Upload
vucong
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
49
BAB II
TINJAUAN UMUM
1.1 Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai
“toereken-baareid,” “criminal rensposibility,” “criminal liability”.
Pertanggungjawaban pidana di sini di maksudkan untuk menentukan apakah
seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak
terhadap tindakan yang dilakukanya itu.1
Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak
termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh
mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai
kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak
tertulis mengatakan “tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar
dari pada di pidananya si pembuat.2
Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada
waktu melakukan delik, dilihat dari segi masyarakat patut dicela.3 Dengan
demikian, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal,
yaitu pertama harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan
1 S.R Sianturi,Op.Cit, Hal.245 2 Djoko Prakoso, Op.Cit, Hal.75 3Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana, PT Pradnya
Paramita, Jakarta, Hal. 31
50
kata lain, harus ada unsur melawan hukum. Kedua, terhadap pelakunya ada unsur
kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang
melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Unsur melawan hukum merupakan salah satu unsur perbuatan pidana.
Bilamana suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum?
Sesorang dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila
perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebgaimana dirumuskan dalam undang-
undang.
Sifat melawan hukum menurut para ahli hukum pada umumya dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
a. Sifat melawan hukum formil; dan
b. Sifat melawan hukum materiil.
Menurut ajaran sifat melawan hukum formil, yang disebut melawan
hukum adalah apabila suatu perbuatan telah sesuai dengan semua unsur yang
terdapat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan
tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Jadi menurut
ajaran sifat melawan hukum formil, melawan hukum sama dengan melawan
undang-undang atau hukum tertulis. Sedangkan menurut ajaran sifat melawan
hukum materiil, di samping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu sesuai dengan
semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik dan perbuatan tersebut harus
benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau
51
tercela. Ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang.
Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak
tertulis.
Kedua ajaran ini dapat disimpulkan bahwa, apabila suatu perbuatan itu
memenuhi rumusan delik, maka perbuatan itu dapat diindikasikan bersifat
melawan hukum. Namun sifat melawan hukum tersebut dapat pula dihapus
dengan adanya alasan pembenar. Seperti halnya tidak disengaja menghilangkan
nyawa orang lain dikarenakan berusaha melindungi diri. Hal ini dapat dijadikan
alasan pembenar karena apabila pelaku tidak melindungi diri maka pelakulah
yang akan kehilangan nyawanya. Tindakan ini dapat terjadi apabila pelaku
memang dalam posisi melindungi diri dari ancaman sesorang sehingga pelaku
terpaksa untuk melawan.
Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun
perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak
dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana. Seseorang
baru dikatakan memenuhi syarat untuk dipidana apabila mempunyai kesalahan
atau bersalah. Asas yang berlaku dalam hal ini adalah asas keine strafe ohne
schuld atau geen straf zonder schuld atau Tiada Pidana Tanpa Kesalahan. Asas ini
memang tidak tercantum dalam KUHP Indonesia, namun berlakunya asas ini
adalah berdasarkan tujuan dari pemidanaan yaitu untuk keadilan. Untuk itu harus
52
diingat bahwa untuk adanya kesalahann dalam arti yang seluas-luasnya
(pertanggungjawaban pidana), orang yang bersangkutan harus dinyatakan lebih
dulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.
Selain sifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana juga dapat
dilihat dari unsur kesengajaan dan karena kealpaan. Apabila dicermati dalam
rumusan pasal-pasal yang ada dalam KUHP, terutama buku kedua, tampak
dengan jelas disebutkan istilah kesengajaan atau kealpaan. Adapun pasal-pasal
tersebut adalah:
1. Dengan sengaja. Misalnya, Pasal 338 KUHP yang
berbunyi:“barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang
lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.”
2. Karena kealpaan. Misalnya, Pasal 359 KUHP yang
berbunyi:“barang siapa karena kesalahannya (kealpaanya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.”
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek) Tahun
1809 dicantumkan: “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-
undang.” Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan
unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.
53
Secara teoritis bentuk kesalahan berupa kesengajaan dibedakan menjadi
tiga corak, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan dengan sadar
kepastian, dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).4
Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud
melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia
dianggal lalai melakukan perbuatan tersebut jadi dalam kealpaan terdakwa kurang
berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan sehingga menimbulkan keadaan
yang dilarang.
Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat bahwa pertumbuhan dari hukum
pidana menitik beratkan kepada perbuatan orang berserta akibatnya. Apabila
perbuatannya tersebut mengakibatkan kerugian baik kerugian materiil dan
kerugian moril, maka orang tersebut dapat dikatakan melakukan suatu tindak
pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Untuk adanya
pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu
bertanggungjawab. Mengenai kemampuan seseorang untuk bertanggungjawab,
menurut KUHP diatur dalam Pasal 44 KUHP. Dalam penjabaran Pasal 44 KUHP
tidak dijelaskan langsung mengenai kemampuan seseorang untuk dapat
bertanggungjawab melainkan menjabarkan keadaan bagaimana seseorang tidak
mampu bertanggungjawab. Adapun bunyi Pasal 44 KUHP adalah sebagai
berikut:“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
4 Moeljatno, 1985, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, Hal. 174-
175
54
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau
jiwa yang terganggu karena penyakit tidak dipidana”
Moeljatno menyebutkan bahwa untuk adanya kemampuan
bertanggungjawab harus ada:
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;
b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.5
2.2 Koperasi
Ide Koperasi lahir dalam era kejayaan kapitalisme. Jika kapitalisme
berpijak pada paham tentang pentingnya peranan modal dalam kegiatan ekonomi,
maka koperasi lebih mengutamakan peranan manusia dalam memupuk modal.6
Koperasi berfungsi sebagai suatu badan usaha yang melakukan usaha
perbaikan tingkat kehidupan ekonomi dari orang-orang yang berasal dari
kelompok pekerja atau orang-orang yang kurang mampu.Secara etimologi,
koperasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu cooperatives; merupakan
gabungan dua kata co dan operation dan dalam bahasa Belanda disebut
cooperatie, yang artinya adalah kerja bersama.7
5 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, Hal.54
6 Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay, Op.Cit, Hal. 14 7Ibid, Hal. 15
55
Dalam Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
memberikan definisi koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan orang
seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya
berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Frank Robotka dalam tulisannya yang berjudul A Theory of Cooperative,
mengemukakan bahwa kebanyakan ekonom-ekonom Amerika Serikat yang telah
menulis tentang teori koperasi, pada umumnya menerima ide-ide umum tentang
perkumpulan koperasi (cooperative business association) sebagai berikut:
a. Suatu perkumpulan koperasi adalah suatu bentuk badan usaha atau
persekutuan ekonomi, yakni suatu perkumpulan yang anggota-anggotanya
adalah para langganannya (patrons). Koperasi diorganisasikan oleh
mereka dan pada dasarnya dimiliki dan diawasi oleh para anggota dan
bekerja untuk kemanfaatan mereka.
b. Mengenai teknik organisasi dan teknik operasional, pembagian, dan
praktik usahanya terdapat kesesuaian pendapat dengan apa yang disebut
Rochdale Principle. Misalnya berdagang harga umum, pembagian sisa
hasil usaha menurut jasa anggota, menolak pemberian suara yang diwakili
(proxy voting), pengawasan hanya dilakukan oleh anggota yang aktif
(active patrons members), pembayaran yang rendah oleh para anggotanya
untuk keanggotaanya, netral dalam politik dan agama, dan seterusnya.
c. Koperasi sebagai struktur ekonomi merupakan suatu kombinasi horizontal
dari unit-unit yang dikoordinasikan, yang melayani berbagai tujuan dari
unit-unit itu. Akan tetapi, bila integrasi vertical dipertimbangkan baik ke
depan terhadap para konsumen atau ke belakang terhadap sumber yang
tersedia, kombinasi horizontal adalah perlu diantara unit-unit yang terlalu
kecil untuk melaksanakan integrasi vertical secara individual.
d. Mengenai hubungan ekonomi yang terjadi diantara anggota suatu
koperasi, Black mengatakan bahwa koperasi merupakan antitesis dari
persaingan, yakni bahwa anggota-anggota lebih bersifat bekerjasama
daripada bersaing di antara mereka sendiri.
