24
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, BPOM, PELANGGARAN HUKUM, DAN KOSMETIK 2.1 Tindakan Hukum Pengertian tindakan hukum dalam buku Pengantar Ilmu Hukum adalah tindakan yang diatur oleh hukum, yaitu 1 : Tindakan menurut hukum, misalnya jual beli, membuat testamen, melangsungkan perkawinan dan lain lain; Tindakan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang undang, misalnya jual beli narkoba, menghilangkan nyawa orang lain, dan lain lain; Tindakan yang melanggar hukum, misalnya perbuatan merugikan oramg lain, persaingan curang, dan lain lain; Tindakan karena tidak memenuhi kewajiban yang di dalam hukum hal itu disebut wanprestasi ( default ), misalnya tidak membayar utang, tidak mengirim barang yang dipesan oleh pembeli, dan lain lain. 1 Marzuki, Peter Mahmud. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Kencana, h. 246

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, BPOM, PELANGGARAN

HUKUM, DAN KOSMETIK

2.1 Tindakan Hukum

Pengertian tindakan hukum dalam buku Pengantar Ilmu Hukum adalah tindakan yang

diatur oleh hukum, yaitu1 :

Tindakan menurut hukum, misalnya jual beli, membuat testamen, melangsungkan

perkawinan dan lain – lain;

Tindakan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang – undang,

misalnya jual beli narkoba, menghilangkan nyawa orang lain, dan lain – lain;

Tindakan yang melanggar hukum, misalnya perbuatan merugikan oramg lain,

persaingan curang, dan lain – lain;

Tindakan karena tidak memenuhi kewajiban yang di dalam hukum hal itu disebut

wanprestasi ( default ), misalnya tidak membayar utang, tidak mengirim barang

yang dipesan oleh pembeli, dan lain – lain.

1 Marzuki, Peter Mahmud. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Kencana, h. 246

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

Disamping itu juga pengertian tindakan hukum terdapat juga di dalam buku Hukum

Administrasi Negara yaitu Tindakan Hukum (Recht Handelingen) adalah tindakan yang

dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban, penciptaan hubungan hukum baru atau

perubahan atau pengakhiran hubungan hukum yang ada2. Tindakan Hukum Pemerintahan

adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organ pemerintahan. Unsur-unsur tindakan

hukum pemerintah sebagai berikut :3

1) Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai

penguasa maupun sebagai alat kelengkapan pemerintah dengan prakarsa dan

tanggungjawab sendiri.

2) Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan.

3) Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat

hukum administrasi.

4) Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan

Negara dan rakyat.

2 HR, Ridwan, 2010, Hukum Adminitrasi Negara, Jakarta, Rajawali Pers, h. 110 3 Ibid, h. 112

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

2.2 Badan Pengawas Obat dan Makanan

a. Pengertian Badan Pengawas Obat dan Makanan

Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah lembaga pemerintah yang bertugas

melakukan regulasi, standardisasi, dan sertifikasi produk makanan dan obat yang

mencakup keseluruhan aspek pembuatan, penjualan, penggunaan, dan keamanan

makanan, obat-obatan, kosmetik, dan produk lainnya.

b. Sejarah Badan Pengawas Obat dan Makanan

Sebelum berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia pada masa

penjajahan Belanda dikenal dengan apoteker yang berperan dalam pelayanan

kesehatan di bidang kefarmasian yang membantu pemerintah dalam melindungi

masyarakat dalam pengawasan obat yang beredar di masyarakat. Berikut ini adalah

sejarah terbentuknya Badan Pengawas Obat dan Makanan :

Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaan

Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali dengan

pendidikan asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

Pendidikan asisten apoteker semula dilakukan di tempat kerja yaitu di

apotik oleh apoteker yang mengelola dan memimpin sebuah apotek.

Setelah calon apoteker bekerja dalam jangka waktu tertentu di apotek dan

dianggap memenuhi syarat, maka diadakan ujian pengakuan yang

diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari buku verzameling

Voorschriften tahun 1936 yang dikeluarkan oleh Devanahalli

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

Venkataramanaiah Gundappa (DVG) yang merupakan seorang penulis

dan jurnalis. Dapat diketahui bahwa Sekolah Asisten Apoteker didirikan

dengan surat Keputusan Pemerintah Nomor 38 tanggal 7 Oktober 1918,

yang kemudian diubah dengan Surat Keputusan Nomor 15 (Stb No.

50) tanggal 28 Januari 1923 dan Nomor. 45 (Stb. No. 392) tanggal 28 Juni

1934 dengan nama Leergang voor de opleleiding van apotheker-

bedienden onder den naam van apothekersassistenschool”. Peraturan

ujian asisten apoteker dan persyaratan izin kerja diatur dalam Surat

Keputusan Kepala DVG Nomor 8512/F tanggal 16 Maret 1933 yang

kemudian diubah lagi dengan Surat Keputusan No. 27817/ F tanggal

8 September 1936 dan Nomor 11161/F tanggal 6 April 1939. Dalam

peraturan tersebut, antara lain dinyatakan bahwa persyaratan untuk

menempuh ujian apoteker harus berijazah MULO bagian B, memiliki

surat keterangan bahwa calon telah melakukan pekerjaan kefarmasian

secara terus menerus selama 20 bulan di bawah pengawasan seorang

apoteker di Indonesia yang memimpin sebuah apotek, atau telah

mengikuti pendidikan asisten apoteker di Jakarta.

Periode Setelah Perang Kemerdekaan Sampai dengan Tahun 1958 Pada

periode tahun 1950an jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga asisten

apoteker mulai bertambah dalam jumlah yang relatif besar. Namun pada

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

tahun 1953 tenaga apoteker kekurangan sehingga pemerintah

mengeluarkan Undang - Undang Nomor 3 tentang Pembukuan Apotek.

Sebelum dikeluarkannya undang - undang ini, untuk membuka apotek

boleh dilakukan dimana saja dan tidak memerlukan izin dari pemerintah.

Dengan adanya undang-undang ini, maka pemerintah dapat melarang

kota-kota tertentu untuk mendirikan apotek baru karena jumlahnya sudah

cukup dianggap memadai. Izin pembukaan apotek hanya diberikan untuk

daerah -daerah yang belum ada atau belum memadai jumlah apoteknya.

Undang -Undang Nomor 3 ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya

Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1953 tentang apotek darurat, yang

membenarkan seorang asisten apoteker untuk memimpin sebuah apotek.

Undang - undang tentang apotek darurat ini sebenarnya harus berakhir

pada tahun 1958 karena klausula yang termasuk dalam undang-undang

tersebut yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak berlaku

lagi 5 tahun setelah apoteker pertama dihasilkan oleh Perguruan Tinggi

Farmasi di Indonesia. Akan tetapi, karena lulusan apoteker ternyata sangat

sedikit, undang-undang ini diperpanjang sampai tahun 1963 dan

perpanjangan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan

Nomor 770/Ph/63/b tanggal 29 Oktober 1983.

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

Periode Tahun 1958 Sampai dengan 1967

Pada periode ini meskipun usaha untuk memproduksi obat telah banyak

dirintis dalam kenyataan industri-industri farmasi menghadapi hambatan

dan kesulitan yang cukup berat, antara lain kekurangan devisa dan

terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang

dapat bertahan hanyalah industri yang dapat jatah atau mereka yang

mempunyai relasi dengan luar negeri. Oleh karena itu, penyediaan obat

menjadi sangat terbatas dan sebagian besar berasal dari import. Sementara

itu karena pengawasan belum dapat dilakukan dengan baik, banyak terjadi

kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak memenuhi standar.

Periode Orde Baru

Pada masa orde baru stabilitas politik, ekonomi dan keamanan telah

semakin mantap sehingga pembangunan di segala bidang telah dapat

dilaksanakan dengan lebih terarah dan terencana. Pembangunan

kesehatan sebagai bagian integral Pembangunan Nasional, dilaksanakan

secara bertahap baik pemenuhan sarana pelayanan kesehatan maupun

mutu pelayanan yang semakin baik serta jangkauan yang semakin luas.

Hasil-hasil pembangunan kesehatan yang telah dicapai selama orde baru

ini dapat diukur dengan indikator-indikator penting, antara lain kematian,

umur harapan hidup dan tingkat kecerdasan yang semakin menunjukkan

perbaikan dan kemajuan yang sangat berarti.

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

Pada periode Orde Baru pula, pengaturan, pengendalian dan pengawasan

di bidang kefarmasian telah dapat ditata dan dilaksanakan dengan baik.

Sehingga pada tahun 1975 institusi pengawasan farmasi dikembangkan

dengan adanya perubahan Direktorat Jenderal Farmasi menjadi

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Berbagai peraturan

perundang-undangan telah dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan

sebagai basis dan kerangka landasan untuk melanjutkan pembangunan di

masa-masa mendatang. Terhadap distribusi obat telah

dilakukan penyempurnaan, terutama penataan kembali fungsi apotek

melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 19804.

Periode Tahun 2000

Untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap obat dan makanan tersebut

maka pemerintah mengambil kebijakan dengan mengadakan perubahan

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, yang mana dahulu

Direktorat Jenderal Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada

Departemen Kesehatan, namun sekarang setelah terjadinya perubahan

makaBadan Pengawasan Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada

Presiden. Badan Pengawasan Obat dan Makanan sekarang merupakan

Lembaga Pemerintah Non Departemen berdasarkan Keputusan Presiden

4 Midian, Sirait, 2001. Tiga Dimensi Farmasi, Instansi Darma Mahardika, Jakarta, h. 2-12.

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

Nomor 103 Tahun 2000 dan telah mengalami perubahan melalui

Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2003.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan mempunyai Visi dan Misi dalam

melaksanakan tugas pokoknya yaitu :

Visi dari Badan POM : Menjadikan sebuah institusi terpercaya secara

nasional maupun internasional dalam rangka melindungi kesehatan

masyarakat. Secara efektif dan pemahaman tentang konsep dasar sistem

pengawasan produk obat dan makanan secara nasional dan internasional5.

c. Kedudukan, Tugas , Fungsi, dan Wewenang Badan Pengawas Obat dan Makanan

Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,

Tugas, Kewenangan, Susunan Organisasi Lembaga Pemerintah Non Departemen

sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Presiden RI

Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden

Nomor 103 Tahun 2001 tersebut, bahwa dalam melaksanakan tugasnya

BPOM dikoordinasikan oleh Menteri Kesehatan, khususnya dalam

perumusan kebijakan yang berkaitan dengan instansi pemerintah lainnya

serta penyelesaian permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan

yang dimaksud tugas BPOM yaitu melaksanakan tugas Pemerintahan di bidang

5 Profile Badan POM National Agency of Drugs and Food Control Republik of Indonesia Badan

Pengawasan Obat dan Makanan : http://www.landasanteori.com/2015/10/badan-pengawas-obat-dan-

makanan-bpom.html ( diakses pada tanggal 25 Januari 2017 )

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugasnya Balai

POM RI melakukan fungsinya yang meliputi berbagai kegiatan sebagai

berikut :

Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan

obat dan makanan.

Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan.

Koordinasi kegiatan fungsional dalam melaksanakan tugas BPOM.

Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan

instansi pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan obat dan

makanan.

Dalam menyelenggarakan fungsinya, Balai POM RI memiliki kewenangan

sebagai berikut :

Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang pengawasan obat

dan makanan.

Perumusan kebijakan di bidang pengawasan obat dan makanan

untuk mendukung pengobatan secara makro.

Penetapan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makanan.

Penetapan persyaratan penggunaan bahan makanan tambahan (zat

aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengemasan

peredaran obat dan makanan.

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

Pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri

farmasi.

Penetapan pedoman penggunaan, konservasi dan pengembangan tanaman

obat.

Badan POM secara hukum sudah mempunyai kedudukan yang kuat di dalam

membuat suatu kebijakan di bidang obat dan makanan dalam rangka pelaksanaan

pengawasan obat dan makanan yang beredar di wilayah Indonesia. Kedudukan

Badan POM sebagai lembaga Pemerintah Non Departemen bila ditinjau dari

segi pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia maka sebagai

Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab langsung kepada

Presiden, diperintahkan oleh Undang - Undang untuk mengajukan prakarsa

kepada Presiden dalam hal pengajuan pembentukan peraturan perundang-

undangan sepanjang menyangkut di bidang pemerintah, di bidang obat dan

makanan dalam rangka mengambil suatu kebijakan yang mengacu kepada

peraturan perundang - undangan yang berlaku.

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

2.3 Pelanggaran Hukum

Pengertian pelanggaran

Menurut tata bahasa pelanggaran adalah suatu kata jadian atau kata sifat yang berasal dari

kata langgar yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an”. Kata pelanggaran sendir adalah

suatu kata benda yang berasal dari kata langgar yang menunjukan orang yang melakukan

delik itu atau subjek pelaku. Jadi pelanggaran adalah merupakan kata keterangan bahwa ada

sesorang yang melakukan suatu hal yang bertentangan dari ketentuan undang - undang yang

berlaku. Di dalam buku Hukum Pidana I juga menjelaskan pengertian Pelanggaran adalah

suatu delik yang lebih ringan dari pada kejahatan6.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat menunjukan bahwa pelanggaran adalah menyalahi

aturan undang - undang hukum atau melawan hak perjanjian dan sebagainya misalnya

seorang pelaku usaha yang menjual produk kosmetik namun dalam produk tersebut terdapat

memiliki kandungan bahan yang digunakan mengandung bahan kimia ini sudah jelas

melanggar aturan dalam menjual atau mengedar produk kosmetik yang sudah diatur dalam

pertauran pemerintah.

Moeljanto (1979:71) mengemukakan bahwa pelanggaran adalah perbuatan yang bersifat

melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada undang-undang yang menentukan

demikian. Jadi pelanggaran identik dengan adanya ketentuan peraturan peruindang-

undangan yang berlaku. Tidak dapat dikatakan pelanggaran bilamana tidak aturan yang

6 E. Utrech, 1994. Hukum Pdana I, Penerbit : Pustaka Tinta Mas, Surabaya, h. 92

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

melarang. Hal ini dapat dibedakan dengan kejahatan yang tidak identik dengan peraturan

melainkan rasa keadilan atau hokum yang hidup dalam masyarakat.

Sedangkan menurut Bawengan (1979:20-21) mengemukakan bahwa pelanggaran atau

delik undang-undang adalah peristiwa-peristiwa yang untuk kepentingan dinyatakan oleh

undang-undang sebagai hal yang teran atau pelanggaran merupakan perbuatannya oleh

undang-undang dicap sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hokum.

Berdasarkan keterangan tersebut dapat menunjukan bahwa pelanggaran atau delik

undang-undang adalah peristwa-peristiwa yang untuk kepentingan dinyatakan oleh undang-

undang sebagai hal yang terang atau pelanggaran merupakan perbuatan oleh undang - undang

atau dicap sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum. Jadi,

pelanggaran adalah delik undang - undang bukan delik hukum. timbulnya pelanggaran

hokum maka akan diberi sanksi atau hukuman ringan maupun berat lainnya. Terjadinya

pelanggaran hukum disebabkan karena perangkat hukum yang tidak tegas dan jelas sehingga

menimbulkan ketidakpastian hukum yang memberikan celah hukum untuk para pelanggar.

Selain itu, struktur sosial dan politik yang timpang menyebabkan seseorang dengan

mudahnya melanggar hukum7.

7 http://umbangs.blogspot.co.id/2012/06/pelanggaran.html ( diakses pada tanggal 26 januari 2017 )

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

2.4 Kosmetik

Pengertian Kosmetik

Kosmetik berasal dari kata Yunani “kosmetikos” yang berarti keterampilan

menghias, mengatur. Definisi kosmetik dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

445/MenKes/Permenkes/1998 adalah sebagai berikut : “ kosmetik adalah sediaan

atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis,

rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin bagian luar), gigi, dan rongga mulut untuk

membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya

tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk

mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit”8. Dan juga dalam Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1175 / MenKes / PER / VIII / 2010 tentang

Notifikasi Kosmetika, menyebutkan juga mengenai pengertian kosmetik yaitu:

Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian

luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar)

atau gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan,

mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau

memelihara tubuh pada kondisi baik.

Dalam definisi kosmetik diatas, yang dimaksud dengan “tidak dimaksudkan untuk

mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit” adalah sediaan tersebut seyogianya

tidak mempengaruhi struktur dan faal tubuh. Namum bila bahan kosmetik tersebut

adalah bahan kimia meskipun berasal dari alam dan organ tubuh yang dikenai

(ditempeli) adalah kulit, maka dalam hal tertentu kosmetik itu akan mengakibatkan

8 Tranggono Retno Iswari dan Latifah Fatma, 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik,

Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, h. 6

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

reaksi-reaksi dan perubahan faal kulittersebut. Tidak ada bahan kimia yang bersifat

indeferens (tidak menimbulkan efek apa-apa) jika dikenakan pada kulit. Karena itu,

pada tahun 1955 Lubowe menciptakan istilah “Cosmedics” yang merupakan

gabungan dari kosmetik dan obat yang sifatnya dapat mempengaruhi faal kulit secara

positif, namun bukan obat. Pada tahun 1982 Faust mengemukakan istilah “Medicated

Cosmetics”. Untuk memperbaiki dan mempertahankan kesehatan kulit diperlukan

jenis kosmetik tertentu bukan hanya obat. Selama kosmetik tidak mengandung bahan

berbahaya secara farmakologis aktif mempengaruhi kulit, penggunaan kosmetik jenis

ini menguntungkan dan bermanfaat untuk kulit itu sendiri.

Tujuan utama penggunaan kosmetik pada masyarakat modern adalah untuk

kebersihan pribadi, meningkatkan daya tarik melalui make-up, meningkatkan rasa

percaya diri dan perasaan tenang, melindungi kulit dan rambut dari kerusakan sinar

UV, polusi dan factor lingkungan yang lain, mencegah penuaan, dan secara umum,

membantu seseorang lebih menikmati dan menghargai hidup9.

Sejarah Kosmetika

sejarah kosmetologi dan kosmetika, ilmu kedokterantelah ikut mengambil peranan

sejak zaman kuno. Data - data diperoleh ,dari penyelidikan antropologi, aerkologi,

dan etno-logi di Mesir dan India dengan ditemukannya salep –salep aromatik, bahan

- bahan pengawet mayat dan lain - lain yang dapat dianggap sebagai bentuk awal dari

9 Ibid, h. 7

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

kosmetika. Seorang bapak ilmu kedokteran HIPPOCRATES (460 — 370S.M.) dan

kawan - kawan telah membuat resep-resep kosmetika dan menghubungkannya

dengan ilmu kedokteran. Ilmu Kedokteran bertambah luas dan kosmetologi terus

berkembang, maka diadakan pemisahan kosmetologi dari Ilmu Kedokteran (HENRI

de NODEVILI 1260 — 1325), dikenal 2 bentuk kosmetika :

1) Kosmetika untuk merias (decoratio)

2) Kosmetika untuk pengobatan kelainan patologi kulit.

Peredaran Kosmetik

Yang menjadi payung hukum atas konsumen dalam peredaran produk kosmetika

adalah Undang - Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(UUPK), didukung pula Peraturan Kepala BPOM RI Nomor HK.00.05.42.2995

Tahun 2008 tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, Peraturan Kepala Badan

Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10052

Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika serta eputusan

Kepala BPOM Nomor HK.00.05.4.1745 Tahun 2003 tentang Kosmetik.

Peredaran kosmetik merupakan kegiatan yang meliputi pihak - pihak yang terkait

dalam produksi dan distribusi produk - produk kosmetik, yaitu produsen,

distributor, konsumen dan pemerintah. Sampainya suatu produk kosmetik dari

produsen ke konsumen dapat melalui penyalur atau distributor.

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

1. Pelaku Usaha

Menurut UUPK menggunakan istilah pelaku usaha adalah setiap orang

perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum

maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,

baik sendiri maupun bersama - sama melalui perjanjian menyelenggarakan

kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dalam penjelasan

UUPK yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, koorporasi,

BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain - lain. Dalam mata

rantai bisnis, suatu produk yang dihasilkan oleh pabrik akan menempuh

proses dari pihak - pihak tertentu hingga sampai di pasar dan akhirnya jatuh

ke tangan konsumen. Dalam praktiknya ada beragam jenis dan nama

dalam mata rantai bisnis, yang secara yuridis sulit untuk mencari padanan

istilah yang tepat ke dalam bahasa Indonesia. Pelaku usaha akan terdiri

dari banyak pihak, antara lain yaitu :10

Produsen ( produser );

Importir;

Agen ( agent );

Kantor Cabang ( branch office );

Kantor Perwakilan ( representatives office ) ;

10 Wahyu Sasongko, 2007. Ketentuan - Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen,

Penerbit Universitas Lampung, Bandar Lampung.h. 61

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

Perantara ( broker );

Pedagang ( trader );

Dealer;

Penyalur ( distributor );

Grosir ( wholeseller )

Istilah pelaku usaha dalam praktiknya memiliki banyak bentuk

perwujudan sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Namun dalam hal ini

(peredaran kosmetik) pelaku usaha yang terlibat secara langsung antara

lain adalah produsen kosmetik, importer kosmetik, dan pedagang kosmetik

antara lain :

Produsen Kosmetik

Secara harfiah produsen mempunyai pengertian penghasil atau yang

menghasilkan barang - barang11. Sehingga dapat dipahami produsen

kosmetik adalah setiap orang atau badan usaha yang menghasilkan

produk kosmetik. Sebagai pelaku usaha produsen kosmetik dirasa terlibat

secara langsung dengan peredaran kosmetik karena dalam hal ini produsen

adalah pihak yang membuat produk kosmetik, seharusnya sangat

memahami khasiat maupun efek samping bahan baku produk kosmetik

tersebut serta tidak menggunakan bahan baku yang dapat membahayakan

11 Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, h. 897

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

kesehatan pengguna kosmetik atau memberikan informasi yang tidak

sesuai dan atau tidak benar mengenai khasiat produk kosmetik tersebut.

Importir Kosmetik

Importir adalah orang atau serikat dagang (perusahaan) yang memasukan

barang - barang dari luar negeri12. Atau dapat dipahami pula importir

adalah orang atau perusahaan yang melakukan impor.

Impor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara

ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Maka

importir kosmetik dapat kita pahami sebagai orang atau perusahaan

yang memasukan produk - produk kosmetik dari luar negeri secara legal.

Keterlibatan importir secara langsung sebagai pelaku usaha dalam

peredaran kosmetik disebabkan peran importir yang menjembatani

masuknya produk kosmetik asing kedalam negeri secara legal sehingga

produk kosmetik asing tersebut dapat diedarkan di dalam negeri.

Pedagang Kosmetik

Pedagang adalah orang yang melakukan perdagangan, memperjual belikan

barang yang tidak diproduksi sendiri, untuk memperoleh suatu keuntungan.

Di dalam KUHD ( Kitab Undang – Undang Hukum Dagang ) pasal 2 ( lama

) juga menjelaskan pengertian pedagang yaitu pedagang adalah mereka yang

12 Ibid., h. 427

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

melakukan perbuatan perniagaan ( daden van koophandel ) sebagai pekerjaan

sehari – hari13. Pedagang dapat dikategorikan menjadi :

a) Pedagang grosir, beroperasi dalam rantai distribusi antara

produsendan pedagang eceran.

b) Pedagang eceran, disebut juga pengecer, menjual produk komoditas

langsung ke konsumen. Pemilik toko atau warung adalah pengecer.

Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa pedagang kosmetik

adalah orang yang memperjualbelikan kosmetik bukan dari hasil

produksi sendiri guna memperoleh suatu keuntungan. Selain itu dapat

dipahami pula bahwa pedagang grosir kosmetik adalah orang yang

memperjual belikan kosmetik dalam jumlah besar kepada pedagang eceran

kosmetik. Pedagang eceran kosmetik yaitu yang memerjual belikan

kosmetik dalam jumlah kecil kepada konsumen kosmetik langsung. Dalam

keterlibatannya dengan peredaran kosmetik, pedagang merupakan pelaku

usaha yang berhubungan secara langsung dengan konsumen kosmetik

tersebut. Oleh sebab itu, seharusnya pedagang produk kosmetik tidak

menjual produk kosmetik yang telah di informasikan oleh pemerintah

dilarang peredarannya karena mengandung bahan berbahaya.

13 Hasyim, Farida, 2015. Hukum Dagang, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h. 2

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

2. Konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri maupun untuk

kepentingan pihak lain. Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata

consumer, secara harifiah arti kata consumer adalah ( lawan dari produsen )

setiap orang yang menggunakan barang14. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris

– Indonesia yang memberi kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.

Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan konsumen sebagai lawan

produsen, yakni pemakai barang – barang hasil industry, bahan makanan, dan

sebagainya. Dalam berhadapan dengan produsen, konsumen dianggap

sebagai pihak yang lemah, adapun factor - faktor yang menyebabkan

konsumen berada pada posisi yang lemah yaitu15:

a) Kurangnya pengetahuan teknik (barang yang dibelinya, konstruksi

mana yang baik mana yang cacat, pemakaian yang tepat);

b) Kurangnya pengetahuan yang nyata (isinya, susunannya);

c) Kurangnya pengetahuan dari segi hukum (hak dan kewajiban);

jalan mana terbuka baginya sebagai pembeli dalam keadaan

darurat juga dimana para konsumen setiap kali dihadapkan

14 Zulham, 2013. Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit Kencana Prenada Media Grup, Jakarta,

h. 15 15 Agnes M. Toar, 1989, Tanggung Jawab Produk dan Sejarahnya di Beberapa Negara, Proyek

Hukum Perdata,Yogyakarta,h. 28

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

dengan syarat kontrak baku, yang sering tidak diketahui tentang

adanya juga tidak dapat dimengerti atau dicoba mengerti.

Penjelasan mengenai pengertian konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 2

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Knsumen

menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul

Hukum Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa :

Dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara.

Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk,

sedangkan Konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu

produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian

konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Dapat diketahui

pengertian konsumen dalam UUPK lebih luas daripada pengertian konsumen

pada Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, karena dalam

UUPK juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan makhluk hidup

lain. Hal ini berarti bahwa UUPK dapat memberikan perlindungan kepada

konsumen yang bukan manusia (hewan, maupun tumbuh-tumbuhan).

Pengertian yang luas seperti itu, sangat tepat dalam rangka memberikan

perlindungan seluas-luasnya kepada konsumen16.

Dengan kaitannya dalam peredaran kosmetik konsumen yang menggunakan

atau memakai produk kosmetik merupakan konsumen akhir, dimana

konsumen tersebut sebagai pengguna akhir dalam suatu produk. Meskipun

konsumen dalam berhadapan dengan produsen dipandang sebagai pihak

yang lemah, tetapi pada dasarnya konsumen mempunyai hak - hak

yang dapat dipergunakan untuk melindungi diri sendiri atas suatu

16 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Rajawali

Pers, h. 4-6.

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

produk yang dapat membahayakan kesehatan atau yang dapat menimbulkan

kerugian.

3. Pemerintah / BPOM RI

Sudah menjadi ketentuan UUPK bahwa pemerintah bertanggung

jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang

menjamin diperolehnya hak - hak bagi konsumen dan pelaku usaha, serta

dilaksanakannya kewajiban terhadap keduanya17. Dalam hal perlindungan

konsumen kosmetik dari peredaran kosmetik tanpa yang mengandung bahan

berbahaya, Menteri Kesehatan RI berkoordinasi dengan Badan Pengawas

Obat dan Makanan (BPOM) RI yang dibentuk berdasarkan Keputusan

Presiden Nomor 166 tahun 2000 sebagai pelaksana dalam implementasi

perlindungan hukum dan upaya hukumnya. BPOM RI atau yang lebih akrab

disebut dengan Badan POM atau BPOM saja merupakan pelaksana dari

Sistem Pengawasan Obat dan Makanan ( SISPOM ) yang efektif dan

efisien yang mampu mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk -

produk termaksud untuk melindungi keamanan, keselamatan dan

kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri. Adapun

kerangka konsep SISPOM sebagai berikut :

a) Sub – Sistem Pengawasan Produsen

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

Sistem pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan

cara - cara produksi yang baik atau good manufacturing practices

agar setiap bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat

dideteksi sejak awal. Secara hukum

produsen bertanggung jawab atas mutu dan keamanan

produk yang dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan

pelanggaran terhadap standar yang telah ditetapkan maka

produsen dikenakan sanksi, baik administratif maupun diproses

sampai ke pengadilan.

b) Sub – Sistem Pengawasan Konsumen

Sistem pengawasan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui

peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai

kualitas produk yang digunakannya dan cara - cara penggunaan

produk yang rasional. Pengawasan oleh masyarakat sendiri sangat

penting dilakukan karena pada akhirnya masyarakatlah yang

mengambil keputusan untuk membeli dan menggunakan suatu

produk. Konsumen dengan kesadaran dan tingkat pengetahuan yang

tinggi terhadap mutu dan kegunaan suatu produk, di satu sisi dapat

membentengi dirinya sendiri terhadap penggunaan produk - produk

yang tidak memenuhi syarat dan tidak dibutuhkan sedang pada sisi

lain akan mendorong produsen untuk ekstra hati - hati dalam menjaga

kualitasnya.

Page 24: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN HUKUM, …

c) Sub – Sistem Pengawasan Pemerintah/BPOM

Sistem pengawasan oleh pemerintah melalui pengaturan dan standardisasi; penilaian

keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum diijinkan beredar di Indonesia; inspeksi,

pengambilan sampel dan pengujian laboratorium produk yang beredar serta peringatan

kepada publik yang didukung penegakan hukum. Untuk meningkatkan kesadaran dan

pengetahuan masyarakat konsumen terhadap mutu, khasiat dan keamanan produk maka

pemerintah juga melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi