Bab III Adkl

Embed Size (px)

Citation preview

PENCEMARAN LINGKUNGAN : Kebocoran Amonia Cenderung Berulang Senin, 03 Oktober 2011 00:00 Ditulis oleh Kompas Banda Aceh, - WALHI Wahana Lingkungan Hidup Aceh mempertanyakan keseriusan PT Pupuk Iskandar Muda menangani masalah menyebarnya gas amonia dari dari pabrik pupuk tersebut yang terus berulang. Menyebarnya gas amonia itu membuat warga sekitar menjadi korban. Pemerintah dinilai tidak bertindak tegas. Yang menjadi korban ini masyarakat, meski tidak sampai memakan korban jiwa. Bagaimana protokol perusahaan untuk menghindari bencana serupa? Bagaimana peran pemerintah untuk mengawasi perusahaan nakal ini? kata Direktur Walhi Aceh Teuku Muhammad Zulfikar, Minggu (2/10). Pada Jumat (30/9) pukul 13.30, katup amonia PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) I Lhokseumawe kembali menyebar ke lingkungan temperatur panas yang terjadi pada refrigran pabrik PT PIM I. Akibatnya, puluhan warga Desa Tambon Baroh, Kecamatan Dewantara, dilarikan ke rumah sakit. Gas beracun amonia telah meracuni paru-paru mereka sehingga membuat sesak napas. Seminggu sebelumnya, Kamis (22/9), peristiwa yang sama juga terjadi di pabrik ini. Sebanyak 90 warga Desa Tambon Baroh saat itu dilarikan ke rumah sakit karena menghirup gas amonia dari PT PIM.Menurut Zulfikar, kebocoran gas amonia bukan hal sepele. Gas ini tergolong beracun. Jika tidak ditangani serius, hal itu berpeluang memakan korban jiwa. Yang kami sampaikan ini bukan hal yang berlebihan. PT PIM telah berkali-kali bocor, dan tanpa dilakukan penanganan khusus untuk mencegahnya, ujarnya. Kebocoran gas amonia dari PT PIM rutin terjadi setiap tahun, terutama saat permulaan operasional mesin, saat yang genting dalam proses pengaktifan mesin-mesin di pabrik.Seharusnya, berkaca pada pengalaman yang lalu-lalu, jika start-up hendak dimulai, harus dilakukan persiapan yang memadai. Mulai dari pemberitahuan kepada masyarakat akan risiko bahaya, penyiapan tenaga darurat yang siap sedia, dan penanganan secara teknologi yang mumpuni untuk mencegah kebocoran gas, ujarnya. Pada 28 April 2010 terjadi kebocoran amonia yang menyebabkan puluhan warga sekitar pabrik harus dirawat di Rumah Sakit PIM Lhokseumawe. Dari jumlah itu, 12 orang dirujuk ke RS Lhokseumawe karena kondisinya tergolong gawat akibat terpapar langsung amonia. Kepala Biro Hubungan Masyarakat PT PIM Mustofa Tahir mengatakan, menyebarnya gas amonia bukanlah kebocoran instalasi mesin pabrik. Hal itu terjadi karena ada goncangan pada mesin saat dioperasikan. Goncangan itu membuat gas amonia tertekan keluar dan menyebar ke lokasi sekitar.Mesin itu sudah lama tidak dioperasikan. Baru Kamis diaktifkan sehingga saat dinyalakan terjadi goncangan dan amonia keluar. Kebetulan arah angin ke permukiman warga sehingga gas pun menyebar ke sana, kata Mustofa. Menurut Mustofa, PT PIM selalu siaga dengan segera mengevakuasi warga sekitar yang terancam menjadi korban. (HAN) Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/10/03/05263069/kebocoran.amonia.cenderung.berulan g

BAB III Kontaminasi Lingkungan dan Bahaya Lain

3.1 Kontaminasi dalam kompleks

3.2 Kontaminasi di luar kompleks

3.3 Gugus Kendali Mutu Pengendalian lingkungan yang dilakukan oleh PT. PIM terhadap limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan harus ditanggulangi dan dilakukan pengelolaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pengelolaan limbah dilakukan dengan cara: 1. Limbah cair Limbah cair yang dihasilkan mengandung amonia, urea, lumpur dan oli bekas, pengelolaan yang dilakukan dengan cara: a. Penanganan limbah cair yang mengandung amonia dan urea, dimasukan dalam pit limbah, neutralization chemical sewer pond , waste water pond dan selanjutnya ditransfer ke Kolam penampungan dan Pengelolaan Limbah (KPPL) untuk diproses secara aerasi dan penetralan sebelum dibuang ke media lingkungan dengan laju alir 115 ton / jam. b. Penanganan lumpur yang dihasilkan dari proses penjernian air ( Clarifier) ditransfer ke Kolam Penanganan Lumpur (KPL), lumpur yang dihasilkan digunakan untuk penimbunan tanah di area pabrik. c. Pengendalian oli bekas yang berasal dari rotating equipment ditampung dalam Oil Separtor dan selanjutnya oli yang terkumpul dimasukan dalam drum, sedangkan untuk mencegah terbawanya oli bekas ke KPPL maka dipasang Oil trap dimasingmasing sewer pabrik.

2. Limbah gas dan debu urea Limbah gas yang dihasilkan berupa gas amonia dan debu urea, proses pengendaliannya dengan cara: 1. Pengendalian gas amonia dilakukan dengan scrubbing system 2. Pengendalian debu urea di Prilling Tower dilakukan dengan Recovery, dan hasil penyerapan dikembalikan ke proses. 3. Limbah padat Limbah padat terdiri dari 2 kategori yang diproduksi yaitu: 1. Limbah padat Bahan Beracun Berbahaya (B-3) berupa katalis bekas yang mengandung logam berat. Penanganannya dilakukan dengan memasukan ke dalam DRU dan selanjutnya dijual ke penghasil ( recycle ) 2. Limbah padat Non B-3 berupa sampah pabrik / rumah tangga dan katalis / adsorbent . Penanganannya dilakukan dengan cara landfill dan dibakar agar pengelolaan limbah dapat berjalan sesuai dengan ketentuan, maka harus dilakukan pemantauan terhadap pengelolaan limbah. Adapun lokasi pemantauan tersebut adalah: 1. Pemantauan terhadap limbah cair a. Lokasi dalam pabrik, 1) Sewer utility 2) Amonia dan urea; 3) Oil separator dan pit limbah; 4) Intel dan outlet KKPL 5) Sumur pemantauan. b. Lokasi luar pabrik 1) 25 m dari outtlet KPPL (Perairan laut) 2) Perairan pelabuhan PIM 3) Perairan pelabuhan antara PIM dan AAF 4) 1000 m dari mulut pelabuhan 5) 1000 m dari muara sungai 6) 1000 m dari pantai bangka jaya 7) Muara sungai Krueng Geukueh 8) Sumur pemantauan di desa Tambun Baroh, Tambun Tunong, Paloh Gadeng, Blang Naleung Mameh dan Cot Dua.

sistem Dust

2. Pemantauan limbah padat, dilakukan terhadap a. Unloading adsorben , katalis dan sampah pabrik b. Kolam pengendap lumpur (KPL) c. Tempat pembuangan akhir (TPA) 3. Pemantauan gas dan kebisingan a. Lokasi dalam pabrik b. Lokasi luar pabrik 1) 100 m dari pabrik 2) 500 m dari pabrik 3) Desa Tambun Baroh, Tambun Tunong, Blang Naleung Mameh. Untuk mengetahui pelaksanaan RKL yang meliputi jenis dampak penting, sumber dampak penting, tolak ukur dampak penting dan pengelolaan dampak penting, dan pelaksanaan RPL yang meliputi jenis dan sumber dampak penting, metode dan lokasi pemantauan, maka dibuat Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan yang berupa dokumen pelaporan disampaikan kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Aceh Utara secara priodik 3 (tiga) bulan sekali, hal ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efektifitas pelaksanaan RKL dan RPL dalam menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan. Selain penanggulangan terhadap limbah, PT PIM juga membuat suatu kebijakan dalam bidang keamanan kerja, kesehatan kerja dan lingkungan hidup yang merupakan salah satu unsur yang tidak terpisahkan dari seluruh kegiatan perusahaan, oleh karena itu PT. PIM sangat memperhatikan dan memberikan dukungan penuh terhadap Program K3 dan LH guna mewujudkan tujuan perusahaan. Hal ini juga merupakan tanggung jawab seluruh karyawan PT PIM sesuai dengan tingkat jabatan masing-masing, oleh karena itu setiap karyawan wajib melaksanakan hal-hal sebagai berikut: 1. Setiap karyawan wajib melaksanakan pengamanan terhadap pekerjaan yang dilakukan, alat yang digunakan, kesehatan kerja serta memperhatikan pelestarian lingkungan. 2. Setiap pimpinan unit kerja wajib menegakkan peraturan yang berlaku di perusahaan, termasuk di dalamnya adalah keselamatan karyawan, keselamatan kerja karyawan dan pelestarian lingkungan hidup. 3. Setiap pimpinan di PT PIM bertanggung jawab dan wajib melaksanakan program K3 dan LH sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut di atas, diharapkan seluruh karyawan bertanggung jawab dalam menjaga keamanan kerja dan keamanan lingkungan hidup. Selain itu juga kepada setiap karyawan di komplek industri khusunya yang bekerja di pabrik diberikan suatu pedoman berupa tanda-tanda dan instruksi keadaan darurat dan arti bunyi sirene dalam kondisi berbahaya apabila terjadi gangguan pabrik agar mereka dapat menjaga diri jangan sampai membahayakan diri sendiri.

Selanjutnya, dalam melaksanakan pertanggungjawaban terhadap pencemaran lingkungan PT PIM melaksanakan beberapa kegiatan antara lain: 1. Mengadakan sufate audit tingkat interen PT PIM dan di luar PT PIM yang terdiri dari anggota Bapedalda kepada pemenang diberikan hadiah untuk tingkat interen. 2. Memberikan kursus analisis mengenai dampak lingkungan kepada karyawan disetiap bagian masing-masing, sehingga memiliki pengetahuan hukum terhadap peraturan yang terkait dengan lingkungan, khususnya pengetahuan tentang analisis dampak lingkungan. 3. Membuat poster-poster atau pamflet tentang pentingnya keselamatan lingkungan hidup.

Lebih lanjut, selain kegiatan-kegiatan operasional yang merupakan pertanggungjawaban PT PIM terhadap pencemaran lingkungan, PT PIM juga memiliki tanggung jawab sosial dan moral mengingat kegiatan yang dilakukan dapat mempengaruhi masyarakat di sekitar pabrik. Beberapa upaya dalam melaksanakan tanggung jawab sosial diantaranya: 1. Melakukan pembinaan terhadap desa-desa yang terletak di sekitar pabrik (Desa Binaan) yang terdiri dari Desa Tambon Baroh, Tambon Tunong, Paloh Gadeng, Paloh Lada, Ule Paloh dan Lancang Barat. 2. Memberikan pinjaman lunak kepada usaka kecil dan koperasi yang diberikan kepada masyarakat sekitar pabrik meliputi pengelolaan hasil pertanian dan hutan, industri pengelolaan makanan, industri kecil kimia, percetakan dan sablon, warung serba ada, peternakan, leveransir dan perbengkelan, hal ini dimaksud agar untuk meningkatkan kesejahteraan untuk masyarakat sekitar pabrik. 3. Di bidang kesehatan, PT PIM telah melakukan pembinaan dalam bentuk pelayanan kesehatan dan pertolongan pertama kepada masyarakat di klinik perusahaan, menyalurkan obat-obatan secara priodik kepada masyarakat lingkungan melalui Puskesmas dan sarana lainnya. 4. Di bidang keagamaan, membangun tempat ibadah, balai pengajian, kitab-kitab untuk pesantren dan memberikan beasiswa kepada para santri yang berprestasi. Di samping itu, untuk melaksanakan program tersebut di atas PT PIM juga menetapkan strategi pembangunan wilayah dengan cara: 1. Membentuk Tim Evaluasi yang bertugas untuk mengevaluasi kebenaran dan urgensi dari setiap usulan program pembangunan yang diajukan oleh masyarakat. 2. Fokus, yaitu lebih memprioritaskan pembinaan kepada desa binaan yang secara formal telah menjadi tanggung jawab binaan PT. PIM. 3. Terkendali, yaitu memberikan bantuan dengan memperhatikan kemampuan dan jumlah anggaran yang tersedia. 4. Koordinasi, yaitu melaksanakan pembangunan dengan koordinasi dan bekerjasama dengan badan-badan sosial yang ada di PT PIM serta perusahaan-perusahaan vital lainnya sehingga tidak tumpang tindih. Dengan demikian tanggung jawab sosial PT PIM adalah tanggung jawab moral perusahaan terhadap masyarakat, oleh karena itu dalam etika bisnis sangat dibutuhkan tanggung jawab sosial perusahaan. Bentuk pertanggungjawaban PT. PIM terhadap pencemaran lingkungan yang dilaksanakan merupakan kebijakan yang diambil oleh direksi (pimpinan perusahaan) yang terkait dengan prinsip "fiduciary Duty "ada UUPT (Pasal 82, Pasal 84 dan Pasal 85) , prinsip Responsibility yang terdapat dalam GCG serta UUPLH.

Prinsip fiduciary duty terletak pada seseorang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan (direksi) perusahaan dalam membuat kebijakan-kebijakan dapat mengambil kepentingan perusahaan dan stakeholders, namun prinsip fiduciary duty bukan saja ada pada direksi tetapi pihak-pihak yang terkait di dalam membuat suatu kebijakan perusahaan tersebut, hal ini harus dilaksanakan agar tujuan perusahaan tercapai. Selanjutnya, prinsip Responsibility ini telah dilaksanakan oleh PT PIM merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan publik dengan menciptakan iklim kerjasama antara PT PIM dengan stekaholders yang meliputi masyarakat, lingkungan dan pemangku kepentingan, sehingga dapat menciptakan kekayaan, lapangan kerja dan menuju perusahaan yang sehat dari aspek keuangan . Selain prinsip tersebut PT PIM juga harus melaksanakan prinsip-prinsip GCG yang lainnya seperti accountability (akuntabilitas), Transparancy(Keterbukaan) dan Disclosure dan Fairness (Kewajaran). Lebih lanjut, PT PIM juga melaksanakan ketentuan UUPLH seperti membuat analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), baku mutu, Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), melakukan audit lingkungan. Kegitan audit lingkungan dilakukan setiap 3 (tiga) bulan sekali sebagai pemantauan kegiatan perusahaan terhadap RKL dan RPL, yang selanjutnya laporan audit tersebut diserahkan kepada Bapedalda Aceh Utara. Pertanggungjawaban yang dilakukan PT PIM harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, apabila pertanggungjawaban terhadap lingkungan tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuannya, maka dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Hal ini mengakibatkan PT PIM dibebani pertanggungjawaban perdata atas kerugian-kerugian yang diakibatkan pencemaran lingkungan. Solusi dalam pertanggungjawaban perdata adalah ganti rugi yang terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Ganti rugi diberikan oleh korban pencemaran lingkungan. Prinsip yang terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata adalah prinsip tanggung jawab secara kesalahan ( fault ) 84 . Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata korban dapat menggugat PT PIM dengan melakukan gugatan perdata yang diajukan ke Pengadilan Negeri baik gugatan perorangan maupun gugatan bersama-sama atau class actions. Di dalam mengajukan gugatan perdata terkait unsur kesalahan yang dilakukan oleh PT PIM dalam hal pembuktian harus dilakukan oleh penggugat atau pihak yang dirugikan sehingga tak jarang korban dalam posisi sulit dan terhimpit. Dengan adanya pembuktian yang harus dilakukan oleh korban maka seringkali korban akan mengalami kekalahan dalam konferensi mengingat ketidakmampuan biaya dan sarana yang tersedia seperti laboratorium di daerah Kabupaten Aceh Utara dan Lhokseumawe. Selanjutnya, tuntutan atas pencemaran lingkungan didasari oleh Pasal 34 ayat (1) UUPLH yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Perbuatan melanggar hukum; Pencemaran dan / atau perusakan lingkungan; Kerugian pada orang lain atau lingkungan; Penanggungjawab usaha dan atau kegiatan; dan Membayar ganti kerugian dan / atau tindakan tertentu.

Berdasarkan unsur-unsur tersebut apabila PT PIM dalam kegiatan usahanya menyebabkan pencemaran lingkungan yang merugikan orang lain dan lingkungan, maka PT PIM harus memberikan ganti kerugian kepada korban pencemaran dan berupaya

mengembalikan fungsi lingkungan sebagaimana mestinya, hal ini sesuai dengan dasar yang ada dalam hukum lingkungan yang disebut dengan dasar "pencemar membayar" ( Pollunter Pays Principle atau PPP). Menurut OECD ( The Organization for Economic Development) merumuskan pengertian dari PPP 8sebagai berikut: Cooperation and

"' ...... bahwa polluter should bear the expenses of carrying out the measures, as specified in the previous paragrafh, untuk memastikan bahwa environment is in an acceptable state ... the cost of these measures should be reflected in the cost of goods and services yang menyebabkan polusi di production and / or consumption ". Selain itu OECD menekankan bahwa kewajiban membayar akibat kerusakankerusakan lingkungan hidup yang dibuatnya, jadi upaya pengendalian pencemaran melibatkan biaya seperti biaya alternatif penerapan kebijaksanaan anti polusi, bisa pengukuran dan pemantauan pengelolaan, biaya riset, pengembangan teknologi, unit-unit pengelolaan pencemaran dan perawatan instalasi unit-unit pengelolaan limbah. Terkait dengan PPP hakim dalam memberikan putusan terhadap kasus pencemaran yang dilakukan PT PIM nantinya tidak saja putusan ganti kerugian tetapi juga memberikan tindakan seperti instalasi atau perbaikan instalasi-instalasi pengelolaan limbah sejalan dengan prinsip baku mutu lingkungan; memulihkan fungsi lingkungan hidup dan menghilangkan semua faktor penyebab perusakan lingkungan. Lebih lanjut, apabila kesalahan PT PIM yang menyebabkan pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan yang mengakibatkan kerugian, maka PT PIM bertanggung jawab langsung dan seketika, hal ini diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UUPLH. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 35 ayat (1) UUPLH adalah: 1. 2. 3. 4. 5. Suatu perbuatan atau kegiatan; Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup; Menggunakan atau memproduksi bahan / limbah berbahaya dan beracun; Tanggung jawab timbul secara mutlak; Tanggung jawab secara langsung dan seketika pada saat pencemaran perusakan lingkungan .

Berdasarkan pasal tersebut di atas, gugatan terhadap PT PIM yang dilakukan korban pencemaran lingkungan dan beban pembuktikan tidak harus dilakukan oleh korban pencemaran, hal ini disebabkan dalam Pasal 35 ayat (1) UUPLH sudah dijelaskan bahwa tanggung jawab langsung dan seketika (S trict Liability) berlaku untuk kegiatan atau usaha yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan. Jadi setiap kegiatan atau usaha yang wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan dapat dibebankan pertanggungjawaban langsung dan seketika (S trict Liability ) apabila dalam kegiatan usahanya telah mencemarkan dan merusakan lingkungan hidup. Di samping itu pula Pasal 35 ayat (2) UUPLH memberikan pengecualian tanggung jawab untuk pelaku apabila dapat membuktikan bahwa pencemaran atau kerusakan berasal dari bencana alam ( act of God ) atau peperangan, kondisi terpaksa ( force majeure ) dan karena tindakan pihak ketiga ( act or omission of a third party atau disebut pula act of strager ).Dengan demikian, PT PIM harus dapat membuktikan bahwa nantinya pencemaran lingkungan yang terjadi bukan karena kesalahan tetapi karena unsur-unsur yang terdapat di dalam Pasal 35 ayat (1) UUPLH sehingga PT PIM terlepas dari tanggung jawab langsung dan mutlak.

Selanjutnya, beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang telah mengaplikasikan dasar tanggung jawab langsung dan seketika (S trict Liability ) 87 , antara lain: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Perbuatan pencemaran atau perusakan sumber daya alam di ZEEI memikul tanggung jawab mutlak dan biaya rehabilitasi lingkungan (Pasal 11). Sistem ini mengenal pula pengecualian tanggung jawab ( excemption system ) sebagaimana tercantum dalam UUPLH serta ceiling system (Pasal 11 ayat (2)) 2. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang ratifikasi Internasional Convention On Civil Liability for Oil Polution Damage , 1969 (CLC). Dasar Strict liabilitydapat dilihat dalam Artikel III, paragaraph 1 dan 2 tentang tanggung jawab perdata pencemaran minyak di laut. 3. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Keteneganukliran. Dalam hukum ini ditentukan mengenai tanggung jawab pengusaha instalasi nuklir, yakni dalam Pasal 28, yang mewajibkan bertanggung jawab atas kerugian nuklir pihak ketiga akibat karena kecelakaan nuklir dari instalasi nuklir. Prinsip tanggung jawab pada Pasal 28 ini merupakan S trict Liability . Lebih jauh dalam penjelasannya dikatakan juga bahwa: " Pada prinsipnya dalam hal terjadi kecelakaan nuklir, tanggung jawab hanya dibebankan kepada satu pihak, yaitu pengusaha instalasi nuklir. Dengan demikian tidak ada pihak yang dapat diminta pertanggungjawaban selain pengusaha instalasi nuklir itu. Dalam sistem tanggung jawab mutlak, untuk menerima ganti rugi, pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir tidak dibebani pembuktian ada atau tidaknya kesalahan pengusaha instalasi nuklir. Untuk menghindari ganti rugi jatuh kepada pihak yang tidak berhak, pihak ketiga cukup nenunjukkan bukti yang sah bahwa kerugiannya diakibatkan oleh kecelakaan nuklir ".

Dengan demikian, sebelum dasar S trict Liability yang terdapat dalam UUPLH sudah ada peraturan perundang-undangan yang lain mengambil dasar S trict Liability , sehingga apabila terjadi pencemaran yang dilakukan oleh suatu perusahaan yang mengakibatkan kerugian bagi pihak lain, maka perusahaan dalam menyelesaikan permasalahan ganti kerugian menganut dasar S trict Liability. . Tanggung jawab ini terjadi pada saat pencemaran terjadi, sehingga pelaku dinyatakan bertanggung jawab langsung atas kejadian tersebut. Kejadian ini tidak harus dibuktikan karena dalam dasar Strict Liability mengandung unsur kesalahan, jadi pada saat kejadian itu timbul pelaku sudah memikul suatu tanggung jawab karena di dalam dasar ini terkandung dasar " res ipso loquitur "yaitu fakta sudah berbicara sendiri ( the thing speaks for itself ). Jadi dapat dikatakan bahwa sistem hukum S trict Liability merupakan sistem hukum yang menguntungkan bagi korban pencemaran mengingat tanpa secara asumsi pelaku sudah dianggap bertanggung jawab terlepas dari apakah dia bersalah atau tidak. Selanjutnya, apabila PT PIM melakukan pencemaran lingkungan maka PT PIM harus bertanggung jawab langsung dan seketika tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu oleh korban, dan PT PIM harus memberikan ganti kerugian kepada korban pencemaran, seperti PT PIM dalam menyelesaikan kasus kebocoran gas amonia, di sini korban yang harus membuktikan terlebih dahulu sehingga dalam hal ini korban sangat dirugikan jangankan mendapat ganti kerugian bahkan mengeluarkan biaya untuk melakukan pembuktian yang berakhir dengan kekalahan di pengadilan.

. 3.4 Bahaya fisik dan bahaya lain Selain kebocoran gas ammonia yang dapat mengganggu sistem pernafasan, dampak pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh proses kerja PT. Pupuk Iskandar Muda adalah rusaknya daerah aliran sungai (DAS) di sekitar pabrik. Hal tersebut terjadi karena masuknya limbah pabrik PT. Iskandar Muda, yang mengakibatkan air sungai tercemar dan membunuh biota air yang hidup di dalamnya. Contohnya yaitu matinya ikan di sungai tersebut, tejadinya bencana banjir, dan krisis air bersih.