e. Pengakuan atas implikasi dari bentuk bukan kumpulan modal dan bukan
mengejar keuntungan dari koperasi yang bertitik tolak dari prinsip-prinsip
56
Rochdale di mana Nourse telah menunjukkan bentuk organisasi demikian
yaitu suatu bentuk yang sangat berbeda dengan sebuah perseroan yang
mengejar keuntungan dan bekerja dengan suatu rencana atau skema
khusus untuk memperoleh keuntungan.
f. Keanggotaan di dalam koperasi lebih mendasarkan kepada anggota secara
perseorangan daripada atas dasar yang bersifat finansial bukan perorangan
(impersonal financial basis). Orang akan secara sukarela bergabung atas
dasar keinginan mereka sendiri, penilaian perseorangan dan kesanggupan
serta kemauan untuk menepati janji termasuk di dalamnya pelaksanaan
timbale balik terutama terhadap resiko dan biaya-biaya.
g. Koperasi merupakan suatu wadah di mana para anggotanya secara lebih
efektif menunjukkan fungsi-fungsinya yang tertentu, proses atau aktivitas-
aktivitas yang berhubungan secara integraldengan kegiatan-kegiatan
ekonomi dari para anggota. Koperasi semacam ini bukan suatu unit
ekonomi yang mengejar karier ekonomi yang berifat bebas.
h. Keanggotaan dalam koperasi yang sungguh-sungguh tidak ditentukan oleh
pengikutsertaan modalnya, akan tetapi oleh partisipasinya dalam kegiatan-
kegiatan koperasi yang bersangkutan. Modal koperasi yang demikian
terlepas sama sekali dari konotasi entrepreneur yang tradisional
(traditional entrepreneurial connotation) dan didasarkan atas dasar
pinjaman.
i. Karena suatu kegiatan yang dilaksanakan secara kooperatif adalah suatu
usaha yang timbal balik, maka anggota-anggota koperasi itu setuju untuk
memenuhi kewajiban-kewajiban dalam usaha memperoleh keuntungan
timbal balik dalam hubungannya dengan pelaksanaan fungsi-fungsi
tertentu yang biasa berlaku dalam mencapai tujuan ekonomi mereka, yang
bukan anggota adalah bukan bagian dari perkumpulan semacam ini. oleh
karena itu tidak konsisten koperasi melayani mereka.8
Margono Djojohadikoesoemo mengatakan bahwa Koperasi ialah
perkumpulan manusia seorang-seorang yang dengan sukanya sendirian hendak
bekerja sama untuk memajukan ekonominya. Adapun unsur-unsur yang tersirat
dalam definisi tersebut adalah
1. Unsur kesukarelaan dalam berkoperasi
8Ibid, Hal 17-18
57
2. Bahwa dengan bekerjasama manusia akan lebih mudah mencapai apa
yang diinginkan
3. Bahwa pendirian dari suatu koperasi mempunyai pertimbangan-
pertimbangan ekonomis.
R.S Soeriaatmadja, memberikan definisi koperasi sebagai suatu perkumpulan
dari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat sebagai manusia, dengan tidak
memandang haluan agama dan politik secara sukarela masuk, untuk sekedar
memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat kebendaan atas tanggungan bersama.
Kalau diteliti lebih lanjut, adapun unsur-unsur yang terdapat dalam definisi
tersebut adalah:
1. Unsur demokrasi;
2. Unsur sosial;
3. Unsur tidak semata-mata mencari keuntungan.
Terdapat 6 ciri Koperasi yaitu:
1. Sebagai badan usaha yang pada dasarnya untuk mencapai suatu
tujuan keuntungan ekonomis sehingga dapat bergerak disegala sektor
perekonomian di mana saja dengan mempertimbangkan kelayakan
usaha.
2. Harus berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk
meningkatkan usaha dan kesejahteraannya.
3. Sifat keanggotaanya sukarela tanpa paksaan.
4. Pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para
anggota memegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi sehingga
anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.
5. Pembagian pendapatan atau sisa hasil usaha di dalam koperasi
didasarkan pertimbangan jasa usaha anggota kepada koperasi
dibatasi, yaitu tidak melebihi suku bunga yang berlaku di pasar,
58
sehingga dengan demikian tidak didasarkan atas besarnya modal
yang diberikan.
6. Koperasi bersifat mandiri, memiliki kebebasan yang
bertanggungjawab, memiliki otonomi, swadaya, serta
mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri dan keinginan
mengelola diri sendiri.9
Indonesia sebagai negara yang turut memajukan perekonomian bagi
seluruh lapisan masyarakat dengan berlandaskan asas kekeluargaan juga dapat
dilihat dengan jelas dalam definisi Koperasi oleh Mohammad Hatta dalam
bukunya The Cooperative Movement in Indonesia.10 Beliau mengemukakan
bahwa koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan
ekonomi berdasarkan tolong menolong. Koperasi melambangkan harapan bagi
kaum yang lemah ekonominya berdasarkan self-help dan tolong menolong di
antara anggota-anggotanya yang melahirkan diantara mereka rasa percaya pada
diri sendiri dan persaudaraan. Koperasi menyatakan semangat baru untuk
menolong diri sendiri yang didorong oleh keinginan member jasa kepada kawan
berdasarkan kebersamaan.
Dalam pidato Mohammad Hatta pada tanggal 12 Juli 1951 disebutkan
bahwa Perekonomian sebagai usaha bersama dengan berdasar kekeluargaan
adalah koperasi, karena koperasilah yang menyatakan kerjasama antara mereka
yang berusaha sebagai suatu keluarga. Sebagaimana orang sekeluarga
9 H. Budi Untung, 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia, Penerbit Andi,
Yogyakarta, Hal.3 10 Andjar Pachta W, Op.Cit, Hal.19
59
bertanggungjawab atas keselamatan rumah tangganya, demikian pula para
anggota koperasi sama-sama bertanggungjawab atas koperasi mereka. Makmur
koperasinya makmurlah hidup mereka bersama, rusak koperasinya rusaklah pula
hidup mereka bersama. Adapun yang dimaksud oleh Mohammad Hatta, Pasal 38
UUDS 1950 dalam pidato tersebut adalah Pasal 33 dalam UUD 1945 yaitu
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan. Asas kekeluargaan dalam Pasal inilah yang menjadi pondasi dasar
dalam berdirinya suatu koperasi yang baik bagi masyarakat Indonesia.
Sejarah Koperasi di Indonesia sesungguhnya berawal dari masa
penjajahan dimana pada saat itu diberlakukan “culturstelsel” yang
mengakibatkan penderitaan bagi rakyat terutama petani dan golongan bawah.
Peristiwa ini menimbulkan gagasan dari seorang Patih Purwokerto, Raden Ario
Wiraatmadja untuk membantu mengatasi kemelaratan rakyat. Kegiatannya
diawali dengan menolong pegawai dan orang kecil dengan mendirikan Hulpen
Spaaren Landbouwcredit, didirikan juga rumah gadai, lumbung desa, dan bank
desa.
Perkumpulan Budi Utomo yang dalam programnya memanfaatkan sektor
perkoperasian untuk mensejahterakan rakyat miskin dimulai dengan koperasi
industri kecil dan kerajinan. Ketetapan kongres Budi Utomo di Yogyakarta
adalah antara lain memperbaiki dan meningkatkan kecerdasan rakyat melalui
pendidikan, serta mewujudkan dan mengembangkan gerakan berkoperasi.
60
Tahun 1915 lahir UU Koperasi yang pertama “Verordening op de
Cooperative Vereeniging” dengan Koninklijk Besluit 7 April 1912 stbl 431 yang
bunyinya sama dengan UU Koperasi di Negara Belanda (tahun 1876) yang
kemudian diubah tahun 1925. Selanjutnya, di zaman pendudukan Jepang, usaha-
usaha koperasi dikoordinasikan/dipusatkan dalam badan-badan koperasi yang
disebut Kumiai yang berfungsi sebagai pengumpul barang-barang logistik untuk
kepentingan perang.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, usaha pengembangan
Koperasi mengalami pasang surut mengikuti perkembangan politik. Kongres-
kongres koperasi, munas-munas dan lain-lain untuk pengembangan koperasi
terus berlanjut. Puncaknya, pada tahun 1985 akhirnya Indonesia berhasil
melahirkan UU No 70/1985 tentang Koperasi yang pada dasarnya berisi tentang
tata cara pembentukan, pengelolaan koperasi (seperti prinsip-prinsip Rochdale).
UU Koperasi mengalami 2 kali perubahan, yaitu yang pertama adalah UU
No.12/1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian, yang kemudian disempurnakan
dengan UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Koperasi di Indonesia pada hakikatnya, seperti yang diungkapkan oleh
Charles Gide kalau mau berkembang dan tetap setia pada dirinya sendiri dan
tidak menyimpang menjadi bentuk lain, maka nilai-nilai moral yang
mendasarinya harus merupakan realita-realita hidup dalam kegiatan maupun
61
tingkah laku orang-orang koperasi.11 Jadi, dengan kata lain hakikat koperasi tidak
ditentukan dari nama maupun hak badan hukum yang diperolehnya dari
pemerintah, akan tetapi apakah asas dan prinsip-prinsipnya sudah merupakan
kenyataan yang diterapkan dalam setiap kegiatannya serta tingkah laku koperasi
dan anggotanya.
Berdasarkan hakikat tersebut maka dapat kita lihat bahwa koperasi
memiliki tujuan, sifat, nilai dan prinsip-prinsip serta jenis koperasi. Adapun
penjabarannya adalah sebagai berikut:
a. Tujuan Koperasi
Koperasi pada dasarnya mengandung dua unsur yaitu unsur ekonomi
dan unsur sosial. Karena koperasi merupakan suatu sistem dan
sebagaimana diketahui sistem itu merupakan himpunan komponen-
komponen atau bagian yang saling berkaitan yang secara bersama-
sama berfungsi mencapai tujuan.
Tujuan yang dimaksud adalah tujuan ekonomi atau dengan kata lain
bahwa koperasi harus berdasarkan motif ekonomi yaitu mencari
keuntungan, sedangkan unsur sosial lebih untuk menerangkan
kedudukan anggota dalam organisasi, hubungan antar sesama anggota
dan hubungan anggota dengan pengurus, bukan dalam arti
kedermawanan. Unsur sosial juga ditemukan dalam cara koperasi yang
demokratis, kesamaan derajat, kebebasan keluar masuk anggota, calon
11 Ibid, Hal.21
62
anggota, persaudaraan, pembagian sisa hasil usaha kepada anggota
secara proposional dengan jasanya, serta menolong diri sendiri. 12
b. Sifat Koperasi
Koperasi memiliki sifat kerjasama, yaitu antara orang-orang yang
termasuk golongan kurang mampu dalam hal kekayaan yang ingin
meringankan beban hidup atau beban kerja. Persamaan koperasi
dengan bentuk usaha lain adalah sama-sama mengejar suatu
keuntungan kebendaan (stoffelijk voordeel). Perbedaannya adalah
bahwa biasanya koperasi didirikan oleh orang-orang yang benar-benar
memerlukan sekali kerjasama ini untuk mencapai suatu tujuan yang
dikehendaki dengan mendapat cukup keuntungan, tetapi mereka
berusaha untuk memperbesar keuntungan tersebut.
c. Nilai dan Prinsip-Prinsip Koperasi
Koperasi melandaskan nilai-nilai menolong diri sendiri,
bertanggungjawab kepada diri sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan
dan solidaritas. Berdasarkan pengaruh para pendirinya, para anggota
koperasi percaya pada nilai-nilai etis: kejujuran, keterbukaan,
tanggung jawab sosial dan peduli pada orang lain.
12 Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, 2004, Pekoperasian: Sejarah, Teori, dan Praktek,
Ghalia Indonesia, Bogor, Hal. 9
63
Sedangkan prinsip-prinsip koperasi adalah merupakan pedoman bagi
koperasi-koperasi dalam melaksanakan nilai-nilai koperasi dalam
praktik. Adapun prinsip-prinsip koperasi dibagi menjadi empat yaitu:
1. Prinsip Keanggotaan yang Sukarela dan Terbuka
Prinsip ini melihat bahwa koperasi adalah organisasi yang bersifat
sukarela, terbuka bagi semua orang yang bersedia menggunakan
jasa-jasanya dan bersedia menerima tanggungjawab keanggotaan,
tanpa membedakan jenis kelamin (gender) latar belakang sosial,
ras, politik dan agama.
2. Prinsip Pengawasan Demokratis oleh Anggota
Koperasi adalah organisasi demokratis yang diawasi oleh pada
anggotanya, yang secara aktif menetapkan kebijakan dan membuat
keputusan. Dalam koperasi primer, para anggota memiliki hak
suara sama dan koperasi pada tingkat-tingkat lainnya juga dikelola
secara demokratis.
3. Prinsip Partisipasi Anggota dalam Kegiatan Ekonomi
Anggota memberikan kontribusi permodalan koperasi secara adil
dan melakukan pengawasan secara demokratis (terhadap modal
tersebut). Setidak-tidaknya sebagian dari modal itu adalah milik
bersama koperasi. Apabila ada, para anggota biasanya menerima
64
kompensasi yang terbatas atas modal yang disyaratkan untuk
menjadi anggota.
4. Prinsip Otonomi dan Kemandirian (Independence)
Koperasi sebagai organisasi yang otonom, menolong diri sendiri
serta diawasi oleh para anggotanya. Apabila koperasi melakukan
perjanjian dengan organisasi lain, termasuk pemerintah, atau
memupuk modal dari sumber luar, koperasi melakukannya
berdasarkan persyaratan yang menjamin pengawasan demokratis
oleh para anggotanya dan yang mempertahankan otonomi mereka.
5. Prinsip Pendidikan, Pelatihan dan Penerangan
Koperasi memberikan pendidikan dan pelatihan bagi para anggota
wakil-wakil anggota yang dipilih dari rapat anggota serta para
manajer dan karyawan, agar mereka dapat melakukan tugasnya
lebih efektif bagi perkembangan koperasinya. Mereka memberikan
penerangan kepada masyarakat umum-khususnya pemuda dan para
pembentuk opini di masyarakat-tentang hakikat perkoperasian dan
manfaat berkoperasi.
6. Prinsip Kerjasama antar Koperasi
Koperasi melayani anggotanya secara kolektif dan memperkuat
gerakan koperasi dengan bekerjasama melalui organisasi koperasi
tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional.
65
7. Prinsip Kepedulian terhadap Masyarakat
Koperasi melakukan kegiatan untuk pengembangan masyarakat
sekitarnya secara berkelanjutan, melalui kebijakan-kebijakan yang
diputuskan oleh rapat anggota.
d. Jenis-Jenis Koperasi
Untuk memisah-misahkan koperasi yang serba heterogen itu satu sama
lainnya, Indonesia dalam sejarahnya menggunakan berbagai dasar atau
kriteria seperti: lapangan usaha, tempat tinggal para anggota,
golongan, dan fungsi ekonominya. Pemisahan-pemisahan ini
selanjutnya disebut dengan penjenisan.
Dalam Pasal 2 PP No 6/1959 tentang Perkembangan Gerakan
Koperasi, menyatakan bahwa:
(1) Pada dasarnya yang dimaksud dengan penjenisan koperasi ialah
pembedaan koperasi yang didasarkan golongan dan fungsi
ekonomi;
(2) Dalam peraturan ini dasar penjenisan koperasi ditekankan pada
lapangan usaha dan atau tempat tinggal para anggota sesuatu
koperasi.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka terdapatlah 7 jenis
koperasi yang dijabarkan dalam Pasal 3 PP No.6/1959 yaitu:
a. Koperasi Desa
66
b. Koperasi Pertanian
c. Koperasi Peternakan
d. Koperasi Perikanan
e. Koperasi Kerajinan/Industri
f. Koperasi Simpan Pinjam
g. Koperasi Konsumsi.
2.3 Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin
Perbankan merupakan suatu lembaga hukum yang dibentuk dalam
rangka menunjang pelaksanaan pemerataan pembangunan nasional,
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan taraf hidup rakyat. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 4 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan,
menentukan bahwa Perbankan di Indonesia bertujuan unuk menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat
banyak. Peran Perbankan sangatlah strategis dalam pembangunan nasional
khususnya dalam pembangunan ekonomi, namun seiring dengan peran
strategis tersebut terdapat pula tindakan yang merugikan dan dapat merusak
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan tersebut, misalnya
tindak pidana perbankan.
67
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana atau perbuatan
melanggar hukum apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada
menentukanbahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Sutan Remi
Sjadeini mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah
perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika pelaku itu
melakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan perbuatan tertentu yang
dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu
yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.13
Selain itu, Munir Fuady juga berpendapat bahwa kejahatan bank
makin meningkat dewasa ini, modus operandinya pun makin canggih. Bahkan
dalam beberapa kasus, terlibat sindikat mafia, baik dari dalam maupun dari
luar negeri. Di samping itu, lebih dari 90% kejahatan bank di lakukan melalui
kerja sama orang luar dan orang dalam bank. Uniknya, orang dalam tersebut
terdiri dari para young urban profesional (yuppies) Indonesia, dengan ciri-ciri
muda, pintar, gesit. workaholic, ambisius, punya posisi baik, punya
penghasilan, dan memiliki angan-angan tinggi.
Tindak pidana perbankan dan tindak pidana perbankan memiliki
pengertian yang berbeda. Anwar mengemukakan bahwa perbedaan antara
pengertian tindak pidana perbankan dengan tindak pidana dibidang perbankan
didasarkan pada perbedaan perlakukan peraturan terhadap perbuatan-
13Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta,
Hal.26-27
68
perbuatan yang telah melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-
kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tindak pidana perbankan terdiri atas
perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan dalam undang-undang
perbankan, pelanggaran mana dilarang dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang perbankan. Sedangkan tindak pidana dibidang perbankan
terdiri atas perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan
usaha pokok bank, perbuatan mana dapat diperlakukan peraturan-peraturan
pidana di luar undang-undang tentang perbankan, seperti KUHAP, undang-
undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan lainnya yang
sejenis.14 Kehidupan perbankan merupakan urat nadi kehidupan ekonomi.
Dengan demikian dalam membicarakan pelanggaran pada dunia perbankan
tidak lepas dari pembicaraan tindak pidana ekonomi. Secara umum tindak
pidana ekonomi adalah tindakan melanggar hukum yang dilakukan karena
atau untuk motif-motif ekonomi.15 Tindak pidana ekonomi ini biasanya
disebut juga kejahatan kerah putih (white collar crime). Secara umum Conklin
merumuskan dan mengidentifikasian unsur-unsur tindak pidana ekonomi
sebagai berikut:
a. Suatu perbuatan melawan hukum yang diancam dengan sanksi
pidana
14M. Arief Amrullah, 2004, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundering), Bayumedia
Publishing, Malang, Hal.52
15Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, Hal.151
69
b. Yang dilakukan ole seseorang, atau korporasi di dalam
pekerjaannya yang sah atau di dalam pencarian/usahanya dibidang
industri atau perdagangan.
c. Untuk tujuan memperoleh uang atau kekayaan, menghindari
pembayaran uang atau menghindari kehilangan/kerugian
kekayaan, memperoleh keuntungan bisnis atau keuntungan
pribadi.16
Seiring dengan perkembangan era globalisasi di segala bidang
kehidupan termasuk perkembangan ekonomi, keuangan, perdagangan,
perbankan dan sosialisasi yang pesat, telah membawa implikasi hukum
tertentu bagi Indonesia. Pertama, bagaimana peranan hukum yang harus
dikedepankan untuk mendukung perubahan-perubahan kebijakan di berbagai
sektor kehidupan masyarakat Indonesia untuk masa kini dan mendatang.
Kedua, peranan hukum mana yang perlu dan mendesak dikedepankan untuk
mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dana masyarakat era
globalisasi.17
Budi Untung mengemukakan bahwa dalam hukum perbankan,
terdapat beberapa kategori tindak pidana perbankan.18 Pertama, tindak pidana
yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum (PT, Yayasan, atau
Koperasi) yang melakukan praktik perbankan tanpa seijin Menteri Keuangan.
16Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta, Hal.138-
139
17Romli Atmasasmita, 2003, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta, Hal.18
18Ibid, Hal.156
70
Praktik Perbankan yang dimaksud misalnya menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan
lain-lain (Pasal 46 UU Perbankan). Kedua, perbuatan tindak pidana yang
dilakukan oleh pegawai bank, komisaris, ataupun direksi yang dengan sengaja
ataupun lalai membuat laporan kepada Bank Indonesia mengenai usahanya
maupun neraca untung rugi secara berkala sesuai dengan tata cara yang
ditentutakn Bank Indonesia (Pasal 48 UU Perbankan). Ketiga, perbuatan
pidana yang dilakukan oleh komisaris, direksi ataupun pegawai bank dengan
cara merusak, menghilangkan, mengaburkan, memalsukan, mengubah
menjadi tidak benar segala sesuatu yang menyangkut “segala dokumen
perbankan” (Pasal 49 ayat (1) UU Perbankan). Keempat, tindak pidana yang
dilakukan oleh komisaris, direksi atau pegawai bank yang menguntungkan
diri sendiri atau keluarganya (karena menerima komisi/ menerima sogokan)
dalam rangka pencairan kredit atau pemberian kredit yang melebihi batas,
bank garansi dan segala macam yang menyengkut transaksi perbankan (Pasal
49 ayat (2) UU Perbankan).
Sedangkan menurut Sofyan Nasution (analis Bank Madya Senior)
Pejabat Bank Indonesia pada Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan
(DIMP). Dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan,
pengaturan mengenai pemidanaan diatur dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal
71
50 A. Dalam ketentuan ini jenis-jenis tindak pidana perbankan
dikelompokkan dalam 5 (lima) kelompok besar yaitu:
1. Tindak pidana berkaitan dengan perijinan
2. Tindak pidana berkaitan dengan kegiatan usaha
3. Tindak pidana berkaitan dengan rahasia bank
4. Tindak pidana berkaitan dengan pengawasan bank oleh Ban
Indonesia
5. Tindak pidana berkaitan dengan pihak terafiliasi
Dalam pendirian sebuah bank, tidak dapat dilakukan dengan sembarangan.
Dengan kata lain, untuk dapat mendirikan sebuah bank harus memenuhi
syarat-syarat yang sudah ditentukan. Untuk pendirian sebuah bank tersebut,
dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, mengatur secara
jelas mengenai syarat pendirian sebuah bank yaitu dalam Pasal 16, 18, 19, dan
Pasal 20.
Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut, dapat kita lihat dengan
jelas bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dan dari
masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu memperoleh ijin
usaha sebagai bank umum atau bank perkreditan rakyat dari pimpinan Bank
Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat yang
dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.
72
Pendirian bank yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan secara tegas dalam UU Perbankan ini dapat dikatakan sebagai bank
gelap dan dapat dikategorikan sebagai bentuk pertama tindak pidana
perbankan. Disebut sebagai bank gelap adalah badan (dalam hal ini berbentuk
bank) yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat tanpa
ijin dari pihak yang berwenang (Bank Indonesia).
Ketentuan mengenai tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan
perijinan ini dapat kita lihat dalam Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU
No.10/1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa:
(1) Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak
Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas,
perserikatan, yayasan, atau koperasi, maka penuntutan terhadap
badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang
memberi perintah melakkan perbuatan itu atau yang bertindak
sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-
duanya.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa yang
diancam dengan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) adalah setiap
orang (orang pada umumnya) yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan (yang meliputi tabungan, deposito berjangka, giro, dan lain
73
sebagainya) namun dilakukan tanpa izin dari pimpinan Bank Indonesia atau
dengan perkataan lain, dapat dikatakan telah membuat suatu bank atau suatu
badan yang berfungsi atau menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah
sebagai sebuah bank namun tidak memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank
Indonesia sehingga dikategorikan sebagai bank gelap. Badan hukum yang
menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah sebagai sebuah bank namun
tidak pernah memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank Indonsia sehingga
dikategorikan sebagai bank gelap dan dapat dikenakan sanksi pidana
berdasarkan Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan.