapat

bertanggungjawab melainkan menjabarkan keadaan bagaimana seseorang tidak

mampu bertanggungjawab. Adapun bunyi Pasal 44 KUHP adalah sebagai

berikut:“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

4 Moeljatno, 1985, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, Hal. 174-

175

54

dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau

jiwa yang terganggu karena penyakit tidak dipidana”

Moeljatno menyebutkan bahwa untuk adanya kemampuan

bertanggungjawab harus ada:

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan

yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan

tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.5

2.2 Koperasi

Ide Koperasi lahir dalam era kejayaan kapitalisme. Jika kapitalisme

berpijak pada paham tentang pentingnya peranan modal dalam kegiatan ekonomi,

maka koperasi lebih mengutamakan peranan manusia dalam memupuk modal.6

Koperasi berfungsi sebagai suatu badan usaha yang melakukan usaha

perbaikan tingkat kehidupan ekonomi dari orang-orang yang berasal dari

kelompok pekerja atau orang-orang yang kurang mampu.Secara etimologi,

koperasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu cooperatives; merupakan

gabungan dua kata co dan operation dan dalam bahasa Belanda disebut

cooperatie, yang artinya adalah kerja bersama.7

5 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, Hal.54

6 Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay, Op.Cit, Hal. 14 7Ibid, Hal. 15

55

Dalam Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

memberikan definisi koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan orang

seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya

berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang

berdasarkan atas asas kekeluargaan.

Frank Robotka dalam tulisannya yang berjudul A Theory of Cooperative,

mengemukakan bahwa kebanyakan ekonom-ekonom Amerika Serikat yang telah

menulis tentang teori koperasi, pada umumnya menerima ide-ide umum tentang

perkumpulan koperasi (cooperative business association) sebagai berikut:

a. Suatu perkumpulan koperasi adalah suatu bentuk badan usaha atau

persekutuan ekonomi, yakni suatu perkumpulan yang anggota-anggotanya

adalah para langganannya (patrons). Koperasi diorganisasikan oleh

mereka dan pada dasarnya dimiliki dan diawasi oleh para anggota dan

bekerja untuk kemanfaatan mereka.

b. Mengenai teknik organisasi dan teknik operasional, pembagian, dan

praktik usahanya terdapat kesesuaian pendapat dengan apa yang disebut

Rochdale Principle. Misalnya berdagang harga umum, pembagian sisa

hasil usaha menurut jasa anggota, menolak pemberian suara yang diwakili

(proxy voting), pengawasan hanya dilakukan oleh anggota yang aktif

(active patrons members), pembayaran yang rendah oleh para anggotanya

untuk keanggotaanya, netral dalam politik dan agama, dan seterusnya.

c. Koperasi sebagai struktur ekonomi merupakan suatu kombinasi horizontal

dari unit-unit yang dikoordinasikan, yang melayani berbagai tujuan dari

unit-unit itu. Akan tetapi, bila integrasi vertical dipertimbangkan baik ke

depan terhadap para konsumen atau ke belakang terhadap sumber yang

tersedia, kombinasi horizontal adalah perlu diantara unit-unit yang terlalu

kecil untuk melaksanakan integrasi vertical secara individual.

d. Mengenai hubungan ekonomi yang terjadi diantara anggota suatu

koperasi, Black mengatakan bahwa koperasi merupakan antitesis dari

persaingan, yakni bahwa anggota-anggota lebih bersifat bekerjasama

daripada bersaing di antara mereka sendiri.

e. Pengakuan atas implikasi dari bentuk bukan kumpulan modal dan bukan

mengejar keuntungan dari koperasi yang bertitik tolak dari prinsip-prinsip

56

Rochdale di mana Nourse telah menunjukkan bentuk organisasi demikian

yaitu suatu bentuk yang sangat berbeda dengan sebuah perseroan yang

mengejar keuntungan dan bekerja dengan suatu rencana atau skema

khusus untuk memperoleh keuntungan.

f. Keanggotaan di dalam koperasi lebih mendasarkan kepada anggota secara

perseorangan daripada atas dasar yang bersifat finansial bukan perorangan

(impersonal financial basis). Orang akan secara sukarela bergabung atas

dasar keinginan mereka sendiri, penilaian perseorangan dan kesanggupan

serta kemauan untuk menepati janji termasuk di dalamnya pelaksanaan

timbale balik terutama terhadap resiko dan biaya-biaya.

g. Koperasi merupakan suatu wadah di mana para anggotanya secara lebih

efektif menunjukkan fungsi-fungsinya yang tertentu, proses atau aktivitas-

aktivitas yang berhubungan secara integraldengan kegiatan-kegiatan

ekonomi dari para anggota. Koperasi semacam ini bukan suatu unit

ekonomi yang mengejar karier ekonomi yang berifat bebas.

h. Keanggotaan dalam koperasi yang sungguh-sungguh tidak ditentukan oleh

pengikutsertaan modalnya, akan tetapi oleh partisipasinya dalam kegiatan-

kegiatan koperasi yang bersangkutan. Modal koperasi yang demikian

terlepas sama sekali dari konotasi entrepreneur yang tradisional

(traditional entrepreneurial connotation) dan didasarkan atas dasar

pinjaman.

i. Karena suatu kegiatan yang dilaksanakan secara kooperatif adalah suatu

usaha yang timbal balik, maka anggota-anggota koperasi itu setuju untuk

memenuhi kewajiban-kewajiban dalam usaha memperoleh keuntungan

timbal balik dalam hubungannya dengan pelaksanaan fungsi-fungsi

tertentu yang biasa berlaku dalam mencapai tujuan ekonomi mereka, yang

bukan anggota adalah bukan bagian dari perkumpulan semacam ini. oleh

karena itu tidak konsisten koperasi melayani mereka.8

Margono Djojohadikoesoemo mengatakan bahwa Koperasi ialah

perkumpulan manusia seorang-seorang yang dengan sukanya sendirian hendak

bekerja sama untuk memajukan ekonominya. Adapun unsur-unsur yang tersirat

dalam definisi tersebut adalah

1. Unsur kesukarelaan dalam berkoperasi

8Ibid, Hal 17-18

57

2. Bahwa dengan bekerjasama manusia akan lebih mudah mencapai apa

yang diinginkan

3. Bahwa pendirian dari suatu koperasi mempunyai pertimbangan-

pertimbangan ekonomis.

R.S Soeriaatmadja, memberikan definisi koperasi sebagai suatu perkumpulan

dari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat sebagai manusia, dengan tidak

memandang haluan agama dan politik secara sukarela masuk, untuk sekedar

memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat kebendaan atas tanggungan bersama.

Kalau diteliti lebih lanjut, adapun unsur-unsur yang terdapat dalam definisi

tersebut adalah:

1. Unsur demokrasi;

2. Unsur sosial;

3. Unsur tidak semata-mata mencari keuntungan.

Terdapat 6 ciri Koperasi yaitu:

1. Sebagai badan usaha yang pada dasarnya untuk mencapai suatu

tujuan keuntungan ekonomis sehingga dapat bergerak disegala sektor

perekonomian di mana saja dengan mempertimbangkan kelayakan

usaha.

2. Harus berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk

meningkatkan usaha dan kesejahteraannya.

3. Sifat keanggotaanya sukarela tanpa paksaan.

4. Pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para

anggota memegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi sehingga

anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.

5. Pembagian pendapatan atau sisa hasil usaha di dalam koperasi

didasarkan pertimbangan jasa usaha anggota kepada koperasi

dibatasi, yaitu tidak melebihi suku bunga yang berlaku di pasar,

58

sehingga dengan demikian tidak didasarkan atas besarnya modal

yang diberikan.

6. Koperasi bersifat mandiri, memiliki kebebasan yang

bertanggungjawab, memiliki otonomi, swadaya, serta

mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri dan keinginan

mengelola diri sendiri.9

Indonesia sebagai negara yang turut memajukan perekonomian bagi

seluruh lapisan masyarakat dengan berlandaskan asas kekeluargaan juga dapat

dilihat dengan jelas dalam definisi Koperasi oleh Mohammad Hatta dalam

bukunya The Cooperative Movement in Indonesia.10 Beliau mengemukakan

bahwa koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan

ekonomi berdasarkan tolong menolong. Koperasi melambangkan harapan bagi

kaum yang lemah ekonominya berdasarkan self-help dan tolong menolong di

antara anggota-anggotanya yang melahirkan diantara mereka rasa percaya pada

diri sendiri dan persaudaraan. Koperasi menyatakan semangat baru untuk

menolong diri sendiri yang didorong oleh keinginan member jasa kepada kawan

berdasarkan kebersamaan.

Dalam pidato Mohammad Hatta pada tanggal 12 Juli 1951 disebutkan

bahwa Perekonomian sebagai usaha bersama dengan berdasar kekeluargaan

adalah koperasi, karena koperasilah yang menyatakan kerjasama antara mereka

yang berusaha sebagai suatu keluarga. Sebagaimana orang sekeluarga

9 H. Budi Untung, 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia, Penerbit Andi,

Yogyakarta, Hal.3 10 Andjar Pachta W, Op.Cit, Hal.19

59

bertanggungjawab atas keselamatan rumah tangganya, demikian pula para

anggota koperasi sama-sama bertanggungjawab atas koperasi mereka. Makmur

koperasinya makmurlah hidup mereka bersama, rusak koperasinya rusaklah pula

hidup mereka bersama. Adapun yang dimaksud oleh Mohammad Hatta, Pasal 38

UUDS 1950 dalam pidato tersebut adalah Pasal 33 dalam UUD 1945 yaitu

perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas

kekeluargaan. Asas kekeluargaan dalam Pasal inilah yang menjadi pondasi dasar

dalam berdirinya suatu koperasi yang baik bagi masyarakat Indonesia.

Sejarah Koperasi di Indonesia sesungguhnya berawal dari masa

penjajahan dimana pada saat itu diberlakukan “culturstelsel” yang

mengakibatkan penderitaan bagi rakyat terutama petani dan golongan bawah.

Peristiwa ini menimbulkan gagasan dari seorang Patih Purwokerto, Raden Ario

Wiraatmadja untuk membantu mengatasi kemelaratan rakyat. Kegiatannya

diawali dengan menolong pegawai dan orang kecil dengan mendirikan Hulpen

Spaaren Landbouwcredit, didirikan juga rumah gadai, lumbung desa, dan bank

desa.

Perkumpulan Budi Utomo yang dalam programnya memanfaatkan sektor

perkoperasian untuk mensejahterakan rakyat miskin dimulai dengan koperasi

industri kecil dan kerajinan. Ketetapan kongres Budi Utomo di Yogyakarta

adalah antara lain memperbaiki dan meningkatkan kecerdasan rakyat melalui

pendidikan, serta mewujudkan dan mengembangkan gerakan berkoperasi.

60

Tahun 1915 lahir UU Koperasi yang pertama “Verordening op de

Cooperative Vereeniging” dengan Koninklijk Besluit 7 April 1912 stbl 431 yang

bunyinya sama dengan UU Koperasi di Negara Belanda (tahun 1876) yang

kemudian diubah tahun 1925. Selanjutnya, di zaman pendudukan Jepang, usaha-

usaha koperasi dikoordinasikan/dipusatkan dalam badan-badan koperasi yang

disebut Kumiai yang berfungsi sebagai pengumpul barang-barang logistik untuk

kepentingan perang.

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, usaha pengembangan

Koperasi mengalami pasang surut mengikuti perkembangan politik. Kongres-

kongres koperasi, munas-munas dan lain-lain untuk pengembangan koperasi

terus berlanjut. Puncaknya, pada tahun 1985 akhirnya Indonesia berhasil

melahirkan UU No 70/1985 tentang Koperasi yang pada dasarnya berisi tentang

tata cara pembentukan, pengelolaan koperasi (seperti prinsip-prinsip Rochdale).

UU Koperasi mengalami 2 kali perubahan, yaitu yang pertama adalah UU

No.12/1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian, yang kemudian disempurnakan

dengan UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Koperasi di Indonesia pada hakikatnya, seperti yang diungkapkan oleh

Charles Gide kalau mau berkembang dan tetap setia pada dirinya sendiri dan

tidak menyimpang menjadi bentuk lain, maka nilai-nilai moral yang

mendasarinya harus merupakan realita-realita hidup dalam kegiatan maupun

61

tingkah laku orang-orang koperasi.11 Jadi, dengan kata lain hakikat koperasi tidak

ditentukan dari nama maupun hak badan hukum yang diperolehnya dari

pemerintah, akan tetapi apakah asas dan prinsip-prinsipnya sudah merupakan

kenyataan yang diterapkan dalam setiap kegiatannya serta tingkah laku koperasi

dan anggotanya.

Berdasarkan hakikat tersebut maka dapat kita lihat bahwa koperasi

memiliki tujuan, sifat, nilai dan prinsip-prinsip serta jenis koperasi. Adapun

penjabarannya adalah sebagai berikut:

a. Tujuan Koperasi

Koperasi pada dasarnya mengandung dua unsur yaitu unsur ekonomi

dan unsur sosial. Karena koperasi merupakan suatu sistem dan

sebagaimana diketahui sistem itu merupakan himpunan komponen-

komponen atau bagian yang saling berkaitan yang secara bersama-

sama berfungsi mencapai tujuan.

Tujuan yang dimaksud adalah tujuan ekonomi atau dengan kata lain

bahwa koperasi harus berdasarkan motif ekonomi yaitu mencari

keuntungan, sedangkan unsur sosial lebih untuk menerangkan

kedudukan anggota dalam organisasi, hubungan antar sesama anggota

dan hubungan anggota dengan pengurus, bukan dalam arti

kedermawanan. Unsur sosial juga ditemukan dalam cara koperasi yang

demokratis, kesamaan derajat, kebebasan keluar masuk anggota, calon

11 Ibid, Hal.21

62

anggota, persaudaraan, pembagian sisa hasil usaha kepada anggota

secara proposional dengan jasanya, serta menolong diri sendiri. 12

b. Sifat Koperasi

Koperasi memiliki sifat kerjasama, yaitu antara orang-orang yang

termasuk golongan kurang mampu dalam hal kekayaan yang ingin

meringankan beban hidup atau beban kerja. Persamaan koperasi

dengan bentuk usaha lain adalah sama-sama mengejar suatu

keuntungan kebendaan (stoffelijk voordeel). Perbedaannya adalah

bahwa biasanya koperasi didirikan oleh orang-orang yang benar-benar

memerlukan sekali kerjasama ini untuk mencapai suatu tujuan yang

dikehendaki dengan mendapat cukup keuntungan, tetapi mereka

berusaha untuk memperbesar keuntungan tersebut.

c. Nilai dan Prinsip-Prinsip Koperasi

Koperasi melandaskan nilai-nilai menolong diri sendiri,

bertanggungjawab kepada diri sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan

dan solidaritas. Berdasarkan pengaruh para pendirinya, para anggota

koperasi percaya pada nilai-nilai etis: kejujuran, keterbukaan,

tanggung jawab sosial dan peduli pada orang lain.

12 Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, 2004, Pekoperasian: Sejarah, Teori, dan Praktek,

Ghalia Indonesia, Bogor, Hal. 9

63

Sedangkan prinsip-prinsip koperasi adalah merupakan pedoman bagi

koperasi-koperasi dalam melaksanakan nilai-nilai koperasi dalam

praktik. Adapun prinsip-prinsip koperasi dibagi menjadi empat yaitu:

1. Prinsip Keanggotaan yang Sukarela dan Terbuka

Prinsip ini melihat bahwa koperasi adalah organisasi yang bersifat

sukarela, terbuka bagi semua orang yang bersedia menggunakan

jasa-jasanya dan bersedia menerima tanggungjawab keanggotaan,

tanpa membedakan jenis kelamin (gender) latar belakang sosial,

ras, politik dan agama.

2. Prinsip Pengawasan Demokratis oleh Anggota

Koperasi adalah organisasi demokratis yang diawasi oleh pada

anggotanya, yang secara aktif menetapkan kebijakan dan membuat

keputusan. Dalam koperasi primer, para anggota memiliki hak

suara sama dan koperasi pada tingkat-tingkat lainnya juga dikelola

secara demokratis.

3. Prinsip Partisipasi Anggota dalam Kegiatan Ekonomi

Anggota memberikan kontribusi permodalan koperasi secara adil

dan melakukan pengawasan secara demokratis (terhadap modal

tersebut). Setidak-tidaknya sebagian dari modal itu adalah milik

bersama koperasi. Apabila ada, para anggota biasanya menerima

64

kompensasi yang terbatas atas modal yang disyaratkan untuk

menjadi anggota.

4. Prinsip Otonomi dan Kemandirian (Independence)

Koperasi sebagai organisasi yang otonom, menolong diri sendiri

serta diawasi oleh para anggotanya. Apabila koperasi melakukan

perjanjian dengan organisasi lain, termasuk pemerintah, atau

memupuk modal dari sumber luar, koperasi melakukannya

berdasarkan persyaratan yang menjamin pengawasan demokratis

oleh para anggotanya dan yang mempertahankan otonomi mereka.

5. Prinsip Pendidikan, Pelatihan dan Penerangan

Koperasi memberikan pendidikan dan pelatihan bagi para anggota

wakil-wakil anggota yang dipilih dari rapat anggota serta para

manajer dan karyawan, agar mereka dapat melakukan tugasnya

lebih efektif bagi perkembangan koperasinya. Mereka memberikan

penerangan kepada masyarakat umum-khususnya pemuda dan para

pembentuk opini di masyarakat-tentang hakikat perkoperasian dan

manfaat berkoperasi.

6. Prinsip Kerjasama antar Koperasi

Koperasi melayani anggotanya secara kolektif dan memperkuat

gerakan koperasi dengan bekerjasama melalui organisasi koperasi

tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional.

65

7. Prinsip Kepedulian terhadap Masyarakat

Koperasi melakukan kegiatan untuk pengembangan masyarakat

sekitarnya secara berkelanjutan, melalui kebijakan-kebijakan yang

diputuskan oleh rapat anggota.

d. Jenis-Jenis Koperasi

Untuk memisah-misahkan koperasi yang serba heterogen itu satu sama

lainnya, Indonesia dalam sejarahnya menggunakan berbagai dasar atau

kriteria seperti: lapangan usaha, tempat tinggal para anggota,

golongan, dan fungsi ekonominya. Pemisahan-pemisahan ini

selanjutnya disebut dengan penjenisan.

Dalam Pasal 2 PP No 6/1959 tentang Perkembangan Gerakan

Koperasi, menyatakan bahwa:

(1) Pada dasarnya yang dimaksud dengan penjenisan koperasi ialah

pembedaan koperasi yang didasarkan golongan dan fungsi

ekonomi;

(2) Dalam peraturan ini dasar penjenisan koperasi ditekankan pada

lapangan usaha dan atau tempat tinggal para anggota sesuatu

koperasi.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka terdapatlah 7 jenis

koperasi yang dijabarkan dalam Pasal 3 PP No.6/1959 yaitu:

a. Koperasi Desa

66

b. Koperasi Pertanian

c. Koperasi Peternakan

d. Koperasi Perikanan

e. Koperasi Kerajinan/Industri

f. Koperasi Simpan Pinjam

g. Koperasi Konsumsi.

2.3 Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin

Perbankan merupakan suatu lembaga hukum yang dibentuk dalam

rangka menunjang pelaksanaan pemerataan pembangunan nasional,

pertumbuhan ekonomi dan peningkatan taraf hidup rakyat. Sesuai dengan

ketentuan Pasal 4 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan,

menentukan bahwa Perbankan di Indonesia bertujuan unuk menunjang

pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan

pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan

ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat

banyak. Peran Perbankan sangatlah strategis dalam pembangunan nasional

khususnya dalam pembangunan ekonomi, namun seiring dengan peran

strategis tersebut terdapat pula tindakan yang merugikan dan dapat merusak

kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan tersebut, misalnya

tindak pidana perbankan.

67

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana atau perbuatan

melanggar hukum apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada

menentukanbahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Sutan Remi

Sjadeini mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah

perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika pelaku itu

melakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan perbuatan tertentu yang

dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu

yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.13

Selain itu, Munir Fuady juga berpendapat bahwa kejahatan bank

makin meningkat dewasa ini, modus operandinya pun makin canggih. Bahkan

dalam beberapa kasus, terlibat sindikat mafia, baik dari dalam maupun dari

luar negeri. Di samping itu, lebih dari 90% kejahatan bank di lakukan melalui

kerja sama orang luar dan orang dalam bank. Uniknya, orang dalam tersebut

terdiri dari para young urban profesional (yuppies) Indonesia, dengan ciri-ciri

muda, pintar, gesit. workaholic, ambisius, punya posisi baik, punya

penghasilan, dan memiliki angan-angan tinggi.

Tindak pidana perbankan dan tindak pidana perbankan memiliki

pengertian yang berbeda. Anwar mengemukakan bahwa perbedaan antara

pengertian tindak pidana perbankan dengan tindak pidana dibidang perbankan

didasarkan pada perbedaan perlakukan peraturan terhadap perbuatan-

13Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta,

Hal.26-27

68

perbuatan yang telah melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-

kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tindak pidana perbankan terdiri atas

perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan dalam undang-undang

perbankan, pelanggaran mana dilarang dan diancam dengan pidana oleh

undang-undang perbankan. Sedangkan tindak pidana dibidang perbankan

terdiri atas perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan

usaha pokok bank, perbuatan mana dapat diperlakukan peraturan-peraturan

pidana di luar undang-undang tentang perbankan, seperti KUHAP, undang-

undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan lainnya yang

sejenis.14 Kehidupan perbankan merupakan urat nadi kehidupan ekonomi.

Dengan demikian dalam membicarakan pelanggaran pada dunia perbankan

tidak lepas dari pembicaraan tindak pidana ekonomi. Secara umum tindak

pidana ekonomi adalah tindakan melanggar hukum yang dilakukan karena

atau untuk motif-motif ekonomi.15 Tindak pidana ekonomi ini biasanya

disebut juga kejahatan kerah putih (white collar crime). Secara umum Conklin

merumuskan dan mengidentifikasian unsur-unsur tindak pidana ekonomi

sebagai berikut:

a. Suatu perbuatan melawan hukum yang diancam dengan sanksi

pidana

14M. Arief Amrullah, 2004, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundering), Bayumedia

Publishing, Malang, Hal.52

15Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, Hal.151

69

b. Yang dilakukan ole seseorang, atau korporasi di dalam

pekerjaannya yang sah atau di dalam pencarian/usahanya dibidang

industri atau perdagangan.

c. Untuk tujuan memperoleh uang atau kekayaan, menghindari

pembayaran uang atau menghindari kehilangan/kerugian

kekayaan, memperoleh keuntungan bisnis atau keuntungan

pribadi.16

Seiring dengan perkembangan era globalisasi di segala bidang

kehidupan termasuk perkembangan ekonomi, keuangan, perdagangan,

perbankan dan sosialisasi yang pesat, telah membawa implikasi hukum

tertentu bagi Indonesia. Pertama, bagaimana peranan hukum yang harus

dikedepankan untuk mendukung perubahan-perubahan kebijakan di berbagai

sektor kehidupan masyarakat Indonesia untuk masa kini dan mendatang.

Kedua, peranan hukum mana yang perlu dan mendesak dikedepankan untuk

mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dana masyarakat era

globalisasi.17

Budi Untung mengemukakan bahwa dalam hukum perbankan,

terdapat beberapa kategori tindak pidana perbankan.18 Pertama, tindak pidana

yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum (PT, Yayasan, atau

Koperasi) yang melakukan praktik perbankan tanpa seijin Menteri Keuangan.

16Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta, Hal.138-

139

17Romli Atmasasmita, 2003, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta, Hal.18

18Ibid, Hal.156

70

Praktik Perbankan yang dimaksud misalnya menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan

lain-lain (Pasal 46 UU Perbankan). Kedua, perbuatan tindak pidana yang

dilakukan oleh pegawai bank, komisaris, ataupun direksi yang dengan sengaja

ataupun lalai membuat laporan kepada Bank Indonesia mengenai usahanya

maupun neraca untung rugi secara berkala sesuai dengan tata cara yang

ditentutakn Bank Indonesia (Pasal 48 UU Perbankan). Ketiga, perbuatan

pidana yang dilakukan oleh komisaris, direksi ataupun pegawai bank dengan

cara merusak, menghilangkan, mengaburkan, memalsukan, mengubah

menjadi tidak benar segala sesuatu yang menyangkut “segala dokumen

perbankan” (Pasal 49 ayat (1) UU Perbankan). Keempat, tindak pidana yang

dilakukan oleh komisaris, direksi atau pegawai bank yang menguntungkan

diri sendiri atau keluarganya (karena menerima komisi/ menerima sogokan)

dalam rangka pencairan kredit atau pemberian kredit yang melebihi batas,

bank garansi dan segala macam yang menyengkut transaksi perbankan (Pasal

49 ayat (2) UU Perbankan).

Sedangkan menurut Sofyan Nasution (analis Bank Madya Senior)

Pejabat Bank Indonesia pada Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan

(DIMP). Dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan,

pengaturan mengenai pemidanaan diatur dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal

71

50 A. Dalam ketentuan ini jenis-jenis tindak pidana perbankan

dikelompokkan dalam 5 (lima) kelompok besar yaitu:

1. Tindak pidana berkaitan dengan perijinan

2. Tindak pidana berkaitan dengan kegiatan usaha

3. Tindak pidana berkaitan dengan rahasia bank

4. Tindak pidana berkaitan dengan pengawasan bank oleh Ban

Indonesia

5. Tindak pidana berkaitan dengan pihak terafiliasi

Dalam pendirian sebuah bank, tidak dapat dilakukan dengan sembarangan.

Dengan kata lain, untuk dapat mendirikan sebuah bank harus memenuhi

syarat-syarat yang sudah ditentukan. Untuk pendirian sebuah bank tersebut,

dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, mengatur secara

jelas mengenai syarat pendirian sebuah bank yaitu dalam Pasal 16, 18, 19, dan

Pasal 20.

Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut, dapat kita lihat dengan

jelas bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dan dari

masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu memperoleh ijin

usaha sebagai bank umum atau bank perkreditan rakyat dari pimpinan Bank

Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat yang

dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.

72

Pendirian bank yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah

ditentukan secara tegas dalam UU Perbankan ini dapat dikatakan sebagai bank

gelap dan dapat dikategorikan sebagai bentuk pertama tindak pidana

perbankan. Disebut sebagai bank gelap adalah badan (dalam hal ini berbentuk

bank) yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat tanpa

ijin dari pihak yang berwenang (Bank Indonesia).

Ketentuan mengenai tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan

perijinan ini dapat kita lihat dalam Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU

No.10/1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa:

(1) Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana

penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15

(lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak

Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas,

perserikatan, yayasan, atau koperasi, maka penuntutan terhadap

badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang

memberi perintah melakkan perbuatan itu atau yang bertindak

sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-

duanya.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa yang

diancam dengan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) adalah setiap

orang (orang pada umumnya) yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan (yang meliputi tabungan, deposito berjangka, giro, dan lain

73

sebagainya) namun dilakukan tanpa izin dari pimpinan Bank Indonesia atau

dengan perkataan lain, dapat dikatakan telah membuat suatu bank atau suatu

badan yang berfungsi atau menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah

sebagai sebuah bank namun tidak memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank

Indonesia sehingga dikategorikan sebagai bank gelap. Badan hukum yang

menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah sebagai sebuah bank namun

tidak pernah memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank Indonsia sehingga

dikategorikan sebagai bank gelap dan dapat dikenakan sanksi pidana

berdasarkan Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan.