Upload
dangmien
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
20
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI,
NARAPIDANA, DAN PEMBEBASAN BERSYARAT
2.1. Tindak Pidana Korupsi
2.1.1. Tindak Pidana
Di dalam keseharian dan di masyarakat, sering mendengar mengenai
berbagai macam tindak pidana. Akan tetapi, tanpa disadari sebagai manusia kita
belum mengerti arti dari istilah “tindak pidana” itu sendiri serta apa saja unsur –
unsur dari tindak pidana. Untuk itu, sebelum memasuki pokok bahasan mengenai
pengertian tindak pidana korupsi, perlu pemahaman mengenai istilah “tindak
pidana” dan terdiri dari apa sajakah unsur – unsur dari suatu tindak pidana.
Dalam bahasa Belanda, tindak pidana disebut dengan strafbaarfeit atau
yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam strafwetboek adalah suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana dan pelaku tersebut
dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.1 Di Indonesia, tindak pidana
disebut juga dengan “delik”. Kata “delik” berasal dari bahasa latin, yakni
1 Wirjono Prodjodikoro, op.cit, h. 59.
20
21
delictum, sedangkan dalam bahasa Jerman dikenal dengan delict, dan dalam
bahasa Perancis disebut dengan delit.2
Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana berarti menandakan orang
tersebut telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang merupakan sifat dari
tindak pidana. Berbuat tindak pidana tanpa melanggar hukum adalah tidak
mungkin karena tindak pidana selalu identik dengan pelanggaran hukum serta
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Ada
pepatah yang mengatakan “ dimana ada gula disitu ada semut,” jika diidentikan
dengan tindak pidana maka menjadi “dimana ada tindak pidana disitu pasti ada
pelanggaran hukum.” Tindak pidana adalah perilaku yang pada waktu tertentu
dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki
dengan mendayagunakan sarana – sarana yang disediakan oleh hukum pidana.3
Tindak pidana juga diartikan sebagai tindakan yang melanggar berbagai
kepentingan yang dilindungi oleh hukum, dan kepentingan tersebut terdiri dari
tiga jenis, yaitu kepentingan individu – individu, kepentingan masyarakat, dan
kepentingan Negara.4 Selain itu, tindak pidana diistilahkan sebagai “peristiwa
pidana” karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana.5
2
Leden Marpaung, 2008, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Cet. IV, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 7.
3 Jan Remmelink, 2003, Komentar atas Pasal – Pasal Terpenting dari Kitab Undang –
Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 61.
4 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak – Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, h. 16.
5 Leden Marpaung, loc.cit.
22
Terkait dengan hal tersebut, walaupun para ahli hukum mempunyai
pendapat yang berbeda – beda mengenai tindak pidana, tetapi dari seluruh
pendapat mereka intinya hanyalah satu, yakni tindak pidana adalah suatu
perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh subjek tindak pidana dan oleh
karena perbuatan tersebut maka subjek tindak pidana harus dijatuhi pidana
sebagai ganjaran dari tindak pidana yang dilakukan. Mengetahui apa arti dari
istilah “tindak pidana” saja tidaklah cukup. Kita juga harus mencari tahu “unsur –
unsur tindak pidana”, oleh karena di setiap tindak pidana pasti ada unsur – unsur
tindak pidana. Unsur – unsur tindak pidana itulah yang akan membuktikan subjek
dari tindak pidana tersebut bersalah dan terbukti melakukan suatu tindak pidana
ataukah tidak. Sesuai dengan hal tersebut diperlukan pengetahuan tentang unsur –
unsur tindak pidana yang terdiri dari :
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan);
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
d. Unsur melawan hukum yang objektif; dan
e. Unsur melawan hukum yang subjektif.6
Selanjutnya, ada yang menyebutkan terdapat tiga unsur dalam suatu delik/ tindak
pidana, yakni :
a. Unsur melawan hukum;
b. Unsur kesalahan; dan
6 Moeljatno, 2009, Asas – Asas Hukum Pidana. Cet VIII, Rineka Cipta, Jakarta, h. 69.
23
c. Unsur bahaya, gangguan, dan merugikan orang lain, pihak lain atau
masyarakat pada umumnya.7
Dalam dasar – dasar hukum pidana Indonesia, seseorang dapat dikatakan
telah melakukan tindak pidana apabila telah melanggar unsur pidana, antara lain
yaitu :
1) Unsur subyektif, adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini antara lain :
a. Kesengajaan atau kealpaan (dollus atau culpa);
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging;
c. Macam-macam maksud atau oogmerk;
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voordebachte raad; dan
e. Perasaan takut atau vrees.
2) Unsur obyektif, adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan –
keadaan yang didalam keadaan mana tindakan dari si pelaku harus
dilakukan. Unsur ini antara lain :
a. Sifat melawan hukum; dan
b. Kausalitas (hubungan antar tindakan sebagai penyebab dengan
suatu kenyataan sebagai akibat) dari perilaku.8
Ada pula yang mengungkapkan mengenai unsur – unsur tindak pidana
meliputi :
a. Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif;
b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang – undang;
c. Perbuatan itu dianggap melawan hukum;
d. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan; dan
e. Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.9
7 Poernomo, 1981, Kriminologi Suatu Pengantar, Arena Ilmu, Bandung, h. 99.
8 Lamintang, 1997, Dasar – Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku di
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 194.
9 Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama,
Bandung, h. 99.
24
Berdasarkan pernyataan di atas, keseluruhan inti dari unsur – unsur tindak
pidana tersebut adalah hanya terdiri dari dua unsur, yaitu :
a. Unsur subyektif : Unsur yang melekat pada diri si pelaku tindak pidana; dan
b. Unsur obyektif : Unsur yang melekat pada perbuatan pidana yang dilakukan
oleh pelaku tindak pidana tersebut.
2.1.2. Korupsi
Salah satu larangan yang dipastikan sama di setiap negara bahkan serupa
antara satu dengan yang lain adalah larangan untuk mengambil sesuatu yang
bukan menjadi hak milik kita sebagai manusia, yakni melakukan tindak pidana
korupsi. Sesungguhnya nama “korupsi” adalah nama yang sudah tidak asing lagi
terdengar ditelinga kita. Ibarat artis, korupsi seperti artis yang sedang naik daun di
negara kita yang tercinta ini, sangat populer dan mampu menyerang siapa saja
yang mendekatinya terutama dari kalangan pejabat – pejabat negara Republik
Indonesia. Sehingga siapapun yang melakukan tindak pidana tersebut seketika
menjadi terkenal dan termasyur baik di media massa maupun media sosial. Dalam
dunia musik, korupsi ibaratnya seperti “The Favorit Song”, yang lagunya
didengar terus atau diputar berulang – ulang kali oleh pendengarnya dan sama
halnya dengan tindak pidana korupsi yang tiada henti dilakukan oleh para pejabat
negeri ini. Pemberantasan Korupsi diatur dalam UU RI No. 31 Tahun 1999 yang
mengalami perubahan menjadi UU RI No. 20 Tahun 2001. Dahulu korupsi
bukanlah sebuah kejahatan dan belum ada aturan hukum yang mengaturnya, tetapi
dengan maraknya korupsi yang dilakukan serta banyaknya kerugian yang dialami
25
negara Indonesia, korupsi dikategorikan sebagai kejahatan dalam golongan tindak
pidana khusus (tindak pidana di luar KUHP), kemudian ada pula undang – undang
yang mengaturnya serta dibentuk juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pengertian “korupsi” dari segi kata atau etimology berasal dari bahasa
Yunani (corruptio), yang artinya sebagai sesuatu yang busuk atau kerusakan
(damaged), yang diartikan lagi sebagai kerusakan dalam bidang keuangan. Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.10
Istilah korupsi
dikenal juga dalam buku Negara Kertagama Majapahit, hal tersebut berarti
korupsi sudah ada sebelum negara Indonesia terbentuk. Masalah tindak pidana
korupsi ini sesungguhnya dapat dikaji melalui beberapa aspek baik dari aspek
politik, aspek ekonomi, dan aspek hukum. Dilihat dari aspek politik dan aspek
ekonomi, secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai
masalah politik dari pada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi)
pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada
umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di
tingkat provinsi dan kabupaten.11
Sedangkan pengkajian korupsi dari aspek
hukum atau yuridis berarti mengkaji dari sisi peraturan perundang – undangan,
yang menyebutkan istilah korupsi ada ketika terbentuk Peraturan Penguasa Militer
Nomor Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi pada tanggal 9 April
1957. Dalam peraturan tersebut, korupsi sebagai perbuatan – perbuatan yang
10
Andi Hamzah, 2012, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Cet. V, Rajawali Pers, Jakarta, h. 5.
11
Mubyarto, 1980, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial, dan Keadilan, Yayasan Agro Ekonomika,
Jakarta, h. 60.
26
merugikan keuangan dan perekonomian negara. Apabila dalam KUHP yang
merupakan konkordansi dari Wvs Belanda, ada beberapa pasal yang mengatur
yakni :
a. Pasal 415 mengenai Penggelapan oleh pegawai negeri;
b. Pasal 416 mengenai Penipuan;
c. Pasal 418 mengenai penyuapan;
d. Pasal 423, 425, dan 435 mengenai Penyalahgunaan wewenang atau jabatan
yang merugikan keuangan negara.
Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
menjadi Presiden RI atas pilihan langsung rakyat menggantikan Presiden
Megawati Periode 2004 s/d 2009 dan terpilih kembali menjadi Presiden RI untuk
kedua kalinya sampai dengan 2009 s/d 2014, menjadikan pemberantasan korupsi
sebagai program utama pemerintahannya dan diterbitkan undang – undang yang
berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi antara lain :
a. UU RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Diundangkan tanggal 11 Agustus 2006;
b. UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang. Diundangkan tanggal 22 Oktober 2010;
c. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan instruksi Presiden RI
No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Upaya – upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah orde baru
maupun orde reformasi belum menunjukan hasil yang signifikan karena pelaku
tindak pidana korupsi semakin berani serta pelakunya tetap sama terutama
27
dilakukan oleh oknum – oknum aparatur negara yang berkolusi dengan korporasi
hitam atau perorangan. Hebatnya korupsi sekarang ini telah
bermetamorfosis/berubah bentuk menyeramkan karena melahirkan korupsi
berjamaah, sistematis, terorganisir dan pelakunya punya modal besar dan
kekuasaan.12
There is enough for everybody’s need, but not enough for everybody’s
greed. Artinya dunia memberi kecukupan untuk memenuhi kebutuhan semua
orang, namun tidak cukup untuk kerakusan semua orang. Perbuatan korupsi pada
hakekatnya merupakan kerakusan karena itu para pelakunya adalah mereka yang
sehari – harinya telah memiliki kecukupan, sehingga latar belakang perbuatan
korupsinya bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan, melainkan untuk
memenuhi hasrat kemewahan.13
Dengan melakukan pengkajian serta menemukan jawaban dari yang dikaji, bahwa
sesungguhnya seseorang yang melakukan korupsi adalah bukan semata – mata
untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk pemenuhan mereka yang memiliki sifat
rakus akan segalanya. Begitu juga dengan begitu banyaknya kasus korupsi yang
terjadi di negeri ini, yang dilakukan oleh para pejabatnya sendiri. Dilihat dari sisi
logika, kebutuhan apa saja yang tidak dapat dipenuhi oleh seseorang yang telah
menduduki posisi penting (pejabat negara) di negara ini. Kebutuhan seperti
membeli mobil, handphone, rumah, tanah, perhiasan dan lain sebagainya, secara
langsung dapat terpenuhi walaupun untuk itu harus didukung dengan kinerja yang
bagus sesuai dengan posisi yang didapat. Jika dilihat dari sisi etika, tentunya
pemerintah dalam merekrut orang – orang terpilih untuk menduduki posisi yang
12 S. Anwary, 2012, Perang Melawan Korupsi di Indonesia, Institut Pengkajian Masalah
– Masalah Politik dan Sosial Ekonomi, Jakarta, h. 3 – 4.
13
Antonius Sujata, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, h.
148.
28
sangat penting tersebut adalah orang – orang yang memiliki etika yang baik dan
benar.
Pada kenyataannya, para pejabat tersebut tetap melakukan korupsi
sehingga membuktikan bahwa mereka tidak memiliki intelegentia yang
berlandaskan pada etika yang baik dan benar. Intelegentia adalah kesanggupan
seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan.14
Jika intelegentia tersebut
berlandaskan pada etika yang baik dan juga benar, pastinya seorang pejabat
negara tidak hanya mementingkan hasrat ataupun keinginannya saja tetapi juga
sadar akan kewajibannya yang harus dijalankan terhadap negaranya sendiri. Jadi
seseorang yang tidak memiliki hal tersebut, tidak akan berpikir dua kali untuk
tidak melakukan korupsi sebab yang dipentingkan hanya kepuasan batin yang ada
pada dirinya dan tidak memikirkan apa akibat yang ditimbulkan berdasarkan
perbuatannya. Sehingga Intelegentia without good etic, it’s mean so badly.
Berbeda jauh dengan warga negara Indonesia yang memiliki tingkat
ekonomi rendah dan masih membutuhkan bantuan dari negara ini. Betapa
menderitanya nasib mereka hanya untuk memperoleh sesuap nasi demi keperluan
nutrisi tubuh, mereka harus bekerja keras banting tulang dan sungguh tidak
mungkin mereka berpikir jauh untuk membeli rumah, mobil, tanah, perhiasan, dan
sebagainya seperti yang dilakukan pelaku korupsi di Indonesia, terlebih lagi
dengan cara mengorbankan kepentingan negara. Tindak Pidana korupsi di
Indonesia seperti tidak ada habis – habisnya, semakin ditindak makin meluas
bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah
14 Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, h. 17.
29
kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya. Akhir – akhir ini nampak
makin terpola dan sistematis, lingkupnya juga telah menyentuh keseluruh aspek
kehidupan masyarakat dan lintas batas negara. Atas dasar hal tersebut, korupsi
secara nasional disepakati tidak saja sebagai extraordinary crime tetapi juga
sebagai kejahatan transnasional.15
Berdasarkan keseluruhan hal yang sudah
diterangkan di atas, apabila membicarakan tentang korupsi memang akan
menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi – segi
moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur
pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor
ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam
kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya dan dengan demikian korupsi dapat
diartikan sangat luas, yakni :
a. Korupsi : penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan
dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain;
b. Korupsi : busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang
dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk
kepentingan pribadi).16
2.1.3. Tindak Pidana yang Tergolong sebagai Korupsi
Sebenarnya tindakan sederhana dapat digolongkan sebagai tindak pidana
korupsi, contohnya seperti seorang Guru Sekolah Dasar yang mengambil sebagian
15 Marwan Effendy, 2007, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Lokakarya Anti – Korupsi
Bagi Jurnalis, Surabaya, h. 1.
16
Evi Hartanti, 2009, Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua, Cet. III, Sinar Grafika,
Jakarta, h.9.
30
uang tabungan muridnya untuk memenuhi kepentingan pribadinya, misalnya
untuk membeli perhiasan emas dan uang tersebut tidak dikembalikan kepada yang
bersangkutan serta seorang kakak yang mengambil jatah makanan adiknya,
padahal jatah makanan tersebut masing – masing telah dibagi rata oleh ibunya.
Kedua hal tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk tindakan korupsi karena di
dalamnya ada unsur mengambil hak milik orang lain atau mengambil sesuatu
yang bukan menjadi hak dirinya sendiri.
Ibarat penyakit, korupsi sudah seperti virus penyakit yang sangat
berbahaya, yang ada dalam tubuh manusia dan bisa menyerang siapa saja serta
dimana saja. Maka dari itu penanganan terhadap tindak pidana korupsi pun harus
dilakukan secara khusus yang berarti dalam setiap aspek – aspek yang ada di
negara Indonesia ini, harus memiliki strategi penanganan yang berbeda dari
penanganan yang biasa dilakukan terhadap tindak pidana lainnya, mengingat
sekarang korupsi sudah menjadi kategori tindak pidana extra ordinary crime.
Kemudian strategi penangangan tersebut harus benar – benar dilaksanakan secara
teliti, artinya dalam penanganan tersebut tidak boleh ada yang luput dari
pengawasan terhadap tiap – tiap bagiannya dan yang terakhir adalah harus bersifat
hati – hati serta profesional, yang memiliki arti bahwa kita harus menjalankan
strategi tersebut dengan mengupayakan usaha secara profesional sesuai dengan
kemampuan kita sebaik mungkin dan juga hati – hati. Hati – hati dimaksudkan,
kita harus membentengi diri sendiri jangan sampai sebagai yang menjalankan
strategi penanganan terhadap tindak pidana korupsi, tetapi dengan melihat begitu
31
banyak uang yang didapat dengan cara korupsi justru menjadi tergoda dan
terjerumus turut melakukan tindak pidana korupsi.
Menurut UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindakan yang
tergolong sebagai tindak pidana korupsi adalah :
1. Kerugian keuangan negara, terdapat dalam :
a) Pasal 2 UU RI No. 31 Tahun 1999, menyatakan bahwa :
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan.
b) Pasal 3 UU RI No. 31 Tahun 1999, menyatakan bahwa :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2. Suap – menyuap, terdapat dalam :
a) Pasal 5 UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit
Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang
yang :
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; atau
32
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
b) Pasal 6 UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)
setiap orang yang :
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang
menurut ketentuan peraturan perundang – undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan
maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
c) Pasal 11 UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) dan paling
lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui dan patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah
atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
d) Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, dan Pasal 12 huruf
d UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :
33
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) :
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut
diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili; dan
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang –
undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
e) Pasal 13 UU RI No. 31 Tahun 1999, menyatakan bahwa :
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling
banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
3. Penggelapan dalam jabatan, terdapat dalam :
a) Pasal 8 UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri
atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus – menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam
melakukan perbuatan tersebut.
34
b) Pasal 9 UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai
negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku –
buku atau daftar – daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
c) Pasal 10 UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja :
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang,
yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat
atau daftar tersebut.
4. Pemerasan, terdapat dalam :
Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 huruf g, menyatakan
bahwa :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) :
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa
seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu
bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong
pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang lain atau kepada kas umum, seolah – olah pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut
35
mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan hutang; dan
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang, seolah – olah merupakan utang kepada dirinya
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
5. Perbuatan curang, terdapat dalam :
a) Pasal 7 UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) :
a. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan,
atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam
keadaan perang;
b. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang
yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dalam ayat (1).
b) Pasal 12 huruf h UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) :
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang
diatasnya terdapat hak pakai, seolah – olah sesuai dengan peraturan
perundang – undangan, telah merugikan orang yang berhak,
padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan
dengan peraturan perundang – undangan.
36
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan, terdapat dalam :
Pasal 12 huruf i UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) :
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun
tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,
untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.
7. Gratifikasi, terdapat dalam :
a) Pasal 12 B UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya, dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi.
b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh
penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
b) Pasal 12 C UU RI No. 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa :
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak
berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan
wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau
milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang – undang tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
37
2.2. Narapidana
Seseorang yang sudah dijatuhi vonis pidana oleh Hakim atas tindak pidana
yang dilakukannya disebut dengan “narapidana”. Narapidana menjalani hukuman
di lembaga pemasyarakatan dengan cara dicabut kemerdekaannya. Hal tersebut
sama seperti pengertian narapidana yang terdapat pada Pasal 1 angka (7) UU RI
No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa narapidana
adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. Di
dalam lembaga pemasyarakatan dilakukan pembinaan yang positif terhadap
narapidana yang dilaksanakan oleh Petugas Pemasyarakatan, dengan harapan
ketika kembali terjun ke masyarakat tidak lagi melakukan tindak pidana. Pada UU
RI No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 8 ayat (1) menyatakan
bahwa Petugas Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud merupakan Pejabat
Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan,
pengamanan, dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Pembinaan yang diberikan kepada narapidana menggunakan sepuluh
prinsip pemasyarakatan dan bimbingan bagi narapidana, yang tercantum dalam
konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang, Bandung pada tanggal
27 April 1964, yaitu :
a. Orang yang tersesat diayomi juga dengan memberikan kepadanya bekal
hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila. Bekal hidup tidak hanya berupa
finansial dan material tetapi lebih penting adalah mental, fisik, keahlian,
keterampilan hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan yang
potensial dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar
hukum dan berguna dalam pembangunan negara;
b. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara;
c. Rasa Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan
bimbingan. Kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai
norma – norma kehidupan serta diberi kesempatan untuk merenungkan
perbuatannya yang lampau. Narapidana dapat diikutsertakan dalam
38
kegiatan – kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup
kemasyarakatan;
d. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih
jahat daripada ia sebelum masuk Lembaga Pemasyarakatan, oleh karena
itu harus diadakan pemisahan antara :
1) Yang residivis dengan yang bukan
2) Yang telah melakukan tindak pidana berat dan ringan
3) Macam tindak pidana yang diperbuat
4) Dewasa, dewasa – muda, dan anak – anak
5) Orang terpidana dan orang tahanan;
e. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana dikenalkan kepada
masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat;
f. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi
waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara
saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan
negara.
g. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila;
h. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia
meskipun ia tersesat;
i. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan; serta
j. Perlu didirikan lembaga – lembaga yang baru dan sesuai dengan
kebutuhan pelaksanaan program – program pembinaan dan memindahkan
lembaga lembaga – lembaga yang berada di tengah – tengah kota ke
tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan.
2.2.1. Hak – hak Narapidana
Narapidana disebut juga sebagai “Warga Binaan Pemasyarakatan” dalam
sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan disamping bertujuan untuk
mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga
bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak
pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian
yang tidak terpisahkan dari nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila.17
Sebagai warga binaan pemasyarakatan, walaupun di dalam LAPAS kemerdekaan
17 Adi Sujatno, 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri,
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, h. 21.
39
para narapidana hilang tetapi mereka tidak kehilangan hak – hak tertentu yang
mereka miliki.
Hak – hak narapidana terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) UU RI No. 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yakni :
Narapidana berhak :
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. Menyampaikan keluhan;
f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang;
g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya;
i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga;
k. Mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2.3. Pembebasan Bersyarat
Pembebasan bersyarat terdiri dari kata “bebas” yang berarti tidak terikat,
sedangkan kata “bersyarat” berarti menurut ketentuan – ketentuan tertentu. Jadi
secara logika arti dari pembebasan bersyarat adalah tidak terikatnya seseorang
menurut ketentuan – ketentuan hukum tertentu yang telah ditetapkan oleh
pemerintah. Namun, sesungguhnya apa arti dari pembebasan bersyarat itu sendiri.
Banyak yang menyebut pembebasan bersyarat sebagai malaikat penolong bagi
pelaku tindak pidana terutama pelaku tindak pidana korupsi, jika sudah tidak
dapat melakukan upaya hukum lagi terhadap tindak pidana yang telah
dilakukannya. Dikatakan demikian, sebab terbukti dalam kasus korupsi yang
40
terjadi di Indonesia, hanya pembebasan bersyarat yang dianggap mampu
menolong pelaku tindak pidana untuk mengurangi masa hukuman yang telah
dijatuhkan oleh hakim karena upaya hukum seperti banding, kasasi, dan
peninjauan kembali sudah tidak dapat dilakukan lagi.
Pembebasan bersyarat dalam bahasa Belanda dikenal dengan
Voorwaardelijke Invryheidstelling. Amerika dan Inggris menyebutnya dengan
istilah parole. Di Indonesia, pembebasan bersyarat mulai dikenal setelah KUHP
berlaku pada 1 Januari 1918. Alasan terlambatnya lembaga tersebut diberlakukan
di Indonesia karena Kepolisian kurang mampu melakukan pengawasan terhadap
pembebasan bersyarat.18
Menurut Clear, pembebasan bersyarat merupakan proses
pelepasan narapidana ke dalam masyarakat sebelum masa berakhirnya hukuman
maksimum narapidana dari Lapas. Dalam pengadministrasian pembebasan
bersyarat dari pemerintah, lembaga koreksional melaksanakan sejumlah fungsi,
diantaranya :
1. Memelihara/mengelola informasi tiap narapidana di bawah yuridiksi
lembaga koreksional;
2. Memelihara/mengelola catatan setiap narapidana pada masa pembebasan
bersyarat;
3. Membimbing narapidana pada masa pembebasan bersyarat;
4. Investigasi yang berhubungan dugaan pelanggaran pembebasan bersyarat;
18 Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramitha,
Jakarta, h. 212.
41
5. Membantu narapidana yang memerlukan syarat untuk memperoleh
pembebasan bersyarat; dan
6. Membantu narapidana untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan, dan
keterampilan kerja.
2.3.1. Macam dan Arti Penting Komponen Pembebasan Bersyarat
Pembebasan bersyarat hanya dapat diberikan kepada mereka yang
dihukum penjara dan bukan kurungan, dengan syarat jika dua pertiga lamanya
hukuman yang sebenarnya dan dua pertiga hukuman itu harus sedikit – dikitnya 9
bulan telah dijalani. Contoh misalnya, seseorang yang dihukum penjara 9 bulan
meskipun telah menjalani dua pertiga hukumannya (6 bulan), belum dapat
dibebaskan dengan bersyarat, oleh karena belum memenuhi syarat minimum 9
bulan.
Pembebasan bersyarat dibagi ke dalam dua macam, yakni :
a. Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk menjalankan pidana penjara
di dalam suatu lembaga pemasyarakatan seperti yang diatur dalam Pasal
15 sampai dengan Pasal 17 KUHP, lebih lanjut telah diatur di dalam
Ordonansi tanggal 27 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 749
yang juga dikenal sebagai Ordonnantie op de voorwardelijke
invrijheidstelling atau peraturan mengenai pembebasan bersyarat; dan
b. Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk mendapatkan pendidikan
dalam suatu Lembaga Pendidikan Negara seperti yang dimaksud di dalam
Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 69 ayat (1) dari Ordonansi pada tanggal 21
Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 741 yang juga dikenal
sebagai dwangopvoeding regeling atau peraturan mengenai pendidikan
paksa.19
19 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, op.cit, h. 231.
42
Mc Carthy mengungkapkan bahwa dalam melaksanakan pembebasan
bersyarat narapidana disaring untuk penyesuaian mereka guna pelepasan yang
didasari atas resiko yang mereka miliki terhadap masyarakat, untuk itu arti
penting komponen – komponen yang dimiliki pembebasan bersyarat di dalamnya
sebagai :
1. Sebuah proses untuk mempertimbangkan kesesuaian dari sebuah
kenyataan pelepasan narapidana ke pembimbing kemasyarakatan;
2. Sebuah periode pembimbingan yang berbasis masyarakat setelah masa
hukuman di Lapas, dengan pendekatan ini sistem pemasyarakatan tetap
dapat mengawasi para narapidana, menyediakan bantuan proses
perpindahan mereka ke masyarakat, menyediakan program yang
berkelanjutan, dan memonitor keberhasilan penyesuaian hidup di luar
Lapas atau yang kembali ke Lapas jika keselamatan masyarakat terancam;
dan
3. Kekuasaan (power) seseorang atau kelompok untuk membuat keputusan –
keputusan pelepasan yang dapat diinformasikan kepada narapidana,
setelah para narapidana mencapai persyaratan pembebasan bersyarat.