If you can't read please download the document
Upload
truongtram
View
241
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
42
BAB III
INDUSTRI PERKEBUNAN TEBU DI MADIUN SEBELUM
KRISIS EKONOMI TAHUN 1929
Perkembangan industri perkebunan tebu di Madiun merupakan satu bagian
dari tumbuh dan berkembangnya industri yang telah berkembang sebelumnya
sejak masa Sistem Tanam Paksa yang menetapkan sistem pajak tanah dan kerja
bakti (kerja suka rela) yang banyak membawa keuntungan bagi pemerintah
Belanda serta produksi tanaman ekspor yang melimpah sehingga membuat pihak
swasta tertarik untuk ikut andil dalam dunia perindustrian. Kesempatan ini
terbuka lebar ketika pemerintah kolonial mengeluarkan Undang-Undang Agraria
dan disusul dengan berlakunya Undang-Undang Gula pada tahun 1870.
Diberlakukannya Undang-Undang Gula tak lain adalah usaha untuk menghapus
Sistem Tanam Paksa secara perlahan dalam industri pergulaan dan kebebasan
perdagangan gula di pulau Jawa.
Undang-Undang Agraria memberikan jaminan terhadap penguasaan lahan
bagi usaha perkebunan maupun industri swasta. Isi dari Undang-Undang Agraria
ini adalah sebagai berikut, (a) untuk lahan yang belum dimanfaatkan, perusahaan
swasta diberi hak sewa selama 75 tahun yang dapat di perpanjang dan dipindah
tangankan (hak erfpacht) (b) untuk lahan yang dimiliki rakyat, perusahaan swasta
dapat melakukan sewa kontrak jangka pendek berlaku paling lama 35 tahun untuk
lahan sawah dan 12,5 tahun untuk lahan kering. Sewa kontrak jangka panjang
43
berlaku paling lama 21,5 tahun.1 Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang
Agraria 1870, kebijakan pemerintah Belanda cenderung untuk membatasi
aktivitas pengusaha swasta di daerah yang langsung dikuasai Belanda, Jawa,
untuk mempertahankan monopoli atas tanaman perdagangan yang sangat
menguntungkan, terutama gula dan kopi.2 Namun tidak serta-merta
perkembangannya selalu lancar, pada perempatan akhir abad ke-19 depresi agraris
menimbulkan pukulan hebat terhadap ekspor. Harga gula di Jawa dalam tahun
1877-1884 jatuh dari . 19 - . 9 tiap kilo.3
Sejak tahun 1918 seiring dengan diterapkannya Undang-Undang Sewa
yang baru, pemerintah memberi kelongaran kepada setiap industri gula untuk
menjalankan hak-haknya. Dalam bab ini, akan diuraikan mengenai tumbuh
berkembangnya industri perkebunan tebu di Madiun hingga tahun 1929, dengan
berbagai permasalahannya terkait lahan, irigasi, tenaga kerja maupun modernisasi
yang mendukung terus berkembangnya industri perkebunan tebu di Madiun.
1 RetnoPuji Lestari., Nasionalisasi Industri Gula Di Madiun: Pabrik Gula
Pagottan, Kanigoro dan Redjo Agung Baru Tahun 1950-1960, Skripsi,
(Yogyakarta:UNY, 2011), hlm. 29.
2 Soegijanto Padmo., Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia,
(Yogyakarta: Aditya Media, 2004), hlm. 83.
3 Burger, Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia Jilid II, ( Jakarta:
Pradnja Paramita, 1970), hlm. 132.
44
Amu tidak am
A. Pabrik-Pabrik Gula di Madiun
Kondisi geografis, demografis dan pertanian di Madiun yang unggul
sangat berpotensi untuk penanaman berbagai komoditas ekspor seperti gula, nila,
teh, tembakau dan masih banyak lagi dan untuk hasil penanaman yang terpenting
adalah kopi, gula, dan nila. Adapun luasan tanaman tebu di Madiun pada tahun
1833 adalah 3.512 bau, tahun 1860 menurun menjadi 800 bau dan mengalami
kenaikan kembali pada tahun 1910 mencapai 6.400 bau.4
Karesidenan Madiun telah banyak mengalami perkembangan dalam
bidang industri, perusahaan-perusahaan industri gula diantaranya adalah pabrik
gula Rejosari, Poerwodadi, Soedhono, Kepatihan, Kanigoro, dan Pagottan. Pabrik
gula Rejosari merupakan salah satu pabrik yang ada di Karesidenan Madiun
berada di Distrik Gorang-Gareng dan Bendo di Distrik Magetan. Berdiri pada
tahun 1890 dan dimiliki oleh N.I.L.M (Nationale Industrie en Landbouw
Maatschappy). Pada umumnya tanaman tebu membutuhkan aliran air yang cukup
untuk penyiraman. Saat saluran irigasi belum begitu baik muncul permasalah di
desa terpencil yang jauh dari areal perkebunan tebu. Sebagian besar mengalami
kerugian karena palawija yang ditanam kurang mendapatkan air dan bahkan
sering diabaikan meskipun pembagian air sudah ditetapkan siang dan malam
secara bergantian oleh oetjeng. Namun dalam prakteknya tidak sesuai dengan
4 Burger., Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia Jilid I,(Jakarta: Pradnja
Paramita, 1962), hlm. 209.
45
aturan yang telah ditetapkan dan minimnya air mempengaruhi pertumbuhan
palawija.
Pabrik gula Soedhono berdiri sejak tahun 1888 yang lokasinya berada di
Kabupaten Magetan dan Ngawi, meskipun musim kemarau disini tebu dapat
tumbuh karena semua air diarahkan ke kebun tebu. Pabrik gula Soedhono
didirikan oleh perusahaan Verenigde Vorsendsche Cultural Maatschappy
(VVCM), selain di pabrik gula Rejosari dan Soedhono ada juga pabrik gula
Poerwodadi yang terletak di Kabupaten Magetan tepatnya di Desa Palem dan
didirikan pada tahun 1832 yang bernama Nederlands Hendel Maatschapij
(NHM). Pabrik ini bisa dikatakan sebagai pabrik gula tertua di Karesidenan
Madiun. Tidak berbeda jauh dengan kondisi pabrik gula lainnya karena irigasi
yang kurang baik maka banyak terjadi kasus kurangnya pengairan pada masa
musim kemarau. Kasus-kasus semacam ini kemudian mendapat perhatian khusus
dari Administrator dan pemerintah.
Pabrik gula Kepatihan berdiri sejak 1894 di mana luas arealnya sekitar 90
bau dan berada di Distrik Bagi, namun untuk pertumbuhannya di distrik ini cukup
sulit karena tidak adanya air yang cukup, hanya cocok untuk ditanami kacang
hijau dan mentimun. Selain Kepatihan yang muncul pada tahun-tahun tersebut
juga ada pabrik gula Kanigoro. Pabrik gula Kanigoro berlokasi di Desa Sidorejo,
Wungu dan didirikan pada tahun 1894 oleh Cultuur Handel & Industri Bank NV.
Selain orang Eropa yang terlibat langsung dalam industri pabrik gula juga terdapat
orang Cina.
46
Pabrik gula Redjo Agung adalah perusahaan swasta Tionghoa yang
dulunya mengalami kerusakan dan kerugian, kemudian didirikan kembali pada
tahun 1894 oleh perusahaan gula Tionghoa terbesar di Jawa pada masa itu, yang
berpusat di Semarang Oei Tiong Ham Concern. Pabrik ini adalah pabrik gula
terbesar dan paling modern yang dimiliki pada masa itu.5
Gambar. 3
Pabrik gula Redjo Agoeng tahun 1910
KITLV media
Pabrik gula Pagottan adalah salah satu pabrik gula tertua di Madiun.
Pabrik gula Pagottan berdiri sejak tahun 1884 yang berlokasi di Oeteran
Karesidenan Madiun dan berdekatan dengan perusahaan nila di Geger.6 Pabrik
5 Retno Puji Lestari.,op.cit., hlm 28.
6 Nota Over Den Inveloet Van De Particuliere Suikerriet-Cultuur Op De
Teelt Van Inlandsche Voe Dings Gewassen Batavia Landsdrukkerij 1900, Badan
Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur, Landbouw Nomor 43.,op.cit., hlm. 67.
47
gula Pagottan didirikan oleh perusahaan swasta bernama NV Coody Costern Van
Voorvout.7 Pabrik gula Pagottan juga meluaskan areal tanamnya hingga ke daerah
Ponorogo.
Gambar. 4
Peta lokasi pabrik gula Pagottan, berada di distrik geger
KITLV media
Pada umumnya areal tanam yang dimanfaatkan untuk melaksanakan
penanaman tebu dan disewakan adalah tanah sawah yang memiliki cukup air yang
sebelumnya digunakan untuk penanaman palawija ataupun padi. Pabrik gula tidak
7 Pabrik Gula Pagottan, http://ptpn11.co.id, diakses Tanggal 20 Mei 2016,
Surakarta
48
memiliki alasan khusus untuk tetap bertahan apabila lahan yang disewa tidak
mendapatkan air yang cukup. Daerah Ponorogo memiliki saluran irigasi termasuk
mudah sehingga semakin lama luasan areal tanam yang di sewa oleh pabrik gula
pun semakin meluas. Kondisi semacam ini tentu dapat merugikan ladang
penduduk terkait masalah pengairan untuk tanaman padi maupun hasil pertanian
lain. Pabrik gula Pagottan tidak berbeda jauh dengan lahan tebu di pabrik gula
lainnya yang juga membutuhkan air yang cukup banyak pada musim kemarau,
namun disini tidak terjadi perusakkan antara penduduk dan perusahaan karena
telah diatur pengairannya secara bergantian.
Sebelum adanya pengairan yang teratur, meskipun lokasi-lokasi industri
perkebunan tebu berada di daerah yang subur dan dikelilingi oleh sungai-sungai
besar masih saja terdapat permasalahan terkait irigasi yang masih banyak perlu
diperbaiki, meskipun pada umumnya di semua desa memiliki cukup air tetapi
pada masa angin musim timur menjelang kemarau menyebabkan kekeringan
karena air yang kecil sehingga hanya dapat digunakan untuk menanam palawija
saja. Untuk mengatur jalannya irigasi tidak terjadi permasalahan besar terkait
datangnya musim kemarau ada usaha-usaha yang dilakukan salah satunya adalah
menunjuk seseorang untuk menanganinya. Sebuah kontrak untuk melakukan
pembagian air antara produsen dan penduduk yang ditetapkan sesuai dengan
luasan lahan, dan dibayar untuk mengatur irigasi tersebut sebagai oetjeng.8
Seiring berjalannya waktu pertumbuhan berbagai industri gula di Jawa
mengalami peningkatan yang drastis, apalagi didukung dengan adanya sistem
8 Landbouw, nomor 43., op.cit., hlm. 66.
49
politik baru (Politik Etis) yang sangat besar pengaruhnya terhadap perindustrian di
Jawa. Irigasi menjadi salah satu hal yang paling penting dalam perkembangan
industri perkebunan tebu. Perkembangan perusahaan perkebunan-perkebunan
swasta berkembang pesat dan mencapai puncaknya pada dasawarsa 1920-an. Hal
itu didorong oleh situasi yang diciptakan oleh pemerintah kolonial, salah satunya
adalah dibentuknya Cultuur Banken yang memberikan kredit lunak kepada
perusahaan perkebunan dan kebijakan dalam bidang perundang-undangan seperti
di daerah Swapraja dan memberikan jaminan persewaan tanah jangka panjang.9
Situasi semacam ini menyebabkan semakin banyaknya perusahaan menanam
modalnya di berbagai industri di Hindia Belanda, terutama kurun waktu 1890
sampai 1910, yang membawa dampak semakin kerasnya persaingan diantara
mereka.
Proses modernisasi seiring berkembangnya perusahaan perkebunan
mencapai puncaknya pada pertengahan abad dua puluh di mana perkembangannya
menuju korporatisasi, meskipun sebenarnya proses modernisasi dalam industri
gula telah terjadi sejak awal dasawarsa 1880-an. Dengan adanya modernisasi
tersebut menyebabkan banyaknya perusahaan yang pada mulanya mengkhususkan
diri pada usaha perkebunan, telah berubah menjadi perusahaan raksasa yang juga
bergerak dalam bidang pertambangan, pengangkutan, dan perbankan.
Salah satu fungsi utama lembaga keuangan adalah penyangga modal pada
saat perusahaan mengalami kesulitan keuangan, beberapa bank perkebunan yang
ditunjuk antara lain adalah NHM (Nederlandsch Handel Maatschappij) dan
9 Soegijanto Padmo.,op.cit, hlm. 86.
50
Koloniale Bank. Dengan modal yang cukup maka perusahaan menjadi lebih sehat
dan mampu menjalankan berbagai teknologi modern. Berikut adalah salah satu
contoh teknologi yang digunakan oleh pabrik gula Pagottan dalam rangka untuk
menunjang sistem produksinya.
Gambar. 5
Mesin ruang Pagottan, Madiun tahun 1917
Sumber: KITLV Media
Untuk meningkatkan hasil produktivitas gulanya pabrik gula mulai banyak
menggunakan teknologi modern, Pabrik-pabrik gula di Madiun mendapat
perhatian khusus dari Pusat Penelitian Perusahaan Gula pada masa itu, atau yang
lebih dikenal sebagai POJ (Proefstation Oost Java). POJ berperan dalam
mendukung industri gula di wilayah Hindia Belanda agar mampu memberikan
pelayanan kepada pemerintah Kolonial Belanda, penyandang dana dan para
pengguna teknologi (swasta).
51
B. Perluasan Areal Tanam Industri Perkebunan Tebu di Madiun
Salah satu dampak yang ditimbulkan dengan berkembang pesatnya
ekonomi modern dalam bidang industri perkebunan ataupun industri manufaktur
memunculkan berbagai permasalah terkait tanah, tenaga kerja ataupun transportasi
dan masih banyak lagi lainnya. Tanah menjadi sangat penting dalam industri
perkebunan karena semakin luas lahan areal tanam maka hasil produksinya pun
juga akan semakin banyak dan terus mengalami perkembangan. Boeke (1984:79)
memberi definisi perkebunan sebagai suatu kompleks perusahaan, unit-unit
teknis, yang seringkali dilengkapi dengan petugas administratif dan ekspor.10
Namun definisi tersebut kurang memberikan gambaran menyeluruh yang
sebenarnya, karena dalam dalam suatu perusahaan perkebunan sangat erat
kaitannya dengan tenaga kerja dan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Bagi masyarakat agraris tanah merupakan simbol status dan prestis bagi
siapapun pemiliknya. Barang siapa yang memiliki tanah luas maka ia mempunyai
kedudukan yang tinggi dan kekayaannya jelas, begitupun sebaliknya dengan
seseorang dengan kepemilikan tanah yang kecil maka prestis sosialnya pun
rendah. Dalam perjalannya tanah-tanah di Jawa banyak terjadi pergantian
kekuasaan, hingga pada abad ke-20 tanah-tanah Jawa jatuh ke tangan banyak
perusahaan swasta terutama untuk tanah sawah. Tanah sawah lebih banyak
diminati karena dimanfaatkan sebagai lahan tanam yang paling menguntungkan.
Sewa terhadap tanah sawah lebih banyak diminati karena pada masa
pertengahan abad ke-20 tanaman ekspor gula menjadi primadona bagi perusahaan
perkebunan. Tebu hanya dapat tumbuh di lahan sawah yang basah dengan saluran
10
Soegijanto.Padmo.,op.cit., hlm. 4.
52
irigasi yang baik dan terawat agar saat musim muson timur (kemarau) tetap dapat
memproduksi gula dalam jumlah yang banyak sehingga tidak menimbulkan
kerugian. Tanah yang telah disewakan pada perkebunan swasta dikelola oleh
perkebunan sendiri dan diatur dengan manajemen modern yang dilengkapi dengan
sarana logistik tradisional.
Proses ini berjalan terus tanpa bisa mundur. Seiring dengan perkembangan
pemerintah kolonial. sehubungan dengan sistem ini, Geertz, tampaknya
karena sadar akan argumen Boeke tentang ekonomi ganda, menyatakan
bahwa ketidakterpaduan antara sektor ekspor dan sektor domestik
merupakan ciri pokok perekonomian ini dan bahwa pemaksaan sistem
pertanian kolonial yang berorientasi ekspor pada pola ekologi yang ada
merupakan ciri yang tetap dan sangat khas dari kolonialisme Balanda antara
tahun 1916 dan 1942.11
Kondisi seperti itu sesungguhnya menghalangi lepas landas dan majunya sektor
domestik atau lapisan bawah, yang meliputi sebagian besar para petani Jawa.
Perolehan hasil besar di Jawa tersebut karena sawah menempati bagian yang luas
dibandingkan tanah pertanian lain di luar Pulau Jawa, kepadatan penduduk yang
tinggi dan perolehan hasil padi juga lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Tebu
merupakan salah satu tanaman tahunan yang membutuhkan irigasi yang cukup
dan lahan sawah yang luas, sehingga memungkinkan terjadinya pergantian sistem
tanam dari tebu ke padi ataupun sebaliknya, antara tebu dan padi terdapat
persamaan pokok dalam hal persyaratan ekologis.
11
Akira Nagazumi., Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang Perubahan
Sosial Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia,
Jakarta( Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 17.
53
1. Cara Industri Perkebunan Tebu di Madiun Memperluas Areal Tanam
Luasan lahan industri perkebunan tebu yang meningkat menyebabkan
orang-orang Eropa banyak melakukan pengelolaan pabrik di Madiun dan
melakukan sewa tanah kepada penduduk setempat. Biasanya tanah yang disewa
adalah tanah sawah yang berlokasi di sekitar pabrik gula, karena ini berkaitan
dengan sarana pengangkutan hasil panen. Dengan adanya penanaman tebu yang
berdampingan dengan tumbuhnya padi tidak mengurangi jumlah produksi
panennya.
Tumbuhnya industri pergulaan yang meningkat, menyebabkan orang-
orang Eropa banyak melakukan pengelolaan pabrik di Madiun dan melakukan
sewa tanah. Berkaitan dengan pengelolaan lahan penanaman tebu, pihak pabrik
gula bekerja sama dengan para Bupati untuk dapat menyewa lahan rakyat
pribumi. Di wilayah Madiun persewaan lahan dibantu oleh pemerintah di daerah
(Bupati).12
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa birokrasi desa ikut campur
tangan dalam hal ini. Pemerintah kolonial membuat birokrasi desa dengan tujuan
untuk kepentingan perkebunan yang menempati lahan desa.
Pemerintah kolonial membentuk unit administrasi terendah di tingkat desa
yang dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Jelas bahwa Kepala Desa dijadikan
political broker pada tingkat unit administrasi terbawah yang melayani semua
12 Retno Puji Lestari.,op.cit., hlm. 29.
54
perintah dari pemerintah kolonial dan perkebunan.13
Selain itu juga ada usaha-
usaha untuk mengambil alih kepemilikan tanah miliki perorangan terutama untuk
kaum priyayi dengan menggantinya menggunakan gaji. Keputusan tersebut
merupakan keputusan yang fatal mengingat besarnya fungsi tanah, selain itu
kedudukan mereka pun menjadi lemah terhadap Belanda. Pilihan tersebut akan
sangat merugikan jika pemerintah Belanda memindah tugaskan para Priyayi ke
suatu tempat dan telah kehilangan tanahnya juga. Bagi Priyayi maupun kepala
desa yang tetap tinggal di Madiun memperoleh keuntungan juga dari berbagai
kenaikan berbagai produksi perkebunan ekspor yang selalu mengalami
peningkatan di setiap tahunnya Keputusan tersebut merupakan keputusan yang fatal mengingat besarnya fungsi tanah, selain itu kedudukan mereka pun menjadi lemah terhadap Belanda. Pilihan tersebut akan sangat merugikan jika pemerimemindah.
Setelah memperoleh tanah tentu untuk memperlancar proses produksi
adalah dengan memperoleh tenaga kerja yang banyak dan murah. Khususnya di
Madiun tenaga kerja dapat diperoleh dengan pajak tanah, itu berarti di
Karesidenan Madiun bahwa untuk memperoleh jumlah buruh yang diperlukan,
petani dalam jumlah yang sama harus dijadikan sebagai petani penguasa tanah,
sehingga mereka jugalah yang nantinya akan mengolah tanah tersebut. Sehingga
kondisi ini memaksakan pemerintah Belanda untuk mengubah kepemilikan tanah
dari yang semula milik perorangan menjadi milik desa (komunal).
Jauh sebelum abad dua puluh, Van Den Bosch sebagai penggagas sistem
Cultuurstelsel memutuskan adanya sistem pajak tanah yang harus dibebankan
kepada desa bukan pada petani serta memanfaatkan hubungan dengan para
13 Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia.,
Indonesia Dalam Arus Sejarah, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,2012), hlm.
113.
55
Priyayi, sebagai imbalannya Van Den Bosch menjanjikan bantuan uang setiap
bulan, tanah milik dan kedudukan yang dapat diwariskan. Meski keputusan
tersebut telah di ambil oleh Van Den Bosch, sebagai Residen Madiun L De Launy
memiliki pemikiran lain terkait penggantian tanah milik dengan gaji bulanan
ganda hingga mencapai jumlah 500 dengan syarat pernyerahan tanah lungguh
terlebih dahulu. Jika mereka mempertahankan tanah mereka maka gaji yang
diperoleh hanya separuh. Tanpa kecuali semua Priyayi di Madiun memilih gaji
ganda dan menyerahkan tanah mereka kepada negara.14
Sebagai contoh, sebuah proklamasi Bupati Pulung dari tahun 1832 seperti
yang dibacakan oleh kepala distrik berbunyi sebagai berikut, para kepalang dan
bekel (kepala) saya menerima perintah dari negara (Belanda menerjemahkan
dengan Regent=Bupati) bahwa atas perintah kantor (Residen) semua sawah tegal
(sawah kering) di desa kalian yang hingga kini dikuasai oleh perorangan harus
dibagi rata. Maka dari itu sawah pusaka atau asli sekarang harus dibagi kembali
sehingga wajib kerja bakti menjadi sama bagi semua.15
Akibat dari adanya
sistem tersebut maka orang-orang desa secara perorangan hanya memperoleh
tanah kurang lebih 0,5 ha. Di Madiun lah pertama kali istilah negara adalah
pemilik semua tanah di praktekkan.
14
Onghokham., Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX; Pajak
dan Pengaruhnya Terhadap Penguasaan Tanah, dalam Sediono M.P
Tjondronegoro, Gunawan Wiradi. Dua abad Penguasaan Tanah Pertanian di
Jawa dari Masa ke Masa, ( Jakarta: Gramedia. 1984), hlm. 18.
15 Ibid.,Sediono, hlm. 20.
56
Selain adanya tekanan yang mengharuskan sikep untuk melepaskan
tanahnya, tekanan lain juga terjadi pada petani numpang yang tidak memiliki
tanah dan hanya dituntut untuk melakukan kerja yang berat. Petani numpang di
Madiun bahkan berusaha untuk melarikan diri dan beralih menggunakan tanah
cacah mati yang masih melimpah di Madiun. Sebagai tanggapan atas usaha
tersebut sikep berusaha untuk tetap menggunakan petani numpang meskipun tidak
dapat bertahan lama, tetapi masih ada kemungkinan untuk tetap menjaga
kedudukan mereka.
Kedudukan sikep yang senantiasa dipertahankan adalah salah satu cara
untuk mendapat dukungan guna menjadi bagian orang berpengaruh di desa,
seperti menjadi kepala desa. Dengan menjadi kepala desa maupun bidang lainnya
di desa harapan memperoleh tanah bengkok dan gaji masih dimungkinkan
adannya. Untuk jabatan sebagai kepala desa tanah bengkok yang di sediakan
adalah lima hektar, sedangkan untuk pegawai desa lain kurang lebih dua hektar.
Hilangnya petani sikep sebagai petani pemilik tanah dan munculnya istilah
kuli sebagai petani tanpa keahlian serta adanya kewajiban untuk bekerja bakti
menandai adanya perubahan yang mendasar dari masuknya pemerintah kolonial
di Madiun. Di lingkungan desa kedudukan kuli terbagai dalam berbagai kelas
tergantung dari seberapa besar tanggung jawab mereka terhadap proyek-proyek
negara. Adapun yang paling umum adalah kuli kenceng dan kuli setengah
kenceng.
Memasuki abad dua puluh peluang adanya sistem tanam dengan
melakukan sewa tanah sawah secara kontrak dengan pemilik tanah secara
57
langsung sebenarnya tidak benar adanya, kenyataannya perkebunan tebu tidak
membuat kontrak dengan masing-masing petani. Perjanjian itu terjadi dengan
sekelompok orang yang tinggal di sebuah desa yang menggabungkan tanah
mereka, atau berhasil menggabungkan dan yang bertanggung jawab secara
bersama. Kepala Desa biasanya menjadi saksi.16
Untuk mendapatkan tanah yang
luas dan bersambungan biasanya pengusaha melakukan berbagai cara salah
satunya adalah pemberian premi dan hadiah sehingga penyewaan sawah milik
komunal dapat tercapai.
2. Perluasan Areal Tanam Perkebunan Tebu Pagottan di Ponorogo
Munculnya ketentuan mengenai adanya hak industri gula untuk melakukan
sewa terhadap tanah penduduk menyebabkan semakin meningkatnya jumlah
luasan areal tanam perkebunan tebu di berbagai daerah. Naiknya jumlah sewa
tanah yang dilakukan oleh pabrik gula akan sangat berpengaruh terhadap
meningkatnya jumlah hasil produksi gula yang diperoleh. Maka semakin banyak
pula industri gula melakukan perluasan areal tanamanya bahkan hingga
mengambil daerah lain yang cukup jauh keberadaan pabrik gulanya. Berikut
adalah gambaran hasil produksi pabrik gula di Madiun pada tahun 1916 yang
kemudian dengan meningkatnya jumlah luasan dapat menghasilkan produksi yang
besar.
16
Akira Nagazumi.,op.cit.,hlm. 44.
58
Tabel. 7
Produksi gula dari pabrik gula Madiun tahun 1916
No Nama pabrik Jumlah produksi dalam
(kwintal)
1 PG Redjo Agung 1570
2 PG Kanigoro 1250
3 PG Pagottan 922
Sumber : Retno.Puji Lestari., hlm. 32.
Jika dicermati dari uraian diatas pabrik gula Pagottan memiliki hasil produksi
yang paling rendah jika dibanding dengan pabrik gula Redjo Agung maupun
pabrik gula Kanigoro sedangkan untuk pabrik gula Redjo Agung memiliki jumlah
hasil produksi yang terbesar. Menyatakan bahwa, sewa tanah berlaku mulai
Januari 1921 di Distrik Ponorogo, Djebeng, Ardjowinangun, Poeloeng, Patjitan,
Poenoeng, dan Lorok di Karesidenan Madiun.17
Kemudian pada tahun 1923
pabrik gula Pagottan memperluas areal tanamnya hingga ke Ponorogo meskipun
tidak semua wilayah dapat disewa sebagai lahan areal perkebunan tebu. Adapun
harga sewa untuk pabrik gula di Madiun sejak tahun 1903 ditentukan sebagai
17 The Grondhuur Ordonantie Bataviaasch Nieuwsblad, 4 Januari 1921.
59
berikut, di afdeling Redjo Agoeng . 48,61 per bau sedangkan untuk pabrik gula
Pagottan . 25.30 per bau.18
Rendahnya hasil produktivitas di Pabrik gula Pagottan jika dibandingkan
dengan Perusahaan gula di Karesidenan Madiun lainnya kemudian memunculkan
adanya perluasan di Distrik Ponorogo. Pada dasarnya pabrik gula Pagottan hanya
diberi ijin untuk memperluas areal nya pada Distrik Oeteran dan Ponorogo saja
namun tidak lebih dari 1970 bau. Daerah yang di sewa oleh PG.Pagottan pada
sekitar daerah perbatasan Madiun tepatnya wilayah Mlilir dan Ponorogo yakni di
daerah Babadan dan Jenangan. Berikut adalah luasan lahan sewa bagi gula
Pagottan di Ponorogo.
Tabel. 8
Luasan Areal Tanam Pabrik Gula Pagottan di Ponorogo
Tahun Luasan (dalam bau)
1923 570
1924 575
1929 957
Sumber: Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Dan Tanah Kerajaan)
18 Mr. J.W. Ramaer, Nota Over Drondverhuur Op Java, ( Den Haag:
Vertegenwoordiger Voor Nederland Van Het Algemeen Syndicaat Van
Suikerfabrikanten Op Java,1908), hlm. 11.
60
Pada tahun 1923 Cultuurmaatschappij Pagottan diberi ijin menyewa tanah
penduduk untuk menanam tebu bagi pabrik gulanya di Pagottan.19
Luasan yang
diijinkan adalah 570 bau dan terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun
berikutnya. Satu-satunya industri asing yang ada di Ponorogo adalah perkebunan
tebu yang disewa oleh PG. Pagottan. Industri lokal yang berkembang di Ponorogo
hanyalah industri perbatikan yang juga sangat berkembang dengan baik. Pada
tahun 1924 kenaikan jumlah sewa tanah meningkat menjadi 575 bau di distrik
Ponorogo dan meningkat lagi menjadi 600 bau, hingga pada tahun 1929
perluasannya sudah begitu besar mencapai 975 bau areal taman tebu. Pada tahun
1927 hasil tanam bagi industri gula Pagottan mengalami peningkatan, yakni
hasilnya mencapai 1287 kwintal.20
Sewa-menyewa tanah di Ponorogo banyak terjadi bahkan tidak hanya dari
perkebunan besar yang membutuhkannya tetapi juga dari masyarakat sendiri,
namun begitu sewa oleh perkebunan tetaplah lebih besar. Sewa-menyewa tanah
antara penuduk banyak terjadi, harga sewanya antara . 20 dan . 25 setiap bau
selama satu musim penghujan dan musim kemarau.21
Semakin meluasnya areal
tanam bagi pabrik gula sangat erat kaitannya denga arus uang yang masuk dalam
kehidupan masyarakat, meskipun sebenarnya perkebunan tebu rakyat telah
tumbuh namun hasil yang diperoleh kurang memberi keuntungan mengingat
19 Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah Kerajaan),
(Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1978), hlm 205.
20 Algemeen Handelsblad Van Woensdag, 27 Juli 1927
21 Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah
Kerajaan),op.cit., hlm. 211.
61
banyaknya pajak ataupun tanggungan lain yang harus dibiayai dengan sejumlah
uang. Para petani melakukan gadai atau menyewakannya apapun yang mereka
miliki untuk memperoleh uang.
C. Pabrik Gula Redjo Agung, Industri Perkebunan Tebu Tionghoa
Terbesar di Jawa
Meningkatnya jumlah penduduk Tionghoa di Jawa pada abad ke-20
memiliki motif yang tidak berbeda jauh dengan para imigran dari Arab atau
daerah lainnya yang sama-sama memiliki kekuatan bersaing dalam bidang
perekonomian. Adanya keleluasaan yang diberikan oleh pemerintah kolonial
dalam masalah perekonomian kapitalis mendorong orang-orang Cina untuk
mampu mensejajarkan kedudukan mereka dengan melibatkan diri dalam berbagai
macam kegiatan ekonomi dari yang berskala kecil hingga besar.
Khususnya di Madiun perusahaan gula milik Cina hanyalah pabrik gula
Redjo Agung yang merupakan usaha gula swasta miliki saudagar kaya dari
Semarang Oei Tiong Ham. Kepemilikan pabrik gula Redjo Agung ini diambil alih
pada akhir abad sembilan belas saat terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan
turunnya harga gula. Turunnya harga gula yang tajam menyebabkan pabrik gula
Redjo Agung menjadi kehilangan kendalinya untuk tetap melanjutkan proses
produk seperti sedia kala.
Selain pabrik gula Redjo Agung yang merupakan pabrik gula paling
modern pada masa itu, pada mulanya di tahun 1894 Oei Tiong Ham berhasil
membeli pabrik gula Pakis, selanjutnya berturut-turut bertambah sampai memiliki
lima pabrik gula, yaitu pabrik gula Rejo Agung, Krebet, Ponen, dan
Tanggulangin. Setelah membeli pabrik gula, ia kemudian mengganti mesin-mesin
62
tradisionalnya dengan mesin modern yang didatangkan dari Jerman.22
Adapun
para pekerja yang direkrut oleh Oei Tiong Ham adalah orang-orang Tionghoa dan
Eropa saja.
Pabrik gula Redjo Agung tercatat secara legal berdasarkan surat keputusan
tanggal 30 September 1904 No. 7.23
Pabrik gula milik Oei Tiong Ham adalah
salah satu pabrik gula yang unik, perusahaan swasta seperti Oei Tiong Ham
Concern boleh menanam modal dan mengelola produksi pertanian maupun
perkebunan pada lahan yang disewa Pabrik gula Redjo Agung merupakan pabrik
gula pertama di Hindia Belanda yang dijalankan dengan tenaga listrik. Pabrik gula
Redjo Agung juga terkenal sebagai pabrik gula karbonasi yang terbesar di dunia
tahun 1930an. Perusahaan Oei Tiong Ham berpusat di Semarang dan berada
dalam pengelolaan N.V. Algemeene Maatschappij tot Exploitatie der Oei Tiong
Ham Suikerfabrieken.
D. Irigasi di Madiun Dalam Perkembangan Industri Perkebunan Tebu
Wilayah Karesidenan Madiun memiliki saluran irigasi yang sangat bagus
diuntungkan dengan adanya pegunungan Wilis yang membentang di sebelah
timur. Pemerintah Kolonial Belanda memanfaatkan geografi ini untuk
meningkatkan fungsi irigasi untuk perkebunan maupun pertanian. Memanfaatkan
hulu dari sungai-sungai besar di wilayah Madiun membuat irigasi sangat bagus
terutama di daerah-daerah yang dilewati sungai Brantas dan Bengawan. Di
22
Aris Dwi Rahdiyanto., Perkembangan Usaha Gula Oei Tiong Ham
Concern Di Jawa 1900-1942, Skripsi, (Yogyakarta:UNY, 2011), hlm 60.
23 Ibid., hlm 61.
63
wilayah lereng pegunungan pemerintah membuat pintu-pintu air agar pengaturan
irigasi lebih mudah digunakan serta membuat bendungan-bendungan kecil agar
tidak kekeringan di musim kemarau. Bendungan terbesar di wilayah Madiun
bernama waduk Widas, waduk ini mengatur perairan utama di wilayah
Karesidenan Madiun.
Daerah-daerah yang menjadi lahan pertanian tebu di Ponorogo mendapat
suplai air dari daerah pengairan sungai Madiun dan anak-anak sungainya. Aliran
sungai Madiun di Distrik Ponorogo dinamakan Sungai Sekayu, sedangkan untuk
anak-anak sungainya adalah Kali Asin, Kali Cemer, Kali Gendol, Kali Keyang,
Kali Gunting, Kali Slahung, Kali Sungkur, Kali Gelak dan Kali Pucung.
Kali Asin memiliki luas daerah pengairan hulu 1.659 bau, di hilir
mencapai 7.338 bau. Kali Cemer memiliki bendungan yang berkapasitas
mencapai 2.324 bau dan memiliki bendungan-bendungan yang semi permanen di
beberapa wilayah. Kali Gendol merupakan pembuangan air daerah pengairan Kali
Cemer dan Kali Keyang. Kali Keyang memiliki luas pengairan hulu 2.420 bau,
sedangkan di hilir 4.441 bau. Daerah hilir disadap oleh bendungan Ngindeng I
dan bendungan Kori yang memiliki kapasitas 3.536 bau. Kali Gunting memiliki
debit air yang kecil sehingga saat musim kemarau tiba, pengairan ini tidak dapat
diandalkan.
Kali Slahung menjadi daerah sadapan untuk dua bendungan yakni
bendungan Watugunting dan Meneng. Kali Slahung memiliki palung yang
dangkal sehingga dapat terjadi banjir saat musim penghujan tiba. Kali Sungkur
juga sama halnya dengan kali Slahung yang menjadi sadapan dua bendungan
64
yakni Sumorobangun dan Sungkur. Daerah hulu sungai ini terletak di daerah
Mangkunegaran. Kali Galek memiliki daerah hulu sungai yang terletak di daerah
Mangkunegaran. Kali Pucang hanya terdapat bendungan rakyat yang sederhana.
Sungai Sekayu yang merupakan anak sungai Madiun dimanfaatkan untuk
pengairan dengan membuat bendungan-bendungan. Bendungan tersebut
merupakan bendungan rakyat yang kemudian mendapat perhatian khusus dan
digantikan dengan bendungan yang lebih baik. Pergantian dan perbaikan ini
diserahkan kepada seorang Opseter kepala dari Dinas Pengairan Provinsi seksi
Madiun yang ditempatkan di Ponorogo. Setelah banyaknya perbaikan saluran
irigasi termasuk pengairan di Distrik Somoroto dan Jebeng pengairan menjadi
baik.
Munculnya berbagai inovasi baru dan modernisasi mendorong adanya
upaya besar untuk melakukan berbagai hal terkait dengan irigasi salah satunya.
Irigasi juga merupakan salah satu gagasan dari adanya sistem Politik Etis yang
memiliki tujuan lebih untuk kepentingan kemajuan perkebunan di Hindia
Belanda. Saat musim kemarau tiba di Ponorogo perkebunan maupun lahan
pertanian lain tidak begitu khawatir akan kekeringan lahan karena di Ponorogo
terdapat Kali Asin yang merupakan sungai pembuangan dari danau Ngebel. Pintu
air yang lama lebarnya enam meter dan mampu mengalirkan air seluruhnya
kurang lebih 9,5 juta M, sedangkan untuk pintu air yang baru dengan lebar 15,5
meter mampu mengalirkan air seluruhnya 20 juta M.
65
Gambar. 6
Saluran irigasi yang ada di Telaga Ngebel tahun 1930
Sumber : KITLV media
Saat musim kekeringan tiba dan banyak terjadi kegagalan panen di
Madiun, pabrik gula Pagottan dapat mengurangi potensi kebangrutan bahkan
sejak tahun 1926 hingga pada tahun-tahun berikutnya, produksi gula Pagottan
selalu dapat mengirim hasil produksinya ke Amerika. Hal tersebut dapat diatasi
dengan menanam jumlah bibit dalam jumlah banyak serta biaya yang besar
mencapai . 516,62. Selain itu adanya usaha untuk membangun dan menggunakan
saluran irigasi danau Ngebel yang dibiayai sejumlah . 167.000 memberikan hasil
yang menguntungkan dan produksi gula pun menjadi lebih besar bahkan dapat
mengembalikan modal yang jauh lebih besar, selain itu hasil yang memuaskan
66
dari bibit POJ 2878 juga menjadi pilihan pabrik gula Pagottan untuk
meningkatkan hasil produksinya.24
E. Tenaga Kerja Industri Perkebunan Tebu di Madiun
Sejak awal berkembangnya industri perkebunan di Hindia Belanda
hubungan antara tenaga kerja dengan penguasa perkebunan telah terjalin dengan
baik. Penyediaan buruh untuk perkebunan pada umumnya melalui perantara
Kepala Desa begitu juga sewa-menyewa tanah. Selain itu Kepala Desa
memberikan laporan ke perkebunan mengenai kelakuan si buruh dan bertanggung
jawab atas tindakan-tindakan selama menjalankan kontrak. Petani Jawa mensuplai
tanah dan tenaga kerja sedangkan pengusaha Belanda menyediakan ketrampilan
organisasi, teknologi, dan modal yang diperlukan guna memproduksi komoditas
dalam jumlah yang selalu bertambah serta menjualnya ke pasar Internasional.25
Sebuah industri perkebunan tebu tentu membutuhkan banyak sekali tenaga
kerja, salah satu yang terpenting adalah pimpinan dari industri itu sendiri. Pabrik
gula Pagottan memiliki seorang Administrateur (adm) yang bernama A. Nering
Bogel pada tahun 1923. Seorang Administrateur diangkat oleh seorang direksi
yaitu dari pimpinan-pimpinan yang diangkat oleh Menteri Keuangan. Raad Van
Commissarissen di pabrik gula Pagottan setiap tahun mengalami perubahan pada
24 Algemeen Handelsblad van Woensdag, 27 Juli 1927
25 Soegijanto Padmo., op.,cit, hlm. 82.
67
tahun 1923 di jabat oleh H.E Levert, tahun berikutnya oleh B. M.A. Carp dan
pada tahun 1925 L. Kuiper yang menjabat.26
Untuk industri perkebunan tebu di Jawa pemerintah kolonial Belanda
melakukan kontrak langsung dengan petani, di mana dalam kontrak tersebut telah
menentukan luasan areal tanam yang diijinkan untuk penanaman tebu,
pemeliharaan tanaman tebu, dan pengangkutan dari kebun menuju pabrik.
Perusahaan tersebut memerlukan tenaga kerja untuk membangun berbagai
fasilitas yang diperlukan seperti kantor, pabrik, perumahan bagi staf, dan gudang
yang disebut dengan emplasemen, maupun sarana dan prasarana untuk
pengangkutan dari kebun menuju pabrik maupun menuju pasar.
Setiap keberadaan pabrik gula tentu peran buruh yang menjadi sangat
penting, pada umumnya mereka yang bekerja di perkebunan tebu adalah
masyarakat pribumi dengan bekal pendidikan yang minim. Dalam proses kerjanya
terdapat dua ukuran kerja utama di Jawa pada awal abad dua puluh. Pertama
berpusat pada persiapan lahan, penanaman tebu, dan pemeliharaan pasca tanaman
tumbuh. Kedua didukung oleh apa yang sering disebut kerja pasca panen
(campaign), pada saat tanaman dipanen, dibawa ke pabrik dan diproses menjadi
gula.27
Untuk mempermudah pembagian kelompok kerja maka dibuatlah ploeg
atau yang lebih dikenal sebagai kelompok kecil atau tim. Setelah dibentuk dan
dibagi dalam tim kecil, mandor memiliki peran penting dalam pengawasan kerja
26
Pagottan Oogtresultalen Oogstjaar 1930 , Badan Perpustakaan dan
Kearsipan Jawa Timur, Arsip P3GI Pasuruan Nomor. 379.
27 Retno.Puji Lestari.,op.,cit, hlm. 32 .
68
di lapangan. Pengawasan pada umumnya dilakukan saat melakukan penebangan
tebu. Selama musim giling tebu pabrik gula itu membentuk polisi penjaga kebun
tebu. Pabrik gula Pagottan itu mempunyai arti banyak bagi penduduk yang hidup
memburuh dan penduduk yang tidak mempunyai tanah.28
Setelah melakukan proses penanam biasanya tenaga kerja perkebunan
akan melakukan penyisipan tempat yang longgar dengan beberapa kali
pemupukan tambahan serta melakukan penyiangan rumput, memberi penyiraman
serta menimbun pangkal tanaman dengan tanah. Panen tebu biasanya
dilaksanakan antara bulan Juli hingga November pada tahun berikutnya. Setelah
melakukan pemanenan tebu para pekerja diarahkan untuk mengangkut tebu
menuju pabrik untuk segera dipres. Untuk menuju sampai ke jalur lori biasanya
banyak sekali buruh yang dipekerjakan untuk mengangkut dengan gerobak sapi,
sesampainya di pabrik baru teknologi modern digunakan untuk mengolah.
Buruh-buruh perkebunan paling banyak dipakai saat penanaman tebu,
pada umumnya mereka bekerja secara harian dengan jam kerja dari pukul tujuh
hingga pukul lima sore atau mereka akan bekerja enam jam sebelum tengah hari
dan enam jam sesudah tengah hari. Konon pada permulaan abad ke dua puluh
makin banyak pemakaian buruh wanita dan anak-anak, terutama untuk melakukan
kegiatan pemupukan.29
28 Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah
Kerajaan),op.cit., hlm.205.
29 Akira Nagazumi.,op.cit.,hlm. 55.
69
Berikut adalah gambaran data mengenai jumlah tenaga kerja daerah
pedesaan karesidenan Madiun, yang terdiri dari pekerja terdidik dan petani baik
laki-laki maupun perempuan.
Tabel. 9
Jumlah petani di karesidenan Madiun tahun 1920-1930
Kabupaten Pekerja Terdidik Pekerja laki-laki Pekerja
perempuan
Ngawi 6140 63908 8820
Magetan 5300 50563 20568
Madioen 4950 55320 11680
Ponorogo 6650 76970 16334
Patjitan 8060 52669 9725
Sumber : Volkstelling 1930, hlm. 90.
Dari tabel (8) di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah pekerja terdidik di
Karesidenan Madiun terbanyak adalah di Kabupaten Patjitan dengan jumlah
8.060. Untuk pekerja laki-laki dan perempuan di setiap kabupaten sama-sama
memiliki selisih yang sangat besar, pekerja laki-laki masih mendominasi jumlah
terbanyak, namun begitu di Kabupaten Magetan jumlah pekerja perempuan
hampir setengah dari pekerja laki-laki. Secara keseluruhan jumlah tenaga kerja di
Madiun mencapai 397.657 jiwa.
Keberadaan ekonomi perkebunan pada masa ekonomi subsistensi di Jawa
secara signifikan telah menciptakan peluang ekonomi bagi masyarakat pedesaan
70
pada umunya, jika biasanya petani hanya mengolah hasil tanaman pangan maka
saat arus uang telah masuk dalam ekonomi desa maka banyak petani pemilik
tanah yang bekerja di perusahaan perkebuanan. Berikut adalah upah rata-rata bagi
buruh di Hindia Belanda pada 1900-1931.
Tabel. 10
Upah rata-rata harian bagi buruh di Hindia Belanda pada 1900-1931.
Tahun Laki-laki Perempuan Anak-anak
1900 45 sen 25 sen 20 sen
1921 57 sen 47 sen 38 sen
1931 45 sen 36 sen 29 sen
Sumber : Mubyarto. Tanah Dan Tenaga Kerja Perkebunan; Kajian Sosial
Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media,2001), hlm. 14.
Dengan melihat upah harian yang diterima oleh para tenaga kerja
perkebunan di atas dapat dikonversikan hasilnya dengan harga bahan pangan
pokok pada masa itu. Pada tanggal 28 Januari 1913 beras dijual dengan harga 42
stuiver (kelip= 5 sen) tiap gantang (sama dengan 31 gulden per 100 Kg).30
Di
Pulau Jawa pada bulan Juni 1921 satu pikul padi bulu terjual dengan harga
30
Sajogyo, William L Collier., Budidaya Padi Di Jawa, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.1986), hlm.200.
71
.5,90.31
Dilaporkan pahwa pada tahun 1930 harga beras pasar rata-rata di Jawa
untuk beras kelas satu ialah . 11,50 per pikul.32
Jika pada tahun 1913 setiap 100 Kg beras dihargai dengan 31 gulden
maka, setiap kilonya adalah 3,1 sen. Jika diambil contoh upah pekerja laki-laki
setiap harinya dapat membeli 14 Kg beras. Sedangkan pada tahun 1921 dengan
harga 9,5 sen padi per Kg (diperoleh dari 590 sen dibagi 61,76 ( 1 pikul padi)),
maka dari gaji pekerja pria dapat membeli beras sekitar 6 Kg beras. Tahun 1930
harga beras . 11,50 per pikul sama dengan 18,6 sen per Kg, sehingga dari upah
45 sen maka beras yang diperoleh adalah 2,41 Kg beras. Ini menunjukkan bahwa
upah yang diterima oleh pekerja perkebunan dan kebutuhan akan bahan pokok
tidak seimbang. Sejak tahun 1921 hingga 1931 gaji yang diterima oleh buruh
perkebunan terus mengalami peningkatan.
Pekerja musiman biasanya wanita ikut mengambil bagian yakni bekerja
sebagai kuli parit pada saat mulai musim tanam. Sedangkan untuk pekerja laki-
laki banyak dibutuhkan saat musim giling tebu, tebang tebu dan pengangkutan
menuju lori-lori. Biasanya mereka tinggal di sekitar pabrik gula, di barak-barak
yang sudah dipersiapkan oleh pihak pabrik gula, tidak hanya sampai disitu bahkan
sebelum sampai pada jalur rel lori peran tenaga hewan pun dimanfaatkan untuk
pengangkutan dengan cara menarik lori menuju relnya berikut adalah jumlah
tenaga kerja pabrik gula di Madiun.
31
Ibid., hlm. 258.
32 Ibid., hlm. 285.
72
Tabel. 11
Jumlah tenaga kerja perkebunan tebu Madiun 1920 - 1930
Kabupaten Laki-laki Perempuan Tenaga terdidik
Ngawi 3498 2406 490
Magetan 10672 6625 1240
Madioen 10177 5293 1040
Ponorogo 850 1120 130
Sumber: Volkstelling 1930, hlm. 90.
Tenaga kerja perkebunan tebu di Madiun terutama di Kabupaten Ponorogo
memiliki jumlah tenaga kerja perempuan lebih banyak dari pada jumlah tenaga
kerja laki-laki. Pada umumnya di beberapa daerah lainnya jumlah tenaga kerja
laki-laki lebih mendominasi. Magetan menjadi wilayah yang memiliki banyak
tenaga terdidik untuk tenaga kerja perkebunan tebu, setelah itu disusul oleh
Kabupaten Madiun, Ngawi dan Ponorogo.
F. Sarana Transportasi
Industrialisasi pertanian menuntut pembangunan infrastruktur yang
memadai, antara lain jalan raya, jalan kereta, irigasi, pelabuhan, telekomunikasi,
dan lain sebagainya.33
Untuk melancarkan berbagai program tersebut maka pihak
swasta maupun pemerintah bersedia mengadakan investasi dan pembangunan
infrastruktur. Sejak 1870 pembangunan membawa modernisasi terhadap Hindia
Belanda. Pengangkutan atau transportasi memiliki arti yaitu sarana yang
33
Sartono.Kartodirdja., op.cit., hlm 81.
73
digunakan untuk melakukan pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke
tempat yang lain. Tujuan dari adanya peningkatan mutu pengangkutan dan
transportasi tak lain adalah memperlancar aktivitas perekonomian dan kegiatan
lainya. Sebelum adanya modernisasi pengangkutan ke berbagai daerah dilakukan
dengan menggunakan perahu dan melintasi aliran-aliran sungai. Hal itu sangat
tidak menguntungkan bagi masyarakat atau perusahaan perkebunan yang akan
mengirim hasil tanamnya ke berbagai daerah jika keberadaan mereka jauh dari
daerah aliran sungai dan terletak di daerah pedalaman. Transportasi sungai
menghubungkan desa dengan kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa seperti
Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sungai Bengawan Solo dan Brantas merupakan
urat nadi transportasi sungai.
Sebelum adanya jalan kereta api keberadaan transportasi darat sangat
dominan karena berbagai hasil produksi pertanian diangkut dengan menggunakan
gerobak, cikar, gelinding, dan kendaraan sejenisnya yang ditarik kuda, sapi atau
kerbau. Dan biasanya membutuhkan waktu yang berhari-hari sehingga dalam
perjalannya terdapat tempat berhenti dan menginap sehingga kurang efektif dari
segi waktu, dan dari segi produksi pun akan berkurang kualitasnya jika untuk
pengangkutan saja membutuhkan proses yang lama. Sekalipun jumlah hewan
ternak di Distrik Ponorogo cukup banyak terutama hewan lembu, tetapi
peternakan dalam arti sebenarnya tidak ada. Hewan ternak itu dipergunakan baik
untuk pertanian maupun untuk transport. Bahkan pentingnya hewan ternak saat itu
memunculkan banyaknya tindak kriminalitas, makin hari jumlah ternak semakin
74
berkurang hingga memunculkan kebijakan akan adanya sertifikat kepemilikan
terhadap hewan peliharaan.
Setelah dibukanya jalan kereta api dan trem hampir seluruh pedalaman
Jawa dapat dijangkau pada awal abad ke dua puluh. Produksi dari pedalaman
dengan cepat diangkut ke pelabuahan. Seperti disinggung di atas bahwa jaringan
transportasi sebagai infrastuktur memang dikembangkan secara pesat. Hal ini
tampil pada angka-angka sebagai berikut 1867-25 Km; 1879-372 Km; 1888-1286
Km; 1899-3008 Km; 1913-4500 Km; 1920-5016 Km.34
Berkembangnya kegiatan
ekonomi di Jawa dan luar Jawa akibat majunya industri perkebunan merupakan
salah satu faktor pendorong bagi berkembangnya industri maritim di Asia
Tenggara.
Pembangunan fasilitas transportasi di suatu daerah sangat tergantung pada
lokasi dan kondisi topografi suatu wilayah, perkembangan pesat ini merupakan
jawaban teratasinya kendala angkutan sungai yang karena kondisi topografi di
pedalaman tidak memungkinkan untuk dilewati angkutan. Upaya untuk
membangun sarana transportasi di Hindia-Belanda merupakan proses yang
panjang yakni di mulai sejak berkembangnya sistem Tanam Paksa.
Perusahaan angkutan kereta api yang beroperasi di Hindia-Belanda berada
di bawah pengawasan pengawasan jawatan angkutan dan pengairan, di
bawah pengawasan bagian jalan. Perusahaan yang dimiliki pemerintah
kolonial adalah Staatspoorwegen (S.S) yang dibentuk pada 1875 di bawah
seorang Inspektur Jendral. Sejak 1 Maret 1888, perusahaan ini dialihkan
kepada Departemen Pekerjaan Umum. Pada 1 Juli 1909, perusahaan Spoor-
en Tremwegen menjadi dinas Staatspoor-en Tramswegen (S.S) yang sekali
lagi dibawah pimpinan Inspektur Kepala Spoor-en Tramswegdienst,
dibawah departemen usaha milik negara. Kantor S.S secara keseluruhan
34 Ibid., hlm. 96.
75
berada di Bandung yang terdiri dari bagian sekretariat, bagian gudang,
bagian umum, bagian angkutan, dan perdagangan dan bagian teknis.35
Semakin meluasnya perkebunan-perkebunan di Pulau Jawa maka
meningkat pula berbagai sarana dan prasarana yang ada untuk memperlancar hasil
produksi, maka bukan lagi hal yang baru jika pabrik gula membangun jaringan rel
guna mengangkut tebu dari perkebunan untuk dibawa ke pabrik saat musim giling
tiba. Angkutan trem di Jawa tidak hanya berkembang di kota besar saja tetapi
merambah ke berbagai kota kecil di pedalaman. Berikut adalah rute yang dilalui
oleh kereta dari Madiun mengarah ke Ponorogo.
Gambar. 7
Peta Jalur transportasi kereta dari Madiun- Ponorogo tahun 1905 (ditunjukkan
dengan garis hitam)
Sumber: KITLV media
35 Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia, op.cit.,
hlm. 170.
76
Salah satu jaringan trem yang menyisir pelosok Jawa adalah jaringan
pertama angkutan trem milik negara yang menghubungkan Madiun dengan
Ponorogo ke Balong dengan sambungan Ponorogo Sumoroto. Staatspoorwegen
Oosterlijnen dengan lebar kereta 1.067 mm membangun jalur Madiun ---
Ponorogo --- Balong atau Sumoroto dibuka tanggal 1 Desember 1907 dengan
jarak 56 Km. Pada tahun 1922 dengan jarak 10 Km menghubungkan antara
Badegan --- Sumoroto, sedangkan untuk Balong --- Slahung dengan jarak 9 Km di
tanggal 1 Agustus.36
Adanya kemudahan transportasi tersebut sehingga
mempermudah pengangkutan hasil tanam menuju pabrik, termasuk juga hasil
tanam dari Ponorogo menuju ke Madiun. Ijin pemasangan rel lori tidak tetap
untuk pengangkutan tebu masih terus berlaku.37
Kemajuan perkereta apian di Jawa tidak terlepas dari berbagai sumber
perekonomian yang berkembang di sana, tebu-tebu yang telah dipanen kemudian
digiling dan dijadikan gula kemudian diangkut menuju ke pelabuhan untuk
diekspor dengan menggunakan kereta api begitu pun dengan pabrik gula Pagottan.
Untuk jalur kereta api dari Madiun menuju Surabaya rutenya adalah sebagai
berikut Madiun menuju Kertosono, kemudian dari Kertosono menuju Tarik,
setelah dari Tarik menuju Wonokromo dan terakhir sampai di Goebeng
36 Prita Ayu Kusumawardhani.,Transportasi Kereta Api Dalam
Perkembangan Mobilitas Sosial Masyarakat Surabaya Tahun 1910-1930, Skripsi,
(Surakata, UNS,2013) hlm. 56-57.
37
Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah
Kerajaan),op.cit., hlm.210.
77
Surabaya.38
Jarak yang ditempuh dari Madiun menuju ke Surabaya kurang lebih
152,828 km.
Seiring munculnya jalur-jalur kereta tersebut sangat memudahkan
menghubungkan perkebunan-perkebunan di Jawa Timur menuju Kota Surabaya.
Jika hasil produksi yang telah siap tidak segera dikirim maka akan menimbulkan
kerugian bagi perusahaan, karena akan cepat membusuk. Pada awalnya jalur
tanaman ekspor untuk Madiun adalah melewati Surakarta, namun hal itu tidak
mendapat persetujuan. Menurut Dibbetz pembangunan jalur tersebut memiliki
banyak kelemahan sehingga tidak perlu dilakukan. Salah satu alasan yang
diajukan oleh Dibbetz adalah jarak yang ditempuh daerah perkebunan Madiun
lebih dekat menuju Surabaya dibandingkan harus beralih dari Surakarta ke
Semarang.39
Menurutnya perbaikan untuk irigasi jauh lebih penting dari pada
proyek jalur kereta api Madiun-Surakarta.
Perkebunan tebu memegang peranan pentingnya dalam perekomonian di
Madiun, sejak masuknya industrialisasi di Madiun pada abad ke sembilan belas
yang masih menggunakan peran para Bupati dalam memperoleh tanah hingga
tenaga kerja hingga adanya kebijakan dari pemerintah untuk menggunakan hak-
hak industri sendiri dalam menjalankan administrasinya. Pemerintah
menempatkan tanah perkebunan sebagai tanah komunal (tanah milik bersama)
yang disewa oleh pemerintah dan dikelola oleh masyarakat sendiri sebagai ganti
38
Kaart Der Suikerfabrieken Spoor-En Tramwegen Van Java En
Madoera, Badan Perpustakaan Dan Kearsipan Jawa Timur, Arsip Kartografi
39 Prita Ayu Kusumawardhani.,op.cit., hlm. 65.
78
pajak. Memasuki abad ke dua puluh pasca Perang Dunia ke dua ekonomi
Indonesia berjalan dengan perkembangan perekonomian dunia. Terkait dengan
industri perkebunan di Indonesia khususnya Madiun, pasca tahun 1918 setelah
munculnya Undang- Undang Sewa Tanah memberikan peluang yang luas bagi
setiap industri gula untuk mengatur secara langsung segala kebutuhannya sendiri,
termasuk tenaga kerja, tanah, transportasi dan upah. Keberadaan Bupati ataupun
Priyayi tidak lagi dipandang penting dalam merekrut tenaga kerja maupun
melakukan sewa tanah, apalagi jumlah penduduk di Madiun yang padat
kebutuhan akan lahan pekerjaan sangat dibutuhkan oleh sebagian besar
masyarakat. Peredaran uang juga telah dikenal pada masa ini, banyak tenaga kerja
perkebunan menerima upah berupa uang, tidak ada lagi kerja suka rela seperti
yang terjadi pada masa awal sistem perkebunan diterapkan di Madiun.
Modernisasi berbagai faktor produksi juga telah banyak terjadi, terutama untuk
mesin-mesin pabrik, dan sistem pengangkutan